Kode Etik
Kode Etik
Oleh:
Julian Adrian Halim 201900040001
Puspa Triani Adinda 201900040029
Agnessya Elisabeth Paka 201900040036
Kartika Iasyah 201900040039
Peran hukum dalam kaitan dengan praktek psikolog Industri dan Organisasi
Hukum adalah kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam masyarakat,
dimana bertujuan untuk melayani dan mengatur masyarakat serta melindungi kepentingan
masyarakat itu sendiri demi (Rahardjo, 1996). Hukum berperan sebagai penertib dalam
menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam masyarakat dan penjaga keseimbangan untuk
keharmonisan masyarakat (Reksodiputro, 1994). Dalam kaitannya dengan praktik psikologi,
maka hukum itu diwujudkan dalam bentuk kode etik psikologi Indonesia. Kode Etik
Psikologi Indonesia difungsikan sebagai standar pengaturan diri bagi psikolog dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Dalam kode etik psikologi Indonesia, seorang psikolog wajib menghormati harkat
maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (Himpunan
Psikologi Indonesia, 2010). Psikolog dalam praktiknya harus berlandaskan nilai-nilai etik
psikologi dalam memanfaatkan pengetahuan dan kompetensinya sehingga bermanfaat bagi
kesejahteraan manusia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Selain itu, psikolog juga
dituntut untuk selalu berupaya menjamin kesejahteraan manusia dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat pengguna layanan psikologi, serta pihak terkait layanan
psikologi atau pihak yang menjadi objek studi (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Adanya kode etik psikologi yang berdasarkan pada prinsip nilai-nilai luhur pancasila dan
undang-undang dasar 1945 serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya adalah sebagai
upaya untuk mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh komunitas psikologi dan pihak
lain (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Sejalan dengan tujuan adanya hukum dalam
kehidupan masyarakat, untuk melindungi pengguna layanan psikologi maupun psikolog itu
sendiri, maka perlu adanya kode etik yang mengatur kegiatan atau praktik psikologi.
Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) merupakan cabang dari ilmu psikologi yang
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi di tempat kerja (Aamodt, 2016). Dengan tujuan
berfokus pada manusia dalam meningkatkan martabat, kinerja, serta organisasi tempat
mereka bekerja dengan cara memajukan ilmu pengetahuan dan perilaku tentang manusia
(Rucci, dalam Aamodt, 2016). Psikolog industri dan organisasi adalah ilmuwan atau praktisi
yang memiliki keahlian dalam desain, eksekusi serta interpretasi penelitian dalam psikologi
dan mengaplikasikan penemuannya untuk membantu masalah manusia dan organisasi dalam
konteks pekerjaan (American Psychological Association, 2019).
Psikolog industri dan organisasi umumnya bekerja mengatasi permasalahan di
perusahaan atau organisasi yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi dan penempatan,
pelatihan dan pengembangan, pengukuran performa, motivasi tempat kerja dan sistem
penghargaan untuk pekerja, kualitas kehidupan dan pekerjaan pekerja, struktur pekerjaan dan
faktor-faktor manusia, pengembangan organisasi dan perilaku konsumen (American
Psychological Association, 2019). Kode etik psikologi dalam kaitannya dengan praktek
psikolog industri dan organisasi adalah mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a) Sikap profesional dalam mengerjakan tugas di perusahaan atau organisasi
- Mengerjakan tugas sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan pekerjaan yang
telah ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi (misalnya: menjalankan rekrutmen)
- Mengerjakan tugas tanpa melibatkan kepentingan pribadi atau kepentingan tertentu
lainnya yang dapat merusak objektivitas dan efektivitas kerja.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 13, pasal 17
- Undang-undang yang terkait: pasal 1 dan pasal 127 (UU Ketenagakerjaan), pasal 60
(UU Tenaga Kesehatan)
b) Hubungan antar manusia dalam perusahaan atau organisasi
- Hubungan yang mestinya terjalin dalam perusahaan dan organisasi adalah profesional.
Profesional yang dimaksud adalah individu berperilaku sesuai dengan kode etik yang
berlaku dalam perusahaan atau organisasi maupun undang-undang yang berlaku,
dimana individu di dalamnya bersikap secara profesional baik terhadap atasan,
kolega, mitra, klien, dan sebagainya yang terlibat dalam perusahaan atau organisasi.
- Tidak meremehkan ataupun melakukan pelecehan terhadap seluruh individu dalam
perusahaan atau organisasi. Wajib menghormati dan menghargai seluruh individu di
dalam perusahaan atau organisasi sebagai manusia.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 14, pasal 19, pasal 15, pasal 18,
- Undang-undang yang terkait: pasal 60 (UU Tenaga Kesehatan), pasal 1 dan pasal 82
(UU Ketenagakerjaan)
c) Kerahasiaan data dalam perusahaan atau organisasi
- Kerahasiaan data proses rekrutmen. Data-data yang diperoleh dari proses rekrutmen
perlu dirahasiakan agar tidak merugikan individu yang terlibat (misalnya: pelamar
kerja).
- Kerahasiaan data perusahaan atau organisasi terkait keuangan, permasalahan internal,
gaji pekerja, performa pekerja, kualitas kehidupan dan pekerjaan pekerja, beserta data
lain terkait faktor-faktor manusia di dalamnya yang dapat berpengaruh terhadap nama
baik perusahaan atau organisasi. Data-data tersebut perlu untuk dirahasiakan agar
tidak mencemari nama baik perusahaan atau organisasi.
- Kerahasiaan data personal pekerja. Data-data personal pekerja atau hasil pemeriksaan
tertentu yang bersifat personal perlu untuk dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Jika
dibutuhkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan dan sebagainya, maka perlu untuk
menyamarkan nama pegawai demi kenyamanan pegawai itu sendiri dan nama baik
perusahaan atau organisasi.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 20, pasal 40, pasal 41, pasal 23, pasal 24, pasal
26, pasal 39
- Undang-undang yang terkait: pasal 73 dan pasal 82 (UU Tenaga Kesehatan), pasal 86
(UU Ketenagakerjaan)
d) Bekerja sesuai prinsip asesmen, mengikuti peraturan perusahaan atau organisasi dan kode
etik yang berlaku.
- Prosedur evaluasi untuk pekerja, perusahaan bahkan organisasi yang dilakukan secara
sistematis. Termasuk melakukan observasi, wawancara serta menggunakan
seperangkat instrumen alat tes untuk dilakukan penilaian dan/atau pemeriksaan
psikologi terhadap para pekerja.
- Dalam melakukan asesmen diperlukan informed consent. Diperlukan persetujuan
dalam melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi dengan pihak-pihak terkait dalam
perusahaan maupun organisasi seperti dengan pekerja. Dengan demikian, hasil
dan/atau data yang diperoleh hanya dipergunakan untuk kepentingan sebuah
perusahaan atau organisasi.
- Interpretasi bahkan penyampaian data dan hasil asesmen harus memperhatikan kaidah
yang berlaku sesuai dengan instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen
terhadap perusahaan, pekerja maupun organisasi. Serta turut menjaga kelengkapan
dan keamanan dari alat, data dan hasil asesmen yang diperoleh.
- Kode etik terkait: pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 66, pasal 67, pasal 68
- Undang-undang terkait: pasal 60, pasal 73, pasal 82 (UU Tenaga Kesehatan), dan
pasal 1, pasal 86, pasal 127 (UU Ketenagakerjaan)
Kode Etik Psikologi mengenai Hubungan Antar Manusia terkait Profesi Psikolog PIO:
● Pasal 13: Sikap Profesional pada bagian a sampai e: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam
memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau
organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta kewajibannya untuk
● Pasal 14: Pelecehan, pada nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan
secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang
berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku,
bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial ekonomi.
● Pasal 15: Penghindaran Dampak Buruk: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil
langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna
layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan
dampak buruk untuk hal-hal yang terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal
seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat
informasi tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.
● Pasal 17: Konflik Kepentingan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari
melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial,
kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau
efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau
berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan
pengguna layanan psikologi tersebut.
● Pasal 18: Eksploitasi, pada nomor 1 bagian a dan e dan nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu seperti
pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang di supervisi, evaluasi
serta hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.
Kemudian, tidak melakukan hal-hal yang mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi dalam
memanipulasi atau data-data digunakan untuk kepentingan pribadi.
● Pasal 19: Hubungan Profesional, pada nomor 1 bagian a sampai d dan nomor 2 bagian a dan b:
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu
hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan
dengan profesi lain.
● Pasal 20: Informed Consent: Setiap proses di bidang Psikologi meliputi penilaian, pendidikan,
pelatihan, asesmen, pelatihan dan intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan
informed consent. Mengenai informed consent maka hal ini berkaitan dengan kode etik pasal 41
tentang Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan nomor 1 sampai 3.
Kemudian, berkaitan juga dengan pasal 40 mengenai Informed Consent dalam Pendidikan
dan/atau pelatihan.
Kode Etik Psikologi mengenai Kerahasiaan Rekam dan Hasil Pemeriksaan Psikologi
terkait Psikolog PIO
● Pasal 23: Rekam Psikologi, pada nomor 1 bagian a, c, d, e dan nomor 2 bagian a dan b. Pasal ini
mengatakan jenis rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
● Pasal 24: Mempertahankan Kerahasiaan Data: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib
memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam
hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data hanya digunakan
untuk pemberian layanan Psikologi. Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi
harus dimasukkan ke data dasar atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak
dapat diterima oleh yang bersangkutan maka harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat
melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.
● Pasal 26: Pengungkapan Kerahasiaan Data, pada nomor 1, 2 dan 3: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi sejak awal harus sudah merencanakan agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya
dan tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus
hubungan dengan posisi atau tempat prakteknya. Selanjutnya, ada prinsip legal yang mengatur
klasifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan dan pemusnahan data atau catatan. Ada juga
mengenai pencatatan data yang mengenai kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data
pengguna layanan psikologi. Kemudian, jika diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka
keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu yang memerlukan pelayanan profesional
(perorangan/organisasi) serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau
kesulitan.
Kode Etik Psikologi mengenai Pendidikan dan/atau Pelatihan terkait Psikolog PIO
● Pasal 39: Keakuratan dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana pendidikan dan/atau pelatihan
berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan
dibahas serta berdasarkan kajian teoritik maupun bukti-bukti empiris yang ada.
● Pasal 44: Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang
yang di Supervisi, nomor 1 dan nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat
dalam keakraban seksual dengan peserta pendidikan/pelatihan atau orang yang sedang disupervisi
dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang untuk menilai atau
mengevaluasi mereka. Selanjutnya, jika tidak terhindari dari hubungan khusus maka harus
dialihkan pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan netral dengan
peserta.
Kode Etik Psikologi mengenai Asesmen terkait Psikolog PIO
● Pasal 62 tentang Dasar Asesmen: Asesmen psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan
secara sistematis. Termasuk di dalam asesmen psikologi adalah prosedur observasi wawancara,
pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan
penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.
● Pasal 63: Penggunaan Asesmen: Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik
asesmen psikologi, (wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes)
dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi
untuk tujuan yang jelas baik dari sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan,
kategori dan kompetensi yang disyaratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan.
● Pasal 64: Informed Consent dalam Asesmen: Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi harus
memperoleh persetujuan untuk melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik
lain sebagaimana dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali; jika asesmen diatur oleh
peraturan pemerintah atau hukum, adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan
sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau organisasi secara rutin. Dan jika
asesmen tersebut digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang menjalani
pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau
perkara.
● Pasal 65: Interpretasi Hasil Asesmen: Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi
harus mempertimbangkan berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta
asesmen seperti keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang
mungkin ke semua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi
keputusan.
● Pasal 66: Penyampaian Data dan Hasil Asesmen, pada nomor 1 sampai 3: Data asesmen
Psikologi adalah data alat/instrumen psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap
pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis yang akan menjadi kewenangan
Psikologi dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan untuk
kepentingan yang lain seperti kesejahteraan individu maka data ini dapat disampaikan kepada
sesama profesi. Hasil dari asesmen ini merupakan rangkuman atau integrasi dari seluruh proses
pelaksanaan asesmen yang menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan serta
mampu memperhatikan kemampuan dari pengguna layanan psikologi dalam menyampaikan hasil
asesmen seperti bahasa atau istilah yang digunakan.
● Pasal 67: Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen, nomor 2 sampai 3: Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan instrumen/alat tes psikologi, data
dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan, sistem, hukum dan kewajiban yang
berlaku dalam kode etik ini. Serta mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan kewenangan yang
berlaku dan bertanggung jawab terhadap alat asesmen psikologi di instansi/organisasi tempat ia
bekerja.
● Pasal 68 tentang Dasar Intervensi: Intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sistematis dan terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok
orang/masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan
atau sebagai usaha preventif maupun kuratif.
Rahardjo, S. (1996). Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam
Pembangunan Hukum dan Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali
Press.
Trade Union Rights Centre. (2015). Kasus: Perjuangan buruh kontrak (kasus pekerja
kontrak di PT Framas Indonesia). Ditemu kembali dari https://www.turc.or.id/kasus-
perjuangan-buruh-kontrak-kasus-pekerja-kontrak-di-pt-framas-indonesia/
Tirto.id. (2017). Eksploitasi kerja di pabrik aice, sponsor Asian games 2018.
https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h.
Diakses: 21 November 2019.