Anda di halaman 1dari 7

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal vital yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kesehatan
merupakan suatu keadaan yang bukan sekadar ketiadaan suatu penyakit atau
kecacatan, tetapi merupakan suatu keadaan baik secara menyeluruh termasuk
kondisi fisik, mental dan sosialnya (World Health Organitation, 2010). Sedangkan
menurut Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, mendefinisikan
kesehatan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.

Salah satu cara menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. Olahraga adalah
segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (Undang-Undang No. 3
Tahun 2005). Latihan fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal
tubuh yang selanjutnya akan mengubah tingkat kesegaran jasmani (Syatria,
2006). Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunani,
Puspitasari, dan Sulistyawati (2013) yang menyimpulkan bahwa semakin sering
melakukan olahraga dalam hal ini olahraga renang, maka kapasitas vital paru akan
meningkat.

Menyelam adalah salah satu aktivitas bawah air yang saat ini telah banyak
dinikmati sebagai salah satu cabang olahraga. Sebelumnya penyelaman hanya
digunakan untuk kepentingan komersiil dan militer (Herman, Yunus, Harahap, &
Rasmin, 2011). Teknologi penyelaman saat ini sudah semakin berkembang
Seiring dengan kemajuan bidang hiperbarik. Tempat yang tidak mungkin dicapai
kini dapat dijelajah. Beberapa faktor dapat mempengaruhi penyelam sehingga
berpengaruh terhadap faal dan menyebabkan kerusakan paru dan jalan napas
disamping peningkatan kerja otot-otot pernapasan. Apabila penyelam turun makin
dalam ke dasar laut, paru akan terpajan oleh peningkatan tekanan PO 2 di samping

1
2

penyakit lain yang berhubungan dengan penyelaman semakin sering seseorang


melakukan penyelaman akan semakin besar risiko kelainan faal paru yang
mungkin terjadi (Herman, dkk, 2011).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyelam selama


penyelaman seperti resiko tenggelam, turunnya suhu dan peningkatan tekanan
lingkungan. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi perubahan hemodinamik.
Perubahan hemodinamik yang dimaksud berupa peningkatan aliran darah dari
perifer ke rongga dan juga meningkatkan volume darah intratoraks sekitar 700 ml
yang akan menurunkan volume paru secara mekanis sekitar 300 ml dari KV yang
mirip dengan pajanan suhu rendah (Herman, Yunus, Harahap, & Rasmin, 2011).
Salah satu gangguan paru yang sering terdeteksi adalah obstruksi dan retraksi
yang ditandai dengan penurunan kapasital vital paru.

Paru-paru merupakan bagian sistem respirasi manusia berupa sepasang organ


besar berbentuk kantong di rongga dada (thoracic cavity) (Finahari, 2008). Salah
satu indikator pemeriksaan fungsi paru adalah pemeriksaan kapasitas paru yang
diukur dengan spirometer. Jumlah udara gabungan dari volume cadangan
inspirasi, volume tidal, dan volume cadangan ekspirasi yang dapat dikeluarkan
maksimal setelah inspirasi maksimal disebut kapasitas vital atau vital capacity
(VC). Force Vital Capacity (FVC) sama dengan VC tetapi dilakukan secara cepat
dan paksa. Jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam satu
detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal adalah
Force Expiration Volume (FEV) satu second atau volume ekspirasi paksa detik
pertama selanjutnya disebut FEV1 (Nisa, Sidharti, & Adityo, 2015). Hasil
pengukuran FEV1 inilah yang bisa dijadikan salah satu parameter fungsi paru.

Beberapa orang yang memiliki hobi maupun tujuan lain membentuk suatu
komunitas menyelam sehingga mereka menyelam secara rutin. Menurut data
American Family Physician (AFP), 90 kematian akibat penyelaman terjadi setiap
tahun dan 1000 orang harus menerima terapi recompresi untuk mengatasi masalah
kesehatan setelah penyelaman. Di Indonesia, puskesmas daerah Ujung Tanah kota
Makasar mencatat, dari tahun 2000 hingga 2006 terdapat 13 orang penyelam
3

meninggal dunia (Paskarini, Tualeka, Ardianto, & Dwiyanti, 2013). Menurut hasil
penelitian yang dilakukan pada penyelam profesional di Manado, dari seluruh
sampel 39,2% diantaranya mengalami restriksi ringan, 3,6% mengalami restriksi
sedang dan 3,6% lainnya mengalami restriksi berat. Restriksi sendiri merupakan
salah satu gangguan paru berupa penurunan ekspansi paru (Numbery, Joseph,
Maramis, & Kawatu, 2012).

Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap paru, diperlukan adanya tindak
pencegahan. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
deteksi dini atau skrining. Menurut Rajab (2009), skrining adalah suatu penerapan
uji atau tes terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala dengan tujuan
mengelompokkan mereka ke dalam kelompok yang mungkin menderita penyakit
tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit bukan merupakan alat
diagnostik. Tujuan skrining atau deteksi dini sendiri adalah untuk menemukan
atau mendapakan penyakit dalam keadaan dini untuk memperbaiki prognosis
karena pengobatan dilakukan sebelum munculnya manifestasi klinis. Selain itu,
tindakan pencegahan dan terapi serta latihan untuk mencegah penyakit muncul
juga bisa dilakukan jika saat deteksi dini didapatkan individu beresiko untuk
mengalami penyakit tertentu. Salah satu uji deteksi dini untuk mengetahui fungsi
paru adalah pemeriksaan kapasitas vital paru dalam hal ini adalah volume
ekspirasi paksa atau force expiration volume untuk mengetahui adanya kelainan
paru berupa obstruksi atau restriksi. Penyakit paru obstruktif dan penyakit paru
restriktif adalah dua kategori penyakit utama dari penyakit saluran pernapasan
bawah. Penyakit obstruksi paru disebabkan krena obstruksi atau penyempitan
jalan nafas atau saluran nafas karena meningkatnya tahanan aliran udara ke
jaringan paru. Pada penyakit paru restriktif terjadi pengurangan kapasitas paru
total yang disebabkan oleh adanya akumulasi cairan atau hilangnya kelenturan
paru. Edema pulmonar, fibrosis pulmonar, pneumonitis, tumor paru, kelainan
vertebra toraks (skoliosis), dan gangguan yang menyerang otot dinding toraks
seperti miastenia grafis adalah tipe dan penyebab dari penyakit pulmonar restriktif
(Kee & Hayes, 2007). Menurut Davey (2005), gambaran klinis dari penyakit
obstruksi paru adalah adanya gejala batuk dan nafas pendek yang bersifat
4

progresif dan lambat. Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan derajat obstruksi


saluran pernapasan (volume ekspirasi 1 detik atau FEV1).

Hasil penelitian juga membuktikan bahwa hasil dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Paskarini, Tualeka, Ardianto, & Dwiyanti (2013) dari hasil uji
FEV pada beberapa penyelam didapatkan 11 orang atau 39,2% diantaranya
mengalami restriksi ringan, 1 orang atau 3,6% mengalami restriksi sedang dan 1
orang atau 3,6% lainnya mengalami restriksi berat. Sehingga individu terkait bisa
diberikan saran untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Menurut WHO, penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu jenis
penyakit yang paling berbahaya. Obstruksi paru dan asma merupakan salah satu
dari empat penyakit tidak menular paling mematikan di dunia (RISKESDAS,
2013). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh kementrian kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa masalah penyakit tidak
menular masih merupakan salah satu penyakit yang pelu diperhitungkan di
Indonesia. Salah satu yang tertinggi adalah masalah pada paru meliputi asma,
kanker, dan obstruksi paru. Tercatat dari hasil peneltian, terdapat total 508.330
orang dari 1.027.763 sampel mengalami mengalami obstruksi paru. Sebagian
besar penderita berumur < 30 tahun. Sedangkan dari seluruh wilayah Indonesia,
angka prevalensi gangguan paru cukup merata di berbagai wilayah. Bali sendiri
merupakan salah satu wilayah yang penduduknya rentan mengalami gangguan
paru. Tercatat prevalensi kejadian PPOK di Bali mencapai 3,5 o/oo, asma 6,2
o/oo, dan persentase kanker 2,0 o/oo (Kementrian Kesehatan, 2013). Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2012, Buleleng menempati tiga
besar tingkat kematian penduduk yang mengalami gangguan paru.

Pada studi pendahuluan yang telah dilakukan kepada para penyelam desa Les dan
Penuktukan didapatkan data total anggota komunitas yang terdata sekitar 50 orang
yang rutin melakukan penyelaman dan seluruhnya merupakan laki-laki. Dari
wawancara yang dilakukan kepada 11 orang penyelam, tiga orang mengeluh nyeri
dada dan satu orang diantaranya masih mengeluhkannya hingga saat ini. Empat
5

orang mengatakan pernah mengeluh sesak dan satu orang pernah diopname di RS
Sanglah dengan keluhan sesak yang merupakan gambaran klinis dari. Hampir
seluruh penyelam pernah mengalami nyeri telinga serta pilek beberapa hari
setelah penyelaman. Metode penyelaman yang biasanya digunakan adalah
thetered diving, breath holding atau free diving, dan SCUBA (Self-Contained
Underwater Breathing Apparatus) diving dengan kedalaman berkisar 10 hingga
30 meter. Ketua komunitas penyelam mengatakan bahwa pernah terjadi insiden
meninggal karena gangguan paru akibat kesalahan saat menuju permukaan namun
hal tersebut belum pernah dipublikasikan atau dilaporkan secara resmi.
Sedangkan, para penyelam di Desa Les belum pernah dilakukan pemeriksaan
ataupun skrining untuk mengetahui apakah terdapat gangguan paru-paru secara
lebih dini.

Berdasarkan hasil uraian di atas, didapatkan bahwa menyelam merupakan salah


satu faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan paru. Kejadian gangguan
paru merupakan salah satu kejadian dengan tingkat kerentanan yang tinggi di Bali.
Prevalensi kejadian gangguan paru di Buleleng masuk ke urutan tiga besar. Oleh
karena itu, diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui hubungan aktivitas
menyelam yaitu kedalaman serta metode yang digunakan dengan menggunakan
alat pengumpul data yang peneliti miliki. Mengingat pentingnya manfaat deteksi
dini dalam pencegahan penyakit khususnya penyakit paru penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Aktivitas Menyelam dengan
Kapasitas Vital Paru Pada Penyelam di Desa Les, Kecamatan Tejakula,
Kabupaten Buleleng”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian


sebagai berikut: “Adakah Hubungan Aktivitas Menyelam dengan Kapasitas Vital
Paru Pada Penyelam di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng?”
6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisa apakah ada Hubungan
Aktivitas Menyelam Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Penyelam Di Desa Les,
Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan:


a. Mengidentifikasi karakteristik penyelam di Desa Les
b. Mengidentifikasi aktivitas menyelam yaitu kedalaman dan metode
penyelaman pada penyelam di Desa Les
c. Mengidentifikasi kapasitas vital paru pada penyelam di desa Les
d. Menganalis hubungan aktivitas menyelam dengan kapasitas vital paru pada
penyelam.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan pengetahuan


dalam bidang keperawatan medikal bedah mengenai hubungan menyelam
dengan kapasitas vital paru sehingga dapat dijadikan acuan untuk menjaga
kesehatan paru-paru.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar atau acuan bagi peneliti
selanjutnya dalam mencari hubungan atau pengaruh penatalaksanaan terapi
lain terhadap kapasitas vital paru pada penyelam ataupun pada populasi yang
lain sehingga dapat menjamin tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya.
7

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai deteksi dini atau skrining
penyakit paru-paru khusunya pada penyelam.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan upaya untuk menentukan
penatalaksanaan yang tepat untuk menjaga kesehatan paru-paru penyelam.
c. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk
pendidikan kesehatan paru-paru khususnya para penyelam baik pecinta
terumbu karang, nelayan, maupun penyelam rekreasi.

Anda mungkin juga menyukai