Pendahuluan
Sehat merupakan Suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yg
berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Kesehatan
merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memunkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan ibu dan anak merupakan masalah yang mendapatkan prioritas
utama dalam bidang kesehatan. Kesehatan ibu dan anak merupakan upaya dibidang
kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
menyusui, bayi, anak balita, sereta anak prasekolah.
Perdarahan di Indonesia menunjukkan urutan teratas sebagai penyebab
kematian ibu. Perdarahan postpartum adalah kehilangan darah sebanyak 500 ml atau
lebih dari traktus genitalia setelah melahirkan. Perdarahan pasca salin merupakan
perdarahan yang palin banyak menyebabakan kematian ibu. Lebih dari 10 kematian
ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu
banyak mengeluarkan darah.
Berdasarkan laporan WHO di seluruh dunia, terdapat kematian ibu sebesar
500.000 jiwa /Tahun.WHO memperkirakan jika ibu hanya melahirkan rata-rata 3
bayi, maka kematian ibu dapat di turunkan menjadi 300.000 jiwa/Tahun.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya, paling
sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal.
Angka kejadian perdarahan post partum di negara maju seperti negara
hongkong sebesar 30% dari angka kematian ibu 7/100.000 KH, sedangkan di negara
Afrika selatan sebesar 15 % dari AKI 230 / 100.000 KH.
Angka kematian ibu di negara berkembang sangat bervariasi seperti angka
kematian ibu di Singapura AKI mencapai 5 /100.000 KH, sedangkan di Malaysia
69/100.000 KH, Thailand 100/100.000 KH, Filipina 142/ 100.000 KH. Begitu juga
dengan angka kejadian perdarahan post partum di negara berkembang seperti
negara India sebesar 16 % dari AKI 570 / 100.000 kelahiran hidup, di negara
Fhilipina sebesar 53 % dari AKI 280 / 100.000 kelahiran hidup.
Indonesia merupakan negara yang memiliki angka kematian ibu tertinggi di
ASEAN yaitu pada tahun 2007 meliputi 248 /100.000 KH. Tinggginya angka
kematian ibu tidak dapat dipisahkan dari profil wanita Indonesia. Sedangkan angka
kejadian perdarahan post partum di Indonesia sebesar 43 % dari AKI 334/ 100.000
KH.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan bayi di Jawa Timur di tahun 2009 menurun.
Selama tahun 2009 sebanyak 260 ribu ibu meninggal setiap 10.000 kelahiran per
tahun. Angka ini menurun dibanding tahun 2007, yakni 320 ribu ibu meniggal setiap
10.000 kelahiran per tahun. Tahun 2015, ditarget AKI turun sampai 112 ribu.
Sedangkan di Jawa Tengah saat ini walaupun angkanya jauh lebih rendah dari angka
nasional kita tetap masih harus berupaya agar mencapai target global yang
diharapkan pada tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup. Saat ini Jawa
Tengah sudah mencapai AKI 114/100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan laporan Rekam Medik RSUD Tangerang dalam kurun waktu
Januari hingga Desember 2010 terdapat 298 /4915 ibu bersalin kasus perdarahan
postpartum. Sedangkan pada tahun 2009 terdapat angka kejadian 239 / 5676 ibu
bersalin. Dilihat dari angka kejadian terjadi sedikit kenaikan sebesar 1,8% dan
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 105
terdapat sedikit perbedaan jumlah ibu bersalin dari tahun 2010 lebih sedikit dari
pada tahun 2009.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 60% kematian ibu akibat
kehamilan terjadi setelah persalinan dan 40 % kematian nifas terjadi dalam 24 jam
pertama. Hasil analisii bivariate deskriptif yaitu proporsi umur ibu terbesar pada
umur kurun repoduksi sehat(20-35 tahun) sebesar 62,12% pada kasus, proporsi
paritas terbesar adalah paritas lebih dari 3 75,76% pada kasus, proporsi jarak lahir
kurang dari 2 tahun sebesar 40,91%, dan proporsi Ante Natel Care terbesar adalah
ANC yang memenuhi standar K4 sebesar 84,85% pada kasus.
Penyebab perdarahan yang mempunyai peringkat tertinggi yaitu Atonia uteri
atau tidak adanya kontraksi pada uterus sbanyak (50 – 60%), retensio plasenta (16-
17%), sisa plasenta (23-24%), dan laserasi jalan lahir (4 – 5% ). Selain itu riwayat
persalinan yang kurang baik, misalnya: riwayat perdarahan pada persalinan yang
lalu, grande multi para (anak lebih dari empat), jarak kelahiran yang dekat (kurang
dari 2 tahun). Penyebab perdarahan postpartum karena atonia uteri tidak terlalu
banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga berencana makin meningkat.
Penyebab perdarahan pada ibu dengan presentase tertinggi pada kejadian kematian
ibu diantaranya perdarahan yaitu 30.5%. infeksi 22.5% dan gestosis 17,5%. Ketiga
penyebab ini di sebut dengan trias klasik yang meliputi 95% penyebab kematian ibu.
Dampak yang di akibatkan oleh persalinan kala III dengan perdarahan dalam
waktu singkat seorang ibu dapat menjadi syok dan jika tidak segera di tangani
berarti ancaman terhadap kematian semakin besar. Jika perdarahan ini bisa diatasi
dengan baik maka berapa banyak nyawa ibu yang bisa terselamatkan dari kematian
dan dapat membantu dalam pencapaian menurunkan angka kematian ibu
diindonesia.
Di samping menyebabkan kematian, perdarahan post partum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan
banyak kelak bisa menyebabkan sindroma sheehan sebagai akibat nekrosis pada
hipofisis anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala – gejalanya
ialah astenia, hipotensi, anemia, turunya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,
penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis
dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis akan melakukan penelitian dengan
judul faktor- faktor yang berhubungan dengan hemorrhagic post partum pada ibu
bersalin yang merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian ibu di Rumah Sakit
Umum Daerah Tangerang.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor–faktor yang
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor–faktor yang
berhubungan dengan perdarahan pada ibu bersalin di RSUD Tangerang.
Metode Penelitian
Desain penelitian ini merupakan penelitian metode deskriptif dengan
menggunakan desain Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini ibu bersalin di
RSUD Tangerang yaitu sebanyak 98 orang. Dalam penelitian kebidanan, kriteria
sampel meliputi kriteria inklusif dan kriteria eklusif, dimana kriteria tersebut
menentukan dapat dan tidaknya sampel yang tersebut digunakan. Kriteria inklusif
dalam penelitaian ini adalah seluruh siswa yang hadir pada saat pengambilan data.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 106
Sedangkan kriteria ekslusif dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang
melakukan persalianan di RSUD Tangerang, tetapi bukan termasuk popoulasi. Besar
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 87 orang. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini yaitu dengan teknik random sampling.
Hasil Penelitian
Analisa Univariat
Haemoragic post partum
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Haemoragic post partum pada ibu bersalin Di RSUD
Tangerang
No Haemoragic post partum Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 Ya 76 77,6%
2 Tidak 22 22,4%
Jumlah 98 100 %
Berdasarkan table di atas, dari 98 ibu yang yang bersalin adalah sebanyak 76
orang yang mengalami Haemoragic post partum (77,6%) dan yang tidak mengalami
haemoragic post partum sebanyak 22 orang (22,4%).
Diagram 1. Distribusi Frekuensi Haemoragic post partum pada ibu bersalin Di
RSUD Tangerang
Umur Ibu
Umur ibu dikelompokkan menjadi 2. Pengelompoknya umur < 20 tahun dan
> 35 tahun dan 20-35 tahun. Hasilnya dapat dilihat pada tabel dan diagram 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi ibu bersalin Berdasarkan Umur di RSUD Tangerang
No Umur Ibu Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 < 20 Tahun dan > 35 Tahun 28 28,6%
2 20 Tahun – 35 Tahun 70 71,4%
Jumlah 98 100
Dari 98 ibu bersalin tabel diatas maka dapat dilihat ibu bersalin berdasarkan
umur, ditemukan 24 ibu bersalin yang berumur < 20 Tahun dan > 35 Tahun (28,6%)
dan ibu bersalin yang berumur 20 Tahun–35 Tahun sebanyak orang (71,4%)
Diagram 2. Distribusi Frekuensi ibu bersalin berdasarkan umur di RSUD Tangerang
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 107
100%
20 Thn - 35 Thn
80%
71.6 < 20 Thn dan > 35 Thn
60%
40%
20% 28.6
0%
Umur
Paritas Ibu
Paritas ibu dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu primipara, dan grande /
Multi para yang dapat dilihat dari table d.3 dan diagram 3
Tabel 3. Distribusi Frekuensi ibu bersalin Berdasarkan Paritas di RSUD Tangerang
No Paritas Ibu Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 Grande / Multi para 60 61,2%
2 Primipara 38 38,8%
Jumlah 98 100
Dari table di atas dapat diketahui bahwa ibu bersalin berdasarkan paritas
yaitu, ibu primipara sebanyak 23 orang (38,8%) dan ibu yang multipara atau Grande
para sebanyak 53 orang (61,2%).
Diagram 3. Distribusi Frekuensi ibu bersalin berdasarkan Paritas di RSUD Tangerang
100
80 69.7
60
40 30.3
20
Pendidikan
Pengelompokkan pendidikkan dikelompokkan menjadi 2 yaitu ibu bersalin
dengan pendidikkan ≤ SMA atau SMK dan ibu bersalin dengan pendidikkan ≥ SMA
- PT, yang dapat dilihat dari table d.4 dan diagram 4
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pada Ibu Bersalin Berdasarkan Pendidikkan Di RSUD
Tangerang
No Pendidikkan Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 Rendah ( SD, SMP, dan < SMA) 48 49%
2 Tinggi ( > SMA – PT) 50 51%
Jumlah 98 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu bersalin berdasarkan
pendidikandiperoleh hasil yaitu, pendidikkan < dari SMA atu SMK sebanyak 48
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 108
orang (49%) sedangkan dengan pendidikkan > SMA - PT lainnya sebanyak 50 orang
( 51%).
Diagram 4. Distribusi Frekuensi pada ibu bersalin Berdasarkan Pendidikkan di
RSUD Tangerang
Pendidikkan
0
46%
54%
Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran, dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelahiran yang <
dari 2 tahun atau tidak ada, dan kelahiran yang > dari 2 tahun , hasilnya dapat dilihat
dai table 5 dan diagram 5
Tabel 5. Distribusi Frekuensi ibu bersalin berdasarkan Jarak persalinan di RSUD Tangerang
No Jarak persalinan Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 < 2 Tahun atau Tidak ada 72 73,5%
2 > 2 Tahun 26 26,5%
Jumlah 98 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu bersalin berdasarkan
jarak persalinan yaitu, dengan jarak kelahiran < dari 2 Tahun atau tidak ada
sebanyak 72 orang (73,5%), sedangkan jarak yang > dari 2 Tahun sebanyak 26
orang (26,5%).
Diagram 5 Distribusi Frek ibu bersalin berdasarkan Jarak persalinan di RSU Tangerang
100
73.5
80
60
40 26.5
20
0
Atonia uteri
Atonia uteri yang dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu Ya untuk ibu
bersalin yang mengalami atonia Uteri dan Tidak untuk ibu bersalin yang tidak
mengalami Atonia Uteri , hasilnya dapat dilihat pada table 6 dan diagram 6
Tabel 6. Distribusi Frekuensi ibu bersalin Berdasarkan Atonia Uteri di RSUD
Tangerang
No Atonia Frekuensi
Uteri Angka Persentase (%)
1 Ya 21 21,4%
2 Tidak 77 78,6%
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 109
No Atonia Frekuensi
Uteri Angka Persentase (%)
Jumlah 98 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu bersalin berdasarkan
atonia uteri yaitu, yang mengalami Atonia Uteri sebanyak 21 orang (21,4%) dan
tidak mengalami Atonia Uteri sebanyak 77 orang (78,6%).
Diagram 6. Distribusi Frekuensi ibu bersalin berdasarkan Atonia Uteri Di RSUD
Tangerang
Atonia Uteri
0
0
21.40%
78.60%
Sisa Plasenta
Berdasarkan data sisa plasenta di bagi menjadi 2 kelompok Ya untuk ibu
bersalin yang mengalami adanya sisa plasenta, Sedangkan Tidak untuk yang tidak
mengalami adanya sisa plasenta. Hasilnya dapat dilihat di tabel 7 dan diagram 7
sebagai berikut:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi ibu bersalin Berdasarkan Sisa plasenta di RSUD
Tangerang
No Sisa plasenta Frekuensi
Angka Persentase (%)
1 Ya 61 62,2%
2 Tidak 37 37,8%
Jumlah 98 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu bersalin berdasarkan
adanya sisa plasenta sebanyak 61 orang (62,2%) dan tidak ada sisa plasenta
sebanyak 37 orang (37,4%).
Diagram 7. Distribusi Frekuensi ibu bersalin berdasarkan sisa plasenta di RSUD Tangerang
Sisa Plasenta
0
37.80% Ya
62.20%
Tidak
0
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 110
Analisa Bivariat
Tabel 8. Hubungan Umur Dengan kejadian Haemoragic post partum Pada Ibu
bersalin di RSUD Tangerang
Haemoragic post partum
No Umur Total P- Value OR
Ya Tidak
< 20 Tahun– > 35
1 24 (31,6%) 4 (18,2%) 28 (28,6%) 2,077
Tahun
0,170 ( 0,634 –
2 20 Tahun - 35 Tahun 52 (68,4%) 18 (81,8%) 70 (71,4%)
6,803)
Jumlah 76 (100%) 22 (100%) 98 (100%)
Berdasarkan tabel 8 diatas diketahui bahwa dari 28 orang ibu bersalin yang
mengalami Haemoragic post partum pada usia < 20 dan > 35 Thn ada sebanyak 24
orang (31,6%) . Pada usia 20 – 35 Tahun ada sebanyak 52 orang (68,4%) yang
mengalami haemoragic post partum. Sedangkan pada ibu yang tidak mengalami
haemoragic post partum pada umur < 20 tahun - > 35 tahun sebanyak 4 org (18,2%)
dan pada umur 20 -35 tahun sebanyak 18 orang (81,8%).
Maka dapat dilihat kejadian haemoragic post partum terbanyak pada usia 20
– 35 Tahun. Hasil uji statistik dengan chi- square diperoleh nilai fisher’s exact test,
P- value > 0,05 (p-value 0,17) menunjukkan bahwa Ho gagal ditolak artinya tidak
ada hubungan bermakna antara umur dengan Haemoragic post partum pada ibu
bersalin. Dari hasil risk estimate hubungan 2 variabel didapat OR 2,510 (95% CI =
0,921 – 6,852) hal ini berarti responden yang berumur 20 tahun – 35 tahun
mempunyai peluang untuk mengalami haemoragic post partum 2 X dibandingkan
dengan ibu yang berumur < 20 tahun - > 35 tahun.
Tabel 9. Hubungan Paritas Dengan kejadian haemoragic post partum Pada ibu
bersalin di RSUD Tangerang
Haemoragic post partum
Paritas Jumlah P-Value OR
No Ya Tidak
1 Grande/Multi 53 (69,7 %) 7 (31,8%) 60 (61,2%) 0,203
2 Primi 23(30,3%) 15(68,2%) 38(61,2%) 0,003 ( 0,073 –
Jumlah 76( 100%) 22( 100%) 98(100%) 0,563)
Analisa Data :
Dari tabel 9 diatas diketahui bahwa dari 28 ibu bersalin dengan paritas
primipara ada sebanyak 23 orang ( 30,3%) mengalami haemoragic post partum dan
sebanyak 15 orang (68,2%) tidak mengalami haemoragic post partum, Sedangkan
ibu bersalin dengan paritas Grande / multipara ada sebanyak 53 orang (69,7%)
mengalami Haemoragic post partum dan sebanyak 7 orang (31,8%) tidak mengalami
Haemoragic post partum. Kejadian terbanyak pada paritas Grande / multipara.
Hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai continuity cerrection P-
value < 0,05 ( p-value 0,003) menunjukkan bahwa Ha diterima artinya ada
hubungan bermakna antara paritas dengan Haemoragic post partum pada ibu
bersalin. Dari hasil analisa risk estimate hubungan 2 variabel didapat OR 0,203
(95% CI = 0,073 – 0.563) hal ini berarti responden yang berparitas grande / multi
para mempunyai peluang untuk mengalami haemoragic post partum 1 X
dibandingkan dengan ibu yang berparitas primipara.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 111
Pembahasan
Haemoragic Post Partum
Dari hasil penelitian yang di lakukan pada ibu bersalin dengan kejadian
haemoragic post partum sebagian besar terjadi pada ibu bersalin sebanyak 77 orang
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 113
(77,6%), dan ibu yang tidak mengalami haemoragic post partum se4banyak 22 orang
(22,4%). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa frekuensi perdarahan
post partum berdasarkan laporan – laporan baik di negara maju maupun di negara
berkembang angka kejadian berkisar antara 5 % sampai 15 %. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran
hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25 % dari kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian maternal tiap
tahunnya.
Hubungan Umur dengan kejadian haemoragic post partum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi umur ibu bersalin yang
mengalami haemoragic post partum pada usia berisiko ( < 20 Tahun - > 35 Tahun )
sebesar 28,6% dan pada usia tidak berisiko ( 20 – 35 Tahun ) sebesar 71,4 %. Hal ini
tidak sesuai dengan teori (Manuaba, 1998) yang menyatakan bahwa umur ibu yang
mempunyai faktor resiko pada persalinan berdasarkan anamnesa umur yaitu < 20
tahun - > 35 tahun. Sedangkan hasil penelitian menunujukkan lebih banyak ibu
dengan umur 20 -35 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan kejadian Haemoragic post partum pada ibu
bersalin di bandingkan antara usia berisiko dan usia tidak berisiko diperoleh hasil
mayoritas terjadi pada usia tidak beresiko yaitu 20 – 35 tahun sebesar 68,4% dan ibu
yang tidak mengalami haemoragic post partum pada usia 20 – 35 tahun sebesar
18,2%. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa usia < 20 tahun
fungsi anatomis dan fisiologis belum siap dalam menghadapi persalinan dan begitu
pula pada usia ibu di atas 35 tahun atau lebih kesehatannya sudah menurun, otot
rahim menurun kekuatannya akibatnya kontraksi rahim menjadi lemah yang
menimbulkan resiko perdarahan.
Namun, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pendekatan
risiko, sebaiknya tidak digunakan lagi. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih
dari 90% kematian ibu disebabkan komplikasi obstetri seperti perdarahan, banyak di
antara ibu yang berumur 20 – 35 tahun ternyata mengalami komplikasi, dan
sebaliknya ibu yang berumur < 20 tahun dan > 35 tahun ternyata persalinanya
berlangsung normal.
Namun dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa mayoritas
haemoragic post partum terjadi pada umur 20 - 35 tahun, menurut pendapat
mengatakan, munkin dapat terjadi karena hamil pada umur 20 – 35 tahun sering
terjadi anemia terutama pada trimester III sehingga pada saat proses persalinan ibu
cepat lemah untuk meneran, sehingga menyebabkan persalinan lama yang dapat
menimbulkan perdarahan pasca salin.
Setelah dilakukan uji chi – square di dapatkan nilai fisher’s exact test P-value
> 0,05 (p-value 0,170) sehingga Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan antara
umur ibu dengan kejadian haemoragic post partum. Hal ini tidak sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa masih banyaknya wanita yang menikah, hamil, bersalin
dalam usia muda (< 20 tahun - > 35 tahun) 14 % dan > 35 tahun sebesar 14,5 % dan
idealnya wanita hamil bersalin pada usia antara 20 – 35 Tahun sehingga tidak ada
kemunkinan untuk mengalami perdarahan post partum.
Hubungan Paritas dengan kejadian Haemoragic Post Partum
Hasil penelitian menunjukkan proporsi paritas ibu yang mengalami
haemoragic post partum pada primipara sebesar 38,8% dan pada Grande/multipara
sebesar 61,2%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 114
atonia uteri yaitu seperti faktor adanya sisa plasenta dan laserasi pada jalan lahir.
Perdarahan post partum dengan penyebab atonia uteri tidak terlalu banyak di jumpai
karena penerimaan gerakan keluarga berencana makin meningkat. Biasanya atonia
uteri sering terjadi pada ibu yang melahirkan anak terlalu banyak. Kegagalan
kontraksi otot rahim meyebabkan pembuliuh darah pada bekas implantasi plasenta
terbuka sehingga menimbulkan perdarahan.
Setelah dilakukan uji chi- square di dapatkan nilai fisher’s exact test P-value
< 0,05 (p-value 0,021) sehingga Ho gagal di tolak artinya ada hubungan antara
atonia uteri dengan kejadian haemoragic post partum. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa atonia uteri adalah kegagalan serabut – serabut atot
miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab
terjadinya perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera
setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan
perdarahan hebat dan mengarah pada syok hipovolemik.
Dari hasil risk estimate hubungan 2 variabel didapat OR 7,500 (95% CI =
0,946 – 59,438) hal ini berarti responden yang tidak mengalami atonia uteri
mempunyai peluang untuk mengalami haemoragic post partum 7,5 X dibandingkan
dengan ibu yang mengalami Atonia uteri. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa perdarahan post partum dengan penyebab atonia uteri tidak
terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga berencana makin
meningkat. Sehingga ibu yang tidak mengalami atonia uteri lebih berpeluang karena
munkin saja da faktor lain yang menyebabkan terjadinya haemoragic post partum.
Hubungan Sisa plasenta dengan kejadian Haemoragic Post partum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuansi terjadi sisa plasenta pada
haemoragic post partum pada ibu bersalin yang mengalami adanya sisa plasenta
sebesar 62,2% dan sebesar 37,8% tidak terjadi adanya sisa plasenta. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa penyebab utama perdarahan post partum
primer adalah adanya sisa plasenta sebesar 23 – 24 %.
Bila di bandingkan angka kejadian haemoragic post partum karena ada sisa
plasenta dan tidak ada sisa plasenta pada ibu bersalin di peroleh mayoritas terbesar
ada sisa plasenta yaitu sebesar 77,6% dan ibu yang tidak mengalami haemoragic
post partum mayoritas tidak karena sisa plasenta sebesar 90,9 %. Setelah di lakukan
uji Chi- square di dapatkan nilai fisher’s exact test p-value < 0,05 (p-value 0,000)
sehingga Ho gagal di tolak yang artinya ada hubungan bermakna antara sisa plasenta
dengan kejadian haemoragic post partum. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa perdarahan post partum dini dapat terjadi sebagai akibat
tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin. Hal ini juga sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa frekuensi perdarahan post partum berdasarkan laporan – laporan
baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar 5 %
sampai 15 %. Dari angka tersebut, di peroleh gambaran etiologi karena sisa plasenta
sebesar 23 – 24 %.
Dari hasil risk estimate hubungan 2 variabel didapat OR 34,706 (95% CI =
7,363 – 163,589) hal ini berarti responden yang mengalami sisa plasenta
mempunyai peluang untuk mengalami haemoragic post partum 34 X dibandingkan
dengan ibu yang mengalami adanya sisa plasenta. hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa dengan implantasi plasenta dalam bentuk adhesiva akreta,
inkreta , dan perkreta merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 117
Kesimpulan
Frekuensi kejadian Haemoragic post partum pada ibu bersalin di RSUD
Tangerang sebanyak 77 orang (77,6%) dan jumlah ibu bersalin yang tidak
mengalami Haemoragic post partum sebanyak 22 orang (22,4%).
Angka kejadian haemoragic post partum pada ibu bersalin yang terbesar
adalah pada usia 20-35 tahun sebanyak 52 orang (68,4%) dan dari hasil analisa yang
didapat Ha ditolak, maka tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian
haemoragic post partum. OR 2,077 (95% CI =0,634 – 6,803) sehingga diketahui ibu
bersalin dengan umur 20–35 tahun mempunyai peluang mengalami haemoragic
post partum 2 X dibandingkan ibu bersalin dengan umur < 20 - > 35 tahun.
Berdasarkan angka kejadian Paritas pada ibu yang mengalami haemoragic
post partum yang terbesar yaitu grande / multipara sebanyak 53 orang (69,7%) dari
hasil analisa data yang dilakukan maka dapat disimpulkan Ha diterima sehingga ada
hubungan bermakna antara paritas dengan kejadian haemoragic post partum. OR
0,203 (95% CI = 0,073 – 0,563) sehingga dapat dilihat responden yang berparitas
grande atau multi para mempunyai peluang mengalami Haemoragic post partum 1 X
di bandingkan dengan ibu berparitas primipara.
Hasil analisa yang dilakukan maka didapatkan Ha diterima, maka tidak ada
hubungan bermakna antara pendidikkan dengan kejadian haemoragic post partum.
OR 2,510 ( (95% CI = 0,920 – 6,8952) sehingga dapat dilihat ibu bersalin dengan
pendidikkan < SMA atau SMK mempunyai peluang mengalami haemoragic post
partum 2,5 X dibandingkan ibu bersalin dengan berpendidikkan > SMA – PT.
Hasil analisa yang dilakukan didapatkan hasil Ha diterima sehingga ada
hubungan bermakna antara jarak persalinan dengan kejadian haemoragic post
partum. OR 3,125 ( 95% CI = 1,145 – 8,530) sehingga dapat dilihat ibu bersalin
dengan jarak persalinan < 2 tahun mempunyai peluang mengalami haemoragic post
partum 3 X dibandingkan dengan jarak persalinan > 2 tahun.
Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan. Institusi pendidikan sudah cukup intensif dalam
membimbing pembuatan laporan hasil penelitian ini, mahasiswa sudah lebih
paham dan mengerti dengan apa yang diteliti. Selain itu kesabaran dosen
pembimbing dalam pembuatan laporan hasil penelitian ini sangat dirasakan
mahasiswa sehingga mahasiswa semangat dalam pembuatan laporan hasil
penelitian. Untuk diharapkan agar dipertahankan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan. Melihat angka kejadian haemoragic post partum yang
cukup tinggi, ini harus menjadi perhatian khusus untuk para tenaga kesehatan
agar dapat memberikan penyuluhan kepada wanita usia reproduksi, khususnya
mengenai faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya haemoragic post
partum pada saat bersalin, memberikan panatalaksanaan sebaik dan secepat
mungkin untuk mengurangi terjadinya perdarahan pada saat persalinan.
3. Bagi Mahasiswi. Agar meningkatkan pengetahuan mengenai haemoragic post
partum pada ibu bersalin, sehingga bagi para mahasiswi akan lebih siap secara
mental, praktik dan psikologis untuk menghadapi jika terjadi haemoragic post
partum pada ibu bersalin.
Daftar Pustaka
Jurnal Ilmiah Kesehatan Delima, Vol 3 No. 1, Januari 2019 118