Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

“PERILAKU KEKERASAN”

DI SUSUN OLEH :

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 3 :

1. NI WAYAN DEWI ADRIANI (P07120120076)


2. LULUK DWI RAHMAYANTI (P07120120068)
3. IVHA ELMIRA PEBRIANA (P07120120066)
4. PRISDA NUR SHABRINA (P07120120082)
5. ADELLIA YULIANA MAHARANI (P07120120047)
6. RISKA OKTAVIA (P07120120085)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D III KEPERAWATAN
MATARAM
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

A. Konsep Dasar Prilaku Kekerasan


1. Definisi prilaku kekerasan
Menurut Kusumawati dan hartono (2010), prilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik pada diri sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yang tidak terkontrol (Herman, 2011: 131). Menurut Stuart dan Laraia
(2005), prilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman
secara fisik atau konsep diri. Perasaan terancam ini dapat berasal dari stressor
eksternal (penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain)
dan internal perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih
sayang dan ketakutan penyakit fisik (Kemenkes RI, 2012: 176).
Prilaku kekerasan merupakan: 1) respon emosi yang timbul sebagai reaksi
terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman
(diejek/dihina), 2) ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan
(kecewa keinginan tidak tercapai, tidak puas), 3) prilaku kekerasan dapat dilakukan
secara verbal diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Kemenkes RI,
2012: 176). Prilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku yang bertujuan untuk
melukai secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka prilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Prilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung prilaku kekerasan atau riwayat prilaku kekerasan (Dermawan, 2013:
94). Prilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak
sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan atau mencederai diri sendiri, orang lain bahkan merusak
lingkungan (Prabowo, 2014: 141).

2. Rentang Respons Marah


Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan atau menentang. Respon melawan dan
menentang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif- kekerasan. Prilaku
yang ditampakkan mulai dari yang rendah sampai tinggi. Umumnya klien dengan
prilaku kekerasan dibawa dengan paksa kerumah sakit jiwa, sering tampak diikat
secara tidak manusiawi disertai dengan bentakan dan pengawalan oleh sejumlah
anggota keluarga bahkan polisi. Prilaku kekerasan seperti memukul anggota
keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan
alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga (Muhith, 2015: 148).
Respon adaptif Respon maladaptive

Asertife frustasi pasif agresif kemarahan


Gambar 2.1: Rentang Respon Marah dalam Muhith, 2015: 148
a. Respon adaptif
1) Pernyataan (asertif)
Prilaku asertif merupakan prilaku individu yang mampu menyatakan
atau mengungkapkan rasa marah untuk tidak setuju tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain sehingga prilaku ini dapat
menimbulkan kelegaan pada individu (Dermawan, 2013: 94).
Menurut Keliat (1996 dalam Muhith 2015: 149), Karakter asertif
sebagai berikut:
a) Moto dan kepercayaan
Bahwa diri sendiri berharga demikian juga orang lain. Asertif
bukan berarti selalu menang, malainkan dapat menangani
situasi secara efektif. Aku punya hak, demikiian juga orang lain.
b) Pola komunikasi
Pendengaran yang aktif, menetapkan batasan dan harapan.
Mengatakan pendapat sebagai hasil observasi bukan penilaian.
Mengungkapkan diri secara langsung dan jujur, memperhatikan
perasaan orang lain.
c) Karakteristik
Tidak menghakimi, mengamati sikap dari pada menilainya.
Mempercayai diri sendi maupu orang lain, percaya diri, memiliki
kesadaran sendiri, terbuka, fleksibel, dan akomodasi. Selera
humor yang baik, proaktif dan inisiatif, berorientasi pada
tindakan, reealistis dengan cita-cita, konsisten, melakukan
tindakan yang sesuai untuk mencapai tujuan tanpa melanggar
hak-hak orang lain.
d) Isyarat bahasa tubuh
Terbuka dan gerak- gerik alami, ekspresi wajah yang menarik,
volume suara yang sesuai dan kecepatan bicara yang beragam.
e) Pemecahan masalah
Bernegosiasi, menawar, menukar dan kompromi, memfrontasi
masalah pada saat terjadi, tidak ada perasaan negatif yang
muncul.
f) Perasaan yang dimiliki
Antusiasme, percaya diri, terus termotivasi, tahu dimana mereka
berdiri.
Prilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya
sehingga rasa marah tidak terugkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan
rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan
destruktif yang ditujukan pada diri sendiri (Dermawan, 2013: 95).
2) Prilaku frustasi
Respon yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan,
kepuasan, atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut
individu tidak menemukan alternative lain (Prabowo, 2014: 142).
Respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan,
Frustasi dapat dialami sebagai suatu abcaman dan kecemasan. Akibat
dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan (Muhith 2015:
151).
b. Respon maladaptive
1) Pasif
Suatu prilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan
perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan
menghindari suatu ancaman nyata (Dermawan, 2013: 95). Respon
dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami, sikap tidak berani mengungkapkan keinginan dan pendapat
sendiri, tidak ingin terjadi konflik karena takut tidak disukai atau
menyakitiperasaan orang lain (Muhith 2015: 151).
2) Agresif
Prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu
untuk menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk
destruktif tapi hasil terkontrol (Prabowo, 2014: 142). Sikap agresif
adalah membela diri sendiri dengan melanggar hak orang lain. Agresif
memperlihatkan permusuahan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih bisa mengontrol prilaku untuk tidak melukai
orang lain (Muhith, 2015: 152).
3) Kemarahan / kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang control,
dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Prabowo, 2014: 142). Prilaku kekerasan ditandai dengan
menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata- kata
ancaman. Klien tidak mampu mengendalikan diri. Mengamuk adalah
rasa marah dan bermusuh yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Pada keadaan ini, individu maupu melukai dirinya sediri dan orang
lain (Muhith, 2015: 152).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat
menimbulkaan kemaraan yang mengarah pada prilaku kekerasan.
Respon perasaan marah dapat diekspresikan secara eksternal (prilaku
kekerasan) ataupun internal (depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan prilaku konstruktif menggunakan
kata- kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang
lain, akan memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan
sehingga perasaan marah dapat teratasi. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan prilaku kekerasan biasanya dilakukan individu
kerana ia merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah
bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan
(Dermawan, 2013: 94).

3. Faktor Predisposisi Prilaku Kekerasan


Faktor Predisposisi yaitu faktor pengalaman yang dialami tiap orang, artinya
mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi prilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami individu.
a. Faktor psikologis
Menurut Herman (2011: 134), factor psikologis sebagai berikut:
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatann akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
prilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa prilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri prilaku tindak kekerasan
6) Teori pembelajaran, prilaku kekerasan merupakan prilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap prilaku
kekerasan lebih cendrung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologis.
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Prilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat, seperti kesehatan fisik
yang terganggu, hubungan sosial yang terganggu. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berprilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
melalui berprilaku kontruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berprilaku destruktif (Kemenkes RI, 2012: 177). Kegagalan yang dialami
menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa
kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya
atau sanksi penganiayaan (Prabowo, 2014: 142)
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Budaya juga dapat
mempengaruhi prilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.
kontrol masyarakat yang rendah dan kecendrungan menerima prilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
factor predisposisi terjadinya prilaku kekerasan (Herman, 2011: 135).
Norma budaya dapat mempengaruhi individu untuk berespon asertif atau
agresif. Prilaku kekeasan dapat dipelajari secara langsung melalui proses
sosialisasi, merupakan proses meniru dari lingkungan yang menggunakan
prilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah (Kemenkes RI, 2012:
177). Budaya tertutup dan membalas secara diam-diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap prilaku kekerasan akan menciptakan
seolah- olah prilaku kekerasan yang diterima (Prabowo, 2014: 142).
c. Factor biologis
Menurut Herman (2011: 136), ada beberapa yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan prilaku kekerasan, menurut Herman, 2011: 136,
yaitu:
1) Pengaruh neurofisiologi, beragam komponen neurofisiologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistim limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
prilaku bermusuhan dan respon agresif.
2) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epineprin,
norepineprin, dopamine, asetil kolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam memfasilitassi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan
hormon androgen, dan norefineprin serya penurunan serotonin dan
GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor
predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya prilaku agresif
pada seseorang.
3) Pengaruh genetik, menurut penelitian prilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kario tipe XYY, yang
umumnya memiliki oleh peghuni penjara tindak criminal.
4) Gangguan otak, syndrome otak organic berhubungan dengan serebral,
tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), penyakit
esefalitis, epilepsy, terbukti berpengaruh terhadap prilaku kekerasan.
Teori dorongan naluri, menyatakan prilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat. teori psikosomatik adalah pengalaman
marah, artinya akibat dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal
maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah (Dermawan, 2013: 94).

4. Faktor Presipitasi Prilaku Kekerasan


Menurut Herman (2011: 136), secara umum seseorang akan marah jika dirinya
merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis atau ancaman konsep
diri. Faktor pencetus priaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangakan .
b. Interaksi: penghinaan kekerasan, kehilangan orang berarti, konflik, merasa
terancam baik internal dari permasalahn diri klien sendiri mampu eksternal
dari lingkungan.
c. Lingkungan : panas, padat dan bising.
Factor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab prilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab lainnya
(Prabowo, 2014: 143).

5. Proses Tejadinya Prilaku Kekerasan


Menurut Muhith (2015:156), tindakan kekerasan timbul sebagai kombinasi
antar frustasi dan stimulus dari luar sebagai pemicu. Setiap orang memiliki potensi
untuk melakukan tindak kekerasan. Namun pada kenyataannya, ada orang-orang
yang mampu menghindari kekerasan walau balakangan ini semakin banyak orang
yang cendrung berespon agresi. Prilaku kekerasan merupakan respons kemarahan
yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain,
atau lingkungan. Prilaku kekerasan adalah respons marahterhadap adanya stres, rasa
cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respons
marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal dapat
berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal
dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan
melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3)
menantang. Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang
lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia
merasa kuat (Yusuf, dkk, 2015).

6. Tanda dan Gejala Prilaku Kekerasan


Menurut Kemenkes RI (2012: 178), tanda dan gejala prilaku kekerasan sebagai
berikut:
a. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
merah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor berbicara dengan nada
keras, kasar serta ketus.
c. Prilaku
Menyerang orang lain melukai diri sendiri/orang lain, merusak orang lain,
merusak lingkungan, serta amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggua, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dansindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial
Tanda dan gejala prilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan di
dukung dengan hasil observasi
a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata- kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data objektif
1) Wajah merah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatup rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar-mandir
8) Melempar atau memukul benda atau orang lain

7. Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif
dan mengekspresikan marahnya. Menurut Herman (2011: 137), mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi. Prilaku
yang berkaitan dengan prilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan siste saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah,pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urin meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal, tubuh menjadi
kaku disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Prilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahan yaitu dengan prilaku pasif, agresif dan asertif. Prilaku asertif
adalah cara yang terbaik, individu dapat mengekspresikan
rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis
dan dengan prilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak
Prilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik prilaku
untuk menarik perhatian orang lain
d. Prilaku kekerasan
Tindakan kekerasan/amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungannya.

Menurut Prabowo (2014: 144), beberapa mekanisme koping yang dipakai pada
klien marah untuk melindungi diri antara lain :
a. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyaluranya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi: menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang
tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kealam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan. Sehingga, perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan.
Dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement: melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.
Pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar
didinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan
temannya.

8. Penatalaksanaan Prilaku kekerasan


Menurut Prabowo (2014: 145), penatalaksanaan prilaku kekerasan sebagai
berikut:
a. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: clorpromizne HCL yang berguna untuk mengembalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah,
contohnya trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduaanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas,
dan anti agitasi.
b. Terapi okupasi
Terapi pekerjaan seperti membaca koran, bermain catur, kegiatan
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan bagi
dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh
petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan
program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal
masalah keperawatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang
sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga
yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah
prilaku maladaptive (pencegahan primer, menanggulangi prilaku
maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan prilaku maladaptive
ke prilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien
dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal.
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000, menerangkan terapi somatic terapi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah
prilaku yang maladaptive menjadi prilaku adaptif dengan melakukan
tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi
adalah prilaku kekerasan.
e. Terapi kejang listrik
Terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan listrik melalui elektroda yang di etakkan pada pelipis pasien.
Terapi ini awalnya untuk menangani skizorefrenia membutuh 20-30 kali
terapi biasanya dilaksankan adalah setiap 2- 3 hari sekali (seminggu 2
kali).

Pohon Masalah

Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri


sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal)

Effect

Perilaku Kekerasan

Core

Harga Diri Rendah Kronis

Causa

(Sumber : Damaiyanti 2014)


B. Asuhan Keperawatan Jiwa Prilaku Kekerasan
Asuhan keperawatan adalah tindakan mandiri perawat professional melalui kerja
sama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lainnya.
Standar asuha keperawatan terdiri dari lima tahap standar yaitu : 1) pengkajian, 2)
diagnosa, 3) perencanaan, 4) implementasi, 5)evaluasi (Muhith, 2015: 2).
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas klien
1) Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak
dengan klien tentang: nama perawat, nama panggilan, nama pasien,
nama panggilan pasien, tujuan, waktu, tempat
pertemuan, topik yang akan dibicarakan, tanyakan dan catat umur,
jenis kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal masuk, dan nomor
rekam medik.
b. Alasan Masuk
Alasan klien masuk biasanya pasien sering mengungkapkan kalimat yang
bernada ancaman, kata- kata kasar, ungkapan ingin memukul serta
memecahkan perabotan rumah tangga. Pada saat berbicara wajah pasien
terlihat memerah dan tegang, pandangan mata tajam, mengatupkan rahang
dengan kuat, mengepalkan tangan, biasanyatindakan keluarga pada saat itu
yaitu dengan mengurung pasien atau mamasung pasien. Tindakan yang
dilakukan keluarga tidak dapat merubah kondisi ataupun prilaku pasien.
c. Faktor predisposisi
Pasien prilaku kekerasan biasanya sebelumnya pernah mendapatkan
perawatan di rumah sakit. Pengobatan yang dilakukan masih meninggalkan
gejala sisa. Biasanya gejala yang timbul merupakan akibat trauma yang
dialami pasien yaitu penganiayaan fisik, kekerasan didalam keluarga atau
lingkungan, tindakan kriminal yang pernah disaksikan, dialami ataupun
melakukan kekerasan tersebut.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu: pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan tekanan darah, nadi, dan pernafasan, biasanya pasien prilaku
kekerasan tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan akan
meningkat ketika klien marah.
e. Psikososial
1) Genogram
Genogram dibuat tiga generasi yang menggambarkan hubungan klien
dengan keluarganya dan biasanya pada genogram akan terlihat ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pola komunikasi
klien, pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep Diri
a) Citra Tubuh
Biasanya klien prilaku kekerasan menyukai semua bagian
tubuhnya, tapi ada juga yang tidak.
b) Identitas Diri
Biasanya klien prilaku kekerasan tidak puas terhadap pekerjaan
yang sedang dilakukan maupun yang sudah dikerjakannya.
c) Peran diri
Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki masalah dalam
menjalankan peran dan tugasnya.
d) Ideal Diri
Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harapan yang tinggi
terhadap tubuh, posisi, status peran, dan kesembuhan dirinya dari
penyakit.
e) Harga Diri
Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harga diri yang
rendah.
3) Hubungan Sosial
Biasanya klien prilaku kekerasan tidak mempunyai orang terdekat
tempat ia bercerita dalam hidupnya, dan tidak mengikuti kegiatan
dalam masyarakat.
4) Spiritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya pasien prilaku kekerasan meyakini agama yang
dianutnya dengan melakukan kegiatan ibadah sesuai dengan
keyakinannya
b) Kegiatan ibadah
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan kurang (jarang)
melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
5) Status Mental
a) Penampilan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan penampilan kadang
rapi dan kadang-kadang tidak rapi. Pakaian diganti klien ketika ia
dalam keadaan yang normal.
b) Pembicaraan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan berbicara dengan nada
yang tinggi dan keras
c) Aktifitas Motorik
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan aktifitas motorik klien
tampak tegang, dan agitasi (gerakan motorik yang gelisah), serta
memiliki penglihatan yang tajam jika ditanyai hal-hal yang
dapat menyinggungnya.
d) Alam Perasaaan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan alam perasaan klien
terlihat sedikit sedih terhadap apa yang sedang dialaminya.
e) Afek
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan selama berinteraksi
emosinya labil. Dimana klien mudah tersinggung ketika ditanyai
hal-hal yang tidak mndukungnya, klien memperlihatkan sikap
marah dengan mimik muka yang tajam dan tegang.
f) Interaksi selama wawancara
i. Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan bermusuhan, tidak
kooperatif, dan mudah tersinggung serta
ii. Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan defensif, selalu
berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
g) Persepsi
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan tidak ada mendengar
suara-suara, maupun bayangan-bayangan yang aneh.
h) Proses atau arus fikir
Biasanya klien berbicara sesuai dengan apa yang ditanyakan
perawat, tanpa meloncat atau berpindah-pindah ketopik lain.
i) Isi Fikir
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih memiliki
ambang isi fikir yang wajar, dimana ia selalu menanyakan kapan
ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan dengan keluarga
dekatnya.
j) Tingkat Kesadaran
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan tingkat kesadaran
klien baik, dimana ia menyadari tempat keberadaanya dan
mengenal baik bahwasanya ia berada dalam pengobatan atau
perawatan untuk mengontrol emosi labilnya.
k) Memori
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan daya ingat jangka
panjang klien baik, dimana ia masih bisa menceritakan kejadian
masa-masa lampau yang pernah dialaminya, maupun daya ingat
jangka pendek, seperti menceritakan penyebab ia masuk ke rumah
sakit jiwa.
l) Tingkat kosentrasi dan berhitung
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan yang pernah
menduduki dunia pendidikan, tidak memiliki masalah dalam hal
berhitung, (penambahan maupun pengurangan).
m) Kemampuan penilaian
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih memiliki
kemampuan penilaian yang baik, seperti jika dia disuruh memilih
mana yang baik antara makan dulu atau mandi dulu, maka dia
akan menjawab lebih baik mandi dulu.
n) Daya tarik diri
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menyadari bahwa dia
berada dalam masa pengobatan untuk mengendalikan emosinya
yang labil.
f. Kebutuhan persiapan pulang
1) Makan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan yang tidak memiliki masalah
dengan nafsu makan maupun sistem pencernaannya, maka akan
menghabiskan makanan sesuai dengan porsi makanan yang diberikan.
2) BAB/BAK
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih bisa BAK/BAB
ketempat yang disediakan atau ditentukan seperti, wc ataupun kamar
mandi.
3) Mandi
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan untuk kebersihan diri seperti
mandi, gosok gigi, dan gunting kuku masih dapat dilakukan seperti
orang-orang normal, kecuali ketika emosinya sedang labil.
4) Berpakaian
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masalah berpakaian tidak
terlalu terlihat perubahan, dimana klien biasanya masih bisa berpakaian
secara normal.
5) Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan untuk lama waktu tidur siang
dan malam tergantung dari keinginan klien itu sendiri dan efek dari
memakan obat yang dapat memberikan ketenangan lewat tidur. Untuk
tindakan seperti membersihkan tempat tidur, dan berdoa sebelum tidur
maka itu masih dapat dilakukan klien seperti orang yang normal.
6) Penggunaan obat
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menerima keadaan yang
sedang dialaminya, dimana dia masih dapat patuh makan obat sesuai
frekuensi, jenis, waktu maupu cara pemberian obat itu sendiri.
7) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menyatakan keinginan yang
kuat untuk pulang, dimana ia akan mengatakan akan melanjutkan
pengobatan dirumah maupun kontrol ke puskesmas dan akan dibantu
oleh keluarganya.
8) Aktivitas didalam rumah
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih bisa diarahkan untuk
melakukan aktivitas didalam rumah, seperti: merapikan tempat tidur
maupun mencuci pakaian.
9) Aktifitas diluar rumah
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan Ini disesuaikan dengan jenis
kelamin klien dan pola kebiasaan yang biasa dia lakukan diluar rumah.
g. Mekanisme koping
Biasanya pada pasien dengan prilaku kekerasan, data yang didapatkan saat
wawancara pada pasien, bagaimana pasien mengendalikan diri ketika
menghadapi masalah:
1) Koping adaptif
a) Bicara dengan orang lain
b) Mampu menyelesaikan masalah
c) Teknik relaksasi
d) Aktifitas kontruksif
e) Olahraga
2) Koping maladaptive
a) Minum alcohol
b) Reaksi lambat/berlebihan
c) Bekerja berlebihan
d) Menghindar
e) Mencederai diri
h. Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan akan mengungkapakan masalah
yamg menyebabkan penyakitnya maupun apa saja yang dirasakannya
kepada perawat maupun tim medis lainnya, jika terbina hubungan yang
baik dan komunikasi yang baik serta perawat maupun tim medis yang lain
dapat memberikan solusi maupun jalan keluar yang tepat dan tegas.
2. Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap pola respons


klien baik actual maupun potensial dan merupakan dasar pemilihan intervensi
dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan oleh perawat yang bertanggung
jawab. (Muhith, 2015., Stuart 2016. )

Data-data yang mendukung analisa data menurut (Keliat, 2010) :

1) Data subjektif : klien mengatakan jengkel dengan orang lain, mengupkankan


rasa permusuhan yang mengancam, klien meras tidak nyaman, klien merasa
tidak berdaya, ingin berkelahi, dendam.
2) Data objektif : tangan dikepal, tubuh kaku, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, nada suara tinggi, waspada, pandangan tajam, reflek cepat, aktivitas
motor meningkat, mondar-mandir, merusak secara langsung benda-benda
yang berada dalam lingkungan, menolak, muka merah, nafas pendek.
3. Rencana Keperawatan
Menurut Keliat (2010), Rencana Keperawatan pada diagnosa pasien dengan
risiko perilaku kekerasan seperti pada tabel dibawah ini.

1) Strategi Pelaksanaan Klien Risiko Perilaku Kekerasan


Tabel 2.1
Rencana Asuhan Keperawatan Klien Perilaku kekerasan (Keliat, 2010)
No. DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1. Perilaku Pasien mampu Setelah pertemuan SP1
kekerasan 1) Mengidentifika pasien mampu :  Identifikasi
si penyebab dan  Menyebutkan penyebab tanda dan
tanda perilaku penyebab, gejala serta akibat
kekerasan tanda, gejala perilaku kekerasan
2) Menyebutkan dan akibat  Latih secara fisik 1
jenis perilaku perilaku : tarik nafas dalam
kekerasan yang kekerasan  Masukkan dalam
pernah  Memperagaka jadwal harian
dilakukan n cara fisik 1 pasien
3) Menyebutkan untuk
cara mengontrol
mengontrol perilaku
perilaku kekerasan
kekerasan
4) Mengontrol
perilaku
kekerasan
secara : fisik,
sosial / verbal,
spiritual,
terapi
psikofarmaka
Setelah pertemuan SP2
 Evaluasi SP1
pasien mampu :
 Latih cara fisik 2 :
 Menyebutkan
pukul kasur / bantal
kegiatan yang
 Masukkan dalam
sudah
jadwal harian
dilakukan
pasien
 Memperagaka
n cara fisik
untuk
megontrol
perilaku
kekerasan
Setelah pertemuan SP3
pasien mampu :  Evaluasi SP1 dan
 Menyebutkan SP2
kegiatan yang  Latih secara sosial /
sudah  verbal
dilakukan  Menolak dengan
 Memperagakan baik
seara fisik  Memeinta dengan
untuk bik
mengontrol  Mengungkapkan
perilaku dengan baik
kekerasan  Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
 Memperagakan  Masukkan dalam
secara spiritual jadwal kegia pasien
Setelah pertemuan SP5
pasien mampu :  Evaluasi SP 1, 2, 3
 Menyebutkan dan 4
kegiatan yang  Latih patuh obat
sudah  Minum obat secara
dilakukan teratur dengan prinsip
 Memperagakan 5B
cara patuh  Susun jadwal
minum obat minum obat dengan
teratur
 Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien

2) Strategi Pelaksanaan Keluarga Klien Risiko Perilaku Kekerasan


Tabel 2.2
Rencana Asuhan Keperawatan Klien Perilaku kekerasan (Keliat, 2010)
No. DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Keluarga mampu : Setelah pertmuan S Identifikasi masalah
merawat pasien keluarga mampu : P yang dirasakan
di rumah  Menjelaskan 1 keluarga dalam
penyebab, tanda / merawat pasien
gejala, akibat  Jelaskan tentang RPK
serta mampu dari penyebab, akibat
memperagakan dan cara merawat
cara merawat  Latih 2 cara merawat
 RTL keluarga /
jadwal untuk
merawat pasien
Setelah pertemuan S
 Evaluasi SP1
keluarga mampu : P
 Latih (simulasi) 2
 Menyebtkan 2
cara lain untuk
kegiatan yang
merawat pasien
sudah dilakukan
 Latih langsung ke
dan
pasien
mampu merawat
 RTL keluarga /
serta dapat
jadwal keluarga
membuat RTL
untuk merawat
pasien
Setelah pertemuan S
 Evaluasi SP 1 dan 2
keluarga mampu : P
 Latih langsung ke
 Menyebtkan 3
pasien
kegiatan yang
 RTL keluarga /
sudah dilakukan
jadwal keluarga
dan
mampu merawat
serta dapat
membuat
RTL untuk merawat
pasien
Setelah pertemuan SP 4
keluarga mampu :  Evaluasi SP 1, 2,
 Melaksanakan dan 3
follow up dan  Latih langsung ke
rujuk serta pasien
mampu  RTL keluarga :
mnyebutkan follow up dan
kegiatan yang rujukan
sudah dilakukan
3) Fase-fase Kunjungan Rumah

Tabel 2.3
Fase-Fase dan Aktifitas Kunjungan Rumah (Rasmun, 2009)
Fase Aktifitas
1. Fase Insiasi Klarifikasi sumber rujukan untuk kunjungan rumah,
Klarifikasi tujuan kunjungan ke rumah Desain kunjungan ke
rumah

1. Fase Pra Kunjungan Lakukan kontak dengan keluarga,


Satukan persepsi tentang tujuan kunjungan dengan
keluarga,
Apa keinginan keluarga dari kunjungan rumah
2. Fase di dalam rumah Memperkenalkan diri, identitas diri dan professional.
Interaksi sosial
Tetapkan hubungan P & K, Implementasikan proses
keperawatan
4.Fase terminasi Telaah (evaluasi) kunjungan dengan keluarga Rencanakan
untuk kunjungan berikutnya
5.Fase paska kunjungan Catat hasil Kunjungan Rencanakan kunjungan berikutnya

4. Implementasi
Menurut Keliat (2012) implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang
aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan
tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu menvalidasi apakah
rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada
saat ini. Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama
dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
Dermawan (2013) menjelaskan bahwa tindakan keperawatan dengan
pendekatan strategi pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan terdiri dari : SP 1 (pasien)
: membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenal penyebab perilaku
kekerasan, membantu klien dalam mengenal tanda dan gejala dari perilaku kekerasan.
SP 2 (pasien) : maembantu klien mengontrol perilaku kekerasan dengan memukul
bantal atau kasur. SP 3 (pasien) : membantu klien mengontrol perilaku kekerasan
seacara verbal seperti menolak dengan baik atau meminta dengan baik. SP 4 (pasien) :
membantu klien mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan cara sholat
atau berdoa. SP 5 (pasien) : membantu klien dalam meminum obat seacara teratur.

Tindakan keperawatan pada keluarga dengan perilaku kekerasan secara umum


adalah sebagai berikut : 1. SP1 : Memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga
tentang cara merawat pasien perilaku kekerasan di rumah. 2. SP2 : melatih keluarga
melakukan cara-cara mengendalikan kemarahan. 3. SP3 : membantu perencanaan
pulang bersama keluarga.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan


keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons keluarga
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi proses atau pormatif
dilakukan setiap selesai melakukan tindakan.Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya. (Keliat, 2011).
S : Respon subjektif keluarga terhadap intervensi keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : Respon objektif keluarga terhadap tindakan keperawatan yang telah di laksanakan.
A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpukan pakah masalah masih
tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradikdif dengan masalah yang
ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasar hasil analisa pada respon keluarga.
Tabel Hasil Observasi atau pengamatan awal kemampuan keluarga dalam merawat

klien dengan risiko perilaku kekerasan.

SKOR
ASPEK PENILAIAN
PENILAIAN
NO
Subyek Subyek
KEMAMPUAN
I II
1 Mengenal masalah kesehatan keluarga 0 0
a. Menyebutkan pengertian RPK 0 0
b. Menyebutkan penyebab RPK 0 0
c. Menyebutkan jenis RPK yang di alami oleh pasien 0 0
d. Menyebutkan tanda dan gejala RPK pasien 0 0
2 Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
a. Mempunyai sikap positif terhadap masalah kesehatan 1 1
b. Mempercayai tenaga kesehatan terhadap masalah
1 1
kesehatan.
3 Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
a. Memperagakan cara melatihan relaksasi nafas dalam
0 0
dan memukul bantal
b. Mengajak pasien untuk meminta dengan baik dan
0 0
berdoa
c. Memantau aktivitas sehari – hari sesuai jadwal aktivitas 0 0
d. Memantau dan memenuhi obat 1 1
4 Mempertahankan suasana rumah sehat
a. Sirkulasi udara yang lancer 1 1
b. Penerangan sinar yang memadai 0 1
c. Air yang bersih 1 1
d. Pembuangan limbah yang terkontrol 1 1
e. Ruangan tidak tercemar 1 1
5 Mengguanakan fasilitas kesehatan yang ada di
Masyarakat
a. Menyebutkan sumber – sumber pelayanan kesehatan
1 1
yang tersedia
b. Memanfaatkan sumber – sumber pelayanan kesehatan
1 1
terdekat.
Total Kemampuan 9 10
Total Presentase Kemampuan 53 % 58 %

*Ket : 0 = Aspek Kemampuan belum dapat dilakukan


1 = Aspek Kemampuan dapat dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Jiwa. Jakarta : Trans Info Media
Damaiyanti, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan kedua.
Bandung;PT. Refika Adimata
Dermawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa;Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta ; Gosyen Publishing

Videbeck, SJ. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.


Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).Yogyakarta;
Andi

Rasmun. 2009. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Cetakan Kedua. Jakarta; CV.Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai