Anda di halaman 1dari 9

ETIKA PROFESI NAZHIR WAKAF

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas UTS Etika Bisnis Islam

Oleh
LIS PURWANTI
NIM 2120407006

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM TAZKIA
2021 / 1443 H
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 2
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................. 2
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................................... 3
1.3. Tujuan ........................................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 4
2.1. Etika Profesi dalam Perspektif Islam ......................................................................................... 4
2.1. Syarat Nazhir dan Kode Etik Nazhir Wakaf .............................................................................. 5
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................................... 7
3.1. Kesimpulan................................................................................................................................... 7
3.2. Saran ............................................................................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 8

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini wakaf mulai mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang signifikan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah lembaga wakaf yang terdaftar di
Badan Wakaf Indonesia (BWI) yakni sebanyak 286 nazhir dan meningkatnya penghimpunan dana
wakaf yakni mencapai Rp. 2.000 Triliun per tahun, ditambah lagi dengan adanya Gerakan Nasional
Wakaf Uang (GWNU) yang diluncurkan oleh Presiden pada tanggal 25 Januari 2021 (BWI, 2021).
Praktik wakaf sendiri dalam Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Kemudian pada abad
ke-15 Masehi mulai kemunculan wakaf uang yakni tepatnya pada masa Turki Utsmani yang
selajutnya mulai dilirik oleh negara-negara Barat. Seorang akademisi ekonomi syariah, Hendri
Tanjung, Ph.D mengatakan bahwa trend wakaf kedepan difokuskan pada sistem pengembangan
khususnya wakaf (BWI,2020).

Di Indonesia sudah ada perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur serta


mekanisme dan pengelolaan wakaf baik wakaf tunai maupun wakaf produktif, yakni
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa yang dapat
menjadi nazhir (pengelola) wakaf adalah perorangan, organisasi maupun nazhir berbadan hukum,
kecuali dalam wakaf uang tidak boleh dilakukan oleh nazhir perorangan. Wakif (pihak yang
berwakaf) mengamanahkan harta wakaf kepada nazhir untuk dikelola secara maksimal agar
hasilnya lebih produktif dan lebih bermanfaat bagi mauquf alaih (penerima manfaat) maka nazhir
bukanlah pemilik aset wakaf melainkan hanya sebagai pengurus atau pengelola, karena harta
wakaf sudah diamanatkan untuk kemaslahatan umat. Wakaf ialah aset yang abadi yang tak lekang
oleh zaman yangmana sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan harta wakaf
tidak dapat dipindahkan kepemilikannya, dijaminkan, ditukar atau dialihkan haknya. Islam
mengkategorikannya sebagai sedekah jariyah dimana pahala atas wakaf tidak akan pernah
terputus meskipun wakif sudah meninggal dunia sebagaimana hadis nabi Muhammad saw:

‫ إال من صدقة‬: ‫ » إذا مات اإلنسان انقطع عنه معهل إال من ثالثة‬: ‫ قال‬، ‫ أن رسول هللا صىل هللا عليه وسمل‬، ‫عن أيب هريرة‬

‫ أو ودل صاحل يدعو هل‬، ‫ أو عمل ينتفع به‬، ‫“جارية‬

“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila anak Adam (manusia),
meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim)

Menurut Ahmad Atabik (2016) pengelolaan wakaf di Indonesia sampai dengan sekarang
ini berada di periode professional yakni periode dimana harta wakaf tidak lagi dimanfaatkan secara
konsumtif hanya untuk kepentingan ibadah, pemakaman dan lain sebagainya, namun sudah
berada ditahap pengelolaan dan pengembangan secara produktif dan professional agar hasil dari
dana wakaf yang dikelola dan dikembangkan bisa lebih maksimal pendayagunaanya untuk

2
kesejahteraan mauquf ‘alaih sebagai penerima manfaat. Wakaf saat ini juga sudah dikenal sebagai
salah satu pilar dalam keuangan Islam (Islamic Social Fund), yangmana wakaf dijadikan salah satu
alternatif sebagai pengurang kemiskinan dan membantu mengatasi kesenjangan sosial dan
ekonomi dalam masyarakat. Maka nazhir sebagai pengelola memegang peranan yang sangat
penting, karena nazhir bukan hanya menerima dana wakaf dari pewakif namun nazhir juga
berkewajiban menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari dana wakaf sehingga
berfungsi semestinya dan dapat berlangsung seterusnya. Dalam pasal 11 dalam Undang-Undang
wakaf, nazhir memiliki fungsi utama dalam pengembangan dan pengelolaan wakaf, yaitu sebagai
admin, sebagai pengelola, sebagai pengembang, sebagai pengawas dan pelindung, dan sebagai
petugas yang melaporkan harta wakaf ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). Kemudian untuk
pengelolaan wakaf uang juga ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh nazhir, yaitu
bisnis yang dijalankan harus sesuai dengan syariat Islam; dapat diperhitungkan baik dari aspek
keuangan maupun tingkat resikonya; dan terakhir lolos uji kelayakan (Nasar, 2021).
Melihat urgentitasnya dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf yang bergerak masif
seperti sekarang ini, maka dibutuhkan nazhir yang tidak hanya memahami hukum-hukum syariah
terkait wakaf akan tetapi juga dibutuhkan nazhir yang jujur, amanah dan professional yakni
senantiasa melakukan tugasnya secara maksimal, dengan cara terbaik dan tidak asal-asalan,
sehingga harta wakaf dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi mauquf ‘alaih. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu
pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan." (HR Thabrani). Selain itu nazhir
juga membutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan nazhir karena
menurut Ahmad (2019), nazhir dalam mengelola dan mengembangkan wakaf selama ini masih
banyak mengalami kendala salah satunya yakni minimnya SDM yang kompeten yangmana kurang
memahami hukum-hukum syariah dan kurangnya kemampuan dalam mengelola dan
mengembangkan aset wakaf. Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengulas
mengenai etika profesi nazhir wakaf serta dampaknya terhadap kepercayaan wakif dan
keberlangsungan usaha yang dikelola oleh nazhir.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Apa yang dimaksud etika profesi dalam perspektif Islam ?
2. Apa syarat dan kode etik nazhir wakaf ?

1.3. Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui etika profesi dalam perspektif Islam
2. Mengetahui syarat dan kode etik nazhir wakaf

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Etika Profesi dalam Perspektif Islam

Masalah etika tidak akan terlepas dari pembahasan akhlak. Menurut Prof. Dr. Muhammad
Amin Suma (2008) dalam menjalankan kegiatan muamalah seorang muslim tidak hanya berdasar
pada asas-asas ketauhidan sebagai tiang akidah namun juga harus didasarkan pada akhlak
sehingga kata akhlak sering diidentikkan dengan kata etik disamping moral. Etika berasal dari
bahasa Yunani yaitu “ethos” yang artinya adalah watak, karakter, sikap, atau kebiasaan seseorang.
Etika Islami adalah suatu ilmu tentang asas atau nilai yang berhubungan dengan akhlak sehingga
bisa membedakan mana hak dan kewajiban serta bisa membedakan mana yang benar dan yang
salah (Amin Suma, 2008).

Profesi menurut wikipedia (2021) berasal dari kata serapan yang artinya pekerjaan, akan
tetapi tidak semua pekerjaan bisa dinamakan profesi karena profesi mempunyai karakter tersendiri
yang berbeda dari pekerjaan satu dan lainnya. Etos kerja yaitu sikap atau nilai yang membentuk
kepribadian seseorang dalam bekerja (Sohari, 2013). Maka etika profesi dalam perspektif Islam
dapat diartikan sikap kepribadian seorang Muslim yang dalam melakukan setiap aktivitas
pekerjaannya selalu didasari oleh ketakwaan dan keimanan. Kata “kerja” dalam terminologi Islam
dikenal dengan istilah “amal”, dan “amal” tidak dapat dipisahkan dari “Iman”. Kerja tidak akan lepas
dari kehidupan seorang Muslim karena bekerja merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Untuk itu bekerja mempunyai makna bagi umat muslim yaitu upaya dengan sungguh-sungguh
dengan mengerahkan segala kemampuannya baik pikiran dan tenaga untuk mendapat keridhaan
Allah SWT. Sehingga tujuan bekerja adalah bukan hanya untuk memuliakan dirinya tetapi bekerja
merupakan suatu bentuk perwujudan dari amal shaleh untuk menjadi bagian dari masyarakat
terbaik (khairu ummah) dan untuk memakmurkan bumi Allah. Allah SWT berfirman:

َ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ ُ ٰ َ ْ َ ‫ه‬ ْ ٰ َ َ َ ُْ ٰ َّ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ َ ٰٓ
‫اّٰلل َوذ ُروا الب ْي َعَۗ ذ ِلك ْم خ ْي ٌر لك ْم ِان كنت ْم تعل ُم ْون ف ِاذا ق ِضي ِت‬
ِ ‫وة ِم ْنَّي ْو ِم الج ُمع ِة ف ْاسع ْوا ِالى ِذك ِر‬ ُّ
ِ ‫يايها ال ِذين امنوْٓا ِاذا نودِ ي ِللصل‬

َ ُ ْ ُ ُ َّ َ َّ َ ‫ه‬ ُ ‫ه‬
َ ‫اّٰلل َو ْاذك ُروا‬ ْ َ َُ َْ َ ْ َ ُ ٰ َّ
‫اّٰلل ك ِث ْي ًرا لعلك ْم تف ِلح ْون‬ ِ ‫الصلوة فانت ِش ُر ْوا ِفى الا ْر ِض َو ْابتغ ْوا ِم ْن فض ِل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari
Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah: 9-10)

َ َّ
ْ ‫اّٰلل َلا َي ْمل ُك ْو َن ل ُك ْم ر ْز ًقا َف ْاب َت ُغ‬ َ َ ‫ه‬
َ ْ
‫الرزق‬ ِ
‫ْ َ ه‬
‫اّٰلل‬ ‫د‬ ‫ن‬‫ع‬ ‫ا‬‫و‬ ِ
‫ه‬
‫ن‬ ْ ‫اّٰلل ا ْو َث ًانا َّوتْخ ُل ُق ْو َن ا ْف ًكاَۗاَّن الذيْ َن َت ْع ُب ُد ْو َن م ْن ُد‬
‫و‬
ُ َ ُ ْ َ َ َّ
ِ ‫ِانما تع ُبد ْون ِم ْن د ْو ِن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ َ ُ َ َٗ ْ ُ ُ ْ َ ُْ ُ ُ ْ َ
‫َۗال ْيهِ ت ْرجع ْون‬ ِ ‫واعبدوه واشكروا له‬

4
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat
kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan
rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” (Q.S. Al-Ankabut: 17)

Seorang Muslim yang memiliki etos kerja islami dalam kehidupan sehari-hari akan
melahirkan sikap yang mencerminkan aqidah dan akhlaknya. Termasuk dalam menjalankan
pekerjaan, apapun profesi atau pekerjaan yang dilakukannya hendaklah seorang Muslim bekerja
dengan cara terbaik, profesional dan tidak asal-asalan.

2.1. Syarat Nazhir dan Kode Etik Nazhir Wakaf

Sebagai upaya dalam mengentaskan kemiskinan, wakaf menjadi salah satu alternatif masa
kini yang cukup digemari oleh masyarakat. Konsep wakaf dewasa ini sudah mengalami pergeseran
paradigma yangmana awalnya peruntukannya adalah untuk kegiatan yang bersifat konsumtif
menjadi kegiatan yang bersifat produktif. Wakaf secara etimologi berasal dari bahasa Arab “Waqf”
yang berarti menahan, berhenti, atau diam. Secara istilah wakaf dapat diartikan sebagai menahan
harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan menahan pokoknya tanpa merusak
atau menghabiskannya dan digunakan untuk hal kebaikan (Prihatini et al., 2005). Dalam arti lain,
wakaf adalah bentuk penyerahan aset kepada nazhir perseorangan atau organisasi untuk dikelola
dan hasilnya didistribusikan kepada mauquf ‘alaih sebagai penerima manfaat (Ahmad, 2019).
Sedangkan dalam Undang-Undang wakaf, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif
yang memisahkan atau menyerahkan sebagian hartanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu
tertentu atau selamanya dengan tujuan untuk kepentingan ibadah dan untuk kesejahteraan umum.
Dari penjelasan tersebut sangatlah jelas, bahwa nazhir memegang peranan yang sangat
penting karena nazhir bertugas menjaga, mengembangkan dan melestarikan harta wakaf sehingga
mempunyai manfaat yang lebih besar untuk mauquf ’alaih. Maka seseorang yang menjadi nazhir
hendaknya adalah orang yang mampu menjalankan tugasnya hal ini juga berkaitan dengan kode
etik nazhir. Jumhur ulama sepakat bahwa syarat nazhir adalah adil dan mampu. Adil disini adalah
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dan mampu disini adalah kekuatan dan
kemampuan seseorang untuk mentasarrufkan apa yang dijaganya atau dapat ditaklifkan dengan
dewasa dan berakal (Prihatini et al., 2005).
Nazhir (pengelola) wakaf adalah perorangan, organisasi maupun nazhir berbadan hukum.
Dalam pasal 10 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan syarat untuk menjadi nazhir yaitu: “warga
negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta
tidak terhalang dari melakukan perbuatan hukum”. Nazhir dalam melakukan tugasnya harus
memperoleh pembinaan dari Menteri dan BWI karena wakaf tidak akan berkembang tanpa seorang
nazhir yang amanah dan profesional. Nazhir yang tidak professional mengakibatkan banyak harta
wakaf yang terbengkalai dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Ilyas, 2017) sehingga tujuan

5
dari wakaf untuk mengentaskan kemiskinan dan untuk kesejahteraan umat tidak akan dapat
tercapai.
Ilyas (2017) mengatakan bahwa nazhir yang profesional adalah seseorang yang melakukan
pekerjaan dengan paripurna dengan memaksimalkan keahlian dan keterampilannya serta
mempunyai komitmen atas pekerjaannya. Ciri atau karakteristik professional adalah 1) mempunyai
keterampilan dan keahlian khusus yang didapatkan dari pendidikan, pelatihan dan pengalaman ; 2)
menjalankan kode etik nazhir; 3) digaji sesuai dengan professionalitasnya dalam pekerjaan; 4)
mengabdikan dirinya untuk masyarakat; dan terakhir 5) mempunyai legalitas atau perizinan sebagai
nazhir. Maka kode etik nazhir adalah bagian yang tidak terpisahkan dari professionalitas nazhir
yaitu nazhir mempunyai komitmen moral yang tinggi dalam bidang pelayanan sosial. Nazhir bekerja
selain untuk menafkahi diri dan keluarganya, juga harus mempunyai azzam bahwa ia bekerja juga
untuk umat. Jika ia lalai dalam menjalankan tugasnya, maka ia juga lalai dalam menjalankan
kewajibannya terhadap masyarakat. Begitu juga ketika ia menjalankan tugasnya sekecil apapun
pekerjaan itu, maka akan berdampak besar untuk masyarakat baik sekarang ataupun di masa
mendatang.

6
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Nazhir adalah seseorang yang bertugas menjaga, mengembangkan dan melestarikan harta
wakaf sehingga mempunyai manfaat yang lebih besar untuk mauquf ’alaih sebagai penerima
manfaat. Nazhir mempunyai tanggung jawab dan amanah yang besar, karena kontribusi nazhir
sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas lembaga wakaf. Wakaf tidak akan
berkembang jika nazhir tidak professional. Dan professional tersebut berkaitan dengan kode etik
nazhir dimana nazhir dituntut untuk mempunyai komitmen moral yang tinggi yakni senantiasa
menjalankan tugasnya dengan cara terbaik dan tidak asal-asalan. Adanya kode etik nazhir ini selain
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerugian atas kelalaian nazhir dalam menjaga dan
mengelola harta wakaf , juga bertujuan untuk melindungi profesi nazhir wakaf dari perilaku-perilaku
yang dilarang oleh syariat Islam sehingga esensi wakaf dan lembaga wakaf akan terus terjaga.

3.2. Saran

Agar kemurnian wakaf terus terjaga, dan aset wakaf dapat berkembang secara optimal
sehingga hasilnya dapat mempunyai kebermanfaatan yang lebih besar, maka dibutuhkan nazhir
wakaf yang amanah dan professional. Namun dalam perjalanan dan perkembangan wakaf seperti
sekarang ini yangmana semakin masif, maka dibutuhkan peningkatan kompetensi nazhir.
Peningkatan kompetensi nazhir tersebut tidak hanya terbatas pada pengetahuan hukum syariat
wakaf, namun juga dalam pengembangan wakaf produktif yang inovatif dan juga pelaporan
keuangan. Lembaga dan regulator juga semestinya turut serta dalam pembinaan-pembinaan untuk
nazhir yangmana dapat dilakukan secara rutin dan berkala sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Sehingga kedepannya, nazhir yang mengelola dana wakaf baik itu nazhir perorangan, lembaga
atau yang berbadan hukum adalah nazhir yang telah tersertifikasi.

7
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Hadist


Ahmad, S. (2019). Akuntabilitas Pelaporan Wakaf Berdasarkan Psak Syariah. IV(2), 28–40.
Amin Suma, M. (2008). Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (1st ed.).
Kholam Publishing.
Atabik, A. (2016). Manajemen Pengelolaan Wakaf Tunai di Indonesia. Jurnal ZISWAF IAIN Kudus,
1(1), 82–107.
Badan Wakaf Indonesia (BWI). (2020). Outlook Perwakafan Indonesia 2021.
https://www.bwi.go.id/5737/2020/12/04/outlook-perwakafan-indonesia-2021/
Badan Wakaf Indonesia (BWI). (2021). Update! Daftar Nazhir Wakaf Uang Juli 2021.
https://www.bwi.go.id/7259/2021/08/24/update-daftar-nazhir-wakaf-uang-juli-2021/
Ilyas, M. (2017). Profesional Nazhir Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi. Al-Qadau, 4(1), 71–94.
Nasar, M. F. (2021). Wakaf, Sebuah Teks Yang Hidup. Kementerian Agama.
https://kemenag.go.id/read/wakaf-sebuah-teks-yang-hidup-xm3om
Prihatini, F., Hasanah, U., & Wirdyaningsih. (2005). Hukum Islam Zakat dan Wakaf (1st ed.). Papas
Sinar Sinanti dan FHUI.
Sohari, S. (2013). Etos Kerja Dalam Perspektif Islam. ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam,
4(2), 78–102. https://doi.org/10.32678/ijei.v4i2.16
Wikipedia. (2021). Profesi. https://id.wikipedia.org/wiki/Profesi

Anda mungkin juga menyukai