Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Akhlak, Etika-Moral dan Tasawuf

Disusun Oleh:
Ilham Muammar Rizwan (A0A018021)

Asyafa Diningrum (A0A018035)

Ulul Azmi Amalia Rahayu (A0A018048)

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena

limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan

makalah kami dengan judul “Akhlak, Etika-Moral dan Tasawuf” ini.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi

agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan

Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling

benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya

karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perilaku manusia harus disesuaikan dengan kehendak Sang Pencipta, yang

menciptakan manusia dan alam raya ini. Secara historis dan teologis, perilaku atau

akhlak dapat memadu perjalan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat.

Keterpaduan, keselarasan, kepatuhan, dan kepantasan manusia terhadap kehedak

Sang Pencipta dengan perilaku, tabiat, pengarai, dan budi pekerti manusia harus

merujuk pada firman Allah. Tidakkah berlebihan bila misi utama kerasulan

Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun

mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain

karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah

dalam Al-Qur’an.

Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta

agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhamad SAW itu dijadikan contoh dalam

kehidupan di berbagai bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini dijamin

keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Akhlak, Etika-Moral dan Tasawuf?

2. Bagaimana pembahasan dan ruang lingkup dari akhlak dan tasawuf?

3. Bagaimana hubungan antara tasawuf dan akhlak?

4. Bagaimana peranan dan fungsi dari akhlak tasawuf?


C. TUJUAN

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari Akhlak, Etika, Moral dan

Tasawuf

2. Mahasiwa dapat mengetahui tentang ruang lingkup dari Akhlak dan

Tasawuf

3. Mahasiwa dapat mengetahui hubungan antara Akhlak dan Tasawuf

4. Mahasiwa dapat mengetahui peran dan fungsi Akhlak dan Tasawuf.


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AKHLAK, ETIKA-MORAL DAN TASAWUF

1. Pengertian Akhlak

Secara bahasa (etimologis) kata akhlak berasal dari bahasa Arab

“Akhlaq” adalah bentuk jamak dari kata “Khuluq” yang berarti budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat. Seakar kata dengan kata “Khalaqa” berarti

menciptakan, menjadikan, membuat, “Khaliq” berarti pencipta, pembuat,

“Makhluq” berarti ciptaan, buatan dan “Makhlaq” berarti patut, pantas.

Sehingga, berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan diantaranya

adalah kata al-khlaq artinya ciptaan. Artinya menciptakan sesuatu tanpa

didahului oleh sebab contoh, atau dengan kata lain menciptakan sesuatu dari

tiada.

Secara terminologis beberapa definisi oleh para pakar, salah satu yaitu

pendapat dari Imam Al-Ghozali “ Akhlak adalah daya kekuatan (sifat yang

tertanam dalam jiwa) yang mendorong perbuatan-perbuatan yang sepontan

tanpa memerlukan pertimbagan dan pemikiran.

Pengertian diatas menggambarkan bahwa tingkah laku merupakan

bentuk kepribadian yang muncul dari dalam diri seseorang yang bersifat

spontan tanpa dibuat-buat. Jika baik menurut pandangan agama maka

tindakan itu dinamakan akhlak yang baik (al-akhlakul karimah/al-akhlakul

mahmudah) jika tindakan itu buruk maka disebut (al-akhlakul al-

madzmumah).
2. Pengertian Etika

Etika yaitu berasal dari Yunani Kuno “Ethos”. Kata Ethos dalam bentuk

tanggal mempunyai banyak arti, “tempat tinggal yang biasa, padang rumput,

kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.

Dalam bentuk jamak “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Dan arti inilah

yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “ethika” oleh filsuf besar

yunani Aristoteles, sudah dipakai sebagai filsafat moral. Etika merupakan

teori matang perbuatan manusia dilihat dari baik dan buruk.

Baik atau buruk mengandung tiga pengertian:

a. Nilai atau norma yang menjadi pegangan orang dalam mengatur tingkah

laku.

b. Kumpulan asas atau nilai moral.

c. Ilmu tentang baik atau buruk.

Etika memiliki tiga posisi, yakni etika sebagai sistem nilai, kode etik, dan

filsafatmoral.

1) Sistem nilai : etika berarti nilai-nilai & norma-norma moral yang menjadi

pegangan bagi seorang kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

2) Kode etik : etika berarti asas/nilai moral. Contoh kode etik dalam

jurnalistik, kedokteran.

3) Filsafat moral : memiliki kedudukan sebagai ilmu bukan sebagai ajaran.

3. Pengertian Moral

Dikutip dari Mourice B Mitchell, Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu

jamak dari “mose” yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa indonesia
moral diartikan susila. Moral artinya sesuai dengan ide-ide umum yang

diterima tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan

ukuran tindakan yang oleh umum diterima, meliputi kesatuan sosial atau

lingkungan tertentu. Moralitas terbagi menjadi 2 yaitu objektif dan subyektif.

a. Moralitas objektif : adalah moralitas yang diterapkan pada perbuatan

sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak dari prilakunya.

b. Moralitas subjektif : adalah moralitas yang memandang suatu perbuatan

ditinjau dari kondisi pengetahuan dan pusat perhatian dari pelakunya,

latar belakangnya, stabilitas emosionalnya serta prilaku personal lainya.

Istilah akhlak, etika, dan moral menentukan sifat baik dan buruk sikap

perbuatan manusia. Perbedaanya terletak pada sumber masing-masing.

Akhlak bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rosul, etika sumbernya dari

akal pikiran, dan moral bersumber pada adat kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat. Walaupun sumbernya berbeda, namun ketiga istilah itu

digunakan dengan makna yang sama, dan bahkan dipertukarkan.

4. Pengertian Tasawuf

Tasawuf secara etimologi maupun terminologi para ahli berbeda

pendapat. Di antaranya sebagai berikut:

1) Tasawuf yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti

sekelompok orang pada masa rasulullah yang hidupnya banyak diisi dengan

banyak berdiam di serambi – serambi masjid, dan mereka mengabdikan

hidupnya kepada Allah.


2) Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa”, lafadz tersebut

berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhak dengan huruf

“ya” nisbah yang berarti nama bagi orang-orang yang bersih atau suci.

Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan

tuhannya.

3) Istilah tasawuf berasal dari kata shaf. Makna tasawuf ini dinisbahkan

kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling

depan.

4) Pendapat lain mengatakan, istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang

dari Bani Suffah.

Sebagai mana yang dijelaskan dalam makalah, pengertian secara istilah

tentang tasawuf, dalam hal ini para ahli juga memiliki pendapat masing-

masing diantaranya:

1) Menurut Al-Juraini, ketika ditanya tentang tasawuf, Al-juraini menjawab:

“masuk kedalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari budi pekerti

yang rendah”.

2) Menurut Al-Junaidi : “(tasawuf) ialah kesadaran bahwa yang hak (Allah)

adalah yang mematikanmu dan yang menghidupkanmu”.

3) Menurut Muhammad Ali Al-Qassab : “tasawuf adalah akhlak mulia yang

timbul pada waktu mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya

yang mulia pula”.[2]

4) Ibnu khaldun “ tasawuf semacam ilmu syari’at yang kemudian timbul di

dalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah, memutuskan pertalian


terhadap sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap-Nya, dan menolak

perhiasan dunia. Selain itu membenci perkara yang selalu memperdaya

banyak orang, sekaligus menjauhi kelezatan harta, dan kemegahannya.

Tambahan pula, tasawuf berarti juga menyendiri menuju jalan tuhan dalam

khalwat dan ibadah”.

B. RUANG LINGKUP AKHLAK DALAM REALITAS KEHIDUPAN

1. Akhlak kepada Allah

Karena manusia adalah ciptaan Allah maka pada hakikatnya tidak

mempunyai kewenangan sedikitpun kepada Allah. Sekeras-kerasnya

manusia menentang-Nya hanya akan menimbulkan kesia-siaan, bahkan

kerugian besar. Secara qodrati atas dasar kerelaan ataupun keterpaksaan

pada akhirnya harus tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menghidupkan

dan mematikan manusia.

a) Taqwa

Definisi taqwa yang paling populer dan sederhana adalah

melaksanakan perintah Allah dan mencegah laranganNya. Secara

operasional, orang yang bertaqwa adalah beriman kepada yang gaib,

mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizki, iman kepada kitab-

kitab suci dan meyakini kehidupan akhirat, juga dermawan dikala

lapang maupun sempit, mampu menahan marah, pemaaf, selalu ingat

Allah dan istighfar dan taubat dari kesalahannya.


b) Syukur

Secara etimologis, syukur berasal dari kata syakaro yang berarti

berterima kasih. Satu akar juga dengan asyakaro-wasytakaro ad

dlor’u yang berarti mengisi yang rendah/lemah. Jika dicermati dengan

seksama arti dari asal kata tersebut maka dapat dipahami bahwa rasa

syukur atau syukur terlahir disebabkan karena telah mendapatkan

sesuatu yang berharga sehingga muncul keniscayaan untuk

mengucapkan terima kasih.

c) Cinta dan Ridho

Ulama berpendapat bahwa cinta (hubbu) diambil dari kata hahab

(gelembung air) yang selalu berada di atas air, karena cinta merupakan

puncak segalanya dalam hati. Terambil dari kata al-habbu dari bentuk

plural dari kata habbah (biji), sedangkan biji/benih hati merupakan

sesuatu yang berada dan menetap dalam hati, sehingga habbu (biji-

bijian) dinamakan hubbu (cinta), karena yang dimaksud adalah

tempatnya. Disamping itu biji/benih karena cinta adalah benih

kehidupan. Dengan demikian maka cinta adalah keinginan, kesadaran

diri, perasaan dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut

hatinya kepada yang dicintainya, menimbulkan kegelisahan dan

ketidaktenangan jika tidak bertemu dengan yang dicintainya,

menimbulkan ketenangan dan kenyamanan ketika bersamanya,

sehingga menumbuhkembangkan rasa benih-benih kehidupannya.


2. Akhlak kepada sesama manusia

a) Akhlak kepada rosul

Cinta kepada rosul merupakan penghargaan dari seorang sosok

muslim atas jasa-jasa yang telah beliau berikan kepada Islam dan Umat

Islam. Nabi Muhammad SAW telah berjuang kurang lebih 23 tahun

membawa umat manusia dari jurang kegelapan menuju jalan cahaya

yang terang benderang. Beliau-lah yang telah berjasa besar dalam

membangun peradaban, dari jaman kejahilan (anarkhis, chaos, hukum

rimba) menuju tata kehidupan keadilan, hukum, ilmu dan moralitas.

Mengajak manusia dari pemberhalaan-pemberhalaan manuju tatanan

ketauhidan (oneness of god). Berbagai penderitaan beliau alami dalam

perjuangan itu; dihina, disakiti, dicaci maki, dikatakan gila, tukang

sihir, bahkan hendak dibunuh; tetapi itu semua tidak menyurutkan

sedikitpun perjuangan beliau membebaskan manusia.

Pengorbanan yang sedemikian besar itu menunjukkan bahwa beliau

cinta kepada umatnya. Beliau sangat menyayangi, detak denyut nadi

umat dirasakan olehnya, penderitaan umat adalah penderitaannya,

beliau sangat menginginkan keselamatan dan kebaikan umatnya.

b) Akhlak kepada pribadi

Basis dari akhlak pribadi adalah akhlak rosululloh, karena beliau

adalah suri tauladan bagi setiap umat Islam. Hal ini sangat jelas

difirmankan dalam Al-Qur’an “Sungguh dalam diri rosululloh terdapat

suri tauladan yang baik”. Dalam berbagai literatur, Nabi Muhammad

SAW dikenal mempunyai sifat utama yakni shidiq, amanah, tabligh dan
fatonah (jujur, dapat dipercaya, komunikatif dan cerdas). Dalam

konteks ini, dapat dirumuskan bahwa kecerdasan nabi adalah

kecerdasan yang tinggi untuk menjaga kepercayaan dan komunikatif

untuk menyampaikan kebenaran kepada umatnya.

Allah SWT menjelaskan tentang bumi yang senantiasa khusyu’,

kemudian air jatuh di atasnya maka tumbuhlah tanaman-tanaman yang

menghiasinya. Begitu juga manusia, jika ia mendapatkan taufik dari

Allah. Tabiat api adalah membakar dan merusak, sehingga menjadi

barang yang paling rendah dan hina. Begitu juga manusia jika memiliki

sifat seperti api, maka ia selalu ingin berada diatas dan sombong. Akan

tetapi jika api itu sudah padam ia akan berubah menjadi hina.

d) Akhlak dalam keluarga (orang tua, suami, istri, anak, saudara)

Dalam struktur keluarga terdapat orang tua, suami, istri, anak dan

saudara. Oleh karena itu akhlak dalam keluarga meliputi birrul

walidain (berbakti kepada orang tua) contohnya; tidak boleh berkata

hus, ah, cih, menempatkan kedudukan bibi atau paman sejajar dengan

kedudukan ayah dan ibu dalam kewajiban berbakti, menjaga jalinan

komunikasi yang baik dengan teman-teman dari ayah/ibu, walaupun

mereka berdua telah meninggal dunia, mendoakannya dan meneruskan

sejarah perjuangan orang tua. Akhlak suami istri adalah menjadikan

kasih sayang sebagai panglima dalam setiap pergaulannya tanpa harus

menonjolkan fungsi dan peran masing-masing, menafkahi lahir batin,

mendidik, menjaga kehormatan diri, harta, silaturrahim dengan karib

kerabat. Silaturrahim yang baik akan meluaskan rizki dan


memanjangkan umur, karena hubungan yang dibangun atas dasar kasih

sayang akan melahirkan cinta dan penghormatan. Rejeki yang tidak

didasarkan pada kasih sayang dipastikan melalui cara-cara non-

manusiawi yang akhirnya menimbulkan tragedi kemanusiaan. Contoh;

pencurian, perampokan, korupsi, kolusi dan nepotisme yang selalu

berdampak kesengsaraan masyarakat.

e) Akhlak kepada tetangga/teman

Akhlak kepada tetangga/teman antara lain memuliakan dan

menerima tamu, mendahulukan kepentingan orang lain dan kepentingan

bersama daripada kepentingan sendiri, tidak menggosip, tidak mencela

dan meremahkan orang lain karena setiap orang memiliki kekhusussan

dan spesifikasi sendiri-sendiri.

Secara umum, akhlak pribadi kepada orang lain adalah hendaknya

setiap orang menuntut diri menjadi orang yang paling baik menurut

Allah, paling jelek menurut diri sendiri, dan menjadi orang yang

sewajarnya di tengah-tengah manusia.

f) Akhlak dalam kaitannya dengan eksistensi manusia di berbagai bidang

seperti pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, kebudayaan, politik

maupun agama

Etika sosial antara lain, menjunjung tinggi persamaan dan

kebersamaan, keadilan sosial, keterbukaan dan musyawarah.

Etika ekonomi meliputi; kekayaan tidak hanya beredar di kalangan

tertentu, jika ada orang Islam yang keluar dari agamanya karena

kefakiran, maka hal ini merupakan dosa kolektif umat Islam, karena
Allah adalah pemilik dan pencipta seluruh alam ini, sehingga tidak ada

orang yang mempunyai kepemilikan atas sesuatu secara mutlak,

bekerja merupakan tugas ketuhanan, dan keadilan sosial merupakan

tujuan yang diupayakan atau dengan kata lain keadilan merupakan

hasil kerja dan persamaan hasil produksi dan setiap orang memiliki

kesempatan yang sama dalam mencari pendidikan dan penghidupan,

pemerintah berperan dalam pengembangkan ekonomi warga.

Etika politik Islam anatara lain; bahwa politik yang dibangun

adalah politik moral bukan politik kekuasaan, sehingga jabatan

merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral

Allah dan publik. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak yang

dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi

transendental.

Konsep dasar etika kebudayaan adalah bahwa proses kebudayaan

dari awal tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai akhlak. Kebudayaan

tercipta dalam rangka memperkaya rohani dan mempertebal iman,

bukan untuk aktualisasi diri yang merefleksikan hawa nafsu, sehingga

mata, telinga dan hatinya tertutup yang akhirnya melahirkan

kecenderungan manusia melakukan kejahatan dengan ilmunya.

g) Akhlak manusia dengan ciptaanya

Fenomena yang muncul pada zaman ini adalah manusia sudah

tidak berdaya menghadapi ciptaannya sendiri, dan bahkan cenderung

menjadikan tujuan, kalau tidak mempertuhankannya. Sebagai contoh,

peranan uang yag diciptakan manusia yang semula berperan sebagai


alat tukar membeli barang sekarang sudah menjadi tujuan. Ia dicari

oleh semua strata orang. Karena dengan uang, rasanya semua dapat

diatur. Dalam akhlak Islam, apapun bentuk produk ciptaan manusia, ia

tidak selayaknya dipertuhankan dan manusia harus mampu

meletakkannya pada posisi sebagai alat, yang sifatnya relatif, tidak

mutlak. Mamutlakkan ciptaannya sendiri apapun bentuknya dapat

dikategorikan sebagai mempertuhankan hawa nafsu. Oleh karena itu

ilmu pengetahuan dan teknologi selayaknya digunakan untuk

mendukung tugas-tugas kekhalifahan, mensyukuri nikmat akal dan

memakmurkan dunia.

h) Akhlak terhadap alam sekitar

Quraish Sihab berpendapat bahwa saudara kita tidak hanya

manusia tetapi juga hewan dan pepohonan (saudara sekemakhlukkan).

Al-Qur’an menegaskan secara jelas bahwa: ‘Dan tidaklah (jenis

binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan

sayapnya) kecuali umat-umat juga seperti kamu”. (QS Al-An’am 6:38)

Oleh karena itu kita berkewajiban ramah terhadap lingkungan.

Menebang pohon harus ada reboisasinya agar keseimbangan alam

normal. Akhlak terhadap dunia hewan adalah menjaga keterpunahan.

Jika dimanfaatkan untuk pemenuhan konsumsi maka alat

penyembelihannya harus tajam sehingga tidak menyiksa. Jika

digunakan untuk media transportasi maka kebutuhan jasmaniah hewan

itu harus terpenuhi.


C. HUBUNGAN AKHLAK DAN TASAWUF

Hubungan antara akhlak dan tasawuf sangatlah erat, bisa dikaitkan

seperti mata uang, karna untuk mencapai ilmu yang mulia diperlukan proses-

proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwiyah (pengamal

tasawuf). Sementara yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak

yang mulia disamping hal-hal yang terkait dalam kebutuhan.

Apa yang dilakukan kalangan mutashawwiyah akhirnya akan

membuahkan pada akhlak mulia. Namun, tidak semua kajian dan pengalaman

tasawuf masuk kebidang akhlak. Tasawuf memfokuskan pada

dataran tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), membersihkan diri dari

sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi akhlak dengan akhlak mahmudah.

Ilmu tasawwuf pada umumnya dibagi menjadi tiga, pertama tasawwuf

falsafi, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal

pikiran, tasawwuf model ini menggunakan bahan – bahan kajian atau

pemikiran dari para tasawwuf, baik menyangkut filsafat tentang Tuhan,

manusia dan sebagainnya. Kedua, tasawwuf akhlaki, yakni tasawwuf yang

menggunakan pendekatan akhlak. Tahapan – tahapannya menurut Muhaimin

terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang

buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli

(merasakan keagungan Alloh SWT). Dan ketiga, tasawwuf amali, yakni

tasawwuf yang menggunakan pendekatan amaliyah atau wirid, kemudian hal

itu muncul dalam tharikat.

Sebenarnya, tiga macam tasawwuf tadi punya tujuan yang sama, yaitu

sama – sama mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri
dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji

(al-akhlaq al-mahmudah), karena itu seseorang harus mempunyai akhlak

yang mulia berdasarkan kesadarannya sendiri. Bertasawwuf pada hakekatnya

adalah melakukan serangkaian ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah

SWT. Ibadah itu sendiri sangat berkaitan erat dengan akhlak. Mempelajari

tasawwuf sangat erat kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Sunnah yang

mementingkan akhlak. Pada inti ajaran tasawuf adalah keluhuran akhlak

sebagai manifestasi dalam mengenal Allah, yang dalam hadits nabi disebut

dengan istilah ihsan: yaitu bagaimana seseorang dalam beribadah (bertindak,

bersikap, dan bertutur kata) selalu di awasi oleh Allah. Bertasawuf tanpa

akhlak adalah mustahil. Untuk itu, seseorang harus memiliki akhlak yang

luhur, tidak saja kepada Allah, tetapi juga kepada manusia dan seluruh

makhlukNya. Islam adalah agama yang sangat menjaga keseimbangan dalam

beragama. Antara kesalehan ritual dan individual dengan kesalehan sosial

harus seimbang.

Jadi akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan

salah satu ajaran dari tasawwuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawwuf

akhlaki adalah mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir

terhadap siksaan Allah. Kemudian, dilihat dari amalan serta jenis ilmu yang

dipelajari dalam tasawwuf amali, ada dua macam hal yang disebut ilmu lahir

dan ilmu batin yang terdiri dari empat kelompok, yaitu syariat, tharikat,

hakikat, dan ma`rifat.

D. PERAN DAN FUNGSI TASAWUF DALAM KEHIDUPAN


Inti sari ajaran tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung

dengan Allah SWT, sehingga seseorang akan merasa berada di hadirat-Nya.

Upaya ini, antara lain dilakukan dengan kontemplasi atau melepaskan diri

dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan

pandangan kaum sufi ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang

mengalami jiwa yang terpecah.

Tahapan-tahapan spiritual dalam tasawuf untuk menggapai kedudukan

yang tinggi sebagai seorang hamba di hadapan Allah SWT. Namun, para ahli

tasawuf (mutashawwifah) menetapkan tujuh maqamat secara umum yaitu

taubat yaitu kembali kepada Allah, didasarkan pada firman Allah :”Hai

orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang

semurni-murninya” QS. At-Tahrim : 8. Wara’ adalah sikap moral seseorang

yang selektif sehingga meninggalkan sesuatu yang dianggapnya syubhat.

Zuhud adalah sikap yang proporsioanal dalam memandang dunia beserta

kenikmatannya. Faqr yakni sikap yang melihat kita bahwa merasa tidak

memiliki apa-apa, bahkan jiwa dan raga adalah milik Allah, posisi manusia

sangat lemah dihadapan Allah, sehingga selalu membutuhkan Allah

sebagaimana firman Allah : “Dan Allah-lah yang Mahakaya, sedangkan kamu

semua adalah yang membutuhkan (Nya)” QS. Muhammad : 38. Shabr adalah

sikap menerima terhadap apapun yang menimpa dirinya. Tawakal yakni

menyerahkan dan mempercayakan sepenuh-Nya kepada Allah akan

kesuksesan sesuatu setelah berusaha dan ikhtiar. Ridla yakni ketulusan murni

terhadap segala keputusan dan ketetapan Allah SWT, ridla akan

membebaskan manusia dari sikap arogan, sikap memuji diri sendiri, sehingga
lahirlah sikap syukur yang akan membebaskan dari sikap tamak, serakah dan

sebagainya.

Kehadiran tasawuf dapat melatih manusia agar memiliki ketajaman batin

dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini

menyebabkan seseorang akan selalu mengutamakan pertimbangan pada setiap

masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari

perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama. Tasawuf akan membawa

manusia memiliki jiwa istiqamah, yaitu jiwa yang selalu diisi dengan nilai-

nilai ilahiah. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan

demikian meyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan

yang akan membelokkannya ke jurang kehancuran. Dengan demikian, stres

dan putus asa akan dapat dihindari.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa Akhlak Tasawuf berasal dari dua kata pembagian yakni

Akhlak dan Tasawuf. Adapun pengertian akhlak secara umum yakni suatu hal

yang telah tertanam di hati entah itu bernilai baik maupun buruk sekalipun karena

akhlak timbul tanpa perlu dipikirkan dan dipaksa terlebih dahulu. Sedangkan yang

disebut Tasawuf ialah suatu cara dalam proses untuk mendekatkan diri kepada

Allah dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Jadi, pengertian Akhlak

Tasawuf ialah salah satu disiplin ilmu yang terdapat dalam ajaran agama Islam

yang mempelajari tata cara berprilaku yang baik dan mulia serta tentunya sesuai

aturan Islam sehingga kita bisa mendekatkan diri kita kepada Allah dengan

sepenuhnya dan memiliki rasa tenang saat berada di dekat-Nya. Akhlak Tasawuf

memiliki kaitan yang sangat erat dalam kehidupan sehari-hari yakni untuk

mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan

oleh pengamal tasawuf. Begitupun sebaliknya, belum dikatakan bertasawuf

dengan benar apabila pencapaian akhlak yang mulia belum terpenuhi. Didalamnya

juga terdapat ruang lingkup akhlak, sumber kajian tasawuf, dan manfaat

mempelajari Akhlak Tasawuf.


B. SARAN

Semoga diharapkan dengan dibuatnya makalah ini dapat menjadikan


pengetahuan kepada para pembaca khusunya mengenai akhlak, moral, etika
dan tasawuf serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdul. 2017. Pendidikan Agama Islam. Purwokerto. Universitas Jendral

Soedirman

Amin, Syamsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta. Pena Grafika

Amzah

Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia

Tasman, Humami. 2005. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta. Pokja Akademik UIN

Anda mungkin juga menyukai