Anda di halaman 1dari 12

Tugas

MAKALAH
“Asas Ultimum Remedium”

Oleh :

Siti Haliza Cahyani Syamel Nanda Mayada Akmasari


Nurfadillah Ali Muhammad Igro Nur
Rima Alex Massi Dandi Efendy Ranto
Andi Sitti Azizah Tibrisi Dahlia Ratna Sari
Andini ayu Sri M. Khiqmatul Khoiriyah
Abizar Al Chifari Prisca Oktavia
Syifa Sabrina Suyono Andi Muh. Haidir Ali S.

Kelompok 3

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Asas Ultimum Remedium " dengan tepat
waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hukum Pidana Khusus . Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran
Sejarah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 29 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Makna Asas Ultimum Remedium sebagai Sifat Hukum Pidana.............................................3
B. Kedudukan Sanksi Ultimum Remedium Dibanding Sanksi Lainnya.....................................5
C. Pasal yang Mengatur Asas Ultimum Remedium......................................................................6
BAB III.................................................................................................................................................8
PENUTUP............................................................................................................................................8
A. Kesimpulan..............................................................................................................................8
B. Saran.........................................................................................................................................8
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana
Indonesia. Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum
pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir
dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat
diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum
administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu di lalui. Sifat sanksi pidana sebagai
senjata pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau
sanksi administrasi memiliki sanksi yang keras. Salah satu yang membedakan hukum pidana
dari hukum lainnya, baik hukum publik maupun hukum privat ialah soal sanksi.
Sanksi pidana dapat berupa penjara dan kurungan yang membuat terpidana harus
tersaing dan terpisah dari keluarga dan masyarakat. Sanksi yang paling kejam adalah
hukuman mati membuat terpidana terpisah dari kehidupannya.Ultimum remedium tidak
diatur sama sekali dalam KUHP, sehingga asas ini menjadi sangat luas tafsirnya dan sangat
fleksibel dalam penggunaannya. Pertimbangan hukum hakim menjadi penting dalam
penerapan asas ini untuk di pengadilan, jika diberikan lebih sanksi atau sanksi lainnya yang
relevan dalam tindak pidana yang dilakukan di muka pengadilan.
Sebagai sebuah sanksi, maka sanksi harus ditempatkan pada posisi yang paling terakhir
bukan di depan, karena sifat sanksi yang keras, dan memberikan efek yang berbeda untuk
setiap orang. Hal ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa
sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan
sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini merupakan kecenderungan untuk
menghasilkan efek kriminal. Jadi, dari sini ketahui kita bahwa ultimum remedium
merupakan istilah yang menggambarkan suatu sifat sanksi pidana. Demikian juga dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa sebagai alat terakhir dalam
menjatuhkan sanksi pidana, karena itu harus dicari sanksi-sanksi lain bagi Anda.

1
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana makana dari Asas Ultimum Remedium?
2. Bagaimana dengan sanksi pidana sebagai Ultimatum Remedium jika dibandingkan
dengan sanksi Perdata atau sanksi administrasi memiliki sanksi yang keras?
3. Dimana dan pasal berapa di aturnya Asas Ultimum Remedium?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui azaz ultimatum remedium
2. Untuk mengetahui sanksi pidana sebagai ultimatum remedium dan dibandingkan
dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi yang memiliki sanksi keras
3. untuk memahami pada pasal berapakah di atur asas ultimum remedium.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Asas Ultimum Remedium sebagai Sifat Hukum Pidana


Pada dasarnya, Ultimum Remedium memiliki pengertian bahwa hukum pidana
hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.Menurut para ahli,
Faure, Oudijk, dan Schaffmeister (1994) menyatakan bahwa hukum pidana hanya diterapkan
kepada seseorang yang melanggar hukum dengan tingkatan yang tergolong berat. Sanksi
pidana atas pelanggaran yang dilakukan merupakan sanksi yang lebih berat dibandingkan
dengan jenis sanksi lainnya. Maka dari itu, sanksi pidana hendaknya dapat diterapkan apabila
jenis sanksi lainnya sudah tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan dari pelanggaran
hukum yang dilakukan.
Beberapa ahli di bidang hukum pidana berpendapat hukum pidana merupakan
ultimum remedium. Artinya, hukum pidana menjadi jalan terakhir dan tidak boleh digunakan
pada tahapan awal penegakan hukum (Elgar, 2004).
Kemudian, Faure, Oudijk, dan Schaffmeister (1994) mengemukakan bahwa hukum
pidana hanya diterapkan kepada seseorang yang melanggar hukum dengan tingkatan berat.
Sanksi pidana atas pelanggaran yang dilakukan tersebut lebih berat daripada jenis sanksi
lainnya. Oleh karena itu, sanksi hukum pidana sebaiknya diterapkan jika jenis sanksi lainnya
tidak mampu menyelesaikan permasalahan pelanggaran hukum.
Bemmelen (1984) menyatakan pidana dan proses pemidaan harus dipandang tidak
hanya sebagai sarana untuk perbaikan pelanggaran hukum yang dilakukan. Hukum pidana
dianggap sebagai sarana untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Oleh karena itu,
penggunaan hukum pidana harus dijadikan sarana terakhir (ultimum remedium) dan harus
dibatasi penggunaannya.
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, tidak terdapat definisi
ultimum remedium secara eksplisit. Namun demikian, di Indonesia, penerapan asas ultimum
remedium sudah muncul sejak era reformasi pajak jilid pertama pada 1983 dengan
penyampaian secara implisit.
Satochid Kartanegara mengartikan hukum pidana adalah keseluruhan aturan dari
hukum positif yang berisi larangan atau kewajiban yang diatur oleh negara atau pejabat yang
berwenang untuk menentukan aturan pidana, larangan atau kewajiban tersebut disertai
dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar. Oleh karena itu, hukum pidana bukanlah
suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, tetapi sebagai hukum yang memberi

3
sanksi untuk menegaskan dan menguat agar aturan yang terdapat dalam perundang-undangan
lain ditaati.
Pemberian sanksi terjadi karena adanya suatu kebutuhan dari masyarakat atas
kejahatan atau pelanggaran yang terjadi. Sanksi tersebut dibutuhkan agar terciptanya
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Sampai saat ini, sanksi yang dianggap paling
mutakhir untuk menciptakan rasa takut dan menanggulangi kejahatan dalam masyarakat
adalah sanksi pidana. Fenomena ini terlihat dengan diaturnya ketentuan pidana di dalam
berbagai peraturan perundang-undangan seperti di dalam undang-undang dan peraturan
daerah, meskipun dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan bahwa ketentuan pidana diatur jika memang diperlukan.
Penetapan sanksi dalam suatu aturan pidana bukan hanya sekedar teknis, tetapi
merupakan suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari substansi atau materi perundang-
undangan, sehingga harus dipahami secara komprehensif. Hukum pidana mengenal asas
ultimum remedium sebagai sifat hukum pidana. Asas ultimum remedium berarti sarana
terakhir atau obat terakhir atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. 4
Dengan kata lain, bahwa pemberian sanksi pidana tersebut jangan menjadi obat yang lebih
jahat dari suatu penyakit.
Hal ini berarti suatu perbuatan yang seharusnya bukan suatu tindak pidana, maka
tidak dapat diberikan sanksi pidana. Oleh karena itu, dalam menentukan pemberian sanksi
pidana dalam suatu aturan harus memperhatikan ketiga unsur tujuan hukum berupa kepastian
hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Sifat hukum pidana ini juga bertujuan untuk menghindari over criminalization bahwa
pidana sebagai alat termuktahir yang dimiliki oleh negara untuk menanggulangi kejahatan,
tetapi juga hukum pidana tersebut dapat diikuti oleh bentuk sanksi lainnya. Adapun faktor
yang harus dipertimbangkan agar tetap menjaga asas ultimum remedium sebagai sifat dari
hukum pidana antara lain:
 Tidak menggunakan hukum pidana dengan emosional.
 idak menggunakan hukum pidana jika korban atau kerugian belum jelas.
 Tidak menggunakan hukum pidana apabila biaya pemidanaan lebih besar dari
kerugian atas tindak pidana yang dilakukan
 Tidak menggunakan hukum pidana apabila pemberian pidana dikira belum dapat
efektif.
 Hukum pidana harus diikuti dengan sarana pencegahan.

4
Hukum pidana merupakan “hukum paksa istimewa” karena hukuman pada hukum
administrasi tidaklah setegas atau sekejam hukum pidana. Oleh sebab itu, hukum pidana
disebut sebagai hukum yang ultimum remedium, yakni sebagai senjata pamungkas yang
dituangkan secara konkret dalam Pasal 10 KUHP.

B. Kedudukan Sanksi Ultimum Remedium Dibanding Sanksi Lainnya


Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana
Indonesia. Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum
pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir
dalam hal penegakan hukum. Sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum
remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi memiliki sanksi
yang keras. Sebagai sebuah sanksi, maka sanksi pidana harus ditempatkan pada posisi yang
paling terakhir bukan di depan, karena sifat sanksi pidana yang keras, dan memberikan
implikasi yang berbeda untuk setiap orang.
Hal ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa sifat
sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan
sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini sudah menimbulkan kecenderungan untuk
menghemat dalam mengadakan sanksi pidana. Jadi, dari sini kita ketahui bahwa ultimum
remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu sifat sanksi pidana. Demikian juga
dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa sebagai alat terakhir dalam
menjatuhkan sanksi pidana, karena itu harus dicari sanksi-sanksi lain bagi terdakwa. Dalam
hukum pidana dikenal sebuah asas yang sangat populer dikalangan hakim yaitu in dubio pro
reo (dalam hal keragu-raguan hakim harus memutuskan sedemikian hingga menguntungkan
terdakwa). Selain itu asas lain yang memiliki keterkaitan dengan asas ultimum remedium
adalah res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar). Asas-
asas ini penerapannya ada di area pengadilan, dan hakimlah yang menentukannya.
Hal yang sama, juga dikemukakan oleh Topo Santoso yang mengatakan bawah salah
satu yang membedakan hukum pidana dari hukum lainnya, baik hukum publik maupun
hukum privat ialah soal sanksi. Sanksi pidana dapat berupa penjara dan kurungan yang
membuat terpidana harus tersaing dan terpisah dari keluarga dan masyarakat. Sanksi yang
paling kejam adalah hukuman mati membuat terpidana terpisah dari kehidupannya.

5
C. Pasal yang Mengatur Asas Ultimum Remedium
Di Indonesia, penerapan asas ultimum remedium sudah muncul sejak era reformasi
pajak jilid pertama pada 1983 dengan penyampaian secara implisit.
Asas ultimum remedium tersebut tercermin dari rumusan Pasal 8 ayat (3) UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dengan pasal
tersebut, wajib pajak berhak menghentikan berlanjutnya proses pemeriksaan ke tahap
penyidikan setelah mengakui kesalahan dan melunasi kekurangan pajak berikut denda
administrasinya.
Sementara itu, berdasarkan pada hukum positif yang berlaku, asas ultimum remedium
tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 44B ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007. Pasal a
quo mengatur atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan tindak pidana perpajakan. Penghentian penyidikan tersebut dapat dilakukan
sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam Hukum Perpajakan Dalam kebijakan yang mengatur mengenai Undang-
Undang (UU) perpajakan di Indonesia, definisi dari Ultimum Remedium sendiri tidak
dijelaskan secara eksplisit, Namun, penerapan atas asas Ultimum Remedium di Indonesia
telah muncul sejak masa reformasi pajak jilid pertama pada 1983 dan disampaikan secara
implisit.
Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), pada Pasal 8 ayat (3) tercermin bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk
dapat menghentikan keberlanjutan proses pemeriksaan menjadi tahap penyidikan setelah
Wajib Pajak mengakui kesalahan yang diperbuat dan melunasi kekurangan pajak sesuai
denda administrasinya.
Dan berdasarkan dengan Undang-Undang KUP Pasal 8 ayat (4) juga dijelaskan ketentuan
bahwa meskipun Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang telah melakukan pemeriksaan,
dengan syarat bahwa Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak,
maka dengan kesadarannya sendiri, Wajib Pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian dalam Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebelumnya sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya, dan dapat juga mengakibatkan:

1. Pajak-pajak yang masih harus dibayarkan, jumlahnya menjadi lebih besar atau lebih
kecil
2. Kerugian berdasarkan dengan ketentuan perpajakan menjadi lebih besar atau kecil
3. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil
4. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.

6
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan diatur beberapa
ketentuan pidana di Bab XVI yang berjudul Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif,
mulai dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 190. Pasal 183-185 telah ditentukan sebagai tindak
pidana kejahatan, sementara itu Pasal 186-188 dikategorikan sebagai tindak pidana
pelanggaran. Sementara itu Pasal 189 telah menegaskan bahwa meskipun sanksi pidana telah
dijatuhkan kepada pengusaha oleh pengadilan, maka tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha untuk membayar hak-hak dan/ataj kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.

UUPPLH (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup )


memperhatikan penggunaan asas ultimum remedium dalam rumusan pasalnya, yaitu terdapat
dalam Pasal 100, yang berbunyi:

1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila
sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, Hukum pidana juga mengenal asas ultimum remedium sebagai
sifat hukum pidana. remedium ialah jalan terakhir dalam melakukan penegakan hukum.
Sanksi pidana diberikan hanya jika sarana atau instrumen penegakan hukum lainnya tidak
lagi berfungsi. Meskipun menjadi upaya terakhir, hukum pidana memiliki peran penting
dalam mendukung penegakan hukum administrasi. Namun agar tidak salah dalam memahami
asas ultimum remedium, maka penerapan asas ultimum remedium ada dalam ranah peradilan
dan bukan ranah penyidikan. Hakimlah yang akan mempertimbangkan sanksi yang tepat bagi
terdakwa yang diduga melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang -
Undang Ketenagakerjaan.

B. Saran

8
Daftar Pustaka

NUGRAHA, Made Satria Wibawa; PUTRAWAN, Suatra. PEMBERIAN SANKSI PIDANA SEBAGAI ULTIMUM

REMEDIUM DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

HIDUP. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], p. 1-11, mar. 2018. ISSN 2303-0550. Available

at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/38661>. 

https://business-law.binus.ac.id/2020/12/23/ultimum-remedium-dalam-tindak-pidana-
ketenagakerjaan/

https://www.ui.ac.id/ultimum-remedium-antara-prinsip-moral-dan-prinsip-hukum/

https://atpetsi.or.id/apa-itu-asas-ultimum-remedium

https://www.pajakku.com/read/60efe15358d6727b1651ad6a/Asas-Ultimum-Remedium-
dalam-Perpajakan

Anda mungkin juga menyukai