PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demolisi/ renovasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperbarui,
memperbaiki atau mengganti sebagian bangunan rumah sakit untuk mencapai kondisi
yang lebih baik. Sebenarnya, ada kegiatan lain yang juga sering dimasukkan ke dalam
definisi renovasi, yaitu pengembangan. Jika masing-masing istilah ini dipisahkan,
perbedaannya adalah dalam luasan bangunan fisik rumah sakit. Renovasi tidak
mengubah luasan bangunan rumah sakit, sementara pengembangan menambah luasan
bangunan/ fasilitas rumah sakit. Dalam renovasi, bangunan hanya diperbaiki dan
diperbarui dengan material yang baru.
B. Tujuan
Tujuan dari pedoman ini adalah agar dalam pelaksanaan kegiatan demolisi/
renovasi, dapat mengurangi atau bahkan meniadakan resiko infeksi akibat dari kegiatan
demolisi/ renovasi fasilitas pelayanan rumah sakit.
C. Lingkup Area
1. Seluruh bangunan dan fasilitas yang digunakan untuk pelayanan kesehatan, ruangan-
ruangan perawatan, poliklinik, dan semua yang berhubungan dengan pelayanan
terhadap pasien.
2. Setiap pelaksanaan renovasi ruangan/ bangunan akan direncanakan dan dilaksanakan
oleh bagian pemeliharaan material ( harsmat ).
3. Pada pelaksanaan renovasi harus diperhatikan dampak dari pekerjaan renovasi
bangunan tersebut yang mungkin terjadi meliputi polusi udara, infeksi, kebisingan,
getaran dan jika terjadi kejadian yang bersifat emergency.
D. Landasan Hukum
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor : 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor : 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1961 / MENKES/VIII/2011
tentang Keselamatan Pasien rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
5. Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Rumah Sakit : Depkes 1994
6. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Pasien Safety) Depkes 2008
BAB II
PENILAIAN INFEKSI PENGENDALIAN RISIKO (ICRA)
RENOVASI, KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN BANGUNAN
A. Tujuan.
Untuk mengontrol terjadinya penyebaran infeksi yang ditularkan melalui udara dan
air di daerah lingkungan Rumah Sakit selama waktu renovasi, konstruksi dan
pemeliharaan bangunan.
B. Peraturan.
a. Komisi Bersama HAS / SAC, edisi terbaru.
b. Asosiasi Profesional di Pengendalian Infeksi dan Epidemiologi, Inc (APIC).
c. American Institute of Architects (AIA), Pedoman Desain dan Konstruksi Rumah
Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, AIA, Washington, DC 2001.
C. Kebijakan.
a. ICRA merupakan bagian yang penting pada perencanaan renovasi, konstruksi dan
pemeliharaan bangunan di Rumah Sakit. Assesment ICRA mulai dilakukan sejak
masa perencanaan awal proyek, sebelum konstruksi dimulai, dan pemantauan saat
proyek konstruksi berlangsung sampai dengan akhir dari proyek yang dikerjakan.
b. Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi akan melakukan assessment ICRA secara
proaktif sejak fase awal desain perencanaan sampai fase akhir proyek untuk semua
renovasi, konstruksi dan proyek-proyek pemeliharaan bangunan. Dalam
pelaksanaannya Tim PPI dibantu oleh Bagian Kerumah Tanggan, Penanggung jawab
proyek dan Pengawas proyek yang akan bersama-sama mengawasi jalannya
konstruksi berlangsung serta memantau berjalannya sistem pencegahan dan
pencegahan infeksi.
c. Assesment ICRA difokuskan terutama pada pencegahan, selain itu pemantauan,
pengujian, dan intervensi ketika teridentifikasi terjadinya suatu masalah.
D. Tanggung Jawab.
a. Direktur Rumah Sakit:
1) Menunjuk Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk memastikan secara
ketat tindakan pencegahan di tempat proyek dan setiap kali renovasi, konstruksi
dan pemeliharaan bangunan yang dilakukan di daerah-daerah yang diduduki
dalam Fasilitas Perawatan Pasien.
2) Menyetujui atau menolak hasil rekomendasi mengontrolan infeksi ditempat
proyek untuk memindahkan pasien ke daerah lain dari fasilitas yang tidak
terpengaruh oleh konstruksi.
b. Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi:
1) Mengidentifikasi faktor faktor resiko tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya
penyebaran infeksi akibat renovasi, konstruksi dan kegiatan pemeliharaan
bangunan.
2) Menentukan apakah konstruksi menimbulkan peningkatan risiko yang cukup
untuk meminta / menyarankan pasien dipindahkan ke area fasilitas yang tidak
terpengaruh oleh konstruksi.
3) Mengkoordinasikan system pencegahan infeksi pada pembangunan renovasi,
konstruksi dan pemeliharaan bangunan bersama sama dengan penanggung jawab
dan pengawas proyek.
4) Memastikan dokumen kontrak yang ditanda tangani penanggung jawab dan
pengawas proyek untuk melaksanakan semua persyaratan ICRA selama
konstruksi.
5) Setiap desain dan perencanaan untuk setiap proyek konstruksi harus diawali
dengan membuat ICRA.
6) Secara rutin memantau konstruksi dan system pencegahan infeksi dengan ICRA.
7) Memeriksa kembali daerah konstruksi setelah pembersihan akhir dan menyetujui
pembukaan / pembukaan kembali daerah tersebut.
8) Memastikan setiap personil konstruksi menerima orientasi dan pelatihan dalam
langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi tentang risiko yang terkait
dengan paparan potensi kontaminasi mikroba, partikulat anorganik, dan bahan
kimia organik yang mudah menguap yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi
yang dapat diidentifikasi pada ICRA sebelum memulai pekerjaan.
9) Melakukan pengawasan rutin untuk mengidentifikasi penyakit HAIs, memulai
penyelidikan lingkungan dan epidemiologi (termasuk ulasan retrospektif) untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan sumber infeksi jika lebih dari satu kasus
yang ditemukan, menginformasikan kepada dokter yang merawat pasien berisiko
tinggi, dan membangun sistem untuk surveilans prospektif untuk kasus tambahan.
c. Penanggung Jawab dan pengawas proyek:
1) Memberi tahu Tim PPI pada setiap pekerjaan yang direncanakan dan memperoleh
persetujuan sebelum memulai pekerjaan proyek.
2) Mengikuti aturan ICRA yang disetujui untuk meminimalkan pembentukan debu.
3) Memastikan pekerjaan daerah proyek benar-benar dibersihkan setelah pekerjaan
selesai.
d. BPS (Bagian Pemeliharaan Sarana):
1) Bekerja dengan Pengendalian Infeksi untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang
perlu dipel basah / dibersihkan dan membersihkan daerah-daerah seperti yang
dijadwalkan.
2) Daerah baru dan direnovasi benar-benar bersih sebelum menerima pelayanan
perawatan pasien.
3) Mengkoordinasikan inspeksi pembersihan akhir dengan Pengendalian Infeksi
sebelum pembukaan / membuka kembali daerah yang telah direnovasi atau
konstruksi..
BAB III
KESELAMATAN PASIEN
A. Pengertian.
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminilkan timbulnya resiko.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi
yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit,
cidera, cacat, kematian dan lain-lain) yang tidak seharusnya terjadi.
B. Tujuan.
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Selain itu sistem keselamatan pasien ii mempunyai
tujuan agar tercipta budaya keselamatan pasien dirumah sakit, meningkatkan
akuntanbilitas rumah skait terhadap pasien da masyarakat, menurunnya kejadian
tidak diharapakan dirumah sakit, dan terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapakan.
C. Tata Laksana Keselamatan Pasien secara Umum.
Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit. Adapun tujuh langkah tersebut adalah :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, Menciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan focus
yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintregasikan aktivitas pengelolaa resiko. Mengembangkan sistem dan
proses pengelolaan resiko, serta melakukan identifikasi dan pengkajian hal
potensial bermasalah.
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Memastikan karyawan agar dengan
mudah dapat melaporkan kejadian/insiden, serta rumah sakit mengatur
pelaporan kepada komite keselamatan pasien Rumah Sakit.
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengtan pasien. Mengembangkan cara-cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien menggunakan
informasi yang ada tentang kejadian atau masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan.
BAB IV
KESELAMATAN KERJA
Undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat (1) menyatakan bahwa upaya
kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit
adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori sepertyi tersebut diatas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program keselamatan dan kesehatan
kerja ini bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan didalam
dan diluar rumah sakit.
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap wraga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini
yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memugkinkan
pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari
perlindungan terhadap pekerja, dalam hal ini tim pelayanan pasien dan pelindungan terhadap
rumah sakit. Pegawai adalah bagian integral dari rumah sakit. Jaminan keselamatan dan
kesehatan kerja akan meningkatkan produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas
rumah sakit.
1. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dimaksudkan untuk
menjamin :
a. Agar pegawai dan setiap orang yang berada ditempat kerjaselalu berada dalam
keadaan sehat dan selamat.
b. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
c. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.
2. Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan
pada tiga kelompok, yaitu :
a. Kondisi dan lingkungan kerja.
b. Kesadaran dan kualitas pekerja
c. Peranan dan kualitas manajemen.
3. Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat
kerja dapat terjadi bila :
a. Peralatan yang ada tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.
b. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas atau
terlalu dingin.
c. Tidak tersedia alat-alat pengadaan.
d. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dan lain-lain.
4. Perlindunagan Keselamatan kerja dan kesehatan petugas kesehatan.
a. Petugas kesehatan yang merawat pasien menular harus mendapatkan pelatihan
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang sesuai dengan protocol jika terpajan.
b. Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum
mengenai penyakit tersebut.
c. Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular melalui udara harus
menjaga fungsi saluran pernafasan (tidak merokok, tidak minum dingin) dengan baik
dan menjaga kebersihan tangan.
5. Petunjuk Pencegahan Infeksi untuk petugas kesehatan.
a. Untuk mencegah tranmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan kesehatan,
petugas harus menggunakan APD (Alat Pelindung diri) yang sesuai untuk
kewaspadaan standar dan kewaspadaan isolasi (berdasarkan penularan secara kontak,
droplet, atau udara) sesuai dengan penyebaran penyakit.
b. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala penyakit
menular yang sedang dihadapi.
c. Semua petugas kesehatan dengan penyakit seperti flu harus dievaluasi untuk
memastikan agen penyebab, Kemudian ditentukan apakah perlu dipindah tugaskan
dari kontak bangsal dengan pasien, terutama mereka yang bertugas di instalasi
pelayanan intensif (IPI), ruang rawat anak dan ruang bayi.
d. Semua petugas harus menggunakan apron, penutup kepala dan pelindung kaki (sandal
sepatu boot), sebelem masuk ruangan yang berpenyakit menular. Termasuk harus
mengenakan APD tersebut hal ini bertujuan untuk mengurangi kontaminasi atau
penularan.
6. Prinsip keselamatan kerja karyawan dalam proses penyelenggaraan pelayanan pasien.
a. Pengendalian teknis mencakup.
1) Letak, bentuk dan kontruksi alat sesuai dengan kegiatan dan memenuhi syarat yang
telah ditentukan.
2) Perlengkapan alat kesehatan yang cukup disertai tempat penyimpanan yang
praktis.
3) Penerapan dan ventilasi yang cukup memenuhi syarat.
4) Tersediaannya ruang istirahat untuk karyawan.
b. Adannya pengawasan kerja yang dilakukan oleh penanggung jawab dan terciptannya
kebiasaan kerja yang baik oleh karyawan.
c. Pekerjaan yang ditugaskan hendaknya sesuai dengan kemampuan kerja dari karyawan.
d. Volume kerja yang dibebankan disesuaikan dengan jam kerja yang telah ditetapkan.
e. Maintenance (perawatan) alat dilakukan secara rutin oleh petugas instalasi
pemeliharaan sarana sesuai jadwal.
f. Adanya pendidikan mengenai keselamatan kerja bagi karyawan.
g. Adanya fasilitas atau peralatan pelindung dan peralatan pertolongan pertama yang
cukup.
7. Prosedur keselamatan kerja.
a. Keamanan kerja diruang ini meliputi :
1) Menggunaka alat pembuka peti/bungkus menurut cara yang tepat.
2) Barang yang berat selalu ditempatkan dibagian bawah dan angkatlah dengan alat
penggangkut yang gtersedia untuk barang tersebut.
3) Tidak diperkenankan merokok diruang perawatan.
4) Lampu harus dimatikan bila tidak dipergunakan/ diperlukan.
5) Tidak mengangkat barang berat, bila tidak sesuai dengan kemampuan.
6) Tidak mengangkat barang dalam jumlahyang besar, yang dapat membahayakan
badan dan kualitas barang.
7) Membersihkan bahan yang tumpah atau keadaanklien diruang perawat.
8. Pencatatan dan Pelaporan.
Pencatatan dan pelaporan panitia PPI diperlukan dalam perencaan, pemantauan dan
evaluasi serta pengambilan keputusan untuk pencegahan resiko infeksi akibat atau dampak
dari renovasi atau pembangunan di lingkungan rumah sakit.
ICRA RENOVASI RS. WATES HUSADA
2022
LANGKAH 1
KELOMPOK 3
LANGKAH 3
LANGKAH 4
ESKAVATOR
ROTARY DRILLING
PEDOMAN PENCEGAHAN DARI INFEKSI KONTROL
KELA
SI Melaksanakan pekerjaan dengan metode yang meminimalkan debu dari lokasi
konstruksi.
Mengganti plafon yang dilepaskan untuk inspeksi visual sesegera mungkin.
KELA
S II Menyediakan sarana aktif untuk mencegah debu terbang ke dalam atmosfer.
Segel pintu yang tidak terpakai dengan lakban.
Tempatkan sampah konstruksi dalam wadah yang tertutup rapat sebelum
dipindahkan.
Pel basah dan/atau vakum dengan alat vacuum dengan filter HEPA.
Tempatkan keset dipintu masuk dan keluar dari area kerja, dan diganti atau
dibersihkan ketika sudah tidak efektif.
Isolasi sistem HVAC pada lokasi tempat berlangsungnya pekerjaan.
Pembersihan area kerja dan permukaan horizontal pada penyelesaian proyek.
KELA
S III Isolasi sistem HVAC pada lokasi tempat berlangsungnya pekerjaan untuk mencegah
kontaminasi sistem saluran.
Lengkapi semua barier konstruksi sebelum konstruksi dimulai.
Pertahankan tekanan udara negatif di lokasi kerja menggunakan unit ventilasi
dengan filter HEPA atau metode lain untuk mempertahankan tekanan negatif.
Keamanan publik akan memonitor tekanan udara.
Jangan menghilangkan barier dari area kerja sampai proyek selesai dibersihkan
secara menyeluruh.
Pelbasah atau vakum dua kaliper 8 jam pada kegiatan konstruksi, atau sebagaimana
diharuskan untuk meminimalkan pelacakan.
Buang material barier dengan hati-hati untuk meminimalkan penyebaran kotoran dan
debris yang terkait dengan konstruksi. Material barier harus diseka basah, divacum
dengan HEPA atau disemprot air sebelum dibuang.
Tempatkan sampah konstruksi dalam wadah yang tertutup rapat sebelum
dipindahkan
Tempatkan keset di pintu masukdan keluar dari area kerja, dan diganti atau
dibersihkan ketika sudah tidak efektif.
Bersihkan area kerja dan permukaan horizontal pada penyelesaian proyek.
KELA
S IV Isolasi sistem HVAC pada lokasi tempat berlangsungnya pekerjaan untuk mencegah
kontaminasi sistem saluran.
Lengkapi semua barier konstruksi sebelum konstruksi dimulai.
Pertahankan tekanan udara negatif di lokasi kerja menggunakan unit ventilasi
dengan filter
HEPA atau metode lain untuk mempertahankan tekanan negatif. Keselamatan publik
akan memonitor tekanan udara.
Segel lubang, pipa, saluran, atau tusukan untuk mencegah migrasi debu
Buat ruang serambi/ anteroom dan pastikan semua personil untuk melewati ruangan
ini. Pelbasah atau vacuum dengan HEPA setiap hari.
Selama pembongkaran, untuk kerja yang menghasilkan debu atau pekerjaan di
langit-langit, sepatu sekali pakai dan baju harus dipakai dan dibuang diSerambi/
anteroom ketika meninggalkan area kerja.
Jangan menghilangkan barier dari area kerja sampai proyek selesai dibersihkan
secara menyeluruh.
Buang material barier dengan hati-hati untuk meminimalkan penyebaran kotoran dan
debris yang terkait dengan konstruksi
Material barier harus diseka, divacum dengan HEPA atau disemprot air sebelum
dibuang.
Tempatkan sampah konstruksi dalam wadah yang tertutup rapat sebelum
dipindahkan
Tempatkan keset di pintu masuk dan keluar dari area kerja, dan diganti atau
dibersihkan ketika sudah tidak efektif.
Pertahankan lokasi kerja tetap bersih dengan menyapu dan membersihkan debris
setiap hari.
Pel basah seluruh area keras dengan disinfektan setelah proyek selesai.
Vacuum seluruh area berkarpet dengan HEPA seletah proyek
Bersihkan area kerja dan permukaan horizontal pada penyelesaian proyek.
FORMULIR PEMANTAUAN SELAMA RENOVASI / KONSTRUKSI BANGUNAN
Area Renovasi :
Tanggal pemantauan :
KELAS IV
BAB V
PENUTUP
Demikian pedoman dan pengkajian ICRA ini dibuat untuk digunakan sebagaimana
mestinya agar dampak negative dari pelaksanaan kegiatan demolisi/ renovasi fasilitas rumah
sakit dapat ditekan sekecil mungkin.