Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terjadinya peningkatan jumlah seseorang dengan usia lanjut (Lansia) tidak lepas dari

hasil pengembangan teknologi serta pembangunan yang telah menciptakan kondisi sosial

masyarakat saat ini menjadi lebih baik, saat ini jumlah lansia di Dunia sebesar 962 juta jiwa,

dan diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat dengan jumlah 2,1 miliar pada tahun 2050

(United Nations, 2017).1 Di Indonesia jumlah lansia saat ini mencapai 23.66 juta jiwa (9,03%)

dari keseluruhan penduduk, dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2035 sebesar 48,19

juta jiwa. Data Dinas Kesehatan Jawa Tengah menunjukkan cakupan pelayanan kesehatan usia

lanjut di Jawa Tengah tahun 2019 sebesar 74,9 persen, mengalami peningkatan dibandingkan

dengan capaian tahun 2018 yaitu 64,98 persen. Kabupaten/kota dengan cakupan 100 persen

atau lebih adalah Kota Semarang, Pati, Kota Pekalongan, Jepara dan Demak. Sementara

kabupaten/kota dengan cakupan terendah adalah Kudus (20,9 persen) diikuti Banjarnegara

(32,5 persen).2 Peningkatan usia pada lansia tentunya dapat menyebabkan berbagai macam

permasalahan kesehatan, hal tersebut tidak lepas dari kondisi fisik lansia yang mulai menurun

karena pertambahan usia, pada tahun 2015 angka kesakitan lansia mencapai angka 28,62%,

artinya bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat sekitar 28 orang diantaranya mengalami

sakit.3

Kemampuan dan performa fisik akan menurun seiring dengan bertambahnya usia,

meningkatkan risiko beberapa masalah kesehatan yang merugikan seperti jatuh, fraktur,

disabilitas, penurunan kualitas hidup, hospitalisasi dan kematian. 4 Kondisi ini ditandai dengan

berkurangnya fungsi dan massa otot skeletal secara progresif, yang disebut Sarkopenia.

Diagnosis sarkopenia menurut AWGS memerlukan pengukuran massa otot dengan

menggunakan DXA atau bioelectric impedance analysis (BIA), pengukuran kekuatan otot
dengan mengukur handgrip strength (HS) dan pengukuran performa fisik dengan usual gait

speed test.5

Sarkopenia ini disebabkan berkurangnya jumlah protein dan juga karena berkurangnya

jumlah dan besar serabut-serabut otot. Perubahan otot pada manusia dimulai pada dekade

keempat kehidupan dan menyebabkan kelemahan dan cacat.4 Penurunan massa otot setiap

individu berbeda-beda. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

kekuatan otot. Lemahnya kekuatan otot akan berdampak pada permasalahan keseimbangan

yang berimplikasi terhadap timbulnya gangguan menjalankan mobilitas fungsional sehingga

meningkatkan risiko terjadinya jatuh yang menyebabkan ketergantungan dalam menjalankan

aktivitas sehari-hari.5 Sebesar 28-35% lansia diatas 65 tahun setidaknya jatuh satu kali dalam

satu tahun dan meningkat pada usia diatas 75 tahun sebesar 32-42%.6 Oleh karena itu, sangat

penting bagi lansia untuk menjaga dan memelihara kekuatan otot salah satunya adalah otot

genggam.

Seiring dengan terus bertambahnya usia, maka kekuatan otot pada lansia akan terus

menurun. Penelitian yang dilakukan olah Akmal dkk (2001), pada lansia dengan rentang usia

60 hingga 70 tahun, didapatkan bahwa lansia dengan umur 60-65 tahun memiliki kekuatan

genggam tangan kanan dan kiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia yang

lebih tua.7 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2008) terhadap lansia

didapatkan bahwa rerata kekuatan genggam tangan pada lansia berumur 60-69 tahun jauh lebih

berat dibanding dengan lansia berumur ≥70 tahun.8 Disamping itu, lansia yang mengalami

penurunan kapasitas fungsional dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik

maupun sosial yang akan menyebabkan ketergantungan pada orang lain.

Faktor jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya sarkopenia terutama kekuatan otot.

Ditemukan juga bahwa sarkopenia lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan.9 Penurunan kadar hormon testosterone pada laki-laki terjadi lebih cepat

dibandingkan dengan penurunan kadar hormon estrogen seiring bertambahnya usia, yaitu
penurunan kadar hormon testosteron sebesar 1% per tahun pada laki- laki sehat dengan usia 30-

40 tahun atau sumber lain menyebutkan terjadi penurunan sebesar 0,4-2% per tahun setelah

usia 30 tahun dibandingkan dengan penurunan kadar hormon estrogen yang mengalami

penurunan setelah menopause. Sebuah studi pada 1.609 masyarakat di Cina menemukan bahwa

prevalensi sarkopenia pada laki-laki meningkat seiring dengan bertambahnya usia.10

Kondisi kesehatan juga cukup berperan dalam proses kekuatan genggaman seorang

lansia. Status kesehatan lansia adalah kriteria yang penting untuk bisa berfungsi secara efektif

dalam masyarakat. Lansia secara umum memiliki masalah pada kesehatannya, penampilan

penyakit pada usia lanjut merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat

penyakit dan juga proses tubuh yang menua yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Prevalensi

penyakit bawaan pada lansia merupakan tantangan kesehatan global yang dapat menyebabkan

kematian dini di seluruh dunia. Dalam penelitian Wahyunishih, 2015, lansia rentan memiliki

penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan stroke dan penyakit lainnya. 11

Dengan penyakit bawaan tersebut sehingga lansia berkemungkinan memiliki intensitas rendah

terhadap daya genggam (Handgrip Strength).

Faktor yang ikut mempengaruhi kekuatan otot ialah status gizi. Status gizi merupakan

kondisi tubuh hasil dari asupan, absorpsi, dan penggunaan makanan. Salah satu metode yang

dapat digunakan dalam penilaian status gizi ialah antropometri. Pengukuran antropometri

yang umumnya dilakukan ialah pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) yang terdiri dari

pengukuran tinggi badan dan berat badan, kemudian pengukuran persen lemak pada tubuh yang

dilakukan dengan menimbang responden, selanjutnya adalah visceral fat yaitu pengukuran total

jumalh lema perut. Dengan pengukuran antrometri tersebut diharapkan dapat melihat kekuatan

otot genggam pada lansia.

Melihat data dari Kementerian Kesehatan di Kabupaten Jawa Tengah yang tersebar

peningkatan lansia terdapat di Kota Semarang maka penelitian dilakukan di salah satu
puskesmas di Kota Semarang. Penelitian dilakukan di puskesmas Karangayu dimana

puskesmas ini memiliki peningkatan lansia yang cukup signifikan. Dalam survey yang

dilakukan sebelumnya puskesmas ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai kekuatan

genggaman tangan (Handgrip strength). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan pengukuran antropometri dengan handgrip strength (kekuatan

genggaman) pada lansia di puskesmas Karangayu, Kota Semarang.

B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara pengukuran antropometri dengan handgrip strength

pada lansia?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor antropologi

dengan kekuatan genggam (handgrip strength) pada kelompok lansia di wilayah kerja

Puskesmas Karangayu, Kota Semarang.

2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh gambaran tingkat kekuatan otot genggam pada lansia di wilayah kerja

Puskesmas Karangayu, Kota Semarang.

b. Memperoleh gambaran faktor-faktor antropologi berdasarkan karakteristik individu yaitu

umur, berat badan, tinggi badan, IMT, Viceral Fatdan dan persen lemak tubuh pada

lansia di wilayah kerja Puskesmas Karangayu, Kota Semarang.

c. memperoleh hubungan antropologi (umur, berat badan, tinggi badan, IMT, Viceral Fatdan

dan persen lemak tubuh) dengan tingkat kekuatan genggaman tangan (Handgrip Strength)

pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Karangayu, Kota Semarang.

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bacaan, sumbangan ilmiah, dan

masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait hubungan antropologi dengan

handgrip strength pada lansia.

2. Praktis

a. Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam mengaplikasikan teori yang sudah

diperoleh di bangku kuliah, khususnya terkait pengetahuan terkait hubungan antropologi

dengan handgrip strength pada lansia.

b. Masyarakat

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pentingnya kekuatan genggaman tangan bagi lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Lanjut Usia (Lansia)

a. Definisi Lanjut Usia


Proses penuaan pada manusia sering dianggap sudah sepatutnya terjadi
sehingga tidak perlu terlalu dirisaukan. Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang menyebutkan bahwa lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.12 Pertumbuhan dan perkembangan
fisik mencapai puncak pada umur sekitar 25-30 tahun. Proses penuaan mulai nampak
pada umur 39-42 tahun dan sejak itu pula sudah mulai terjadi penurunan fungsi pada
berbagai organ tubuh. Menurut WHO, lanjut usia (lansia) dibagi atas empat kelompok
yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun
2. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun
3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old): usia > 90 tahun
Berbeda dengan WHO, menurut Departemen Kesehatan RI (2006)
pengelompokkan lansia menjadi :
1. Virilitas (prasenium): masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
2. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut
dini (usia 60-64 tahun).
3. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degenerative (usia
>65 tahun).
b. Penurunan Fungsi Tubuh pada Lansia
Penurunan fungsi tubuh pada lansia pasti akan menyebabkan berbagai macam
permasalahan gangguan gerak dan fungsi lansia. Seiring bertambahnya usia lansia
juga akan mengalami penurunan fungsi jalan, penurunan fungsi keseimbangan,
penurunan kemampuan fungsional dan penurunan kemandirian dalam beraktivitas
sehari-hari.13 kemampuan fungsional lansia merupakan kemampuan dimana lansia
dapat melakukan aktivitaas dan bergerak termasuk kemampuan mobilitas lansia dan
aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri dan aktivitas perawatan diri
lansia.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setiati, (2013) menyebutkan bahwa
masalah umum yang terjadi pada proses penuaan adalah penurunan fungsi fisiologis
dan kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada
kondisi sakit. Proses penuaan mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti
sistem sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain
itu terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot,
peningkatan massa dan sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak
intramuskular.Individu yang menunjukkan karakteristik menua dikatakan
mengalami usual aging.14
Penurunan fungsi yang paling sering terjadi pada lansia yaitu penurunan massa
otot (atropi). Proses penurunan massa otot ini sangat berpengaruh pada penurunan
kekuatan otot dan daya tahan otot lansia (Lauretani et al di kutip dalam Utomo,
2010).15 Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau kelompok otot untuk
menghasilkan gaya maksimal. Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk
menghasilkan gaya pada waktu dan kecepatan yang spesifik. Kekuatan otot dan
daya tahan otot akan mengalami penurunan seiring dengan terjadinya proses penuaan
dengan penurunan daya tahan otot yang lebih besar jika dibandingkan dengan
penurunan kekuatan otot (Utomo, 2010).16

2. Antropometri

a. Pengertian Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari


sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Penggunaan antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada
pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah
air dalam tubuh. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh.
Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak misalnya
karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya
jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan (BB) juga merupakan parameter
antropometri yang sangat labil dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan
baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, maka BB
berkembang mengikuti pertambahan umur. 17

b. Karakter Individu yang Mempengaruhi Antropometri


1). Umur

Kekuatan otot berkurang sesuai dengan bertambahnya umur. Kekuatan


otot berangsur-angsur menurun sesuai dengan bertambahnya umur sehingga
pada usia 65-70 tahun hanya memiliki kekuatan otot 65-70% dibanding dengan
usia 20-30 tahun.18 Survei yang dilakukan oleh Amin dkk (2001) menunjukkan
bahwa lansia yang berumur 60-65 tahun memiliki kekuatan genggan
tangan kanan dan kiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan umur diatas 65
tahun hingga 75 tahun.19

2). Jenis Kelamin

Faktor jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya sarkopenia terutama


kekuatan otot. Ditemukan juga bahwa sarkopenia lebih banyak ditemukan pada
laki-laki dibandingkan pada perempuan.20 Penurunan kadar hormon
testosterone pada laki-laki terjadi lebih cepat dibandingkan dengan penurunan
kadar hormon estrogen seiring bertambahnya usia, yaitu penurunan kadar
hormon testosteron sebesar 1% per tahun pada laki- laki sehat dengan usia 30-
40 tahun atau sumber lain menyebutkan terjadi penurunan sebesar 0,4-2% per
tahun setelah usia 30 tahun dibandingkan dengan penurunan kadar hormon
estrogen yang mengalami penurunan setelah menopause .
3). Penyakit Bawaan

Umumnya lansia memiliki penyakit tertentu seiring dengan penurunan


nya fungsi tubuh. Sering pula pada lansia ditemukan penyakit kronis
degenerative. Penyakit degeneratif yang banyak didapatkan pada lansia adalah
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis dan penyakit
kardiovaskular (Setiati, 2013).

c. Indeks Antropometri

1). IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara untuk menggambarkan


berat badan dalam hubungannya dengan tinggi badan. IMT dihitung dengan
berat badan (kg) dibagi oleh tinggi badan (m2). IMT pada umumnya akan terus
meningkat sesuai dengan usia. Hal ini terjadi dikarenakan adanya peningkatan
lemak tubuh. Namun pada wanita lanjut usia peningkatan lemak sering diikuti
dengan penurunan massa otot. Peningkatan IMT juga dipengaruhi oleh
penurunan tinggi badan dan perubahan morfologi kolumna vertebralis,
berkurangnya massa otot, osteoporosis, dan kifosis. Rata-rata penurunan tinggi
badan pada lansia adalah sekitar 1-2 cm per 10 tahun yang dimulai sejak usia
50 tahun.

Tabel Kategori Status Gizi Lansia Berdasarkan IMT (Depkes RI, 2005)
IMT Status Gizi
<18.5 kg/m2 Gizi kurang
18.5 – 25 kg/m2 Gizi normal
>25 kg/m2 Gizi lebih

Pada lansia yang terjadi perubahan signifikan terhadap komposisi


tubuh, IMT bukanlah merupakan pengukuran yang akurat terhadap indikator
berat badan lebih dan obesitas bagi lansia. 21 Penelitian yang dilakukan
oleh Pieterse et al (2002) pada 413 pria dan 415 wanita berusia 50-92 tahun di
Karagwe menunjukkan adanya korelasi yang positif antara kekuatan genggam
dengan IMT.22

2). Persen Lemak Tubuh

Pada lanjut usia akan terjadi peningkatan lemak tubuh (fat mass).
Distribusi lemak pada usia lanjut lebih berupa lemak subkutan yang dideposit
di batang tubuh. Dilaporkan bahwa di area abdominal, jaringan lemak tubuh
meningkat rata-rata 61% pada pria dan 66% pada wanita yang berusia 20-39
tahun dibandingkan usia di atas 60 tahun (Fatmah, 2010).23

3). Visceral Fat

visceral fat atau lemak aktif adalah lemak yang terletak pada rongga
perut dan melekat langsung atau menyelubungi organ vital seperti hati, perut,
usus dan tidak jarang ditemukan pada arteri yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah. Visceral fat disinyalir sebagai salah satu
penyebab penyakit degeneratif; jantung, stroke, kencing manis atau diabetes
mellitus (DM) tipe 2 dan lain-lain. Havard Health(2014) mengatakan bahwa
sekitar 10% dari semua lemak tubuh adalah visceral fat.24 Jadi, apabila kita
menghitung total lemak tubuh, maka 10% dari total lemak adalah perkiraan
jumlah visceral fat kita. Cara mudah untuk mengetahui apakah kita berisiko
memiliki visceral fat berlebih adalah dengan mengukur ukuran pinggang. jika
seorang wanita dan ukuran pinggang mencapai 89 cm atau lebih besar dan atau
pria dengan ukuran pinggang 100 cm atau lebih besar maka berisiko
mengalami masalah kesehatan akibat visceral fat.
4). Asupan Kalori
Setiap negara memiliki standar atau baku dalam menentukan kebutuhan
zat gizi. Di Indonesia terdapat Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan
untuk energi dan zat-zat lain yang diperbaharui setiap lima tahun melalui
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG).

Berikut adalah angka kecukupan gizi (AKG) untuk lansia yang


dibedakan berdasarkan jenis kelamin menurut WKNPG tahun 2004.

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Lansia

Zat Gizi Satuan Pria Wanita


(berat badan = 62 (berat badan = 54
kg) kg)
Energi Kkal 2050 1600
Protein g 60 45
Vitamin A RE 600 500
Vitamin D g 15 15
Vitamin E mg 15 15
Vitamin K mg 65 55
Tiamin mg 1.0 0.8
Riboflavin mg 1.3 1.1
Niasin mg 1.6 14
Vitamin B12 mg 2.4 2.4
Asam folat g 400 400
Piridoksin mg 1.7 1.5
Vitamin C mg 90 75
Kalsium mg 800 800
Fosfor mg 600 600
Besi mg 13 12
Zinc mg 13.4 9.8
Iodium g 150 150
Selenium g 30 30

Energi yang dibutuhkan oleh lansia berbeda dengan energi yang


dibutuhkan oleh orang dewasa. Kebutuhan energi lansia lebih rendah
dibandungkan usia muda. Menurut WHO, seseorang yang telah berusia
40 tahun sebaiknya menurunkan konsumsi energi sebanyak 5% dari
kebutuhan sebelumnya, kemudian pada saat usia 50 tahun dikurangi lagi
sebanyak 5% dari kebutuhan sebelumnya, pada saat usia 60-70 tahun
konsumsi energi dikurangi lagi sebanyak 10%, dan setelah berusia diatas
70 tahun dikurangi 10% lagi (WHO dalam Fatmah, 2010). Kebutuhan
energi lansia yang berusia di atas 60 tahun ialah 2050 kalori bagi pria dan
1600 kalori bagi wanita (WKPG, 2004). Karena kehilangan massa otot
dan metabolisme tubuh yang mulai menurun setelah usia 50 tahun
sehingga aktivitas pun semakin berkurang. Penggunaan energi pada
lansia semakin menurun karena terjadi penurunan proses metabolisme
basal dan dapat berimplikasi pada penurunan kebutuhan energi lansia
(Wirakusumah, 2002).
Protein yang diasup oleh lansia sebaiknya yang berkualitas tinggi
atau yang mengandung asam amino essensial yang antara lain terdapat
pada susu, daging, keju, dan telur. Sedangkan makanan yang memiliki
kandungan protein tinggi yang berasal dari nabati ialah dari kedelai serta
padi-padian. Asupan protein yang tidak memadai menyebabkan
perubahan morfologi dan fungsi otot rangka yang merugikan (Mercer et
al, 2007). Pemilihan protein yang baik untuk lansia sangat penting karena
sintesis protein di dalam tubuh lansia terjadi penurunan dan banyak
terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Selain itu, asupan protein
yang cukup dan bermutu baik juga bertujuan untuk mencegah kehilangan
otot secara berlebihan dan untuk memelihara sistem imun.

3. Kekuatan Otot (Handgrip Strenght)

a. Pengertian Kekuatan Otot

Kekuatan otot adalah kapasitas otot untuk mengatasi suatu beban.


Menurut Depkes RI (1994), kekuatan otot merupakan tenaga atau gaya
atau tegangan yang dapat dihasilkan otot atau sekelompok otot pada suatu
kontraksi maksimal. Kontraksi otot diawali dengan terjadinya tumpang
tindih antara filamen aktin dan miosin. Jembatan ikat silang miosin
kemudian akan membentuk ikatan kimiawi dengan bagian tertentu dari
filamen aktin sehingga terbentuk kompleks protein yang disebut
aktomiosin. Pembentukan aktomiosin akan mengaktifkan komponen enzim
dan filamen miosin yang disebut miosin ATPase. Miosin ATPase
kemudian akan menyebabkan pemecahan ATP menjadi ADP dan fosfat
inorganik. Energi yang dilepaskan dari proses tersebut menyebabkan
jembatan ikat silang kolaps dan kembali ke titik sentral semula. Kontraksi
otot dibagi menjadi 4 macam yaitu, kontraksi otot isotonik (dinamik)
terjadi bila terdapat pemendekan otot sesuai dengan variasi tegangan saat
mengangkat muatan, kontraksi isometrik (statis) terjadi bila terbentuk
tegangan otot tetapi tidak ada perubahan pada panjang otot, kontraksi
eksentrik terjadi bila terdapat pemanjangan otot saat melakukan kontraksi,

12
dan kontraksi isokinetik terjadi bila tegangan otot terbentuk pada
kecepatan konstan yang maksimal di setiap sudut sendi hingga melampaui
ruang gerak maksimalnya.25
Pada lansia seiring dengan bertambahnya usia, massa dan ukuran
otot akan berkurang. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah protein dan
juga karena berkurangnya jumlah dan besar serabut-serabut otot.
Perubahan otot pada manusia dimulai pada dekade keempat kehidupan
dan menyebabkan kelemahan dan cacat. Penurunan massa otot setiap
individu berbeda-beda. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap massa otot.

Sementara itu, faktor penentu baik tidaknya kekuatan otot adalah


(Suharno, 1993 dalam Djaja 2010)26:
1. Besar kecilnya potongan melintang otot (potongan morfologis
yang tergantung dari proses hipertropi otot).
2. Jumlah fibril otot yang turut bekerja dalam melawan beban,
semakin banyak fibril otot yang bekerja berarti kekuatan
bertambah besar.
3. Tergantung pada panjangnya rangka tubuh, semakin panjang
rangka tubuh makin besar kekuatan.
4. Keadaan zat kimia dalam otot (glikogen, ATP).

5. Keadaan tonus otot saat istirahat, tonus makin rendah bearti


kekuatan otot tersebut saat bekerja makin besar.
6. Umur dan jenis kelamin juga menentukan baik tidaknya
kekuatan otot.
Kekuatan otot maksimum umumya dicapai antara 20 hingga 30
tahun ketika luas penampang otot terbesar pada usia tersebut. Penurunan
kekuatan otot terjadi secara bertahap dari mulai umur 35 hingga 45 tahun.
Penurunan kekuatan otot pada lansia yang berumur 60 tahun tidak sampai
kurang dari 20% kekuatan maksimalnya.27

13
Otot perlu dilatih agar kemampuan otot menjadi maksimal. Otot
sangat responsif terhadap aktivitas fisik yang dilakukan, semakin sering
otot dilatih maka otot akan menjadi lebih besar dan sebaliknya jika
tidak pernah digunakan otot akan mengalami atrofi. Penurunan kekuatan
otot berdampak pada penurunan mobilitas lansia. Hal ini dikarenakan
kekuatan otot merupakan komponen utama dari kemampuan melangkah,
berjalan, dan keseimbangan. Dampak yang sering terlihat pada lansia
adalah berkurangnya kekuatan tungkai, berkurangnya kecepatan gerakan
tungkai dan berkurangnya keseimbangan tubuh. Dapat dilihat dalam
kegiatan sehari-hari misalnya lansia tidak kuat berdiri, mudah jatuh, dan
lamban bila berjalan. Latihan aerobik dan resistensi latihan akan
meningkatkan otot untuk mensintesis protein dan biogenesis mitokondria.
Pada studi terkini, orang tua yang melakukan latihan berat untuk melatih
kekuatan otot bisa mendapatkan kembali porsi kekuatan mereka yang
hilang.28
b. Pengukuran Kekuatan Otot dengan Handgriph Dynamometer
Hand-Grip dynamometer adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengukur kekuatan otot genggam tangan. Tujuan dari tes
genggam tangan ialah untuk mengukur kekuatan maksimal dari tangan
dan otot tengan bawah. Kekuatan genggam tangan penting untuk
setiap aktivitas maupun olahraga dimana tangan digunakan untuk
menangkap, melempar, ataupun mengangkat. Juga secara umum,
apabila seseorang dengan kekuatan tangan yang kuat cenderung
memiliki kekuatan yang kuat juga di tempat atau bagian lain.
Sehingga tes dengan menggunakan hand-grip dynamometer sering
digunakan sebagai tes umum kekuatan otot. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lauretani (2003) membuktikan bahwa kekuatan
genggam tangan sama baiknya dengan kekuatan otot ekstremitas
bawah dalam medeteksi gangguan mobilitas fungsional. Kelemahan
otot tidak dapat terdeteksi dengan tes Timed Up & Go namun mudah
terdeteksi dengan alat hand-grip dynamometer.29

14
Gambar Hand Grip Dynamometer

15
c. Cara Penggunaan Handgriph Dynamometer

Cara penggunaan tes kekuatan otot dengan menggunakan


Handgrip Dynamometer (Mackenziem, 2002):

1. Individu menggunakan tangan dominan (kanan atau kiri) mereka


untuk menggenggam dyanamometer dengan kemampuan
maksimal mereka.
2. Asisten akan mencatat hasil maksimal genggaman dalam kg.
3. Individu mengulangi tes ini sebanyak tiga kali.
4. Asisten akan menggunakan nilai hasil genggaman yang paling
tinggi untuk dicatat sebagai hasil kekuatan individu.
Pengukuran pada tangan yang tida dominan biasanya akan lebih
rendah sekitar 10% dari tangan yang dominan

Tabel Norma Kekuatan Genggam Statis


Klasifikasi Genggam Kiri (kg) Genggam Kanan (kg)
Laki-laki
Sangat baik >68 >70
Baik 56-67 62-69
Sedang 43-55 48-61
Dibawah sedang 39-42 41-47
Kurang <39 <41
Wanita
Sangat baik >37 >41
Baik 34-36 38-40
Sedang 22-33 25-37
Dibawah sedang 18-21 22-24
Kurang <18 <22
Untuk individu yang berumur diatas 50 tahun, skor dikurangi 10% untuk
menyesuaikan pada jaringan otot yang hilang dikarenakan penuaan.
Sumber : Corbin and colleagues (1978) dalam “Advanced Fitness Assessment and
Exercise Prescription, 6th Edition”.30

16
Tes Hand-Grip Dynamometer memiliki kelebihan dan
kelemahan.
Berikut adalah kelebihan dan kelemahan dari Tes Hand-Grip
Dynamometer:

Tabel 2.5 Kelebihan dan Kelemahan Tes Hand-Grip


Dynamometer
Kelebihan Kelemahan
Sederhana Harga alat yang mahal
Dapat dibawa kemana-mana Hanya satu orang yang dapat
menggunakannnya pada satu waktu
Banyak norma yang tersedia Alat perlu disesuaikan dengan ikuran
genggaman peserta
Tidak membutuhkan fasilitas Perlu dikalibrasi secara teratur untuk
atau ruang yang memastikan hasil yang konsisten
banyak untuk
melakukannya
Tidak memakan waktu banyak Kekuatan otot-otot lengan bawah tidak
selalu mewakili kekuatan kelompok
otot lainnya
Tidak terpengaruh oleh cuaca Otot-otot lengan bawah mudah lelah
karena dapat dilakukan di dalam sehingga skor terbaik biasanya dicapai
ruangan dalam percobaan yang pertama atau
kedua

17
B. Kerangka Teori

Psikometri

Asupan Kalori

IMT Persen LemakTubuh Visceral Fat

Umur Jenis Kelamin Penyakit


Penyerta

Lansia 60-74
Perempuan
Tahun Dengan penyakit
penyerta
Lansia Tua Laki-Laki
75-90 Tahun
Tanpa penyakit
penyerta
Lansia sangat
Tua >90 Tahun

Handgrip
Strenght

Variabel yang diteliti adalah hubungan antara indeks psikometri yaitu

Asupan Gizi, IMT, Persen Lemak Tubuh dan Visceral Fat memiliki hubungan

dengan kekuatan otot genggam (Handgrip Strenght) lansia dari umur 60-90

18
tahun, dengan jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan serta

apakah memiliki penyakit pernyerta atau tanpa penyakit penyerta.

C. Kerangka Konsep

Antropometri:
1. Indeks Massa Tubuh Handgrip
2. Persen Lemak Tubuh Strenght
3. Visceral Fat

Variabel Perancu:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Asupan Kalori

D. Hipotesis

1. H0 : Terdapat hubungan antara antropometri dengan handgrip strength


pada lansia
2. Ha : Tidak Terdapat hubungan antara antropometri dengan handgrip
strength pada lansia

19
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup Keilmuan

Keilmuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gizi


Masyarakat.

2. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Karangayu, Kota


Semarang.

3. Ruang Lingkup Waktu

a. Penyusunan Proposal: Juni-Agustus 2022

b. Pengambilan Data: Agustus-September 2022

c. Pengolahan Data: September 2022

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kuantitatif dengan desain


cross- sectional. Penelitian cross sectional merupakan jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran data variabel independen dan dependen
hanya satu kali pada suatu saat. Variabel dinilai secara simultan pada satu
saat, jadi tidak ada tindak lanjut. Studi ini menghadirkan prevalensi atau
efek suatu fenomena (variabel dependen) dihubungkan dengan penyebab
(variabel independen).31 Melalui desain pendekatan cross sectional ini dapat
diketahui dan dijelaskan mengenai ada atau tidaknya hubungan antar
variabel dalam penelitian.
Gambar 1. Alur Rancangan Penelitian

Populasi Target

Populasi
Terjangkau

Pengacakan

Karakteristik Individu
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Penyakit Bawaan

Faktor Antropometri Kekuatan


1. IMT (TB dan BB) Genggaman Tangan
2. Persen Lemak Tubuh (Handgrip strength)
3. Viseral Fat pada lansia

Perbandingan hasil ukur faktor antropometri dan


handgrip strength pada lansia
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah lansia usia diatas 60 tahun.

Populasi terjangkau adalah lansia usia diatas 60 tahun di Puskesmas

Karangayu.

2. Sampel

Sampel penelitian ini yaitu bagian dari populasi terjangkau yang

memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

a. Kriteria inklusi:

1) Pria dan Wanita berusia diatas 60 tahun

2) Berada dalam cakupan wilayah penelitian yang telah ditentukan

3) Tinggal bersama keluarga dan masih bisa beraktivitas (minimal


gerakan ringan)

4) Kondisi sehat dan bisa diwawancarai

b. Kriteria eksklusi:

1). Menderita kelainan/penyakit pada anggota gerak dan genggam


serta komplikasi lain pada saat penelitian berlangsung.

2). Dengan penyakit bawaan tertentu.

3). Bungkuk

4) Pikun (dapat menyebutkan salah satu dari tempat dan tanggal lahir
atau alamat rumah atau nomor telepon)

Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan


rumus Slovin:
Keterangan:

n adalah jumlah sampel yang dicari

N adalah jumlah populasi

e adalah margin eror yang ditoleransi.

40
n=
(1+ ( 40 x 5 % ) )
2

n = 40/(1+(40x0.0025))

n = 40/(1+0,1)

n = 40/1,1

n = 36,3

Berdasarkan perhitungan Rumus Slovin didapatkan Jumlah sampel


minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 36 responden dengan
margin error sebesar 5%.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah faktor Antrometri.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini faktor Kekuatan Genggaman


Tangan pada Lansia.
3. Variabel Perancu
Variabel perancu dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
penyakit bawaan, asupan kalori.

E. Defenisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Defenisi Operasional Hasil Pengukuran Skala


.
1. Kekuatan Kontraksi maksimal otot Kategori: Ordinal
otot genggam atau sekelompok Pria 60-99 tahun: dan Rasio
genggam otot yang dapat Lemah: <30,2- <21,3
dikeluarkan terhadap Normal: 30,2- 48,0
tahanan tertentu. Kuat: > 48,0

Wanita 60-99
Tahun:
Lemah: <17,2- <14,7
Normal: 17.2-31.0
Kuat: > 31.0

Sumber: Kementrian Standar Kekuatan


Pendidikan Nasional Pusat Genggaman Tangan
Pengembangan Kualitas dalam Kilogram
Jasmani, 2010. CAMRY

2. Umur Lamanya kehidupan Lansia dengan Ordinal


seseorang dihitung sejak caupan usia 60-99
tahun lahir sampai tahun saat Tahun
dilakukan penelitian.
Dihitung dengan angka
tahun. standar Depkes RI,
2006)
3. Jenis jenis kelamin (seks) adalah 1. Laki-laki Nominal
Kelamin perbedaan antara perempuan 2. Perempuan
dengan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir (Depkes, 2009)
3. Indeks Pengukuran yang Angka Satuan: Rasio
Massa membandingkan berat dan kg/m2
Tubuh tinggi badan seseorang
(IMT) dengan tujuan
memperkirakan berat
badan ideal untuk tinggi
badan tersebut.

Sumber: Kamus Gizi


Pelengkap Kesehatan
Keluarga, 2009.
4. Persen Persen lemak tubuh adalah Angka Satuan : Rasio
Lemah komponen penyusun kg/m2
Tubuh komposisi tubuh selain
massa tulang, massa otot,
dan kadar air tubuh. Persen
lemak tubuh
menggambarkan kondisi
berat atau massa lemak yang
ada di tubuh seseorang
secara umum, baik lemak
subkutan maupun lemak
viseral (lemak yang terdapat
pada organ).

5. Visceral Fat Visceral fat adalah jenis Angka Satuan : Rasio


lemak tubuh yang disimpan kg/m2
di dalam rongga perut.
Lemak ini terletak di dekat
beberapa organ vital seperti
hati, perut, dan usus.
Beberapa lemak visceral juga
bisa menumpuk di pembuluh
darah.
F. Alur Kerja

Gambar 3. Alur Kerja

Responden

Informed Consent

Pengisian Kuesioner Krakteristik Lansia

Pengisian Kuesioner Asupan Kalori, recall


3x24 Jam

Pengukuran Antropometri

Pengukuran Kekuatan Genggam Responden

Analisis Statistika
G. Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dari data primer dan data sekunder.
Sebelum melakukan pengumpulan data primer, responden (lansia) akan
diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan. Kemudian
dilakukan kajian etik untuk memberikan kepastian perlindungan kepada
responden. Responden akan memberikan tanda tangannya dalam informed
consent sebagai bentuk persetujuan dari penelitian yang dilakukan.
1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung,


meliputi karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, riwayat penyakit), karakteristik keluarga (pendapatan keluarga,
jumlah anak).

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak


langsung, meliputi gambaran umum Puskesmas Karangayu Kota
Semarang.

Instrumen pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian


ini yaitu:

a. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi data karakteristik


individu yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, riwayat
penyakit.
b. Pengukuran berat badan (BB) diukur dengan menggunakan timbangan
injak dengan ketelitian 0,1 kg. Lansia berdiri di atas timbangan dan
pandangan lurus ke depan tanpa menggenggam ataupun menyentuh
apapun, sepatu, tas, barang lain yang dikenakan juga dilepas,
kemudian angka yang muncul akan dibaca.

c. Tinggi badan (TB) diukur dengan menggunakan alat microtoise dengan


ketelitian 0,1 cm. Lansia melepaskan alas kaki dan penutup kepala jika
ada. Lansia berdiri dalam keadaaan tegak dengan membelakangi dinding,
kaki lurus, bahu dalam keadaan rileks. Belakang tumit, betis, bokong,
belakang bahu dan kepala belakang lansia menempel pada dinding.
Pandangan lurus ke depan dan diminta untuk menarik nafas dalam.
Petugas menurunkan microtoise sampai rapat pada kepala bagian
atas, siku-siku microtoise lurus menempel pada dinding, kemudian baca
angka pada skala yang nampak pada lubang gulungan microtoise. IMT
dihitung dengan rumus BB (kg) dibagi TB (m2).
d. Untuk mengukur kekuatan otot genggam adalah dengan menggunakan
alat hand-grip dynamometer yang dapat mengukur gaya 0-100 kg dengan
cara berdiri atau duduk tegak, pilih salah satu tangan yang lebih dominan
digunakan. Setelah itu, tangan ditekuk membentuk 900, sesuaikan posisi
ukuran genggaman dengan tangan. Lakukan sebanyak 3x pengulangan
dengan istirahat 1 menit di antara percobaan. Baca penunjukkan jarum
pada skala (dalam satuan kg). Hasil pengukuran adalah nilai tertinggi
yang dicapai dari 3x percobaan.
e. Pengisisan Kuesioner Recall 3x24 jam untuk menilai asupan makanan
lansia.

H. Analisis Data

1. Pengolahan Data

a. Penyuntingan Data (Cleaning)

Penyuntingan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data


yang sudah diperoleh.

b. Pengkodean Data (Coding)

Pengelompokan data dan pemberian kode atau nilai pada


pertanyaan-pertanyaan yang diberikan untuk mempermudah
dalam memasukkan data atau analisis data. Kemudian tiap
variabel dikategorikan sesuai jumlah skor/nilai untuk masing-
masing variabel.
c. Entry Data

Memasukkan data pada program komputer sebelum dianalisis,


dimana data ditabulasikan.

d. Cleaning Data

Mengkoreksi data sebelum analisis agar kualitas data terjaga.

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi


17.0. Analisis pada penelitian ini menggunakan 2 jenis analisis
yaitu analisis univariat, analisis bivariat,

a. Analisis Unvariat

Analisis data univariat dilakukan untuk memperoleh


tingkat kekuatan otot genggam pada lansia
b. Analisis Bivariat

Analisis data bivariat dilakukan untuk memperoleh nilai


hubungan kekuatan genggaman tangan lansia dengan karakteristik
antropometri.

Anda mungkin juga menyukai