Anda di halaman 1dari 36

KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

DISUSUN OLEH:

TRI WAHYU PURWANINGSIH

(211560311123)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MEDISTRA INDONESIA

BEKASI

2022
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan

A. Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seseorang secara fisik maupun psikologis bisa di lakukan secara verbal,
di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Amatiria, 2012). Perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, 2014).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang timbul sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016)
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari
gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Simatupang, 2010).

Menurut Kusumawati dan hartono (2010), prilaku kekerasan merupakan


suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik baik pada diri sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan
gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Herman, 2011 : 131). Menurut Stuart dan
Laraia (2005), prilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim
(kemarahan) atau ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam,
baik berupa ancaman secara fisik atau konsep diri. Perasaan terancam ini dapat
berasal dari stressor eksternal (penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan
kritikan dari orang lain) dan internal perasaan gagal di tempat kerja, perasaan
tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik (Kemenkes RI,
2012 : 176).

Prilaku kekerasan merupakan : respon emosi yang timbul sebagai reaksi


terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek atau
dihina), ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa
keinginan tidak tercapai, tidak puas), prilaku kekerasan dapat dilakukan secara
verbal diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Kemenkes RI,
2012 : 176).

Prilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku yang bertujuan untuk melukai
secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka prilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Prilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung prilaku kekerasan atau riwayat prilaku kekerasan (Dermawan, 2013 :
94).

Prilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak


sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan atau mencederai diri sendiri, orang lain bahkan merusak
lingkungan (Prabowo, 2014 : 141).

B. Rentang Respons Marah

Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan


melarikan diri atau respon melawan atau menentang. Respon melawan dan
menentang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif-kekerasan. Prilaku
yang ditampakkan mulai dari yang rendah sampai tinggi. Umumnya klien dengan
prilaku kekerasan dibawa dengan paksa kerumah sakit jiwa, sering tampak diikat
secara tidak manusiawi disertai dengan bentakan dan pengawalan oleh sejumlah
anggota keluarga bahkan polisi. Prilaku kekerasan seperti memukul anggota
keluarga atau orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah
merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga
(Muhith, 2015: 148).

Respon adaptif Respon maladaptive


Asertife frustasi pasif agresif kemarahan

Gambar 2.1: Rentang Respon Marah dalam Muhith, 2015 : 148

1. Respon adaptif

1) Pernyataan (asertif)

Prilaku asertif merupakan prilaku individu yang mampu menyatakan


atau mengungkapkan rasa marah untuk tidak setuju tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain sehingga prilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu (Dermawan, 2013 : 94). Menurut Keliat (1996
dalam Muhith 2015 : 149), Karakter asertif sebagai berikut:

a. Moto dan kepercayaan

Bahwa diri sendiri berharga demikian juga orang lain. Asertif


bukan berarti selalu menang, malainkan dapat menangani situasi
secara efektif. Aku punya hak, demikian juga orang lain.

b. Pola komunikasi

Pendengaran yang aktif, menetapkan batasan dan harapan.


Mengatakan pendapat sebagai hasil observasi bukan penilaian.
Mengungkapkan diri secara langsung dan jujur, memperhatikan
perasaan orang lain.

c. Karakteristik

Tidak menghakimi, mengamati sikap dari pada menilainya.


Mempercayai diri sendi maupu orang lain, percaya diri, memiliki
kesadaran sendiri, terbuka, fleksibel, dan akomodasi. Selera humor
yang baik, proaktif dan inisiatif, berorientasi pada tindakan,
reealistis dengan cita-cita, konsisten, melakukan tindakan yang
sesuai untuk mencapai tujuan tanpa melanggar hak-hak orang lain.

d. Isyarat bahasa tubuh

Terbuka dan gerak- gerik alami, ekspresi wajah yang menarik,


volume suara yang sesuai dan kecepatan bicara yang beragam.

e. Pemecahan masalah

Bernegosiasi, menawar, menukar dan kompromi, memfrontasi


masalah pada saat terjadi, tidak ada perasaan negatif yang muncul.

f. Perasaan yang dimiliki

Antusiasme, percaya diri, terus termotivasi, tahu dimana mereka


berdiri.

Prilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan


individu seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan
marahnya sehingga rasa marah tidak terugkap. Kemarahan demikian akan
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan
perasaan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri (Dermawan, 2013 : 95).

2) Prilaku frustasi

Respon yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan,


kepuasan, atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut
individu tidak menemukan alternative lain (Prabowo, 2014 : 142).
Respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan,
Frustasi dapat dialami sebagai suatu abcaman dan kecemasan. Akibat
dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan (Muhith 2015 :
151).

2. Respon maladaptive
1) Pasif

Suatu prilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan


perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan
menghindari suatu ancaman nyata (Dermawan, 2013 : 95). Respon
dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami,
sikap tidak berani mengungkapkan keinginan dan pendapat sendiri,
tidak ingin terjadi konflik karena takut tidak disukai atau menyakiti
perasaan orang lain (Muhith 2015 : 151).

2) Agresif

Prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk


menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi
hasil terkontrol (Prabowo, 2014 : 142). Sikap agresif adalah membela
diri sendiri dengan melanggar hak orang lain. Agresif memperlihatkan
permusuahan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien
masih bisa mengontrol prilaku untuk tidak melukai orang lain (Muhith,
2015 : 152).

3) Kemarahan atau kekerasan

Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang control,


dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Prabowo, 2014 : 142). Prilaku kekerasan ditandai dengan
menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata- kata ancaman.
Klien tidak mampu mengendalikan diri. Mengamuk adalah rasa marah
dan bermusuh yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan
ini, individu maupu melukai dirinya sediri dan orang lain (Muhith, 2015
: 152).

Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemaraan yang mengarah pada prilaku kekerasan. Respon perasaan marah
dapat diekspresikan secara eksternal (prilaku kekerasan) ataupun internal
(depresi dan penyakit fisik). Mengekspresikan marah dengan prilaku
konstruktif menggunakan kata- kata yang dapat dimengerti dan diterima
tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menurunkan
ketegangan sehingga perasaan marah dapat teratasi. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan prilaku kekerasan biasanya dilakukan individu kerana
ia merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah bahkan dapat
menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan (Dermawan, 2013: 94).

C. Faktor Predisposisi Prilaku Kekerasan

Faktor Predisposisi yaitu faktor pengalaman yang dialami tiap orang, artinya
mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi prilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami individu.

1. Faktor psikologis

Menurut Herman (2011: 134), factor psikologis sebagai berikut:

1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan


mengalami hambatann akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
prilaku kekerasan.

2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil


yang tidak menyenangkan.

3) Rasa frustasi.

4) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.

5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya


kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa prilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri
prilaku tindak kekerasan

6) Teori pembelajaran, prilaku kekerasan merupakan prilaku yang


dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap prilaku
kekerasan lebih cendrung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal
dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologis.

Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus


eksternal, internal maupun lingkungan. Prilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat, seperti kesehatan fisik
yang terganggu, hubungan sosial yang terganggu. Salah satu kebutuhan manusia
adalah “berprilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui
berprilaku kontruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berprilaku destruktif (Kemenkes RI, 2012: 177). Kegagalan yang dialami
menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa
kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya
atau sanksi penganiayaan (Prabowo, 2014: 142)

2. Faktor sosial budaya

Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif


sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Budaya juga dapat mempengaruhi
prilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
marah yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. kontrol masyarakat
yang rendah dan kecendrungan menerima prilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan factor predisposisi
terjadinya prilaku kekerasan (Herman, 2011: 135). Norma budaya dapat
mempengaruhi individu untuk berespon asertif atau agresif. Prilaku kekeasan
dapat dipelajari secara langsung melalui proses sosialisasi, merupakan proses
meniru dari lingkungan yang menggunakan prilaku kekerasan sebagai cara
menyelesaikan masalah (Kemenkes RI, 2012: 177). Budaya tertutup dan
membalas secara diam-diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak
pasti terhadap prilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah prilaku
kekerasan yang diterima (Prabowo, 2014: 142).

3. Factor biologis
Menurut Herman (2011: 136), ada beberapa yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan prilaku kekerasan, menurut Herman, 2011: 136, yaitu:

1) Pengaruh neurofisiologi, beragam komponen neurofisiologis


mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistim limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
prilaku bermusuhan dan respon agresif.

2) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)


menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epineprin, norepineprin,
dopamine, asetil kolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitassi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen, dan norefineprin serya penurunan serotonin dan GABA (6
dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi penting
yang menyebabkan timbulnya prilaku agresif pada seseorang.

3) Pengaruh genetik, menurut penelitian prilaku agresif sangat erat


kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kario tipe XYY, yang
umumnya memiliki oleh peghuni penjara tindak criminal.

4) Gangguan otak, syndrome otak organic berhubungan dengan serebral,


tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), penyakit
esefalitis, epilepsy, terbukti berpengaruh terhadap prilaku kekerasan.

Teori dorongan naluri, menyatakan prilaku kekerasan disebabkan oleh suatu


dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat. Teori psikosomatik adalah
pengalaman marah, artinya akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan
sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah
(Dermawan, 2013: 94).

D. Faktor Presipitasi Prilaku Kekerasan

Menurut Herman (2011: 136), secara umum seseorang akan marah jika
dirinya merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis atau ancaman
konsep diri. Faktor pencetus priaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangakan .

2) Interaksi: penghinaan kekerasan, kehilangan orang berarti, konflik,


merasa terancam baik internal dari permasalahn diri klien sendiri
mampu eksternal dari lingkungan.

3) Lingkungan : panas, padat dan bising. Factor presipitasi dapat bersumber


dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien
seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab
prilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab
lainnya (Prabowo, 2014: 143).

E. Proses Tejadinya Prilaku Kekerasan

Menurut Muhith (2015:156), tindakan kekerasan timbul sebagai kombinasi


antar frustasi dan stimulus dari luar sebagai pemicu. Setiap orang memiliki
potensi untuk melakukan tindak kekerasan. Namun pada kenyataannya, ada
orang-orang yang mampu menghindari kekerasan walau balakangan ini semakin
banyak orang yang cendrung berespon agresi. Prilaku kekerasan merupakan
respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah
dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Prilaku kekerasan adalah
respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa
bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respons marah dapat diekspresikan
secara internal atau eksternal. Secara internal dapat berupa perilaku yang tidak
asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku
destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu
mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Mengekspresikan rasa
marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat
dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan
pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif
dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat (Yusuf, dkk, 2015).
F. Psikodinamikan Terjadinya Prilaku Kekerasan
Ancaman

Stres

Ansietas

Marah

Mengungkapkan
Merasa kemarahan Merasa tidak
berkuasa adekuat

Menyadarkan orang lain


menantang akan kebutuhannya Menantang

Tidak ada Memenuhi kebutuhannya Mengingkari


penyelesaian
kemarahan
masalah

Marah teratasi
Tidak
Marah mengeksperesikan
berkepanjangan
Pengembangan kemarahan

Bermusuhan kronik

Kemarahan diarahkan Kemarahan


kepada diri sendiri diarahkan keluar

Ungkapan berupa ancaman,


1. Depresi 1. Agresif
ungkapan berupa kata-kata kasar
2. Penyakit fisik 2. Perilaku kekerasan dan ungkapan ingin memukul
atau melukai
Gambar 2.2 Proses terjadinya Masalah Prilaku kekerasan (Dermawan, 2013: 97)

G. Tanda dan Gejala Prilaku Kekerasan

Menurut Kemenkes RI (2012: 178), tanda dan gejala prilaku kekerasan


sebagai berikut:

1. Fisik

Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah


merah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

2. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor berbicara dengan nada


keras, kasar serta ketus.

3. Prilaku

Menyerang orang lain melukai diri sendiri/orang lain, merusak orang lain,
merusak lingkungan, serta amuk/agresif

4. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggua, dendam,


jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut

5. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang


mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.

7. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.

8. Perhatian

Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial.

Tanda dan gejala prilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan di
dukung dengan hasil observasi :

1. Data subjektif

1) Ungkapan berupa ancamanPoltekkes Kemenkes Padang

2) Ungkapan kata- kata kasar

3) Ungkapan ingin memukul/melukai

2. Data objektif

1) Wajah merah dan tegang

2) Pandangan tajam

3) Mengatup rahang dengan kuat

4) Mengepalkan tangan

5) Bicara kasar

6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak

7) Mondar-mandir

8) Melempar atau memukul benda atau orang lain

H. Mekanisme koping

Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat


membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dan
mengekspresikan marahnya. Menurut Herman (2011: 137), mekanisme koping
yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement,
sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi. Prilaku yang berkaitan
dengan prilaku kekerasan antara lain:

1. Menyerang atau menghindar

Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan siste saraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah,pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urin meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal, tubuh menjadi
kaku disertai reflek yang cepat.

2. Menyatakan secara asertif

Prilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahan


yaitu dengan prilaku pasif, agresif dan asertif. Prilaku asertif adalah cara
yang terbaik, individu dapat mengekspresikan Poltekkes Kemenkes Padang
rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis
dan dengan prilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.

3. Memberontak

Prilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik prilaku


untuk menarik perhatian orang lain

4. Prilaku kekerasan

Tindakan kekerasan/amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain


maupun lingkungannya.

Menurut Prabowo (2014: 144), beberapa mekanisme koping yang dipakai pada
klien marah untuk melindungi diri antara lain :

1. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata


masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas remas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.

2. Proyeksi: menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak


baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.

3. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk


kealam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan. Sehingga, perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakanya.

4. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan.


Dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.

5. Deplacement: melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.


Pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia
baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

I. Penatalaksanaan Prilaku kekerasan

Menurut Prabowo (2014: 145), penatalaksanaan prilaku kekerasan sebagai


berikut:

1. Farmakoterapi

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: clorpromizne HCL yang berguna untuk mengembalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah,
contohnya trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduaanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.

2. Terapi okupasi

Terapi pekerjaan seperti membaca koran, bermain catur, kegiatan berdialog


atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan bagi dirinya. Terapi ini
merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.

3. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan


langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu agar
dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah
keperawatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan
pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah prilaku maladaptive
(pencegahan primer, menanggulangi prilaku maladaptive (pencegahan
skunder) dan memulihkan prilaku maladaptive ke prilaku adaptif
(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat
ditingkatkan secara optimal.

4. Terapi somatic

Menurut Depkes RI 2000, menerangkan terapi somatic terapi yang diberikan


kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah prilaku yang
maladaptive menjadi prilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi adalah prilaku
kekerasan.

5. Terapi kejang listrik

Terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan


mengalirkan listrik melalui elektroda yang di etakkan pada pelipis pasien.
Terapi ini awalnya untuk menangani skizorefrenia membutuh 20-30 kali
terapi biasanya dilaksankan adalah setiap 2- 3 hari sekali (seminggu 2 kali).

J. Asuhan Keperawatan Jiwa Prilaku Kekerasan

Asuhan keperawatan adalah tindakan mandiri perawat professional melalui


kerja sama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan
lainnya. Standar asuha keperawatan terdiri dari lima tahap standar yaitu :
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, evaluasi (Muhith, 2015: 2).

1. Pengkajian Keperawatan

1) Identitas klien

Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan


klien tentang: nama perawat, nama panggilan, nama pasien, nama
panggilan pasien, tujuan, waktu, tempat Poltekkes Kemenkes Padang
pertemuan, topik yang akan dibicarakan, tanyakan dan catat umur, jenis
kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal masuk, dan nomor rekam
medik.

2) Alasan Masuk

Alasan klien masuk biasanya pasien sering mengungkapkan kalimat


yang bernada ancaman, kata- kata kasar, ungkapan ingin memukul serta
memecahkan perabotan rumah tangga. Pada saat berbicara wajah pasien
terlihat memerah dan tegang, pandangan mata tajam, mengatupkan
rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, biasanya tindakan keluarga
pada saat itu yaitu dengan mengurung pasien atau mamasung pasien.
Tindakan yang dilakukan keluarga tidak dapat merubah kondisi ataupun
prilaku pasien.

3) Faktor predisposisi

Pasien prilaku kekerasan biasanya sebelumnya pernah mendapatkan


perawatan di rumah sakit. Pengobatan yang dilakukan masih
meninggalkan gejala sisa. Biasanya gejala yang timbul merupakan
akibat trauma yang dialami pasien yaitu penganiayaan fisik, kekerasan
didalam keluarga atau lingkungan, tindakan kriminal yang pernah
disaksikan, dialami ataupun melakukan kekerasan tersebut.

4) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu: pemeriksaan tanda-tanda vital


didapatkan tekanan darah, nadi, dan pernafasan, biasanya pasien prilaku
kekerasan tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan akan
meningkat ketika klien marah.

5) Psikososial

a. Genogram

Genogram dibuat tiga generasi yang menggambarkan hubungan


klien dengan keluarganya dan biasanya pada genogram akan
terlihat ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pola
komunikasi klien, pengambilan keputusan dan pola asuh.

b. Konsep Diri

a) Citra Tubuh : Biasanya klien prilaku kekerasan menyukai


semua bagian tubuhnya, tapi ada juga yang tidak.

b) Identitas Diri : Biasanya klien prilaku kekerasan tidak puas


terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan maupun yang sudah
dikerjakannya.

c) Peran diri : Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki masalah


dalam menjalankan peran dan tugasnya.

d) Ideal Diri : Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harapan


yang tinggi terhadap tubuh, posisi, status peran, dan
kesembuhan dirinya dari penyakit.

e) Harga Diri : Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harga


diri yang rendah.

c. Hubungan Sosial
Biasanya klien prilaku kekerasan tidak mempunyai orang terdekat
tempat ia bercerita dalam hidupnya, dan tidak mengikuti kegiatan
dalam masyarakat.

d. Spiritual

a) Nilai dan keyakinan : Biasanya pasien prilaku kekerasan


meyakini agama yang dianutnya dengan melakukan kegiatan
ibadah sesuai dengan keyakinannya

b) Kegiatan ibadah : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


kurang (jarang) melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinannya.

e. Status Mental

a) Penampilan : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


penampilan kadang rapi dan kadang-kadang tidak rapi. Pakaian
diganti klien ketika ia dalam keadaan yang normal.

b) Pembicaraan : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


berbicara dengan nada yang tinggi dan keras

c) Aktifitas Motorik : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


aktifitas motorik klien tampak tegang, dan agitasi (gerakan
motorik yang gelisah), serta memiliki penglihatan yang tajam
jika ditanyai hal-hal yang dapat menyinggungnya.

d) Alam Perasaaan : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


alam perasaan klien terlihat sedikit sedih terhadap apa yang
sedang dialaminya.

e) Afek : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan selama


berinteraksi emosinya labil. Dimana klien mudah tersinggung
ketika ditanyai hal-hal yang tidak mndukungnya, klien
memperlihatkan sikap marah dengan mimik muka yang tajam
dan tegang.

f) Interaksi selama wawancara


 Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan bermusuhan,
tidak kooperatif, dan mudah tersinggung.

 Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan defensif, selalu


berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran
dirinya.

g) Persepsi : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan tidak ada


mendengar suara-suara, maupun bayangan-bayangan yang
aneh.

h) Proses atau arus fikir : Biasanya klien berbicara sesuai dengan


apa yang ditanyakan perawat, tanpa meloncat atau berpindah-
pindah ketopik lain.

i) Isi Fikir : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih


memiliki ambang isi fikir yang wajar, dimana ia selalu
menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan
pertemuan dengan keluarga dekatnya.

j) Tingkat Kesadaran : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


tingkat kesadaran klien baik, dimana ia menyadari tempat
keberadaanya dan mengenal baik bahwasanya ia berada dalam
pengobatan atau perawatan untuk mengontrol emosi labilnya.

k) Memori : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan daya ingat


jangka panjang klien baik, dimana ia masih bisa menceritakan
kejadian masa-masa lampau yang pernah dialaminya, maupun
daya ingat jangka pendek, seperti menceritakan penyebab ia
masuk ke rumah sakit jiwa.

l) Tingkat kosentrasi dan berhitung : Biasanya pasien dengan


prilaku kekerasan yang pernah menduduki dunia pendidikan,
tidak memiliki masalah dalam hal berhitung, (penambahan
maupun pengurangan).

m) Kemampuan penilaian : Biasanya pasien dengan prilaku


kekerasan masih memiliki kemampuan penilaian yang baik,
seperti jika dia disuruh memilih mana yang baik antara makan
dulu atau mandi dulu, maka dia akan menjawab lebih baik
mandi dulu.

n) Daya tarik diri : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


menyadari bahwa dia berada dalam masa pengobatan untuk
mengendalikan emosinya yang labil.

f. Kebutuhan persiapan pulang

a) Makan : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan yang tidak


memiliki masalah dengan nafsu makan maupun sistem
pencernaannya, maka akan menghabiskan makanan sesuai
dengan porsi makanan yang diberikan.

b) BAB/BAK : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih


bisa BAK/BAB ketempat yang disediakan atau ditentukan
seperti, wc ataupun kamar mandi.

c) Mandi : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan untuk


kebersihan diri seperti mandi, gosok gigi, dan gunting kuku
masih dapat dilakukan seperti orang-orang normal, kecuali
ketika emosinya sedang labil.

d) Berpakaian : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


masalah berpakaian tidak terlalu terlihat perubahan, dimana
klien biasanya masih bisa berpakaian secara normal.

e) Istirahat dan tidur : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


untuk lama waktu tidur siang dan malam tergantung dari
keinginan klien itu sendiri dan efek dari memakan obat yang
dapat memberikan ketenangan lewat tidur. Untuk tindakan
seperti membersihkan tempat tidur, dan berdoa sebelum tidur
maka itu masih dapat dilakukan klien seperti orang yang
normal.

f) Penggunaan obat : Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan


menerima keadaan yang sedang dialaminya, dimana dia masih
dapat patuh makan obat sesuai frekuensi, jenis, waktu maupu
cara pemberian obat itu sendiri.

g) Pemeliharaan kesehatan : Biasanya pasien dengan prilaku


kekerasan menyatakan keinginan yang kuat untuk pulang,
dimana ia akan mengatakan akan melanjutkan pengobatan
dirumah maupun kontrol ke puskesmas dan akan dibantu oleh
keluarganya.

h) Aktivitas didalam rumah : Biasanya pasien dengan prilaku


kekerasan masih bisa diarahkan untuk melakukan aktivitas
didalam rumah, seperti: merapikan tempat tidur maupun
mencuci pakaian.

i) Aktifitas diluar rumah : Biasanya pasien dengan prilaku


kekerasan Ini disesuaikan dengan jenis kelamin klien dan pola
kebiasaan yang biasa dia lakukan diluar rumah.

g. Mekanisme koping

Biasanya pada pasien dengan prilaku kekerasan, data yang


didapatkan saat wawancara pada pasien, bagaimana pasien
mengendalikan diri ketika menghadapi masalah :

1) Koping adaptif

 Bicara dengan orang lain

 Mampu menyelesaikan masalah

 Teknik relaksasi

 Aktifitas kontruksif

 Olahraga

2) Koping maladaptive

 Minum alcohol

 Reaksi lambat/berlebihan
 Bekerja berlebihan

 Menghindar

 Mencederai diri

h. Masalah psikososial dan lingkungan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan akan mengungkapakan


masalah yamg menyebabkan penyakitnya maupun apa saja yang
dirasakannya kepada perawat maupun tim medis lainnya, jika
terbina hubungan yang baik dan komunikasi yang baik serta
perawat maupun tim medis yang lain dapat memberikan solusi
maupun jalan keluar yang tepat dan tegas.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai data yang didapatkan, walaupun


saat ini tidak melakukan prilaku kekerasan tetapi pernah melakukan atau
mempunyai riwayat prilaku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan
mencegah/ mengontrol prilaku kekerasan tersebut (keliat, 2009: 131).

Pohon Masalah Prilaku Kekerasan :

Resiko Bunuh Diri Effect

Prilaku kekerasan
Cor

Causa
Harga Diri Rendah

Gambar 2.3 Pohon Masalah Prilaku Kekerasan


Menurut Muhith (2015: 164), diagnosa keperawatan yang muncul adalah sebagai
berikut:

1. Prilaku Kekerasan.

2. Resiko Bunuh Diri.

3. Harga Diri Rendah.

3. Rencana Keperawatan

Tabel 2.1

Rencana Keperawatan Nursing Interventions Classification dan Nursing


Outcome Classification

Masalah Perencanaan
Keperawatan
NOC NIC

Resiko Perilaku 1. Menahan diri dari prilaku 1. Bantuan kontrol marah :


Kekerasan kekerasan. Kriteria hasil :
a. Bangun rasa percaya dan
a. Pasien memperoleh perawatan hubungan yang dekat dan
yang dibutuhkan. harmonis dengan pasien.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor b. Gunakan pendekatan yang


yang berkontribusi terhadap tenang dan meyakinkan.
prilaku kekerasan.
c. Tentukan harapan mengenai
c. Mengungkapkan frustasi. tingkah laku yang tepat
dalam mengekspresikan
d. Menunjukkan harga diri.
perasaan marah tentukan
e. Menggunakan mekanisme fungsi kognitif dan fisik
penanganan alternatif untuk
stress. pasien.

f. Menahan diri dari d. Batasi akses terhadap situasi


mengabaikan kebutuhan dasar yang membuat frustasi
yang bergantung sampai pasien dapat
mengungkapkan perasaan mengekspresikan
tentang korban. kemarahan dengan cara yang
adaptif.
(Moorhead, 2013: 77)
e. Cegah menyakiti secara fisik
jika marah diarahkan pada
2. Menahan diri dari agresif. diri atau orang lain.
Kriteria hasil :
f. Lakukan latihan fisik pada
a. Mengidentifikasi ketika marah. stategi pelaksanaan yang
pertama yaitu teknik napas
b. Mengidentifikasi ketika
dalam dan memukul bantal.
frustasi.
g. Dorong penurunan aktivitas
c. Mengidentifikasi situasi yang
yang sangat kuat misalnya :
memicu permusuhan.
memukul tas, mondar-
d. Mengidentifikasi tangguang mandir, latihan yang
jawab untuk mempertahankan berlebihan.
kontrol.
h. Berikan pendidikan mengenai
e. Mengidentifikasi alternative metode untuk mengatur
untuk agresi. pengalaman emosi yang
sangat kuat misalnya : teknik
f. Menahan diri dari serangan
relaksasi, menulis jurnal,
orang
distraksi.
lain.
i. Berikan obat-obat oral
g. Menahan diri dari menghancur
dengan cara yang tepat,
Property.
Memberikan penjelasan
(Moorhead, 2013: 85) terkait strategi pelaksanaan
yang kedua tentang
pentingnya patuh minum
obat.

3. Menahan diri dari kemarahan. j. Bantu pasien


mengidentifikasi sumber dari
Kriteria hasil :
kemarahan.
a. Mengidentifikasi ketika marah.
k. Bantu pasien dengan strategi
b. Mengidentifikasi saat frustasi. perencanaan untuk mencegah
ekspresi kemarahan dengan
c. Mengidentifikasi tanda- tanda
prilaku adaptif dan tanpa
awal kemarahan.
kekerasan.
d. Mengedentifikasi situasi yang
l. Instruksikan penggunaan cara
memicu.
untuk membuat pasien lebih
e. Pendekatan situasi yang tidak tenang misalnya : waktu jeda
dapat diprediksi dengan dan nafas dalam.
pikiran terbuka.
m. Bantu dalam
f. Mengidentifikasi dasar mengembangkan metode
perasaan marah. yang tepat untuk
mengekspresikan kemarahan
(Moorhead, 2013: 91)
pada orang lain misanya
asertif dan mengunakan
pernyataan mengungkapkan
perasaan.

n. Berikan model peran yang


bisa mengekspresikan marah
dengan cara yang tepat.

o. Dukung pasien untuk


mengimplementasikan
strategi mengontrol
kemarahan dengan
menggunakan ekspresi.

p. Latih pasien dengan straategi


pelaksanaan yang ketiga
yaitu latih cara sosio dan
verbal (mengungkapkan,
meminta, menolak dengan
benar) kemarahan yang tepat.

(Bulechek, 2013: 81)

2. Manajemen prilaku :
menyakiti diri

a. Tentukan motif atau alasan


tingkah laku.

b. Kembangkan harapan
tingkah laku yang tepat dan
konsekuensinya, berikan
pasien tingkat fungsi kognitif
dan kepastian untuk
mengontrol diri.

c. Pindahkan barang yang


berbahaya dari lingkungan
sekitar pasien.

d. Antisipasi situasi pemicu


yang mungkin membuat
pasien menyakiti diri dan
lakukan pencegahan.

e. Bantu pasien untuk


mengidentifikasi situasi dan
perasaan yang mungkin
memicu prilaku menyakiti
diri.
f. Gunakan pendekatan yang
tenang dan tidak menghukum
pada saat menghadapi prilaku
menyakiti diri.

g. Bantu pasien dengan cara


yang tepat mengatasi tingkat
fungsi kognitifnya didalm
rangka mengidentifikasi dan
mengasumsikan tangguang
jawab terhadap komunikasi
dan prilaku.

(Bulechek, 2013: 94)

Yoseph (2007 dalam Muhith 2014: 165), mangatakan rencana intervensi keperawatan
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang muncul setelah melakukan pengkajian dan
rencana intervensi keperawatan dilihat dari tujuan khusus.

1. Tindakan keperawatan untuk pasien

1) Tujuan umum

Klien dapat mengontrol prilakunya dan dapat mengungkapkan


kemarahannya secara asertif (Dermawan, 2013: 101).

2) Tujuan khusus

Menurut Kemenkes RI (2012: 179), tujuan khusus sebagai berikut :

a. Pasien mampu membina hubungan saling percaya.

b. Pasien mampu menjelaskan penyebab marah.

c. Pasien mampu menjelaskan perasaan saat terjadinya marah atau prilaku


kekerasan.

d. Pasien mampu menjelaskan prilaku yang dilakukan saat marah.


e. Pasien mampu menyebutkan cara mengontrol rasa marah atau prilaku
kekerasan.

f. Pasien mampu melatih kegiatan fisik dalam menyalurkan kemarahan.

g. Pasien mampu memakan obat secara teratur.

h. Pasien mampu melatih bicara yang baik saat marah.

i. Pasien mampu melatih kegiatan ibadah untuk mengendalikan rasa


marah.

3) Tindakan keperawatan

Menurut Kemenkes RI (2012: 181), tindakan keperawatan sebagai berikut :

a. Membina hubungan saling percaya

Tindakan yang harus dilakukan adalah :

a) Mengucapkan salam setiap berinterakssi dengan pasien.

b) Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang perawat sukai, serta


tanyakan nama dan nama panggilan yang disukai pasien.

c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.

d) Buat kontrak asuhan: apa yang perawat akan lakukan bersama


pasien, berapa lama akan dikerjakan dan tempatnya dimana.

e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang


diperoleh untuk kepentingan terapi.

f) Tunjukkan sikap empati.

g) Penuhi kebutuhan dasar pasien.

b. Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah yang menyebabkan


prilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.

c. Diskusikan tanda- tanda pada pasien jika terjadi prilaku kekerasan.

a) Diskusikan tanda dan gejala prilaku kekerasan secara fisik.


b) Diskusikan tanda dan gejala prilaku kekerasan secara psikologis.

c) Diskusikan tanda dan gejala prilaku kekerasan secara sosial.

d) Diskusikan tanda dan gejala prilaku kekerasan secaraspiritual.

e) Diskusikan tanda dan gejala prilaku kekerasan secara intelektual.

d. Diskusikan bersama pasien prilaku kekerasan yang bisa dilakukan pada


saat marah secara :

a) Verbal.

b) Terhadap orang lain.

c) Terhadap diri sendiri.

d) Terhadap lingkungan.

e. Diskusikan bersama pasien akibat prilakunya.

f. Latih pasien cara mengontrol prilaku kekerasan secara

a) Fisik : tarik nafas dalam, pukul kasur dan bantal.

b) Patuh minum obat.

c) Sosial atau verbal : bicara yag baik, meminta, menolak dan


mengungkapkan perasaan

d) Spiritual : sholat atau berdo’a sesuai keyakinan pasien.

A. Tindakan keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimalempat kali


pertemuan dan dilanjutkan sampai pasien dankeluarga dapat mengontrol/
mengendalikan prilaku kekerasan. Menurut Kemenkes RI (2012: 182), pada
masing-masing pertemuan dilakukan tindakan keperawatan berdasarkan strategi
pelaksanaan (SP) sebagai berikut:

1. SP 1 pasien: pengkajian dan latihan napas dalam dan memukul kasur atau
bantal membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, prilaku kekerasan yang dilakukan, akibat
dari prilaku kekerasan, dan jelaskan cara mengontrol prilaku kekerasan:
fisik, obat, verbal dan spiritual. Latihan cara mengontrol prilaku kekerasan
secara fisik: tarik nafas dalam, pukul kasur dan bantal, masukkan pada
jadwal kegiatan untuk latihan fisik.

2. SP 2 pasien : latih patuh minum obat

Evaluasi tanda dan gejala prilaku kekerasan, validasi kemampuan melakukan


tarik napas dalam dan pukul kasur dan bantal, tanyakan manfaat dan beri
pujian, latih mengontrol prilaku kekerasan dengan obat, jelaskan 6 benar:
benar nama, benar jenis, benar dosis, benar waktu, benar cara, kontinuitas
minum obat dan dampak jika tidak kontinu minum obat, masukkan pada
jadwa kegiatan latihan fisik dan minum obat.

3. SP 3 pasien : latiah cara sosial atau verbal

Evaluasi tanda dan gejala prilaku kekerasan, validasi kemampuan melakukan


tarik napas dalam dan pukul kasur dan bantal, makan obat dengan patuh dan
benar, tanyakan manfaat dan beri pujian, latih cara mengontrol prilaku
kekerasan secara verbal (tiga cara yaitu: mengungkapkan, meminta, menolak
dengan benar), masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik minum
obat, dan verbal.

4. SP 4 pasien: latiahan cara spiritual

Evaluasi tanda dan gejala prilaku kekerasan, validasi kemampuan melakukan


tarik napas dalam dan pukul kasur dan bantal, minum obat dengan patuh dan
benar, bicara yang baik, tanyakan manfaatnya, beri pujian, latih mengontrol
marah dengan cara spiritual, masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan
fisik minum obat, verbal dan
spiritual.

B. Tindakan keperawatan untuk keluarga


Menurut Muhith (2015: 189), tindakan keperawatan untuk keluarga sebagai
berikut:

1. Tujuan

Keluarga dapat merawat pasien di rumah


2. Tindakan

1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.

2) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab,


tanda dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku
tersebut).

3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera


dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/
orang lain.

4) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan :

a. Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan


yang telah diajarkan oleh perawat.

b. Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila


pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.

c. Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila


pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.

5) Buat perencanaan pulang bersama keluarga

a. SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang


cara merawat klien perilaku kekerasan di rumah.

a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat


pasien.

b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan


(penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat
dari perilaku tersebut).

c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang


perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda atau orang lain.
b. SP 2 Keluarga: Melatih keluarga melakukan cara-cara mengontrol
Kemarahan.

a) Evaluasi pengetahuan keluarga tentang marah.

b) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan


tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.

c) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila


pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.

d) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan


bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.

c. SP 3 Keluarga: Menjelaskan perawatan lanjutan bersama keluarga.

a) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.

4. Implementasi

Menurut Keliat (2012) implementasi keperawatan disesuaikan dengan


rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan
masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta
lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan, perawat perlu menvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini.
Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar
utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

Dermawan (2013) menjelaskan bahwa tindakan keperawatan dengan


pendekatan strategi pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan terdiri dari : SP 1
(pasien) : membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenal
penyebab perilaku kekerasan, membantu klien dalam mengenal tanda dan
gejala dari perilaku kekerasan. SP 2 (pasien) : maembantu klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan memukul bantal atau kasur. SP 3 (pasien) :
membantu klien mengontrol perilaku kekerasan seacara verbal seperti
menolak dengan baik atau meminta dengan baik. SP 4 (pasien) : memabantu
klien mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan cara sholat atau
berdoa. SP 5 (pasien) : membantu klien dalam meminum obat seacara
teratur.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai efek dari


tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi proses atau pormatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
(Keliat, 2011).

S : Respon subjektif klien terhadap intervensi keperawatan yang telah


dilaksanakan.

O : Respon objektif keluarga terhadap tindakan keperawatan yang telah di


laksanakan.

A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah


masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang
kontradikdif dengan masalah yang ada.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasar hasil analisa pada respon


keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A., Akemat, Daulima, N. H. C, &Nurhaeni. (2011). Keperawatan kesehatan


jiwa komunitas CMHN (basic course). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika

Stuart, G.W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: ECG

Stuart, G. W., Keliat, B. A., & Pasaribu, J. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan
kesehatan jiwa stuart. Edisi Indonesia. Singapore: Elsevier

Sutejo. (2017). Keperawatan Jiwa. Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa:
Gangguan jiwa dan psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
Yosep, H. I., dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental
Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai