Anda di halaman 1dari 64

PEMERINTAH KOTA SEMARANG

RUMAH SAKIT DAERAH


K.R.M.T. WONGSONEGORO
Jl. Fatmawati No. 1 Telp. 6711500, Fax. 6717755 Semarang - 50272

KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT DAERAH K.R.M.T. WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG

NOMOR 92 TAHUN 2022

TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN PENANGGULANAN TB DENGAN STRATEGI TB-DOTS
RUMAH SAKIT DAERAH K.R.M.T. WONGSONEGORO

DIREKTUR RUMAH SAKIT DAERAH K.R.M.T. WONGSONEGORO


KOTA SEMARANG,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan pelayanan


kesehatan kepada masyarakat yang bermutu dan
berkualitas, diperlukan pedoman bagi seluruh
pelaksana layanan kesehatan di Rumah Sakit Daerah
K.R.M.T. Wongsonegoro;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan mengoptimalkan pelayanan TB
(Tuberkulosis) dengan strategi TB-DOTS (Tuberculosis-
Directly Observed Treatment Short) diperlukan satu
pedoman pelayanan sebagai dasar pelaksanaan
kegiatan pelayanan;
c. bahwa untuk melaksanakan sebagaimana yang
dimaksud di atas, perlu menetapkan Keputusan
Direktur Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro
tentang Pedoman Pelayanan Penanggulanan TB
(Tuberkulosis) dengan Strategi TB-DOTS (Tuberculosis-
Directly Observed Treatment Short) Rumah Sakit
Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.

Mengingat : 1. Undang–Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang


Pembentukan Daerah–Daerah Kota Besar dalam
Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah,
Djawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta
(Himpunan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1950);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 1 #)
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan ((Lembaran Negara Republik Indonesia
2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
5. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia 2009
Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587);
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601);
9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607);
10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5612);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1976 tentang
Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976
Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3079);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1992 tentang
Pembentukan Kecamatan di wilayah Kabupaten-
Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga, Cilacap,
Wonogiri, Jepara dan Kendal serta Penataan
Kecamatan di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Semarang dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 89);

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 2 #)
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/
PER/III/2008 tentang Rekam Medis;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/Menkes/
Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit;
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/MENKES/
PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 671);
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat di
Rumah Sakit;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2013
tentang Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resistan Obat;
18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis;
19. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 194/Menkes/
SK/II/2003 tentang Peningkatan Kelas Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Semarang Milik Pemerintah Kota
Semarang;
20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/MENKES/
SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit;
21. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
364/MENKES/SK/ V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB);
22. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/MENKES/
SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi
Pengendalian Penyakit TB dan HIV;
23. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 13 Tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah dan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu
Kota Semarang (Lembaran Daerah Kota Semarang
Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah
Kota Semarang Nomor 23);
24. Peraturan Walikota Semarang Nomor 82 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Semarang
Nomor 7 Tahun 2019 tentang Peraturan Internal
Rumah Sakit (Hospital By Laws) Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang;
25. Peraturan Walikota Semarang Nomor 36 Tahun 2021
tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan
Fungsi, Serta Tata Kerja Rumah Sakit Daerah K.R.M.T.
Wongsonegoro Kota Semarang (Berita Daerah Kota
Semarang Tahun 2021 Nomor 36);

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 3 #)
26. Keputusan Walikota Semarang Nomor 445/0174
Tahun 2007 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang sebagai Badan Layanan Umum
(BLU);
27. Keputusan Walikota Semarang Nomor 445/1156/2016
tentang Penetapan “K.R.M.T. Wongsonegoro” sebagai
Nama Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

KESATU : Pedoman Pelayanan Penanggulanan TB (Tuberkulosis) dengan


Strategi TB-DOTS (Tuberculosis-Directly Observed Treatment
Short) Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan
Direktur, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keputusan ini.
KEDUA : Pedoman Pelayanan Penanggulanan TB (Tuberkulosis) dengan
Strategi TB-DOTS (Tuberculosis-Directly Observed Treatment
Short) Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU, digunakan
sebagai acuan pelayanan pasien TB di Rumah Sakit Daerah
K.R.M.T. Wongsonegoro Kota Semarang.
KETIGA : Dengan ditetapkannya keputusan ini maka Keputusan
Direktur Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Nomor 76
Tahun 2018 tentang Pedoman Pelayanan Penanggulanan TB
(Tuberkulosis) dengan Strategi TB-DOTS (Tuberculosis-
Directly Observed Treatment Short) Rumah Sakit Daerah Kota
Semarang tanggal 31 Januari 2018 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
KEEMPAT : Segala biaya yang timbul sebagai akibat diterbitkannya
keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Semarang
Pada tanggal 12 Januari 2022

DIREKTUR RUMAH SAKIT DAERAH


K.R.M.T. WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG

SUSI HERAWATI

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 4 #)
LAMPIRAN: KEPUTUSAN DIREKTUR
RSD K.R.M.T. WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG
Nomor : 92 TAHUN 2022
Tanggal : 12 Januari 2022

PEDOMAN PELAYANAN PENANGGULANAN TB (TUBERCULOSIS)


DENGAN STRATEGI TB-DOTS
(TUBERCULOSIS-DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT)
RUMAH SAKIT DAERAH K.R.M.T. WONGSONEGORO

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (1999) jumlah pasien


Tuberkulosis (TB) di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien didunia dan
merupakan ke 3 terbanyak didunia setelah India dan China. Diperkiran
saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah
pasien TB didunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru.

Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin meningkat


dan bertambahnya kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT atau
MDR-TB. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama.

Pada tahun 1993, WHO telah menyatakan bahwa TB merupakan


keadaan darurat dan pada tahun 1995 merekomendasikan strategi DOTS
sebagai salah satu langkah yang efektif dan efisien dalam penanggulangan
TB.

Intervensi dengan strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar


(Puskesmas) telah dilakukan sejak tahun 1995. Khusus untuk institusi
pelayanan rumah sakit dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BPKM)/
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), intervensi baru
dilakukan sejak tahun 2000. Hasil survei prevalensi TB tahun 2004
menunjukkan bahwa pola pencarian pengobatan TB ke rumah sakit
ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali
sakit mencari pengobatan ke rumah sakit, sedangkan sisanya ke
Puskesmas dan Praktek Swasta.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 5 #)
Pelaksanaan DOTS di rumah sakit mempunyai daya ungkit dalam
penemuan kasus (cure rete), dan angka keberhasilan rujukan (succes
referal rate).

Adapun strategi DOTS terdiri dari :

1. Komitmen politik.

2. Pemeriksaan dahak mikrokopis yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB,


dengan penatalaksaan kasus secara tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan.

4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian


terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.

Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi


dan diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai
institusi terkait termasuk rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan
mengikutsertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang
bersinergi untuk penganggulangan TB.

Pada saat ini penganggulangan TB dengan strategi DOTS di rumah


sakit baru berkisar 20% dengan kualitas bervariasi. Ekspansi strategi
DOTS di rumah sakit masih merupakan tantangan besar bagi
keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan tuberkulosis. Hasil
monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim TB eksternal monitoring
mission pada tahun 2005 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus TB
di rumah sakit cukup tinggi, tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah
dengan angka putus berobat yang masih tinggi. Kondisi tersebut
berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan
kemungkinan terjadi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB ).

Untuk mengetahui keberhasilan rumah sakit dalam melaksanakan


strategi DOTS, pada bulan Juli 2009 telah dilakukan assesment terhadap
rumah sakit tingkat propinsi di seluruh Indonesia (jumlah 18 rumah
sakit). Data hasil assesment menunjukkan bahwa hanya 17% rumah sakit

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 6 #)
yang telah melakukan strategi DOTS dengan hasil optimal 44% rumah
sakit sedang, dan 39% rumah sakit kurang.

Data hasil assesment juga menunjukkan adanya hubungan yang erat


antara komitmen direktur rumah sakit terhadap keberhasilan
penyelenggaraan DOTS di RS. Sementara dari 59% rumah sakit yang
telah memiliki Tim DOTS, hanya 28% Tim DOTS yang dibentuk bekerja
optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah memiliki sumber daya
manusia yang terlatih DOTS (dokter umum, dokter spesialis, paramedik,
petugas laboratorium maupun farmasi), namun tidak dimanfaatkan secara
baik oleh pihak manajemen rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa hal antara lain: strategi DOTS belum menjadi komitmen
manajemen di rumah sakit disebabkan oleh sosialisasi yang kurang
optimal. Hal ini tercermin hanya 17% rumah sakit yang melaksanakan
strategi DOTS secara optimal.

Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro menyusun Pedoman


Pelayanan Tuberkulosis di rumah sakit sebagai bentuk nyata komitmen
serta partisipasi dari pihak manajemen RSD K.R.M.T. Wongsonegoro
dalam suksesnya pelaksanaan strategi DOTS di RSD K.R.M.T.
Wongsonegoro.

B. Tujuan Pedoman

1. Tujuan Umum

Pedoman Pelayanan Tuberkulosis di Rumah Sakit Daerah K.R.M.T.


Wongsonegoro disusun dengan tujuan agar dapat meningkatkan mutu
pelayanan Tuberkulosis.

2. Tujuan Khusus :

a. Sebagai pedoman manajerial dan operasional dalam program


penganggulangan TB di Rumah Sakit Daerah K.R.M.T.
Wongsonegoro.

b. Sebagai Indikator mutu penerapan standar pelayanan rumah sakit


(SPPS) dalam program penganggulangan TB melaluli akreditasi.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 7 #)
c. Sebagai salah satu alat ukur kinerja rumah sakit dalam
penganggulangan TB melalui indikator Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit (SPM-RS).

C. Ruang Lingkup Pelayanan

Pedoman Pelayanan di Rumah Sakit Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro


diperuntukkan bagi seluruh unit kerja yang terkait dengan pelayanan
tuberkulosis di RSD K.R.M.T. Wongsonegoro yaitu :

1. Unit Rawat Jalan


2. Unit Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat

D. Batasan Operasional

Batasan Operasional Pelaksanaan Pelayanan TB DOTS meliputi :

1. Tatalaksana dan Pencegahan TB


2. Penemuan Kasus Tuberkulosis
3. Pengobatan Tuberkulosis
4. Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
5. Pengendalian infeksi pada sarana layanan
6. Pencegahan Tuberkulosis
7. Manajemen Program TB
8. Perencanaan program Tuberkulosis
9. Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
10. Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
11. Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
12. Promosi program Tuberkulosis
13. Pengendalian TB komprehensif
14. Public – Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
15. Kolaborasi TB-HIV

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 8 #)
E. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indosesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/ PER/III/2008
tentang Rekam Medis;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/ Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/MENKES/ PER/IX/2010
tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/MENKES/ PER/2011
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Rumah Sakit;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 194/MENKES/ SK/II/2003
tentang Peningkatan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang Milik Pemerintah Kota Semarang;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/MENKES/ SK/V/2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB) dengan Strategi
DOTS di Rumah Sakit;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/MENKES/ SK/XII/2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB
dan HIV;
13. Surat Edaran Menteri Kesehatan No 884/Menkes/VII/2007, tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan/Pengobatan Penyakit Paru;
14. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik No
YM.02.08/III/673/2007, tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Rumah Sakit.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 9 #)
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifakasi Sumber Daya Manusia

Nama
Pendidikan Sertifikat Pelatihan Jumlah
Jabatan

Dokter Spesialis
Ketua PelatihanTB-DOTS 1 orang
Penyakit Paru
Dokter spesialis
Wakil Ketua PelatihanTB-DOTS 1 orang
Penyakit Paru

Sekretaris Perawat Poli PelatihanTB-DOTS 1 orang

Dokter SpPD 5 orang


Konsulen SpPD-KEMD PelatihanTB-DOTS 1 orang
Teknis SpPD-KGH 1 orang
Dokter SpA 5 orang

Perawat Profesi Ners PelatihanTB-DOTS 1 orang


Pelaksana D3 Keperawatan PelatihanTB-HIV 1 orang

S1-S.Si
Petugas
D3 Analis Pelatihan TB-DOTS 1 orang
Laboratorium
Kesehatan
Petugas Pelatihan Proteksi
S1-S.ST 1 orang
Radiologi Radiasi /PPR
Petugas Pelatihan Tenaga
S1 Apoteker 1 orang
Farmasi teknis kefarmasian
Perekam Pelatihan Rekam
D3 Rekam Medis 1 orang
Medis Medis

B. Distribusi Ketenagaan

1. Ketua Tim DOTS

a. Ketua Tim adalah seorang dokter Spesialis Penyakit Paru.

b. Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab seluruhnya


terhadap pelaksanaan program DOTS di Rumah Sakit.

c. Tugas pokok mengkoordinasi semua pelaksanaan kegiatan program


DOTS di RSD KR.M.T. Wongsonegoro dengan tugas :

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 10 #)
1) Melaksanakan kebijakan, memberikan arahan, menetapkan
standar pelayanan TB-DOTS di rumah sakit;

2) Melakukan perencanaan, penggerakan dan pengendalian


pelayanan TB-DOTS di rumah sakit;

3) Melakukan koordinasi lintas sektoral/organisasi (pemanfaatan


sumber daya efektif dan efisien);

4) Memfasilitasi rujukan internal dan eksternal;

5) Mengelola informasi (akurat dan akuntabel)

6) Memfasilitasi kebutuhan logistik (termasuk obat, alat kesehatan


dan peralatan yang dibutuhkan) pada pelayanan TB-DOTS di
rumah sakit;

7) Melakukan Self Assesment.

2. Sekretaris Tim DOTS

a. Tugas pokok ikut berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan


program DOTS.

b. Tugas Sekretaris Tim Pelayanan TB-DOTS adalah :

1) Melaksanakan kegiatan administrasi dan menginventarisir


program kerja Tim TB-DOTS;

2) Bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan semua


kegiatan Tim TB-DOTS;

3) Membuat dan mensosialisasikan uraian tugas Tim TB-DOTS di


rumah sakit;

4) Bertanggungjawab terhadap penyediaan dan penyimpanan


berkas rekam medik;

5) Bertanggungjawab terhadap pelaporan internal dan eksternal.

3. Konsulen Teknis Tim TB- DOTS

a. Secara administratif dan fungsional bertanggungjawab kepada ketua


dan wakil Tim TB-DOTS dalam pelaksanaan program kerja DOTS di
setiap unitnya masing-masing.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 11 #)
b. Tugas pokok membantu pelaksanaan semua kegiatan di program
DOTS.

c. Tugas Konsulen Teknis Tim Pelayanan TB-DOTS adalah :

1) Melakukan pemeriksaan terhadap pasien suspek TB maupun


pasien positif TB paru;

2) Melakukan edukasi dengan komunikasi yang baik terhadap


pasien dan keluarga;

3) Memberikan informed concent terhadap pasien dan atau


keluarga pasien terhadap setiap tindakan yang akan
dilaksanakan;

4) Memberikan terapi dan tindakan terhadap pasien sesuai


indikasi;

5) Menulis resep untuk pasien yang ditandatangani;

6) Menerima rujukan dari eksternal dan melakukan rujukan


keluar rumah sakit.

4. Perawat Pelaksana TB-DOTS

Tugas perawat pelaksana TB-DOTS adalah :

a. Melakukan asuhan keperawatan langsung terhadap pasien,


meliputi:

1) Pengkajian keperawatan;

2) Diagnosa keperawatan;

3) Rencana keperawatan;

4) Implementasi keperawatan;

5) Evaluasi keperwatan;

6) Dokumentasi asuhan keperawatan.

b. Melakukan pencatatan dan pelaporan.

5. Petugas Laboratorium

Tugas petugas laboratorium adalah :

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 12 #)
a. Melakukan pemeriksaan terhadap sampel darah pasien;

b. Melakukan pencatatan hasil pemeriksaan sampel;

c. Membuat pencatatan dan pelaporan penggunaan reagen.

6. Petugas Radiologi

Tugas petugas radiologi adalah :

a. Melakukan pemeriksaan rontgen terhadap pasien suspek TB

b. Melakukan pencatatan hasil pemeriksaan rontgen;

c. Membuat pencatatan dan pelaporan.

7. Petugas Farmasi

Tugas petugas Farmasi adalah :

a. Melakukan pelayanan farmasi pada pasien yang mendapat terapi


obat TB;

b. Membuat pencatatan dan permintaan persediaan obat TB;

c. Membuat pencatatan dan pelaporan.

8. Petugas Rekam Medis

Tugas petugas rekam medis adalah :

a. Melakukan pencatatan kunjungan pasien TB di rumah sakit

b. Melakukan pencatatan dan palaporan.

C. Pengaturan Jaga

Pelaksanaan Pelayanan TB DOTS dilaksanakan setiap hari.

1. Rawat Jalan

Pelayanan TB-DOTS rawat jalan dilaksanakan di Poli TB-DOTS (Pojok


DOTS) pada jam kerja.

2. Rawat Inap

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 13 #)
Pengaturan jadwal jaga pelayanan TB-DOTS di ruang rawat inap sesuai
jaga shift pagi (07.00-14.00), siang (14.00-21-00) dan malam (21.00-
07.00).

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 14 #)
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruangan Poli TB DOTS RSD K.R.M.T. Wongsonegoro

Area Parkir P.Dahak KM

Jalan
Masuk/Keluar Loket Pendaftaran Jalan
Masuk/Keluar

Meja Pendaftaran TEMPAT

Meja Dokter

Bed Periksa
SAMPAH
Kursi

Dokter
Kursi
Kursi Pasien
Admin RUANG TUNGGU PASIEN DEWASA
RUANG TUNGGU
Ruang Adminstrasi PASIEN ANAK
LEMARI
ARSIP

TIMBANGAN

PINTU
PINTU

PINTU
RUANG PRIKSA ANAK

PINTU PINTU

WESTAFEL
Jalan
RUANG PERIKSA DEWASA Masuk/Keluar
Bed Periksa

Kursi
Perawat TEMPAT
SAMPAH

Kursi
Pasien
Meja Perawat
Lamp Ronxen

Meja Dokter

Kursi
Dokter

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 15 #)
B. Standar Fasilitas

Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat
tercapai tujuan dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagi pasien TB.
Fasilitas yang ada di RSD K.R.M.T. Wongsonegoro Kota Semarang :

1. Tersedia ruangan khusus pelayanan TB (POli DOTS) yang berfungsi


sebagai pusat pelayanan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik,
pengobatan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring
internal/eksternal DOTS.

2. Ruangan tersebut memenuhi persyaratan Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi (PPI-TB) di rumah sakit.

3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB.

4. Tersedia ruangan/sarana bagi penyelenggaran KIE terhadap pasien


TB dan keluarga.

5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan


mikrokopis dahak.

C. Daftar Inventaris Ruang DOTS

No Nama Barang Jumlah

1 Meja 2

2 Kursi 14

3 Lemari Arsip 1
4 Komputer dan laptop 3
5 Kipas Angin 4
6 Nebulizer 1
7 Bed Periksa 2
8 Stetoskop 2
Timbangan dan alat
9 1
pengukur Tinggi Badan
10 Lampu Rontgen 1

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 16 #)
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Penemuan Kasus TB

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui


serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB,
pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis dan menentukan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan
pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada
orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini
membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala dan
keluhan tersebut.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan


tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

1. Strategi Penemuan

a. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan


promosi aktif, Penjaringan tersangka dilakukan di unit pelayanan
kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan
dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat
umum, dinilai tidak cost efektif.

b. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :

1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti


pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS).

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 17 #)
2) Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan,
lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup
pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB,
terutama mereka dengan TB BTA positif.

3) Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB


harus dilakukan untuk menentukan tidak lanjut apakah
diperlukan pengobatan TB atau pengobatan pencegahan.

4) Kontak dengan pasien TB resistan obat.

c. Penerapan menajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala


dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan prkatis
menuju kesehatan paru (PAL + practical approach to long health),
manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa
sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan kasus TB
dilayanan kesehatan, mengurani terjadinya missopportunity kasus TB
dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.

d. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang


memliki gejala :

1) Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3


minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan turun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

2) Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit


paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevelansi TB di Indonesia
saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.

3) Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB


dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini :

a) Kasus gagal dengan pengobatan kategori 2

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 18 #)
b) Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif pada
bulan ke-3 pada pengobatan kategori 2

c) Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT ini kedua seperti


kuinolon dan kanamisin

d) Pasien gagal pengobatan kategori 1

e) Pasien dengang hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah


sisipan dengan kategori 1

f) Kasus TB kambuh pada pengobatan kategori 1 atau kategori 2

g) Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan


kategori 1 dan atau kategori 2

h) Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien


TB MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang
bertugas di bangsal TB MDR

i) Pasien koinfeksi TB-HIV

2. Pemeriksaan Dahak

a. Pemeriksaan dahak Tes cepat molekuler (TCM)/Gen Expert

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diganosis,


menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan


dengan mengumpulkan 2 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
satu hari kunjungan dengan jarak 1 jam dari pengambilan dahak
pertama kepengambilan dahak kedua

a. Sewaktu – Sewaktu

b. Sewaktu - Pagi maupun Pagi - Sewaktu

b. Pemeriksaan Biakan

Peran biakan dan identifikasi Micobacterium tuberkulosis pada


pengendalian TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang
bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan selama
fasilitas memungkinkan biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa
situasi :

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 19 #)
1) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

2) Pasien TB ekstra paru dan pasien TB anak

3) Petugas kesehatan yang menangani pasien kekebalan ganda

c. Pemeriksaan Tes Resistensi obat (uji kepekaan Obat)

Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium


yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes
resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan
pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium
supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan
tersebut memberikan keputusan yang benar sehingga kemungkinan
kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah.

B. Diagnosis Tuberkulosis

1. Diagnosis TB paru pada orang dengan HIV negatif

a. Semua suspek TB diperiksa 2 spesimen dahak dalam waktu 1 hari,

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan


ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.

c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan


foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi.

2. Diagnosis TB Ekstra paru pada orang dengan HIV negatif

a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku


kuduk pada Meningitis TB, nyeri pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis RB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.

b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,


baketeriologis dan atau hispatologi yang diambil dari jaringan tubuh
yang terkena.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 20 #)
3. Diagnosis TB pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, diagnosa TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan


sebagai berikut:

a. TB Paru BTA positif, meskipun hanya satu kesediaan dahak positif


dan tes HIV positif atau gambaran klinis infeksi HIV yang jelas.

b. TB Paru BTA negatif, meskipun hasil sediaan dahak negatif, dan


gambaran radiologis mendukung TB, dan test HIV positif atau
gambaran klinis infeksi HIV yang jelas, keputusan diagnosa dan
pengobatan OAT oleh dokter, atau BTA negatif dengan hasil kultur
TB positif.

c. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,


bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena.

4. Diagnosis TB pada anak

Diagnosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis


baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk
bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak
biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor.

IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak


dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut
secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 21 #)
Tabel 4.1 Sistem Skor gejala dan pemeriksaan penunjang TB Anak

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA Positif
Jelas keluarga,
BTA
negatif atau
tidak tahu,
BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Badan / Bawah garis
Keadaan Gizi Merah (KMS)
Atau BB/U Klinis gizi
<80% buruk
(BB/U<60%)
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab yang
jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm,
kelenjar limfe Jumlah > 1
Leher, aksila Tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada
Tulang/sendi pembengkakan
panggul lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak
jelas
Jumlah
Catatan :

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab


batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis dan lain-lain.

c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien


dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

d. Berat badan dinilai saat pasien data (moment opname)


melampirkan tabel badan-badan.

e. Foto toraks-toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 22 #)
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (rekasi lokal timbul < 7 hari
setelah pentuntikkan) harus dievaluasi dengan sistem skoring
anak.

g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, ( skor maksimal 14 )

h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk


evaluasi lebih lanjut. Perlu perhatian khusus jika ditemuka salah
satu keadaan dibawah ini :

 Tanda bahaya

 Kejang, kaku kuduk

 Penuruan kesadaran

 Kegawatan lain, misalnya sesak nafas

 Foto toraks menunjukkan gambaran milier kavitas efusi


pleura

 Gibbus koksitis

a. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan
sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama
dengan 6 (≥6), harus ditatalaksana sebgai pasien TB dan
mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu
dilakukan pemeriksaan diagnostik sesuai indikasi, seperti
fundukopi, CT Scan, dan lain-lainnya.

5. Diagnosis TB MDR

Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan


dan uji kepekaan M.Tuberculosis. Semua suspek MDR dipastikan
berdasarkan dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus ‘dahak
pagi hari’. Uji kepekaan M.Tuberculosis harus dilakukan di
laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan.

Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan


tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian
TB Nasional. Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB:

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 23 #)
a. Mono- resistensi : kekebalan terhadap salah satu OAT, misalnya
kebal terhadap INH saja, atau rifampisin saja, dll.

b. Poly- resisten : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, kecuali


kombinasi resitensi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya kebal
terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S, dll.

c. Multidrug – Resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-


kurangnya isoniazid (H) dan rifampicin (R), misalnya kebal terhadp
H-R atau H-R-E atau H-R-E-S atau H-R_S, dll.

d. Extensive Drug – Resistance (XDR) : Multi drug resistance (MDR)


ditambah kekebalan terhadap salah satu golongan fluorokuinolon,
dan sedikitnya salah satu dari OAT suntikkan lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin), misalnya kebal terhadap
H-R-S-Lx-Kn.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 24 #)
Gambar 4.1 Alur Diagnosis TB Paru

Catatan : Pada keadaaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik ini dapat digunakan secara lebih fleksibel:
pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan bersamaan dengan foto toraks dan pemeriksaan lain yang diperlukan.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 25 #)
C. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

1. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis


memerlukan suatu “definisi khusus” yang meliputi empat hal, yaitu:

a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA


positif atau BTA negatif

c. Riwayat pengobatan sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah


diobati

d. Status HIV pasien

e. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat. Saat ini sudah


tidak dimasukkan dalam penentuan definisi kasus.

2. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

a. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah


pengobatan yang tidak adekuat (undertreatment), menghindari
pengobatan yang tidak perlu (overtreatment)

b. Melakukan registrasi kasus secara benar

c. Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan dana

d. Menentukan prioritas pengobatan TB, dalam situasi dengan sumber


daya yang terbatas

e. Analisis kohort hasil pengobatan, sesuai dengan definisi klasifikasi


dan tipe

f. Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara


akurat, baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional,
maupun dunia

3. Beberapa istilah dalam definisi kasus :

a. Kasus TB: pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau


didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan
pengobatan TB.

b. Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk


Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan,

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 26 #)
sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.

4. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :

a. Tuberkulosis paru, Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang


menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru, tuberkulosis yang menyerang organ tubuh


lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung,
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, pulit, usus, ginjal,
saluran kecing, alat kelamin, dan lain-lain.

c. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai


TB paru.

5. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan


ini ditunjukkan terutama pada TB paru :

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif

2) Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman


TB positif.

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen


dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

1) Kasus yang tidak memenuhi definis pada TB paru BTA positif.

2) Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :

 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

 Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika no OAT, bagi


pasien dengan HIV negatif.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 27 #)
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.

Catatan :

- Pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat


diklasifikasn sebagai BTA negatif, lebih baik dicatat sebagai
“pemeriksaan dahak tidak dilakukan”

- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru,


maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus
dicatat sebagia pasien TB paru.

- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa


organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang
penyakitnya paling berat.

6. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut


sebagai tipe pasien, yaitu :

a. Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

b. Kasus yang sebelumnya diobati

1) Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat


pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (hapusan atau
kultur)

2) Kasus setelah putus berobat (default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.

3) Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif


atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 28 #)
c. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan


pengobatannya.

d. Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti


yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah
diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya kembali diobati
dengan BTA negatif.

Catatan :

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami


kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik.

D. Pengobatan Tuberkulosis

1. Tujuan dan Prinsip pengobatan

2. Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah
yang tergolong pada untuk lini pertama. Secara ringkas OAT lini
pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini :

Tabel: Jenis OAT Lini Pertama


Dosisi yang direkomendasikan
JENIS OAT SIFAT (mg/kg)
Harian 3x seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4,6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R ) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 15
Streptomycin (S) Bakterisid
(12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 29 #)
Tabel : Jenis OAT untuk Pasien TB resistan obat

Golongan dan Jenis OBAT


Golongan - obat-lini
- Isoniazid (H) - Pyrazinamide (Z)
Pertama oral
- Ethambutol (E) - Rifampicin (R )
Golongan -2/obat
- Streptomycin (S) - Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan
- Kanamycin (Kn) - Capreomycin
Golongan -3/Golongan
- Ofloxacin (Ofx) - Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone
- Levofloxacin (Lfx)
Golongan -4/obat - Para amino
- Ethionamide (Rto)
bakteriostatik salisilat (PAS)
- Prothionamide (Pto) - Terizidone (Trd)
- Cycloserine (Cs)
Golongan -5/obat yang - Thloacetazone
- Clofazimine (Cfz)
belum jelas (Thz)
efikasinya dan tidak - Clarithromycin
- Linezolid (Lzd)
direkomendasikan (Clr)
dalam penggunaan - Amoxilin- Clavulanate
- Lmipenem (Lpm)
rutin (Amx-Clv)

3. Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,


dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT–kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan


pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap , yaitu tahap intensif dan


lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

e. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari


dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 30 #)
f. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien baru TB menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.

g. Sebagian besar TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)


dalam 2 bulan.

2) Tahap lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat sedikit,


namun dalam jangka waktu yang lama

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten


sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

4. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

a. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia

Kategori 1 dengan fase awal dan lanjutan dengan dosis harian

2 (HRZE)/4 (HR)

b. Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket berupa obat


kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.

c. Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang tediri dari Isoniazid, Rifampisin,


Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk


paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT
mempunya beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :

1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga


menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 31 #)
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga


pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.

5. Paduan OAT lini pertama dan peruntukkannya

(2HRZE/4HR)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

1) Pasien baru TB paru BTA positif

2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

3) Pasien TB ekstra Paru

Tabel : dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Tahap Intensif
Tahap lanjutan
Tiap hari selama 56
Berat Badan 3 kali seminggu selama 16 minggu
hari RHZE
Rh (150/150)
(150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel : Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis Per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid
@ Pirazinamid Pirazinamid Etambutol menelan
300 mgr @ 500 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 32 #)
6. Pengobatan TB pada anak

Gambar 4.2 Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan
dasar
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan
cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi
baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB
anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT
tetap dihentikan.

a. Kategori Anak (2RHZ/4RH)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan


diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap
hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat
harus disesuaikan dengan berat badan.

Tabel : Dosis OAT Kombipak pada anak


BB BB BB
Jenis Obat
< 10 kg 10 - 19 kg 20 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 33 #)
Tabel : Dosis OAT pada Anak
Berat Badan 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
(Kg) RHZ (75/50/150 Rh (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10 -14 2 tablet 2 tablet
15 - 19 3 tablet 3 tablet
20 - 32 4 tablet 4 tablet

Keterangan :

1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah


sakit

2. Anak dengan BB 5-19 kg dapat diberikan 3 tablet

3. Anak dengan BB ≥ 33 kg, dirujuk ke rumah sakit

4. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

5. OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

b. Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Tuberkulosis Untuk Anak

Pada semua anak, teruatama balita yang tinggal serumah atau


konrak erat dengan pendertia TB dengan BTA positif, perlu
dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak
tersebut diberikan Isoniazad (INH) dengan dosis 5-10mg/kg
BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai.

c. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama dengan


pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan
segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium
klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan
TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam
pengobatan ARV atau tidak.

Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai


pengobatan TB, pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 34 #)
1) Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk
mulai pengobatan ARV bila CD4<350/mm3 tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun dibawah 200/mmᶟ.

2) Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB


dengan CD4<350 mm3 harus dimulai pengobatan ARV.

3) Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV


tanpa memandang nila CD4.

Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya


pengobatan TB tidak dimulai difasilitas pelayanan kesehatan dasar
(strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

Tabel : Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB


Obat ARV Paduan pengobatan
Lini Pertama/lini ARV pada waktu TB Pilihan obat ARV
kedua didiagnosis
Teruskan dengan 2
2NRTI + EFV
NRTI + EFV
Lini Pertama
Ganti dengan 2
2 NRTI + NVP* NRTI + EFV

Keterangan :
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia
subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang
perlu dimulai ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat
digunakan pada trimester 1 kehamilan (resiko kelainan janin).
d. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat

Secara Umum, prinsip pengobatan TB resistan obat, khususnya


TB dengan MDR adalah sebagai berikut :

1) Pengobatan menggunakan setidaknya 4 macam obat yang


masih efektif.

2) Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan


resisten silang (cross-resistance)

3) Membatasi obat yang tidak aman.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 35 #)
4) Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarki
sesuai potensinya.

5) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap


awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian
suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap
lanjutan adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah
menyelesaikan tahap awal.

6) Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi


biakan yang pertama. Dikatakan konversi bila pemeriksaan
BTA dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30hari menunjukkan hasil negatif.

7) Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan


tahap lanjutan

8) menganut prinsip DOT (Directly/Daily Obeseved Treatment),


dengan PMO diutamakn adalah tenaga kesehatan atau kader
kesehatan.

9) Paduan Baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini ada 2
panduan, yaitu Panduan Jangka Pendek (STR), dan Jangka
Panjang (Individual)

STR

4-6 BDQ(6bln)-Lfx-Cfz-H(dt)-Z-E-Eto/5Lfx-Cfz-Z-E

Individual

6BDQ-Lfz atau Mfx-Lzd-Cfz-Cs/14Lfx atau Mfx-Lzd-Cfz-Cs

Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti


TB MDR secara Laboratotium dan dapat disesuaikan apabila :

1) Bila ada hasil uji kepekaan untuk OAT lini ke-2 (saat ini
fasilitas ini belum tersedia).

2) Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas


sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

3) Terjadi efek samping yang berat dengan obat tersebut.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 36 #)
4) Terjadi pemburukkan keadaan klinis, sebelum maupun stelah
konversi biakan.

7. Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus

a. Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda


dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir
semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Perlu dijelaskan keapda ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.

b. Ibu Menyusui dan Bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak


berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT
aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita
TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT
yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat
badannya.

c. Pasien TB Pengguna Kontrasepsi

Rifampisin, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,


suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya menggunakan
kontrasepsi non-hormonal, kontrasepsi yang mengandung estrogen
dosis tinggi (50 mog).

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 37 #)
d. Pasien TB dengan Hepatitis Akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis aku dan atau


klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan rifampisin (R) dan Isoniasi (H) selama 6bulan.

e. Pasien TB dengan Kelainan Hati Kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan


pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Jika SGOT dan
SPGT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Jika peningkatannya kurang
dari 3kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan faal hati, Pirasinamid (Z)
tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6HR atau 2HES/10HE.

f. Pasien TB dengan Gagal Ginjal

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Piranisamid (Z) dapat di


ekskresikan melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-
senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol di eksresi melalui ginjal, oleh karena
itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal.
Apabila fasilitas pemantauan ginjal tersedia, etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesua faal
ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ/4HR.

g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus

Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat


mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 38 #)
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai
pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien
diebetes melitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena
dapat memperberat kelainan tersebut.

h. Pasien TB yang perlu mendapat tanbahan kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang


membahayakan jiwa pasien seperti :

1) Meningitis TB

2) TB milier dengan atau tanpa Meningitis

3) TB dengan Pleuritis Eksudativa

4) TB dengan Perikarditis kontriktiva

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40mg


perhari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian
disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

i. Indikasi Operasi

Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi


paru), adalah :

1) Untuk TB Paru :

a) Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan


cara konservatif.

b) Pasien dengan Fistula bronkopleura dan empema yang tidak


dapat diatasi secara konservatif.

c) Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB Ekstra Paru :

Pasien TB Ekstra Paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB


tulang yang disertai kelainan neurologik.

E. Pengawasan Menelan Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka


pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 39 #)
1. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas


kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama


dengan pasien.

2. Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,


Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.

3. Tugas seorang PMO

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai


selesai pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c. Meningkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang


telah ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang


mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

e. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien


mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada


pasien dan keluarganya :

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 40 #)
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.

d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intesif dan lanjutan)

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera


meminta pertolongan ke UPK.

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB

1. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa


dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan
dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimen sebanyak dua kali (sewaktu pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke-2 spesimen tersebut negatif. Bila sah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.

Tindak lanjut hasi pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat


dilihat pada tabel berikut ini :

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 41 #)
Tipe Pasien Tahap Hasil
Tindak lanjut
TB Pengobatan Pemeriksaan
Negatif Tahap lanjutan dimulai
Akhir tahap Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap
Pasien baru intensif positif :
Positif
dengan - Tahap lanjutan tetap diberikan
pengobatan - Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
TB sensitive Obat
Negatif Pengobatan dilanjutkan
Pada bulan ke 5
Pengobatan Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal Jika memungkinkan,
Positif
lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB MDR
Negatif Pengobatan diselesaikan
Akhir
Pengobatan Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal Jika memungkinkan,
Positif
lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB MDR
Pasien baru Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan
BTA positif
Akhir Intensif
dengan Positif Teruskan pengobatan
pengobatan
Negatif Pengobatan diselesaikan
Pada bulan ke 5
Pengobatan Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB MDR
Negatif Pengobatan diselesaikan
Akhir
Pengobatan Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB MDR pengobatan dihentikan, rujuk ke
Positif
layanan TB MDR pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB MDR

Tabel : Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 42 #)
2. Hasil Pengobatan TB BTA Positif
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
d. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit lain dengan register
TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetepa positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

G. Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya


a. Efek Samping OAT

Tabel : Efek samping ringan OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Semua OAT diminum
mual, Rifampisin malam
sakit perut sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s.d rasa Beri vitamin B6 (piridoxin)
terbakar di INH 100mg
kaki per hari
Warna kemerahan pada Tidak perlu diberi apa-
air seni apa, tapi
Rifampisin
perlu penjelasan kepada
(urine) pasien

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 43 #)
Tabel 15 Efek samping berat OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk
kulit OAT penatalaksanaan
dibawah *)
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin dihentikan,
keseimbangan Streptomisin ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir Hentikan semua OAT
lain semua sampai
OAT ikterus menghilang
Bingung dan muntah- Hampir Hentikan semua OAT
muntah semua segera
(permulaan ikterus
karena obat) OAT lakukan tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan
(syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

b. Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan


kulit”

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-


gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.

Gatal-gatal teresbut pada sebagian pasien hilang, namun pada


sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit
tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien
perlu dirujuk. Pada sarana pelayanan kesehatan rujukan penanganan
kasus-kasus efek sampig obat dapat dilakukan dengancara sebagai
berikut :

1) Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

2) Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi


hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechalenge-rechalenge. Bila dalam

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 44 #)
proses rechallenge yang memulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti heptotooksisitas karena reaksi hipersensitivitas.

3) Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah
diketahui, misalnya piranisamid atau etambutol atau streptomisin,
maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat
tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan resiko terjadinya kambuh.

4) Terkadang, pada pasien timbul rekasi hipersensitivitas (kepekaan)


terhadap Isonasid atau Rimfapisin. Kedua obat ini merupakan jenis
OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling
penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan
reaksi hipersensitivitas terhadap Isonasid atau Rimfapisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dan HIV positif sebab
mempunyai resiko besar terjadi keracunan yang berat.

H. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis

PPI TB merupakan bagian dari PPI fasyankes. Kegiatan berupa upaya


pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :

 Manajerial

 Pengendalian administratif

 Pengendalian lingkungan

 Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri

MANAJERIAL

Pihak Manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala


Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota dan atau atasan dari institusi terkait.

Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa


penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:

 Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan bagian


dari program PPI Fasyankes dengan mengeluarkan SK penunjukkan
Tim/Penanggunjawab

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 45 #)
 Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua
pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans

 Memberi pelatihan PPI TB bagi petugasyang terlibat dalam program


PPI TB

 Membuat perencenaan program PPI TB secara komprehensif

 Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan


bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB

 Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB


meliputi tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan
termasuk aspek kesehatan kerja

 Monitoring dan Evaluasi

 Melakukan kajian di unti terkait penularan TB dengan


menggunakan daftar tilik, menganalisa dan memberikan
rekomendasi untuk perbaikan

 Melaksanakan Advokasi, Komunikasi, Mobilisasi dan Sosialisasi


terkait PPI TB

 Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian


infeksi)

 Memfasilitasi kegiatan riset operasional

PENGENDALIAN ADMINISTRATIF

Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan untuk


mencegah/mengurangi pajanan M.Tb kepada petugas kesehatan, pasien,
pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :

 Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari


“pintu masuk” pendaftaran fasyankes.

 Mendidik pasien mengenai etika batuk.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 46 #)
 Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu
yang mempunyai ventilasi baik, diupayakan 12 ACH dan
terpisah dengan pasien umum.

 Menyediakan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu


maupun pembuangan dahak yang benar.

 Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE.

 Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien


suspek dan TB, termasuk diganostik, terapi dan rujukan
sehingga waktu berada pasien di fasyankes dapat sesingkat
mungkin.

 Melaksanakan skrining bagi petugas yang tertular TB.

 Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.

 Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi


petugas kesehatan.

Lima Langkah Penatalaksanaan pasien Untuk Menengah Infeksi TB


Pada Tempat Pelayanan

Langkah Kegiatan Keterangan


1 Triase Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm TB
adalah langkah pertama.

Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan


petugas untuk menyaring pasien dengan batuk
lama segera pada saat datang di fasilitas. Pasien
dengan batuk ≥ 2 minggu, atau yang sedang dalam
investigasi TB tidak dibolehkan meng-antri dengan
pasien lain untuk mendaftar atau mendapatkan
kartu. Mereka harus segera dilayani mengikuti
langkah- langkah dibawah ini.
2 Penyuluhan Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring diatas
untuk melakukan etika batuk. Yaitu menutup
hidung dan mulut ketika batuk atau bersin. Kalau
perlu berikan masker atau tisu untuk menutup
mulut dan mencegah terjadinya aerosol
3 Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui
pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari
pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker
bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung
pada saat menunggu.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 47 #)
4 Pemberian Pasien dengan gejala batuk segera mendapatkan
pelayanan pelayanan untuk mengurangi waktu tunggu
segera sehingga orang lain tidak terpajan lebih lama.
Ditempat pelayanan terpadu TB - HIV, usahakan
agar jadwal pelayanan HIV dibedakan jam atau
harinya dengan pelayanan TB atau TB-HIV
5 Rujuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan
untuk diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat
investigasi/ pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
pengobatan tersedia, faislitas perlu membina kerjasama baik
TB dengan sentra diagnostik TB untuk
merujuk/melayani pasienndengan gejala TB
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu
nmempunyai kerjasama dengan sentra pengobatan
TB untuk menerima rujukan pengobatan bagi
pasien terdiagnosa TB.

Contoh Poster Etika Batuk

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 48 #)
Edukasi dan penerapan etika batuk

Petugas harus mampu member pendidikan yang adekuat mengenai


pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi
penularan. Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala
dan menutup mulut/hidung dengan tisu. Jika tidak memiliki tisu maka
mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah
batuk, tangan dibersihkan dan tisu dibuang pada tempat sampah yang
khusus disediakan untuk ini (kantong kuning/infeksius).

Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap
merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah.
Terutama apabila petugas bersin atau batuk, dan harus melaksanakan
etika batuk

PENGENDALIAN LINGKUNGAN

Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan


aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah
penyebaran dan mengurangi/menurunkan kadar percik renik di udara.
Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet
sebagai germisida.

Pemanfaatan Sistem Ventilasi:

Sistem Ventilasi adalah system yang menjamin terjadinya pertukaran


udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai, sehingga
konsentrasi droplet nuclei menurun.

Secara garis besar ada dua jenis system ventilasi, yaitu:

 Ventilasi Alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada


pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang
bias dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam
gedung dan sebaliknya.

 Ventilasi Mekanik: adalah system ventilasi yang menggunakan


peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara
didalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan/menyedot udara

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 49 #)
kearah tertentu sehingga terjadi tekanan positif dan negative.
Termasuk exhaut fan, kipas angin berdiri (standing fan) atau duduk.

 Ventilasi Campuran (Hybrid): adalah system ventilasi alamiah


ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah
efektifitas penyaluran udara.

Pemilihan jenis system ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan


keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan system ventilasi berdasarkan
kondisi local yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan,
dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring
dan pemeliharaan secara periodic.

Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius dan


non infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu
memperoleh perhatian untuk PPI TB.

Pemantauan system ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu :

 Laju Ventilasi (Ventilation Rate): Jumlah udara luar gedung yang


masuk ke dalam ruangan pada waktu tertentu

 Arah aliran udara (airflow direction): Arah aliran udara dalam gedung
dari area bersih ke area terkontaminasi

 Distribus udara atau pola aliran udara (airflow pattern): Udara luar
perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang
efisien dan udara yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara
yang efisien

Rekomendasi WHO tentang ventilasi ruangan :

1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi yang ditransmisikan


melalui airbone, perlu diupayakan ventilasi yang adekuat di semua area
pelayanan pasien di fasilitas kesehatan.

2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan


bahwa angka rata-rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai,
yaitu :

a. 160/1/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspadaan


airbone (dengan ventilation rate terendah adalah 80/1/detik/psien)
contoh : Bangsal perawatan MDR TB

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 50 #)
b. 60/1/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik
rawat jalan.

PENGENDALIAN DENGAN ALAT PELINDUNG DIRI

Pengendalian alat pelindung diri pernafasan oleh petugas kesehatan di


tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan resiko terpajan,
sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya
administrative dan lingkungan.

Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pertikulat (N95) pada


saat menghadapi/menangani pasien suspek MDR-TB di poliklinik. Petugas
kesehatan dan pengunjung perlu menggunakan respirator pertikulat jika
berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB
tidak perlu menggunakan respirator pertikulat, tetapi cukup
menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari
droplet.

I. Rujukan Pasien TB

Rujukan pada pasien TB ada dua jenis, yaitu :

1. Rujuk Diagnosa: setelah diagnose ditegakkan pasien dirujuk kembali ke


puskesmas sesuai wilayah tempat tinggal untuk memulai pengobatan.

2. Rujuk Therapi: pasien dirujuk untuk meneruskan pengobatan di sarana


pelayanan kesehatan lainnya setelah menjalani pengobatan di RSUD
Kota Semarang.

Semua pasien TB yang mau dirujuk harus melalui poli DOTS

 Bila pasien dirujuk diagnose dibuatkan TB 09, lampirkan Tb 05,


lampirkan hasil VCT, catat nomor telepon pasien, hubungi sarana
pelayanan kesehatan tujuannya.

 Bila pasien dirujuk therapy dibuatkan TB, lampirkan fotocopy TB 01,


berikan sisa obat untuk dibawa ke tempat tujuan, hubungi sarana
pelayanan kesehatan tujuannya.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 51 #)
BAB V
LOGISTIK

A. Pengelolaan Logistik

Pengelolaan logistic penanggulangan TB merupakan serangkaian


kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, monitoring dan evaluasi. Logistik
penganggulanang TB terdiri dari 2 bagian besar yaitu Obat Anti TB (OAT)
dan logistic lainnya.

1. Logistik OAT

Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan,
yaitu :

a. OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose
Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan tiap blister
bersisi 28 tablet.

b. OAT dalam bentuk kombipak yang dikemas dalam blister untuk


satu dosisi, kombipak ini disediakan khusus untuk mengatasi efek
samping KDT. Khusus untuk dewasa terdiri dari kategori 1, kategori
2 dan sisipan.

2. Logistik Non OAT

Alat Laboratorium, terdiri dari:

a. Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan
pengering, lampu spiritus, ose, botol plastic bercorong pipet, kertas
pemberish lensa mikroskop, kertas saring, dan lain-lain.

b. Bahan diagnostic terdiri dari : Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol,


minyak imersi, Lysol, tuberculin PPD RT 23 dan lain-lain.

c. Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan


pelaporan serta bahan KIE.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 52 #)
B. Pengelolaan Obat Anti TB

1. Perencanaan Kebutuhan Obat

Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan


perencanaan dari bawah (bottom up planning), dan dilakukan terpadu
dengan perencanaan obat lainnya.

Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :

a. Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya

b. Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan

c. Buffer-stock (tiap kategori OAT)

d. Sisa stock OAT yang ada

e. Perkiaraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk


mengetahui estimasi kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan)

2. Pengadaan OAT

Dalam pengadaan OAT, RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro berkoordinasi


dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OAT
merupakan obat yang sangat-sangat esensia (SSE).

3. Penyimpanan dan Pendistribusian OAT

OAT disimpan di rak penyimpanan OAT sesuai persyaratan


penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan
FEFO (First Expired First Out), artinya obat yang kadaluarsanya lebih
awal harus diletakkan didepan agar dapat diberikan lebih awal.
Pendistribusian AOT disertai dengan dokumen yang memuat jenis,
jumla, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa.

4. Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan


Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi
ganda, untuk menggambarkan dinamika logistic dan merupakan alat
pencatatan/pelaporan.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 53 #)
5. Pemantauan Mutu OAT

Mutu OAT diperiksan melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat


yang meliputi :

a. Penandaan/label termasuk pesyaratan penyimpanan

b. Leatflet dalam bahasa Indonesia

c. Keutuhan kemasan dan wadah

d. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan terkecil


seperti vial, boz dan master box

e. Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan.

6. Pengelolaan Logistik Non OAT

Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.

7. Kebutuhan Logistik Non OAT

a. Perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang


akan diobati dalam 1 tahun.

b. Logistik penunjang lainnya (seperti: buku Pedoman TB, Modul


Pelatihan, Materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 54 #)
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. Pengertian

Suatu sistem dimana Poli DOTS RSD K.R.M.T. Wongsonegoro membuat


asuhan untuk keselamatan pasien.

B. Tujuan

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Poli DOTS.

2. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di Poli DOTS.

3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi


pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.

C. Tata Laksana Keselamatan Pasien

Upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan


Mycobacterium Tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien,
pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini
mencakup :

1. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu


masuk” pendaftaran fasyankes.

2. Mendidik pasien mengenai etika batuk.

3. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang


mempunyai ventilasi baik dan terpisah dari pasien umum.

4. Menyediakan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu maupun


pembuangan dahak yang benar.

5. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE

6. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek


dan TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu
berada pasien di fasyankes dapat sesingkat mungkin.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 55 #)
7. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.

8. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.

9. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi semua


petugas kesehatan.

Upaya pengendalian ini dapat dicapai dengan melaksanakan lima


langkah penatalaksanaan sesuai dengan PPI TB.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 56 #)
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. Pengertian

Adalah suatu system dimana Poli DOTS RSD K.R.M.T. Wongsonegoro


membuat suatu asuhan kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit
bagi petugas di lingkungan poli DOTS RSD K.R.M.T. Wongsonegoro.

B. Tujuan

1. Terciptanya budaya keselamatan kerja

2. Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan

3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi


pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.

C. Tatalaksana Keselamatan Kerja

Tatalaksana Keselamatan Kerja pada Poli DOTS RSD K.R.M.T.


Wongsonegoro sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi/PPI TB yang terdiri dari 4 pilar, yaitu:

1. Manajerial

Pihak Manajerial adalah pimpinan Fasilitas Kesehatan, Kepala Dinas


Kesehatan Provinsi dan Kota. Program PPI TB meliputi :

 Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB

 Membuat kebijakan dan SPO mengenai laur pasien untuk semua


pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans

 Memberi pelatihan PPI TB bagi petugasyang terlibat dalam


program PPI TB

 Membuat perencenaan program PPI TB secara komprehensif

 Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan


bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 57 #)
 Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB
meliputi tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan termasuk aspek kesehatan kerja

 Monitoring dan Evaluasi

 Melakukan kajian di unti terkait penularan TB dengan


menggunakan daftar tilik, menganalisa dan memberikan
rekomendasi untuk perbaikan

 Melaksanakan Advokasi, Komunikasi, Mobilisasi dan Sosialisasi


terkait PPI TB

 Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadia


infeksi)

Memfasilitasi kegiatan riset operasional.

2. Pengendalian Administratif

Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan untuk


mencegah/mengurangi pajanan M.Tb kepada petugas kesehatan,
pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan,
mensosialisasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan
alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :

 Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari


“pintu masuk” pendaftaran fasyankes.

 Mendidik pasien mengenai etika batuk.

 Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang


mempunyai ventilasi baik, diupayakan 12 ACH dan terpisah
dengan pasien umum.

 Menyediakan tisu dan masket, serta tempat pembuangan tisu


maupun pembuangan dahak yang benar.

 Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE.

 Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien


suspek dan TB, termasuk diganostik, terapi dan rujukan
sehingga waktu berada pasien di fasyankes dapat sesingkat
mungkin.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 58 #)
 Melaksanakan skrining bagi petugas yang tertular TB.

 Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.

 Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi


petugas kesehatan. Edukasi dan penerapan etika batuk.

Petugas harus mampu memberi pendidikan yang adekuat mengenai


pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi
penularan. Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan
kepala dan menutup mulut/hidung dengan tisu. Kalau tidak memiliki
tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau pangkal
lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan dan tisu dibuang pada
tempat sampah yang khusus disediakan untuk ini (kantong kuning/
infeksius).

Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila


tetap merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah.
Terutama apabila petugas bersin atau batuk, dan harus melaksanakan
etika batuk.

3. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan


pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi
untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/menurunkan kadar
percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan
menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau
ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.

Secara garis besar ada dua jenis system ventilasi, yaitu :

 Ventilasi Alamiah : adalah system ventilasi yang mengandalkan


pada pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas
ruangan yang bias dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara
dari luar kedalam gedung dan sebaliknya.

 Ventilasi Mekanik : adalah system ventilasi yang menggunakan


peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara
didalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan/menyedot
udara kearah tertentu sehingga terjadi tekanan positif dan

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 59 #)
negative. Termasuk exhaut fan, kipas angin berdiri (standing fan)
atau duduk.

 Ventilasi Campuran (Hybrid) : adalah system ventilasi alamiah


ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk
menambah efektifitas penyaluran udara.

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan


keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi
berdasarkan kondisi local yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca,
peraturan bangunan, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu
dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodic.

Pembersihan dan perawatan system ventilasi :

1) Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran dari


kipas angin

2) Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggunjawab terhadap


kondisi kipas yang masih baik, bersih dll.

3) Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali dalam


sebulan) atau dirasakan ventilasi sudah kurang baik.

Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksiud dan


non infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu
memperoleh perhatian untuk PPI TB.

4. Pengendalian Dengan Perlindungan Diri

Pengendalian alat pelindung diri pernafasan oleh petugas kesehatan


di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan resiko
terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan
upaya administrative dan lingkungan.

Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pertikulat (N95)


pada saat menghadapi/menangani pasien suspek MDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu menggunakan respirator
pertikulat jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien
atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator pertikulat,
tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi
lingkungan sekitarnya dari droplet.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 60 #)
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian mutu pelayanan TB di RSD K.R.M.T. Wongsonegoro meliputi :

1. Membentuk Tim TB DOTS RSD K.R.M.T. Wongsonegoro pada tahun 2003


dan terakhir diperbaharui tanggal 23 Mei 2013 berdasarkan SK No.43
Tahun 2013 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Tuberkulosis (TB)
Terpadu Manajemen DOTS pada Rumah Sakit Daerah K.R.M.T.
Wongsonegoro.

2. Tim Audit internal RSD K.R.M.T. Wongsonegoro mengadakan audit medis


secara berkala 6 bulan sekali untuk menilai keberhasilan atau kemajuan
kegiatan Tim Penganggulangan Tuberkulosis, untuk dapat segera
mendeteksi bila ada masalah dalam pelaskanaan kegiatan yang telah
direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan segera.

3. Tim DOTS mengadakan rapat rutin setiap 3 bulan sekali untuk


membicarakan semua hal temuan terkait dengan pelaksanaan pelayanan
DOTS.

4. Tim DOTS melakukan pencatatan dan pelaporan, untuk mengumpulkam


data dalam pelaksanaan pelayanan TB di RSD K.R.M.T. Wongsonegoro.

Formulir-formulir yang digunakan dalam melaksanakan pencatatan TB :

 Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB 06)

 Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak


(TB 05)

 Kartu pengobatan pasien TB (TB 01)

 Kartu identitas pasien TB (TB 02)

 Register TB UPK (TB 03 UPK)

 Formulir rujukan/pindah pasien (TB 09)

 Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB 10)

 Register laboratorium TB (TB 04)

 Persetujuan pengobatan TB

 Formulir Laporan

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 61 #)
Blanko indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pelayanan rawat jalan pemeriksaan TB

No Indikator SPM Catatan hasil Keterangan

1. Penegakan diagnosis TB
melalui pemeriksaan
mikrokopis TB
a. Jumlah penegakan
diagnosis TB melalui
pemeriksaan mikrokopis TB
di RS dalam 1 bulan
b. Jumlah penegakan
diagnosis TB di RS
dalam1 bulan

2. Terlaksananya kegiatan
pencatatan dan pelaporan TB
di RS
a. Jumlah seluruh pasien TB
rawat jalan yang dicatat
dan dilaporkan
b. Seluruh kasus TB rawat di
RS

Pelaporan
Waktu Sumber
No Jenis Laporan Pelaporan Data

1 Jumlah semua pasien bulanan Register Direktur CQ


rawat jalan tuberkulosis Rawat Kasubag
yang ditangani dengan Jalan Poli Pendataan
strategi DOTS diambil dari DOTS Pelaporan RSD
register rawat jalan pasien K.R.M.T.
poli DOTS Wongsonegoro
2 Jumlah penemuan dan Register - Direktur RSD
pengobatan pasien TB bulanan TB-03 Kota Semarang
- P2ML TB
Dinkes- Kota
Semarang
3 Penjaringan suspek TB bulanan - Direktur RSD
Register K.R.M.T.
TB-04 Wongsonegoro
- P2ML TB
Dinkes- Kota
Semarang
4 Rujukan keluar pasien TB bulanan Formulir - Direktur RSD
Rujukan K.R.M.T.
TB Wongsonegoro
- P2ML TB
Dinkes- Kota
Semarang

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 62 #)
5 triwulan Register Direktur RSD
TB-03 K.R.M.T.
Jumlah seluruh pasien Wongsonegoro
rawat jalan tuberkulosis - P2ML TB
yang ditangani di rumah Dinkes- Kota
sakit dalam 1 bulan Semarang
6 Konversi (akhir intensif) triwulan Register - Direktur RSD
dan kesembuhan (akhir TB-03 K.R.M.T.
pengobatan) pasien TB Wongsonegoro -
P2ML TB
Dinkes- Kota
Semarang
7 Triwulan Pencapaian triwulan - Direktur RSD
Kegiatan Kolaborasi TB - Register K.R.M.T.
HIV TB-03 Wongsonegoro
- P2ML TB
Dinkes- Kota
Semarang
8 Laporan seluruh Kegiatan Tahunan Evaluasi Direktur RSD
Tim TB - DOTS RSD Kota Program K.R.M.T.
Semarang Wongsonegoro

Indikator yang digunakan untuk menilai kemajuan atau keberhasilan


penanggulangan TB :
 Angka penjaringan suspek
 Angka keberhasilan pengobatan
5. Tim DOTS mengadakan pelatihan internal RSD K.R.M.T. Wongsonegoro
Cross Check/uji silang pemeriksaan sediaan oleh Dinas Kesehatan Kota
setiap 3 bulan sekali.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 63 #)
BAB IX
PENUTUP

Pedoman Pelayanan Poli DOTS Rumah Sakit Daerah K.R.M.T.


Wongsonegoro ini mempunyai peranan penting sebagai pedoman bagi
pelaksanaan kegiatan sehari-hari tenaga pelaksana perawatan yang bertugas
sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya pelayanan TB di
Poli DOTS.
Penyusunan Pedoman Pelayanan Poli DOTS ini adalah langkah awal ke
suatu proses yang panjang, sehingga memerlukan dukungan dan kerja sama
dari berbagai pihak dalam penerapannya untuk mencapai tujuan. Kami
menyadari bahwa pedoman Pelayanan ini masih jauh dari sempurna, karena
itu kami menerima saran dan kritik guna menyempurnakan pedoman ini.
Akhir kata, semoga Pedoman Pelayanan Poli DOTS ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekalian.

DIREKTUR RUMAH SAKIT DAERAH


K.R.M.T. WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG

SUSI HERAWATI

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat


elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) BSSN. (# 64 #)

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai