Anda di halaman 1dari 8

Latar Belakang

Ciri khas manusia adalah hasratnya yang ingin tahu setelah ia memperoleh pengetahuan,
timbul hasrat ingin lebih tahu lagi. Begitu seterusnya, manusia tidak pernah puas dengan
apa yang diketahuinya (Satoto, 2012:1). Sifat ingin tahu itu telah dapat disaksikan sejak
manusia masih kanak-kanak. (Sangidu, 2004:1). Begitupun dalam dunia sastra, pertanyaan
mengenai seluk beluk sastra dan karya sastra akan muncul dalam benak peneliti.
Karya sastra adalah suatu karya kreatif yang dihasilkan berdasarkan olah pikir pengarang
secara interpretatif. Sebagai karya imajinatif, karya sastra bisa memperlihatkan tokoh-
tokoh yang mewakili perilaku manusia yang beragam. Berdasarkan pendapat yang
dikemukakan oleh Semi (1988: 8) sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa
sebagai mediumnya.
Fungsi utama karya sastra itu sendiri adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan
manusia sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan
(Ratna, 2011: 75). Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam
hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya. Salah
satu genre sastra adalah novel yang merupakan hasil proses kreatif yang diinterpretasikan
oleh pengarang. Novel berbeda dengan cerpen karena bentuknya yang panjang sehingga
novel tidak dapat mewarisi kesatuan yang padat yang dimiliki oleh cerpen (Stanton, 2007:
90).
Novel dapat dikatakan lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan
cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel novel tidak dibebani tanggungjawab untuk
menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakan lebih sulit
karena novel ditulis dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi
yang lebih luas ketimbang cerpen (Stanton, 2007: 90). Fisik novel yang panjang akan
mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari alur cerita. Agar novel
lebih mudah dipahami, perlu dibuat semacam daftar yang menampung setiap peristiwa
pada tiap bab (Stanton, 2007: 90).
Sejalan dengan beberapa pandangan mengenai novel di atas, Esten memiliki pandangan
tersendiri mengenai novel. Menurutnya, novel merupakan pengungkapan dari fragmen
kehidupan manusia yang terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan perubahan
jalan hidup antar pelakunya (Esten, 2978: 12).  Permasalahan yang sering diangkat oleh
pengarang dalam karya-karyanya biasanya berangkat dari permasalahan kejiwaan
(Psikologi). Hal tersebut dikarenakan dalam kajian psikologi mengkaji tentang perilaku
tokoh-tokoh dalam novel yang dihasilkan. Kajian psikologi tersebut, memiliki cabang
kajian berupa Psikoanalisis.
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali
dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner dalam Endraswara, 2013: 101) seorang
dokumenter termuda dari Wina. Psikoanalisa ditemukan oleh freud pada tahun 1980-an.
Teori-teori Freud dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual, walauapun Freud
adalah seorang dokter yang selalu berpikir secara ilmiah namun dunia sastra tidak asing
baginya karena semasa mudanya ia memperoleh pendidikan sastra dan menelaahnya
secara serius (Minderop, 2010: 11).
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang
dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan¸ super ego (Endraswara, 2013:
101). Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk
totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya
(Endraswara, 2013: 101)
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, kondisi serupa juga diungkapkan oleh Erni
Aladjai dalam novelnya yang berjudul Pesan Cinta dari Hujan yang mengisahkan tentang
seorang anak perempuan bernama Hujan yang tinggal di Pulau Lipulalongo  yang terletak
di Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Sebuah pulau terpencil dengan budaya patrilineal
dan sinkritisme yang kental. Sejak kecil Hujan menyaksikan dan merasakan kekasaran
ayahnya terhadap ibunya, adiknya dan dirinya. Hal itu membuat Hujan lebih dekat dengan
sahabatnya yang bernama Hasna yang menderita Kusta dan hidup sebatang kara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti akan menggunakan kajian psikoanalisis untuk
mengungkap kepribadian tokoh utama dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni
Aladjai. Akan tetapi, sebelum melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kajian
tersebut, terlebih dahulu akan diungkap struktur novelnya terlebih dahulu.

C.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1.      Bagaiamana struktur novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai?
2.      Bagaiamana kepribadian tokoh Hujan dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni
Aladjai?

D.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk memaparkan struktur novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai.  
2.      Untuk memaparkan kepribadian tokoh Hujan dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya
Erni Aladjai.

E.       Kajian Teori dan Pustaka


Kajian teori yang menjadi dasar pemikiran penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.    Novel
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet
yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil (Stanton, 2007: 90). Cirri khas
novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus
rumit, ini berarti novel dikatakan lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca dibandingkan
cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel tidak dibebani tanggung jawab untuk
menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakn lebih sulit
karena novel dituliskan dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi
yang lebih luas dibandingkan cerpen (Stanton, 2007: 90).
Stanton (2007: 91) meyatakan bahwa pada umumnya, setelah menyelesaikan sebuah novel,
seorang pembaca hanya mengingat seglintir hal saja (alur cerita yang samar atau berbagai
peristiwa menarik pada episode-episode teretentu). Istilah episode dalam fiksi hampir
mirip dengan adegan dalam drama. Pergeseran dari episode ke episode lain bisa ditandai
oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Episode yang individual biasanya
tidak terlalu sulit dibahas karena kita tidak perlu kembali ke bab berikutnya.
Stanton (2007: 92) menyatakan bahwa tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah “naratif”
atau “ringkasan” dan “scenic” atau “dramatis”. Episode naratif bercerita pada kita bahwa
sesuatu telah terjadi. Dalam episode ini, adegan  menunjukkan peristiwa yang sedang
terjadi sebagian besar melalui perantara dialog. Tipe selanjunya terdiri atas naratif dan
adegan dalam intensitas yang bergantian, selain itu juga terdapat episode yang dikenal
dengan istilah analitis atau mediatif yang rekaannya merenungkan karakter lain atau
peristiwa yang telah berlalu.  Oleh karena itu, agar pembaca dapat memahami isi novel
dengan baik, maka perlu membuat catatan-catatan kecil per bab.

2.    Teori Struktural
Abrams (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 1) mengatakan ada empat pendekatan
terhadap karya sastra, yaitu pendekatan mimetic, pendekatan pragmatik, pendekatan
ekspresif, dan pendekatan objektif. Teori struktural termasuk dalam pendekatan objektif,
yaitu pendekatan yang menganggap bahwa karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri
sendiri, menganggap bahwa karya sastra berifat otonom, terlepas dari alam sekitarnya,
baik bagi pembaca bahkan pengarangnya sendiri (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 1).
Sebelum menerapkan analisis lain yang lebih mendalam, prioritas pertama yang harus
dilakukan adalah menerapkan analisis strukturalisme terlebih dahulu karena tanpa adanya
analisis struktural tersebut, kebulatan makna dalam karya sastra tidak dapat diungkap.
Stanton (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 2) membedakan unsur pembangun sebuah novel
ke dalam tiga bagian yaitu, fakta, tema, dan sarana sastra. dalam sebuah cerita, fakta
meliputi karakter (tokoh), plot dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai
satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Unusr-unsur pembentuk novel yang utama menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2)
meliputi tema, tokoh, alur (plot) dan latar (setting).

a.  Tema

Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) menyatakan bahwa tema berasal dari


kata tithnai (bahasa Yunani) yang berarti menempatkan, meletakkan. Jadi, arti kata “tema”
berarti sesuatu yang telah diuraikan atau segala sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu
yang telah ditempatkan (Keraf dalam Wahyuningtas, 2011: 2).

Senada dengan pendapat di atas, Stanton dan Kenny (dalam Wahyuningtyas dan Santosa,
2011: 2) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Sedangkan tema menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Wahyuningtyas dan Santoso,
2011: 2) merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantic dan yang menyangkut persamaan-
persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Jadi, secara umum tema dapat diartikan sebagai ssebuah gagasan umum yang terkandung
dalam karya sastra.
b.    Tokoh

Tokoh merujuk pada orang sebagai pelaku cerita (Wahyungtyas dan Santosa, 2011: 3).
Abrams dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) memaparkan bahwa tokoh cerita
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh dalam cerita fiksi dibagi menjadi:

a)    Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) merupakan tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam prosa yang bersangkutan. Sedangkan tokoh tambahan
adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk mendukung tokoh utama.

b)   Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonist menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) adalah tokoh yang
memegang peranan pimpinan dalam cerita, tokoh ini ialah tokoh yang menampilkan
sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan merupakan
pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Adapaun tokoh antagonis
adalah penentang dari tokoh protagonist sehingga menyebabkan konflik dan ketengangan
(Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 4).

Altenbernd dan Lewis (2011: 4) menyatakan bahwa teknik penggambaran tokoh antara lain
sebagai berikut:

(a)    Secara analitik, pelukisan tokoh cerita melalui deskripsi dan penjelasan secara langung.

(b)   Secara dramatik, pengarang tidak langsung mendeskripsikan sifat, sikap, dan tingkah
laku tokoh

c.    Alur

Stanton dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 5) menyatakan bahwa plot atau alur adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan dengan peristiwa yang lain.

Tasrif dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 5) membedakan tahapan plot menjadi lima


bagian, yaitu:

a)      Tahap Situation (Penyituasian), tahap ini berisi perlukisan dan pengenalan situas (latar)


dan tokoh cerita.

b)      Tahap Generating Circumtances (Pemunculan Konflik), tahap ini berisi masalah-


masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik yang mulai
dimunculkan.
c)      Tahap Rising Action (Peningkatan Konflik), tahap ini berarti konflik yang dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang.

d)     Tahap Climax (Klimaks), tahap ini berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada
tokoh cerita ketika mencapai titik puncak.

e)      Tahap Denouement (Penyesuaian), tahap ini berisi penyesuaian dari konflik yang sedang


terjadi.

d.   Latar (setting)

Abrmas dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) menyatakan bahwa latar adalah landas
tumpu, penyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat erjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Nurgiyantoro dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) membedakan latar dibagi menjadi
tiga unsur pokok, yaitu:

a)      Latar tempat (menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya
sastra, seperti: desa, sungai, jalan, hutan, dan lain-lain).

b)      Latar Waktu (menyaran pada ‘kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya sastra misalnya tahun, musim, hari, san jam).

c)      Latar sosial (menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra, misalnya kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan lain-lain).

e.  Sudut Pandang (Pusat Pengisahan/ Point of View)

Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan titik pandang dari sudut pandang dari sudut
mana cerita itu dikisahkan (Nurgiyantoro dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8).

3.    Psikologi dan Psikologi Sastra

Psikologi adalah suatu disiplin ilmu mengenai kejiwaan. Psikologi merupakan ilmu yang
bediri sendiri, tidak bergabung dengan ilmu-ilmu lain, akan tetapi psikologi dipandang
sebagai ilmu yang sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu lainnya (Wahyuningtyas dan
Santosa, 2011: 8). Psikologi berkaitan dengan ilmu sastra (humaniora). Wellek dan
Warren (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8) mengatakan bahwa psikologi dalam
sastra terdapat empat kategori. Yaitu: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi; (2) studi hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra; (3)
proses kreatif; serta (4) pengarang dan latar belakang pengarangnya mempelajari dampak
sastra terhadap pembaca atau psikologi karya sastra.

Psikologi sastra adalah kajian yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan
(Endraswara, 2013: 96). Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam
berkarya, pun dengan pembaca dalam menanggapi karya juga tak lepas dari kejiwaan
masing-masing bahkan sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal
sastra sebagai sebagai pantulan jiwa (Endraswara, 2013: 96).

Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya
beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih
mendalam aspek perwatakan; kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik
kepada peneliti tentang perwatakan yang dikembangkan; dan terakhir, penelitian semacam
ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-
masalah psikologis (Endraswara dalam Minderop, 2010: 2) .

4.    Psikologi Kepribadian

Abdul Aziz Ahyadi (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 13) mengatakan bahwa istilah
kepribadian digunakan untuk pengertian yang ditujukan pada individu atau peorangan.

Gordes W. Alport (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 13-14) dalam Psikologi


Agama memberikan definisi kepribadian sebagai berikut:

Personality is the dynamic organization within the individual of those psycophysical system
that determine his unique adjustment to his environment.

“Kepribadian ialah organisasi sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang
menentukan penyelesaian dirinya yang unik terhadap lingkungan”.

Pakar lain, Hilgard (dalam Minderop, 2011: 4) menyatakan bahwa kepribadian menurut
psikologi bisa mengacu pada karakteristik perilaku dan pola pikir yang menentukan
penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian dibentuk oleh potensi sejak lahir
yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan pengalaman unik yang mempengaruhi
seseorang sebagai individu. Pendekatan teoretis untuk memahami psikologi kepribadian
yang mencakup kualitas nalar, psikoanalisis, pendidikan sosial, dan teori-teori humanistik.

Menurut pandangan eksperimental, kajian kepribadian merupakan suatu proses yang harus
dipahami dengan mempelajari peristiwa yang haus dipahami dengan mempelajari
peristiwa yang mempengaruhi perilaku seseorang melalui kontribusi peristiwa tersebut
terhadap keprbadian si individu (Krech dalam Minderop, 2010: 7).  Menurut pandangan
sosial, kajian kepribadian dalam kaitannya dengan konteks sosial dan perkembangan
kehidupan harus dipahami melalui kontribusi model dan peran kebudayaan serta
kebudayaan itu sendiri  (Krech, dalam Minderop, 2010: 7).

Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian manusia dengan objek
penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia (Minderop, 2010: 8).
Minderop (2010: 8) menyatakan bahwa sasaran pertama psikologi kepribadian adalah
memperoleh informasi mengenai tingkah laku manusia. Karya sastra, sejarah, dan agama
bisa memberikan informasi yang berharga mengenai tingkah lau manusia (Koswara dalam
Minderop, 2010: 8). Sasaran kedua, psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat
hidup secara utuh dan mampu memuaskan, sasaran ketiga adalah agar individu mampu
mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan
lingkungan psikologis.

Fungsi psikologi kepribadian adalah fungsi deskriptif (menguraikan) dan mengorganisasi


tingkah laku manusia atau kejadian-kejadian yang dialami individu secara sistematis
(Minderop, 2010: 8). Fungsi kedua ialah fungsi prediktif, ilmu yang harus mampu
meramalkan tingkah laku, kejadian, atau akibat yang belum muncul dari diri individu
(Minderop, 2010: 8).

5.    Teori Kepribadian Psikoanalisis

Psikoanalisis oleh Freud sekitar tahun 1980-an. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang
dimulai sekitar tahun 1990-an oleh Sigmund Freud, teori ini behubungan dengan fungsi
dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang
memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini (Brenner
dalam Minderop, 2010: 11).

Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang
dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id, ego, dan super ego (Endraswara, 2013:
1010). Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar (Endraswara,
2013: 101). Dalam pandangan Atmaja dalam Endraswara (2013: 101) menyatakan
bahwa id merupakan acuan penting untuk memaami mengapa seniman/ sastrawan menjadi
kreatif. Melalui id pula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam
karyanya. Id merupakan aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang
berisi insting dan nafsu yang tak kenal nilai yang berupa “energy buta” (Endraswara,
2013: 101).

Dalam perkembangnnya kemudian tumbuh ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip


kenyataan, sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-
doraongan  “buta” id tersebut (Endraswara, 2013: 101). Dapat disimpulkan bahwa ego
(das ich) adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada
dunia obyek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan
(Endraswara, 2013: 101). Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak
dengan dunia luar, sementara super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang
berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk) (Endraswara,
2013: 101).

F.       Metode Penelitian
1.      Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini unsur penokohan yang tercermin dalam kepribadian
tokoh,  terutama tokoh Hujan sebagai tokoh utama dalam novel yang akan diteliti.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel  Pesan Cinta dari Hujan  karya Erni
Aladjai yang diterbitkan oleh INSISTPress Yogyakarta pada bulan Oktober 2010. Setebal
272 Halaman. Sedangkan sumber data sekundernya adalah berupa laporan penelitian
sastra baik skripsi, tesis, disertasi, maupun jurnal penelitian sastra.

2.      Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka.
Data yang digunakan adalah berupa data-data tertulis yang sesuai dengan objek formal
penelitian.  Setelah data terkumpul, kemudian peneliti membaca secara keseluruhan,
memahami, dan mengidentifikasi novel Pesan Cinta dari Hujan utamanya mengenai
aspek id, ego, dan super ego tokoh Hujan sebagai tokoh utama.

3.      Teknik Penarikan Sampel


Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini teknik purposive
sampling  atau quota sampling. Teknik ini merupakan teknik pengambilan sampel secara
tidak acak beradasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan objek formal
penelitian yang digunakan.

4.      Teknik Triangulasi
Dalam teknik ini, peneliti melakukan pengumpulan data dari data yang sama. Data-data yang
telah diperoleh kemudian dicek ulang pada sumber data yang lain. Dalam triangulasi
metode, peneliti membandingkan data dengan data yang lain yang relevan.

5.      Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif analisis.
Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data yang telah diperoleh secara apa
adanya tanpa mengartikannya dengan angka-angka. Penekanan analisis data dalam
penelitian ini adalah pada pemahaman dan penghayatan atas hubungan antar konsep yang
dkaji secara empiris. Setelah itu, peneliti mengkaji data dengan kajian psikoanalisis yang
berkaitan dengan kondisi psikologi tokoh Hujan sebagai tokoh utama dengan melakukan
tinjauan yang berkaitan dengan id, ego, dan super ego.

G.      Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa


Bandung.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta:


Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.

Anda mungkin juga menyukai