Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ETIKA GURU TERHADAP MURID

Dosen Pengampu: Dr. MUHAMMAD JUFRI, S.Ag, M.Ag

OLEH :

1. Ismawatun Nur Hasanah (2220203886208087)


2. Nur Iqmal Ibrahim (2220203886208080)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Robbil Alamin, selalu kita panjatkan puji dan syukur


kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tidak lupa pula salam serta Shalawat tetap
kita limpahkan dan curahkan kepada junjungan Nabi besar kita yaitu Muhammad
SAW.

Tentu saja penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Hadits Tarbawy. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada dosen
pengampu Hadits Tarbawy yaitu bapak Dr. Muhammad Jufri, S.Ag, M.Ag.
Adapun pokok bahasan dalam makalah ini yaitu tentang “Etika Guru Terhadap
Murid”.

Dalam penyusunan makalah, penulis menyadari banyak


ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah. Maka dari itu, penulis sangat
membutuhkan saran dan kritikan dari pembaca yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan isi makalah ini. Banyak penulis harapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya untuk penulis dan pembaca pada umumnya guna di
masa yang akan datang.

Parepare, 3 Desember 2023


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guru sebagai seseroang yang membimbing, mendidik, mengarahkan,
mengajarkan, dan sebagainya adalah orang yang mempunyai kemuliaan. Sebab
guru adalah orang yang berbaik hati membagikan ilmu yang dimilikinya, tentu ini
akan menjadi nilai yang berarti bagi seorang guru dalam kepribadiannya. Dalam
suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda bahwa pahala guru tidak akan terputus
meski sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda:

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَذ ا َم اَت اِإْل ْنَس اُن اْنَقَطَع‬
‫َع ْنُه َع َم ُلُه ِإاَّل ِم ْن َثاَل َثٍة ِإاَّل ِم ْن َص َد َقٍة َج اِر َيٍة َأْو ِع ْلٍم ُيْنَتَفُع ِبِه َأْو َو َلٍد َص اِلٍح َيْدُع و َلُه‬
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala
amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa'at baginya
dan anak shalih yang selalu mendoakannya". (H.R. Muslim)1

Kemudian di dalam Al-Qur’an, seorang guru kelak diberikan tempat dan


derajat yang tinggi sebab guru tergolong sebagai orang-orang yang berilmu yang
selalu mengamalkan ilmunya sebagai sarana beriman kepada Allah SWT. Di
dalam Al-Qur’an, Allah SWT Berfirman:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإَذ ا ِقيَل َلُك ْم َتَفَّسُحو۟ا ِفى ٱْلَم َٰج ِلِس َفٱْفَس ُحو۟ا َيْفَس ِح ٱُهَّلل َلُك ْم ۖ َو ِإَذ ا ِقيَل‬
‫ٱنُشُز و۟ا َفٱنُشُز و۟ا َيْر َفِع ٱُهَّلل ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا ِم نُك ْم َو ٱَّلِذ يَن ُأوُتو۟ا ٱْلِع ْلَم َد َر َٰج ٍتۚ َو ٱُهَّلل ِبَم ا‬
‫َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah
niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang
1
Imam Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, (Riyadh: Baitul Afkaar ad-
Dauliyyah, 1998), hlm. 670.
yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.(Q.S. Al-Mujādalah/58: 11)2

Dalam perspektif Islam, seorang guru bukan hanya sekedar tenaga


pengajar, tetapi sekaligus pendidik. Karena itu, seseorang dapat menjadi guru
bukan hanya karena ia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja,
tetapi lebih penting lagi ia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian, seorang
guru bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting
pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran
Islam.3

Kegiatan mengajar lebih cenderung mendidik anak didik menjadi orang


yang pandai tentang ilmu pengetahuannya saja, tetapi jiwa dan watak anak didik
tidak dibangun dan dibina sehingga di sini mendidiklah yang berperan untuk
membentuk jiwa dan watak anak didik, dengan kata lain mendidik adalah kegiatan
transfer of value atau memindahkan sejumlah nilai kepada anak didik.4 Guru
dituntut berperilaku terpuji yang akan menjadi contoh anak didiknya. Begitu juga
guru harus beretika baik terhadap peserta didik disamping ia mengarahkan peserta
didiknya menjadi pribadi yang beretika baik dan berkarakter, karena sosok guru
yang akan digugu dan ditiru oleh muridnya baik secara tingkah laku, ucapan, dan
sebagainya. Maka disinilah penekanan etika guru terhadap peserta didik agar bisa
dijadikan suri tauladan oleh peserta didiknya.

Adapun yang menjadi fokus pembahasan pada makalah ini adalah topik
yang berkaitan dengan etika guru. Penulis merasa tertarik dan tergugah untuk
mengangkat sebuah tema yang berjudul “Etika Guru Terhadap Murid” diharapkan
para guru dan para pemerhati pendidikan sadar akan tugas dan tanggung jawab
sebagai pendidik yang memiliki kepribadian yang utuh sehingga dapat mencetak
anak didiknya menjadi manusia yang berkualitas dengan bekal ilmu, iman dan
akhlak yang mulia.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur'an, 2019), hlm. 803.
3
Siswanto, Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 29.
4
Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
hlm. 9.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian etika, guru dan murid?
2. Bagaimana etika guru dalam hadits tarbawy?
3. Apa urgensi etika guru terhadap murid?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Memahamipengertian etika, guru dan murid?
2. Mengetahui etika guru dalam hadits tarbawy?
3. Memahami urgensi etika guru terhadap murid?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika, Guru, dan Murid


1. Etika

Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan
ethikos. Ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik.
Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang
baik.Secara terminologi, etika merupakan cabang ilmu yang membicarakan
tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan yang baik
dan buruk. Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia, yaitu
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebagainya.5

Etika juga didefinisikan sebagai “a set of rules that define right and wrong
conducts”. Seperangkat aturan/undang-undang yang menentukan perilaku
benar dan salah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ethical rules: when our
behaviors is acceptable and when it is disapproved and considered to be
wrong. Ethical rules are guides to moral behavior.6

Dengan demikian, etika ini merupakan suatu penilaian baik atau buruk,
benar atau salah yang ditentukan oleh manusia sendiri baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok sosial atau ditentukan oleh suatu institusi negara
atas suatu aktivitas yang menjadi objek penilaian, melalui peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan, serta masyarakat umum di luar pelaku
aktivitas melalui power dan kearifan lokalnya.

Dalam hal ini, etika seringkali disamakan dengan moral, dan akhlak.
Namun terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing. Adapun

5
Maidiantius Tanyid, “Etikan Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral Berdampak
Pada Pendidikan”, Jurnal Jaffray, (Vol. 12, No. 2, 2014), hlm. 238.
6
Imron Fauzi, Etika Profesi Keguruan, (Jember: IAIN Jember Press, 2018), hlm. 10
pembahasan terkait perbedaan etika, moral, dan akhlak antara lain sebagai
berikut:

a. Etika tolok ukurnya pada penilaian akal (filsafat), moral tolok ukurnya
pada norma yang hidup di masyarakat. Sedangkan akhlak tolok
ukurnya pada akal dan wahyu.
b. Etika bersifat tidak mutlak dan universal, moral bersifat local, dan
akhlak bersifat mutlak dan universal.
c. Etika mengarah kepada teori, moral dan akhlak mengarah kepada
praktik.
d. Etika membicarakan bagaimana seharusnya, moral membicarakan
adanya, dan akhlak membicarakan bagaimana seharusnya dan adanya.
e. Etika dan moral obyeknya sesama manusia, dan akhlak obyeknya
manusia dan Tuhan.7

Dari segi sifatnya, etika terbagi menjadi dua bagian, yakni antara lain:

a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif ialah etika yang berusaha meneropong secara kritis
dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh
manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
ini termasuk bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat
dengan kajian sosiologi. Terkait dengan bidang sosiologi, etika
deskriptif berusaha menemukan dan menjelaskan kesadaran,
keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika
deskriptif mungkin merupakan suatu cabang sosiologi, tetapi ilmu
tersebut penting bila kita mempelajari etika untuk mengetahui apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Kaidah etika
yang biasa dimunculkan dalam etika deskriptif adalah adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
b. Etika Normatif
7
Imron Fauzi, Etika Profesi Keguruan..., hlm. 26.
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang di
mana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang
masalah-masalah moral. Etika normatif adalah etika yang mengacu
pada norma-norma atau standar moral yang diharapkan untuk
mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter individu, dan
struktur sosial.
2. Guru

Secara etimologi, guru merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Jawa,
yakni digugu dan ditiru. Digugu berarti dipercaya dan ditiru berarti diikuti.
Artinya setiap guru harus bisa dipercaya setiap kata-kata, ucapan, dan
perilakunya agar menjadi panutan dan teladan mulia untuk diikuti.8

Dalam Undang Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pasal 1 ayat (1) merumuskan pengertian guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan menevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 9 Guru
adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para
peserta didik dan lingkungannya, karena itulah guru harus memiliki standar
kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri
dan disiplin.10

Guru dalam melaksanakan pendidikan baik di lingkungan formal maupun


non formal dituntut untuk mendidik dan mengajar. Karena keduanya memiliki
peran yang penting dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan
ideal pendidikan. Mengajar lebih cenderung mendidik anak didik menjadi
orang yang pandai tentang ilmu pengetahuan saja, tetapi jiwa dam watak anak
didik tidak dibangun dan dibina sehingga disini mendidiklah yang berperan
untuk membentuk jiwa dan watak anak didik, dengan kata lain mendidik
8
Muliawan Jasa Ungguh, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 173.

9
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Palangka Raya: Narasi Nara, 2020), hlm. 79.
10
Andi Fitriani Djollong, “Kedudukan Guru Sebagai Pendidik”, Istiqra’, (Vol. IV, No. 2, 2017), hlm.
125.
adalah kegiatan transfer of values, memindahkan sejumlah nilai kepada anak
didik.11

Guru adalah orang yang bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan anak


didiknya, untuk itulah guru dengan penuh dedikasi dan loyalitas berusaha
membimbing dan membina anak didik agar masa mendatang menjadi orang
yang berguna bagi nusa dan bangsa. Karena besarnya tanggung jawab guru
terhadap anak didiknya setiap hari guru meluangkan waktu demi kepentingan
anak didiknya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang
sopan kepada orang lain, bahkan dengan sabar dan bijaksana guru
memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang
lain.

Faktor terpenting dari seorang guru adalah kepribadiannya. Karena dengan


kepribadian itulah seorang guru bisa menjadi seorang pendidik dan pembina
bagi anak didiknya atau bahkan malah sebaliknya malah akan menjadi perusak
bagi dan penghancur bagi masa depan anak didiknya. Guru adalah seseorang
yang bukan hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi
guru juga adalah seorang yang patut dicontoh. Oleh karena itu, guru harus
mempunyai kepribadian yang baik, tingkah laku, etika yang baik, emosi dan
sikap guru merupakan penampilan kepribadian yang dapat memengaruhi anak
didiknya.12

3. Murid

Dalam Istilah tasawuf, peserta didik disebut dengan murid. Secara


etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti
terminologi murid adalah pencari hakikat dibawah bimbingan dan arahan
seorang spiritual (mursyid).13

11
Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
hlm. 9.
12
Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan..., hlm. 56.
13
Putri Ani Dalimunthe, “Peserta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam”, Ihya Al-'Arobiyyah,
(Vol. 3, No. 2, 2017), hlm. 86.
Murid atau peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik adalah orang yang
mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai dengan citacita dan harapan
masa depan.14

Peserta didik dalam pendidikan Islam merupakan individu yang


memerlukan bantuan orang lain atau pendidik untuk menjadikannya tumbuh
dewasa, yang dimana peserta didik tersebut sedang tumbuh dan berkembang
baik secara psikis, social, fisik maupun secara rohaninya dalam melaksanakan
kehidupan di dunia dan juga untuk akhiratnya. Memantau peserta didik juga
dapat dilakukan melalui terwujudnya kebutuhan fisik, sosial, kebutuhan untuk
berprestasi, kebutuhan akan rasa disayangi dan dicintai, serta kebutuhan-
kebutuhan memperoleh arti dari kehidupan.15 Sebenarnya istilah peserta didik
tidak hanya diartikan mereka yang masih berusia muda atau mereka yang
secara biologis sedang tumbuh dan berkembang, atau belum dewasa baik
fisik/jasmaniah maupun moral/rohaniah, tetapi setiap mereka atau warga
negara yang masih memerlukan bidang keahlian atau keterampilan tertentu
juga peserta didik.16

B. Etika Guru Dalam Hadits Tarbawi


Berikut ini akan dikemukakan tentang etika guru dalam pandangan Hadis
diantaranya yaitu:

Pertama: Guru dalam mengajar hendaklah bertujuan mengharap ridha Allah,


menyebarkan ilmu dan menghidupkan syari’at. Dalam mengemban tugasnya
sebagai pendidik, guru harus berniat mengajar yaitu semata-mata mengharapkan
ridha Allah serta ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu guru harus

14
Askhabul Kirom, “Peran Guru Dan Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran Berbasis
Multikultural”, Al-Murabbi, (Vol. 3, No. 1, 2017), hlm. 74-75.
15
0Fitriyani Sanuhung, “Peran Kepribadian Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa”, IQRO: Journal
Of Islamic Education, (Vol. 4, No. 2, 2021), hlm. 153.
16
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Palangka Raya: Narasi Nara, 2020), hlm. 104-105.
menyebarkan ilmu kepada pihak lain yang membutuhkannya, menghilangkan
kebodohan, dan mencetak manusia yang berilmu dan beriman.

Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan


keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan
terbaik ke arah suksesnya dalam tugas dan sukses murid-muridnya, tergolong
ikhlas ini adalah seorang guru yang sesuai dengan antara kata dengan
perbuatannya, melakukan apa yang diucapkan dan mengamalkan apa yang
diajarkan. Oleh karenanya guru jangan menyalahi niat mengajar, guru tidak
diperkenankan mengajar karena terpaksa, atau sebab yang lain contohnya karena
ingin harta dan kedudukan atau ingin terpandang di depan guru-guru lain atau
dihadapan murid-muridnya. Hal ini tentu menyalahi tugas suci seorang guru,
seharusnya guru bertujuan mengajar semata-mata karena mengharapkan ridha
Allah dan menghidupkan agama serta menyebarkan syari’at agar manusia menjadi
orang-orang yang berilmu. Adapun hadis yang berkenaan dengan masalah ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

‫ َم ْن‬, ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫َتَع َّلَم ِع ْلًم ا ِمَّم ا ُيْبَتَغى ِبِه َو ْج ُه ِهَّللا َع َّز َو َج َّل َال َيَتَع َّلُم ُه ِإَّال ِلُيِص يَب ِبِه َع َر ًضا ِم َن‬
)‫الُّد ْنَيا َلْم َيِج ْد َع َر َف الَج َّنِة َيْو َم اْلِقَياَم ِة َيْع ِني ِر يُح َها (رواه أبو داود بأسناد صحيح‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata : Rasulallah saw. bersabda : barang
siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang semestinya
untuk digunakan mencari ridha Allah Swt., tetapi ia mempelajarinya itu tidak lain
maksudnya kecuali hendak memperoleh sesuatu tujuan dari keduniaan, maka
orang yang demikian tadi tidak akan dapat menemukan keharuman syurga pada
hari kiamat”. (HR. Abu Daud)

Berdasarkan hadis di atas, guru dalam menunaikan tugasnya (mengajar)


hendaklah bertujuan atau berniat mengharapkan ridha Allah, tugas mengajar
merupakan panggilan hati dan semata-mata hanya beribadah kepada Allah. Setiap
langkah guru menunaikan tugasnya akan diberi pahala. Namun etika guru tersebut
sedikit banyak telah ternodai, ada sebagian guru berniat mengajar hanya mencari
kedudukan semata, mencari popularitas semata dan sebagainya. Ada guru yang
menuntut gaji, sehingga jika tidak dibayar maka akan mogok dan berhenti
mengajar. Hal semacam ini tidaklah tepat, seharusnya guru berniat baik mengajar
karena mengharapkan pahala dan sematamata mencari ridha Allah Swt.

Kedua: Guru hendaklah meluruskan niat peserta didiknya dengan ikhlas dalam
menuntut ilmu. Guru harus membimbing dan mengarahkan siswanya dalam
belajar, guru hendaknya menjadi figur sentral dalam upaya menunjukan peserta
didik dalam menuntut ilmu, guru selalu memotifasi peserta didik akan pentingnya
kedudukan mencari ilmu dalam islam. Di samping itu guru harus terus menerus
mencari informasi guna disampaikan dan diajarkan pada peserta didik yang pada
akhirnya mencapai tingkat taqarrub Allah Swt.

Menuntut ilmu dalam ajaran Islam adalah wajib bagi setiap muslim, apakah
itu menuntut ilmu agama atau ilmu pengetahuan lainnya. Terkadang orang tidak
menyadari betapa pentingnya kedudukan ilmu dalam kehidupan ini. Namun
kebanyakan dari manusia mereka lebih mengutamakan harta benda dibanding
ilmu yang sebenarnya harta benda itu sendiri dapat habis dengan sekejap jika ia
tak memiliki ilmu untuk tetap memeliharanya sebagai titipan Allah Swt., bahkan
dapat menjadi malapetaka bagi pemiliknya.

Sebaliknya dengan ilmu ia akan bertambah terus yang tidak pernah


habishabisnya sebagai kunci untuk memperoleh apa yang dicita-citakan dalam hal
duniawi ataupun ukhrawi yang terus direalisasikan dengan usaha dan
mengamalkannya. Menyikapi hal ini, Rasulallah saw. bersabda yang artinya:
“Bahwa Nabi Sulaiman disuruh memilih antara harta benda, kerajaan dan ilmu,
maka beliau memilih ilmu, akhirnya beliau diberi pula kerajaan dan harta benda”.
Ini berarti, dengan ilmu segala sesuatu dapat tercapai, selama ia istiqomah pada
jalan Allah Swt. Makan dengan keistiqomahannya baik dalam menuntut ilmu
ataupun mengamalkannya secara otomatis ia akan mampu menjalankan hidup
dengan baik guna tercapainya apa yang dikehendaki.
Untuk mencapai tujuan tersebut guru sejatinya menjadi penunjuk dan
pengarah bagi peserta didiknya. Sebab pada hakikatnya guru sedang menunjukan
siswanya ke jalan surg. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. :

)‫َم ْن َس َلَك َطِر يًقا ُيْطَلُب ِبِه ِع ْلًم ا َس َّهَل ُهَّللا َلُه َطِر يًقا ِإَلى اْلَج َّنِة (رواه البخاري‬
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan
memudahkannya jalan menuju surga”. (HR. Bukhari)

Ketiga: Guru hendaknya tidak merendahkan peserta didiknya disebabkan


karena bebal otaknya, guru harus menerima keberadaan peserta didiknya di
sekolah. Orang tua menitipkan pendidikan anakanaknya ke sekolah dengan penuh
kepercayaan bahwa sekolah adalah pendidikan yang menjanjikan dan sistematis
dalam pembelajaran.

Guru adalah pendidik professional, karenanya secara implisit ia telah


merelakan dirinya menerima dan memikul tanggung jawab pendidikan yang
terpikul dipundak para orang tua. Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke
sekolah sekaligus pelimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya
kepada guru. Hal itu pun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin
menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang
orang dapat menjadi guru. Untuk menjadi guru tentunya harus memenuhi
beberapa persyaratan yang itu menjadi kriteria profesinya sebagai pendidik.

Guru banyak menghabiskan waktu dan tenaganya di sekolah, adapun sisanya


di rumah dan di masyarakat. Guru setiap hari berkecimpung dengan peserta didik
dari pagi sampai siang bahkan sampai sore. Hal ini memberikan indikasi bahwa
segala aspek kepribadian anak itu akan sedikit banyak diketahui oleh gurunya.
Dengan segala perbedaan latar belakang anak didik kemudian berkumpul dalam
satu ruang kelas, yang satu sama lain Nampak berbeda baik dari aspek biologis,
intelektual dan psikologisnya. Di sinilah tugas guru untuk mengemban amanah
yaitu berupa memberikan pelayanan yang terbaik buat peserta didiknya. Namun
tidak terelakan masih Nampak disekeliling kita guru yang bersikap tidak adil
seperti guru yang pilih kasih, menghina peserta didik disebabkan bebal otaknya
atau menyindir-nyindir, menghukum tidak mendidik yang akibatnya psikologis
anak akan terganggu, seperti anak didik yang berjiwa pemurung, pendiam, brutal,
yang akhirnya peserta didik akan malas untuk belajar di sekolah.

Melihat kenyataan yang demikian itu, guru sepatutnya harus bersikap adil
terhadap anak didiknya. Guru harus menganggap semua siswa itu sama, tidak ada
yang dibeda-bedakan, siswa sama-sama menerima haknya yaitu belajar tanpa
memandang dia itu anak siapa, keturunan siapa dan sebagainya. Guru harus
menjadi figur sentral bagi peserta didiknya. Oleh karena itu guru harus
memperlakukan anak dengan cara yang sama atau adil. Nabi Muhammad saw.
bersabda:

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن َهللا َال‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
)‫َيْنُظُر ِإَلى ُص َو ِر ُك ْم َو َأْم َو اِلُك ْم َو َلِكْن َيْنُظُر ِإَلى ُقُلْو ِبُك ْم َو َأْع َم اِلُك ْم (رواه مسلم‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan rupamu
dan tidak pula hartamu (kekayaanmu) tetapi melihat (memperhatikan niat dan
keikhlasan dalam) hatimu dan amalanmu”. (HR. Muslim)

Hadis di atas sesungguhnya menjelaskan tentang perihal ibadah yang dilandasi


dengan keikhlasan. Seseorang yang melakukan suatu amal dengan baik menurut
pandangan manusia, tetapi motivasinya salah atau tidak ikhlas, hal itu akan sia-sia
karena Allah tidak akan melihat bentuk zahirnya, tetapi melihat niat yang ada
dalam hatinya. Berangkat dari hadis tersebut bahwa guru tidak membeda-bedakan
antara peserta didik dengan peserta didik yang lainnya, guru jangan melihat
bentuk rupa, harta dan zahirnya anak, tetapi guru bersikap adil/sama kepada
peserta didik dalam pembinaan dan pengajaran. Walaupun demikian bila ada
sebagian siswa yang beban intelektualnya, maka sewajarnya guru harus
memberikan pembinaan khusus atau peserta didik yang kurang cerdas
dikumpulkan dengan peserta didik yang cerdas agar ia termotivasi lebih giat
dalam belajar.

Keempat: Guru menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji terhadap peserta didik.


Dari sekian etika guru dalam hadis yang tak kalah pentingnya yaitu guru
menanamkan budi pekerti atau akhlak pada peserta didiknya. Guru dituntut
menumbuhkan dalam diri anak sifat-sifat yang baik, yaitu sopan santun dan
kepribadian yang berkarakter.

Dalam mencetak peserta didik yang berprilaku akhlaki terlebih dahulu guru
harus menampilkan perilaku yang baik di depan peserta didiknya. Penampilan
perilaku yang sehat (akhlak karimah) sesungguhnya dapat dilakukan dengan
sengaja maupun dengan tidak sengaja. Maksud dari keteladanan yang disengaja
adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh guru agar diikuti atau ditiru oleh
peserta didik, seperti memberikan contoh bagaimana harus menghormati guru,
menghargai teman-temannya serta bagaimana mengajarkan shalat dengan baik
dan benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti.
Sedangkan keteladanan yang tidak disengaja ialah keteladanan dalam keilmuan,
kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam kedua
macam keteladanan tersebut sama pentingnya, yaitu sama-sama guru sebagai
contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam tindak
tanduknya dan tata santunya.

Kepribadian peserta didik yang berakhlak merupakan kebanggaan bagi orang


tua atau guru-gurunya di sekolah. Oleh karena itu hendaklah guru atau orang tua
sedini mungkin menanamkan akhlak mulia, sebab peserta didik cenderung untuk
meniru lingkungan yang ada disekelilingnya. Maka dari itu jadikanlah guru
sebagai model tauladan bagi peserta didiknya dan ajarilah peserta didik akan
pentingnya memiliki akhlak yang baik. Nabi Muhammad saw. bersabda:

‫َع َع ْن َعاِئَش َة َر ِض َي ُهللا َع ْنَها َع ْن َر ُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َح ُّق اْلَو َلِد‬
)‫ َو ُيْح ِس َن َأَد َبُه (الحديث‬,‫ َو ُيْح ِس َن ُمَر اِضَع ُه‬,‫َع َلى َو اِلِدِه َأْن ُيْح ِس َن ِإْس َم ُه‬
“Dari ‘aisyah r.a. Rasulallah SAW bersabda: hak orang tua terhadap
anaknya, memperbagus namanya, memperbagus susuannya dan memperbagus
akhlak/karakternya”

Dari sekian hak seorang anak sebagaimana disebutkan dalam hadis adalah
orang tua atau guru berkewajiban menanamkan akhlak peserta didik, seperti adab,
sopan santun, tutur kata yang ramah, hormat kepada yang tua, kasih sayang
kepada yang lebih muda serta menghargai teman-temannya di sekolah.

Untuk mencetak peserta didik yang cerdas dan bermoral tidaklah mudah,
butuh pembinaan yang terus menerus, lebih-lebih guru mencontohkan akhlak
Rasulallah sebagai uswah dalam kehidupannya, Rasulallah yang cocok dijadikan
sebagai teladan. Di samping itu guru harus berprilaku yang baik serta dipraktekan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga guru dijadikan model atau contoh nyata.
Artinya guru adalah model tingkah laku yang harus dicontoh oleh peserta
didiknya baik di sekolah maupun luar sekolah, dan dimanapun guru berada
disitulah nilai-nilai akhlak tetap dilestarikan dalam kehidupan.

C. Urgensi Etika Guru Terhadap Murid


Etika guru terhadap peserta didik sangat diperlukan sebagai hal utama dalam
meningkatkan kadar kualitas pribadi siswa di sekolah. Bila guru memiliki perilaku
tercela tentu akan siswanya akan melebihi tercelanya sifat guru tersebut. Karena
guru merupakan teladan bagi siswanya, etika guru harus senantiasa ditingkatkan
dan dipertahankan serta dikembangkan di dalam maupun di luar lingkungan
sekolah.17

Guru adalah tonggak terbesar dalam pembentukan sumber daya manusia


dibidang pembangunan, terutama pembangunan bidang pendidikan. Guru disebut
juga sebagai pemberi inspirasi, penggerak, dan pelatih dalam penguasaan
kecakapan tertentu khususnya bagi para siswa agar mereka siap untuk
membangun hidup beserta lingkungan sosialnya baik disekolah maupun dirumah.
Dapat dipastikan bahwa guru yang semakin berkualitas moral dan etika seorang
guru maka semakin besar pula peranannya terhadap perkembangan diri siswanya
dan masyarakatnya.

Tanggung jawab guru yang paling penting ialah merencanakan dan menuntut
peserta didik melakukan kegiatan belajar guna mencapai pertumbuhan dan
keterampilan yang diinginkan. Guru harus membimbing murid agar mereka dapat
17
Dedi Sahputra Napitupulu, Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam, (Sukabumi: Haura
Utama, 2020), hlm. 76.
memperoleh keterampilanketerampilan, menambah pemahaman, perkembangan
berbagai kemampuan, kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan perkembangan sikap
yang serasi.

Menampakkan pengetahuan kepada anak didik bukanlah pekerjaan yang sulit,


namun membina siswa agar menjadi manusia yang berwatak bukanlah perihal
yang mudah. Agar aspek-aspek kepribadian dapat berkembang maka guru perlu
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengalami, menghayati situasi-situasi
yang hidup dan nyata. Selain itu juga kepribadian, watak, dan tingkah laku guru
itu sendiri akan menjadi contoh yang konkret bagi siswanya. Memberikan
bimbinga kepada anak didik agar mereka dapat mengenali dirinya sendiri,
memecahkan masalahnya, mampu menghadapi kenyataan dan memiliki stamina
emosional yang baik, sangatlah diperlukan. Guru perlu menghormati kepribadian
anak, agar mereka menjadi pribadi yang tahu akan hak-hak orang lain.18

18
Zainal Azman, “Urgensi Keteladanan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Membentuk Akhlak
Siswa”, el-Ghiroh, (Vol. XIV, No. 01, 2018), hlm. 18.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika merupakan cabang ilmu yang membicarakan tingkah laku atau
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan yang baik dan buruk. Guru
merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Jawa, yakni digugu dan ditiru.
Peserta didik adalah orang yang mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai
dengan citacita dan harapan masa depan.

Berikut ini akan dikemukakan tentang etika guru dalam pandangan Hadis
diantaranya yaitu:

1. Guru dalam mengajar hendaklah bertujuan mengharap ridha Allah,


menyebarkan ilmu dan menghidupkan syari’at.
2. Guru hendaklah meluruskan niat peserta didiknya dengan ikhlas dalam
menuntut ilmu.
3. Guru hendaknya tidak merendahkan peserta didiknya disebabkan karena
bebal otaknya.
4. Guru menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji terhadap peserta didik.

Menampakkan pengetahuan kepada anak didik bukanlah pekerjaan yang sulit,


namun membina siswa agar menjadi manusia yang berwatak bukanlah perihal
yang mudah. Agar aspek-aspek kepribadian dapat berkembang maka guru perlu
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengalami, menghayati situasi-situasi
yang hidup dan nyata.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan
dari isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritik
dan saran yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qusyairi, Imam Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. 1998. Shahih Muslim.
Riyadh: Baitul Afkaar ad-Dauliyyah.

Departemen Agama RI. 2019. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Lajnah


Pentashihan Mushaf Al-Qur'an.

Siswanto. 2013. Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Pena
Salsabila.

Akmal Hawi. 2013. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Tanyid, Maidiantius. 2014. “Etikan Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang


Krisis Moral Berdampak Pada Pendidikan”. Jurnal Jaffray (Vol. 12, No. 2).

Fauzi, Imron. 2018. Etika Profesi Keguruan. Jember: IAIN Jember Press.

Ungguh, Muliawan Jasa. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo


Persada.

Syar‟i, Ahmad. 2020. Filsafat Pendidikan Islam. Palangka Raya: Narasi Nara.

Djollong,Andi Fitriani. 2017 “Keududukan Guru Sebagai Pendidik”. Istiqra' (Vol.


IV, No. 2).

Dalimunthe, Putri Ani. 2017. “Peserta Didik Dalam Perspektif Pendidikan


Islam”. Ihya Al-'Arobiyyah (Vol. 3, No. 2)

Askhabul Kirom. 2017. “Peran Guru Dan Peserta Didik Dalam Proses
Pembelajaran Berbasis Multikultural”. Al-Murabbi (Vol. 3, No. 2)

Sanuhung, Fitriyani. 2021. “Peran Kepribadian Guru Terhadap Prestasi Belajar


Siswa”. IQRO: Journal Of Islamic Education.
Dedi Sahputra Napitupulu. 2020. Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam.
Sukabumi: Haura Utama.

Azman, Zainal. 2018. “Urgensi Keteladanan Guru Pendidikan Agama Islam


Dalam Membentuk Akhlak Siswa”. el-Ghiroh.

Anda mungkin juga menyukai