Anda di halaman 1dari 7

A.

Adab Terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

Allah Subhaanahu wa Ta'ala memerintahkan kita memiliki adab yang tinggi


terhadap Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut ini beberapa adab yang
perlu kita lakukan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

1) Mengimani bahwa Beliau adalah hamba dan Rasul-Nya

Pernyataan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai


hamba menghendaki kita untuk tidak bersikap ifrath (berlebihan) terhadap Beliau;
tidak seperti orang-orang Nasrani yang berlebihan terhadap nabi mereka sampai
menuhankannya. Dan pernyataan bahwa Beliau sebagai Rasul menghendaki kita
untuk tidak bersikap tafrith (meremehkan) Beliau, karena Beliau adalah utusan
Allah.

2) Menaati perintahnya.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(QS. Al Maa''idah: 92)

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa


cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An Nuur: 63)

3) Menjauhi larangannya.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukumannya." (QS. Al Hasyr: 7)

4) Membenarkan setiap sabdanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


“Demi Allah yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, tidak ada seorang pun yang
mendengar tentang diriku dari umat ini; baik orang Yahudi maupun Nasrani, lalu
ia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada yang aku bawa kecuali ia pasti
termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

5) Beribadah kepada Allah sesuai contohnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka
amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)

6) Mencintainya di atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, ayah, dan manusia
seluruhnya.

Rasulullah shallalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih
dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan manusia semuanya." (HR. Bukhari
dan Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam, bahwa Umar bin
Khaththab pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain
diriku," maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak, demi Allah yang diriku di Tangan-Nya, bahkan sampai aku lebih dicintai
olehmu daripada dirimu."

Umar berkata, "Sekarang, demi Allah. Engkau lebih aku cintai daripada diriku."
(HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, "Sekarang (sempurna


imanmu), wahai Umar."

7) Menghidupkan sunnahnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan pesan-


pesannya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


“Barang siapa mencontohkan dalam Islam sunnah yang baik, maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya. Barang
siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya
dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari
dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim)

Sunnah yang baik dalam hadits ini adalah mencontohkan sunnah


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sebelumnya ditinggalkan manusia,
sedangkan sunnah yang buruk adalah mengadakan bid'ah dalam agama. Hal ini
ditunjukkan oleh hadits berikut:

"Barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh
manusia, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa
yang mengadakan sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan
menanggung dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit
pun dari dosa orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan
shahih lighairih oleh Al Albani).

8) Mengedepan perkataan Beliau di atas semua perkataan manusia.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,

"Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan
Umar berkata."

Imam Abu Hanifah pernah berkata,

"Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan
berita dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."

Imam malik pernah berkata,

"Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan
pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam."
Imam Syafi'i pernah berkata,

"Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya
meninggalkannya karena pendapat seseorang."

Imam Ahmad pernah berkata,

"Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
dia berada di tepi jurang kebinasaan."

9) Menjadikan Beliau sebagai hakim terhadap semua masalah yang diperselisihkan.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An Nisaa': 65)

10) Bershalawat dan salam kepadanya.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai


orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya." (QS. Al Ahzaab: 56)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang ketika disebut namaku di dekatnya,
namun tidak mau bershalawat kepadaku." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu
Hibban, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 2878).

B. Etika Terhadap Diri Sendiri

Manusia tidak ada yang sempurna dan juga tidak bisa lepas dari dosa-dosa
yang telah di perbuat. Oleh karena itu seorang muslim seharusnya senantiasa berusaha
untuk memperbaiki dan menyucikan dirinya dari perbuatan dosa yang mengotori
aktivitas dan amal-amal perbuatannya. Dalam memenuhi etika untuk membersihkan
dan menyucikan diri sendiri seorang muslim dapat menempuh beberapa cara yakni:

1) Taubat
Manusia yang tak bisa lepas dari dosa oleh karena itu setiap muslim butuh
ampunan dari Allah. Ampunan Allah dapat diperoleh dengan istighfar dan taubat.
Rasulullah yang sudah terjaga dari dosapun tetap beristighfar dan bertaubat.
Sebagaimana Rasulullah bersabda “Demi Allah sesungguhnya aku beristighfar
kepada Allah dan bertaubat kepada–Nya dalam satu hari lebih dari 70 kali.” (Hr.
Bukhari).
Esensi dari taubat sebenarnya adalah menyesali perbuatan dosa yang telah
dilakukan dan bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Allah
sendiri mencintai orang-orang bertaubat dan memberikan hadiah berupa ampunan
dan surga yang kekal bagi mereka.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai.." (At-Tahrim: 8)

"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung." (An-Nuur: 31)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam
sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim)

2) Muraqabah
Muraqabah merupakan sebuah perasaan di mana Allah senantiasa melihat
dan mengawasi setiap aktivitas seorang muslim. Nilai plus tersendiri bagi setiap
muslim yang bisa menghadirkan Allah di setiap aktivitas sehingga setiap
aktivitasnya dapat bernilai surga. Dengan cara seperti itu setiap muslim dapat
merasakan kebesaran Allah, ketentraman ketika mengingat nama-Nya dan ketika
taat kepada-Nya.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya." (An-Nisaa’: 125)

3) Muhasabah
Seorang muslim yang beretika pada dirinya sendiri hendaknya melakukan
muhasabah terhadap semua aktivitas yang telah dilakukan, baik aktivitas dunia
maupun aktivitas akhirat. Muhasabah atau evaluasi penting dilakukan bagi
seorang muslim karena dengan itu seorang muslim dapat melakukan perbaikan
diri di mana orientasi dari perbaikan diri ini adalah akhirat.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (Al-Hasyr: 18)

Adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, jika waktu malam telah
tiba, ia memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang
telah engkau kerjakan siang tadi?”

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Evaluasilah diri


kalian, sebelum kalian dievaluasi.”

Muhasabah yang dilakukan setiap muslim akan meringankan hisab di


yaumul akhir. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khatab mengatakan “Hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab dan bersiaplah kalian untuk hari
aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada
hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya didunia.”

4) Mujahadah

Ada yang pernah berkata kepada Hasan Al Bashri “Wahai Abu Sa’id jihad
apa yang paling afdhol?” Beliau menjawab “Jihadmu melawan hawa nafsumu”.
Sudah seharusnya bagi setiap muslim memerangi hawa nafsunya karena
itulah yang dapat mengakibatkan setiap muslim bermalas-malasan, santai, dan
terjerumus dalam syahwat.
Ustadz Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengatakan dalam minhajul muslim
bahwa setiap muslim harus memerangi hawa nafsunya jika hawa nafsunya
menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya
menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam
ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian
mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan
mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan.
Oleh karena itu seorang muslim hendaknya istiqomah dalam berjuang
memerangi hawa nafsunya.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar


akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

DAFTAR PUSTAKA

Brilyan, P. (2014). Etika Seorang Muslim Terhadap Diri Sendiri. [Online]

https://www.google.com/amp/s/www.dakwatuna.com/2014/11/26/60700/
etika-seorang-muslim-terhadap-diri-sendiri/amp/

[diakses pada 26 november 2014]

__________.(2013). Adab Terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.


[Online] http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/2013/01/adab-terhadap-rasulullah-
shallallahu.html?m=1

[diakses pada 10 januari 2013]

Anda mungkin juga menyukai