Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER

KODE ETIK PSIKOLOGI

Oleh:
Julian Adrian Halim 201900040001
Puspa Triani Adinda 201900040029
Agnessya Elisabeth Paka 201900040036
Kartika Iasyah 201900040039

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2019

Peran hukum dalam kaitan dengan praktek psikolog Industri dan Organisasi
Hukum adalah kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam masyarakat,
dimana bertujuan untuk melayani dan mengatur masyarakat serta melindungi kepentingan
masyarakat itu sendiri demi (Rahardjo, 1996). Hukum berperan sebagai penertib dalam
menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam masyarakat dan penjaga keseimbangan untuk
keharmonisan masyarakat (Reksodiputro, 1994). Dalam kaitannya dengan praktik psikologi,
maka hukum itu diwujudkan dalam bentuk kode etik psikologi Indonesia. Kode Etik
Psikologi Indonesia difungsikan sebagai standar pengaturan diri bagi psikolog dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Dalam kode etik psikologi Indonesia, seorang psikolog wajib menghormati harkat
maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (Himpunan
Psikologi Indonesia, 2010). Psikolog dalam praktiknya harus berlandaskan nilai-nilai etik
psikologi dalam memanfaatkan pengetahuan dan kompetensinya sehingga bermanfaat bagi
kesejahteraan manusia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Selain itu, psikolog juga
dituntut untuk selalu berupaya menjamin kesejahteraan manusia dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat pengguna layanan psikologi, serta pihak terkait layanan
psikologi atau pihak yang menjadi objek studi (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Adanya kode etik psikologi yang berdasarkan pada prinsip nilai-nilai luhur pancasila dan
undang-undang dasar 1945 serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya adalah sebagai
upaya untuk mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh komunitas psikologi dan pihak
lain (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Sejalan dengan tujuan adanya hukum dalam
kehidupan masyarakat, untuk melindungi pengguna layanan psikologi maupun psikolog itu
sendiri, maka perlu adanya kode etik yang mengatur kegiatan atau praktik psikologi.
Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) merupakan cabang dari ilmu psikologi yang
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi di tempat kerja (Aamodt, 2016). Dengan tujuan
berfokus pada manusia dalam meningkatkan martabat, kinerja, serta organisasi tempat
mereka bekerja dengan cara memajukan ilmu pengetahuan dan perilaku tentang manusia
(Rucci, dalam Aamodt, 2016). Psikolog industri dan organisasi adalah ilmuwan atau praktisi
yang memiliki keahlian dalam desain, eksekusi serta interpretasi penelitian dalam psikologi
dan mengaplikasikan penemuannya untuk membantu masalah manusia dan organisasi dalam
konteks pekerjaan (American Psychological Association, 2019).
Psikolog industri dan organisasi umumnya bekerja mengatasi permasalahan di
perusahaan atau organisasi yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi dan penempatan,
pelatihan dan pengembangan, pengukuran performa, motivasi tempat kerja dan sistem
penghargaan untuk pekerja, kualitas kehidupan dan pekerjaan pekerja, struktur pekerjaan dan
faktor-faktor manusia, pengembangan organisasi dan perilaku konsumen (American
Psychological Association, 2019). Kode etik psikologi dalam kaitannya dengan praktek
psikolog industri dan organisasi adalah mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a) Sikap profesional dalam mengerjakan tugas di perusahaan atau organisasi
- Mengerjakan tugas sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan pekerjaan yang
telah ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi (misalnya: menjalankan rekrutmen)
- Mengerjakan tugas tanpa melibatkan kepentingan pribadi atau kepentingan tertentu
lainnya yang dapat merusak objektivitas dan efektivitas kerja.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 13, pasal 17
- Undang-undang yang terkait: pasal 1 dan pasal 127 (UU Ketenagakerjaan), pasal 60
(UU Tenaga Kesehatan)
b) Hubungan antar manusia dalam perusahaan atau organisasi
- Hubungan yang mestinya terjalin dalam perusahaan dan organisasi adalah profesional.
Profesional yang dimaksud adalah individu berperilaku sesuai dengan kode etik yang
berlaku dalam perusahaan atau organisasi maupun undang-undang yang berlaku,
dimana individu di dalamnya bersikap secara profesional baik terhadap atasan,
kolega, mitra, klien, dan sebagainya yang terlibat dalam perusahaan atau organisasi.
- Tidak meremehkan ataupun melakukan pelecehan terhadap seluruh individu dalam
perusahaan atau organisasi. Wajib menghormati dan menghargai seluruh individu di
dalam perusahaan atau organisasi sebagai manusia.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 14, pasal 19, pasal 15, pasal 18,
- Undang-undang yang terkait: pasal 60 (UU Tenaga Kesehatan), pasal 1 dan pasal 82
(UU Ketenagakerjaan)
c) Kerahasiaan data dalam perusahaan atau organisasi
- Kerahasiaan data proses rekrutmen. Data-data yang diperoleh dari proses rekrutmen
perlu dirahasiakan agar tidak merugikan individu yang terlibat (misalnya: pelamar
kerja).
- Kerahasiaan data perusahaan atau organisasi terkait keuangan, permasalahan internal,
gaji pekerja, performa pekerja, kualitas kehidupan dan pekerjaan pekerja, beserta data
lain terkait faktor-faktor manusia di dalamnya yang dapat berpengaruh terhadap nama
baik perusahaan atau organisasi. Data-data tersebut perlu untuk dirahasiakan agar
tidak mencemari nama baik perusahaan atau organisasi.
- Kerahasiaan data personal pekerja. Data-data personal pekerja atau hasil pemeriksaan
tertentu yang bersifat personal perlu untuk dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Jika
dibutuhkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan dan sebagainya, maka perlu untuk
menyamarkan nama pegawai demi kenyamanan pegawai itu sendiri dan nama baik
perusahaan atau organisasi.
- Kode etik psikologi yang terkait: pasal 20, pasal 40, pasal 41, pasal 23, pasal 24, pasal
26, pasal 39
- Undang-undang yang terkait: pasal 73 dan pasal 82 (UU Tenaga Kesehatan), pasal 86
(UU Ketenagakerjaan)
d) Bekerja sesuai prinsip asesmen, mengikuti peraturan perusahaan atau organisasi dan kode
etik yang berlaku.
- Prosedur evaluasi untuk pekerja, perusahaan bahkan organisasi yang dilakukan secara
sistematis. Termasuk melakukan observasi, wawancara serta menggunakan
seperangkat instrumen alat tes untuk dilakukan penilaian dan/atau pemeriksaan
psikologi terhadap para pekerja.
- Dalam melakukan asesmen diperlukan informed consent. Diperlukan persetujuan
dalam melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi dengan pihak-pihak terkait dalam
perusahaan maupun organisasi seperti dengan pekerja. Dengan demikian, hasil
dan/atau data yang diperoleh hanya dipergunakan untuk kepentingan sebuah
perusahaan atau organisasi.
- Interpretasi bahkan penyampaian data dan hasil asesmen harus memperhatikan kaidah
yang berlaku sesuai dengan instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen
terhadap perusahaan, pekerja maupun organisasi. Serta turut menjaga kelengkapan
dan keamanan dari alat, data dan hasil asesmen yang diperoleh.
- Kode etik terkait: pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 66, pasal 67, pasal 68
- Undang-undang terkait: pasal 60, pasal 73, pasal 82 (UU Tenaga Kesehatan), dan
pasal 1, pasal 86, pasal 127 (UU Ketenagakerjaan)

Kode Etik Psikologi mengenai Hubungan Antar Manusia terkait Profesi Psikolog PIO:
● Pasal 13: Sikap Profesional pada bagian a sampai e: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam
memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau
organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta kewajibannya untuk
● Pasal 14: Pelecehan, pada nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan
secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang
berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku,
bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial ekonomi.
● Pasal 15: Penghindaran Dampak Buruk: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil
langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna
layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan
dampak buruk untuk hal-hal yang terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal
seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat
informasi tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.
● Pasal 17: Konflik Kepentingan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari
melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial,
kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau
efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau
berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan
pengguna layanan psikologi tersebut.
● Pasal 18: Eksploitasi, pada nomor 1 bagian a dan e dan nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu seperti
pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang di supervisi, evaluasi
serta hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.
Kemudian, tidak melakukan hal-hal yang mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi dalam
memanipulasi atau data-data digunakan untuk kepentingan pribadi.
● Pasal 19: Hubungan Profesional, pada nomor 1 bagian a sampai d dan nomor 2 bagian a dan b:
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu
hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan
dengan profesi lain.
● Pasal 20: Informed Consent: Setiap proses di bidang Psikologi meliputi penilaian, pendidikan,
pelatihan, asesmen, pelatihan dan intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan
informed consent. Mengenai informed consent maka hal ini berkaitan dengan kode etik pasal 41
tentang Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan nomor 1 sampai 3.
Kemudian, berkaitan juga dengan pasal 40 mengenai Informed Consent dalam Pendidikan
dan/atau pelatihan.
Kode Etik Psikologi mengenai Kerahasiaan Rekam dan Hasil Pemeriksaan Psikologi
terkait Psikolog PIO
● Pasal 23: Rekam Psikologi, pada nomor 1 bagian a, c, d, e dan nomor 2 bagian a dan b. Pasal ini
mengatakan jenis rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
● Pasal 24: Mempertahankan Kerahasiaan Data: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib
memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam
hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data hanya digunakan
untuk pemberian layanan Psikologi. Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi
harus dimasukkan ke data dasar atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak
dapat diterima oleh yang bersangkutan maka harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat
melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.
● Pasal 26: Pengungkapan Kerahasiaan Data, pada nomor 1, 2 dan 3: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi sejak awal harus sudah merencanakan agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya
dan tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus
hubungan dengan posisi atau tempat prakteknya. Selanjutnya, ada prinsip legal yang mengatur
klasifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan dan pemusnahan data atau catatan. Ada juga
mengenai pencatatan data yang mengenai kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data
pengguna layanan psikologi. Kemudian, jika diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka
keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu yang memerlukan pelayanan profesional
(perorangan/organisasi) serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau
kesulitan.
Kode Etik Psikologi mengenai Pendidikan dan/atau Pelatihan terkait Psikolog PIO
● Pasal 39: Keakuratan dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan: Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana pendidikan dan/atau pelatihan
berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan
dibahas serta berdasarkan kajian teoritik maupun bukti-bukti empiris yang ada.
● Pasal 44: Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang
yang di Supervisi, nomor 1 dan nomor 2: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat
dalam keakraban seksual dengan peserta pendidikan/pelatihan atau orang yang sedang disupervisi
dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang untuk menilai atau
mengevaluasi mereka. Selanjutnya, jika tidak terhindari dari hubungan khusus maka harus
dialihkan pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan netral dengan
peserta.
Kode Etik Psikologi mengenai Asesmen terkait Psikolog PIO
● Pasal 62 tentang Dasar Asesmen: Asesmen psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan
secara sistematis. Termasuk di dalam asesmen psikologi adalah prosedur observasi wawancara,
pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan
penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.
● Pasal 63: Penggunaan Asesmen: Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik
asesmen psikologi, (wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes)
dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi
untuk tujuan yang jelas baik dari sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan,
kategori dan kompetensi yang disyaratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan.
● Pasal 64: Informed Consent dalam Asesmen: Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi harus
memperoleh persetujuan untuk melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik
lain sebagaimana dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali; jika asesmen diatur oleh
peraturan pemerintah atau hukum, adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan
sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau organisasi secara rutin. Dan jika
asesmen tersebut digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang menjalani
pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau
perkara.
● Pasal 65: Interpretasi Hasil Asesmen: Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi
harus mempertimbangkan berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta
asesmen seperti keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang
mungkin ke semua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi
keputusan.
● Pasal 66: Penyampaian Data dan Hasil Asesmen, pada nomor 1 sampai 3: Data asesmen
Psikologi adalah data alat/instrumen psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap
pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis yang akan menjadi kewenangan
Psikologi dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan untuk
kepentingan yang lain seperti kesejahteraan individu maka data ini dapat disampaikan kepada
sesama profesi. Hasil dari asesmen ini merupakan rangkuman atau integrasi dari seluruh proses
pelaksanaan asesmen yang menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan serta
mampu memperhatikan kemampuan dari pengguna layanan psikologi dalam menyampaikan hasil
asesmen seperti bahasa atau istilah yang digunakan.
● Pasal 67: Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen, nomor 2 sampai 3: Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan instrumen/alat tes psikologi, data
dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan, sistem, hukum dan kewajiban yang
berlaku dalam kode etik ini. Serta mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan kewenangan yang
berlaku dan bertanggung jawab terhadap alat asesmen psikologi di instansi/organisasi tempat ia
bekerja.
● Pasal 68 tentang Dasar Intervensi: Intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sistematis dan terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok
orang/masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan
atau sebagai usaha preventif maupun kuratif.

Undang-Undang Tenaga Kesehatan terkait Profesi Psikolog PIO


Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
● Pasal 60: Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: (a) mengabdikan diri sesuai dengan bidang
ilmu yang dimiliki, (b) meningkatkan kompetensi, (c) bersikap dan berperilaku sesuai dengan
etika profesi, (d) mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
kelompok, dan (e) melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
● Pasal 73: (1) setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan
rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan, (2) Rahasia kesehatan penerima pelayanan
kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan penerima pelayanan kesehatan,
pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagi kepentingan penegakan hukum, permintaan
penerima pelayanan kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
● Pasal 82: (1) setiap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 73 ayat 1 akan
dikenakan sanksi administratif, (4) sanksi administratif sebagaimana dimaksud berupa teguran
lisan, peringatan tertulis, denda administratif, bahkan pencabutan izin.

Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


● Pasal 1: (2) tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
● Pasal 86: (1) setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan
dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia, (2) melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
● Pasal 127: (1) perjanjian kerja sama yang dibuat pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan
dengan perjanjian kerja sama.

Kasus-kasus Pelanggaran Peraturan Organisasi


Dalam hal ini, kelompok memilih dua kasus nyata yang berkaitan dengan Psikologi
Industri dan Organisasi (PIO). Kasus-kasus tersebut antara lain (1) Kasus Perjuangan Buruh
Kontrak (Kasus Pekerja Kontrak di PT Framas Indonesia) dan (2) Kasus Kontrak Berkali-kali
(Eksploitasi Kerja di Pabrik Es-Krim AICE Sponsor Asian Games 2018). Adapun
pembahasan kasus tersebut akan dibahas kelompok pada bagian di bawah ini;

1. Peraturan Kontrak Pekerjaan


Tentunya terdapat berbagai kasus yang terjadi. salah satunya yang kami ingin angkat
adalah mengenai kasus pekerja kontrak pada PT. Framas Indonesia (Trade Union Rights
Centre, 2015). Telah diberitakan bahwa terdapat pelanggaran kontrak pada perusahaan
tersebut. Perusahaan subkontraktor merk Adidas ini telah melakukan pemecatan pada
sebanyak 300 karyawan tanpa memberikan perhatian pada Undang-Undang no. 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan.
Sistem kontrak kerja yang digunakan oleh PT Framas Indonesia adalah yang mana
pekerja dikontrak selama 3 bulan dan kemudian diperpanjang kembali selama 3 bulan.
Dengan demikian, status para pekerja menjadi pekerja kontrak, dan bukan merupakan pekerja
tetap. Hal tersebut bahkan terjadi lebih dari 3 tahun. Alhasil, sekitar 300 pekerja menjadi
pekerja kontrak dalam durasi yang berkepanjangan yang mana melanggar aturan hukum. Para
pekerja tersebut tidak diberikan jaminan kesejahteraan serta keamanan kerja.
Pelanggaran sistem kontrak kerja juga dilakukan oleh PT Alpen Food Industry, yaitu
mempekerjakan karyawan tanpa ada kontrak tertulis mengenai perjanjian kerja waktu
tertentu. Salah satu buruh menuturkan bahwa buruh lainnya juga diperlakukan dengan sama
untuk dipekerjakan tanpa PKWT tertulis dan tetap berstatus buruh tidak tetap walaupun
sudah bekerja lebih dari 25 hari selama 3 bulan berturut-turut.
Jika dilihat secara hukum, maka Undang-Undang yang terkait adalah UU No. 13/2003
tentang ketenagakerjaan, khususnya adalah mengenai status kerja serta bab IX pasal 58 dan
59. UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan mengatur mengenai status kerja. UU No.
13/2003 berbunyi bahwa pekerja dapat dinyatakan statusnya sebagai pekerja kontrak, yang
dalam UU disebut dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), jika masa kerja
tidak melebihi dari 3 tahun. Selebihnya, maka seharusnya dianggap sebagai pekerja tetap atau
dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 disebut dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT) (UU No. 13/2003 pasal 59 ayat 7). Pasal tersebut pun adalah yang
mengatur serta melindungi terkait PKWT. Seperti UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 59
ayat 4 yang menyatakan bahwa PKWT hanya boleh selama 2 tahun dan dapat diperpanjang
selama 1 tahun. Namun, pada kasus ini, telah dijelaskan bahwa pekerja kontrak tersebut
berjalan lebih dari 3 tahun, sehingga seharusnya pekerja tersebut memiliki status PKWTT.
Selain itu, pekerja yang di PHK pun tidak menerima uang pesangon akibat “memiliki status
PKWT”, padahal seharusnya pekerja sudah berstatus PKWTT dan berhak memiliki uang
pesangon apabila mengalami PHK.

2. Peraturan Cuti Karyawan dan Cuti Melahirkan


Pelanggaran kedua terjadi pada PT Alpen Food Industry mengenai hak cuti buruh dan
cuti melahirkan bagi buruh. Buruh diminta untuk menandatangani perjanjian kerja dengan
salah satu nilai perjanjian “bersedia untuk masuk terus tanpa izin apapun alasannya”. Hal ini
telah mengabaikan hak buruh wanita untuk melaksanakan cuti melahirkan.
Jika karyawan tidak masuk, maka karyawan diminta wajib untuk menggantikan di
jam lembur, yaitu Sabtu dan Minggu atau gaji akan dipotong. Berdasarkan UU
Ketenagakerjaan No. 13/2003 Pasal 76 Ayat 2 bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan
buruh hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antar pukul 23.00-07.00, Pasal 82 Ayat 2 bahwa buruh
perempuan berhak beristirahat (cuti) selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan
setelah melahirkan menurut perhitungan dokter/bidan dan Pasal 83 bahwa setiap pekerja yang
beristirahat yang dimaksud pada pasal 79 (2) huruf b,c,dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berhak
mendapat upah penuh.

3. Peraturan Jam Kerja dan Upah Buruh


Pelanggaran ketiga yang dilakukan oleh PT Alpen Food Industry adalah peraturan
jam kerja karyawan dalam 1 minggu sejumlah 49 jam kerja dengan Sabtu Minggu masuk
sebagai jam lembur. Gaji buruh juga tidak mencapai UMP (Upah Minimum Regional) Bekasi
sebesar Rp 3.300.000 namun yang diterima buruh hanya Rp 2.700.000. Perjanjian
pembayaran uang lembur yang semula Rp 20.000 justru hanya Rp 10.000 yang diterima para
buruh. Hal ini tentu melanggar peraturan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 mengenai jam
kerja karyawan dalam pasal 77 Ayat 2 (a) bahwa waktu kerja adalah 7 jam dalam 1 hari, 40
jam untuk satu minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Hal ini dilanggar karena karyawan
pada akhir pekan diharuskan masuk untuk dijadikan jam lembur. Pasal 79 ayat 2 (a) bahwa
buruh berhak mendapat istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja dalam 1 minggu atau
2 hari untuk lima hari kerja dalam 1 minggu. Pada UU Ketenagakerjaan No 13/2003 pasal 88
ayat 1 menjelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 90 ayat 1 mendukung pasal
sebelumnya bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

4. Peraturan Jaminan Kesejahteraan Hidup Buruh


Pelanggaran keempat yang dilakukan PT Alpen Food Industry adalah tidak adanya
jaminan kesejahteraan hidup buruh. Hal ini dilihat dari perusahaan yang tidak menyediakan
fasilitas BPJS bagi karyawan. Padahal, kesejahteraan karyawan seharusnya terjamin dan
sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003 pada pasal 99 ayat 1 bahwa setiap
pekerja/buruh dan keluarganya berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, yang
didukung lagi pada pasal 100 ayat 1 bahwa perusahaan wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan. Pada UU No 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional bahwa
Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal
dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya.

Fungsi Hukum untuk Psikolog Industri Organisasi


Dalam kasus ini, sangat dibutuhkannya pengetahuan akan hukum yang berlaku
setempat. Jika dilihat kembali, kasus ini merupakan kasus yang melibatkan sumber daya
manusia dalam perusahaan. Maka salah satu kompetensi seorang psikolog atau profesional
dalam bidang HRM (Human Resource management) ini seharusnya mengenal lebih lanjut
mengenai UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Jika tidak mengetahui mengenai
UU No 13/2003 ini, maka sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam HRM. Kekeliruan
tersebut dapat berdampak sangat besar terhadap baik pihak perusahaan maupun pihak pekerja
itu sendiri.
Adapun juga sebagai praktisi dalam bidang HRM membutuhkan pengetahuan
mengenai status pekerja. Seperti pada kasus ini, praktisi harus dapat membedakan kapan
pekerja disebut PKWT dan kapan sudah memenuhi syarat PKWTT. Jika terabaikan, maka
dampaknya akan menyebar luas. Hak pekerja dengan PKWT dan PKWTT sangat berbeda.
Sebagai contohnya, PKWTT, apabila mengalami PHK, berhak memperoleh uang pesangon
sesuai dengan UU. Apabila tidak memahami hal tersebut, maka hak para pekerja yang terlibat
dapat tidak terpenuhi sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku.
Kemudian, terdapat juga konsekuensi bagi perusahaan. Perusahaan yang melakukan
kekeliruan maupun eksploitasi tidak bebas dari hukum dan dapat dianggap sebagai kelalaian.
konsekuensi pun dapat berupa sanksi umum seperti adanya aksi demo buruh, nama baik
perusahaan menurun, menjalankan proses bipartit dan jika masuk ke ranah hukum maka
dapat dijadikan kasus persidangan. Selain itu, perusahaan pun pastinya akan mengalami
penurunan produktivitas akibat aksi, sehingga profit menurun.
Dalam berhadapan dengan pekerja, yang merupakan manusia, maka sebagai praktisi
psikologi pun harus berpegang pada kode etik psikologi. Adapun pasal yang dapat
diperhatikan lebih adalah pasal 13 tentang sikap profesional. Praktisi dalam kasus ini
seharusnya tidak hanya melihat dari pihak perusahaan, namun juga dari pihak pekerja.
Dengan bersikap profesional, praktisi psikologi dapat memberikan perhatian khusus pada
undang-undang yang mengatur dan melindungi para pekerja atau karyawan di bawah
perusahaan, baik itu pekerja kontrak maupun pekerja tetap. Dalam hal ini, praktisi psikologi
tidak berpihak pada kepentingan kedua belah pihak.
Akan tetapi, dikarenakan kasus ini merupakan kasus yang sudah melibatkan ranah
hukum secara mendalam, maka praktisi psikologi sebaiknya menyerahkannya kepada profesi
yang terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh kode etik psikologi pasal 19 tentang hubungan
profesional ayat 2a.
Selain itu, jika bicara mengenai etika secara umum, maka sudah seharusnya para
pekerja diperlakukan secara manusiawi dan tidak dimanfaatkan. Dalam kasus ini, seharusnya
pekerja kontrak diberikan penjelasan mengenai hak-hak dan peraturan yang ada mengenai
kontrak dan status pekerja yang akan ditandatangani. Kelalaian dalam hal ini dapat berakibat
cukup fatal seperti PHK sebagaimana yang terjadi. PHK secara tiba-tiba, dan tanpa uang
pesangon, dapat berdampak pada kehidupan dan keluarga masing-masing pekerja.
Pengetahuan sebagai praktisi HRM tidak hanya bersandar pada UU Ketenagakerjaan
dan Kode Etik saja, namun pengetahuan mengenai peraturan jaminan kesejahteraan karyawan
atau buruh, sehingga perlu untuk memahami UU No 40/2004 mengenai Sistem Jaminan
Sosial Nasional, UU No 24/2011 mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini
dilakukan karena perusahaan diwajibkan untuk menurut sertakan karyawan/buruh dalam
jaminan sosial di Indonesia, yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan karena setiap
orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib
menjadi Peserta program Jaminan Sosial sesuai UU N0 24/2011.
DAFTAR PUSTAKA

Aamondt, M. G. (2016). Industrial/organizational psychology: An applied approach


(8th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.

American Psychological Psychology. (2019). Industrial and Organizational


Psychology. Ditemu kembali dari
https://www.apa.org/ed/graduate/specialize/industrial

Rahardjo, S. (1996). Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam
Pembangunan Hukum dan Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali
Press.

Reksodiputro, M. (1994). Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Pusat Keadilan


dan Pengabdian Hukum.

Trade Union Rights Centre. (2015). Kasus: Perjuangan buruh kontrak (kasus pekerja
kontrak di PT Framas Indonesia). Ditemu kembali dari https://www.turc.or.id/kasus-
perjuangan-buruh-kontrak-kasus-pekerja-kontrak-di-pt-framas-indonesia/

Tirto.id. (2017). Eksploitasi kerja di pabrik aice, sponsor Asian games 2018.
https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h.
Diakses: 21 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai