Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA (POGING)


Dosen Pengampu : Lalu Saipudin, SH. MH

Disusun Oleh
Laela Azmi Putri (D1A021180)

HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022
KATA PENGANTAR
Puji sukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga saya dapat
menyelsaikan tugas makalah mata kuliah “Hukum Pidana”. Kemudian shalawat serta salam
saya sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW. yang telah mengajarkan pedoman hidup
yakni Al-Quran dan As Sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana di program studi
Ilmu Hukum yang dimana diberikan sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS). Selanjutnya
saya mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah
Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama proses perkuliahan
mata kuliah ini.

Akhinya saya menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka
dari itu saya harapkan kritik dan saran demi perbaikan perbaikan selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Mataram, 14 Juni 2022

Laela Azmi Putri


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................5
C. Tinjauan Pustaka...........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................6
A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana.........................................................................................6
B. Niat/Kehendak (Voornement).......................................................................................................8
C. Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering).........................................................................9
D. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Disebabkan Kehendak Pelaku..........................................10
E. Kejadian yang Mirip dengan Percobaan...................................................................................11
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................12
A. Kesimpulan..................................................................................................................................12
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya keberadaan Hukum Pidana berfokus pada pengaturan tentang masalah-
masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Hadirnya hukum pidana di tengah
masyarakat sebagai sarana masyarakat dalam membasmi kejahatan. Maka dari itu, pengaturan
pidana berkisar pada perbuatan apa saja yang dilarang atau diwajibkan kepada warga negara
yang terkait dengan perbuatan kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
penipuan, dan lain sebagainya.1

Dalam perkembangannya, Hukum Pidana tidak hanya mengatur tentang kejahatan, tetapi
meluas kepada apa yang kemudian disebut dengan pelanggaran. Selain itu, Hukum Pidana juga
memberi ancaman pidana atas perbuatan tertentu yang baru dimulai melaksanakan niat jahat
untuk membahayakan orang atau obyek hukum agar si pembuat pidana dapat dituntut sekalipun
belum sempat menyelesaikan perbuatannya sebagai perbuatan pidana yang tidak selesai.
Percobaan yang belum atau tidak selesai itu disebut dengan “Percobaan (poging)”

Dalam kaitannya dengan “Percobaan”. KUHP yang berlaku pada saat ini, yang dapat
dipindana adalah hanya mereka yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan. Dengan kata
lain, mencoba melakukan jenis delik pelanggaran tindak pidana. Sering Juga disebut – sebut
dalam kepustakaan Hukum Pidana, bahwa salah satu manfaat pembedaan antara jenis delik
kejahatan dan delik kejahatan yang dipidana sedangkan mencoba jenis delik pelanggaran tidak
dapat dipidana, kecuali ketentuan ketentuan pidana khusus. Dalam uraian tulisan ini, dengan
mengantisipasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang akan datang, diberi judul
percobaan melakukan tindak pidana dan bukan percobaan melakukan kejahatan. Karena dalam
rancangan undang undang Hukum Pidana yang pada saat tulisan ini dibuat tidak lagi
membedakan antara jenis delik kejahatan dan jenis delik pelanggaran. Sehingga tidak lagi
dipisahkan antara mencoba kejahatan dan mencoba pelanggaran. Yang ada hanya mencoba
melakukan tindak pidana.2

Hal demikian telah terwujud dalam hukum positif di indonesia. Sebagai contoh adalah dapat
ditindaknya mereka yang melakukan percobaan pelanggaran ekonomi seperti yang termuat dalam Undang
1
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Peengantar, cet ke-1, (Bandung: Rafika Aditama, 2011), hlm1-2.
2
Nikmah Rosidah, percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak pidana, Cet ke-1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019),
hlm 1.
Undang Hukum Pidana Ekonomi. Pembeda antara Kejahatan Ekonomi dan Pelanggaran ditentukan
apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Dianggap sebagai
Kejahatan Ekonomi apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja. Dan dianggap sebagai
pelanggaran Ekonomi apabila perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku.

Dalam hukum pidana, “percobaan” merupakan suatu pengertian Teknik yang banyaj segi atau
aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal
percobaan, maka sudah tetap bahwa tujuannya adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada,
dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.3

B. Rumusan Masalah

1) Apakah pengertian dari peercobaan tindak pidana dan apakah yang menjadi dasar teori
dapat dipidananya perbuatan percobaan?
2) Bagaimana syarat-syarat untuk dapat dipidananya percobaan menurut KUHP?

C. Tinjauan Pustaka
Sesuai dengan judul makalah ini yaitu: “percobaan melakukan tindak pidana” maka
dalam memecahkan persoalan yang timbul dalam makalah ini penulis menggunakan buku-buku
yang relevan sebagai panduan pendukung yaitu buku-buku yang terdapat pembahasan tentang
percobaan (pogging): Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia oleh Wirjono Prodjodikoro dan
Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar pleh Erdianto Effendi.

Adapun Penulis menyelesaikan makalah ini denagn Pustaka yang beberapa buku-buku
serta jurnal terdahulu, Adapun buku serta jurnal yang mendukung dengan kajian yang dianalisis
adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Astri C. Montolalu (2009). Judul dari jurnal ini adalah
“tindak pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana” Tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar teori dari dapat
dipidananya perbuatan percobaan dan bagaimana syarat-syarat untuk dapat dipidananya
percobaan menurut KUH Pidana, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum
normatif yang menjelaskan dan mensistematiskan norma-norma hukum berkenaan
dengan delik percobaan dalam KUHPidana.

3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, cet ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm 106
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana
Wirjono Prodjodikoro merumuskan bahwa4, pada umumnya kata percobaan atau poging
berarti suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Munurut Jan Remmelink,
dalam Bahasa sehari-hari, percobaan diartikan sebagai upaya dalam mencapai tujuan tertentu
tanpa (keberhasilan) mewujudkannya. “upaya tanpa keberhasilan”, demikian dirumuskan oleh
Pompe, guru besar dari Utrecht. Percobaan melakukan kejahatan dapat digambarkan sebagai
suatu Tindakan yang diikhtiarkan untuk mewujudkan apa yang oleh dikatakan undang undang
dikategorikan sebagai kejahatan, namun Tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan
yang semula hendak dicapai. Syarat bagi percobaan yang dapat dikenai pidana, seperti yang
dituntut oleh undang-undang, adalah bahwa ikhtiar pelaku harus sudah terwujud melalui
(rangkaian) Tindakan permulaan dan bahwa tidak terwujudnya akibat dari Tindakan tersebut
berada di luar kehendak si pelaku.

dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teoriteori tentang dasar dapat dipidananya
percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan dapat dibedakan
atas teori percobaan yang obyektif dan teori percobaan yang subyektif.

Pendukung teori percobaan obyektif antara lain D. Simons, sedangkan pendukung teori
percobaan yang subyektif antara lain G.A. van Hamel. Mengenai kedua teori ini dikemukakan
oleh J.E. Jonkers bahwa, “ajaran yang subyektif menitikberatkan pada subyek, yaitu maksud
perseorangan (individu), ajaran obyektif mementingkan obyek yaitu perbuatan yang dilakukan
oleh si pembuat.”5

Menurut teori percobaan obyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah
bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan itu
belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan.
Sedangkan Menurut teori percobaan subyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana
adalah watak yang berbahaya dari si pelaku. Jadi, teori ini melihat pada orangnya, yaitu si

4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, cet ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm 106
5
Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hal 158.
pelaku, di mana yang diperhatikan adakah watak dari si pelaku, yang dengan mencoba melakukan
kejahatan telah menunjukkan wataknya yang berbahaya.

Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V
pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:

Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.

Kedua pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan
“percobaan”. Pengertian ini dianggap sudah terang di antara para penguasa. Hanya disebutkan
syarat-syarat untuk mengenakan hukuman pidana juga terhadap percobaan tindak pidana. 6 Dalam
doktrin dan yurisprudensi telah dirinciankan tentang percobaan tindak pidana antara:

1. Percobaan yang sarana atau alatnya tidak mampu, yang terdiri atas:
a) Alat/sarana yang absolut tidak mampu. Contohnya, “dalam percobaan
pembunuhan dengan racun, bubuk gula dapat dianggap sarana tidak mampu
sempurna (absolut) untuk mencapai maksud dan tujuan”. Dalam contoh ini,
seorang yang hendak meracun orang lain tapi keliru memberikan gula, maka gula
itu merupakan alat/sarana yang absolut tidak mampu.
b) Alat/sarana yang relatif tidak mampu. Contohnya, rencana pembunuhan dengan
racun tapi kadar racun yang diberikan terlalu kecil.
2. Percobaan yang obyeknya tidak mampu, yang terdiri atas:

6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, cet ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm 107
a) Obyek yang absolut tidak mampu. Contohnya, yaitu “satu serangan untuk
membunuh yang ditujukan pada jenazah”. 8 Dalam hal ini seseorang telah
menyerang untuk membunuh orang lain, tapi ternyata orang yang diserang telah
lebih dahulu mati.
b) Obyek yang relatif tidak mampu. Contohnya meracun seseorang, tapi orang itu
tidak mati karena memiliki daya tahan terhadap racun yang lebih tinggi dari orang
lain pada umumnya.

Dari rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHPidana tersebut tampak bahwa syarat-syarat untuk dapat
dipidananya percobaan tindak pidana kejahatan, yaitu:7
1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan;
2. Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan itu tidak selesai;

B. Niat/Kehendak (Voornement)
Seperti yang telah dikemukakan pada pasal 53 KUHP tentang penentuan syarat untuk
menjatuhkan hukuman pidana pada percobaan tindak pidana. Syarat yang pertama adalah
niat/kehendak (voornement) melakukan tindak pidana.
Wirjono Prodjodikoro pernah mengemukakan8 bahwa di mana oleh ketentuan hukum pidana
harus ada unsur “kesengajaan” atau opzet bagi suatu tindak pidana , maka kesengajaan ini dapat
berupa tiga macam yaitu:
a) Di mana ada tujuan (oogmerk) untuk mencapai sesuatu
b) Di mana tidak ada tujuan, namun dalam gagasan si pelaku ada kepastian bahwa
suesuatu itu akan terjadi
c) Di mana dalam gagasan si pelaku hanya ada kemungkinan akan terjadi sesuatu itu.
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah
sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf
kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D.
Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.

Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau
maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk
mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu
7
Astir C. Montolalu, Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Hukum Pidana
Indonesia, Vol. V/ No. 2, 2016, hlm 77
8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, cet ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm 108
mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang
cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-
reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai
maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan
kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).9

Dari apa yang telak dikemukakan oleh para sarjana, maka dapat disimpulkan bahwa
pembicaraan tentang niat dalam percobaan melakukan tindak pidana adalah tentang suatu
kesengajaan bukan berhubungan dengan kelalaian. Dalam kelalaian, dapat dikatakan bahwa
pelaku tidak memperhitungkan atau tidak menginginkan terjadinya suatu tindak pidana.

C. Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering)


Tidak seorangpun mengetahui niat orang lain. Apabila niat tersebut tidak diucapkan atau
dengan perkataan lain niat seseorang akan diketahui oleh orang lain apabila orang yang
mempunyai niat itu mengutarakan niatnya. Satu satunya cara untuk mengetahui niat seseorang
adalah dengan cara melihat dan mengamati tanda-tanda tertentu yang dalam hal ini disebut
dengan adanya perbuatan pemulaan.

Oleh sebab itu niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan
pelaksanaan. Dalam pasal 53 KUHP dapat dilihat bahwa antara niat dan permulaan pelaksanaan
dirumuskan dalam satu nafas. “jika niat untuk itu telah terwujud dari adanya permulaan
pelaksanaan” Sehingga menjadi penting artinya permulaan pelaksanaan dalam menentukan
apakah sudah ada percobaan melakukan kejahatan atau belum. Dari mulai seorang mempunyai
niat sampai tujuan perbuatan yang dikehendaki biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.

Penganut teori percobaan obyektif dan teori percobaan subyektif memiliki perbedaan
pendapat tentang apakah pelaksanaan itu merupakan pelaksanaan niat atau pelaksanaan
kejahatan. Menurut penganut teori percobaan obyektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1) KUHPidana adalah pelaksanaan kejahatan, sedangkan menurut penganut teori
percobaan subyektif, pelaksanaan yang dimaksudkan di situ adalah pelaksanaan niat.

9
T. Santoso dan HN Wahid, menggagas hukum pidana islam : penerapan Syariah islam dalam konteks modernitas,
Asy-Syaamil Press & Grafika, 2000, hlm 153.
Dalam pemenuhan unsur subyektif dan obyektif, satu perbuatan saja tidak dapat membuat
orang dihukum kecuali ada kesalahan dalam pikirannya, dan sebaliknya, pikiran yang jahat saja
tidak dapat menyebabkan seseorang dihukum tanpa adanaya perbuatan permulaan yang tampak.
Karena itulan, unsur keduanya harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan
tindak pidana percobaan, berdasarkan pasal 53 KUHP unsur niat yang ad aitu harus diwujudkan
dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).

D. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Disebabkan Kehendak Pelaku


Dalam hal ini ‘tidak’ merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah
berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu
bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh suatu hal yang timbul dari
dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak
terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan
dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.

E. Y. Kanter dan S.R Sianturi10 mengatakan bahwa, yang tidak selesai itu adalah kejahatan,
kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, atau tidak sempurna
menurut unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusnya. Dengan kata lain, niat petindak (pelaku)
untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti
sebelum sempurna terjadi kejahatan itu.

Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief11 tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang
dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang
sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian
ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak
meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena
akan adanya penghalang fisik.

10
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM,
Jakarta, 1982, hlm 324
11
Barda Nawawi Arief, sari kuliah hukum pidana II, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 1984, hlm 15
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui
oleh orang lain
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaankeadaan khusus
pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang
tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat
walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.

Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan menjadi 2
yaitu:
1) Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan pebuatan
pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan
2) Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan,
tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.

E. Kejadian yang Mirip dengan Percobaan


Dimana salah satu unsur dari kejahatan tertentu itu kurang atau seharusnya tidak mungkin ada
atau tidak mungkin terjadi. Dalam Bahasa Asing disebut dengan istilah Mangel am Tatbestand.
Contohnya antara lain:
a) Menggugurkan kandungan seorang wanita, di mana wanita itu tidak pernah hamil;
b) Seorang istri yang tunduk pada Hukum Perdata Barat melakukan perkawinan dengan pria
lainnya, padahal suami pertamanya sudah tiga tahun yang lalu meninggal dunia di luar
negeri;
c) Anang mencuri suatu benda, tetapi ternyata benda tersebut menurut testament (surat
wasiat) dari pemiliknya yang sudah meninggal dunia sebelum pencurian itu terjadi, akan
diwariskan kepada Anang Itu.12

12
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM,
Jakarta, 1982, hlm 331.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dipelajari tentang apa itu Percobaan atau Poging, maka dapat kita simpulkan bahwa
poging atau percobaan ialah mencoba melakukan suatu kejahatan atau perbuatan yang dilarang oleh
UU, poging diatur dalam pasal 53 KUHP dan hukuman dari poging itu sendiri adalah sepertiga dari
pidana pokok. poging itu sendiri harus mempunyai syarat-syarat yaitu :

- Niat, artinya suatu perbutan yang dilakukan berdasarkan niatnya (kemauan) untuk


melakukan sutu perbuatan tertentu.
- Permulaan pelaksanaan, Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan, dalam arti bahwa
maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan
kejahatan yang ia kehendaki.
- Tidak selesainya pelaksanaan, maksudnya adalah bahwa tidak selesainya pelaksanaan
bukan karena semata-mata dari kemauannya sendiri, tetapi karena pelaksanaan tsb
digagalkan oleh orang lain.

B. Saran
Dalam KUHPidana Nasional mendatang perlu dipertahankan teori percobaan obyektif sebab
teori ini lebih memberikan kepastian hukum yaitu harus adanya perbuatan yang membahayakan
kepentingan hukum.

Dalam penyusunan KUHPidana Nasional mendatang, syarat “tidak selesainya pelaksanaan


itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”, tidak perlu dicantumkan
sebagai syarat percobaan, melainkan dipindahkan menjadi alasan penghapus pidana.
Daftar Pustaka
Effendi Erdianto. 2011. Hukum Pidana suatu Pengantar . Bandung. Refika Aditama.

Kanter daan Sianturi. 1982. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta.
Alumni AHM-PTHM.

Montolalu Astir. 2016. Tindak pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana. Vol.V/No.2.

Nawawi Barda. 1984. Kuliah hukum pidana II. Semarang. Badan Penyedia Bahan Kuliah
Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro.

Prodjodikoro Wirjono. 2003. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung. Refika Aditama.

Rosidah Nikmah. 2019. Penyertaan, dan gabungan tindak pidana. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Santoso dan Wahid. 2000. Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan Syariah islam dalam
konteks modernitas. Asy-syaril Press Grafika.

Tim Penerjemah BPHN. 1963. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai