Anda di halaman 1dari 52

BAB 16

P3B ATAS DIVIDEN, BUNGA DAN ROYALTI, DAN CAPITAL GAIN

A. P3B Atas Dividen

Pengertian dividen sangat tergantung pada definisi yang diberikan dalam masing-masing
P3B. Dividen adalah pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham
yang dimiliki. Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi
perusahaan, tetapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang adalah tujuan utama
suatu bisnis.

Bandingkan dengan pengertian Dividen dalam Pasal 4 (1) UU PPh Nomor 7/1983 s.t.d.t.d.
UU PPh Nomor 36/2008, dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh
anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

1. pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;

2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;

3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi agio saham:

4. pembagian 'aba dalam bentuk saham;

5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran:

6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;

7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam
tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah
akibat dari pengecilan modal dasar (staturer) yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut;

9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;

10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11. pembagian berupa sisa hasil usaha
kepada anggota koperasi; 12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi. pemegang
sahamyang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung,
misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan
pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi
hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang
berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai
dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Pembayaran dividen, atau yang dikategorikan sebagai pembayaran dividen, kepada Orang
Pribadi, Firma, Perseroan Komanditer (CV), yayasan, dan organisasi sejenis serta perusahaan
terbatas (PT) sebagai Wajib Pajak dalam negeri, BUMN, BUMD (seperti Bank Pemerintah,
Bank Pembangunan Daerah dll.) yang memiliki penyertaan saham di bawah 25% dikenakan
pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto dividen yang terutang atau
dibayarkan. Apabila penerima dividen tidak memiliki NPWP pengenaan PPh adalah 100%
lebih tinggi dari semula (pajaknya jadi 30% dari jumlah dividen bruto). Khusus untuk dividen
yang diterima oleh WP Orang Pribadi Dalam negeri dikenakan PPh Pasal 17 ayat (2c) sebesar
10% final.

Pembayaran dividen kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain kepada BUT
dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20% dari jumlah bruto, atau
sesuai dengan tarif dalam Tax Treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak
Luar Negeri yang bersangkutan.
Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, pengaturan tentang Dividen diatur dalam
Pasal 10 Tax Treaty, dan sebagai ilustrasi berikut adalah Pasal 10 Tax Treaty Indonesia -
Jepang.

1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di suatu Negara kepada
penduduk Negara lainnya dikenakan pajak di Negara lainnya itu.

2. Namun demikian, dividen itu dapat dikenakan pajak di Negara di mana badan yang
membayarkan dividen itu berkedudukan sesuai dengan perundang-undangan Negara itu,
tetapi apabila si penerima dividen adalah pemilik yang menikmatinya, maka pajak yang
dikenakan tidak akan melebihi:

a. 10 persen dari jumlah kotor dividen jika penerima dividen adalah, suatu badan yang
selama 12 bulan pada akhir masa pembukuan dimana pembagian keuntungan
dilakukan, memiliki sekurang kurangnya 25 persen modal dari badan yang
membayarkan dividen.
b. 15 persen dari jumlah kotor dividen dalam hal lainnya.

3. Ketentuan-ketentuan dari ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak terhadap
badan itu atas laba di mana dividen dibayarkan.

4. Istilah "dividen" yang digunakan dalam Pasal ini berarti pendapatan dari saham-saham atau
hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat surat utang namun turut serta dalam pembagian
keuntungan, demikian halnya pendapatan dari hak-hak perseroan lainnya yang dalam hal
pengenaan pajaknya diperlakukan sama sebagai pendapatan dari saham menurut perundang-
undangan pajak Negara dimana badan yang melakukan pembayaran berkedudukan.

5. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima dividen yang merupakan
penduduk suatu Negara, menjalankan usaha di negara lainnya di mana badan yang
membayarkan dividen berkedudukan, melalui suatu pendirian tetap atau menjalankan
pekerjaan bebas dengan suatu tempat tertentu, dan penguasaan saham-saham atas mana
dividen itu dibayarkan, mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat
tertentu itu. Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau
Pasal 14 berlaku.
6. Jika suatu badan yang berkedudukan di suatu Negara memperoleh keuntungan atau
pendapatan dari Negara lain, Negara lain tersebut tidak akan mengenakan pajak atas dividen
yang dibayarkan oleh badan itu, kecuali sepanjang dividen-dividen tersebut dibayarkan
kepada per.duduk Negara lain itu atau sepanjang penguasaan saham-saham atas mana dividen
dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan suatu pendirian tetap atau tempat tertentu
yang berada di Negara lain itu, juga tidak dikenakan pajak atas keuntungan-keuntungan
badan yang tidak dibagikan, sekalipun dividen-dividen yang dibayarkan atau keuntungan-
keuntungan yang tidak dibagikan terdiri dari seluruhnya atau sebagian dari keuntungan atau
pendapatan yang berasal dari Negara lain itu.

Tax Treaty mengatur tentang tarif Dividen antara Portofolio dan Penyertaan Langsung.
Investor yang memperoleh/membeli saham melalui bursa efek, saham itu disebut saham
portofolio, sedangkan perusahaan yang memiliki modal langsung dengan cara investasi
mendirikan perusahaan atau menambah mesin/peralatan produksi disebut penyertaan
langsung (direct investment). Ringkasan P3B tarif PPh atas Dividen (umumnya sebagian
besar ada di Pasal 10) berdasarkan Tax Treaty Indonesia dengan negara-negara mitra adalah
sebagai berikut.
Catatan:

1.3.6.8.10.11.12.13.15.23.24.26.27.29berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan


(selain partnership) yang memiliki modal langsung paling tidak 25% pada perusahaan
pembayar dividen

2. 1.7, 16, 19, 20, 22 berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan yang memiliki mo

dal langsung paling tidak 25% pada perusahaan pembayar dividen *berlaku jika penerima
dividen adalah perusahaan yang memiliki modal langsung paling tidak 20% pada perusahaan
pembayar dividen

"berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan yang memiliki saham paling ti

dak 25% pada perusahaan pembayar dividen "berlaku jika penerima dividen adalah
perusahaan yang memiliki saham paling ti
dak 25% pada perusahaan pembayar dividen dalam jangka waktu 12 bulan segera sebelum
akhir masa akuntansi saat distribusi laba terjadi

" berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan yang memiliki modal paling tidak 20%
pada perusahaan pembayar dividen

berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan yang memiliki modal langsung paling tidak
20%pada perusahaan pembayar dividen 21 berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan
yang memiliki modal langsung

paling tidak 10%pada perusahaan pembayar dividen dalam P3B RI-Thailand, terdapat
perbedaan dalam penentuan tarif pajak atasdividen bagi RI dan bagi Thailand, lihat
penjelasanberlaku jika penerima dividen adalah perusahaan yang menguasai
pengambilankeputusan langsung atau tidak langsung paling tidak 15% pada perusahaan
pembayar dividenTarif 10% dari jumlah bruto dalam hal dividen diterima oleh perusahaan
sebagai beneficial owner yang memiliki paling sedikit 25% voting stock perusahaan yang
membayar dividen tersebut.
30 berlaku jika penerima dividen adalah perusahaan (selain partnership) yang memi liki
modal langsung paling tidak 10% pada perusahaan pembayar dividen

• Terminasi mulai 1 Januari 2005 **Khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup Lalu Lintas
Internasional

PENJELASAN TARIF PPH PASAL 26 ATAS DIVIDEN

I Kolom "Dividen Portofolio"

Yang dimaksud dengan tarif dividen portofolio adalah apabila sifat dividen tersebut adalah
berasal dari investasi portofolio biasa. Jadi sebagai contoh, dalam P3B RI - Ukraina Pasal 10
ayat 2 huruf b disebutkan bahwa dividen dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan di mana perusahaan yang membayarkan dividen menjadi penduduknya dan
bersesuaian dengan UU domestiknya, namun dengan tarif 15% dari jumlah bruto dividen.
II Kolom "Dividen Penyertaan Langsung"

Pada kolom ini tertera tarif pajak atas dividen yang berlaku untuk dividen yang berasal dari
penyertaan langsung di luar portofolio. Sebagai contoh, pada P3B RI Ukraina Pasal 10 ayat 2
huruf a disebutkan bahwa tarif dividen sebesar 109% dari jumlah bruto dividen dapat
terapkan jika penikmat dividen adalah perusahaan Indonesia (sela. partnership) yang
menguasai setidaknya 20% dari modal perusahaan Ukraina yang membayarkan dividen

Menurut Model OECD, apabila pemilik manfaat adalah perusahaan (selain persekutuan/
partnership) yang memegang secara langsung (direct investment) paling sedikit 25% dari
modal perseroan yang membayarkan dividen dikenakan tarif 5% dari jumlah kotor dividen,
dan tarif 15% dari jumlah kotor dividen dalam hal lain nya.

Menurut Model UN, tolok ukur menentukan penyertaan langsung (direct investment) adalah
penyertaan paling sedikit 10% dari modal perusahaan membayar dividen. Bila yang
menerima dividen adalah orang pribadi walaupun penyertaannya di atas 25%, maka akan
dikenakan tarif 15%.

Pada P3B Indonesia, tidak ada kriteria persentase penyertaan, tidak membedakan direct
investment dengan portfolio investment.

Contoh 1

PT BBB adalah sebuah perusahaan PMA di Indonesia. Pada akhir tahun 2015 PT BBB
mengumumkan pembagian dividen dari keuntungan yang diperoleh tahun 2015, kepada
masing-masing pemegang saham berikut:

1. Flag Corp., perusahaan yang berdomisili di British Virgin Island dengan kepemilikan
saham sebesar 50% senilai Rp2.500.000.000,00; dan 2. Royal Ltd., perusahaan yang
berdomisili di Prancis dengan kepemilikan saham sebesar 40% senilai Rp2.000.000.000,00.

Dividen yang dibagikan adalah sebesar Rp2 miliar, masing-masing pemegang saham
mendapatkan pembagian dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.
● Dalam kasus ini, walaupun pembagian dividen berasal dari kegiatan di Indonesia
(BUT ABC Ltd.), tapi Indonesia tidak boleh mengenakan pajak karena penerima
dividen (K Ltd., Japan dan L Ltd., Japan) tidak didirikan/berdomisili di Indonesia dan
bukan merupakan penduduk Indonesia.
● Dalam Model OECD dan Model UN tidak ada ketentuan mengenai perlakuan Branch
Profit Tax.
● Sedangkan pada Pasal 10 ayat (5) Model P3B Indonesia menyitir ketentuan bahwa
apabila suatu perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan (negara domisili) memiliki BUT di Negara pihak lainnya pada
Persetujuan (negara sumber), keuntungan dari BUT dapat dikenakan pajak tambahan
di Negara lainnya (negara sumber) sesuai dengan hukum yang berlaku, namun pajak
tambahan yang dikenakan tidak akan melebihi .... persen dari jumlah laba setelah
dikurangi PPh dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan atasnya di
negara lain (negara sumber). Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU PPh, tarif
Branch Profit
Tax adalah 20%. Umumnya tarif Branch Profit Tax yang dimuat dalam P3B lebih rendah dari
tarif tersebut. Jadi sifat hak pemajakan Branch Profit Tax dalam Model P3B Indonesia adalah
hak pemajakan terbatas (limited taxing right), yang berarti negara sumber boleh melakukan
pemajakan tapi tidak boleh melebihi persentase tertentu (ada pembatasan tarif).

Contoh 4

A Ltd. merupakan penduduk negara X di mana Indonesia dan negara X telah memiliki P3B.
A Ltd. melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT Penghasilan kena pajak BUT sebesar 1
miliar. Tarif PPh sebesar 25%.

Laba Rp 1.00 miliar

PPh terutang BUT A Ltd. 25% x Rp1 miliar Rp 0.25 miliar

Sehingga laba setelah pajak sebesar Rp1 miliar Rp 0.25 miliar


Rp 0,75 miliar

Bila laba setelah pajak ditransfer ke LN.

maka Branch Profit Tax ( mis. 10% menurut P3B) -10% x 0,75 miliar Rp 75 juta

Untuk usaha di bidang minyak dan gas, perlakuan branch profit dikecu alikan dari ketentuan
branch profit tersebut di depan. Biasanya perlakuan perpajakan untuk industri migas
dituangkan secara khusus dalam kontrak (production sharing contract).

B. P3B Atas Bunga dan Royalti


P3B BUNGA

Pengertian bunga sangat tergantung pada definisi yang diberikan dalam masing-masing P3B
Pengertian "bunga" dalam P3B Indonesia adalah penghasilan dari semua jenis tagihan
piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas
pembagian laba maupun tidak, dan khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan
oleh pemerintah dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk
premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi, atau surat utang tersebut. Denda atas
keterlambatan pembayaran tidak dianggap sebagai bunga.

Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, ketentuan bunga diatur dalam Pasal 11.
Sebagai ilustrasi, berikut ketentuan tentang Bunga dari Tax Treaty Indonesia - China.

1. Bunga yang timbul di suatu Negara Pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada
penduduk Negara Pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara Pihak
lainnya tersebut.

2. Tarif pajak yang dikenakan oleh salah satu Negara Pihak pada Persetujuan atas bunga yang
diperoleh yang bersumber di Negara tersebut dan dimiliki oleh pemberi pinjaman yang
menikmati bunga yang merupakan penduduk Negara Pihak lainnya pada Persetujuan tidak
akan melebihi 10 persen dari jumlah bruto bunga.

3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di suatu Negara
Pihak pada Persetujuan dan diterima oleh Pemerintah Negara Pihak lainnya pada Persetujuan
termasuk bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya, Bank Sentral, atau lembaga
keuangan yang dikuasai oleh Pemerintah tersebut, yang seluruh modalnya dimiliki oleh
Pemerintah Negara Pihak lainnya pada Persetujuan tersebut, sebagaimana yang dapat
disetujui dari waktu ke waktu oleh pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada
Persetujuan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara yang disebutkan pertama.

4. Istilah "bunga" yang digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis
tagihan utang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak dan baik yang mempunyai hak
atas pembagian laba maupun tidak dan khususnya penghasilan dari surat-surat berharga
negara dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk premi dan
hadiah yang terikat pada surat-surat berharga, obligasi atau surat-surat orang tersebut,
demikian pula penghasilan yang dipersamakan dengan penghasilan yang diperoleh dari uang
yang dipinjamkan berdasarkan undang-undang perpajakan dari Negara di mana penghasilan
itu berasal, termasuk bunga atas pembayaran untuk penjualan di muka. Denda yang
dikenakan atas keterlambatan pembayaran tidak dianggap sebagai bunga yang dimaksud
dalam Pasal ini.

5. Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik pinjaman yang
menikmati bunga tersebut, yang merupakan penduduk suatu Negara Pihak pada Persetujuan,
melakukan kegiatan usaha di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan dimana bunga tersebut
timbul melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau menjalankan pekerjaan
bebas di Negara lainnya melalui suatu tempat usaha tetap yang berada di sana, dan tagihan
piutang yang menghasilkan bunga tersebut mempunyai hubungan efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut. Dalam hal demikian, tergantung pada
masalahnya, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 atau Pasal 14 akan berlaku..

6. Bunga dianggap timbul di suatu Negara Pihak pada Persetujuan apabila pihak yang
membayar bunga tersebut adalah Negara itu sendiri. pemerintah daerahnya, atau penduduk
Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang/badan yang membayar bunga tersebut,
tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara Pihak pada Persetujuan atau tidak,
mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara Pihak pada
Persetujuan di mana utang yang menimbulkan biaya bunga tersebut timbul, dan bunga
tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut, maka bunga
tersebut akan dianggap timbul di Negara di mana bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap
itu berada.

7. Apabila karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan pemilik
manfaat dari bunga tersebut atau antara kedua nya dengan orang/badan lain, jumlah bunga
yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya utang yang menghasilkan bunga tersebut.

melebihi jumlah yang seharusnya disepakati antara pembayar dan pemilik manfaat dari bunga
tersebut apabila mereka tidak mempunyai hubungan istimewa, maka ketentuan ketentuan
dalam Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang disebutkan terakhir tersebut. Dalam hal
demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan
perundang-undangan masing-masing Negara Pihak pada Persetujuan dengan tetap
memperhatikan ketentuan ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.

Contoh 1

Tahun 2016, perusahaan YY Ltd. China memberikan pinjaman kepada PT SS di Indonesia


sebesar US$5.000,00. dengan imbalan bunga sebesar US$500.00.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas pemberian bunga tersebut?

Jawab:

Sesuai Pasal 11 Tax Treaty Indonesia China, maka atas pemberian bunga tersebut akan
dikenakan pajak di Indonesia sesuai UU PPh Indonesia, dan sesuai Tax Treaty Indonesia -
China yang besarnya tidak melebihi 10%.

Contoh 2

Berdasarkan P3B Indonesia - United Arab Emirat (U.A.E), tarif potongan pajak atas bunga
adalah 5%. KK.Co adalah WPDN di negara Caymand Islands yang tidak memiliki P3B
dengan Indonesia. Jika KK.Co membeli langsung obligasi PT A, bunga (10% p.a.) akan
dikenakan pajak 20%. Untuk menganulir beban pajak tersebut, KK.Co bisa mendirikan
perusahaan afiliasinya UU.Co di U.A.E dan "menitip" dana $1 miliar ke perusahaan
afiliasinya tersebut untuk membeli obligasi PT A.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas pemberian bunga tersebut?


Jawab

Dengan skema tersebut, bunga obligasi sebesar US$100 jura (-10% x $1 miliar) yang dibayar
PT A ke UU.Co terkena pajak 5% (lihat Tabel 16.2). sehingga PT A hanya akan memotong
pajak atas bunga tersebut sebesar 5% x US$100 juta US$5juta. Sebaliknya UU.Co akan
memperlakukan pajak atas bunga dipotong tersebut sebagai "kredit pajak" pajak
penghasilannya di negara U.A.E (U.A.E menggunakan Metode Penghindaran Pajak Berganda
yang sama dengan Indonesia-lihat Tabel 10.1).
Contoh 3

AA Ltd. penduduk negara China memberikan pinjaman kepada perusahaan afiliasinya, yaitu
PT BB sebuah perusahaan yang berkedudukan di Indonesia sebesar Rp20 miliar dengan
tingkat bunga sebesar 25%, sedangkan tingkat bunga wajar adalah 12%.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas bunga pinjaman tersebut?

Jawab:

Bunga yang wajar mestinya adalah 12% x Rp20 miliar Rp2.400.000.000,00. Berdasarkan
tarif pajak P3B Indonesia China sebesar 10% (maks), maka PPh Pasal 26 yang terutang
berdasar kan tingkat bunga wajar adalah sebesar 10% x (12% x Rp20 miliar) =
Rp240.000.000, sedangkan atas bunga yang melebihi kewajaran yakni sebesar
Rp5.000.000.000 Rp2.400.000.000 Rp2.600.000.000,00 dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif
20%.

Bunga yang dibayarkan kepada AA Ltd. adalah sebesar 25% x Rp20 miliar
Rp5.000.000.000,00.

Jadi atas bunga yang melebihi kewajaran, terutang PPh Pasal 26 sebesar 20% x
Rp2.600.000.000,00 Rp 520.000.000,00.

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh Indonesia, pembayaran bunga di atas kewajaran kepada
pemegang saham dapat dianggap sebagai dividen terselubung, dan karena itu tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang melakukan pembayaran.

Contoh 4

YY Ltd. China adalah perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di China di mana
Indonesia dan China telah memiliki Tax Treaty. Dalam tahun 2016 YY Ltd. China mengikat
kontrak dagang memberikan pinjaman untuk membeli produk yang dijual oleh BUT YY Ltd.
di Indonesia sebesar Rp10 miliar kepada PT BB Indonesia. Atas transaksi pinjaman tersebut,
PT BB Indonesia membayar bunga pinjaman kepada YY Ltd. China. Pertanyaan: bagaimana
pemajakan atas pemberian bunga tersebut?

Jawab:

Secara skematis, gambaran atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut.

Atas pembayaran bunga pinjaman kepada YY Ltd. China, bunga terse but diperlakukan
sebagai Effectively Connected Income bagi BUT YY Ltd. Penghasilan bunga tersebut
diperlakukan sebagai bagian dari laba (biner profit) BUT YY Ltd. Karena pemajakannya
bersifat hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights), ini berarti Indonesia dapat
memajaki penghasilan tersebut sesuai dengan ketentuan perpajakan di Indonesia tanpa
pembatas an. Jadi, atas penghasilan bunga digabung dengan penghasilan dari usaha BUT YY
Ltd. lainnya akan dipajaki sesuai tarif PPh Pasal 17 Badan. Ketika PT BB Indonesia
melakukan pembayaran atas bunga pinjaman tersebut, PT BB Indonesia akan memotong PPh
Pasal 26 dengan tarif Tax Treaty Indonesia - China sebesar tidak melebihi 109%, dan
berdasarkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut, BUT YY Ltd. dapat
mengkreditkannya di SPT Tahunan PPh Badan 2016.

P3B ROYALTI

Pengertian royalti sangat tergantung pada definisi yang diberikan dalam masing-masing P3B.
Istilah "royalti" dalam P3B Indonesia berarti pembayaran dalam bentuk apapun yang diterima
sebagai hak untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta kesusastraan,
kesenian, atau karya ilmiah termasuk film sinematografi dan film atau kaset untuk radio atau
televisi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau
untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, industri, perdagangan atau ilmu
pengetahuan, atau untuk informasi mengenai industri, pengalaman komersial atau ilmiah.

Bandingkan dengan pengertian royalti dalam Pasal 4 (1) UU PPh Nomor 7/1983 s.t.d.t.d. UU
PPh Nomor 36/2008, royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara
atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, arau


ilmiah;

3. pemberian pengetahuan atau informasi d. bidang ilmiah, teknik, industri, atau komersial;

4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan

penggunaan atau hak menggunakan hak-hak pada angka 1 tersebut di atas, penggunaan atau
hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2 atau pemberian pengetahuan
atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:

1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel. serat optik,
atau teknologi yang serupa.

3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi

4) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion

picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita

suara untuk siaran radio; dan

5) pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di
atas.

Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, ketentuan royalti diatur dalam Pasal 12.
Sebagai ilustrasi, berikut ketentuan tentang Royalti dari Tax Treaty Indonesia-AS (Pasal 13).

1. Royalti yang bersumber di salah satu Negara Pihak pada Perjanjian yang diperoleh
penduduk Negara Pihak lainnya pada Perjanjian dapat dikenakan pajak oleh kedua Negara
tersebut.

2. Tarif pajak yang dikenakan oleh suatu Negara Pihak pada Perjanjian Atas pembayaran
bunga pinjaman kepada YY Ltd. China, bunga terse but diperlakukan sebagai Effectively
Connected Income bagi BUT YY Ltd. Penghasilan bunga tersebut diperlakukan sebagai
bagian dari laba (business profit) BUT YY Ltd. Karena pemajakannya bersifat hak
pemajakan penuh (exclusively taxing rights), ini berarti Indonesia dapat memajaki
penghasilan tersebut sesuai dengan ketentuan perpajakan di Indonesia tanpa pembatas an.
Jadi, atas penghasilan bunga digabung dengan penghasilan dari usaha BUT YY Ltd. lainnya
akan dipajaki sesuai tarif PPh Pasal 17 Badan. Ketika PT BB Indonesia melakukan
pembayaran atas bunga pinjaman tersebut, PT BB Indonesia akan memotong PPh Pasal 26
dengan tarif Tax Treaty Indonesia China sebesar tidak melebihi 10%, dan berdasarkan Bukti
Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut, BUT YY Ltd. dapat mengkreditkannya di SPT Tahunan
PPh Badan 2016.

P3B ROYALTI

Pengertian royalti sangat tergantung pada definisi yang diberikan dalam masing-masing P3B.
Istilah "royalti" dalam P3B Indonesia berarti pembayaran dalam bentuk apapun yang diterima
sebagai hak untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta kesusastraan,
kesenian, atau karya ilmiah termasuk film sinematografi dan film atau kaset untuk radio atau
televisi, paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, atau
untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, industri, perdagangan atau ilmu
pengetahuan, atau untuk informasi mengenai industri, pengalaman komersial atau ilmiah.

Bandingkan dengan pengertian royalti dalam Pasal 4 (1) UU PPh Nomor 7/1983 s.t.d.t.d. UU
PPh Nomor 36/2008, royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara
atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya:

2 penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,

komersial, atau ilmiah;

3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, in dustrial, atau


komersial:

4 pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak pada angka 1 tersebut di atas, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2 atau pemberian pengetahuan atau informasi
tersebut pada angka 3, berupa:
1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik,
atau teknologi yang serupa;

3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

4) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

5) pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di
atas.

Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, ketentuan royalti diatur dalam Pasal 12.
Sebagai ilustrasi, berikut ketentuan tentang Royalti dari Tax Treaty Indonesia - AS (Pasal
13).

1. Royalti yang bersumber di salah satu Negara Pihak pada Perjanjian yang diperoleh
penduduk Negara Pihak lainnya pada Perjanjian dapat dikenakan pajak oleh kedua Negara
tersebut.

2. Tarif pajak yang dikenakan oleh suatu Negara Pihak pada Perjanjian atas royalti yang
bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut dan dimiliki oleh pihak yang menikmati
royalti tersebut yang merupakan penduduk Negara Pihak lainnya pada Perjanjian tidak akan
melebihi 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto royalti yang dijelaskan dalam ayat 3 (a)
dan 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto royalti yang dijelaskan dalam ayat 3 (b).

3. (a) Istilah "royalti" yang digunakan dalam Pasal ini berarti segala bentuk pembayaran yang
dibuat sehubungan dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta atas karya
sastra, kesenian, atau karya ilmiah (termasuk hak cipta atas gambar bergerak, film, pita
rekaman. atau alat reproduksi lainnya yang digunakan untuk penyiaran radio atau televisi),
paten, desain, model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau informasi
mengenai pengalaman di bidang industri, perniagaan, atau ilmu pengetahuan. Royalti juga
mencakup keuntungan yang diperoleh dari penjualan, pertukaran, atau bentuk lain pengalihan
harta tidak berwujud atau hak-hak tersebut sepanjang jumlah yang direalisasi dari penjualan,
pertukaran, atau bentuk pengalihan lainnya tersebut bergantung kepada produktivitas,
penggunaan, atau pengalihan harta tidak berwujud atau hak-hak tersebut.

(b) Istilah "royalti yang digunakan dalam Pasal ini juga mencakup pembayaran-pembayaran
oleh penduduk salah satu Negara Pihak pada Perjanjian sehubungan dengan penggunaan, atau
hak untuk menggunakan, perlengkapan industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, namun
tidak termasuk kapal, pesawat udara, atau peti kemas yang penghasilan darinya dikecualikan
dari pajak oleh Negara Pihak lainnya pada Perjanjian berdasarkan Pasal 9 (Pelayaran dan
Penerbangan).

4. Ayat (2) tidak berlaku apabila penerima royalti, yang merupakan penduduk salah satu
Negara Pihak pada Perjanjian, mempunyai suatu bentuk usaha tetap atau tempat tetap di
Negara Pihak lainnya pada Perjanjian dan harta atau hak-hak yang menghasilkan royalti
tersebut mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut.
Dalam hal demikian, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 (Laba Usaha) atau Pasal 15
(Pekerjaan Bebas) akan berlaku

5. Jika jumlah royalti yang dibayarkan kepada orang/badan yang mempunyai hubungan
istimewa melebihi jumlah royalti seandainya dibayarkan kepada orang/badan yang tidak
mempunyai hubungan istimewa, ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini akan berlaku hanya atas
jumlah royalti seandainya tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam hal demikian,
jumlah kelebihan pembayaran tersebut dapat dikenakan pajak oleh masing-masing Negara
Pihak pada Perjanjian sesuai dengan perundang-undangannya, termasuk ketentuan-ketentuan
dalam Perjanjian ini.

Ringkasan P3B tarif PPh atas Royalti (umumnya sebagian besar ada di Pasai 11 atau 12) dan
Bunga (umumnya sebagian besar ada di Pasal 10 atau 11) berdasarkan Tax Treaty Indonesia
dengan negara-negara mitra adalah sebagai berikut.
Catatan:

1. royalti untuk penggunaan dan hak untuk menggunakan peralatan industri,


perdagangan, dan ilmiah,perolehan informasi atau pengetahuan di bidang ilmiah,
teknik atau perdagangan
2. tarif 10% untuk penggunaan atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta di bidang
kesusastraan, karya artistik atau ilmiah termasuk film sinematografi, dan film atau
pita rekaman untuk penyiaran televisi atau radio
3. tarif 15% diterapkan atas royalti dari penggunaan atau hak untuk menggunakan,
paten, merek dagang, rancangan atau model, rencana, proses atau formula rahasia,
atau setiap peralatan industri, perdagangan atau ilmiah; dan pemberian informasi yang
berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di bidang industri, perdagangan atau
ilmiah.
4. terdapat pembedaan tarif pajak atas bunga dalam P3B RI - Prancis, lihat bagian
penjelasan
5. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI- Jerman, lihat bagian
penjelasan
6. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI Italia, lihat bagian
penjelasan
7. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Norwegia, lihat bagian
penjelasan
8. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Rumania, lihat bagian
penjelasan
9. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Slovak, lihat bagian
penjelasan
10. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Swedia, lihat bagian
penjelasan
11. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Syria, lihat bagian
penjelasan
12. terdapat pembedaan tarif pajak atas bunga dan royalti dalam P3B RI - Thailand, lihat
bagian penjelasan
13. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI- Inggris, lihat bagian
penjelasan
14. terdapat pembedaan tarif pajak atas royalti dalam P3B RI - Amerika Serikat, lihat
bagian penjelasan
15. terdapat pembedaan tarif pajak atas bunga dalam P3B RI - Philippines

“ Terminasi mulai tanggal 1 Januari 2005


“” Khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup Lalu Lintas Internasional

PENJELASAN: BUNGA DAN ROYALTI

1. Kolom "Bunga

Secara umum kolom ini menjelaskan tarif pajak atas bunga yang timbul di suatu Negara
pihak pada Persetujuan bagi pemilik yang menikmatinya,

1. P3B RI-Prancis

Dalam ketentuan P3B ini, terdapat 2 (dua) macam tarif, umum dan khusus Pada Pasal 11 ayat
2 disebutkan bahwa pajak atas bunga dapat dikenakan di Negara pihak pada Persetujuan
tempat timbulnya bunga itu, namun apabila penerimanya adalah pemilik yang menikmati
langsung bunga tersebut maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 15% dari jumlah
bunga.

Sementara itu, pada Pasal 11 ayat 3. tarif pajak atas bunga tidak akan melebihi 10%
apabila bunga tersebut dibayarkan oleh suatu bank, lembaga keuangan atau suatu perusahaan
yang kegiatan utamanya berada di bidang pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan,
pertambangan, perakitan, industri, transportasi, proyek pengadaan rumah sederhana,
pariwisata dan infrastruktur, dan bunga tersebut dibayarkan kepada bank atau perusahaan
lainnya.

Terdapat pula pengecualian yang diatur dalam Pasal 11 ayat 4. bahwa bunga yang
timbul di suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak
lainnya pada Persetujuan jika dibayarkan kepada Negara pihak lainnya pada Persetujuan atau
lembaga-lembaga di dalamnya; atau dibayarkan kepada suatu perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan lainnya dari pinjaman atau kredit yang diberikan dengan partisipasi
lembaga pembiayaan publik Negara lainnya itu.

2. P3B RI-Thailand

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat 2 P3B ini, terdapat perbedaan tarif atas bunga. Dalam
hal Indonesia, bunga yang berasal dari Indonesia dan dibayarkan
kepada seorang penduduk Thailand dapat dikenakan pajak di Indonesia bersesuaian dengan
UU yang berlaku di Indonesia. namun besarnya pajak tersebut tidak melebihi 15% dari
jumlah bruto bunga.
Dalam hal Thailand, bunga yang berasal dari Thailand dan dibayarkan kepada penduduk
Indonesia, dapat dikenakan pajak di Thailand,namun besarnya pajak tersebut tidak melebihi:

a. 10% dari jumlah bruto bunga apabila bunga tersebut diterima oleh lembaga
keuangan (termasukperusahaan asuransi),

b. 25% dari jumlah bruto bunga untuk hal lainnya yang bersifat umum.

II. Kolom "Royalti"

Kolom ini merangkum pengenaan tarif pajak atas royalti dalam P3B baik yang bersifat umum
maupun khusus. Untuk yang bersifat khusus, terdapat beberapa penerapan yang berbeda
antar-P3B sebagai berikut.
1. P3B RI – Jerman
Pada Pasal 12 ayat 1 dan 2 dibedakan tarif pajak atas royalti untuk pembayaran tertentu.

a.15% dari jumlah bruto royalti untuk pembayaran atas penggu naan atau hak
untuk menggunakan:
 hak cipta atas karya sastra, artistik atau ilmiah (termasuk film
sinematografi dan film atau pita rekaman yang digunakan untuk
penyiaran radio atau televisi),
 paten, merek dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia,

b.10% dari jumlah bruto royalti untuk pembayaran atas penggu naan atau hak
untuk menggunakan:

 peralatan industri, perdagangan atau ilmiah,


 informasi yang berkaitan dengan pengalaman industri, per dagangan
atau ilmiah.
2. P3B RI-Italia

Pada Pasal 12 ayat 2 P3B ini terdapat pembedaan tarif royalti:


a. 10% dari jumlah bruto royalti dalam hal pembayaran atas penggunaan atau hak untuk
menggunakan:
 peralatan industri, perdagangan atau ilmiah,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang industri, perdagangan atau
ilmiah,
b.15% dari jumlah bruto royalti dalam hal lainnya.

3. P3B RI-Norwegia

Pada Pasal 12 ayat 2 P3B ini tarif royalti diterapkan berbeda:


a. 15% dari jumlah bruto royalti dalam hal pembayaran atas penggunaan atau hak untuk
menggunakan hak cipta atas kar ya sastra, artistik atau ilmiah termasuk film sinematografi
atau film atau pita rekaman untuk penyiaran radio atau televisi,
b.
c. 10% dari jumlah bruto royalti dalam hal pembayaran atas pem bayaran:

 paten, merek dagang, desain atau model, rencana, proses atau formula rahasia,
 penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan indus tri, perdagangan atau
ilmiah,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman industri, per dagangan atau ilmiah.
4. P3B RI-Rumania

Pada Pasal 13 ayat 2 P3B ini, tarif royalti dibedakan menjadi:

a. 12,5% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan:
 paten, merek dagang, desain atau model, rencana, prosesatau formula rahasia,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman industri, perdagangan dan ilmiah,
 film sinematografi atau pita rekaman untuk televisi atau penyiaran.
b. 15% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan:
hak cipta atas karya sastra, artistik atau ilmiah.

5. P3B RI-Slovakia

Pada Pasal 12 ayat 2 dijelaskan bahwa berlaku 2 (dua) macam tarif royalti:
15% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan:
 hak cipta, paten, software, desain atau model, rencana, proses atau formula rahasia,
merek dagang atau hak-hak lainnya yang sejenis,
 peralatan industri, perdagangan, dan ilmiah,
 informasi atau pengetahuan ilmiah, teknik, industri atau perdagangan,
 pemberian bantuan yang bersifat melengkapi dan mendukung atas hal-hal di atas,

6. P3B RI-Swedia

a. 15% dari jumlah bruto royalti yang meliputi pembayaran atas penggunaan atau hak untuk
menggunakan untuk keperluan siaran televisi atau radio, paten, merek dagang, desain atau
mo del, rencana, setiap hak cipta karya sastra, artistik dan ilmiah termasuk film sinematografi
dan film atau pita rekaman proses atau formula rahasia,

b. 10% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak un tuk menggunakan peralatan
industri, perdagangan atau ilmiah, atau untuk pemberian informasi pengalaman di bidang
indus tri, perdagangan atau ilmiah.

7. P3B RI-Syria
Pada Pasal 12 ayat 2 dan 3 dicantumkan 2 (dua) macam tarif:
a. 20% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan:

 paten, merek dagang, desain atau model, rencana,


 peralatan industri atau ilmiah,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang industri atau ilmiah,

b. 15% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan: hak cipta
atas karya sastra, artistik atau ilmiah termasuk film sinematografi atau pita rekaman untuk
keperlu an siaran televisi atau radio.

8. P3B RI-Thailand
Pada Pasal 12 ayat 2 P3B in., tarif atas royalti dikelompokkan men jadi 2 (dua) bagian:
a. 10% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan setiap hak
cipta atas karya sastra, artistik atau ilmiah,

b. 15% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak-hak untuk menggunakan:

 paten, merek dagang, desain atau model, rencana, proses atau formula rahasia,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang in dustri, perdagangan, dan
ilmiah,
 peralatan industri, perdagangan atau ilmich, film sinemato grafi atau pita rekaman
untuk keperluan siaran televisi atau radic.

9. P3B RI-Inggris

Pada Pasal 12 ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa tarif royalti digolong kan dalam 2 (dua)
kategori:
a. 15% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak un tuk menggunakan hak cipta
atas setiap karya sastra termask film sinematografi, dan film atau pita rekaman untuk
keperluan siaran televisi atau radio, paren, resep praktis, merek dagang desain atau model,
rencana, proses atau formula rahasia,
b. 10% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatatan
industri, perdagangan atau ilmiah.

10. P3B RI-Amerika Serikat

Pada Pasal 13 ayat 2 dan 3 disebutkan pembedaan 2 macam tariff royalti:


a. 10% dari jumlah bruto royalti dari penggunaan atau hak untuk menggunakan:
 hak cipta atas karya sastra, artistik atau ilmiah (termasuk hak cipta gambar bergerak,
film, pita rekaman atau sarana reproduksi lainnya yang digunakan untuk siaran radio
atau televisi),
 paten, desain, model, rencana, proses atau formula rahasia, merek dagang,
 informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang industri,perdagangan atau
ilmiah,
 keuntungan yang diperoleh dari penjualan, pertukaran atau pemindahan lainnya atas
hak milik atau hak-hak sepanjang jumlah yang direalisasikan sejalan dengan
produktivitas, penggunaan, atau pemindahan hak-hak tersebut,

b. 10% dari jumlah bruto royalti atas penggunaan atau hak-hak untuk menggunakan peralatan
industri, perdagangan atau il miah, tidak termasuk kapal laut, pesawat udara atau kontainer
dan penghasilan yang berasal dari apa yang dikecualikan dari pajak oleh Negara pihak
lainnya pada Persetujuan sesuai de ngan ketentuan yang diatur dalam Pasal 9.
Contoh Soal
1. PQR Ltd. adalah pemegang "copyright" dan produser pembuatan film yang berkedudukan
di India. PT MNA menjalin kerja sama dengan PQR Ltd. untuk mendapatkan lisensi dalam
penggunaan cara pembuatan film dari PQR Ltd., dan membayar royalti atas penggunaan
"copyright" tersebut sebesar 5% dari penjualan bersih. PQR Ltd. tidak memiliki BUT di
Indonesia. Bila royalti atas penggunaan "copyright" tersebut didasarkan atas omzet usaha, di
mana tahun 2016 tercatat omzet usaha sebesar Rp20 miliar, berapa pajak yang dikenakan atas
royalty fee yang diterima oleh PQR Ltd. tersebut?
Jawab:
Sesuai Treaty Indonesia - India, atas pembayaran royalty fee kepada PQR Ltd. tersebut dapat
dikenakan PPh Pasal 26 di Indonesia dengan tariff 15%, yakni: = 15% x (5% x Rp20 miliar)=
Rp150.000.000,00.

2. KLM Ltd. adalah sebuah perusahaan yang merupakan residen Malaysia, bergerak di
bidang usaha restoran cepat saji. KLM Ltd. memberikan lisensi kepada PT ABC untuk
membuka cabang di Indonesia, dengan kewajiban untuk membayar royalti atas pemakaian
merek dagang KLM Ltd. sebesar 5% dari penjualan bersih. KLM Ltd. tidak memiliki BUT di
Indonesia. Bila omzet usaha tahun 2016 sebesar Rp15 miliar, berapa pajak yang dikenakan
atas royalty fee yang diterima oleh KLM Ltd. tersebut?
Jawab:
Sesuai Treaty Indonesia - Malaysia, atas pembayaran royalty fee kepada KLM Ltd. tersebut
dapat dikenakan PPh Pasal 26 di Indonesia dengan tarif 1596, yakni:
-15% x (5% x Rp15 miliar) Rp112.500.000,00.

3. MM Ltd. adalah sebuah perusahaan yang merupakan residen Singa pura, bergerak di
bidang usaha pembuatan hardware server komputer dan pengembangan software untuk
aplikasi banking. MM Ltd. mendi rikan pabrik komputer dan pengembangan software di
Indonesia, Pendirian pabrik tersebut menimbulkan BUT di Indonesia (yakni BUT MM Ltd.).
PT KK Bank di Indonesia membuat kontrak pemakaian lisensi software dengan MM Ltd.
tahun 2016 dengan royalty fee sebe sar Rp500 juta, dengan cara melakukan pembayaran
langsung kepada MM Ltd. yang berkedudukan di Singapura. Bagaimana pemajakan atas
royalty fee yang diterima oleh MM Ltd. tersebut?
Jawab:
MM Ltd. Singapura adalah wajib pajak luar negeri, namun karena me miliki BUT di
Indonesia (yakni BUT MM Ltd.), maka sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984, BUT
MM Ltd. dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya di Indonesia harus
dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri. Oleh sebab itu, meskipun pem bayarannya
dilakukan langsung ke MM Ltd. Singapura, maka atas penerimaan royalty fee oleh MM Ltd.
sebesar Rp500 juta tersebut se suai dengan Pasal 12 Treaty Indonesia - Singapura, atas
pembayaran royalty fee kepada MM Ltd. tersebut dapat dikenakan PPh Pasal 26 di Indonesia
dengan tarif 15%, yakni: 15% x (5% x Rp500juta) = Rp3.750.000,00.
Pada umumnya di sebagian besar P3B Indonesia, ketentuan royalti dia tur dalam Pasal 12 Tec
Treaty, Sebagai ilustrasi, berikut adalah Pasal 12 Tax Treaty Indonesia-China.

1. Royalti yang timbul di Negara Pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk
Negara Pihak lainnya pada Persetujuan dapat dike nakan pajak di Negara Pihak lainnya
tersebut.

2. Tarif pajak yang disenakan oleh salah satu Negara Pihak pada Perse tujuan atas royalti
yang diperoleh yang bersumber ci Negara tersebut dan dimiliki oleh pihak yang menikmati
royalti tersebut yang meru pakan penduduk Negara Pihak lainnya pada Persetujuan tidak
akan melebihi 10 persen dari jumlah bruto royalti.

3. Istilah "royalti sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti pembayaran-pembayaran,


baik secara berkala maupun tidak, dan dalam ben tuk, nama, atau istilah apa pun sepanjang
pembayaran tersebut dibuat sebagai imbalan untuk:

a. penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta, paten, desa in atau model, rencana,
formula atau proses rahasia, merek dagang. atau harta atau hak lainnya yang serupa; atau
b. penggunaan, atau hak untuk menggunakan, peralatan industri, perdagangan, atau ilmu
pengetahuan; atau
c. pemberian pengetahuan atau informasi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,
teknik, industri atau perdagangan; atau
d. pemberian yang merupakan pelengkap dan tambahan atau kenikmatan dari setiap harta
atau hak sebagaimana dimaksud da lam huruf (a), peralatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf (b), atau pengetahuan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam hu ruf (c); atau

e. penggunaan, atau hak untuk menggunakan:


i. film-film bioskop; atau

ii. film-film atau video yang digunakan dalam hubungannya dengan siaran
televisi; atau

iii. pita-pita yang digunakan dalam hubungannya dengan siaranradio; atau

f. seluruh atau sebagian pembayaran sehubungan dengan penggunaan atau penyediaan harta
atas hak yang dimaksud dalam ayat ini.

4. Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku jika pihak yang menikmati
royalti tersebut, yang merupakan penduduk suatu Negara Pihak pada Persetujuan,
menjalankan usaha di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan di mana royalti tersebut timbul
melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau melakukan pekerjaan bebas di
Negara Pihak lainnya tersebut melalui suatu tempat usaha te tap yang berada di sana, dan hak
atau harta yang menghasilkan royalti tersebut mempunyai hubungan efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat usaha tetap. Dalam hal demikian, tergantung pada masalah nya,
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 atau Pasal 14 akan berlaku..

5. Royalti dianggap timbul di Negara Pihak pada Persetujuan apabila pembayarnya adalah
Negara itu sendiri, pemerintah daerahnya, atau penduduk Negara Pihak pada Persetujuan
tersebut. Namun demikian, apabila orang/badan yang membayar royalti tersebut, tanpa
meman dang apakah ia penduduk suatu Negara Pihak pada Persetujuan atau bukan, memiliki
bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara Pihak pada Persetujuan di mana
kewajiban membayar royalti tersebut timbul, dan royalti tersebut menjadi beban bentuk usaha
te tap atau tempat usaha tetap, maka royalti tersebut dianggap timbul di Negara Pihak pada
Persetujuan di mana bentuk usaha tetap atau tem pat usaha tetap tersebut berada.
6. Apabila, karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar royalti dengan pihak
yang menikmati manfaat dari royalti tersebut atau antara keduanya dengan orang/badan lain,
jumlah royalti yang dibayarkan, dengan memperhatikan penggunaan, hak, atau informasi
yang menghasilkan royalti tersebut, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati antara
pembayar dan pemilik manfaat dari royalti tersebut apabila mereka tidak mempunyai
hubungan istimewa, maka keten tuan-ketentuan dalam Pasal ini akan berlaku hanya atas
jumlah yang disebutkan terakhir tersebut. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran
tersebut akan tetap dikenakan pajak di Negara Pihak pada Persetujuan di mana royalti
tersebut timbul sesuai dengan perundang undangan Negara tersebut.

C. P3B Atas Capital Gain

Dalam Tax Treaty, pemajakan atas capital gain yang dimiliki oleh penduduk suatu negara
yang berada di negara lain dibagi dalam beberapa item, yaitu sebagai berikut.

1. Capital gain atas harta tak gerak (immovable property)


2. Capital gain atas BUT (permanent establishment)
3. Capital gain terkait dengan pelayaran dan penerbangan internasional
4. Kepemilikan saham lebih dari 50%
5. Capital gain lainnya

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendetail tentang perlaku kan perpajakan
terhadap "Capital Gain" antara Model United Nations,
Model OECD, dan Model Indonesia, berikut isi lengkap dari Pasal 13 ten tang Capital Gain
dari masing-masing model.

Article 13 Model United Nations (UN) CAPITAL GAINS

1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of immovable


property referred to in article 6 and situated in the other Contracting State may be taxed in
that other State.
2. Gains from the alienation of movable property forming part of the business property of a
permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other
Contracting State or of movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a
Contrac ting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent
personal services, including such gains from the alienati on of such a permanent
establishment (alone or with the whole enter prise) or of such fixed base, may be taxed in that
other State.

3. Gains from the alienation of ships or aircraft operated in internatio nal traffic, boats
engaged in inland waterways transport or movable property pertaining to the operation of
such ships, aircraft or boats, shall be taxable only in the Contracting State in which the place
of ef fective management of the enterprise is situated.

4. Gains from the alienation of shares of the capital stock of a company, or of an interest in a
partnership, trust or estate the property of which consists directly or indirectly principally of
immovable property situ ated in a Contracting State may be taxed in that State. In particular:

1) nothing contained in paragraph 4 shall apply to a company, par tnership, trust or


estate, other than a company engaged in the business of management of immovable
properties, the property of which consists directly or indirectly principally of
immovable property used by such company, partnership, trust or estate in its business
activities;
2) for the purposes of this paragraph, "principally" in relation to ownership of
immovable property means the value of such immovable property exceeding seventy
five percent of the aggregate value of all assets owned by the company, partnership,
trust or estate.
5. Gains from the alienation of shares other than those mentioned in pa ragraph 4 representing
a participation of ..... percent (the percentage is to be established through bilateral
negotiations) in a company which is a resident of a Contracting State may be taxed in that
State.
6. Gains from the alienation of any property other than that referred to in paragraphs 1, 2, 3, 4
and 5 shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident.

Article 13 Model OECD CAPITAL GAINS


1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation
of immovable property referred to in Article 6 and situated in the ot her Contracting
State may be taxed in that other State.
2. Gains from the alienation of movable property forming part of the business property
of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the
other Contracting State, including such gains from the alienation of such a permanent
establishment (alone or with the whole enterprise), may be taxed in that other State.
3. Gains from the alienation of ships or aircraft operated in internatio nal traffic, boats
engaged in inland waterways transport or movable property pertaining to the
operation of such ships, aircraft or boats, shall be taxable only in the Contracting State
in which the place of ef fective management of the enterprise is situated.
4. Gains from the alienation of any property other than that referred to in paragraphs 1, 2
and 3, shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a
resident.

Article 13 Model OECD CAPITAL GAINS


1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of
immovable property reffered to in article 6 and situated in the other Contracting state
may be taxed in that other state.
2. Gains from the alienation of movable property forming part of the business
property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has
in the other Contracting State or of movable property pertaining to a fixed base
available to a resident of a Contrac ting State in the other Contracting State for the
purpose of performing independent personal services, including such gains from the
alienati on of such a permanent establishment (alone or with the whole enter prise) or
of such fixed base, may be taxed in that other State.
3. Gains derived by an enterprise of a Contracting State from the alie nation of
ships or aircraft operated in international traffic or movable property pertaining to the
operation of such ships or aircraft shall be taxable only in that State.
4. Gains from the alienation of any property other than that referred to in the
preceding paragraphs shall be taxable only in the Contracting State of which the
alienator is a resident.

KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHAN HARTA


1. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta tak berge rak seperti yang
dimaksud dalam ayat 2 Pasal 6 dapat dikenakan pajak di Negara di mana harta tersebut
terletak.

2. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta gerak yang merupakan bagian
kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau dari harta gerak suatu tempat
tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetu juan di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya untuk maksud mela kukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan
dari pemindah tanganan
bentuk usaha tetap (tersendiri atau dengan seluruh perusahaan) pemindahtanganan tempat
tetap, dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut. Namun demikian keuntungan yang
diperoleh dari pe mindahtanganan kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara yang di
operasikan oleh perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dalam jalur lalu lintas
internasional atau dari harta gerak yang berkenaan de ngan pengoperasian kapal-kapal laut
atau pesawat-pesawat udara terse but, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan di mana perusahaan tersebut berkedudukan. atau

3. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan saham perusa haan, yang kekayaannya
terutama terdiri dari barang tak gerak yang terletak di Negara pada pihak Persetujuan, akan
dikenakan di negara itu. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan hak atas per
sekutuan atau perusahaan perserikatan, yang kekayaannya terutama terdiri harta tak gerak
yang terletak di Negara pihak pada Persetujuan, akan dikenakan pajak di negara itu.

4. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan setiap harta selain dari yang telah
disebutkan pada ayat 1, 2, dan 3 dari Pasal ini, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak
pada Persetujuan di mana yang memindahtangankan berkedudukan.
Bila ditabulasikan pemajakan atas Capital Gain tersebut dalam Tax Treaty dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
Pada umumnya di Sebagian besar P3B Indonesia. Ketentuan Capital Gain diatur dalam pasal
13 Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya, seperti terlihat dalam table berikut
Kepemilikan Saham oleh WPLN

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tanggal 24 Agustus


1999 tentang Pemotongan PPh Pasal 26 Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri (WPLN) selain BUT atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham oleh
Perseroan Terba tas Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham
WPLN dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik seba gaimana dimaksud
dalam UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, ditentukan sebagai berikut.

1. Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk
Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
2. Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempu nyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indone sia, maka pemotongan pajak hanya
dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak
Indonesia.
3. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% (dua puluh lima per sen) dari harga
jual, sehingga besarnya pembayaran PPh Pasal 26 ada lah 20% x 25% atau 5% (lima
persen) dari harga jual, dan bersifat final. (Pasal 2 KMK.434)
4. Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atauditerima WPLN
dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya
diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
5. Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang di jual apabila
kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 telah dibayar lu nas dengan menyerahkan fotokopi bukti
pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.
6. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pe mungut pajak
adalah Perseroan.

Contoh Soal 1
Penjualan Aset Non-BUT
Mr. George adalah penduduk negara Singapura di mana Indonesia memi liki P3B. Mr.
George memiliki apartemen di Surabaya. Pada bulan De sember 2016, ia menjual apartemen
tersebut seharga Rp2 miliar.
Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas hasil penjualan apartemen tersebut?
Jawab:
Karena apartemen tersebut terletak di negara Indonesia, maka keuntung an yang diperoleh
dari hasil penjualan/pemindahtangan harta tersebut, hak pemajakannya berada di negara di
mana apartemen terletak, yakni di negara Indonesia. Jadi atas pengalihan apartemen tersebut,
sesuai Pa sal 4 (2) UU PPh akan dikenakan PPh Final sebesar 5% x Rp2 miliar =
Rp100.000.000,00

Contoh Soal 2

Penjualan Aset BUT

BUT Gymnus Gmbh. dari Jerman yang memiliki NPWP dan sebagai PKP terdaftar sejak
2013 di KPP Badora Jakarta, memutuskan untuk beroperasi di Indonesia sejak 2013. Awal
tahun 2015 BUT Gymnus Gmbh. membeli beberapa mobil operasionalnya sebagai berikut.

Gymnus Gmbh, merencanakan akan menutup usahanya di Indonesia pada bulan Desember
2016 dan menjual semua kendaraan yang dimiliki nya di Indonesia pada bulan yang sama.
Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas penjualan mobil-mobil tersebu di atas?

Jawab:

Berikut adalah Pasal 22 Tax Treaty Indonesia Jerman, tentang Capital menyebutkan sebagai
berikut.

Article 22 CAPITAL

1. Capital represented by immovable property, owned by a resident of a Con tracting State


and situated in the other Contracting State, may be taxed in that other State
2. Capital represented by movable property forming part of the busines property of a
permanent establishment which an enterprise of a Contrac ting State has in the other
Contracting State or by movable property per taining to a fixed base available to a
resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of
performing independent personal services, may be taxed in that other State.
3. Ships and aircraft operated in international traffic by a resident of a Cantracting State
and movable property pertaining to the operation of such ships or aircraft, shall be
taxable only in that State
4. All other elements of capital of a resident of a Contracting State shall be taxable only in
that State.

Sesuai Pasal 22 ayat (2) Tax Treaty tersebut, yang menyatakan bahwa Kekayaan berupa
harta bergerak yang merupakan bagian yang diperguna kan untuk melakukan kegiatan dari
suatu bentuk usaha tetap dari suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan (dalam
hal ini Jerman) yang berada di Negara pihak pada Persetujuan lainnya (dalam hal ini Indo
nesia) atau harta bergerak yang merupakan bagian dari suatu tempat tetap dari penduduk
Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Perse tujuan lainnya untuk tujuan
pelaksanaan pekerjaan bebas, dapat dikenakan pajak di Negara lain (dalam hal ini Indonesia)
Dengan demikian, pemajakan atas capital gein tersebut dilakukan di Indonesia. Sifat hak
pemajakan yang dianut adalah hak pemajakan penuh (elively taxing right), yang artinya
Indonesia memiliki hak pemajakan penuh memajaki capital gain tersebut sesuai UU PPh
Perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut.

1. Pengenaan PPh:

Harga jual Rp 1.150.000.000


Nilai Buku Rp 956.000.000
Keuntungan Rp 204.000.000

Keuntungan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan PPh Badan BUT Gymnus Gmbh.
Tahun 2016.

2. Pengenaan PPN

Atas penjualan kendaraan tersebut di atas termasuk dalam kategori aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan terjadi (Pasal 16D UU PPN) sebesar Rp1.150.000.000, sehingga pada saat
penjualannya Ba dan BUT Gymnus Gmbh. harus membuat faktur pajak sebesar 10% x
Rp1.150.000.000 Rp115.000.000,00 untuk dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan Desember
2016.

Contoh Soal 3

Maskapai Penerbangan "X" Airlines Corp Jerman pada awal tahun 2016 menjual sebuah
pesawat terbang miliknya yang selama ini digunakan oleh jalur lalu lintas internasionalnya
kepada Maskapai Penerbangan Indonesia PT ABC Air.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas hasil penjualan pesawat terbang tersebut?


Jawab:

Sesuai Pasal 22 ayat (3) Tax Treaty tersebut, yang menyatakan bahwa kapal dan pesawat
udara yang dioperasikan di jalur lalu lintas internasional oleh seorang penduduk dari Negara
pihak pada Persetujuan dan harta bergerak yang merupakan bagian dari pengoperasian kapal-
kapal atau pesawat uda ra, hanya dikenakan pajak di Negara tersebut.
Dengan demikian pemajakan atas capital gain tersebut dilakukan di Jer man, yang
artinya Indonesia tidak dapat memajaki penghasilan dari penju alan pesawat tersebut dan
harus dipajaki di negara Jerman.
Sifat hak pemajakan yang dianut adalah pelepasan hak pemajakan (reli nguished taxing
rights), yang artinya Indonesia melepaskan hak pemajakan kepada negara Jerman.

Contoh Soal 4

Perusahaan "KK" Ltd. yang penduduk negara Korea Selatan menguasai lebih dari 50%
saham PT ABC dari nilainya secara langsung atau tidak langsung terkait dengan harta tak
gerak yang terletak di negara pihak pada persetujuan lainnya (negara sumbe:, yakni
Indonesia), pada awal tahun 2016 menjual sahamnya seluruhnya kepada PT KLM seharga
Rp3 miliar.

Pertanyaan:

a. Menurut Model OECD dan Model UN, negara mana yang berhak memajaki atas
penjualan saham tersebut?
b. Pertanyaan yang sama dengan no. a di atas, bila "KK" Ltd. me nguasai persentase
tertentu saham PT ABC selain yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1), (2), (3), dan (4)
Model OECD dan Model UN?
c. Pertanyaan yang sama dengan no. a di atas, bila "KK" Ltd. hanya menguasai 20% saham
PT ABC menjual sahamnya kepada PT MM?
Jawab:

a. Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) Model OECD dan Pasal 13 ayat (4) Model UN, ketentuan
bahwa keuntungan dari pemindahtanganan saham yang berasal dari 50% dari nilainya
secara langsung atau ti dak langsung terkait dengan harta tak gerak yang terletak di
negara pihak pada persetujuan lainnya (negara sumber, yakni Indonesia) dapat dikenakan
pajak di negara lainnya (yakni, Indonesia).
Ketentuan pada butir ini tidak terdapat dalam Model Tax Treaty Indonesia.
b. Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Model UN, keuntungan dari pemin dahtanganan saham
lainnya mewakili partisipasi dengan persenta se tertentu (yang disepakati melalui
negosiasi bilateral) dalam suatu perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara
pihak pada persetujuan (negara sumber) hanya akan dikenakan pajak di negara pihak
pada persetujuan (negara domisili) di mana yang memindah tangankan (alienator) harta
tersebut berdomisili.
c. Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Model OECD, Pasal 13 ayat (6) Mo del UN, serta Pasal 13
ayat (4) Model Indonesia, pada prinsipnya atas keuntungan dari pemindahtanganan
(alienation) "harta lain nya" hanya akan dikenakan pajak di negara pihak pada persetuju
an (negara domisili) di mana yang memindahtangankan (alienator) harta tersebut
berdomisili.

Menurut Model Tax Treaty Indonesia, atas capital gain tersebutIndonesia tidak boleh
memajaki.

Contoh Soal 5

PT Sawit Melindo merupakan perusahaan pengelola kebun sawit di Indo nesia. Pemegang
saham terbesar perusahaan ini adalah Melindo Oil Ltd. yang berdomisili di Malaysia, yang
menguasai saham sebesar 80% senilai Rp5 miliar. Pada tanggal 10 Januari 2016, Melindo Oil
Ltd. menjual sa hamnya kepada:
1. Palm Oil Lrd. di Malaysia Rp 15 miliar
2. PT Bumi Sawit di Indonesia Total Rp 10 miliar

Total Rp 25 miliar
Pertanyaan:

1. Kewajiban perpajakan apa yang dilakukan oleh PT Sawit Melindo ter hadap transaksi di
atas?
2. Kewajiban perpajakan apa yang dilakukan oleh PT Bumi Sawit terha dap transaksi di
atas?

Jawab: Melindo Oil Ltd. Malaysia adalah WPLN yang memiliki saham di Indo nesia melalui
PT Sawit Melinde. Negara Indonesia memiliki Tax Treaty dengan Malaysia.
Karena transaksi penjualan saham tersebut menyangkur transaksi lin tas batas negara
(cross border transaction), maka terlebih dahulu kita harus pastikan apakah terdapat Tax
Treaty yang mengatur transaksi pengalihan/ penjualan saham lintas batas negara.
Pasal 13 ayat (3) Tax Treaty Indonesia - Malaysia tentang Keuntungandari
Pemindahtanganan Harta (Capital Gain) menyatakan bahwa:

Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan saham perusa haan, yang kekayaannya
terutama terdiri dari barang tak gerak yang terletak di Negara pada pihak Persetujuan (dalam
hal ini Indonesia), akan dikenakan di negara itu (Indonesia). Keuntungan yang diper oleh dari
pemindahtanganan hak atas persekutuan atau perusahaan perserikatan, yang kekayaannya
terutama terdiri harta tak gerak yang terletak di Negara pihak pada ?ersetujuan, akan
dikenakan pajak di negara itu.

Berdasarkan Tax Treaty tersebut di atas, transaksi penjualan saham yang dilakukan oleh
Melindo Oil Ltd. dapat dikenakan pajak di Indonesia, dan sesuai dengan Pasal 2 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 434/ KMK.04/1999 dikenakan tarif pemotongan PPh sebesar 20%
x 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual, dan bersifat final.

1. Dengan demikian, kewajiban perpajakan bagi PT Sawit Melindo ter hadap penjualan
saham Melindo Oil Ltd. (di PT Sawit Melindo) ke pada Palm Oil Ltd. di Malaysia adalah
melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 5%, yakni sebesar 5% x Rp15 miliar =
Rp750 juta, dan PT Sawit Melindo wajib menyetorkannya ke Kas Negara selambat-
lambatnya tanggal 10 Februari 2016 serta melaporkan pemo tongan tersebut di SPT
Masa PPh Pasal 26 selambat-lambatnya tang gal 20 Februari 2016.
2. Sedangkan kewajiban perpajakan bagi PT Bumi Sawit di Indonesia terhadap penjualan
saham Melindo Oil Ltd. (di PT Sawit Melindo) kepada PT Bumi Sawit di Indonesia
adalah melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 5%, yakni sebesar 5% x Rp10
miliar Rp 500 juta, dan PT Bumi Sawit wajib menyetorkannya ke Kas Negara selambat-
lambatnya tanggal 10 Februari 2016 serta melaporkan pemo tongan tersebut di SPT
Masa PPh Pasal 26 selambat-lambatnya tang gal 20 Februari 2016.

SOAL LATIHAN

1. ABC International, Inc., sebuah perusahaan Amerika Serikat yang ber gerak di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi mendapat hak konsesi dari Pertamina untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Kawasan Teluk Jabo, NTT. Setelah
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi berjalan, ABC International, Inc., berkewajiban
membayar royalti kepada Pertamina sebesar 0,1% dari crude oil yang ditambang.Di
tahun 2015, ABC International, Inc. menjual hak konsesi penambangan tersebut kepada
XYZ. Ltd., yang juga perusahaan minyak dan gas bumi Amerika. Atas penjualan
tersebut, ABC International, Inc. memperoleh keuntungan sebesar USD5.000.000.
Pertanyaan:
Bahas aspek perpajakan internasional transaksi tersebut berdasarkan P3B RI - AS dan
prosedur pemajakannya menurut UU domestik!
2. A Ltd. penduduk negara X memberikan lisensi pemakaian merek ke pada anak
perusahaannya, yaitu PT B. sebuah perusahaan yang berke dudukan di Indonesia dengan
kewajiban membayar lisensi Rp1 miliar. Di saat yang sama A Ltd. memberikan lisensi
kepada PT C, pihak yang tidak ada hubungan istimewa, dengan kewajiban membayar li
sensi Rp300 juta.
Pertanyaan: Hitung PPh yang terutang atas penghasilar, dari lisensi tersebut!
3. YY Pte Ltd.Singapore adalah perusahaan yang didirikan dan berdomi sili di negara
Malaysia di mana Indonesia dan Malaysia telah memiliki Tax Treaty. YY Pte Ltd.
Singapore memberikan pinjaman sebesar Rp2 miliar kepada PT BB di Indonesia.
Pinjaman tersebut dimaksudkan untuk membeli produk yang dijual oleh BUT YY Pte
Ltd. di Indone sia, dan sesuai dengan perjanjian pemberian pinjaman, PT BB dikena kan
bunga 5%/tahun kepada YY Pte Ltd. YY Pte Ltd. Singapore tidakmemiliki hubungan
istimewa cengan PT BB. Pertanyaan:
a. Bagaimana pemajakan atas bunga yang dibayar oleh PT BB kepada YY Pte Ltd.
Singapore tersebut?
b. Berapa besar PPh-nya dan jenis PPh apa?
4. SIN Bank Pte. Ltd Singapore adalah sebuah bank yang menjadi pen duduk Singapura.
Pada suatu saat SIN Bank Pte. Ltd memberikan
pinjaman kepada PT Indomaju dengan bunga sebesar Rp200 juta pertahun.
Pertanyaan:
a. Siapa yang berhak memajaki bunga pinjaman tersebut? b. Berapa besar PPh-nya dan
jenis PPh apa?
5. BUT MM Ltd. di Indonesia yang kantor pusatnya didirikan dan ber kedudukan di negara
Malaysia memperoleh pinjaman sebesar 15 mi liar dari AB Finance Ltd. yang
berkedudukan di Singapura. Atas pin jaman tersebut BUT MM Ltd. di Indonesia
berkewajiban membayar bunga, yang menjadi menjadi beban BUT MM Ltd., dengan
bunga 10%/tahun.
Pertanyaan:
a. Siapa yang berhak memajaki bunga pinjaman tersebut? b. Berapa besar PPh-nya dan
jenis PPh apa?
6. EF Ltd. adalah perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Hong Kong. EF Ltd.
memberikan pinjaman sebesar Rp10 miliar kepada PT BC di Indonesia. Pinjaman
tersebut dimaksudkan untuk membeli produk yang dijual oleh BUT EF Ltd. di Indonesia.
Atas pinjaman tersebut PT BC membayar bunga kepada EF Ltd, dengan bunga 10%/
tahun.
Pertanyaan:
a. Siapa yang berhak memajaki bunga pinjaman tersebut? b. Berapa besar PPh-nya dan
jenis PPh apa?
7. AB Ltd., penduduk negara AS, memberikan pinjaman kepada anak peru sahaannya di
Indonesia yaitu PT CD sebesar Rp10 miliar dengan tingkat bunga sebesar 25%,
sedangkan tingkat bunga yang wajar adalah 129%.
Pertanyaan:
a. Bagaimana perlakuan atas bunga pinjaman tersebut?
b. Siapa yang berhak memajaki bunga pinjaman tersebut? c. Berapa besar PPh-nya dan
jenis PPh apa?
8. Dalam tahun 2014 PT ABC melakukan beberapa transaksi yang terka it dengan jasa dari
luar negeri. Di antaranya adalah asa konsultasi dari konsultan Korea, Korean Consult
Ltd., senilai US$50.000. Perusahaan konsultan Korea tersebut memiliki Certificate of
Domicile (COD) dari Korea, dan melakukan pekerjaan tersebut di Indonesia selama 190
hari. Kurs US$1 Rp13.000.
Pertanyaan:
a. Jelaskan bagaimana starus Korean Consult Ltd. tersebut, apakah se bagai WPDN,
WPLN, atau BUT di Indonesia? Berikan alasannya atau dasar hukumnya!
b. Berapa Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong oleh PT ABC atas pemberian fee
jasa konsultasi kepada Korean Consult Ltd. ter sebut?

9. PT ABC, Jakarta memiliki saham yang dibelinya dari Bursa Efek Si ngapura senilai
US$50.000,00. Emiten saham (perusahaan yang me nerbitkan saham) tersebut adalah
sebuah perusahaan industri elektro nik di Singapura yang bernama HongLiong Pte. Ltd.
Pada tahun 2016 PT ABC menerima dividen dari HongLiong Pte. Ltd. Singapore sebe
sar USD6.000,00. Kurs USD1 Rp13.200.
Pertanyaan:
a. Jelaskan bagaimana status HongLiong Pte. Ltd. tersebut, apakah se bagai WPDN,
WPLN, atau BUT di Indonesia? Berikan alasannya atau dasar hukumnya!
b. Berapa Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong oleh HongLi ong Pte. Ltd.
Singapore atas pemberian dividen kepada PT ABC Jakarta tersebut?
10. PT DEF, Jakarta memiliki saham yang dibelinya dari Bursa Efek Ma laysia senilai
US$100.000,00. Emiten saham (perusahaan yang mener bitkan saham) tersebut adalah
sebuah perusahaan industri elektronik di Malaysia yang bernama Malay. Ltd. Pada tahun
2014 PT DEF menerima dividen dari Malay. Ltd. sebesar USD8.000,00. Kurs USDI
Rp13.000.
Pertanyaan:
a. Jelaskan bagaimana status Malay. Ltd. tersebut, apakah sebagai WPDN, WPLN, atau
BUT di Indonesia? Berikan alasannya ataudasar hukumnya!
b. Berapa Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong oleh Malay. Ltd. Malaysia atas
pemberian dividen kepada PT DEF Jakarta ter sebut?
c. Apakah pajak yang dipotong tersebut dapat dikreditkan (kredit pa jak) oleh PT DEF
Jakarta dan berapa besarnya, bila penghasilan dari dalam negeri sebesar Rp50 miliar dan
omzet/peredaran bruto sebesar Rp200 miliar?
PERTANYAAN
1). Jelaskan pengertian deviden
2). Jelaskan pengertian deividen portfolio dan deividen penyertaan langsung!
3). Apa saja keuntungan jika melakukan pemindahan harta

Anda mungkin juga menyukai