Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENELITIAN

Dari Pelaporan Menuju


Reputasi: Relasi Pelaporan
Sukarela dalam Pembentukan
Ketaatan HAM Perusahaan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

2021
ABSTRAK

Sosiologi penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia menggambarkan PRISMA - Penilaian
Risiko Bisnis dan HAM, sebagai sebuah kerangka kerja uji tuntas hak asasi manusia. Merujuk sisi
metodologisnya, beberapa aspek kepenataaan di dalam PRISMA mengungkapkan dua karakteristik:
pertama, bentuk aktivitas pemerintah mengumpulkan dan menilai hasil pelaporan informasi penilaian
risiko hak asasi manusia oleh perusahaan disertai dialog guna memperbaiki ketaatan pada norma hak
asasi manusia yang berimplikasi pada aspek sosio-legal; dan kedua, aktivitas perusahaan melaporkan
informasi penilaian risiko hak asasi manusia perusahaan secara mandiri melalui mekanisme voluntary
disclosure. Melalui pendekatan kepenataan yang dipopulerkan oleh Foucault, analisis terhadap aktivitas
PRISMA menggambarkan apa yang disebut oleh Vallentin dan Murillo “governing at a distance” atau
menata kelola dari kejauhan oleh pemerintah yang, dalam konteks ini, berpeluang sebagai media
transformasi perusahaan menjadi individu dan diterima sebagai “individu baru” (subjek hukum) yang
taat pada norma hak asasi manusia, baik di lingkungan sosial maupun lingkungan bisnis. PRISMA dalam
perspektif kewajiban negara/pemerintah melindungi hak asasi manusia, adalah memberikan dukungan
kepada perusahaan agar secara mandiri mampu memahami konteks “hak asasi manusia” dalam aktivitas
bisnisnya, mampu mengelola risiko hak asasi manusianya, serta mampu menangani dampak aktual dan
memitigasi dampak potensialnya hingga secara menyeluruh dapat membentuk perusahaan yang mampu
bertanggungjawab dalam menghormati hak asasi manusia.
Kata Kunci: penerjemahan, PRISMA, uji tuntas, pelaporan, kepenataan.

i
ABSTRACT

The translation of business and human rights in Indonesia, at the very least, provides an
overview of PRISMA or Business and Human Rights Risk Assessment as a human right due
diligence framework. Referring to the methodological basis of PRISMA, some of its
governmentality activities are identified as: first, the form of government activity in collecting
and assessing the results of reporting on human rights risk assessment information by
companies accompanied by dialogue to improve compliance with human rights norms which
have implications for socio-legal aspects and secondly, the company's activities report
information on the company's human rights risk assessment independently through the
mechanism of voluntary disclosure. Through the governance approach popularized by Foucault,
analysis of PRISMA activities as what Vallentin and Murillo called is described as “governing
at a distance” or managing from a distance by the government in this context, which has the
opportunity as a medium for the transformation of companies into “individuals” and is accepted
as “new individuals” of legal subjects who adhere to human rights norms, both in the social and
business environment. In essence, PRISMA in the perspective of the state/government's
obligation to protect human rights, is seen to provide support to companies so that they are able
to independently understand the context of "human rights" in their business activities, are able
to manage their human rights risks, and are able to handle actual impacts and mitigate potential
impacts to a minimum and companies that are capable of being responsible for respecting
human rights.
Keywords: translation, PRISMA, due diligence, reporting, governmentality.

ii
KATA SAMBUTAN

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa - atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tim Pengkaji dapat menyelesaikan Kajian Isu Aktual Bisnis
dan Hak Asasi Manusia dengan judul “Dari Pelaporan Menuju Reputasi: Relasi Pelaporan
Sukarela Dalam Pembentukan Ketaatan HAM Perusahaan”. Untuk itu kami sampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap Tim Pengkaji yang telah berhasil menyelesaikan
kajian ini dengan baik dan tepat waktu.
Seperti diketahui bahwa perusahaan yang menjalankan bisnis di Indonesia wajib
memerhatikan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan dibuat
sebagai rambu untuk memusatkan perhatian perusahaan (korporasi) terhadap lingkungannya
baik lingkungan internal perusahaan maupun eksternal perusahaan, seperti: lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, lingkungan sosial-budaya masyarakat yang dekat dan rentan terkena dampak
dari operasionalisasi perusahaan. Hal tersebut harus mendapatkan perhatian penuh dari
perusahaan karena erat kaitannya dengan risiko dan dampak hak asasi manusia.
Telah tersedianya beragam instrumen pelaporan hak asasi manusia oleh perusahaan beserta
mekanismenya saat ini tentunya memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam memberikan
laporan. Hadirnya PRISMA sebagai platform penilaian risiko hak asasi manusia oleh
perusahaan terhadap aktivitas bisnisnya, selain sebagai sarana/alat pengumpulan informasi
penilaian risiko hak asasi manusia (human rights risk assessment) perusahaan, juga berperan
sebagai alat menata kelola perusahaan dari kejauhan (governing at a distance) untuk
membentuk perusahaan sebagai satu entitas yang mampu menerapkan prinsip penghormatan
HAM dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pemangku
kepentingan yang telah memberikan dukungan penuhnya bagi terlaksananya kegiatan
pengkajian ini. Kami juga berharap kedepannya semakin banyak kerjasama dengan
Kementerian dan Lembaga lain untuk memperkuat eksistensi Badan Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan HAM. Kami juga menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penyusunan laporan pengkajian ini, untuk itu kami tetap mengharapkan masukan dan
saran serta kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan kegiatan pengkajian kedepannya.
Kami harapkan hasil dari kegiatan ini, sekecil apapun itu, dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Asasi Manusia dan segenap pihak
yang membutuhkan.
Akhirul kalam wa billahi taufiq wal hidayah, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, Juli 2021


Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum
Hukum dan HAM

Dr. Sri Puguh Budi Utami, S.H., M.H.


NIP 196207021987032001

iii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat serta
karunia-Nya, berupa kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada Tim Pengkaji untuk dapat
menyelesaikan kegiatan pengkajian ini. Tanpa kehendak-Nya, pastinya Tim Pengkaji tidak
dapat menyelesaikan pengkajian dengan baik.
Pada tahun 2021 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM melaksanakan
kegiatan pengkajian isu aktual bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia
dengan mengambil tema Bisnis dan HAM dengan judul “Dari Pelaporan Menuju Reputasi:
Relasi Pelaporan Sukarela Dalam Pembentukan Ketaatan HAM Perusahaan”. Tema ini
dipilih mengingat fakta bahwa hak asasi manusia bersifat wide encompassing yakni mencakup
segala aspek termasuk juga dalam konteks aktivitas bisnis. Harapannya, bahwa bisnis yang
dijalankan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat mengedepankan dan memerhatikan
nilai dan norma hak asasi manusia sebagaimana termaktup dalam United Nations Guiding
Principles on Business and Human Rights (UNGPs), guna mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap hak asasi manusia.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah berkontribusi aktif dalam membantu pelaksanaan kegiatan pengkajian
ini. Kami menyadari bahwa penelitian ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan, oleh
karenanya kami sangat mengharapkan saran dan masukan serta kritik dari berbagai pihak yang
bersifat membangun untuk penyempurnaan kegiatan pengkajian yang akan datang.
Pada akhirnya ucapan terima kasih kami haturkan pula kepada Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM R.I. yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada Tim Pengkaji untuk melaksanakan kegiatan
pengkajian ini. Semoga hasil pengkajian ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi
semua yang berkepentingan.

Jakarta, Juli 2021


Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia,

T. Daniel L. Tobing, S.H.


NIP 196212301988031001

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................................... ii
KATA SAMBUTAN ................................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR............................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
C. Tujuan.............................................................................................................................. 6
D. Signifikansi dan Manfaat ................................................................................................ 6
E. Kerangka Teoritik ........................................................................................................... 7
1. Kepenataan/ Tata Kelola Diri (Governmentality) ....................................................... 7
2. Pendekatan Governmentality (ke-penataan) Sebagai “Governing at a Distance” ...... 8
F. Metodologi dan Metode Penelitian ............................................................................... 10
1. Metodologi................................................................................................................. 10
2. Metode Penelitian ...................................................................................................... 12
G. Keluaran ........................................................................................................................ 14
H. Sistematika Pelaporan ................................................................................................... 14
I. Timetable Kegiatan ....................................................................................................... 14
BAB II MAKING SENSE PRISMA: SOSIOLOGI PENERJEMAHAN BISNIS DAN HAM
DI INDONESIA ....................................................................................................................... 16
A. Teori Jaringan-Aktor dalam Proses Penerjemahan Bisnis dan HAM ........................... 17
B. Mengikuti Para Aktor .................................................................................................... 18
C. Penerjemahan (Translasi) .............................................................................................. 19
1. Problematisasi: Mengapa Bisnis dan Hak Asasi Manusia? ....................................... 19
2. Penarikan: Merumuskan Bingkai yang Sama ............................................................ 23
3. Pelibatan: PRISMA sebagai Representasi ................................................................. 29
4. Mobilisasi: Representasi Rendah Problematisasi ...................................................... 34
D. Intermediari ................................................................................................................... 37
BAB III MENJALANKAN PRISMA: KEPENATAAN BISNIS DAN HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA ................................................................................................... 38
A. Kepenataan, Subjektivikasi, dan Risiko Hak Asasi Manusia........................................ 38

v
B. Variabel, Indikator, Skoring dalam PRISMA ............................................................... 41
C. PRISMA sebagai Representasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Indonesia ............... 44
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 48

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Daftar Informan dan Jaringannya ........................................................................... 13


Tabel 2. 1 Diskursus Utama Bisnis dan Hak Asasi Manusia .................................................. 16
Tabel 2. 2 Penerjemahan Bisnis dan Hak Asasi Manusia ....................................................... 36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan bisnis dengan berlandaskan etika adalah bisnis berdasarkan metode yang baik
serta cara berpikir sesuai dengan logika dan estetika di masyarakat melalui manajemen risiko
yang akan mengarahkannya jauh dari krisis dan meningkatkan performa keuangan
(Mulyaningsih & Hermina, 2017). Etika merupakan penyeimbang bagi kata “bisnis”, yang
mengarahkan bisnis menjadi sehat dengan memperhitungkan nilai-nilai etika, seperti
kesejahteraan bersama, hak asasi manusia, kepercayaan dan kejujuran, serta keadilan di dalam
proses pengambilan keputusan bisnis (Haryanto, 2013). Salah satu etika dalam hal ini
menyangkut penghormatan atas hak asasi manusia baik sebagai individu maupun kelompok,
baik di dalam maupun di lingkungan sekitar (eksternal) perusahaan. Etika yang demikian pada
prinsipnya mencerminkan ragam potensi yang dapat diantisipasi dan dinilai agar tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap hak asasi manusia.
Penilaian risiko bisnis dan hak asasi manusia dalam bentuk self-assessment korporasi
dilakukan untuk mengetahui dan menunjukkan bagaimana korporasi tersebut melaksanakan
tanggung jawab atas dampak HAM dan mengelola risiko terhadap pelanggaran HAM (Bjorn
Fasterling, 2017). Kemp dan Vanclay (Kemp & Vanclay, 2013) dalam risetnya yang membahas
relevansi hak asasi manusia dalam area penilaian dampak dan berbagai tantangan yang terkait
dengan pengintegrasian bidang HAM dan penilaian dampak sosial, menyebutkan bahwa
“consideration of human rights should therefore be central to impact assessment for private
sector projects, especially those affecting livelihoods, environment, health, safety and security,
land and property, culture and gender dynamics.” (pertimbangan hak asasi manusia harus
menjadi pusat penilaian dampak untuk proyek-proyek sektor swasta, terutama yang berdampak
pada mata pencaharian, lingkungan, kesehatan, keselamatan dan keamanan, tanah dan properti,
budaya dan dinamika gender. -pen).
Beberapa praktik penilaian dampak hak asasi manusia di Indonesia oleh korporasi dapat
menjadi parameter, sebagaimana pada tahun 2018, Unilever mengaudit masalah HAM
korporasinya dan mempublikasikan laporan audit hak asasi manusia pada 2019. Penilaian yang
disampaikan berkaitan dengan dimensi hak asasi manusia mencakup perilaku: (1) diskriminasi,
(2) pembayaran upah yang adil, (3) kerja paksa, (4) kebebasan berserikat, (5) pelecehan, (6)
kesehatan dan keselamatan kerja, (7) hak atas tanah, dan (8) jam kerja. Hasil audit yang
mencantumkan dari 7.869 ketidaksesuaian yang ditemukan, terdapat 6.341 yang terkait dengan
delapan masalah penting Unilever, dengan 65% diantaranya ditemukan masalah tentang
kesehatan dan keselamatan, masalah upah yang adil sebesar 15%, dan tentang jam kerja sebesar
10% (Unilever, 2019). Lebih lanjut, dalam studi kerangka praktik penilaian risiko dan
kepatuhan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Waagstein (Waagstein, 2015)
mengungkapkan beberapa korporasi di Indonesia yang sudah mengadopsi komitmen hak asasi
manusia dengan membuat inisiatif pengaturan sendiri (self-regulatory) terkait tanggung jawab
perusahaan untuk menghormati hak asasi. Di antaranya adalah PT. Asia Pulp and Paper (APP)
dan PT. Freeport Indonesia yang menerapkan pelaksanaan operasional korporasi dengan
memerhatikan hak asasi. Keseriusannya terlihat dari penandatanganan Voluntary Principles on

1
Security and Human Rights, yang pada praktiknya menugaskan personel untuk melakukan
pemantauan terhadap penerapan kebijakan hak asasi, serta untuk memastikan tidak adanya
pelanggaran. Terkait pemenuhan pengetahuan tentang hak asasi, para karyawan diberikan
pelatihan oleh kelompok masyarakat sipil setempat. Masih dalam pandangannya, Waagstein
(Rinwigati, 2020; Rohman, 2020) dalam paparannya pada diskusi panel kegiatan Dialog
Nasional bertajuk “Rancangan Strategi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia”,
menyampaikan bahwa BUMN dapat dijadikan role model untuk menerapan praktik terbaik
dalam perwujudan hak asasi manusia yang bersinergi dengan jalannya korporasi.
Sejalan dengan pernyataan Kemp dan Vanclay, hubungan antara penilaian hak asasi
dengan penilaian dampak dapat menjembatani kesenjangan dan membantu memastikan bahwa
bisnis menjunjung tinggi tanggung jawab terhadap hak asasi manusia. Dampak dari assessment
ini di antaranya dapat berkontribusi dalam memainkan peran pendukung yang penting dalam
membantu korporasi untuk menentukan tingkat kepatuhan dan komitmen korporasi
menghormati hak asasi yang berstandar internasional, atau dapat berperan aktif dalam
mengadvokasi peningkatan kinerja berbasis hak asasi. Penilaian dampak juga mempunyai
waktu untuk mengembangkan dan mengidentifikasi koneksitas lainnya untuk memperkuat
fokus pada akses pemulihan (Kemp & Vanclay, 2013).
Model penilaian mandiri atau pengukuran risiko hak asasi manusia perusahaan sudah
jamak terbentuk. Ragam bentuk implementatif dari penyusunan standar pencegahan perilaku
korporasi yang berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dapat diuraikan ke dalam
beberapa alternatif kebijakan (Pell & Bonner, 2016).
Pertama, ialah peraturan pemerintah yang bersifat non-sukarela. Kebijakan ini
menghendaki agar lembaga pemerintah yang memiliki wewenang terhadap korporasi melalui
regulasi tertentu dan penjatuhan sanksi atas kegagalan korporasi untuk mengungkapkan
penyimpangan dan/atau atas dasar membuat pengungkapan yang menyesatkan berdasarkan
buku atau catatan yang keliru (Pell & Bonner, 2016). Contoh skema dari model kebijakan
tersebut ialah Sarbanes-Oxley Act dan Dodd-Frank Act di Amerika.
Kedua, ialah inisiatif yang mewajibkan transparansi industri yang membentuk compliance
melalui shaming. Salah satu contoh dari model ini ialah Kimberley Process Certification
Scheme sebagai upaya untuk mengontrol perdagangan intan yang memiliki hubungan dengan
konflik sipil dan pelanggaran hak asasi manusia di Sierra Leone dan Angola. Melalui skema
sertifikasi ini, seluruh pemangku kepentingan dalam perdagangan intan memastikan bahwa
intan yang dikirimkan dari negara-negara tersebut memiliki label “conflict free”. Hal serupa
lainnya juga dapat dilihat pada Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dengan model pengungkapan sukarela kinerja pengelolaan lingkungan
hidup perusahaan melalui sistem pelaporan elektronik (SIMPEL). PROPER sebagai evaluasi
kinerja penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup,
merupakan program pemilihan dan penetapan peserta penilaian peringkat kinerja perusahaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dipublikasikan melalui website kementerian. Kinerja
dan peringkat perusahaan dimaksud berupa kategorisasi: (i) kinerja dalam menaati ketentuan

2
peraturan perundang-undangan (dengan peringkat: biru, merah, dan hitam), dan (ii) kinerja
yang melebihi ketaatan yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan (dengan
peringkat: hijau dan emas).
Ketiga, ialah pertanggungjawaban control person yang merujuk pada ragam aturan hukum
yang menuntut pertanggungjawaban pengendali, baik secara langsung atau tidak, atas kejahatan
atau pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi. Termasuk dalam model ini ialah pengaturan
tentang control person di dalam Foreign Corrupt Practices Act dan Exchange Act di Amerika
Serikat. Terakhir yang keempat, ialah Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) Due Diligence Guidance for Responsible Supply Chains of Minerals
from Conflict-Affected and High-Risk Areas, yang walaupun bersifat tidak mengikat secara
hukum, mengambil pendekatan “constructive engagement” dalam mendorong tanggung jawab
rantai pasok (Pell & Bonner, 2016). Dalam hal ini, panduan tersebut menghendaki korporasi
untuk memastikan perusahaan penyedia di dalam rantai pasok untuk melakukan mitigasi risiko
di area-area berisiko tinggi (OECD Due Dilligence Guidance for Reponsible Supply Chains of
Minerals from Conflict-Affected and High-Risk Areas: Second Edition, 2011).
Ragam diskursus penilaian di atas yang bepengaruh terhadap reputasi bisnis, setidaknya
menjadi pijakan dalam menterjemahkan kerangka kerja bisnis dan hak asasi manusia di
Indoensia yang digariskan pada UNGPs. Untuk dapat mengamati implementasi UNGPs,
bagaimanapun, tidak hanya semata-mata melalui adopsi beragam norma hukum internasional
maupun domestik. Sebagai gambaran, salah satu liputan The Associated Press bertajuk
“Seafood from Slaves” berhasil mengungkap praktik perbudakan dalam bisnis dengan
komoditas hasil laut yang melibatkan Thailand, Amerika Serikat, dan Uni Eropa – terlepas dari
komitmen Thailand dalam mengimplementasikan rencana aksi bisnis dan hak asasi manusia
(Bonfanti & Bordignon, 2017; Macdonald, 2020). Reaksi keras berupa ancaman boikot dari
Amerika Serikat dan Uni Eropa, dalam hal ini berhasil mendorong Thailand dalam melakukan
reformasi legislatif yang diarahkan untuk pelindungan hak asasi manusia di sektor industri
makanan laut (Bonfanti & Bordignon, 2017). Situasi tersebut juga turut mendorong pelaku
bisnis di seluruh dunia untuk turut menjalankan human rights due diligence untuk melindungi
citra dan reputasi korporasi di mata konsumen (Parella, 2020). Kondisi serupa juga menjadi
sorotan publik nasional –berdasarkan data laporan Komisi Nasional (Komnas) HAM empat
tahun terakhir (periode 2016-2019), terlihat bahwa korporasi selalu menjadi salah satu pihak
yang paling banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Adapun tipologi
kasus yang mendominasi pelaporan masyarakat terhadap korporasi antara lain terkait dengan
konflik dan sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, serta pencemaran/kerusakan lingkungan
(HAM, 2019). Hal ini mencerminkan masih rendahnya kesadaran dan tanggungjawab korporasi
dalam memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia ketika menjalankan aktivitas
bisnisnya.
Eksposisi di atas dapat dipahami bahwa diskursus seputar implementasi UNGPs sudah
melampaui perdebatan mengenai hard law vs soft law; implementasi tidak lagi dimaknai
sebatas bentuk pengadopsian norma hukum ke dalam instrumen hukum, baik internasional
maupun domestik. Peran aktif para duty bearers yakni negara dan korporasi, serta dukungan
dari komunitas internasional melalui pers dan media, terbukti efektif untuk mendorong
penerapan prinsip umum ini ke dalam aktivitas bisnis. Tentunya, hal ini senada dengan
3
penekanan oleh John Ruggie: UNGPs tidak dimaksudkan untuk menjadi satu-satunya struktur
implementasi, melainkan sebagai katalisator diseminasi dan pembelajaran melalui proses-
proses institusional (Macdonald, 2020). Dalam hal ini, kolaborasi menjadi elemen penting
dalam rangka mengonstruksikan pengetahuan seputar bisnis dan hak asasi manusia yang pada
gilirannya, dapat memengaruhi kepercayaan dan perilaku para pelaku bisnis dan pemerintahan.
Menyikapi elaborasi di atas, dalam kerangka peran negara/pemerintah melindungi hak
asasi manusia di dalam UNGPs, Direktorat Jenderal (Ditjen) HAM, Kementerian Hukum dan
HAM R.I., menggagas sistem kontrol partisipatif di bidang bisnis dan hak asasi manusia melalui
Penilaian Risiko Bisnis dan Hak Asasi Manusia (PRISMA), sebuah platform berbasis website,
yang bertujuan membantu korporasi/pelaku usaha melaksanakan self-assessment dalam
menganalisis potensi risiko operasional bisnis (risk-assessment) terhadap hak asasi manusia
(DJHAM, 2020). Lebih lanjut, Menteri Hukum dan HAM menjelaskan bahwa, “prinsip-prinsip
yang diusung dalam PRISMA ini adalah mandiri, edukatif, sukarela, dan non-diskriminatif, dan
berkelanjutan”, sehingga diharapkan para pelaku usaha di semua sektor bisnis dapat bekerja
sama untuk melakukan penilaian mandiri melalui platform PRISMA (DJHAM, 2020).
Gagasan atas mekanisme penilaian risiko dalam kerangka kerja bisnis dan hak asasi
manusia melalui PRISMA setidaknya mencerminkan beberapa aktor, yaitu: pemerintah,
perusahaan, dan lingkungan-sosial masyarakat yang berpotensi terkena dampak. Risiko yang
dipahami sebagai kemungkinan kerusakan fisik yang disebabkan oleh teknologi atau proses
lainnya (Boyd et al., 1993) akan memengaruhi peran-peran aktor yang terlibat didalam
penerapan PRISMA dan berimplikasi pada aspek sosial-legal. Risiko sebagai kombinasi
dari “kemungkinan” dan “konsekuensi” tentunya tidak bersifat tunggal serta membutuhkan
proses dalam pengelolaannya. Risiko muncul ketika kerentanan ada dalam sistem operasi
organisasi karena tidak adanya kontrol dan tindakan pencegahan yang efektif (yaitu lemahnya
manajemen risiko) (Kytle & Ruggie, 2005). Oleh karenanya, wacana atas pengungkapan
risiko hak asasi manusia secara sukarela yang diinisiasi pemerintah setidaknya harus dapat
diterjemahkan oleh perusahaan, hingga pada waktu tertentu perusahaan dapat mengenali
tanggungjawabnya dan mampu mentransformasikan dirinya menjadi subyek yang
bertanggungjawab dan taat pada norma hak asasi manusia.
Selaras dengan pengungkapan risiko hak asasi manusia secara sukarela sebelumnya,
dalam sebuah studi tentang pengungkapan hak asasi manusia pada perusahaan-perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), melaui Global Reporting Initiative (GRI) 2014
sebagai standar ukur indeks pengungkapan terhadap 75 perusahaan sebagai sampelnya (Cahaya
& Hervina, 2019) menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan hak asasi manusia sukarela
memiliki nilai rendah yaitu sebesar 36,74%. Artinya, hanya sedikit perusahaan yang
mengungkapkan masalah hak asasi manusia di dalam laporan tahunannya, terutama
menyangkut pengungkapan hak asasi manusia tentang pekerja anak dan pekerja paksa. Menurut
studi ini, terdapat kemungkinan bahwa beberapa perusahaan berusaha menyembunyikan
informasi khusus terkait dengan pekerja anak dan kerja paksa.
Ragam pendekatan insitusional secara ekstensif dieksplorasi oleh Parella dalam
menemukan strategi untuk meningkatkan kepatuhan hak asasi manusia dalam rantai pasok
(Parella, 2019). Dalam studinya, Parella mengungkapkan perlunya strategi yang bergerak di

4
antara dua sumbu, yakni institusi legal negara dan mekanisme reputasi internal perusahaan,
sehingga membangun sebuah tipologi reputasional (Parella, 2019). Dalam hal ini, mekanisme
reputasional korporasi dipengaruhi oleh pendorong yang bersifat eksternal (regulasi dan
institusi legal) dan internal (untung-rugi dalam mematuhi norma hak asasi manusia) (Parella,
2019).
Beranjak dari perkembangan praktik dan tinjauan studi yang relevan dengan upaya global
untuk membentuk perilaku HAM yang berpedoman pada UNGPs, penelitian ini akan
mendeskripsikan praktik bekerjanya bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang
direpresentasikan melalui platform penilaian risiko hak asasi manusia (PRISMA) oleh
perusahaan terhadap aktivitas bisnisnya. Selain sebagai sarana/alat pengumpulan informasi
penilaian risiko hak asasi manusia (human rights risk assessment) perusahaan, PRISMA yang
dimiliki pemerintah juga berperan sebagai alat menata kelola perusahaan dari kejauhan (govern
at a distance) untuk membentuk perusahaan sebagai individu yang mampu menerapkan prinsip
penghormatan HAM dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia. Menggunakan
konsep Foucault tentang kepenataan (governmentality) (Foucault, 1991; Oksala, 2014) studi ini
melihat pengumpulan informasi, seperti PRISMA, sebagai teknik yang dilakukan oleh
pemerintah untuk membentuk subjektivitas korporasi sebagai pengemban kewajiban hak asasi
manusia. Merujuk sisi metodologis PRISMA, kita dapat mengidentifikasi beberapa aktivitas
yang bersifat kepenataaan, di antaranya: (1) salah satu bentuk aktivitas pemerintah
mengumpulkan informasi risk-assessment perusahaan dan menilai hasilnya disertai dialog guna
memperbaiki ketaatan pada norma hak asasi manusia yang berimplikasi pada aspek sosio-legal,
dan (2) aktivitas perusahaan menyampaikan informasi risk-assessment perusahaan melalui
mekanisme voluntary disclosure. Melalui pendekatan kepenataan, PRISMA dapat dikatakan
sebagai bentuk taktik/cara mengaktualisasikan kuasa (power) melalui pelibatan dan interaksi
antar aktor/aktan serta jaringannya, yang berbasis pada penerjemahan pengetahuan pengaturan
hingga membentuk cara pandang dan tindakan secara rasional dalam proses subjektifikasi.
Makna sosial didalam mekanisme penilaian risiko hak asasi manusia (risk-assessment) dapat
terbentuk oleh hubungan antar aktor satu dengan lainya dengan melibatkan jaringan (perantara).
Jaringan memiliki kepentingan yang selaras dan heterogen, termasuk orang-orang dan
organisasi (Walsham & Sahay, 1999). Dalam perspektif jaringan-aktor, aspek sosial dan aspek
teknis merupakan sebuah realitas tunggal yang tidak terpisahkan.
Rangkaian argumentasi konseptual tersebut memunculkan dua hipotesa, yaitu pertama,
platform PRISMA yang dibentuk sebagai satu kesatuan sistem dalam penerapan UNGPs perlu
ditelisik kembali tentang kemampuannya dalam membentuk ketaatan perusahaan terhadap
norma-norma hak asasi manusia secara mandiri; dan kedua, platform PRISMA dihadapkan
pada tantangan untuk menjadi instrumen representatif bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang sebelumnya, dengan mengacu pada model PRISMA sebagai
objek penelitian, tentunya penelitian ini dapat membuka ruang diskursus dalam hal
menjelaskan: Bagaimana pengungkapan risiko hak asasi manusia oleh perusahaan secara

5
mandiri dan sukarela dapat membentuk ketaatan perusahaan terhadap norma hak asasi
manusia?
C. Tujuan
Bercermin pada latar belakang dan pertanyaan penelitian sebelumnya, penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan hubungan konseptual antara pengungkapan risiko hak asasi
manusia perusahaan secara sukarela dengan pembentukan ketaatan perusahaan terhadap norma
hak asasi manusia. Selain itu, merujuk PRISMA sebagai alat (tool) pengumpulan informasi
risk-assessment perusahaan yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, riset ini
juga hendak menjelaskan proses bekerjanya kepenataan diantara para aktor yang terlibat di
dalam PRISMA, guna menghasilkan pilihan-pilihan kebijakan dalam pembentukan ketaatan
norma hak asasi manusia. Mengingat penelitian ini menjadi dasar pengambilan kebijakan, maka
pendekatan pragmatis-teoritik dipergunakan untuk memudahkan penyusunan pilihan
kebijakan.
D. Signifikansi dan Manfaat
Konteks bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia dapat menyajikan perspektif baru dalam
memahami perilaku bisnis, khususnya di tengah karakter ekonomi negara berkembang yang
didominasi oleh praktik informal (Berenschot & van Klinken, 2018; Waagstein, 2011). Ulasan
secara konseptual lebih jauh terhadap inisiatif pengumpulan informasi risk-assessment oleh
pemerintah ini diharapkan mampu membuka ruang diskursif dalam rangka pengembangan
kebijakan di bidang hak asasi manusia dan bisnis. Merujuk UNGPs, terutama pada aspek tugas
negara melindungi hak asasi manusia, yang memerhatikan prinsip-prinsip operasional
mengenai fungsi negara membentuk kebijakan dan peraturan umum, maka dibentuknya
PRISMA melalui kebijakan negara menyuguhkan beberapa pertanyaan dasar, tentang apakah
PRISMA mampu merepresentasikan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia. Pertanyaan
tersebut tentunya dapat diuraikan lebih lanjut ke dalam beberapa pertanyaan yang lebih spesifik,
di antaranya adalah: pertama, sejauh mana aplikasi PRISMA dan aktivitasnya difungsikan
sebagai panduan dan pemahaman yang efektif kepada perusahaan tentang pengelolaan risiko
hak asasi manusia, dan memampukan perusahaan melakukan mitigasi dan mengatasi risiko hak
asasi manusia dalam operasional bisnisnya secara mandiri. Kedua, sejauh mana urgensi
pelaporan risiko tadi dan relasinya dalam pembentukan ketaatan perusahaan menghormati hak
asasi manusia serta mampu meningkatan reputasinya. Lebih jauh, pada lingkungan kekinian di
level internasional, UNGPs, yang diadopsi secara aklamasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada 2011, telah banyak ditempatkan sebagai standar nasional di banyak negara. Oleh
karenanya, penelitian ini diharapkan memiliki relevansi setidaknya pada dua hal, yaitu:
pertama, dengan menempatkan UNGPs sebagai “hukum yang bekerja dengan panduan praktik
kepenataan” (Tadros, 1998) melalui pelaporan mandiri korporasi secara sukarela, penelitian ini
mencoba menyajikan perspektif yang berbeda dalam memahami pembentukan perilaku hak
asasi manusia korporasi; dan kedua, secara praktis membantu pemerintah dalam mengambil
pilihan kebijakan strategis dalam mengoperasionalkan PRISMA sebagai mekanisme penilaian
risiko hak asasi manusia.

6
E. Kerangka Teoritik
1. Kepenataan/ Tata Kelola Diri (Governmentality)
Berseberangan dengan pemahaman tradisional, Foucault mengonseptualisasikan
kuasa sebagai sesuatu yang dilakukan (exercised), jamak (multiple dan terdesentraslisasi
(decentralized), serta sebagai hasil dari struktur sosial dan pengetahuan (Turkel, 1990).
Dalam studinya tentang genealogi kuasa (genealogy of power), Foucault berhasil
mengidentifikasi tiga bentuk kuasa yakni sovereign power, disciplinary power, dan
biopower. Sovereign power merupakan kuasa yang bersifat mengurangi dan dipraktikkan
langsung pada tubuh individu (yakni hukuman fisik seperti hukuman mati dan hukum
cambuk); disciplinary power merupakan kuasa yang diarahkan kepada pembentukan
mental individu melalui pengorganisasian ruang dan waktu (antara lain penjara, sekolah,
militer); sedangkan biopower merupakan kuasa yang tak lagi ditujukan kepada individu,
namun individu sebagai suatu spesies populasi dalam rangka mencapai titik optimal
(Oksala, 2014; Taylor, 2011; Turkel, 1990). Gagasan tentang kepenataan dalam hal ini
merupakan pengembangan dari konsep biopower, dengan fokus yang mengulas tentang
lahirnya rasionalitas politik dan teknik kuasa atas suatu populasi (Peggs & Smart, 2018).
Secara spesifik, kepenataan menjadikan populasi sebagai objek pengetahuan serta target
dari administrasi, manajemen, serta pengawasan melalui pengumpulan data demografi dan
angka statistika (Peggs & Smart, 2018).
Kepenataan berkaitan erat dengan konsep ‘kebebasan’ dari tradisi liberalisme yang
memandang individu otonom selaku pengemban hak dan mampu atas pilihan-pilihan
rasional sebagai hasil dari proses disiplin (Wallenstein, 2013). Melalui tesis kepenataan,
Foucault berpandangan bahwa aktualisasi kuasa dapat berlaku efektif apabila beroperasi
dalam berbagai tataran secara sekaligus, melainkan dipraktikkan oleh interaksi antar setiap
pihak serta mentalitas diri yang terlibat dalam jejaring keteraturan tersebut (Riyanto, 2019).
Lebih lanjut, Foucault mendefinisikan kepenataan sebagai:
Ensembel yang dibentuk oleh institusi, prosedur, analisis dan refleksi, kalkulasi, serta
taktik yang memungkinkan pelaksanaan kuasa yang sangat spesifik dan kompleks;
dengan populasi sebagai target, pengetahuan sebagai prinsip utama, serta ekonomi-
politik sebagai aparatus inti (Foucault, 1991). (-pen)
Pada titik ini, dapat dipahami bahwa kepenataan menggambarkan bagaimana populasi
dan individu saling menentukan perkembangan antara satu dengan lainnya. Dengan
mengubungkan pengaturan (governing/gouverner) dan cara berpikir (modes of
thought/mentalité), kepenataan mengombinasikan pengaturan dengan rasionalitas dan
mendorong masyarakat untuk “berperilaku dengan cara-cara tertentu serta mengatur
pribadi masing-masing sesuai dengan cara-cara berpikir dan bertindak yang telah
ditentukan sebelumnya” (Lemke, 2002). Dengan kata lain, pengaturan perlu dipahami
secara komprehensif yang merepresentasikan bentuk kuasa dengan proses subjektifikasi.
Perkembangan dalam studi kepenataan (governmentality studies) melahirkan
setidaknya tiga tema analisis utama yakni alasan (reasons), teknik (techniques), dan subjek
(subjects) (Inda, 2005; Lemke, 2011). Pada tema pertama, analisis yang mengemuka
berfokus pada alasan dan rasionalitas politik dari suatu praktik kepenataan. Rasionalitas

7
dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah perangkat intelektual yang mampu menjadikan
realita sebagai hal yang dapat dikalkulasikan (calculable) dan diatur (governable) (Inda,
2005). Perangkat intelektual ini menyediakan peta kognitif dan normatif yang dapat
mendefinisikan subjek dan objek intervensi (Lemke, 2011). Pada tema kedua, analisis
berfokus pada teknik atau teknologi pengaturan (technics or technologies of government)
yang mengulas bagaimana pengaturan tersebut dihadirkan melalui mekanisme, alat,
kalkulasi, prosedur, hingga aparatus tertentu (Inda, 2005). Terakhir pada tema ketiga,
analisis diarahkan pada subjek kepenataan. Dalam hal ini, analisis fokus pada moda
subjektifikasi, yakni bagaimana praktik dan program kepenataan dapat membentuk subjek
–baik identitas kolektif maupun agensi individu– sesuai dengan pengaturan yang
ditentukan (Inda, 2005; Lemke, 2011). Lebih spesifik, Dean membedakan tiga moda
subjektifikasi: (i) political subjectification meliputi praktik dan diskursus yang memandang
individu sebagai subjek politik dan secara khusus berada di bawah rezim liberal; (ii)
governmental self-formation yang berkaitan dengan cara-cara agensi, otoritas, organisasi,
serta kelompok untuk membentuk dan mendorong pembentukan mandiri dari perilaku,
kebiasaan, kapasitas, dan keinginan kategori individu tertentu terhadap tujuan tertentu;
serta (iii) ethical self-formation yang meliputi bagaimana individu mengetahui, memahami,
dan bertindak atas dirinya sendiri (Huxley, 2007).
2. Pendekatan Governmentality (ke-penataan) Sebagai “Governing at a Distance”
Memahami pandangan Vallentin dan Murillo tentang Coporate Social Responsibility
(CSR)-governmentality-governance dalam studinya “Govenrmentality and the Politics of
CSR”, kerangka governmentality dan gagasan Foucaldian tentang kekuasaan dan aturan
yang berbasis pada pengalaman Uni Eropa (UE), setidaknya dapat mempelajari kedudukan
pelaporan pada aspek politik (implikasi politiknya) (Vallentin & Murillo, 2012). CSR
sebagai wacana moral-filosofis yang memberikan tandingan etis terhadap teori ekonomi
neo-klasik dan bentuk ekonomi bisnis yang digerakkan oleh laba, diperluas
konseptualisasinya secara politis. Semula pemerintah kerap dianggap sebagai “pihak lain
yang mengatur” CSR, yang memiliki kekuatan kuat untuk menetapkan aturan main, pada
perkembangan terakhir pendekatan pemerintah untuk CSR mengaburkan batas antara
publik/swasta dengan sukarela/wajib. Pengaturan CSR sebagian besar terjadi dalam
jaringan yang melampaui batas-batas peraturan atau perintah dan kendali legislatif (new
governance).
Perhatian dan keinginan pemerintah Uni Eropa (UE) dalam menangani CSR adalah
mempromosikan CSR dalam bisnis besar dan kecil, serta memunculkan kebenaran baru
bahwa CSR baik untuk bisnis dan pembangunan ekonomi (Porter dan Kramer, 2006, 2011),
melalui narasi kebijakan ekonomi (bukan kebijakan sosial) (Vogel, 2005). Pemerintah
semakin bekerja untuk membantu perusahaan swasta mengidentifikasi/membuat dan
bertindak berdasarkan peluang strategis di lingkungan mereka, untuk tidak menempatkan
batasan sosial atau lingkungan pada mereka, sebagai kecenderungan menggunakan
pendekatan neo-liberal terhadap CSR (Shamir:2008). Dengan melihat sifat sukarela dari
CSR, Vallentin dan Murillo melihat pemerintah mengambil peran sebagai fasilitator yang
mendukung dan memberdayakan CSR melalui cara-cara yang liberal dan tidak langsung
namun bukan sebagai penegak regulasi. Vallentin dan Murillo mencoba menguak cara

8
pengarahan yang liberal dan tidak langsung menjadi ciri dari tata kelola CSR secara
modern sebagai “new governance”, dengan menggunakan pendekatan governmentality.
Dalam perspektif Foucauldian, memungkinkan tidak adanya kekuatan (regulasi) untuk
mengatur CSR, namun tidak berarti tidak adanya kekuasaan, sebagai bentuk penyuluhan
diri karena pemerintah melakukan berbagai upaya disipliner untuk memengaruhi dan
mengarahkan pola pikir perusahaan dan memberikan arahan tentang CSR. Vallentin dan
Murillo membuat perbedaan antara tata kelola sebagai praktik (empiris) dan tata kelola
sebagai wacana (teoretis) dan fokus analitisnya pada peran pemerintah dalam mengatur
CSR.
Vallentin dan Murillo menilai dalam pendekatan politik, menempatkan politik CSR
adalah sebagai masalah empiris daripada masalah ideologis yang berprinsip, dan
pandangannya yang tertuju pada pembuatan laporan yang tertanam secara politis,
sebagaimana CSR pada satu sisi akan mewakili lingkup nasional dan di sisi lain mewakili
lingkup global. Hal ini didasarkan pada pendapat Matten dan Moon (2008:409) yang
membedakan CSR secara “eksplisit” dan “implisit”. CSR eksplisit mengacu pada
“kebijakan perusahaan yang memikul dan mengartikulasikan tanggung jawab untuk
beberapa kepentingan masyarakat” dan dipandang sebagai cerminan dari ekonomi pasar
liberal dan lembaga nasional yang mendorong individualisme, sedangkan CSR implisit
mengacu pada peran perusahaan sebagai lembaga formal dan informal yang lebih luas
untuk kepentingan dan kepentingan masyarakat serta cerminan ekonomi pasar yang
terkoordinasi dan lembaga nasional yang mendukung kolektivisme. Selain Matten dan
Moon, menurut pandangan Williams dan Aguilera (2008:454), upaya pemerintah untuk
mendorong CSR dapat menjadi sangat kuat karena mereka memengaruhi ekspektasi sosial
tentang apa yang dianggap perilaku perusahaan tepat dan dapat berfungsi sebagai titik
fokus di sekitar mana perusahaan dapat menyusun kebijakan dan tindakan mereka:
the laws and policies that governments enact send a strong signal about the importance of a subject
a signal that, as regards CSR, is amplified by the business culture in the country, consumers’ interests,
institutional investors’ actions, the corporate governance regime, NGOs’ effectiveness, and the
individualistic versus collectivist nature of the country’s underlying political and social philosophy.
Selain pandangan pelembagaan CSR dengan laporan CSR yang tertanam secara
politik, pandangan lainnya adalah tentang menempatkan demokrasi musyawarah dalam
membangun konsepsi politik CSR sebagaimana gagasan Scherer dan Palazzo (2007:1109)
yang menggunakan teori demokrasi Jurgen Habermas, sebagai pandangan yang
berseberangan dengan sebelumnya. Gagasan demokrasi musyawarah terhadap politik CSR
menganggap dalam hal pengambilan keputusan perusahaan sebagai proses pembentukan
kemauan demokratis, yang didorong oleh aktor-aktor masyarakat sipil dan mencakup ranah
publik yang luas, membentuk kontrol demokratis atas penggunaan publik atas kekuasaan
perusahaan. Scherer dan Palazzo berpendapat bahwa perhatian harus diarahkan dari
pemerintahan nasional ke global, dari hukum keras ke hukum lunak, dari tanggung jawab
ke keterhubungan sosial, dari legitimasi kognitif atau pragmatis ke legitimasi moral, dan
dari liberal ke demokrasi musyawarah.
Beranjak dari beberapa konseptualisasi CSR secara politik di atas, Vallentin dan
Murillo mencoba menekankan pada cara pengarahan tidak langsung oleh pemerintah

9
terhadap perusahaan, sebagaimana mengikuti gagasan Foucauldian oleh karena Foucault
dianggap memahami kekuasaan sebagai kekuatan produktif yang melampaui fungsi hukum
yang represif. Kekuasaan dianggap bersifat teknis dan positif dan bukan yuridis dan negatif
yang didiskusikan dalam istilah hubungan kekuasaan yang dibentuk oleh elemen
kebebasan. Dengan demikian, Foucault, (1982: 340) menganggap kekuasaan adalah mode
tindakan yang tidak bertindak langsung dan segera pada orang lain, Serangkaian tindakan
atas tindakan lain (Foucault, 1982: 341). Dalam hal ini, governmentality harus dipahami
sebagai suatu bentuk perilaku yang berkaitan dengan bagaimana orang lain berperilaku
sendiri. Upaya governmentality sama sekali tidak dimonopoli oleh pemerintah sebagai
pengganti negara, dan bukanlah tentang kekuatan institusional negara, melainkan kekuatan
relasional dan diskursif yang menembus masyarakat dan mengarahkan pada pengaturan
sosial. Governmentality mengarah pada bidang praktik pemerintahan yang terbuka, yang
melibatkan sejumlah aktor dan perantara non-negara, termasuk organisasi non-pemerintah
(LSM), industri dan perdagangan, bisnis, ahli dan warga negara. Studi governmentality
memusatkan keinginan untuk governing at a distance, yang berkaitan dengan menciptakan
subjek yang tidak perlu diatur oleh orang lain, tetapi akan mengatur diri sendiri, menguasai
diri, dan merawat dirinya sendiri (Rose, 1996: 45). Sebagaimana Vallentin dan Murillo
mengutip Shamir (2008), Swyngedouw (2005), dan Thompson (2007), kekuasaan dalam
pengertian Foucauldian dapat mengarah pada pemberdayaan, individuasi atau tanggung
jawab subjek sebagai agen otonom yang didorong untuk mengatur diri sendiri dan
menetapkan target dan standar untuk kinerja sosial mereka melalui penerapan paksa dari
nilai-nilai tertentu yang berakar pada motivasi untuk bertindak.
F. Metodologi dan Metode Penelitian
1. Metodologi
Pertama kali dikenal pada studi ilmu eksak dan teknologi, ‘teori aktor-jaringan’ (Actor-
Network Theory/ANT) dalam dua dekade terakhir telah menarik perhatian para ilmuwan
sosial sebagai cara pandang alternatif dalam studi ilmu sosial. Sebagai kontra dari cara
pandang instrumentalis yang mendikotomikan antara objek dan pengetahuan serta
menempatkan teori sebagai kerangka kerja konseptual dalam menguji realitas, ANT
menawarkan cara pandang baru; yakni dengan menyusun kembali (reassembling) elemen-
elemen dalam analisis sosiologis yang memahami relasi antara aktor sosial dengan objek,
teknologi, dan alam (yaitu elemen non-manusia) (Bussular et al., 2019, p. 176). Apabila
tradisi instrumentalis menempatkan realitas sebagai objek statis yang menunggu untuk
diungkapkan oleh para ilmuwan dengan bantuan teori dan metode, para pencetus dan
praktisi ANT memahami realitas sebagai proses dinamis yang tidak berada dalam suatu
ruang isolasi, namun selalu berhubungan dengan segala jaringan ekstra-sosial antara
manusia dan non-manusia (Nimmo, 2011, p. 109). Untuk itu, dibutuhkan suatu “perangkat
intelektual” atau “sensibilitas” khusus yang mampu menajamkan sensitivitas peneliti
dalam memahami realitas yang kompleks dan jamak (Nimmo, 2011). Pada titik ini, perlu
dipahami bahwa ANT ialah sebuah “cara untuk melibatkan diri” (a way of engagement)
yang menganggap metode penelitian sebagai bagian dari realitas. Dengan kata lain,
mengutip Law dkk, tidak ada realitas di luar sana yang dapat ditemukan dengan alat
metodologi tertentu, sebaliknya, realitas akan dibentuk dan ditransformasikan bersama-

10
sama dengan aktor yang terlibat dalam proses penelitian (Bussular et al., 2019; Law et al.,
2011).
Konsekuensi dari cara pandang demikian melahirkan karakteristik utama dari ANT,
yakni inkorporasi elemen non-manusia dalam proses analisis studi ilmu sosial. Layaknya
realitas, tindakan manusia tidak pernah terisolasi dari unsur-unsur lainnya. Manusia
bertindak beriringan dengan mesin, teks, perangkat elektronik, dan hewan. Alhasil, proses
mengonstruksikan –termasuk institusi sosial– merupakan hasil dari pola jaringan heterogen
(heterogenous network) yang berakar pada tindakan para aktor manusia dan non-manusia
(Law, 1992). Gagasan jaringan heterogen tersebut menjadi titik mula analisis studi ANT
yakni pertama, dengan kompleksitas jaringan aktor, pertanyaan mengenai agensi para
aktor menjadi kian mengemuka: siapa dan apa yang terlibat dalam tindakan tersebut, serta
kemungkinan tindakan yang dilakukan dari jarak jauh (action at a distance) (Bussular et
al., 2019; Sayes, 2014, p. 2). Kedua, konsep yang berkaitan erat dengan agensi ialah
penerjemahan (translation). Dalam konteks ini, penerjemahan merujuk pada proses
mengekspresikan dalam bahasa suatu aktor mengenai (a) apa yang dimaksud oleh aktor
lainnya, (b) alasan tindakan aktor tersebut, dan (c) bagaimana aktor tersebut
mengasosiasikan diri antara satu dengan lainnya (Callon, 1986). Hal krusial yang patut
digarisbawahi dalam proses penerjemahan ialah bagaimana peneliti mampu menghindari
pendekatan yang hanya menitikberatkan pada aktor manusia (atau bahkan pendekatan ilmu
sosial tertentu) dalam mengkaji sumber-sumber tertulis yang diproduksi oleh manusia
(Nimmo, 2011). Terlebih, penerjemahan sesungguhnya berfokus pada bagaimana para
aktor memindahkan dan mentransformasikan beragam tujuan dan kepentingan yang saling
bertentangan, serta mencoba untuk menyelaraskan tujuan tersebut (Bussular et al., 2019;
Callon, 1986).
Konsekuensi metodologis dari ANT lantas menimbulkan pertanyaan mengenai
operasionalisasi cara pandang tersebut dalam penelitian ilmu sosial. Salah satu contoh yang
relevan ialah studi Richie Nimmo mengenai perkembangan industri produk susu di Inggris
dan aspek sosio-material dari susu. Dengan menggabungkan elemen penting dalam ANT
dan etnografi yakni praktik –tindakan, aktivitas, dan perilaku sehari-hari– Nimmo berupaya
untuk membangun sensitivitas terhadap heterogenitas dan keberagaman (multiplicity)
dalam praktik (Nimmo, 2010). Mengingat objek riset yang menyaratkan adanya studi teks
sejarah, Nimmo menaruh perhatian khusus pada teks: ia memandang teks sebagai inskripsi
material, agen aktif yang menyatukan, membentuk, dan mengaitkan beragam praktik
sekaligus membentuk objek dan membentuk relasi jaringan lainnya (Nimmo, 2011). Studi
lainnya oleh Bussular dkk berupaya mengurai kompleksitas dampak bencana Samarco di
Brazil dengan mengidentifikasi kontroversi dan negosiasi para aktor yang terlibat (Bussular
et al., 2019). Para peneliti dalam studi ini membantu pembentukan realitas sosial yang
menggarisbawahi terjadinya pengecualian (exclusion) terhadap aktor-aktor tertentu,
perusakan terhadap aktor lainnya, hingga dampak dari kuasa ekonomi. Dengan demikian,
sebagai implikasi dari ANT, peneliti dituntut untuk tetap terbuka terhadap kemungkinan
yang dihasilkan dari jaringan heterogen yang dihasilkan oleh aktor non-manusia (Sayes,
2014).

11
2. Metode Penelitian
Metode sebagai proses dan prosedur pada penelitian ini merujuk pada kerangka
metodologi sebelumnya. Metode penelitian ANT mengikuti logika “following the actor”,
yang berarti menuntut studi ini mempelajari setiap fenomena heterogen yang relevan dan
turut membentuk materialitas PRISMA sebagai sebuah praktik kepenataan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan interpretatif.
Alasan menggunakan pendekatan kualitatif menyangkut permasalahan yang akan diteliti,
yaitu tentang hubungan/pengaruh penilaian risiko dampak HAM melalui mekanisme
pelaporan sukarela dengan pembentukan perilaku HAM perusahaan. Secara rinci, proses
dan prosedur penelitian dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Fokus Penelitian
Sebagai halnya penelitian ini memfokuskan pada pelaporan risk-assessment HAM
perusahaan melalui mekanisme voluntary disclosure dan pembentukan perilaku HAM
perusahaan, maka fokus penelitian diarahkan pada empat momen signifikan dari proses
penerjemahan (translation): problematisasi, penarikan, enrollment, dan mobilisasi. (1)
Problematisasi dipahami sebagai peristiwa-peristiwa yang di dalamnya sekelompok
aktor berupaya mendefinisikan permasalahan atau serangkaian permasalahan yang
terkait dengan beragam aktor lainnya. (2) Penarikan diartikan sebagai serangkaian
tindakan ketika sebuah entitas mencoba untuk menerapkan dan menstandarkan identitas
dari aktor-aktor lain sebagaimana telah didefinisikan pada tahap problematisasi. (3)
pelibatan dipahami sebagai keberhasilan dari penerjemahan kepentingan-kepentingan
di dalam sebuah jaringan melalui pelbagai percobaan, yang membantu mendefinisikan
dan mengoordinasikan peran-peran antar aktor. Terakhir, (4) mobilisasi ialah titik ketika
sekelompok aktor mampu berbicara secara prediktif atas nama aktor lain, mengonstruksi
apa yang disebut sebagai “juru bicara” tentang bisnis dan hak asasi manusia di tingkat
domestik.
b. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan menggunakan pendekatan
wawancara semi-terstruktur (semistructured interview) dan wawancara kelompok
terfokus (focused group interview), sebagaimana Gubrium (2012) membuat
karakteristik tipe-tipe wawancara (Bastian et al., 2018). Data primer diperoleh melalui
dua sumber, yakni: informan dan narasumber, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui penelusuran dokumen baik diperoleh dari informan/narasumber maupun
melalui penelusuran website. Menggunakan istilah dalam studi ANT, penelitian ini
memobilisasi aktor kunci yang memiliki kapasitas dalam membingkai isu bisnis dan hak
asasi manusia di lingkungan kepemerintahan. Dari sini, eksplorasi lebih jauh dapat
dilakukan melalui pelacakan (tracing) jaringan-aktor yang disampaikan oleh aktor kunci
tersebut. Berangkat dari studi-studi yang sudah ada, aktor kunci dan jaringan dapat
dikategorikan ke dalam tiga jenis, yakni pemerintah, akademisi, dan kelompok
masyarakat sipil.
Mengingat penelitian ini dalam tipe penelitian kualitatif, para informan baik sebagai
aktor kunci maupun informan dalam kelompok jaringan-aktor, ditentukan secara

12
purposive berdasarkan pertimbangan unsur kedudukan informan, yaitu: (i) pemerintah
sebagai pengambilan kebijakan, (ii) akademisi dalam kepakaran ilmu hukum dan
diskursus bisnis dan hak asasi manusia, dan (iii) peran sosial kelompok masyarakat
menyangkut relasi isu bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia, sebagaimana yang
disampaikan pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1. 1 Daftar Informan dan Jaringannya

Unsur dan Masyarakat Sipil


Pemerintah Akademisi
Informan (MS)
Aktor Direktorat Kerja Universitas Lembaga Studi &
kunci Sama, Direktorat Indonesia Advokasi Masyarakat
Jenderal Hak Asasi (ELSAM)
Manusia
Kelompok Pemerintah Akademisi Masyarakat Sipil
Jaringan-
Kementerian/Lembaga Akademisi dalam NGO dalam jaringan
Aktor
yang relevan jaringan dan Serikat Buruh.
Sumber: mengadopsi teori jaringan-aktor, Tim Penelitian 2021
Data sekunder di dalam penelitian ini berupa laporan kepatuhan perusahaan terhadap
undang-undang, laporan tahunan perusahaan, dan laporan yang diterima oleh instansi
pemerintah di bidang: lingkungan hidup, ketenagakerjaan (pengupahan serta kesehatan
dan keselamatan kerja), dan sektoral seperti perkebunan. Proses triangulasi dilakukan
dengan memanfaatkan hasil review data sekunder, seperti informasi yang terdapat dalam
laporan-laporan baik bersumber dari perusahaan maupun instansi pemerintah (Gendron,
2009).
c. Analisis Data
Sebagai proses reflektif, analisis data yang merujuk pada data primer menggunakan
analisis tematik yang berusaha menghubungkan tema-tema yang muncul dalam
penelitian dan menarasikan secara koheren, dengan memfokuskan makna dari hasil
wawancara di masing-masing kategori aktor. Sebelum dilakukannya analisis, tentunya
dilakukan pengkodean data sesuai dengan konsep dan subkonsep pada ANT, yaitu:
aktor (A), aktan (Ak), translasi/penerjemahan (Tr), dan penghubung/intermediary (In).
Khususnya terhadap konsep translasi/penerjemahan (Tr) pengkodean dilakukan dengan
merujuk pada subkonsep ANT yang terdiri dari empat langkah, yaitu: problematisasi
(Prb), penarikan/interessement (Pnk), perlibatan/enrollment (Plb), dan mobilisasi/
mobilization (Mbl).
Sementara itu, dalam hal analisis data yang merujuk pada data sekunder, yang terpisah
dari konteks wawancara untuk dianalisis, menggunakan analisis isi menyangkut
kategorisasi untuk konseptualisasi berdasarkan tahapan yang termuat di dalam teori
ANT.

13
G. Keluaran
Mengacu pada rentang waktu penelitian, keluaran penelitian ini ditargetkan
menghasilkan: (1) laporan penelitian, (2) karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah yang
dipresentasikan di konferensi ilmiah, (3) karya tulis ilmiah dalam bentuk artikel jurnal, dan (4)
Policy Paper dan Policy Brief.

H. Sistematika Pelaporan
Bab I. Pendahuluan
Bab II. Making Sense PRISMA: Sosiologi penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia
di Indonesia
A. Teori Jaringan-Aktor dalam Proses Penerjemahan bisnis dan hak asasi
manusia
B. Mengikuti Para Aktor
C. Penerjemahan (translasi)
1. Problematisasi: Mengapa bisnis dan hak asasi manusia?
2. Penarikan: Merumuskan bingkai yang sama
3. Pelibatan: PRISMA sebagai representasi
4. Mobilisasi: Representasi rendah problematisasi
D. Intermediari
Bab III. Menjalankan PRISMA: Kepenataan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia
A. Kepenataan, Subjektivikasi dan Risiko Hak Asasi Manusia
B. Variabel, indikator, skoring dalam PRISMA
C. PRISMA sebagai representasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia
Bab IV. Penutup

I. Timetable Kegiatan
No. Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A. Penyusunan proposal & desain penelitian
A.1 Penyusunan
A.2 Pengusulan
A.3 Presentasi
A.4 Perbaikan
A.5 Review
kelayakan
A.6 Perbaikan
hasil review

14
A.7 Penetapan &
persetujuan
A.8 Persentasi
desain
A.9 Review Desain
Hasil Presentasi
B. Pengumpulan data
B.1 FGD
B.2 Wawancara
B.3 Studi
dokumen
C. Pengolahan dan analisis data
C.1 Pengolahan
dan analisis
C.2 Simpulan &
rekomendasi
D. Laporan akhir
D.1 Presentasi
akhir
D.2 Review
laporan

15
BAB II
MAKING SENSE PRISMA:
SOSIOLOGI PENERJEMAHAN BISNIS DAN HAM DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan PRISMA sebagai produk dari proses penerjemahan bisnis dan HAM
dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini, bisnis dan hak asasi manusia terbentuk dari lima
dikursus utama, yakni risiko, dampak, informasi, pengungkapan/pelaporan, dan pemulihan
(Tabel 2.1 Diskursus Utama Bisnis dan Hak Asasi Manusia). Analisis dalam bab ini akan
menjelaskan dinamika penerjemahan atas lima diskursus utama tersebut melalui pendekatan
actor-network yang, mengutip Callon, memiliki empat tahapan yakni problematisasi,
penarikan, pelibatan, dan mobilisasi. Studi ini berargumen bahwa PRISMA, sebagai sebuah
platform penilaian mandiri oleh perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah, merupakan produk
dari proses pelibatan yang digalang oleh para aktor kunci bisnis dan hak asasi manusia. Di
tengah ragam serta dinamika penerjemahan diskursus di dalam bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia, bab ini menyimpulkan bahwa pendekatan penerjemahan yang relatif teknokratik
serta top-down cenderung mengesampingkan perspektif perusahaan sebagai bagian dari aktor
utama di dalam diskursus ini.
Tabel 2. 1 Diskursus Utama Bisnis dan Hak Asasi Manusia
Diskursus Definisi
Risiko (Ruggie & Sherman, Risiko yang dimaksud adalah risiko hak asasi manusia.
2017)
UNGPs mengharapkan adanya uji tuntas sebagai standar perilaku mengelola
risiko hak asasi manusia (bukan risiko komersial) (hlm. 922). Uji tuntas dinilai
sebagai upaya komprehensif dan proaktif perusahaan untuk mengungkap risiko
hak asasi manusia, yang aktual dan potensial, didalam seluruh siklus hidup
proyek atau kegiatan bisnis, dengan tujuan utama menghindari dan mengurangi
risiko (hlm. 924). Tujuan utama lainnya adalah: menilai dampak hak asasi
manusia aktual dan potensial; bertindak berdasarkan temuan; melacak
tanggapan; dan mengkomunikasikan bagaimana seharusnya penangulangan
dampak (Prinsip Panduan 17) (hlm. 924). Uji tuntas adalah bagaimana risiko
dan dampak diidentifikasi dan dimitigasi (hlm. 928).
Dampak (Baab & Jungk, Dampak adalah dampak hak asasi manusia dalam hubungannya dengan
2011) perusahaan (hlm. 5)
Baab & Jungk memperkenalkan model “Busur Prioritas Hak Asasi Manusia”
dengan memetakan isu-isu hak asasi manusia yang terdampak dalam
hubungannya dengan perusahaan, dengan mengklasifikasikannya kedalam area
prioritas: rendah, sedang, dan tinggi (hlm. 7). Menyangkut dampak Model ini
dipergunakan untuk menilai tingkat keparahan dampak dan jumlah orang yang
terkena dampak., sedangkan menyangkut perusahaan dipergunakan untuk
menilai hubungan perusahaan terhadap dampak: (i) apakah dampak diakibatkan
oleh perusahaan secara tunggal atau diakibatkan oleh pihak ketiga? dan (ii)
apakah perusahaan sebagai satu-satunya aktor yang bertanggungjawab ataukah
terdapat pertanggungjawaban secara kolektif?
Informasi (Cahaya & Hervina, • Informasi adalah informasi tertentu dalam laporan tahunan perusahaan seperti
2019) informasi hak asasi manusia (hlm. 7).
• Informasi yang dilaporkan perusahaan mempengaruhi tingat kepercayaan
pemegang saham dan kreditur, dalam hal likuiditas perusahaan. Suatu
perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi, maka perusahaan ini

16
berpotensi mengungkapkan lebih banyak informasi dalam laporan
tahunannya, termasuk informasi tentang masalah hak asasi manusia (hlm.7).
• Pengaruh jumlah dewan komisaris terhadap informasi hak asasi manusia.
Perusahaan dengan jumlah komisaris yang lebih besar di dewan
mengungkapkan lebih banyak informasi tentang masalah hak asasi manusia
dalam laporan tahunan mereka, dalam relasi yang signifikan yaitu para
komisaris tertarik dengan isu-isu hak asasi manusia atau memiliki semangat
UNGPs (hlm. 16).
• Relasi kuat yang ditunjukkan dari hubungan komisaris dan pengelola
perusahaan dalam batas tertentu akan menghasilkan mekanisme tata kelola
perusahaan yang efektif, terutama dalam konteks transparansi perusahaan
dalam masalah hak asasi manusia (hlm. 17).
Pengungkapan/ pelaporan • Pengungkapan adalah pengungkapan informasi hak asasi manusia (Cahaya &
(Bjorn Fasterling, 2017) Hervina, 2019).
• Istilah “pelaporan” dengan merujuk The Human Rights Reporting and
Assurance Frameworks Initiative (RAFI), bahwa penghormatan hak asasi
manusia oleh perusahaan akan mendorong manajemen risiko bisnis yang
meminimalisir; “gangguan bisnis”, kritikan publik, litigasi, rusaknya reputasi
perusahaan, dan permasalahan internal pegawai/ ketenagakerjaan (Björn
Fasterling, 2017).
• Mengintegrasikan uji tuntas hak asasi manusia ke dalam proses manajemen
risiko setidaknya menyediakan biaya yang lebih sedikit untuk program baru
perusahaan mengupayakan mendapatkan pengetahuan untuk menilai risiko
melalui dialog dengan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan LSM
(Björn Fasterling, 2017).
Pemulihan (Prihandono, 2013) • Pemulihan mensyaratkan adanya mekanisme (hlm. 85) dengan proses yang
sah (Prinsip 22 UNGPs), dan sedapat mungkin tidak boleh ada hambatan
untuk mendapatkan hak pemulihan dalam relasi pelanggaran yang
diakibatkan dari dampak aktual bisnis.
• Hambatan dapat dicontohkan dengan melihat pasal 1365 sampai 1367
KUHPerdata, yang mensyaratkan lima elemen yang harus ada dalam
menuntut pemulihan, yaitu: (i) harus ada tindakan baik aktif maupun pasif;
(ii) perbuatan itu harus merupakan perbuatan melawan hukum; (iii), pasti ada
kesalahan; (iv) harus ada kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan;
dan (v) harus ada keterkaitan antara tindakan dan kerusakan (hlm. 90).
• Konteks negara melindungi, maka negara harus mengambil langkah-langkah
yang layak untuk memastikan, melalui cara-cara yudisial, administratif,
legislatif atau lainnya, bahwa ketika pelanggaran demikian terjadi di dalam
wilayah dan/atau yurisdiksi mereka, mereka yang terkena dampaknya
memiliki akses atas pemulihan yang efektif (Prinsip 25 UNGPs).
• Menjadi hambatan lainnya dalam menuntut pemuihan adalah ketika tidak
terakomodirnya kasus-kasus pelanggaran hak sipil dan politik atau kasus-
kasus hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan kegiatan
korporasi didalam Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pilihan para korban
pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan pada akhirnya mencari jalur
pemulihan melalui pengadilan umum seperti pengadilan: pidana, perdata atau
administrasi (hlm. 90).
• Yang penting untuk diperhatikan adalah kasus-kasus HAM membutuhkan
prosedur khusus untuk perlindungan korban dan saksi, serta proses yang lebih
cepat, mengingat proses peradilan membutuhkan waktu yang lama dan
mengakibatkan korban lebih menderita (hlm. 91).
Sumber: hasil resume beberapa literatur oleh tim penelitian, 2021

A. Teori Jaringan-Aktor dalam Proses Penerjemahan Bisnis dan HAM


Sebagai sebuah pendekatan dan model analisis, actor-network menempatkan segala
sesuatu yang terjadi adalah terikat pada sebuah jaringan. Melihat realitas diskursus bisnis dan
hak asasi manusia sebagai sebuah jaringan, maka dipergunakanlah konsep dan sub konsep yang
17
terdiri dari: aktor, aktan, translansi (penerjemahan). Sebagaimana telah disampaikan pada bab
sebelumnya, ANT yang digunakan sebagai teknik mengumpulkan data berupaya
mengidentifikasikan interaksi relasional para aktor dalam menerjemahkan bisnis dan hak asasi
manusia. Proses penerjemahan menekankan bahwa para aktor manusia dan non-manusia
memliki preferensi masing-masing berdasarkan inskripsi para aktor, sehingga dibutuhkan
upaya untuk mengatur hingga mencapai pada batas tertentu dan berupaya menerima atau
memahami batasannya (Law, 1992). Proses penerjemahan menurut Callon melibatkan empat
langkah yaitu: langkah problematisasi (problematization), langkah penarikan (interessement),
langkah pelibatan (enrolment), dan langkah mobilisasi (mobilization). Istilah problematisasi,
penarikan, perlibatan dan mobilisasi adalah empat langkah dalam proses umum yang
disebut penerjemahan (Kristin Asdal, 2007). Melalui proses penerjemahan ini, kita dapat
memperoleh gambaran secara lebih luas tentang interaksi antar aktor serta memahami
hubungan di antara entitas mereka, sehingga membentuk sebuah jaringan yang stabil tentang
bisnis dan hak asasi manusia. Rangkaian penerjemahan ini menfokuskan pada tiga materi
penting yaitu: perjalanan bisnis dan HAM dari tingkat global ke domestik, memahami risiko
HAM dalam praktik bisnis dan pengelolaannya, dan urgensi mekanisme pelaporan HAM
melalui PRISMA dan peran kelompok dan jaringan.
B. Mengikuti Para Aktor
Prinsip kunci penerapan pendekatan jaringan-aktor ialah dengan ‘mengikuti’ para aktor
serta interaksinya yang kemudian membentuk sebuah jaringan. Dalam hal ini, aktor-aktor di
dalam penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia merupakan sebuah jaringan
entitas manusia dan non-manusia yang terlibat dalam upaya sosialisasi, diseminasi, hingga
adopsi UNGPs, yang kemudian membentuk relasi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Entitas manusia dalam hal ini adalah semua orang atau pihak yang beraktivitas di
dalam lingkup relasi bisnis dan hak asasi manusia yaitu: pemerintah, perusahaan, dan kelompok
masyarakat, sedangkan entitas non-manusia merupakan alat atau tools yang turut berperan di
dalam proses penerjemahan.
Dalam riset ini, kami mengidentifikasi tujuh belas aktor dalam jaringan penerjemahan
bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia, meliputi: Ditjen HAM, ELSAM, beberapa akademisi
di Universitas Indonesia (UI), aplikasi PRISMA, Foundation for International Human Rights
Reporting Standards (FIHRRST), Indonesian Global Compact Network (IGCN), Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM),
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), MP Evans Group PLC (MPE) dan PT.
INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas)/ Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN)(bidang Industri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemenaker), aplikasi sistem penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan - PROPER (Simpel PROPER) pada Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan mekanisme sertifikasi Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO) pada Kementerian Pertanian (Kementan). Aplikasi PRISMA, PROPER dan
mekanisme ISPO adalah aktor-aktor non-manusia, sementara yang lainnya adalah aktor-aktor
manusia. Aktor-aktor baik manusia dan non-manusia di atas bersifat relasional, dalam
pengertian saling berinteraksi dalam membentuk mekanisme ketaatan perusahaan. Interaksi

18
yang ditunjukkan para aktor berdasar pada inskripsi-inskripsinya masing-masing serta
membentuk pengenalan masing-masing aktor dan terhubung, sehingga membentuk jaringan-
aktor yang menunjukkan keterhubungan jaringan dan tidak terpisahkan.
C. Penerjemahan (Translasi)
Para aktor yang telah dirinci sebelumnya tidak berada di dalam kondisi yang terpisah antar
satu dengan yang lain. Unsur relasional antar mereka sesungguhnya saling bertalian dan pada
beberapa titik menghasilkan produk-produk penerjemahan. Uraian berikut merupakan tahapan
yang telah dilalui dalam dinamika bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang dimulai dari
upaya inisiator tema tersebut dalam membingkai masalah, membangun kerangka pikir yang
sama, membangun konteks domestik, hingga langkah mobilisasi para aktor.
1. Problematisasi: Mengapa Bisnis dan Hak Asasi Manusia?
Pada langkah problematisasi ini, para inisiator atau aktor kunci mengupayakan
bagaimana UNGPs dapat diterapkan melalui adopsi norma dan prinsip pelindungan hak
asasi manusia ke dalam konteks aktivitas bisnis di Indonesia. Para inisiator atau aktor kunci
tersebut meliputi: Ditjen HAM, ELSAM, dan akademisi dari Universitas Indonesia. Para
inisiator atau aktor menggagas penerapan UNGPs melalui mekanisme penyampaian
informasi tentang penilaian risiko hak asasi manusia oleh perusahaan secara mandiri (self-
assessment) kemudian diungkapkan/dilaporkan secara sukarela (voluntary) yang
bermanfaat bagi negara dalam kerangka melindungi hak asasi manusia dan mendorong
perusahaan untuk bertanggungjawab menghormati hak asasi manusia. Mekanisme tadi
dianggap mampu memberikan pemahaman/ mengedukasi perusahaan tentang risiko hak
asasi manusia dan bagaimana mengelola risiko hak asasi manusia serta memitigasi dampak
melalui dialog.
a. Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, telah menginisiasi
wacana tentang bisnis dan hak asasi manusia sejak november 2020, yang
diselenggarakan dalam bentuk dialog nasional, sebagai langkah awal dari bentuk
pelaksanakan tugas sebagai National Focal Point (NFP) Bisnis dan HAM. Ditjen
HAM memposisikan sebagai negara/ pemerintah yang memiliki kewajiban untuk
mendidik dan membina perusahaan agar lebih aware kepada hak-hak manusia baik
di dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan dalam
kerangka melindungi hak asasi manusia. Penilaian ririko hak asasi manusia oleh
perusahaan sangat baik untuk perlindungan hak-hak manusia karena menyangkut
aktivitas perusahaan melakukan eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran yang berpotensi berdampak pada lingkungan-sosial dan lain
sebagainya. Penilaian tadi akan difasilitasi melalui sebuah platform berbasis
website yang menyuguhkan beberapa pertanyaan dan harus di jawab oleh
perusahaan, dan sifatnya voluntary (sukarela). Pada dasarnya proses penilaian
risiko hak asasi manusia oleh perusahaan setidaknya memperkenalkan bisnis dan
hak asasi manusia di Indonesia hingga mewacanakan outputnya dalam bentuk
sertifikasi kepada perusahaan yang mendapatkan kategori nilai baik dan akan
disertakan pada kegiatan penilaian kabupaten/kota peduli hak asasi manusia setiap
tahunnya di Kementerian Hukum dan HAM RI.

19
Atas dasar tadi, maka sasaran perusahaan nanti termasuk pada badan usaha milik
pemerintah daerah (BUMD) dan/ atau perusahaan yang beroperasi di wilayah
provinsi maupun kabupaten/ kota. Wacana selanjutnya dari mekanisme penilaian
risiko hak asasi manusia oleh perusahaan, adalah diintegrasikan dengan mekanisme
pendaftaran usaha yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum, Kementerian Hukum dan HAM RI. Dengan demikian, mekanismenya tidak
sepenuhnya voluntary namun juga akan mengarah pada mandatory, dalam
pengertian menjadi legal reminding dan mengikat dengan memperhatikan aspek
keuntungan atau benefit yang diterima oleh perusahaan.

b. Problematisasi bisnis dan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari peran para
akademisi nasional yang memproduksi dan mendiseminasikan pengetahuan,
khususnya dari disiplin ilmu hukum dalam diskursus bisnis dan hak asasi manusia.
Salah satu akademisi Universitas Indonesia (UI), Patricia Rinwigati memandang
bahwa pelaporan perusahaan menyangkut penghormatan hak asasi manusia
menjadi sangat penting untuk diungkapkan. Problemnya adalah begitu banyaknya
model-model pelaporan perusahaan namun bentuknya berbeda-beda, dan hal ini
menimbulkan kegelisahan dari pihak perusahaan, yang kemudian masing-masing
perusahaan berupaya membuat laporannya. Adapun faktor penggeraknya
bermacam-macam, ada yang berupa tekanan dari kelompok masyarakat sipil (Non-
Governmental Organization - NGO dan/atau LSM) serta konsumen maupun pasar
(market), dan bahkan keinginginan semata dari perusahaan karena ingin dinilai baik
kinerjanya dari aspek hak asasi manusia.
Dengan banyaknya model pelaporan, perusahaan seolah-olah lebih seperti berada
di hutan belantara, harus mengacu kepada yang mana, dan bahkan dalam
perkembangannya mulai bermunculan model sertifikasi-sertifikasi bagi
perusahaan. Pelaporan hasil penilaian risiko (risk-assessment) hak asasi manusia
esensinya adalah adanya standar atau panduan yang memberikan pemahaman
tentang hak asasi manusia. Dalam perusahaan biasanya ada dua jenis laporan, ada
yang risk assesment dan compliance assesment, keduanya merupakan self-
assessment. Pemahaman risiko hak asasi manusia ini adalah segala sesuatu yang
mungkin terjadi, yang melihat dari sisi hak-hak manusia karena terkait dengan
bisnis, sehingga penilaian ini dapat dikatakan sebagai bentuk identifikasi.
Menyangkut soal sertifikasi, menurut narasumber, problem turunannya adalah
sertifikasi tersebut merupakan milik pribadi (perusahaan) dan harus disertai adanya
pengakuan (branding). Sebagai contoh misalnya yang coba diterapkan pada
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagaimana halnya di dalam
peraturan menterinya dipersyaratkan adanya auditor untuk menuju sertifikasi, dan
yang diperkenankan melakukan sertifikasi adalah orang yang sudah mempunyai
izin (license) menerbitkan sertifikasi hak asasi manusia. Hal ini jugalah yang
menjadi persoalan yang melatarbelakangi perlunya negara/pemerintah membuat
mekanisme pelaporan risiko hak asasi manusia.

20
Dalam hal “apakah arah dari laporan penilaian yang dimaksud ini akan mengarah
kepada bentuk pertanggung jawaban perusahaan?”, akademisi UI menjelaskan
bahwa sesungguhnya tidak kepada bentuk pertanggungjawaban perusahaan. Risk
assesment ini bisa saja berpotensi (ada kemungkinan) salah dan kemungkinan
benar. Adapun jika memang terdapat kesalahan, itupun tidak menjadi masalah oleh
karena hanya sebatas risk assesment.
Selanjutnya mengenai pelaporan yang berimplikasi kepada perilaku perusahaan,
akademisi UI mengatakan bahwa akan tergantung bagaimana stakeholder
memaknai sebuah pelaporan. Setiap stakeholder memaknai bisnis dan hak asasi
manusia tentunya tidak pernah sama. Namun demikian, yang terpenting adalah ada
titik temunya dan bila tidak, maka stakeholder akan menjalankannya menurut
pemaknaannya masing-masing.
Kemudian menyangkut pemaknaan uji tuntas (due diligence). Sesungguhnya
mekanisme due diligence bukanlah mekanisme baru dalam aktivitas perusahaan,
karena mekanisme tersebut telah biasa dilakukan. Aakan tetapi, lebih spesifik pada
penilaian risiko hak asasi manusia, hal ini lebih cenderung mengadopsi norma hak
asasi manusia. Menyangkut mekanisme penilaian yang efektif adalah private
public, karena disinilah pemerintah turut terlibat. Jika private maka akan lebih
mengikat namun jika hanya public saja maka hanya mengikat antara negara dan
perusahaan tersebut, sehingga akan sulit bila hanya menerapkan top down. Atas
dasar tersebut maka salah satu indikatornya adalah pelibatan (pastisipasi)
masyarakat.

c. Sebagai salah satu aktor kunci di dalam proses penerjemahan pengetahuan tentang
bisnis dan hak asasi manusia, ELSAM pada 2012 menerjemahkan UNGPs ke dalam
Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”.
Melalui publikasi tersebut, “diharapkan korporasi-korporasi, khususnya yang
beroperasi di Indonesia, dapat lebih memahami mengenai peran penting
pelindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga, secara
perlahan, namun pasti prinsip-prinsip dan standar hak asasi manusia dapat
diintegrasikan ke dalam operasionalisasi korporasi, yang pada akhirnya dapat
mengurangi dan menghilangkan dampak negatif operasionalisasi bisnisnya.”
Kemudian pada 2014, ELSAM bekerjasama dengan Global Compact Network
Netherlands menerjemahkan alat panduan praktis pelaksanaan UNGPs yang
“membahas tentang Kerangka Kerja Tiga Pilar John Ruggie, yang disampaikan
sebagai panduan praktis untuk bisnis dengan bahasa yang mudah dimengerti.”
Selain itu, merujuk pada praktik OECD, pada tahun yang sama, penerjemahan atas
Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional juga dilakukan yang
dianggap “satu-satunya aturan yang disepakati secara multilateral dan menyeluruh
tentang perilaku bisnis yang bertanggung jawab di mana berbagai pemerintah telah
berkomitmen untuk mendukung pelaksanaannya.”

21
Sementara itu, sebagai upaya untuk menjelaskan relevansi UNGPs ke dalam
konteks pelaku ekonomi di Indonesia, ELSAM pada 2016 menerbitkan publikasi
berjudul “UNGPs, Desentralisasi Dan UMK: Laporan Penelitian Relevansi Prinsip-
Prinsip Panduan PBB Untuk Bisnis Dan HAM Dalam Konteks Indonesia.” Dalam
kajian tersebut, setidaknya dua hal yang menjadi karakteristik ekonomi di Indonesia
yang disorot, yakni: kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta
eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang belum secara
mendalam diulas di dalam UNGPs. Masih dalam konteks kontekstualisasi tersebut,
pada tahun yang sama organisasi ini menerbitkan sebuah studi yang berjudul
“Perhutani dan Hak Asasi Manusia: Studi Atas Empat Kasus Penanganan Konflik
BUMN Perhutani Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.” Di dalam studi ini,
diungkapkan bahwa “dalam banyak kasus, Perhutani kerap menghadapi berbagai
gangguan atas sumber daya hutannya dengan represi, yang tak jarang berujung pada
pelanggaran atas hak-hak dasar warga negara.” Diseminasi pengetahuan tentang
bisnis dan hak asasi manusia juga dikemas dalam forum akademik berupa
Konferensi Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada pada November 2015. Konferensi tersebut
menghasilkan sebuah bunga rampai yang berjudul “Relasi Bisnis dan Hak Asasi
Manusia: Konteks dan Perspektif Hukum di Indonesia” pada 2016. Pada tahun yang
sama, dengan kembali melibatkan para penulis dari berbagai latar belakang,
ELSAM kembali menerbitkan bunga rampai yang berjudul “Menjangkau
Tanggungjawab Korporasi: Eksplorasi Hubungan Bisnis dan HAM.”
Pada 2019, ELSAM menerbitkan sebuah hasil riset yang mengulas tentang
strategi dalam membangun kebijakan bisnis dan hak asasi manusia yang berbasis
kemitraan multipihak dengan judul “Perkembangan Bisnis dan HAM di Indonesia:
Persepsi Negara, Masyarakat Sipil, dan Korporasi.” Sebuah studi kasus juga
kembali dilakukan pada 2020, dengan objek studi PT. Pertamina yang berjudul
“Identifikasi Modalitas dan Hambatan Kepatuhan Pertamina sebagai Aktor
Pemajuan Hak Asasi Manusia dan Produk Berkelanjutan.” Studi tersebut
mengungkapkan bahwa, “untuk memastikan komitmen pembangunan
berkelanjutan yang bersinggungan dengan isu hak asasi manusia tersebut, terutama
dalam memastikan implementasi kebijakan mandatori B20 dilaksanakan secara
berkelanjutan, sudah seharusnya PT. Pertamina berupaya meningkatkan komitmen
berkelanjutan melalui apa yang disebut sebagai Kebijakan Tanpa Deforestasi,
Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi (No Deforestation, No Peat, No Exploitation).”
Pada 2020 pula, beberapa studi sektoral dilakukan oleh organisasi ini, misalnya di
sektor pariwisata (publikasi berjudul Memetakan Mozaik Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Dalam Konteks Pembangunan Pariwisata Berdasarkan Perspektif Bisnis
dan HAM), serta pertanian, pariwisata, pekerjaan ekonomi informal, kesehatan,
teknologi informasi, hingga pada sektor yang interseksional seperti pengelolaan
sumber daya alam (SDA) dan manajemen perusahaan (publikasi berjudul Perspektif
Gender dan Hak Anak dalam Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Perempuan dan Anak
di Bawah Kuasa Korporasi di Indonesia).

22
2. Penarikan: Merumuskan Bingkai yang Sama
Pada langkah penarikan ini, bentuk atau cara inisiator meyakinkan aktor lain yang
terkait dengan problematisasi tersebut. Inskripsi yang ditunjukkan oleh para aktor pada
problematisasi setidaknya menyiratkan beberapa hal, yaitu: (i) bagaimana risiko dan
juga dampak dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia dipersepsikan melalui model
pelaporan; (ii) bagaimana substansi dari informasi risiko hak asasi manusia yang harus
dikumpulkan dan disampaikan serta relasinya menyangkut mekanisme
pengungkapan/pelaporan; (iii) bagaimana dengan penerapan pilar ketiga di dalam
UNGPs menyangkut mekanisme pemulihan/remedy yang tidak terpisahkan dalam hal
hubungan negara dan bisnis; dan (iv) bagaimana membentuk prilaku bisnis yang
bertanggungjawab menghormati hak asasi manusia.
Di dalam langkah ini, penarikan beberapa jaringan-aktor (selain aktor kunci)
diperlukan dalam proses penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang
merujuk pada lima dikursus utama, yakni: risiko, dampak, informasi,
pengungkapan/pelaporan, dan pemulihan. Beberapa jaringan-aktor tersebut di
antaranya terdiri dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi buruh (FIHRRST,
IGCN, KSPSI, FSPM, KSBSI), kelompok pemerintah (Bappenas (bidang Industri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Kementerian Koordinator Perekonomian,
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), aplikasi sistem penilaian PROPER
(Simpel PROPER) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
dan mekanisme sertifikasi ISPO pada Kementerian Pertanian (Kementan)), kelompok
akademisi (Universitas Negeri Medan (Unimed), STP UniversitasTrisakti (STP-
UTrs)), maupun kelompok perusahaan (MP Evans Group PLC (MPE) dan PT.
INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM).
Melalui penarikan aktor-aktor lain (di luar aktor kunci) yang berkepentingan
dalam hal menyangkut lima dikursus utama, yakni risiko, dampak, informasi,
pengungkapan/pelaporan, dan pemulihan, akan memperlihatkan inskripsi-inskripsi
yang ditorehkan oleh para jaringan-aktor dalam membingkai bisnis dan hak asasi
manusia di Indonesia. Dinamika penarikan dalam mengungkap praktik penerapan
UNGPs melalui proses penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia
ditunjukkan pada sejumlah data penarikan dari masing-masing kelompok jaringan-
aktor yang terbagi dalam tiga tema, yakni menyangkut tentang: risiko dan dampak hak
asasi manusia, informasi dan pengungkapan, dan pemulihan sebagai berikut.
a. Risiko dan dampak hak asasi manusia
Prinsip 17 UNGPs pada bagian komentarnya menyebutkan bahwa human rights risk
diartikan sebagai potential human rights impact. Sehingga bila menyebut risiko
maka sebenarnya juga termasuk dampak HAM, yaitu dampak HAM aktual yang
sudah terjadi dan dampak HAM potensial. Selama ini risiko hak asasi manusia kerap
dipahami di dalam kerangka Enterprise Risk Management, yang memperlakukannya
sebagai bagian dari risiko bagi perusahaan. Padahal, risiko di dalam UNGPs adalah
risiko bagi korban -manusia (human rights risk), sementara risk management lainnya
merujuk pada risiko perusahaan dan bukan menyangkut hak.

23
Secara implisit, UNGPs ingin menelisik lebih dalam bagaimana salient issues
(masalah penting) bisa diidentifikasi sebagai ‘menimbulkan risiko’. Penentuan
salient issue setidaknya harus melibatkan pemangku kepentingan terkait seperti
kelompok yang paling rentan terdampak: karyawan, masyarakat di lingkungan
sekitar, bahkan hingga konsumen akhir. Ke depannya, munculnya indikator dampak
atau risiko yang berpotensi memiliki dampak itu merupakan kesepakatan dari
pemangku kepentingan, yang nantinya itu bisa meminimalkan risiko dan dampak.
Ketika semua dilibatkan, maka diharapkan tidak akan lagi ada permasalahan di masa
mendatang, karena dampak itu sudah bisa dimitigasi oleh perusahaan. Dalam hal ini,
PRISMA yang merepresentasikan bisnis dan HAM belum bisa memotret salient
issues. Yang terpenting adalah di dalam kriteria due diligence, paling tidak harus
bisa memotret salient issues, sehingga yang paling memungkinkan dilakukan adalah
membagi penilaian risiko hak asasi manusia berdasarkan basis per sektor bisnis.
Membingkai risiko hak asasi manusia dalam kacamata kelompok masyarakat
sipil dalam isu perburuhan membaginya dalam beberapa sektor, yaitu: garmen
tekstil, pertambangan, transportasi, kimia kesehatan, dan makanan minuman
pariwisata restoran hotel dan tembakau. Perlu mencermati pula persoalan yang
muncul dari keberadaan perusahaan kontrak/outsourcing, sebagai perusahaan yang
menjadi suplai tenaga kerja pada perusahaan besar. Hal ini kerap menimbulkan
beberapa permasalahan, mulai dari statusnya (kontrak atau buruh harian lepas) atau
bahkan tenaga borongan. Terlebih lagi tenaga kerja di perkebunan sawit banyak
tantangannya, dalam hal perkebunan ini biasanya memiliki tempat yang jauh dari
pengawas ketenagakerjaan, jadi lebih rentan di sektor perkebunan dari pada tenaga
kerja yang ada di dalam perusahaan.
Menerjemahkan risiko hak asasi manusia harus dimulai dari regulasi yang ada
baik di tingkat global maupun nasional, oleh karena telah jelas adanya diatur
beberapa perlindungan terkait dengan hak-hak buruh di tempat kerja. Semisal terkait
isu perempuan, jelas sekali diatur bahwa perempuan yang sedang hamil tidak boleh
diperkerjakan dilingkungan yang mengganggu tumbuh kembang janinnya. Selain itu
menyangkut soal upah, diskriminasi atau kebebasan berserikat. Apabila perusahaan
tidak mematuhi ketentuan di dalam regulasi tersebut, maka hal ini akan menjadi
risiko hak asasi manusia mengingat dampaknya akan terus berlanjut – seperti yang
dicontohkan perempuan hamil sebagi pekerja akan berdampak kepada tumbuh
kembang janin dan kesehatan sang ibu. Begitu juga terkait fenomena para pekerja
yang tidak mendapatkan upah dan jaminan sosial oleh sebab ketidaktauan
perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya pada lembaga jaminan sosial.
Konteks bisnis dan hak asasi manusia pada isu perburuhan, adalah hak untuk
mendapatkan hidup sehat, hak untuk mendapatkan hidup yang layak, hak
mendapatkan upah layak, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun,
ketika berbicara mengenai bisnis, maka turut menyertai dampak bisnisnya seperti
peluang investasi yang difasilitasi dengan Undang Undang Cipta Kerja relatif lebih
mudah dan mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya
juga lebih mudah, sehingga melihat dampaknya bukan hanya pada lingkungan saja
24
tetapi terhadap kesehatan masyarakat sekitar, terhadap tumbuh kembang anak,
terhadap sumber daya alam yang ada disana. Hak-hak yang paling berdampak adalah
jika mereka tidak mendapatkan upah yang layak, jika mereka tidak mendapatkan
jaminan sosial yang baik, jika mereka tidak mendapatkan K3 (Kesehatan dan
keselamatan kerja), kemudian mereka tidak terlindungi dari penyakit akibat
pekerjaannya. Hak-hak ini lah yang paling berdampak, hak untuk hidup secara layak
sangat berdampak ketika bisnis tidak dijalankan dengan sehat, ketika bisnis tidak
menghormati hak asasi manusia, sehingga ketika pihak-pihak perusahaan dan
pemerintah abai terhadap semua ini maka akan berdampak terhadap buruh dan
keluarganya.
Membingkai bisnis dan hak asasi manusia dalam relasi peran serikat buruh di
perusahaan juga meliputi ruang penyelesaian sengketa antara buruh dengan
perusahaan yang bersifat kasuistik. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
buruh, laporan yang disampaikan oleh serikat buruh kepada pengawas
ketenagakerjaan adalah laporan yang bersifat kasuistik. Sementara laporan
perusahaan kepada pengawas ketenagakerjaan sifatnya regular. Dengan adanya
mekanisme wajib lapor mau tidak mau mereka harus memperbaiki kondisi kerjanya.
Dengan kondisi ini maka wajib lapor ketenagakerjaan tidak terlalu signifikan untuk
menyelesaikan risiko-risiko yang timbul di sektor ketenagakerjaan.
Kemudian, dalam hal partipasi serikat buruh ataupun asosiasi pekerja terhadap
kebijakan-kebijakan ataupun perubahan-perubahan keputusan di tingkat perusahaan
dapat dilihat kondisi dimana di Indonesia, buruh yang berserikat itu masih sekitar 8-
10 % dari jumlah buruh yang ada. Meski terdapat perusahaan yang memiliki serikat
maupun asosiasi namun kerap kali mereka tidak dilibatkan dalam bentuk konsultasi
pembentukan kebijakan perusahaan.
Terdapat ragam penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia pada isu perburuhan,
sebagaimana jenis risiko perburuhan yang dikemukakan oleh kelompok pemerintah
menyangkut buruh/tenaga kerja di sektor usaha perikanan agak berbeda dan spesifik.
Dikenal dengan istilah 3D, yang menjadi karakter tenaga kerja di sektor usaha
perikanan yang melekat dengan sebutan dirty, danger, dan difficult. Pekerjaan yang
kotor, berbahaya, dan cenderung sulit dilakukan oleh para pekerja biasa, menjadi
penting untuk mendapatkan perhatian khusus di dalam pengungkapan informasi
risiko hak asasi manusia. Tingkat keamanan bagi pekerja di sektor usaha perikanan
harus dianggap memiliki risiko tinggi, dan pengalamnya bisa berkaca pada kasus
Benjina. (merujuk pada sudut pandang jaringan-aktor dari kelompok organisasi
perburuhan dan kelompok pemerintah dalam penerjemahan bisnis dan hak asasi
manusia, Prinsip ke-12 UNGPs menyatakan bahwa: “Tanggung jawab perusahaan
bisnis untuk menghormati HAM mengacu pada HAM yang diakui secara
internasional dengan pengertian, setidaknya, sebagaimana salah satunya tercantum
pada prinsip-prinsip mengenai hak-hak dasar yang terdapat dalam Deklarasi
Organisasi Buruh Internasional mengenai Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar
di Tempat Kerja”)

25
Perspektif memahami risiko selain di atas, dalam sudut pandang aktivitas audit
lingkungan misalnya, risiko hak asasi manusia harus didefinisikan dalam aspek
mendorong perusahaan dalam hal kemanfaatan secara internal perusahan dan
eksternal perusahaan. Risiko sejatinya dapat dipahami dan dikelola oleh perusahan
untuk kepentingan market dan financial.
b. Informasi dan mekanisme pengungkapannya
1) Secara tersirat, UNGPs mendorong adanya smart mix antara voluntary dan
mandatory. Walaupun hingga saat ini PRISMA yang merepresentasikan bisnis
dan hak asasi manusia di Indonesia masih bersifat voluntary, maka pertanyaan
selanjutnya adalah tentang efektif tidaknya mekanisme voluntary itu. Ada
beberapa tantangan untuk PRISMA: pertama, bila basisnya adalah voluntary,
pihak perusahaan akan mempertanyakan benefit yang mereka peroleh; dan
biasanya Kemenkumham akan memberikan award, tapi tetap perusahaan akan
menimbang apakah hal tersebut sepadan; dan kedua, tentang akurasi pelaporan.
Meski telah terdapat disclaimer, tapi tetap sulit untuk menjamin keakurasiannya,
dan hal ini akan berbeda dengan sustainability reporting yang sudah ada dengan
sepengetahuan pimpinan tertinggi perusahaan.
Tantangan terbesarnya adalah perbedaan persepsi mengenai penghormatan
HAM. Karena bagi perusahaan hubungan antara voluntary dan mandatory akan
sama saja oleh karena ketika yang memberikan pilihan voluntary itu adalah
investor, maka akan melampaui dari sekadar voluntary, sehingga yang perlu
dipahami juga adalah bahwa perusahaan juga memiliki limitasi. Dengan
keterbatasan resources, maka perlu memaksimalkan resources untuk
menyelesaikan beberapa hal yang dianggap paling berat dan yang paling feasible
untuk bisa perusahaan lakukan.
2) Pelaporan menyangkut isu di sektor perburuhan, kelompok masyarakat sipil
dalam organisasi perburuhan menerjemahkan mekanisme pelaporan melalui
PRISMA adalah mekanisme yang sederhana dan dapat diakses oleh para buruh,
sehingga mereka dapat dengan mudah memperoleh informasi. Selain itu,
terdapat juga mekanisme dialog di tingkat nasional secara periodik, antara
stakeholder yang terlibat dalam aplikasi PRISMA, membahas tantangan
menggunakan aplikasi PRISMA seperti apa, efektif atau tidak aplikasinya, dan
apa yang akan diperbaiki lagi, sebagai bentuk evaluasinya. Masih menyangkut
laporan HAM, persoalan di sektor ketenagakerjaan sebenarnya masih dalam
lingkup upah, jaminan sosial, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3),
perempuan, dan anak. Bila dilekatkan pada isu perburuhan di sektor sawit
misalnya, maka sangat kental dengan isu pekerja anak dan pelindungan hak
perempuan. Namun demikian, menyikapi secara sederhana atas pelaporan oleh
perusahaan melalui PRISMA setidaknya menyangkut hak-hak buruh yang ada
di undang-undang. Kemudian ada follow up dari pemerintah dan pihak
perusahaan serta mekanisme dialog dalam menyelesaikan persoalan di tempat
kerja.

26
3) Berkaca pada lensa mekanisme pelaporan yang diinisiasi oleh KLHK misalnya
menyangkut informasi pengungkapan/pelaporan pengelolaan lingkungan hidup
oleh perusahaan melalui SIMPEL PROPER pada KLHK. Pada sistem ini justru
mensimplifikasi beberapa peraturan yang menyangkut isu lingkungan hidup,
sehingga perusahaan tidak perlu lelah mempelajari segala peraturan perundang-
undang tentang lingkungan hidup. Bila yang diminta perusahaan dalam bentuk
evidence maka akan terbaca di dalam aplikasi SIMPEL PROPER.
SIMPEL PROPER merupakan sistem yang mengatur mekanisme pelaporan
pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup, rencana pemantauan
lingkungan hidup, pelaksanaan izin pelindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dan penerapan baku mutu lingkungan secara elektronik. Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
merupakan evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pemeringkatan kinerja perusahaan melalui PROPER dikelompokkan kepada dua
hal, yaitu: pertama, kinerja dalam menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan, baik dilakukan secara langsung (mengkaji dokumen) dan/atau tidak
langsung (verifikasi lapangan) dengan pemeringkatan berupa kategori kinerja
biru, merah dan hitam. Hasil penilaian terdiri dari dua kategori yaitu taat atau
tidak taat. Kedua, kinerja yang melebihi ketaatan yang diwajibkan dalam
peraturan perundang-undangan dengan pemeringkatan berupa hijau dan emas,
berdasarkan kriteria:
a) memperoleh nilai taat;
b) tidak ada konflik dengan masyarakat pada saat periode penilaian;
c) tidak dalam pengenaan sanksi administratif pada saat periode penilaian;
d) tidak dalam proses pemulihan lahan terkontaminasi pada saat periode
penilaian;
e) melakukan audit energi, bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f) melakukan audit lingkungan hidup, bagi usaha dan/atau kegiatan yang
diwajibkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pada era sebelumnya, mekanisme kontrol perusahaan terhadap isu lingkungan
hidup lebih condong pada upaya penegakan hukum. Upaya ini dianggap tidak
efisien dan cenderung tidak menyelesaikan masalah untuk mengkontrol
perusahaan agar taat pada peraturan. Terlebih biaya (cost) untuk penegakan
hukum di bidang lingkungan hidup tidaklah sedikit. Sehingga dengan
membangun aplikasi SIMPEL PROPER jangka panjangnya adalah
meminimalisir penegakan hukum dengan fokus mendorong perusahaan-
perusahaan yang beritikad baik untuk perbaikan dan pengelolaan limbah yang
dihasilkan dari aktivitas perusahaan.

27
Mekanisme yang dibentuk pun telah melampaui batasan sebagai mandatory dan
voluntary, dan bahkan lebih dari sekedar taat (beyond compliance) pada
peraturan perundang-undangan. Isu lingkungan hidup bukan saja mengenai
ketaatan, sehingga pelaporan melalui SIMPEL PROPER ini juga mendorong
efisiensi bagi perusahaan melalui pengelolaan lingkungan. Jika telah melakukan
hal yang baik bagi perusahaan maka secara langsung akan diarahkan juga untuk
melakukan hal yang baik bagi lingkungan sekitarnya (masyarakat).
4) Lain halnya dengan mekanisme pelaporan melalui sertifikasi ISPO di
Kementerian Perkebunan. Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(ISPO) adalah sistem usaha perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak
sosial budaya, dan ramah lingkungan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit terdiri dari
kegiatan tentang pengelolaan sumber daya alam dan manusia, sarana produksi,
alat dan mesin, budi daya, tentang panen, pengolahan, dan pemasaran sawit.
Untuk menjamin keberlanjutan usaha perkebunan sawit maka diperlukan
sertifikasi ISPO kepada perusahaan dan pekebun, yang keduanya termasuk
pelaku usaha dalam usaha perkebunan kelapa sawit. Salah satu prinsip yang
harus diterapkan menurut sertifikasi ISPO adalah kepatuhan terhadap undang-
undang (compliance). Kriteria kepatuhan tadi meliputi legalitas lahan
perkebunan, dan legalitas usaha perkebunan. Sertifikasi ISPO adalah rangkaian
kegiatan penilaian kesesuaian terhadap usaha perkebunan kelapa sawit yang
berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa produk dan/atau tata kelola
perkebunan kelapa sawit telah memenuhi prinsip dan kriteria ISPO yang
penilainnya berbasis pada pembuktian dokumen yang sah. Dalam
mekanismenya, sertifikasi ISPO melibatkan pihak ketiga dalam melakukan
penilaian.
Dengan demikian, penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia
pada langkah penarikan ini turut pula memerhatikan bagaimana praktik-praktik
yang sudah dilakukan oleh jaringan-aktor dalam kelompok pemerintahan yang
dianggap memiliki irisan dengan isu hak asasi manusia. Pada titik ini, dorongan
untuk simplifikasi, kolaborasi, hingga kolaborasi lintas sektor sudah mulai
mengemuka.
5) penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia pada konteks
pengungkapan/pelaporan ditunjukkan pula menurut kacamata jaringan-aktor
kelompok perusahaan seperti MIND-ID sebagai perusahaan holding
pertambangan di Indonesia. MIND ID mengungkapkan:
Perusahaan kami adalah extractive industry, jadi menjadi sorotan ESG (Environment Social
Government). Pada tahun 2021 akan diterapkan pedoman atau prinsip-prinsip ICMM
(International Council on Mining and Metals) yang merupakan bagian dari ESG sebagai
kontrol atau sebagai bagian dari mengejawantahkan atau mereflesikan HAM atau social
impact itu penting. Dalam ICMM sudah terdapat 10 prinsip hasil referensi global yang
utama yaitu 17 prinsip SDGs dan Paris Agreement, dua dokumen penting international
sudah di serap dalam ICMM. Selain noble purpose, kami mempunyai sistem manajamen
risiko yang sudah sangat komperhensif, yang dipantau setiap bulannya oleh seluruh
anggota. Ini menjadi keseharian kami dalam membuat keputusan, dalam membuat program

28
kerja mengacu kepada manajemen risiko. Kemudian ada prinsip-prinsip internasional ESG
ICMM yang di terapkan khusus di perusahaan tambang secara global. Sebagai contoh, yang
sudah menjadi anggota ICMM seperti Rio Tinto, Valley, Anglo Saxon, mereka sudah
memenuhi kualifikasi sebagai anggota ICMM, seperti semacam international council atau
kelompok dari perwakilan dari berbagai negara yang telah menyepakati prinsip yang sesuai
untuk bidang pertambangan dikaitkan dengan SDGs dan Paris Agreement. Dengan rigid
atau ketatnya Prinsip ICMM, yang sudah lolos menjadi anggota ICMM sudah pasti
mempunyai good reputation. Secara environment harus good mining practice, dari sisi
sosial harus memerhatikan dampak keberadaan operasi pertambangan pada masyarakat
sekitar baik secara sosial dan ekonomi serta lingkungan, kemudian governance yang
termasuk juga transparansi ke arah anti korupsi, anti kolusi, accountable, responsible,
independen dan prinsip fairness.
c. Mekanisme pemulihan/remedy
1) Pelaporan tidak hanya tentang risiko, tapi juga penanggulangannya atau
pemulihannya, sehingga lebih disepakati dengan penambahan istilah dampak.
Sebab salah satu cara untuk menindaklanjuti dampak adalah melakukan
pemulihan. Oleh karena itu substansi yang dilaporkan harus termasuk
mekanisme pemulihannya.
2) Termasuk pada isu perburuhan tentang pelanggaran hak tenaga kerja,
mekanisme penyelesaian sengketa yang ada saat ini dirasa sangat tidak efektif
dan efisien untuk memulihkan hak pekerja yang terlanggar. Praktiknya lebih
cenderung memanfaatkan pihak ketiga untuk mediasi yang akan memakan
waktu lama serta biaya dan bukan memilih dialog bipartite.
Praktik pemulihan yang dikehendaki oleh bisnis dan hak asasi manusia menurut
UNGPs, adalah: “sebagai bagian dari tugas untuk melindungi dari pelanggaran
hak asasi manusia terkait dengan bisnis, Negara harus mengambil langkah-
langkah yang layak untuk memastikan, melalui cara-cara yudisial,
administratif, legislatif atau lainnya, bahwa ketika pelanggaran demikian
terjadi di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi mereka, mereka yang terkena
dampaknya memiliki akses atas pemulihan yang efektif” (Prinsip ke-25 UNGPs).
Sebagai catatan tambahan: The access to remedy is an important element in the
International Human Rights Law system, namely guaranteeing justice and
indemnity, which is not only intended to how to overcome the past, but is also an
important means to develop the future, either for the individual who is directly
affected or to protect the community right on the overall. (KOMNAS HAM &
ELSAM, National Action Plan on Business and Human Rights, 2017:66)
(Akses terhadap pemulihan merupakan elemen penting dalam sistem Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional, yaitu menjamin keadilan dan ganti rugi, yang
tidak semata hanya ditujukan untuk mengatasi masa lalu, tetapi juga sebagai
sarana/media yang penting untuk mengantisipasi yang akan datang, baik untuk
individu yang terkena dampak langsung atau untuk melindungi hak masyarakat
secara keseluruhan (terjemahan bebas peneliti))

3. Pelibatan: PRISMA sebagai Representasi


Proses pelibatan pada prinsipnya menggambarkan format atau bentuk konsolidasi peran
dan aktivitas antar aktor di dalam penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di

29
Indonesia. Dalam hal ini, kami memandang bahwa format konsolidasi dibentuk kedalam
platform dan mekanisme pelaporan risiko hak asasi manusia oleh perusahaan yang
bernama PRISMA. Segala rangkaian interaksi para aktor seperti Ditjen HAM, UI, dan
ELSAM, menjadi alur dari proses pembentukan PRISMA yang ketiganya berperan
sebagai aktor kunci. Sementara aktor-aktor lainnya turut membentuk jaringan-aktor
yang berinteraksi di dalam penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia,
PRISMA digagas sebagai sebuah representasi bisnis dan hak asasi manusia yang mampu
mengonsolidasikan ragam aktor tersebut.
Dinamika proses pelibatan kali ini lebih menggambarkan karakteristik PRISMA
menurut aktor-aktor kunci. Hal ini terlihat pada data yang dimunculkan oleh aktor-aktor
dari Direktorat Jenderal HAM, ELSAM, dan UI sebagaimana berikut.
a. Sebagai aktor kunci, Ditjen HAM memposisikan sebagai negara/pemerintah yang
memiliki kewajiban untuk mendidik membina perusahaan agar lebih
memperhatikan hak-hak manusia baik di dalam lingkungan perusahaan maupun di
luar lingkungan perusahaan dalam kerangka melindungi hak asasi manusia.
Terhadap PRISMA, Ditjen HAM menerjemahkan sebagai alat/tools uji tuntas.
Meski PRISMA menggunakan mekanisme pelaporan risiko hak asasi manusia oleh
perusahaan yang bersifat sukarela (voluntary), namun Ditjen HAM berkeinginan
dalam jangka panjang akan diintegrasikan pula didalam bagian mekanisme
pendaftaran usaha di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU),) Kementerian
Hukum dan HAM dan dianggap sebagai upaya yang cukup strategis menerapkan
PRISMA. Pengintegrasian kedalam mekanisme tadi tentunya akan berdampak pada
berubahnya mekanisme yang semula bersifat sukarela menjadi wajib (compulsory).
Dalam perkembangannya Ditjen HAM telah membangun cara bagaimana
PRISMA yang pada November 2020 dan Februari 2021 dilakukan soft launching
dan launching dapat langsung diterapkan, dengan menetapkan targetnya pada 2021
sejumlah 100 perusahaan yang mengakses PRISMA, yang difokuskan pada BUMN
dan BUMD, untuk melakukan pengisian aplikasi PRISMA. Untuk mencapai target
ini Ditjen HAM telah membuat surat penugasan (dalam bentuk Surat Keputusan)
“Gugus Tugas Nasional” (GTN) sebagai payung hukum dalam kerangka
pengarusutamaan bisnis dan hak asasi manusia. GTN diposisikan oleh Ditjen HAM
sebagai lembaga koordinatif pelaksanaan Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi
Manusia. GTN beranggotakan beberapa kementerian yang nantinya juga akan
melibatkan mitra-mitranya seperti: KADIN, APINDO, IGCN, ELSAM, INFID dan
FIHRRST. Namun demikian, Ditjen HAM juga menyadari bahwa masih perlu
dilakukan sosialisasi terhadap aplikasi PRISMA untuk dapat mencapai target.
b. Patricia Rinwigati, akademisi UI, selaku aktor kunci memandang bahwa pelaporan
perusahaan menyangkut penghormatan hak asasi manusia menjadi sangat penting
untuk diungkapkan. PRISMA dibentuk sebagai model penilaian risiko (risk
assessment), dan bukan sebagai penilaian kepatuhan (compliance assessment).
Sementara itu, pemahaman tentang risiko menurut narasumber adalah segala
sesuatu yang mungkin terjadi. Selain itu tujuan PRISMA dibentuk adalah

30
pembelajaran. Ketika perusahan sudah diberikan pemahaman tentang risiko hak
asasi manusia dan PRISMA, maka akan menjadi platform komunikasi antara
pemerintah (Ditjen HAM) dengan perusahaan. Akademisi UI menganggap
negara/pemerintah sudah waktunya untuk memulainya bilamana pemerintah
berkeinginan untuk melindungi hak asasi manusia dari aspek dampak operasional
bisnis perusahaan. PRISMA akan menjadi lebih strategis karena di Indonesia belum
memiliki due dilligence dari sisi mekanisme yang dibuat negara, sedangkan model-
model ISO 26000 dan self assesment lainnya merupakan standar internasional, dan
PRISMA menjadi complementary bukan sebagai competitor. Dengan adanya
PRISMA maka akan memudahkan perusahaan, artinya berbicara mengenai hak
asasi manusia tidak hanya ada pada model sertifikasi ISO 26000 saja, namun ada
PRISMA yang jauh lebih sederhana.
Perihal tentang peluang mekanisme pelaporan melalui PRISMA terintegrasi dengan
program pelaporan lain yang sudah tersedia milik pemerintah, UI mengutarakan
bahwa justru patut ditanyakan kepada pemerintah (Ditjen HAM), apakah PRISMA
akan terintegrasi dengan program pelaporan lainnya seperti yang ada pada
Kementerian Kelautan Perikanan (Sitem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada
Usaha Perikanan), Kementerian KLHK (PROPER), dan Kementerian Pertanian
(ISPO).
c. Kemudian ELSAM yang termasuk salah satu aktor kunci, turut berpendapat tentang
pembentukan PRISMA yaitu sebagai media edukasi serta penyediaan informasi
yang dikomunikasikan kepada perusahaan, untuk dipahami oleh perusahaan apakah
aktivitas perusahaan itu akan dan sedang memiliki risiko terhadap HAM atau tidak.
Selain itu, pandangan ELSAM lainnya adalah potensi terjadinya overthinking bagi
perusahaan terhadap PRISMA oleh karena akan menjadi salah satu instrumen yang
memberatkan perusahaan. Pandangan yang sedikit berbeda dari UI tentang
PRISMA adalah bahwa ELSAM menganggap platform PRISMA lebih
menekankan pada sisi produktivitas menggapai profit perusahaan semata (“nilai
tawar” di lingkungan bisnis), dibandingkan dengan peghormatan hak asasi manusia
itu sendiri, oleh karena proses penilaian risiko di dalam PRISMA tidak sampai pada
langkah mitigasinya atau langkah pemulihannya akan seperti apa.
Berkaca pada eksposisi ketiga aktor kunci di dalam langkah atas, terlihat sedikit
perbedaan persepsi antara Ditjen HAM dengan ELSAM dan UI. Ditjen HAM lebih
mendorong kearah mandatory, sementara ELSAM dan UI lebih tetap mengarah pada
basisi voluntary yang mendasarkan pada proses pemberdayaan perusahaan melalui
penguatan pemahaman tentang hak asasi manusia dan risiko hak asasi manusia dalam
relasi aktivitas bisnis. Dalam perspektif UNGPs, PRISMA dapat diletakkan sebagai
media/alat untuk memberikan pemahaman tentang tanggungjawab perusahaan dan
mendorong perusahaan untuk terbuka secara mandiri menilai (self-assessment)
potensi-potensi risiko serta dampak hak asasi manusia yang berkaitan dengan kegiatan
perusahaan dan secara sukarela (voluntary) memberikan informasinya kepada
pemerintah untuk selanjutnya dinilai dan diberdayakan melalui mekanisme dialog.
Sebagaimana halnya merujuk pada prinsip-prinsip dasar “tanggungjawab korporasi
31
menghormati hak asasi manusia”, pada Prinsip ke-11 UNGPs dinyatakan bahwa:
“Perusahaan bisnis harus menghormati hak asasi manusia. Hal ini berarti mereka harus
menghindari pelanggaran HAM pihak lain dan harus mengatasi akibat HAM yang
merugikan dimana mereka terlibat”. Lebih lanjut pada Prinsip ke-13 huruf b juga
dinyatakan bahwa tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia perusahaan
bisnis adalah: “berusaha untuk mencegah atau menangani dampak HAM yang
merugikan yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan, produk, atau jasa mereka
oleh hubungan bisnis mereka, meskipun mereka tidak terlibat pada dampak-dampak
tersebut”.
Kemudian, pada aspek aktivitas penilaian risiko dan dampak hak asasi manusia
oleh perusahaan melalui PRISMA sebagai medianya, setidaknya hal ini mencerminkan
langkah melakukan uji tuntas hak asasi manusia oleh perusahaan sebagaimana
ditegaskan pada Prinsip ke-18 UNGPs, bahwa: “Dalam rangka untuk mengukur risiko
hak asasi manusia, perusahaan bisnis harus mengidentifikasi dan menilai setiap
dampak potensial atau faktual HAM yang merugikan yang mana mereka mungkin
terlibat baik melalui aktivitas mereka sendiri ataupun sebagai suatu hasil dari
hubungan bisnis mereka”. Lebih lanjut proses mengukur risiko hak asasi manusia
menurut Prinsip ke-18 pada huruf a dan b setidaknya harus: melibatkan pakar HAM
internal dan/atau eksternal yang independen; dan melibatkan konsultasi yang
bermakna dengan kelompok-kelompok yang potensial terkena dampak dan pemangku
kepentingan yang terkait lainnya, sesuai dengan ukuran perusahaan bisnis dan sifat
serta konteks operasinya. Menyangkut pada aspek tanggungjawab perusahaan untuk
melakukan pemulihan, Prinsip ke-22 UNGPs menyebutkan bahwa: “Ketika
perusahaan bisnis mengidentifikasi bahwa mereka telah menyebabkan atau
berkontribusi pada dampak merugikan, mereka harus memberikan atau bekerjasama
dalam pemulihan melalui proses yang sah”.
Sebagai bentuk representasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia, PRISMA
dengan demikian merupakan produk dari proses pelibatan pemerintah terhadap dunia
usaha dari berbagai macam sektor untuk melakukan penilaian atas risiko hak asasi
manusia secara mandiri. Sebagai sebuah representasi, PRISMA dengan demikian
menjadi bentuk praktis dari lima diskursus utama dalam bisnis dan hak asasi manusia.
a. Dalam hal risiko dan dampak, PRISMA mengidentifikasi potensi-potensi hak
asasi manusia yang terdampak melalui kategori penilaian “dampak HAM bagi
perusahaan” baik di lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Materi di
dalam kategori ini menekankan operasional bisnis yang memiliki dampak atau
risiko negatif dan bagaimana mekanisme penilainnya oleh perusahaan.
Sudut pandang kelompok dalam jaringan aktor masyarakat sipil (NGO)
menganggap pada kategori tadi belum dapat memetakan masalah-masalah penting
(salient issues) yang ada pada masing-masing sektor usaha (bisnis), sebagaimana
halnya di dalam aplikasi PRISMA terdapat tiga sektor bisnis yang disasar yaitu:
perkebuan, pertambangan, dan pariwisata. Kemudian mengenai dampak aktual
belum dapat diungkap di aplikasi PRISMA sebab dampak aktual berkorelasi

32
dengan upaya penaggulangan/pemulihan. Sementera itu, kelompok jaringan
pemerintah mendorong pemahaman risiko hak asasi manusia kepada perusahaan
harus memiliki nilai manfaat bagi perusahaan baik di internal dan eksternal
perusahaan, yang berkaitan erat dengan market dan financial perusahaan.
Sedangkan kelompok jaringan masyarakat sipil (organisasi perburuhan)
menganggap bahwa memahami risiko hak asasi manusia adalah merujuk pada
instrumen global maupun nasional tentang hak asasi manusia, dalam asumsi
ketika tidak comply dengan keduanya maka akan berpotensi memberikan dampak
kepada hak asasi manusia. Sementara risiko-risiko dalam isu ketenagakerjaan
tersebar di beberapa jenis usaha diantaranya: sektor garmen tekstil, sektor
pertambangan, sektor transportasi, sektor kimia kesehatan dan sektor makanan
minuman pariwisata restoran hotel dan tembakau.
b. Dalam hal informasi dan pengungkapannya, PRISMA membagi menjadi dua
belas kategori penyampaian informasi oleh perusahaan dalam bentuk pertanyaan
sebagai penilaian risiko hak asasi manusia secara mandiri (self-assessment). Dari
kedua belas kategori tadi lebih didominasi pada pertanyaan-pertanyaan seputar isu
perburuhan, diantaranya pada kategori: profil perusahaan, tenaga kerja, kondisi
kerja, serikat pekerja, diskriminasi, dan privasi. Informasi yang dilaporkan
perusahaan menurut kelompok jaringan masyarakat sipil berbasis organisasi
perburuhan, yang masih harus diperhatikan adalah laporan ketenagakerjaan yang
bersifat kasuistis yang di terima dan diupayakan penyelesaiannya oleh serikat atau
asosiasi. Laporan ini menjadi penting mengingat dampak aktual hak asasi manusia
harus ditindaklanjuti langsung dengan upaya pemulihannya. Menurut catatan
mereka selama ini penyelesaian sengketa perburuhan selalu diselesaikan melalui
mediasi (pihak ketiga) yang membutuhkan waktu cukup lama, dan tidak
diupayakan dengan mekanisme bipartite yang lebih mengedepankan dialog.
Selain itu, bila hanya mengacu pada dokumen Wajib Lapor Ketenagakerjaan
Perusahaan (WLKP) hal ini tidak signifikan dengan penyelesaian permasalahan
ketenagakerjaan yang sifatnya kasuistik. WLKP hanyalah sebagai bahan
informasi resmi bagi pemerintah (pusat dan daerah) dalam menetapkan
kebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan, yang dimanfaatkan sebagai bahan
penyusunan rencana kerja unit dan rencana kerja pengawas ketenagakerjaan.
Keberadaan perusahaan outsourcing-pun juga berkorelasi terhadap risiko dan
dampak hak-hak tenaga kerja, sehingga perlu dilibatkan dalam informasi
pelaporan perusahaan. Secara umum, informasi didalam pelaporan
ketenagakerjaan menyangkut hak-hak pekerja adalah kesesuaian dengan undang-
undang. Isu perlindungan anak dan perempuan juga patut menjadi sorotan dalam
memotret isu-isu di dalam bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia, terutama di
sektor usaha perkebunan sawit, dan tidak menutup kemungkinan juga terhadap
sektor lainnya.
Selanjutnya dalam hal pengungkapan, menurut kelompok jaringan masyarakat
sipil NGO adalah mendorong mekanisme voluntary dan mandatory, dengan syarat
jika hanya menggunakan voluntary maka harus dinilai efektif atau tidaknya.

33
Selain itu yang terpenting dalam mekanisme pengungkapan ini adalah tantangan
untuk menyamakan persepsi tentang penghormatan hak asasi manusia, tentunya
dalam kerangka bisnis dan hak asasi manusia adalah pemahaman diantara para
pemegang tanggungjawab hak asasi manusia yang ada di dalam UNGPs.
Sudut pandang kelompok jaringan pemerintah tentang mekanisme penilaian dan
pelaporan/pengungkapan informasi adalah suatu strategi. Strategi yang paling
relevan adalah mendorong efisiensi baik bagi perusahaan dalam operasionalisasi
bisnisnya dengan efisiensi kerja-kerja di dalam penilaian risiko dan dampak hak
asasi manusia yang mencerminkan tanggungjawab, uji tuntas dan pemulihan.
Menyambung hal tadi, gagasan untuk melakukan peringkatan terhadap hasil
penilaian yang minim risiko dan dampak hak asasi manusia dirasakan dapat meng-
encourage pihak yang berkepentingan untuk mengambil nilai manfaat baik secara
internal maupun ekternal. Untuk menunjang hal tadi, maka baik instrumen,
hukum, regulasi, dan kebijakan yang berkorelasi dengan kerangka kerja bisnis dan
hak asasi manusia harus menjadi basis pengetahuan sehingga simplifikasi
terhadapnya menjadi penting untuk dilakukan.
c. Dalam hal pemulihan, sudut pandang kelompok jaringan masyarakat sipil NGO
dan organisasi perburuhan menfokuskan pada dua hal: pertama, pemahaman
tentang risiko dan dampak (terutama dampak aktual) hak asasi manusia oleh
perusahaan harus menjadi kesatuan untuk dapat ditindaklanjuti pemulihannya
serta menyiapkan dan menetapkan mekanisme pemulihan didalam kebijakan
perusahaan; dan kedua, pemulihan harus dilakukan “segera” secara efektif dan
efisien mengingat dampak lanjutan dari pelanggaran hak asasi manusia akan
berpengaruh terhadap hak-hak lainnya.
4. Mobilisasi: Representasi Rendah Problematisasi
Langkah mobilisasi sebagai langkah akhir penerjemahan bisnis dan hak asasi
manusia, menunjukkan keterkaitan dan keterikatan antar jaringan-aktor terhadap
pembentukan instrument bisnis dan hak asasi manusia untuk memahami praktik
penerapan UNGPs, yang sekaligus menunjukkan kestabilan jaringan-aktor,
sebagaimana para aktor didalam jaringan bertindak dalam batasan-batasannya untuk
mengarah pada tujuan yang sama: “bisnis menghormati hak asasi manusia”. Pada
langkah mobilisasi ini mencoba mengidentifikasi PRISMA sebagai representasi
kerangka kerja bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia seperti: menggambarkan
tanggung jawab negara dalam melindungi dan tanggung jawab perusahaan dalam
menghormati hak asasi manusia; mekanisme uji tuntas hak asasi manusia; serta upaya
dan akses yang disediakan dalam pemulihan dampak hak asasi manusia, seperti yang
termuat di dalam UNGPs sebagai panduan menjalankan bisnis dan hak asasi manusia.
Sementara itu, mekanisme penilaian risiko dan dampak hak asasi manusia yang bersifat
mandiri (self-assessment) dan model pengungkapan risiko dan dampak hak asasi
manusia secara sukarela (voluntary) merupakan pilihan cara untuk mempermudah
memahami kerangka kerja bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang
direpresentasikan melalui PRISMA.

34
Respon para aktor dari kelanjutan langkah pelibatan di atas membentuk inskripsi-
inskripsi dan saling terkait di antara para aktor yang disematkan pada PRISMA sebagai
representasi dari bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia. Pada langkah pelibatan
ini, penerjemahan yang telah dihasilkan pada langkah penarikan sebelumnya telah
membentuk pendelegasian terhadap PRISMA sebagai aktan di dalam teori jaringan
aktor. Pendelegasian terhadap PRISMA berupa inskripsi yang ditorehkan oleh
kelompok-kelompok dalam jaringan tentang risiko, dampak, informasi,
pengungkapan, dan pemulihan dalam relasi penerjemahan bisnis dan hak asasi
manusia di Indonesia:
a. menekankan human rights risk sebagai potential human rights impact, berupa
dampak hak asasi manusia yang aktual dan potensial;
b. risiko adalah risiko dari perspektif korban -manusia dan bukan risiko perusahaan;
c. memahami risiko hak asasi manusia dalam aktivitas bisnis adalah untuk
kemanfaatan internal dan eksternal perusahaan;
d. rujukan terhadap risiko hak asasi manusia adalah instrumen hak asasi manusia
global dan nasional;
e. pada aspek pemulihan/remedy, risiko harus dipandang sebagai dampak sehingga
pelaporan risiko hak asasi manusia juga termasuk kebijakan dan mekanisme
pemulihan didalamnya;
f. untuk dapat memotret salient issues maka perlu dilakukan kategorisasi pada tiap-
tiap sektor bisnis, dan perlu melibatkan kelompok rentan yang terdampak dalam
merumuskan risiko-risiko yang berpotensi menimbulkan dampak;
g. menyasar pada siklus rantai pasok terutama pada perusahaan outsourcing sebagai
penyedia tenaga kerja pada perusahaan besar, sebab potensi kerentanan kerap
terjadi pada sektor perkebunan yang pekerjanya ditempatkan terpisah dari lokasi
perusahaan;
h. pentingnya memotret laporan-laporan bersifat kasuistik seperti yang terdapat pada
kelompok serikat atau asosiasi perburuhan, selain dokumen wajib lapor
ketenagakerjaan perusahaan;
i. mempertimbangkan penggunaan dua mekanisme pelaporan, yaitu melalui
voluntary dan mandatory pada mekanisme pelaporannya; dan
j. simplifikasi instrumen hak asasi manusia (global dan nasional), hukum, regulasi
dan kebijakan dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia yang memudahkan proses
memahami dan mengelola risiko dan dampak hak asasi manusia.
Sepuluh poin yang menjadi respons dari para aktor di tahapan mobilisasi ini
mengisyaratkan bahwa upaya memosisikan PRISMA sebagai representasi bisnis dan
hak asasi manusia belum memiliki dasar problematisasi yang ajeg. Kondisi ini
memiliki dampak atas dua hal di dalam proses mobilisasi. Di satu sisi, proses
berjalannya mekanisme penilaian mandiri perusahaan secara sukarela tidak akan
optimal karena rendahnya pemahaman atas diskursus yang ada. Di sisi lain,
35
mekanisme ini dituntut untuk bisa bersifat terbuka atas proses penerjemahan, dalam
pengertian bahwa PRISMA harus terus menyajikan saluran untuk proses
problematisasi dengan melibatkan aktor-aktor baru ke dalam jaringan.
Tabel 2. 2 Penerjemahan Bisnis dan Hak Asasi Manusia

Problematisasi Penarikan Pelibatan Mobilisasi


1 Risiko • mengungkap • upaya PRISMA sebagai • dapat mengenali,
salient issues kontekstualisasi sarana edukasi memberi pemahaman
• risiko sektoral dan iklim untuk dan membantu
didefinisikan bisnis di Indonesia mengidentifikasi mengelola risiko hak
untuk memberi dan internasional risiko pelanggaran asasi manusia dengan
nilai manfaat (di hak asasi. merujuk pada
internal instrumen hukum,
perusahaan) regulasi dan kebijakan
yang memiliki relasi
dengan bisnis dan hak
asasi manusia
• ruang dialog
mengungkap salient
issues untuk
mengurangi risiko dan
dampak hak asasi
manusia
2 Dampak Mengungkapkan • Dampak dipilah PRISMA dapat mengenali, memberi
dampak aktual untuk dari sisi internal memberikan pemahaman, dan
pemulihan di kasus- dan eksternal, ukuran atas menguraikan risiko dan
kasus besar serta yang bersifat dampak aktual. dampak aktual untuk
aktual dan dilaporkan berbasis
potensial bukti
• Compliance
dengan instrumen
global dan
nasional tentang
hak asasi manusia
3 Informasi • kesesuaian dengan • melibatkan laporan PRISMA berisikan • memperkaya
ketentuan di dalam kasuistik dari serikat informasi yang substansi informasi
undang-undang buruh disampaikan risiko dan dampak
secara mandiri yang disampaikan
• kategori informasi oleh perusahaan. • melibatkan laporan
per sektor bisnis
yang bersifat
• memperhatikan kasuistik seperti
keterlibatan laporan yang
perusahaan diterima serikat atau
outsourcing asosiasi buruh
• materi informasi
risiko dan dampak
sesuai dengan
undang-undang
• informasi risiko dan
dampak yang
dilaporkan per
kategorisasi sektor
bisnis
• melaporkan tentang
peurushaan

36
outsourcing yang
dilibatkan
4 Pengung- Mendesain alternatif • Koordinasi, PRISMA sebagai • integrasi data
kapan/ maupun kolaborasi, mekanisme pelaporan dan
pelaporan penggabungan simplifikasi hingga sukarela pelaporan integrasi program
mekanisme integrasi pelaporan perusahaan terkait penilaian yang telah
mandatory dan kepada pemerintah situasi hak asasi dilakukan oleh
voluntary • Integrasi aspek yang manusianya. kelompok dalam
beririsan dengan jaringan pemerintah
pelaporan dan yang tertuju pad
sertifikasi sektoral penilaian risiko dan
dampak hak asasi
manusia.
• benefit
• reward sebagai klaim
reputasi
5 Pemuli- • fokus pada dampak • Mekanisme PRISMA sebagai memberi pemahaman
han aktual. pemulihan wajib sarana dialog tentang mekanisme dan
• Fokus mekanisme disediakan untuk alternatif upaya penanganan/
pemulihan negara perusahaan; pemulihan pemulihan dampak
• Mempertanyakan pelanggaran hak aktual dan potensial
efektivitas asasi. secara efektif dan
penyelesaian efisien.
pelanggaran hak
tenaga kerja dan
lembaga negara.
Sumber: Hasil pengolahan data tim penelitian, 2021

D. Intermediari
Intermediari dalam jaringan-aktor pembentukan PRISMA sebagai instrumen uji tuntas
adalah kelompok dalam jaringan masyarakat sipil NGO. Kelompok jaringan ini yang akan
memelihara relasi antar aktor lainnya dalam menjaga kestabilan jaringan-aktor
pembentukan PRISMA.

37
BAB III
MENJALANKAN PRISMA:
KEPENATAAN BISNIS DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Sebagaimana telah disampaikan pada bab pendahuluan sebelumnya, mengenai aktvitas


platform PRISMA sebagai inisiasi pemerintah dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia adalah mendorong perusahaan untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia dan
sekaligus mendorong pembentukan subjektifikasi perusahaan sebagai individu yang
bertanggungjawab menghormati hak asasi manusia secara mandiri dan sukarela dalam aktivitas
pengungkapan/ pelaporan risiko hak asasi manusia. Di samping itu, pengungkapan/ pelaporan
informasi hak asasi manusia oleh perusahaan melalui paltform PRISMA dalam perspektif
kewajiban negara/ pemerintah, adalah memberikan dukungan kepada perusahaan agar secara
mandiri mampu memahami konteks “hak asasi manusia” dalam aktivitas bisnis, mengelola
risiko hak asasi manusia, serta mampu menangani dampak aktual dan memitigasi dampak
potensialnya hingga mencapai satu tujuan pokok yaitu perusahaan mampu bertanggungjawab
menghormati hak asasi manusia. Sebagaimana merujuk pada Prinsip ke-6 dan Prinsi ke-8 di
dalam Prinsip Dasar UNGPs, negara berkewajiban memajukan penghormatan hak asasi
manusia oleh perusahaan melalui cara pemberian informasi yang relevan serta dukungan untuk
mencapai tujuan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di dalam hubungan negara
dan bisnis.
Selain menyangkut kapasitas kewajiban negara dan tanggungjawab perusahaan dalam
relasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia, terbentuknya platform PRISMA dari sisi
perusahaan setidaknya bisa beperan sebagai media transformasi perusahaan menjadi individu
yang diterima di lingkungan sosial maupun lingkungan bisnis sebagai “individu baru” (subjek
hukum) yang taat pada norma hak asasi manusia. Sisi lainnya bagi negara/ pemerintah,
pembentukan platform PRISMA menjadi media/sarana dalam praktik kepenataan sebagai
menata kelola dari kejauhan (governing at a distance)(Vallentin & Murillo, 2012). Di samping
itu, menempatkan PRISMA sebagai representasi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia,
dalam jangka panjang dapat menjadi media/ sarana pemajuan hak asasi manusia yang mampu
mereduksi banalitas atas konteks “hak asasi manusia” yang selalu dikaitkan dengan
“pelanggaran hak asasi manusia” dikalangan pelaku bisnis, dan tidak menjadi cabar terhadap
posisi negara/ pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur, mengarahkan dan mengawasi
bisnis untuk menghormati hak asasi manusia.
A. Kepenataan, Subjektivikasi, dan Risiko Hak Asasi Manusia
Jan Aart Scholte (2005:3) dalam perspektif globalnya menyampaikan bahwa tata kelola
dunia di abad kedua puluh satu menjadi sangat berlapis dan lintas sektoral, sebagai halnya
pengaturan terjadi di dan melalui interkoneksi antara kabupaten/kota, provinsi, nasional,
regional, dan global. Tata Kelola saat ini telah melibatkan rezim supranegara, baik regional
maupun global yang beroperasi dengan beberapa otonomi dari negara. Pemerintahan pada
sub-level kabupaten/kota dan provinsi telah terlibat langsung dengan bidang-bidang di luar
negara mereka (Scholte, 2005).

38
Lebih lanjut Scholte (2005:4) mengungkapkan, penyebaran tata kelola ini tidak hanya
terjadi pada skala hubungan sosial (dari lokal ke global), namun terjadi juga pada beragam
mekanisme pengaturan di ruang privat yang bersamaan dengan pengaturan di ruang publik.
Beragam aturan di level global diantaranya bagi: perusahaan, keuangan, komunikasi,
ekologi, dan masalah-masalah global lainnya, sesungguhnya telah dirancang dan dikelola
melalui pengaturan non-pemerintah. Meskipun tata kelola yang bersifat privat ini
membutuhkan dukungan maupun pengertian dari pemerintah guna mempertahankan
otonomi yang substantial dari sebuah negara (Scholte, 2005).
Menyambung pandangan Scholte (2005), Sol Piccioto (2011:5) berpendapat pada
konteks ini istilah tata kelola secara umum dipergunakan dalam kerangka menggambarkan
perubahan pada proses penatakelolaan dari hierarki kepada polarisasi, atau bahkan
desentralisasi. Penatakelolaan pada dasarnya telah melibatkan transformasi, baik pada level
politik atau publik dari pemerintah serta ranah privat di kehidupan ekonomi-sosial dan
dalam hubungan antar keduanya (PICCIOTTO, 2011).
Merujuk ulasan pada bagian awal kajian ini, dapat dipahami bahwa kepenataan
berupaya mengungkap kumpulan (assemblages) dari otoritas, pengetahuan, serta teknik
untuk membentuk perilaku individu dan populasi yang dimaksudkan untuk kesejahteraan
individu dan kolektif (Inda, 2005). Neologisme kepenataan ini didesain sedemikian rupa
untuk menangkap fenomena penataan oleh rasionalitas tertentu, serta memahami praktik
penataan tersebut sebagai hal yang meliputi suatu rasionalitas (Brown, 2008). Lebih jauh,
Foucault mengelaborasi empat karakteristik utama dari kepenataan (Brown, 2008):
Pertama, kepenataan berupaya untuk memanfaatkan dan mengatur energi, kebutuhan,
kapasitas, dan kemauan yang bersifat destruktif dan tidak produktif. Kedua, jangkauan
operasional dan penerapan kepenataan sangatlah luas, meliputi individu dan populasi
massa, psikis dan fisik anggota tubuh, hingga praktik kerja dan bermasyarakat. Ketiga,
kepenataan bekerja melalui kuasa (power) yang tak selamanya dapat dilihat dan dinilai; ia
melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh peraturan, hukum, maupun bentuk kuasa
lainnya. Keempat, kepenataan menggunakan dan menginfiltrasi diskursus yang selama ini
dipandang tidak berkaitan dengan kuasa politik, pemerintahan ataupun negara, seperti
diskursus ilmiah, agama, maupun diskursus populer lainnya.
Pada titik ini, karakteristik kepenataan berimplikasi terhadap cara pandang atas posisi
subjek dalam relasi kuasa. Karakteristik pertama menempatkan subjek sebagai agen
dengan kebebasan (freedom), subjek tidak lagi dipandang semata-mata sebagai subjek
kekuasaan (subject to power) pihak lain, namun juga subjek atas kesadaran diri atau
pengetahuan diri (May, 2014, p. 496). Sedangkan melalui karakteristik kedua, kepenataan
mengakui adanya pastoral power (Martin & Waring, 2018), kuasa yang dapat
“menyeragamkan” (massifying) perilaku sekelompok individu, dan pada saat yang sama,
menjadikan individu tersebut subjek berbeda antara satu dengan lainnya (individualizing)
(Turkel, 1990). Dengan kata lain, kepenataan menangkap cara kerja kuasa modern yang
berfokus pada penciptaan subjek melalui konsep subjektifikasi.
Sebagai kerangka analitik, kepenataan turut mengulas proses subjektifikasi sebagai
subjek dari praktik kepenataan – baik manusia, aktor, agen, atau identitas yang hadir

39
sebagai sebab dan akibat dari aktivitas kepenataan. Pada tingkatan pertama, studi
kepenataan mengungkap bagaimana praktik kepenataan memupuk jenis identitas tertentu,
baik individu maupun kolektif, termasuk bentuk-bentuk agensi dan subjektivitas (Inda,
2005). Hal tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bagaimana penataan berkaitan erat
dengan subjek modern; dengan menyematkan identitas tertentu, penataan mampu
membentuk perilaku manusia yang mampu membawa kebaikan individu dan kolektif. Pada
tingkatan lainnya, fokus terhadap subjek kepenataan juga menguji bagaimana agen-agen
tertentu memupuk diri dan identitas mereka (Inda, 2005). Dalam hal ini, meskipun praktik
kepenataan bermaksud untuk membentuk jenis subjek tertentu, hal tersebut tidak serta
merta diikuti oleh keberhasilan. Individu dapat, dan akan menegosiasikan proses
subjektifikasi tersebut – mereka mampu untuk menerima, beradaptasi, atau bahkan
menolak proses yang ada.
Dalam konteks kajian ini, tim berupaya untuk mengungkap proses subjektivikasi
perusahaan sebagai bagian dari program kepenataan (programmes of government) yang
tercermin melalui ragam pelaporan hak asasi manusia. Lebih spesifik, technologies of
power berupa sistem pelaporan aktivitas bisnis berinteraksi dengan technologies of the self
dari para agen yang terlibat, menciptakan moda pembentukan diri (self-formation) dan
membentuk subjek baru yang dianggap ‘rasional’ dalam diskursus bisnis dan hak asasi
manusia. Studi Rambaree (Rambaree, 2021) dan Siltaoja et al (Siltaoja et al., 2015) yang
mengulas tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)
dapat memberikan gambaran mengenai interaksi antara kedua teknologi penataan ini. Dari
kedua studi tersebut, dapat dipahami bahwa perusahaan menciptakan diskursus yang
memberikan definisi dan batasan tersendiri mengenai kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan. Melalui analisis diskursus terhadap laporan CSR, dapat dipahami bahwa
perusahaan memproduksi pengetahuan dan “kebenaran” (truth) mengenai partisipasi
perusahaan dalam isu-isu sosial. Sehingga, kegiatan pelaporan mandiri perusahaan
dimaksudkan untuk menentukan batas bagi keterlibatan pada isu-isu sosial tertentu
(Rambaree, 2021). Pada saat yang sama, kegiatan CSR dikonstruksikan dalam dua sisi; di
satu sisi, CSR merupakan cerminan dari self-regulation dan keberterimaan (voluntariness)
dari perusahaan, namun di sisi lain, CSR juga merupakan bentuk penyematan tanggung
jawab (responsibilization) bagi para pemangku kebijakan – termasuk pegawai – untuk
bertanggung jawab sesuai dengan kebijakan CSR tersebut (Siltaoja et al., 2015).
Salah satu fokus penerapan pendekatan analitik kepenataan ialah teknologi atas risiko
(techologies of risk). Dalam konteks ini, risiko dipandang “bukan sebagai sebuah hal yang
nyata secara intrinsik, namun lebih sebagai cara tertentu dalam melihat atau
membayangkan dan mengatasi permasalahan” (Rose et al., 2006). Para penulis di dalam
pendekatan ini menganggap risiko sebagai “sebuah teknik probabilitas, yang mana
sejumlah kejadian/peristiwa disusun ke dalam sebuah distribusi, dan distribusi tersebut
pada gilirannya digunakan sebagai alat dalam membuat prediksi untuk mengurangi
dampak” (Rose et al., 2006).
Dalam tinjauannya terhadap perkembangan masyarakat neo-liberal, Castel (Castel,
1991) mengungkapkan sebuah pengelolaan strategi risiko yang cenderung bersifat non-
represif dan tanpa melalui intervensi kesejahteraan. Menurutnya, “[I]nstead of segregating
40
and eliminating undesirable elements from the social body, or reintegrating them more or
less forcibly through corrective or therapeutic interventions, the emerging tendency is to
assign different social destinies to individuals in line with their varying capacity to live up
to the requirements of competitiveness and profitability” (Castel, 1991). Castel
menyebutnya ketertiban pasca disiplin, yakni ketika intervensi negara tidak hanya
bertumpu pada semangat korektif dan represif, namun juga diarahkan untuk pencegahan
risiko (Castel, 1991).
Dalam konteks diskursus bisnis dan hak asasi manusia, terdapat godaan untuk
mereduksi risiko hak asasi manusia ke dalam uji tuntas. Namun demikian, sebagaimana
tercermin di dalam UNGPs, logika kepenataan risiko hak asasi manusia sesungguhnya
mengungkapkan keterkaitan antara tanggung jawab, uji tuntas, dan pemulihan (Ruggie &
Sherman, 2017).
• Where a business enterprise causes or may cause an adverse human rights impact, it should take the
necessary steps to cease or prevent the impact.
• Where a business enterprise contributes or may contribute to an adverse human rights impact, it
should take the necessary steps to cease or prevent its contribution and use its leverage to mitigate
any remaining impact to the greatest extent possible.
• Where a business enterprise has not contributed to an adverse human rights impact, but that impact
is nevertheless directly linked to its operations, products or services by its business relationship with
another entity, the situation is more complex. Among the factors that will enter into the determination
of the appropriate action in such situations are the enterprise’s leverage over the entity concerned,
how crucial the relationship is to the enterprise, the severity of the abuse, and whether terminating
the relationship with the entity itself would have adverse human rights consequences (Guiding
Principle 19, Commentary).

Sebagaimana telah dijabarkan di dalam Bab II sebelumnya, penerjemahan bisnis dan


hak asasi manusia di Indonesia melibatkan pelbagai diskursus, mulai dari tanggung jawab
perusahaan, pelanggaran hak asasi manusia, reparasi, teknis pengungkapan/pelaporan
informasi, isu ketenagakerjaan, lingkungan, hingga konteks ekonomi-politik yang lebih
luas. Sebagai bagian dari proses penerjemahan, PRISMA dibentuk sebagai sebuah
instrumentasi bisnis dan hak asasi manusia yang dapat mencegah terjadinya risiko atau
dampak negatif hak asasi manusia (dampak potensial) serta mendorong dilakukannya
pemulihan atas dampak aktual akibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Pada titik
ini, PRISMA dapat diposisikan sebagai alat/instrumen bagi pemerintah dan bisnis dalam
mengelola risiko dari operasi perusahaan terhadap hak asasi manusia.
B. Variabel, Indikator, Skoring dalam PRISMA
Sebagai mekanisme penilaian risiko (risk-assessment) hak asasi manusia yang
terdampak, PRISMA memiliki beberapa tujuan yaitu: mengedukasi nilai-nilai hak asasi
manusia, sebagai panduan dan alat uji kelayakan, serta media monitoring dan dialog.
Secara metode, PRISMA mencerminkan beberapa karakteristik: (1) penilaian diri (self-
assessment) yang difasilitasi oleh negara; (2) bersifat sukarela dan independen yang
berlaku bagi semua perusahaan/korporasi (tanpa kecuali); (3) menggunakan sistem
penilaian skoring disertai dengan bantuan teknis (bila diperlukan); dan (4) merujuk pada
kerangka UNGPs, instrumen hak asasi manusia, dan peraturan perundang-undangan
nasional yang berlaku.

41
PRISMA pada sebagian isinya menyangkut prinsip-prinsip dasar dan prinsip-prinsip
operasional. Prinsip dasar menyatakan bahwa: Perusahaan harus menghormati hak asasi
manusia, dalam pengertian mereka harus menghindari pelanggaran HAM pihak lain dan
harus mengatasi akibat HAM yang merugikan dimana mereka terlibat (Prinsip 11 UNGPs).
Sedangkan prinsip operasional menyangkut dua hal yaitu: pertama, komitmen perusahaan
melalui kebijakan (Prinsip 16 UNGPs) bahwa sebagai dasar untuk menanamkan tanggung
jawab mereka untuk menghormati hak asasi manusia, perusahaan harus menyampaikan
komitmen mereka untuk memenuhi tanggungjawab ini melalui sebuah pernyataan
kebijakan yang:
1) Disetujui pada tingkat yang paling tinggi dari perusahaan;
2) Diinfomasikan oleh pakar internal dan/atau eksternal yang relevan;
3) Menyatakan ekspektasi HAM dari perusahaan atas personil, rekan bisnis, dan pihak
lainnya yang secara langsung terkait dengan kegiatan, produk, atau layanan yang
diberikan perusahaan;
4) Tersedia bagi publik dan dikomunikasikan secara internal dan eksternal kepada semua
personil, rekan bisnis, dan pihak terkait lainnya; dan
5) Terdapat dalam kebijakan dan prosedur operasional yang perlu untuk ditanamkan ke
seluruh perusahaan.
Kedua, komitmen pemulihan dari dampak hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh
aktivitas perusahaan (Prinsip 22 UNGPs). Ketika perusahaan mengidentifikasi bahwa
mereka telah menyatakan berkontribusi pada dampak merugikan dan mereka harus
memberikan atau bekerjasama dalam pemulihan melalui proses yang sah.
Selain dari beberapa prinsip-prinsip yang ada pada UNGPs di atas, PRISMA juga
memuat materi-materi lainnya yang dianggap penting diantaranya mengenai: isu rantai
pasok, isu-isu hak asasi manusia seputar bidang ketenagakerjaan (merujuk pada UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur, UU Nomor 8
Tahun 2016 seputar Pekerja Disabilitas), dan isu-isu lingkungan eksternal perusahaan
(seputar pengelolaan limbah) termasuk pertanggungjawaban CSR.
PRISMA merupakan suatu program aplikatif mandiri yang diperuntukan untuk
membantu perusahaan untuk menganalisis risiko pelanggaran HAM yang disebabkan oleh
kegiatan bisnis. PRISMA diinisiasi, dirancang, dan dibangun oleh Direktorat Jenderal
HAM, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama-sama dengan masyarakat
madani, serta dikonsultasikan bersama perusahaan. Platform berbasis web ini mempunyai
tujuan untuk memfasilitasi semua perusahaan di semua sektor bisnis baik besar maupun
kecil untuk menilai dirinya sendirinya (self-assesment) dengan cara: memetakan kondisi
riil atas dampak potensial atau risiko, menetapkan rencana tindak lanjut dari hasil penilaian,
melacak pengimplementasian tindakan lanjutan tersebut, serta mengomunikasikan
rangkaian ini pada publik.
Sistem penilaian mandiri ini menjadi bagian dari realisasi Prinsip-Prinsip Panduan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia sebagaimana
termaktub dalam Resolusi Dewan HAM PBB No.17/4 Tahun 2011. UNGPs memiliki 3
42
(tiga) pilar utama. Pertama, kewajiban negara untuk melindungi (to protect) warga negara.
Kedua, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM dengan menjalankan
operasional bisnis yang berkelanjutan (to respect). Ketiga, penyediaan akses pemulihan (to
remedy) yang inklusif. Upaya penyusunan PRISMA diambil sebagai pelengkap atau
pengisian kekosongan atas keperluan alat ukur Bisnis dan HAM yang aplikatif di Indonesia
dalam melakukan upaya uji tuntas (due diligence). PRISMA menyediakan seperangkat
indikator bagi perusahaan, baik sektor swasta atau BUMN, untuk menilai dampak aktivitas
operasional bisnisnya terhadap hak asasi manusia secara mandiri, artinya perusahaan dapat
mengisi secara independen berdasarkan informasi faktual internal perusahaan. Kemudian
tanpa diskriminasi, setiap perusahaan dapat menggunakan aplikasi PRISMA. PRISMA
bersifat edukatif, di mana PRISMA menjadi tempat penyebaran edukatif bagi semua sektor
bisnis untuk mendalami isu-isu terkait bisnis dan HAM. Dalam penyusunannya, PRISMA
didasarkan pada prinsip-prinsip yang berlaku dalam UNGPs, instrumen hak-hak asasi
manusia lainnya dan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku. Adapun
PRISMA ini bersifat sukarela, artinya perusahaan dapat memilih untuk melaksanakannya
atau tidak, namun demikian setiap perusahaan dan rantai pasoknya sangat disarankan untuk
menggunakannya. Kemudian PRISMA bersifat reguler, artinya penilaian dilakukan setiap
tahun sehingga terdapat kesinambungan dan peningkatan HAM dapat terpantau secara
simultan.
Terdapat beberapa pertanyaan yang terdiri dari dua belas kategori dalam aplikasi
PRISMA, diantaranya profil account, dampak hak asasi manusia bagi perusahaan,
kebijakan hak asasi manusia, mekanisme pengaduan, rantai pasok, tenaga kerja, kondisi
kerja, serikat pekerja, diskriminasi, privasi, lingkungan, dan tannggug jawab sosial dan
lingkungan perusahaan (CSR). Kemudian hasil penilaiannya terbagi dalam tiga kategori
yakni belum cukup, cukup sesuai dan sesuai. Jika mendapatkan poin 0-42 maka pengguna
masuk dalam kategori belum cukup yang ditandai oleh warna merah, untuk hasil poin 43-
84 masuk dalam kategori cukup sesuai ditandai dengan warna kuning, dan jika hasil
poinnya 85-126 maka masuk dalam kategori sesuai yang ditandai dengan warna hijau.
Adapun terkait rekomendasi yang diberikan PRISMA dalam hasil penilaiannya yaitu untuk
Kategori Merah (0 – 42) yaitu perusahaan masih memerlukan perbaikan secara
menyeluruh, perlu melakukan konsultasi dengan Tim Ditjen HAM, penilaian ulang melalui
PRISMA harus dilakukan lagi paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal terakhir
melakukan penilaian PRISMA. Kemudian Kategori Kuning (43 – 84) yaitu perusahaan
masih memerlukan perbaikan, dapat melakukan konsultasi dengan Tim Ditjen HAM,
penilaian ulang melalui PRISMA harus dilakukan lagi paling lambat 2 (dua) tahun sejak
tanggal terakhir melakukan penilaian PRISMA. Yang terakhir Kategori Hijau (85 – 126)
yaitu perusahaan sudah melakukan penghormatan HAMdan dapat melakukan konsultasi
dengan Tim dari Dirjen HAM, penilaian ulang melalui PRISMA harus dilakukan lagi
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal terakhir melakukan penilaian PRISMA. Berkaca
pada model pengkategorisasian hasil penilaian risiko hak asasi manusia tadi, PRISMA
berupaya memberikan gambaran keadaan atau situasi sejauh mana perusahaan memahami
tentang potensi risiko dan dampak potensial hak asasi manusia yang mungkin terjadi,
dengan harapan dapat meminimalisasi dampak melalui kebijakan perusahaan. Upaya

43
dimaksud telah dijelaskan pula pada Prinsip ke-24 UNGPs yang menggariskan bahwa,
“ketika diperlukan untuk memprioritaskan tindakan untuk mengatasi dampak potensial dan
aktual hak asasi manusia yang merugikan, perusahaan bisnis harus pertama-tama
mencegah dan mengatasi mereka yang terkena dampak paling buruk atau dimana respon
yang terlambat akan membuat mereka tidak dapat diperbaiki.”
Dari sudut pandang tampilan antarmuka (interface) pada aplikasi PRISMA, setidaknya
mencoba berusaha untuk memberikan tampilan yang menarik sehingga aplikasi PRISMA
tetap memerhatikan pada aspek desain tampilannya. Antarmuka yang tersaji pada aplikasi
PRISMA seharusnya dapat menjembatani antara pengguna dengan teknologi yang
disuguhkan. Pada level perusahaan sebagai individu pengguna aplikasi, user interface
mempunyai peran yang penting dalam efektivitas suatu sistem informasi (Ben
Shneiderman, 2004). Pembuatan user interface setidaknya bertujuan untuk menjadikan
teknologi informasi tersebut mudah digunakan/diaplikasikan (user friendly) oleh pengguna
(Alfian Nurlifa & Kariyam, 2014). Namun demikian, yang patut diterjemahkan adalah
bagaimana dalam sudut pandang mendorong suatu perusahaan yakin/percaya bahwa ada
nilai manfaat dan kegunaan dengan melaporkan risiko hak asasi manusia melalui PRISMA,
yaitu dengan memfokuskan pada interface dan user interface. PRISMA, sebagai platform
yang diinisasi oleh pemerintah, sejauh ini masih didominasi oleh pemberitaan di
lingkungan pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain
itu, elemen estetik di dalam form dan daftar isian di masing-masing indikator patut
mengakomodasi lebih banyak informasi kualitatif yang dapat membuka ruang dialog para
pihak di dalam bisnis dan hak asasi manusia.
C. PRISMA sebagai Representasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
PRISMA sebagai instrumen yang merepresentasikan bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia dalam sudut pandang sebagai uji tuntas mampu mengakomodasi pengelolaan
risiko atas kepentingan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia maupun kerugian pihak
lainnya. Selain itu, PRISMA menyediakan ruang bagi perusahaan-perusahaan untuk
menatakelola dirinya sendiri, dan membentuk dirinya sebagai subjek hukum yang taat
kepada norma hak asasi manusia dalam menerapkan kerangka kerja bisnis dan hak asasi
manusia di Indonesia. Proses translasi (penerjemahan) bisnis dan hak asasi manusia yang
melibatkan aktor-aktor lainnya setidaknya mencerminkan beberapa hal. Pertama,
PRISMA dibuat sebagai platform uji tuntas untuk penilaian kinerja perusahaan dalam
menghormati hak asasi manusia. Kedua platform ini memfokuskan pada penilaian risiko
dan dampak terhadap hak-hak manusia sebagai standar baku penilaian risiko dan bukan
sebagai risiko perusahaan. Dan ketiga, model penilaian yang diusung bersifat penilaian
mandiri (self-assessment) dengan model pengungkapan atau pelaporan secara sukarela
(voluntary disclosure) bersandingan dengan model-model pengungkapan pelaporan
lainnya yang mencerminkan pelaporan bersifat mandatory.
Lebih jauh, sebagai instrumen uji tuntas bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia
yang dihasilkan melalui penerjemahan di dalam jaringan-aktor, PRISMA perlu
memosisikan keberadaan aktor-aktor lainnya dalam kelompok jaringan sebagai unsur
strategis dan penting untuk dilibatkan. Hal ini dapat diakomodasi melalui ketersediaan

44
ruang dialog yang tidak hanya disediakan bagi perusahaan dalam melakukan penilaian.
Partisipasi kelompok jaringan-aktor yang sangat heterogen tentunya memiliki batasan
tertentu dalam hal substansinya untuk tujuan mendorong perusahaan menghormati hak
asasi manusia. Berkaca pada karakteristik tersebut, PRISMA dapat dikatakan sebagai
mekanisme penerapan soft-law dari pemerintah untuk menciptakan reputasi dan legitimasi
perusahaan. Merujuk pada tiga kategori umum yang memengaruhi dampak dari hukum,
yakni: reward dan punishment, konteks sosial terdekat, dan motif-motif intrinsik seperti
kesadaran dan perasaan (Friedman, 2016). PRISMA dapat dilihat sebagai moda
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) yang berpotensi menciptakan hukum antar
pengusaha (the pressure of peers), insentif, dan internalisasi norma. Lebih jauh sebagai
sebuah model pengungkapan sukarela, kemangkusan PRISMA menuntut perhatian
terhadap institusi, yang dipahami sebagai “norma dan konvensi (kebiasaan) yang memiliki
status seperti aturan di dalam tindakan dan pikiran sosial, yang bisa jadi legal maupun tidak,
namun secara begitu saja dipandang sah atau dapat diterima” (Black, 1997). Adapun di
dalam studi sosio-legal, pendekatan institusionalisme terbagi ke dalam tiga kelompok:
normatif, kognitif, dan perilaku (Suchman & Edelman, 1996). Pendekatan normatif, yang
bersumber dari teori fungsionalisme struktural dan psikoanalisis, menekankan pada “the
controlling force of moral socialization and internalized value commitments in
organizational life” (Suchman & Edelman, 1996). Sedangkan dari lensa sosiologi
pengetahuan, pendekatan kognitif memfokuskan pada cultural scripts, pada proses
definisional dan pelabelan organisasi oleh masyarakat ke dalam ragam kategori tertentu
(Suchman & Edelman, 1996). Cabang terakhir yakni institusionalisme perilaku
(behavioral), kendati beranjak dari tradisi konstruktivisme yang sama dengan pendekatan
kognitif, memfokuskan diri pada dampak dari ragam aturan dan definisi yang dibentuk
secara sosial. Singkatnya, ketika pendekatan kognitif menekankan pada proses
pembentukan aturan dan definisi, yang perilaku diarahkan kepada akibatnya. Penerapan
PRISMA untuk itu dapat dilihat pada dua perspektif yaitu: pertama, dari perspektif
perusahaan, yakni tentang pengungkapan risiko hak asasi manusia oleh perusahaan secara
sukarela (voluntary disclosure) kepada pemerintah melalui risk-assessment; dan kedua,
dari perspektif pemerintah, yakni tentang pengumpulan informasi risk-assessment dan
menilai hasilnya disertai dengan bantuan teknis melalui proses dialog.
Berkaca pada hal tersebut, implikasi terhadap PRISMA sebagai kerangka kerja uji
tuntas bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia setidaknya mengarah kepada upaya
membentuk cara pandang perusahaan sebagai subjek dalam praktik kepenataan, yang dapat
membentuk identitas subjek baru, dan membentuk prilaku yang memberikan kemanfaatan
secara kolektif dalam diskursus bisnis dan hak asasi manusia. Hal ini dimungkinkan
dengan menunjukkan bahwa perusahaan bisnis memiliki kebijakan dan proses yang pantas
sesuai dengan ukuran dan keadaan, termasuk proses uji tuntas hak asasi manusia untuk
mengidentifikasi, mencegah, melakukan mitigasi, dan melakukan pertanggungjawaban
atas cara mereka mengatasi dampak-dampak pada hak asasi manusia (Prinsip ke-15
UNGPs).
Dalam praktik kepenataan, PRISMA secara ideal diasosiasikan sebagai technologies
of power yang berupaya menciptakan keagenan dalam pratik penghormatan hak asasi

45
manusia pada kerangka kerja bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang bebas dari
kekuasan, mampu mengenali dan mengatasi problemnya secara mandiri serta
menghasilkan dampak positif bagi kemajuan hak asasi manusia. Sementara keagenan
lainnya (aktor-aktor dalam jaringan-aktor) bergerak sebagai katalisator bekerjanya
PRISMA yang memberikan perubahan dan menciptakan kondisi baru serta mempercepat
proses subjektifikasi perusahaan sebagai individu yang menghormati hak asasi manusia.
Selain sebagai platform yang membentuk subjektifikasi perusahaan, PRISMA juga
merupakan program dan strategi kepenataan dari kejauhan (governing at a distance), yang
terbentuk secara stabil dengan perlibatan jaringan antar kepentingan para aktor, yang pada
gilirannya dapat menjadi representasi atas diskursus bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia. Bisnis yang menghormati hak asasi manusia sebagai konteksnya dan PRISMA
sebagai moda representasi konteks tanggung jawab penghormatan hak asasi manusia,
mencerminkan praktik penerapan UNGPs yang tidak hanya terkungkung pada pilihan
penggunaan pendekatan hard-law ataupun soft-law, sebagaimana telah mendominasi
diksusi di dalam proses penerjemahan.
Sebagai konsekuensi, pembentukan subjek perusahan yang taat pada norma hak asasi
manusia dalam praktik “governing at a distance” (kepenataan) atau menata kelola secara
individu paling tidak memusatkan perhatiannya pada: (1) upaya mensimplifikasi beberapa
instrumen hukum, regulasi, dan kebijakan dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia
sebagai basis pengetahuan yang memudahkan proses mengkomunikasikan tentang hak
asasi manusia dan tanggung jawab penghormatan hak asasi manusia oleh perusahaan; (2)
menimbang dari sisi benefit yang diberikan baik bagi perusahaan terhadap lingkungan
bisnisnya maupun kelompok jaringan-aktor lainnya yang memiliki kepentingan atas
penghormatan hak asasi manusia oleh perusahaan; (3) dari sisi reward dapat dimanfaatkan
sebagai klaim reputasi dan klaim atas komitmen ketaatan perusahaan terhadap norma hak
asasi manusia; (4) fasilitasi dialog sosial yang mempertemukan antara perusahaan,
kelompok masyarakat terdampak, akademisi, serta pemerintah. Sebagai sebuah
assemblage atas ragam diskursus bisnis dan hak asasi manusia, dialog sosial melalui
PRISMA perlu diposisikan sebagai mekanisme yang mengakomodasi proses
penerjemahan secara simultan, dari problematisasi, penarikan, pelibatan, hingga
mobilisasi; dan (5) sisi estetik platform, yang memegang peranan penting dalam
membentuk subjektivikasi perusahaan, PRISMA perlu dikembangkan ke arah pelibatan
(engagement) antara perusahaan dan kelompok masyarakat.

46
BAB IV
PENUTUP

Diskursus bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia tidak membuntang dari gagasan
membentuk instrumen bisnis dan hak asasi manusia, sebagaimana yang ditegaskan pada
Prinsip-prinsip Panduan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Bisnis dan Hak
Asasi Manusia (UNGPs). Tersedianya beragam instrumen pelaporan hak asasi manusia oleh
perusahaan beserta mekanismenya saat ini sarat akan strategi yang sengaja dibangun unuk
memusatkan perhatian korporasi kepada isu-isu tematik seperti lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, lingkungan sosial-budaya masyarakat yang dekat dan rentan terkena dampak
operasionalisasi perusahaan. Lahirnya UNGPs sebagai panduan global bagi negara dan
korporasi yang bertanggungjawab untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia
setidaknya mendorong kerangka kerja yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia dan membangun mekanisme pemulihannya atas dampak aktual yang terjadi didalam
operasionalisasi bisnis.
Berkaca pada dikursus penerjemahan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia serta
diskursus praktik governing at a distance (kepenataan) yang ditunjukkan kepada PRISMA
sebagai representasi bisnis dan hak asasi manusia sampai kepada membentuk subjektifikasi
perusahaan yang taat pada norma hak asasi manusia, penelitian ini menyimpulkan bahwa;
aktivitas-aktivitas yang ditunjukka PRISMA sebagai platform pelaporan penilaian risiko dan
dampak hak asasi manusia secara mandiri dan bersifat sukarela merupakan instrumen bisnis
dan hak asasi manusia yang mampu membentuk perusahaan sebagai individu/subjek baru yang
taat pada norma hak asasi manusia dan memberikan nilai manfaat secara kolektif. Namun
demikian, pembentukan dimaksud tidak dapat mengesampingkan peran-peran aktor-aktor lain
di dalam kelompok jaringan-aktor dalam relasi bisnis dan hak asasi manusia. Para aktor-aktor
yang heterogen harus selalu dilibatkan sebagai katalisator guna mempertahankan subjektifikasi
perusahaan sebagai individu/subjek yang menghormati hak asasi manusia.

47
DAFTAR PUSTAKA

Alfian Nurlifa, S. K., & Kariyam. (2014). Analisis Pengaruh User Interface Terhadap
Kemudahan Penggunaan Sistem Pendukung Keputusan Seorang Dokter. Prosiding
SNATIF Ke-1 Tahun 2014, 333–340.
Baab, M., & Jungk, M. (2011). The Arc of Human Rights Priorities: A New Model for
Managing Business Risk.
Bastian, I., Winardi, R. D., & Fatmawati, D. (2018). Metoda Wawancara. Metoda
Pengumpulan Dan Teknik Analisis Data, September 2018, 53–99.
Ben Shneiderman, C. P. (2004). Designing the User Interface: Strategies for Effective
Human-Computer Interaction (S. H. Sullivan (ed.); 4th Editio). Addison Wesley.
Berenschot, W., & van Klinken, G. (2018). Informality and citizenship: the everyday state in
Indonesia. Citizenship Studies, 22(2), 95–111.
https://doi.org/10.1080/13621025.2018.1445494
Black, J. (1997). New institutionalism and naturalism in socio-legal analysis: Institutionalist
approaches to regulatory decision making. Law and Policy, 19(1), 51–93.
https://doi.org/10.1111/1467-9930.00021
Bonfanti, A., & Bordignon, M. (2017). ‘Seafood from Slaves’: The Pulitzer Prize in the Light
of the UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Global Policy, 8(4), 498–
504. https://doi.org/10.1111/1758-5899.12495
Boyd, W., Beck, U., & Shrader-Frechette, K. S. (1993). Risk Society: Towards a New
ModernityRisk and Rationality: Philosophical; Foundations for Populist Reforms. In
Economic Geography (Vol. 69, Issue 4). https://doi.org/10.2307/143601
Brown, W. (2008). Power After Foucault. The Oxford Handbook of Political Theory, May, 1–
20. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199548439.003.0003
Bussular, C. Z., Burtet, C. G., & Antonello, C. S. (2019). The actor-network theory as a
method in the analysis of Samarco disaster in Brazil. Qualitative Research in
Organizations and Management: An International Journal, 15(2), 176–191.
https://doi.org/10.1108/QROM-04-2017-1520
Cahaya, F. R., & Hervina, R. (2019). Do human rights issues matter? An empirical analysis of
Indonesian companies’ reporting. Social Responsibility Journal, 15(2), 226–243.
https://doi.org/10.1108/SRJ-10-2016-0171
Callon, M. (1986). Some Elements of A Sociology of Translation: Domestication of the
Scallops and Fishermen of St. Brieuc Bay. In J. Law (Ed.), Power, Action, and Belief: A
New Sociology of Law (pp. 196–233). Routledge.
Castel, R. (1991). From dangerousness to risk. In G. Burchell, C. Gordon, & P. Miller (Eds.),
The Foucault Effect: Studies in Governmentality (pp. 281–298). The University of
Chicago Press.
DJHAM. (2020). Pernyataan Singkat Menkumham dan Dirjen HAM tentang Aplikasi
PRISMA. Youtube.
Fasterling, Bjorn. (2017). Human rights due diligence as risk management: social risk versus
human rights risk. Business and Human Rights Journal, 2(2), 225–247.
Fasterling, Björn. (2017). Human Rights Due Diligence as Risk Management: Social Risk
Versus Human Rights Risk. Business and Human Rights Journal, 2(2), 225–274.

48
https://doi.org/10.1017/bhj.2016.26
Foucault, M. (1991). Governmentality. In G. Burchell, C. Gordon, & P. Miller (Eds.), The
Foucault Effect: Studies in Governmentality (pp. 87–104). The University of Chicago
Press.
Friedman, L. M. (2016). Impact: How law affects behavior. Harvard University Press.
Gendron, Y. (2009). Discussion of “the audit committee oversight process”: Advocating
openness in accounting research. Contemporary Accounting Research, 26(1), 123–134.
https://doi.org/10.1506/car.26.1.4
HAM, K. (2019). Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2016-2019.
Haryanto, R. (2013). MORALIS (Paradigma Baru dalam Etika Bisnis Modern). AL-IHKAM:
Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 4(1), 65–82.
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/view/263
Huxley, M. (2007). Geographies of Governmentality. In J. Crampton & S. Elden (Eds.),
Space, Knowledge, and Power. Ashgate.
Inda, J. X. (2005). Analytics of the Modern: An Introduction. In J. X. Inda (Ed.),
Anthropologies of Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics (1st ed.).
Blackwell Publishing.
Kemp, D., & Vanclay, F. (2013). Human rights and impact assessment: clarifying the
connections in practice. Impact Assessment and Project Appraisal, 31(2), 86–96.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/14615517.2013.782978
Kristin Asdal, B. B. and I. M. (eds. . (2007). Technoscience The Politics of Interventions.
Oslo Academic Press, Unipub Norway.
Kytle, B., & Ruggie, J. G. (2005). Corporate Social Responsibility as Risk Management: A
Model for Multinationals. Corporate Social Responsibility Initiative, 1–15.
http://doi.wiley.com/10.1111/j.1539-
6975.2011.01413.x%5Cnhttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1539-
6975.2011.01413.x/full%5Cnhttp://doi.wiley.com/10.1111/1098-
1616.00020%5Cnhttp://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0378426614000697
Law, J. (1992). Notes on the theory of the actor-network: Ordering, strategy, and
heterogeneity. Systems Practice, 5(4), 379–393. https://doi.org/10.1007/BF01059830
Law, J., Ruppert, E., & Savage, M. (2011). The Double Social Life of Methods (CRESC
Working Paper, Vol. 44, Issue 95).
Lemke, T. (2002). Foucault, Governmentality, and Critique. Rethinking Marxism: A Journal
of Economics, Culture & Society, 14(3), 37–41.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/089356902101242288
Lemke, T. (2011). Biopolitics: An advanced introduction. New York University Press.
Macdonald, K. (2020). Obstacles to implementing the UN Guiding Principles on Business and
Human Rights in Southeast Asia. Melbourne Asia Review, 3, 1–11.
https://doi.org/10.37839/mar2652-550x3.8
Martin, G. P., & Waring, J. (2018). Realising governmentality: Pastoral power, governmental
discourse and the (re) constitution of subjectivities. The Sociological Review, 1–17.
https://doi.org/10.1177/0038026118755616
May, T. (2014). Subjectification. In L. Lawlor & J. Nale (Eds.), The Cambridge Foucault

49
Lexicon (pp. 496–502). Cambridge University Press.
Mulyaningsih, & Hermina, T. (2017). Etika Bisnis (M. S. Nina Kania (ed.); 1st ed.). CV
KIMFA MANDIRI.
Nimmo, R. (2010). Milk, Modernity and the Making of the Human: Purifying the Social.
Routledge.
Nimmo, R. (2011). Actor-Network Theory and Methodology: Social Research in a More-
Than-Human World. Methodological Innovations Online, 6(3), 108–119.
https://doi.org/10.4256/mio.2011.010
OECD Due Dilligence Guidance for Reponsible Supply Chains of Minerals from Conflict-
Affected and High-Risk Areas: Second Edition (73). (2011). [18]. OECD Publishing.
Oksala, J. (2014). From Biopower to Governmentality. In C. Falzon, T. O’Leary, & J.
Sawicki (Eds.), A Companion to Foucault. Wiley-Blackwellcisney.
Parella, K. (2019). Improving Human Rights Compliance in Supply Chains. Notre Dame Law
Review, 95(2), 727.
Parella, K. (2020). Symposium on soft and hard law on business and human rights. Hard and
soft law preferences in business and human rights. AJIL Unbound, 114, 168–173.
https://doi.org/10.1017/aju.2020.33
Peggs, K., & Smart, B. (2018). Foucault ’ s Biopower. In L. Downing (Ed.), After Foucault:
Culture, Theory, and Criticism in the 21st Century (1st ed., pp. 61–76). Cambridge
University Press.
Pell, O. C., & Bonner, K. (2016). Corporate Behavior and Atrocity Prevention: Is Aiding and
Abetting Liability the Best Way to Influence Corporate Behavior? In S. P. Rosenberg, T.
Galis, & A. Zucker (Eds.), Reconstructing Atrocity Prevention (pp. 393–427).
Cambridge University Press.
PICCIOTTO, S. (2011). REGULATING GLOBAL CORPORATE CAPITALISM. Cambridge
University Press.
Prihandono, I. (2013). Transnational corporations and human rights violations in Indonesia.
Australian Journal of Asian Law, 14(1), 1–23. https://doi.org/10.2307/40204324
Rambaree, B. B. (2021). Discourse and power in the institutionalisation of corporate social
responsibility ( CSR ): A comparative perspective. Cogent Social Sciences, 7(1).
https://doi.org/10.1080/23311886.2020.1852673
Rinwigati, P. (2020). Strategi Nasional Bisnis & HAM: Menuju Bisnis yang Bertanggung
Jawab.
Riyanto, G. (2019). REZIM TANPA REZIM : KEPENATAAN DAN WACANA
KOMUNISME DI RANAH PERBUKUAN INDONESIA. Human Narratives, 1(1), 14–
29. https://doi.org/doi.org/10.30998/hn.v1i1.97 REZIM
Rohman. (2020). Dialog Nasional Rancangan Strategi Nasional, Bisnis dan HAM. Strategi
News.
Rose, N., O’Malley, P., & Valverde, M. (2006). Governmentality. Annu. Rev. Law Soc. Sci.,
2, 83–104.
Ruggie, J. G., & Sherman, J. F. (2017). The Concept of ‘Due Diligence’ in the UN Guiding
Principles on Business and Human Rights: A Reply to Jonathan Bonnitcha and Robert
McCorquodale. The European Journal of International Law, 28(3), 921–928.

50
Sayes, E. (2014). Actor–Network Theory and methodology: Just what does it mean to say that
nonhumans have agency? Social Studies of Science, 44(1), 134–149.
https://doi.org/10.1177/0306312713511867
Scholte, J. A. (2005). Globalization and Governance: From Statism to Polycentrism. In
Globalization (Issue 130). https://doi.org/10.1007/978-0-230-21207-7_7
Siltaoja, M., Malin, V., & Pyykkönen, M. (2015). ‘We are all responsible now ’:
Governmentality and responsibilized subjects in corporate social responsibility.
Management Learning, 46(4). https://doi.org/10.1177/1350507614541199
Suchman, M. C., & Edelman, L. B. (1996). Legal Rational Myths: The New Institutionalism
and the Law and Society Tradition. Law & Social Inquiry, 21(4), 903–941.
Tadros, V. (1998). Between governance and discipline: The law and michel foucault. Oxford
Journal of Legal Studies, 18(1), 75–103. https://doi.org/10.4324/9781315249032
Taylor, C. (2011). Biopower. In D. Taylor (Ed.), Michael Foucault: Key Concepts (1st ed.).
Acumen Publishing Limited.
Turkel, G. (1990). Michel Foucault: Law, Power, and Knowledge. Journal of Law and
Society, 17(2), 170. https://doi.org/10.2307/1410084
Unilever. (2019). Human Rights 2019 Supplier Audit Update.
Vallentin, S., & Murillo, D. (2012). Governmentality and the politics of CSR. Organization,
19(6), 825–843. https://doi.org/10.1177/1350508411426183
Waagstein, P. R. (2011). The Mandatory Corporate Social Responsibility in Indonesia:
Problems and Implications. Journal of Business Ethics, 98(3), 455–466.
https://doi.org/10.1007/s10551-010-0587-x
Waagstein, P. R. (2015). Business and Human Rights in Indonesia: From Principles to
Practice (H. of R. HRRC, Faith Suzzette Delos Reyes Kong & D. D. HRRC, Michelle
Staggs Kelsall (Eds.)). Human Rights Resource Centre with the support of the Birtish
Embassy in Jakarta.
Wallenstein, S.-O. (2013). Introduction: Foucault, Biopolitics, and Governmentality. In J.
Nilsson & S.-O. Wallenstein (Eds.), Foucault, Biopolitics, and Governmentality (1st
ed.). Södertörn Philosophical Studies.
Walsham, G., & Sahay, S. (1999). GIS for district-level administration in India: Problems and
opportunities. MIS Quarterly: Management Information Systems, 23(1), 39–66.
https://doi.org/10.2307/249409

51

Anda mungkin juga menyukai