Anda di halaman 1dari 9

Etika Pendidikan Agama Islam

A. Pengertian Etika

Etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani ”Ethos” yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata lain
“Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup
(Zubair, 1987:13).

Sedangkan Etika menurut para ahli sebagai berikut (Abuddin, 2000: 88-89):
1. Ahmad Amin berpendapat, bahwa etika merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
2.  Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang
baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengatahuan
tentang nilai-nilai itu sendiri.
3. Ki Hajar Dewantara mengartikan etika merupakan ilmu yang mempelajari soal
kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semaunya, teristimewa yang
mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan
perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

B. Etika Menurut Ajaran Islam

Istilah etika dalam ajaran Islam tidak sama dengan apa yang diartikan oleh
para ilmuan barat. Bila etika barat sifatnya ”antroposentrik” (berkisar sekitar
manusia), maka etika islam bersipat ”teosentrik” (berkisar sekitar Tuhan). Dalam etika
Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal saleh atau dosa dengan pahala
atau siksa, dengan surga atau neraka (Musnamar, 1986: 88).
Dipandang dari segi ajaran yang mendasari etika Islam tergolong etika teologis.
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’qub pengertian etika teologis ialah yang menjadi ukuran
baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala
perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk (Ya’qub, 1985: 96).
Karakter khusus etika Islam sebagian besar bergantung kepada konsepnya mengenai
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan alam dan
masyarakat (Naquib,1993: 83).

C. Butir-butir Etika Islam

Butir-butir etika Islam yang dapat diidentifkasikan, antara lain :


1. Tuhan merupakan sumber hukum dan sumber moral. Kedua hal tersebut
disampaikan berupa wahyu melalui para Nabi dan para Rasul, dikodifikasikan ke
dalam kitab-kitab suci Allah.
2.  Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah, serta didasari
atas niat baik.
3. Kebaikan adalah keindahan ahklak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah perasaan
tidak enak, serta merasa tidak senang apabila perbuatanya diketahui orang banyak.
4. Prikemanusiaan hendaknya berlaku bagi siapa saja, dimana saja, kapan saja,
bahkan dalam perang .
5. Anak wajib berbakti kepada orang tuanya (Musnamar, 1986: 89-93).

D. Hubungan Etika /Adab di dalam pendidikan

Semua jabatan dalam masyarakat mempunyai kode etik, demikian juga


seharusnya dalam jabatan guru (Roestiyah, 1989: 35). Kode etik guru diartikan
sebagai aturan tata susila keguruan. Maksudnya aturan-aturan tentang keguruan (yang
menyangkut pekerjaan-pekerjaan guru) dilihat dari segi susila. Menurut Westby
Gibson, kode etik guru dikatakan sebagai suatu statement formal yang merupakan
norma (aturan tata susila) dalam mengatur tingkah laku guru. Sehubungan dengan itu,
maka kode etik guru merupakan semacam penangkal dari kecenderungan manusiawi
seorang guru yang ingin menyeleweng, agar tidak jadi berbuat menyeleweng
(Sudirman, 2001: 149-150).
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya merupakan penampilan lain dari
kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang
sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua
yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Cara guru berpakaian,
berbicara, berjalan dan bergaul juga merupakan penampilan kepribadian lain, yang
juga mempunyai pengaruh terhadap anak didik ( Daradjat, 1980: 18, 20).

E. Tata Cara Wajib Diamalkan oleh Seorang Guru dalam Jabatannya

1. Hubungan guru dengan murid, antara lain:


a. Guru selaku pendidik hendaknya selalu menjadikan dirinya suri tauladan bagi
anak didiknya.
b. Di dalam melakukan tugas harus dijiwai dengan kasih sayang, adil serta
menumbuhkannya dengan penuh tanggung jawab.
c. Guru seyogyanya tidak memberikan pelajaran tambahan kepada muridnya sendiri
dengan memungut bayaran.
2. Hubungan guru dengan sesama guru, antara lain:
a. Di dalam pergaulan sesama guru hendaknya bersifat terus terang, jujur, dan sederajat.
a. b. Di dalam menunaikan tugas dan memecahkan persoalan bersama hendaknya
saling tolong menolong dan penuh toleransi.
b. Guru hendaknya mencegah pembicaraan yang bersifat sensitif, yang berhubungan
dengan dengan sesama guru.
3. Hubungan guru dengan atasannya, antara lain:
a. Guru wajib melaksanakan perintah dan kebijaksanaan atasannya.
b. Setiap saran dan kritik kepada atasan harus diberikan melalui prosedur dan forum
semestinya.
c. Jalinan hubungan antara guru dan atasan hendaknya selalu diarahkan untuk
meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang menjadi tanggung jawab
bersama.
4. Hubungan guru dengan orang tua, antara lain:
a. Guru hendaknya selalu mengadakan hubungan timbal balik dengan orang tua / wali
anak dalam rangka kerja sama untuk memecahkan persoalan-persoalan di sekolah dan
pribadi anak.
b. Segala kesalahfahaman yang terjadi antara guru dan oarang tua / wali anak, hendaknya
diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat.
5. Hubungan guru dengan masyarakat, antara lain:
a. Guru hendaknya selalu beradaptasi terhadap lembaga serta organisasi-organisasi di
dalam masyarakat yang berhubungan dengan usaha pendidikan, sebab pada
hakikatnya pendidikan itu merupakan tugas pembangunan dan kemanusiaan.
b. Guru hendaknya melayani dan membantu memecahkan masalah-masalah yang timbul
di dalam masyarakat sesuai dengan fungsi dan kemampuannya (Team Didaktik, 1993:
18-20).

E. Etika / Adab dalam Bergaul Anak Didik


1. Adab Terhadap Guru
Guru adalah orang yang telah memberikan ilmu atau pelajaran kepada murid,
maka adalah menjadi tugas murid untuk memuliakan guru dengan cara, antara lain:
(Daradjat, 1995: 274).

a. Mengucapkan salam terlebih dahulu bila bertemu dengan guru.


b. Senantiasa patuh dan hormat kepada perintah guru sepanjang tidak melanggar ajaran
agama dan undang-undang Negara. Menghormati guru termasuk dalam menghormati
ilmu sebab guru merupakan perantara atau washilah untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan (Mahali, 1989: 50).
c. Tunjukkan perhatian ketika guru memberilkan pelajaran, bertanyalah dengan sopan
menurut keperluannya.
d. Jangan berjalan di muka guru atau berjalan mendahului guru, kecuali dengan izinnya.

2. Adab Terhadap Sesama Murid.


Khususnya diantara murid pria dan wanita, karena dalam pergulan diantara
mereka itulah sering terjadi peluang yang mengganggu kehidupan belajar dan
berakibat jauh dalam kehidupan mereka kelak. Menjadi tugas murid supaya:

a. Senantiasa ” menjaga jarak” baik dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti
kiasan, sehingga hubungannya hanya berlangsung sesuai dengan kepentingan dan
seperlunya.
b. Pelihara diri dari ucapan dan tingkah laku, agar terhindar dari pikiran dan perbuatan
maksiat.
c. Secara bersama-sama senantiasa berusaha membina pergaulan dengan norma- norma
agama dalam berbagai kegiatan belajar di dalam maupun di luar sekolah / kelas
(Daradjat, 1995: 274-275).
Adab Terhadap Allah ‘Azza wa Jalla

Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-
Nya dan meminta ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami
dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka
tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba Allah dan utusan-Nya semoga shalawat Allah dan salam terlimpah
kepadanya. Amma ba’d,
Sudah sepatutnya seorang muslim memiliki sikap yang pantas terhadap Allah Subhaanahu
wa Ta’ala Tuhannya dan karena keberadaan dia dihadapan-Nya sebagai hamba.

Maka berikut ini di antara sikap-sikap yang patut dimiliknya terhadap Allah Azza wa Jalla

Tuhannya.

1. Tidak Berbuat Syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Oleh karena itu, dia hanya beribadah dan menyembah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala saja, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta, Penguasa, dan Pengatur
alam semesta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫س َوالَلِ ْلقَ َم ِر َوا ْس ُجدُوا هَّلِل ِ الَّ ِذي َخلَقَه َُّن ِإن ُكنتُ ْم ِإيَّاهُ تَ ْعبُ ُدون‬
ِ ‫َو ِم ْن َءايَاتِ ِه الَّ ْي ُل َوالنَّهَا ُر َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر الَتَ ْس ُجدُوا لِل َّش ْم‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kamu sembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang
menciptakannya, jika Dialah yang kamu sembah.” (QS. Fushshilat: 37)
2. Mengikhlaskan Ibadah Hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ikhlas adalah syarat diterimanya ibadah di samping sesuai sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah menerima amal yang ikhlas
karena-Nya dan jauh dari riya’, Dia berfirman:
“Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110)
3. Merasa Diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat semua makhluk-Nya; Dia melihat perbuatan kita dan
mendengar ucapan kita serta mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Oleh karena itu,
seorang muslim hendaknya berusaha menaati Tuhannya baik dalam suasana sepi maupun
terang-terangan serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang ihsan, Beliau menjawab,
َ‫َأ ْن تَ ْعبُ َد هَّللا َ َكَأنَّكَ تَ َراهُ فَِإ ْن لَ ْم تَ ُك ْن تَ َراهُ فَِإنَّهُ يَ َراك‬

“Yaitu kamu beribadah kepada Allah, seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak
merasa begitu, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
4. Meminta Pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang muslim senantiasa meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yakin, bahwa
Dialah yang berkuasa untuk memberikan dan menghalangi, sehingga Dia pun meminta dan
menghadap kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ َّ‫ك ِم َّمن تَ َشآ ُء َوتُ ِع ُّز َمن تَ َشآ ُء َوتُ ِذلُّ َمن تَ َشآ ُء بِيَ ِدكَ ْالخَ ْي ُر ِإن‬
ِّ‫ك َعلَى ُكل‬ َ ‫ع ْال ُم ْل‬ ِ ‫ك تُْؤ تِي ْال ُم ْلكَ َمن تَ َشآ ُء َوت‬
ُ ‫َنز‬ ِ ‫ك ْال ُم ْل‬
ِ ِ‫قُ ِل اللَّهُ َّم َمال‬
‫َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬

Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫ت َعلَى‬ ْ ‫ َوا ْعلَ ْم َأ َّن ْاُأل َّمةَ لَوْ اجْ تَ َم َع‬،ِ‫ ِإ َذا َسَأ ْلتَ فَا ْسَأ ِل هللاَ َوِإ َذا ا ْستَ َع ْنتَ فَا ْستَ ِع ْن بِاهلل‬،َ‫ احْ فَ ِظ هللاَ تَ ِج ْدهُ تُ َجاهَك‬،‫ك‬ ْ َ‫اِحْ فَ ِظ هللاَ يَحْ ف‬
َ ‫ظ‬
ُ‫ك بِ َش ْي ٍء لَ ْم يَضُرُّ وْ كَ ِإالَّ بِ َش ْي ٍء قَ ْد َكتَبَه‬ ‫َأ‬
َ ْ‫ َوِإ ِن اجْ تَ َمعُوا َعلَى ْن يَضُرُّ و‬،َ‫ك ِإالَّ بِ َش ْي ٍء قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ لَك‬ َ ْ‫ك بِ َش ْي ٍء لَ ْم يَ ْنفَعُو‬َ ْ‫ يَ ْنفَعُو‬ ‫َأ ْن‬
‫ُف‬
ِ ‫ت الصُّ ح‬ ِ َّ‫ت اَْأل ْقالَ ُم َو َجف‬ ِ ‫ ُرفِ َع‬،‫ك‬ َ ‫هللاُ َعلَ ْي‬

“Jagalah (perintah) Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah (perintah) Allah niscaya
Dia akan selalu berada di hadapanmu[1]. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah,
jika kamu memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah,
sesungguhnya jika sebuah umat berkumpul untuk mendatangkan suatu manfaat kepadamu,
niscaya mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikit pun kecuali sesuai apa yang
telah ditetapkan Allah bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu bahaya
kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali bahaya yang telah
ditetapkan Allah bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering[2]. (HR. Tirmidzi
dan dia berkata, “Hadisnya hasan shahih.”)
5. Mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang muslim cinta kepada Tuhannya dan tidak mendurhakai-Nya. Hal ini sebagaimana
firman-Nya:

“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165)
6. Memuliakan Syiar-syiarnya
Seorang muslim memuliakan perintah-perintah Allah. Oleh karena itu, ia segera menjalankan
perintah-Nya, ia juga menghormati larangan-larangan Allah sehingga ia pun menjauhinya. Ia
juga tidak malas dan meremehkan ibadah. Ia lakukan hal itu (menghormati syiar-syiar Allah)
adalah karena ia tahu bahwa hal itu menambahkan ketakwaan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-
syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari Ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
7. Marah ketika Larangan-larangan Allah Dilanggar
Seorang muslim ketika melihat orang yang mengerjakan suatu dosa atau tetap di atas maksiat,
maka ia marah karena Allah, ia mencoba untuk merubah kemungkaran atau kemaksiatan
yang ia lihat itu. Dan di antara dosa besar yang membinasakan seseorang dan menyebabkan
kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menghina agama Allah atau menghina kitab-
Nya atau Rasul-Nya. Seorang muslim marah terhadapnya dan melarang orang yang
melakukannya serta memperingatkan azab Allah kepadanya.
8. Bertawakkal kepada Allah
Seorang muslim bertawakkal kepada Allah dalam setiap urusannya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS.Ath Thalaq: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ق الطَّ ْي ُر تَ ْغدُو ِخ َماصًا َوتَرُو ُح بِطَانًا‬
ُ ‫ُز ْقتُ ْم َك َما يُرْ َز‬ َّ ‫لَوْ َأنَّ ُك ْم ُك ْنتُ ْم تَ َو َّكلُونَ َعلَى هَّللا ِ َح‬
ِ ‫ق تَ َو ُّكلِ ِه لَر‬

“Kalau kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu kamu akan diberi
rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, ia berangkat dalam keadaan berperut kosong dan
pulang dalam keadaan berperut kenyang.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, ia berkata, “Hadis
hasan shahih,” dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat Shahih Ibnu Majah 4164)
9. Ridha dengan Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang muslim ridha dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hal itu termasuk
tanda keimanannya kepada Allah. Oleh karena itu, ia pun bersabar dan tidak berkata
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian manusia, “Mengapa Engkau wahai Tuhanku
berbuat demikian kepadaku?”
Seorang muslim tidak akan menentang takdir Allah, bahkan mengucapkan kata-kata yang
membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
berikut:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar.—(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun[3], “–Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ف لِي خَ ْيرًا ِم ْنهَا ِإاَّل‬ ِ ‫صيبَةٌ فَيَقُو ُل َما َأ َم َرهُ هَّللا ُ{ ِإنَّا هَّلِل ِ َوِإنَّا ِإلَ ْي ِه َرا ِجعُونَ } اللَّهُ َّم ْأجُرْ نِي فِي ُم‬
ْ ِ‫صيبَتِي َوَأ ْخل‬ ِ ‫صيبُهُ ُم‬ِ ُ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم ت‬
‫َأ ْخلَفَ هَّللا ُ لَهُ خَ ْيرًا ِمنهَا‬
ْ
“Tidak ada seorang muslim yang ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan seperti yang
diperintahkan Allah kepadanya, “Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” Allahumma’jurniy
fii mushibati wa akhlif lii khairam minhaa[4].” Kecuali Allah akan menggantikan untuknya
yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim)
10. Bersumpah Hanya dengan Nama Allah
Seorang muslim tidak bersumpah kecuali dengan nama Allah dan tidak bersumpah kecuali
jika isinya benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ ‫ف بِاهَّلل ِ َأوْ لِيَصْ ُم‬
‫ت‬ ْ ِ‫َم ْن َكانَ َحالِفًا فَ ْليَحْ ل‬

“Barang siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam.” (HR.
Bukhari)
11. Bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Nikmat yang diberikan Allah kepada kita banyak sekali, bahkan saking banyaknya kita tidak
sanggup menghitungnya. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada
Allah baik dengan hatinya, yaitu ia akui bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah, dengan
lisannya, yaitu dengan memuji Allah, dan dengan anggota badannya, yaitu dengan
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dan menggunakan nikmat-nikmat itu
untuk ketaatan kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
  “Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
12. Bertaubat kepada Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar
kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا ِإلَى هَّللا ِ فَِإنِّي َأتُوبُ فِي ْاليَوْ ِم ِإلَ ْي ِه ِماَئةَ َم َّر ٍة‬

“Wahai manusia! Bertaubatlah kamu kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat dalam
sehari kepada-Nya sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim)
Seperti inilah adab seorang muslim terhadap Allah Tuhannya, ia bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya, malu kepada-Nya, bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, bertawakkal
kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, ridha dengan takdir-Nya, sabar
terhadap musibah yang menimpanya, tidak berdoa kepada selain-Nya, lisannya senantiasa
menyebut nama-Nya, tidak bersumpah kecuali dengan nama-Nya, tidak meminta pertolongan
kecuali kepada-Nya, selalu merasa diawasi-Nya dan berbuat ikhlas kepada-Nya baik di
suasana sepi maupun ramai.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa


man waalaah.
Adab Kepada Alquran

1. Hendaklah yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah,


bukan berniat ingin cari dunia atau cari pujian.
2. Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut
tersebut bisa dibersihkan dengan siwak atau bahan semisalnya.
3. Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun jika membacanya
dalam keadaan berhadats dibolehkan berdasarkan kesepatakan para ulama.

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk
Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR.
Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).

4. Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para
ulama sangat anjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah
tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid
berniat i’tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak
masuk masjid tersebut sudah berniat untuk i’tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya
diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum paham).
Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).

5. Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan
sakinah dan penuh ketenangan.
6. Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awudz. Bacaan ta’awudz menurut
jumhur (mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”.
Membaca ta’awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib.

Perintah untuk membaca ta’awudz di sini disebutkan dalam ayat,


ِ ‫فَِإ َذا قَ َرْأتَ ْالقُرْ َآنَ فَا ْست َِع ْذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن الر‬
‫َّج ِيم‬
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

7. Membaca “bismillahir rahmanir rahim” di setiap awal surat selain surat Bara’ah
(surat At-Taubah).
Catatan: Memulai pertengahan surat cukup dengan ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir
rahim.
8. Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusyu’ dan berusaha untuk
mentadabbur (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.
9.
Perintah untuk mentadabburi Al-Qur’an disebutkan dalam ayat,
‫ب َأ ْقفَالُهَا‬
ٍ ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ َآنَ َأ ْم َعلَى قُلُو‬
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS.
Muhammad: 24)
ِ ‫ك لِيَ َّدبَّرُوا َآيَاتِ ِه َولِيَتَ َذ َّك َر ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬ ٌ ‫ِكتَابٌ َأ ْن َز ْلنَاهُ ِإلَ ْيكَ ُمبَا َر‬
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah
untuk tadabbur banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran
tersebut. Ada cerita bahwa sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca
satu ayat yang terus diulang-ulang dan direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh.
Bahkan ada yang membaca Al-Qur’an karena saking mentadabburinya hingga pingsan. Lebih
dari itu, ada di antara ulama yang sampai meninggal dunia ketika mentadabburi Al-Qur’an.”
(At-Tibyan, hlm. 86)
Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa,
seorang ulama terkemuka di kalangan tabi’in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika
shalat Shubuh. Zararah membaca surat hingga sampai pada ayat,

ِ ُ‫فَِإ َذا نُقِ َر فِي النَّاق‬


َ ِ‫) فَ َذل‬8( ‫ور‬
)9( ‫ك يَوْ َمِئ ٍذ يَوْ ٌم َع ِسي ٌر‬
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” (QS.
Al-Mudattsir: 8-9). Ketika itu Zararah tersungkur lantas meninggal dunia. Bahz menyatakan
bahwa ia menjadi di antara orang yang memikul jenazahnya. (At-Tibyan, hlm. 87)
Ingat nasihat Ibrahim Al-Khawwash bahwa tombo ati (obat hati) ada lima:
 Membaca Al-Qur’an disertai tadabbur (perenungan)
 Perut kosong (rajin puasa)
 Rajin qiyamul lail (shalat malam)
 Merendahkan diri di waktu sahur
 Duduk dengan orang-orang shalih.

Anda mungkin juga menyukai