OLEH:
Hari :
Tanggal :
Magelang,
TINJAUAN TEORI
Diameter
Involusi Uteri TFU Berat Uterus
Uterus
Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm
7 hari (1 minggu) Pertengahan 500 gram 7,5 cm
pusat dan
simpisis
14 hari (2 minggu) Tidak teraba 350 gram 5 cm
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm
Sumber: Marmi, 2017.
Penurunan ukuran uterus yang cepat itu dicerminkan oleh perubahan
lokasi uterus ketika turun keluar dari abdomen dan kembali menjadi organ
pelviks. Segera setelah proses persalinan puncak fundus kira-kira dua pertiga
hingga tiga perempat dari jalan atas diantara simpisis pubis dan umbilicus
(Marmi, 2017).
Sumber: google.com
2) Perubahan pada serviks
Serviks mengalami involusi bersama dengan uterus. Perubahan-
perubahan yang terdapat pada serviks postpartum adalah bentuk serviks yang
akan menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang
dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga
seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks terbentuk semacam
cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah.
Beberapa hari setelah persalinan, ostium externum dapat dilalui oleh 2 jari,
pinggirnya tidak rata melainkan retak-retak karena robekan dalam persalinan.
Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui oleh 1 jari saja, dan lingkaran
retraksi berhubungan dengan bagian atas dari canalis cervikallis (Marmi,
2017).
3) Lochia
Dengan adanya involusi uterus, maka lapisan luar dari decidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Decidua yang mati akan
keluar bersama dengan sisa cairan. Campuran atara darah dan decidua tersebut
dinamakan lochia. Lochia disekresikan dengan jumlah banyak pada awal jam
postpartum yang akan semakin berkurang pada hari-hari berikutnya. (Marmi,
2017). Perbedaan masing-masing lochia dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perbedaan Lochia
Sumber: google.com
4) Perubahan pada vagina dan perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama
sesudah proses tersebut kedua organ ini tetap berada pada keadaan kendur.
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Perubahan pada
perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan.
Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomy
dengan indikasi tertentu. Pada postnatal hari kelima, perineum sudah
mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur
dari pada keadaan sebelum melahirkan (Marmi, 2017).
b. Perubahan sistem pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan
cairan tubuh, meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot
polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun
demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal (Marmi,
2017). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan
antara lain:
1) Nafsu makan
Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan
untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4
hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun
setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu
atau dua hari (Marmi, 2017).
2) Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap
selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan
anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan
normal (Marmi, 2017).
3) Pengosongan usus
Buang air besar secara spontan bias tertunda selama dua sampai tiga hari
setelah ibu melahirkan. Keadaan ini dissebabkan karena tonus otot usus
menurun selama proses persalinan dan pada awal masa pascapartum, diare
sebelum persalinan, anemia sebelum melahirkan, kurang makan atau dehidrasi.
Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu yang berangsur-
angsur untuk kembali normal. Pola makan ibu nifas tidak akan seperti biasa
dalam beberapa hari dan perineum ibu akan terasa sakit untuk defekasi.
Faktor-faktor tersebut mendukung konstipasi pada ibu nifas dalam minggu
pertama (Marmi, 2017).
c. Perubahan sistem perkemihan
Ibu postpartum dianjurkan segera buang air kecil agar tidak mengganggu
proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Naming demikian, pasca melahirkan
ibu merasa sulit buang air kecil. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil
pada ibu postpartum diantaranya:
1) Adanya odema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi
urin.
2) Diaphoresis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi
dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
3) Depresi dari spingter uretra oleh karena penekanan penekanan kepala janin dan
spasme oleh iritasi muskus spingter ani selama persalinan sehingga
menyebabkan miksi (Marmi, 2017).
d. Perubahan sistem endokrin
Kelahiran bayi dan plasenta mengharuskan adanya penyesuaian segera
ataupun jangka panjang terhadap kehilangan hormon-hormon kehamilan.
Terhentinya tiba-tiba hormon-hormon dari unit plasenta-janin pada persalinan
memungkinkan kita menentukan waktu paruh dari hormon-hormon tersebut dan
juga evaluasi dari sebagian fungsinya selama kehamilan. Perubahan-perubahan
sistem endokrin pada ibu nifas meliputi:
1) Steroid
Dengan ekspulsi plasenta, kadar steroid akan turun mendadak dan waktu
paruh dapat terukur beberapa menit atau jam. Akibat produksi kontinu
progesteron dalam kadar rendah oleh korpus luteum, maka kadarnya dalam
darah tidak segera mencapai kadar basal pranatal, seperti halnya estradiol.
Progesteron plasma menurun mencapai kadar fase luteal dalam 24 jam setelah
persalinan, namun baru mencapai kadar folikular setelah beberapa hari.
Pengangkatan korpus luteum berakibat penurunan mencapai kadar fase
folikular dalam 24 jam. Estradio mencapai kadar fase folikular dalam 1-3 hari
setelah persalinan.
2) Hormon-hormon hipofisis
Kelenjar hipofisis yang mengalami pembesaran selama kehamilan
terutama akibat peningkatan laktotrof, tidak akan mengecil sampai selesai
menyusui. Sekresi FSH dan LH terus ditekan pada minggu-minggu pertama
nifas, dan stimulus dengan bolus GnRH menyebabkan pelepasan FSH dan LH
subnormal. Dalam minggu-minggu berikutnya, kepekaan terhadap GnRH
kembali pulih dan banyak wanita memperlihatkan kadar LH, dan FSH serum
fase folikular pada minggu ketiga atau keempat postpartum.
3) Prolaktin
Prolaktin (PRL) serum yang meningkat selama kehamilan akan menurun
pada saat persalinan dimulai dan kemudian memperlihatkan pola sekresi yang
bervariasi tergantung apakah ibu menyusui atau tidak. Persalinan dikaitkan
dengan suatu lonjakan PRL yang diikuti suatu penurunan cepat kadar serum
dalam 7-14 hari pada ibu-ibu yang tidak menyusui (Sukma dkk, 2017).
e. Perubahan sistem musculoskeletal
Otot–otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-pembuluh
darah yang berada diantara anyaman-anyaman otot-otot uterus akan terjepit.
Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta diberikan. Pada wanita
berdiri dihari pertama setelah melahirkan, abdomennya akan menonjol dan
membuat wanita tersebut tampak seperti masih hamil. Dalam 2 minggu setelah
melahirkan, dinding abdomen wanita itu akan rileks. Diperlukan sekitar 6 minggu
untuk dinding abdomen kembali kekeadaan sebelum hamil. Kulit memperoleh
kambali elastisitasnya, tetapi sejumlah kecil stria menetap (Sukma dkk, 2017).
f. Perubahan sistem hematologi
Leokositoisis, yang meningkatan jumlah sel darah yang putih hingga 15.000
selama proses persalinan, tetap meningkat untuk sepasang hari pertama
postpartum. Jumlah sel darah putih dapat menjadi lebih meningkat hingga 25.000
atau 30.000 tanpa mengalami patologis jika wanita mengalami proses persalinan
diperlama. Meskipun demikian, berbagai tipe infeksi mungkin dapat
dikesampingkan dalam temuan tersebut. Jumlah normal kehilangan darah dalam
persalinan pervaginam 500 ml, seksio secaria 1000 ml, histerektomi secaria 1500
ml. Total darah yang hilang hingga akhir masa postpartum sebanyak 1500 ml,
yaitu 200-500 ml pada saat persalinan, 500-800 ml pada minggu pertama
postpartum ±500 ml pada saat puerperium selanjutnya. Total volume darah
kembali normal setelah 3 minggu postpartum. Jumlah hemoglobin normal akan
kembali pada 4-6 minggu postpartum (Sukma dkk, 2017).
g. Perubahan tanda-tanda vital
1) Suhu badan: setelah melahirkan, suhu tubuh dapat naik kurang lebih 0,5
derajat celcius dari keadaan normal, setelah dua jam pertama melahirkan suhu
badan akan kembali normal.
2) Nadi dan pernafasan: nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah
melahirkan, dan dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu
tubuh tidak panas, mungkin ada perdarahan berlebihan pada penderita,
sedangkan pernafasan akan sedikit lebih meningkat setelah melahirkan
kemudian kembali seperti keadaan seperti semula.
3) Tekanan darah: setelah melahirkan pada kasus normal, tekanan darah biasanya
tidak berubah. Bila terjadi hipertensi postpartum akan menghilang dengan
sendirinya bila tidak ada penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam
setengah bulan tanpa pengobatan (Sukma dkk, 2017).
6. Perubahan Psikologis
Ibu dalam masa postpartum membutuhkan dukungan dari petugas pemberi
asuhan kesehatan terutama untuk masalah yang sudah nyata atau yang dicurigai.
Selain itu mereka juga memerlukan dukungan emosional dan psikologis dari suami
dan keluarga yang dapat memberikan dukungan dengan cara membantu
menyelesaikan tugas-tugas di rumah agar ibu memiliki lebih banyak waktu untuk
mengasuh bayinya. Pada masa postpartum ibu dapat merasa takut akan
ketidakmampuan serta kehilangan hubungan yang erat dengan suaminya dan juga
tanggungjawab yang terus menerus untuk mengasuh bayi dan pekerjaan rumah
lainnya (Rahayu, 2017).
Menjadi orang tua adalah merupakan krisis dari melewati masa transisi. Masa
transisi pada postpartum yang harus diperhatikan adalah:
a. Phase honeymoon
Phase honeymoon adalah fase anak lahir dimana terjadi intimasi dan kontak
yang lama antara ibu, ayah, dan anak. Hal ini dapat dikatakan sebagai “psikis
honeymoon” yang tidak memerlukan hal-hal romantik. Masing-masing saling
memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
b. Bonding attachment
Terjadi pada kala IV, dimana diadakan kontak antara ayah, ibu, anak dan
tetap dalam ikatan kasih, penting bagi bidan untuk memikirkan bagaimana hal
tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan
salah satu upaya untuk proses ikatan kasih tersebut (Marmi, 2017).
Setelah melahirkan, ibu mengalami perubahan fisik dan fisiologis yang juga
mengakibatkan adanya beberapa perubahan dari psikisnya. Ibu mengalami
stimulasi kegembiraan yang luar biasa, menjalani proses ekplorasi dan similasi
terhadap bayinya, berada dibawah tekanan untuk dapat menyerap pembelajaran
yang diperlukan tentang apa yang harus diketahuinya dan perawatan untuk
bayinya, dan merasa tanggung jawab yang luar sekarang untuk menjadi seorang
ibu. Tidak mengherankan bila ibu mengalami sedikit perubahan perilaku dan
sesekali merasa kerepotan. Masa ini adalah masa retan dan terbuka untuk
bimbingan dan pembelajaran (Marmi, 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa menjadi
orang tua pada masa postpartum yaitu:
a. Respon dan dukungan dari keluarga dan teman.
b. Hubungan antara pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi.
c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain.
d. Pengaruh budaya (Marmi, 2017).
Perubahan psikologi pada awal postpartum disebut periode taking in.
Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Ibu pada umumnya pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada
kekhawatiran akan tubuhnya.
b. Ibu akan mengulang-mengulang menceritakan pengalamannya waktu
melahirkan.
c. Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mengurangi gangguan kesehatan
akibat kurang istirahat.
e. Peningkataan nutrisi dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan dan
penyembuhan luka, serta persiapan proses laktasi aktif (Marmi, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyah Amin Daman dan Sri
Yunita Suraida Salat pada tahun 2015 di Puskesmas Legung Timur Kabupaten
Sumenep dapat diketahui bahwa semakin matang usia ibu maka semakin rendah
kejadian stres pada ibu nifas tersebut. Pendidikan merupakan factor risiko
terjadinya stres pada ibu nifas. Pendidikan memiliki peran penting dalam hal
terjadinya stres pada ibu nifas. Pendidikan yang tiinggi akan meminimalkan
kejadian stres pada ibu nifas. Paritas merupakan salah satu factor risiko terjadinya
stres pada ibu nifas dimana semakin tinggi paritas ibu maka semakin rendah
kejadian stres pada ibu nifas. Tingkat ekonomi merupakan factor risiko kejadian
stres pada ibu nifas dimana semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga ibu nifas,
maka kejadian stres ibu nifas semakin rendah (Daman & Salat, 2015).
7. Kebutuhan Dasar Ibu Nifas
Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan pada masa nifas, maka ibu
nifas membutuhkan diet yang cukup kalori dan protein, membutuhkan istirahat yang
cukup, dan sebagainya. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu:
a. Nutrisi dan cairan
Mengonsumsi tambahan 500 kalori per hari. Makan dengan gizi seimbang
untuk mendapatkan protein, vitamin, dan mineral yang cukup. Sebaiknya minum 3
liter per hari dan minum setelah ibu menyusui.
b. Mobilisasi Dini
Suatu kebutuhan untuk pemulihan ibu pasca persalinan dengan membantu
serta membimbing ibu pasca persalinan agar dapat bergerak sesuai kemampuan
dari tempat tidurnya apabila pada saat persalinan tidak ada masalah atau penyulit
pada ibu.
c. Eliminasi
Ibu akan mengalami dieresis pada satu atau dua hari pertama pasca
persalinan dan terkadang ibu juga sulit utuk mengosongkan kandung kemihnya
karena merasa sakit pada perineum atau gangguan pada tonus otot. Selain itu, ibu
pasca persalinan juga sering mengalami konstipasi.
d. Personal hygiene
Hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu tentang kebersihan puting susu,
mamae serta perineum. Setelah persalinan, dapat menggunakan waslap atau
meyeka ibu sampai ibu bisa pergi ke kamar mandi sendiri tanpa bantuan.
e. Seksual
Hubungan seksual diperbolehkan apabila ibu sudah tidak mengalami
perdarahan dan laserasi atau luka perineum sudah sembuh. Untuk mengetahui
apakah sudah aman untuk melakukan hubungan seksual, maka ibu dapat
melakukan pemeriksaan sendiri dengan memasukkan satu atau dua jarinya ke jalan
lahir. Apabila sudah tidak terasa sakit, maka hubungan seksual boleh dilakukan.
f. Istirahat
Ibu nifas memerlukan waktu istirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan
yang berlebihan. Kurang istirahat dapat mengakibatkan kurangnya produksi ASI,
involusi uteus terhambat, memperbanyak perdarahan, depresi, dan
ketidakmampuan merawat bayinya.
g. Keluarga berencana
Setidaknya pasangan suami istri harus menunggu minimal 2 tahun sebelum
hamil kembali. Pada umumnya wanita tidak akan mengalami ovulasi sebelum
siklus menstruasinya kembali, sehingga metode amenorea laktasi dapat digunakan
sebagai metode kontrasepsi.
h. Senam nifas
Senam kegel adalah senam yang paling baik dilakukan selama nifas. Apabila
kondisi ibu sudah baik dan ibu bisa bergerak, maka senam kegel dapat dilakukan
pada hari pertama post partum. Senam ini mempunyai beberapa manfaat yaitu
untuk membuat jahitan menjadi lebih rapat, membantu mempercepat
penyembuhan, meredakan haemorroid, meningkatkan pengendalian terhadap urin
pada saat buang air kecil (Rukiyah, Yulianti and Liana, 2011).
8. Penatalaksanaan
Kunjungan pada masa nifas dilakukan tiga kali selama masa nifas. Kunjungan
pertama 6 jam – 3 hari postpartum, kunjungan kedua 4-28 hari postpartum, dan
kunjungan ketiga 29-42 hari postpartum (Kemenkes RI, 2015). Pada kunjungan 6 jam
– 3 hari post partum hal yang perlu diperhatikan adalah:
a. Memastikan involusi uterus
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan
c. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan, dan istirahat
d. Memastikan ibu meyusui dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi
e. Bagaimana perawatan bayi sehari-hari
Tindakan yang baik untuk asuhan masa nifas normal pada ibu menurut Sukma,
dkk (2017) yaitu:
a. Kebersihan Diri
1) Anjurkan kebersihan seluruh tubuh
2) Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan
air. Pastikan bahwa ia mengerti untuk membersihkan daerah di sekitar vulva
terlebih dahulu dari depan ke belakang baru kemudian membersihkan daerah
sekitar anus. Nasehatkan ibu untuk membersihkan diri setiap kali selesai buang
air kecil atau besar.
3) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut setidaknya dua
kali sehari. Kain dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik, dan
dikeringkan di bawah matahari atau disetrikan.
4) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan daerah kelaminnya.
5) Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu untuk
menghindari menyentuh daerah luka.
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia, dan Mai pada tahun (2018)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan
penyembuhan luka perineum dimana ibu dengan personal hygiene baik maka luka
perineum akan semakin cepat sembuh. Perawatan perineum yang tidak benar dapat
mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lokhea menjadi lembab sehingga
sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya
infeksi pada perineum. Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka
tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga
akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman
luka. Pada kenyataan fase-fase penyembuhan akan tergantung pada beberapa
faktor termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologis umum pasien, dan cara
perawatan luka episiotomi yang tepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indah (2019) pada tahun 2019
dapat diketahui bahwa ada pengaruh kemampuan vulva hygiene terhadap waktu
penyembuhan luka perineum pada ibu post partum. Ibu post partum yang
mengalami keterlambatan dalam penyembuhan lukanya rata-rata masih merasakan
kesakitan dan nyeri pada luka perineumnya serta lukanya masih kelihatan
bengkak. Hal ini sangat erat hubungannya dengan bagaimana cara ibu dalam
melakukan perawatan luka perineum seperti menjaga luka perineum tetap kering
dan bersih, dan ketika selesai buang air besar dan buang air kecil.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Novila (2017) menjelaskan bahwa
terdapat hubungan perawatan perineum dengan kesembuhan luka perineum pada
ibu nifas. Luka bersih sembuh lebih cepat daripada luka yang kotor. Sehingga
perawatan perineum yang tidak tepat dapat menyebabkan kesembuhan luka
perineum yang tidak baik. Personal hygiene (kebersihan diri) yang kurang dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing
seperti debu dan kuman.
b. Istirahat
1) Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan
2) Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan-kagiatan rumah tangga biasa secara
perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi tidur.
3) Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam berbagai hal:
a) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi
b) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan
c) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri.
c. Latihan
1) Diskusikan pentingnya mengembalikan otot-otot perut dan panggul kembali
normal. Ibu akan merasakan lebih kuat dan ini menyebabkan otot perutnya
2) Menjadi kuat sehingga mengurangi rasa sakit pada punggung.
3) Jelaskan bahwa latuhan-latihan tertentu beberapa menit setiap hari dapat
membantu mempercepat mengembalikan otot-otot perut dsan panggul kembali
normal, seperti:
a) Tidur telentang dengan lengan di samping, menarik otot perut selagi
menarik nafas, tahan nafas ke dalam dan angkat dagu ke dada, tahan satu
hitungan sampai lima. Rileks dan ulangi 10 kali.
b) Untuk memperkuat otot vagina, berdiri dengan tungkai dirapatkan.
Kencangkan otot-otot pantat dan dan panggul tahan sampai 5 kali hitungan.
Kendurkan dan ulangi latihan sebsnyak 5 kali.
c) Mulai dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan. Setiap
minggu naikkan jumlah latihan 5 kali lebih banyak. Pada minggu ke-6
setelah persalinan ibu harus mengerjakan latihan sebanyak 30 kali.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Rahmawati (2018) di Puskesmas
Toroh I menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara mobilisasi
dini dengan involusi uteri. Hal ini dikarenakan mobilisasi dini dapat memperlancar
pengeluaran lochea sehingga dapat mempercepat proses involusi uterus yang
disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri. Tetapi, jika mobilisasi terlambat
dilakukan akan berpengaruh terhadap proses involusi uterus, sehingga akan
menimbulkan suatu keadaan yang disebut subinvolusi uteri yang akan
menyebabkan terjadinya perdarahan yang dapat berakibat pada terjadinya
komplikasi pada masa nifas.
d. Gizi
1) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori setiap hari
2) Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan
vitamin yang cukup
3) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (anjurkan ibu untuk minum setiap kali
menyusui)
4) Tablet zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40
hari pasca bersalin
5) Minum kapsul vit. A 200.000 unit sebanyak 2 buah (1x setelah melahirkan dan
1x pada 24 jam berikutnya) agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya
melalui ASInya.
Penelitian yang dilakukan oleh Widowati dkk pada tahun 2016 di Kota
Pekalongan menjelaskan bahwa orang tua (ibu) berperan dalam memberikan
perintah atau anjuran untuk melakukan Pantang makanan, sedangkan suami
mengikuti keputusan istri dengan menyerahkan sepenuhnya kepada istri dan ada
pula yang memberikan dukungan untuk melakukan Pantang makanan. Kedudukan
ibu dalam rumah tangga berhubungan dengan kebudayaan dalam masyarakat.
Dalam kebudayaan Jawa, posisi wanita dalam keluarga sangat kuat, terutama
dalam pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan proses reproduksi.
e. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering
2) Mengenakan BH yang menyokong payudara
3) Apabila puting susu lecet oleskan colostrums atau ASI yang keluar pada
sekitar puting susu setiap kali seleswai menyusui. Menyusu tetap dilakukan
dari puting susu yang tidak lecet.
4) Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama 24 jam. ASI
dikeluarkan dan diminumkan dengan sendok.
5) Apabila payudara bengkak akibat bendungan ASI, lakukan:
a) Pengompresan payudara dengan menggunakan kain basah dan hanagat
selama 5 menit.
b) Urut payudara dari arah pangkal menuju putting atau gunakan sisir untuk
mengurut payudara dengan arah “Z” menuju putting.
c) Keluarkan ASI sebagian dari nagian depan payudara sehingga putting susu
menjadi lunak.
d) Susukan bayi setiap 2-3 jam sekali. Apabila tidak dapat menghisap seluruh
ASI keluakan dengan tangan.
e) Letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui.
f) Payudara dikeringkan.
Menurut penelitian yang berjudul Efektifitas Breast Care Post Partum
Terhadap Produksi ASI dapat diketahui bahwa breast care efektif untuk
meningkatkan produksi ASI. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis data
dengan independent t test yang menunjukkan bahwa rata – rata produksi ASI
pada kelompok breastcare postpartum lebih lancar dibandingkan dengan
kelompok tanpa breast care postpartum yaitu 6.73 > 3.86 serta nilai thit > ttab
(16.40 > 1.691) atau nilai ρ : 0,000 < 0,05 yang artinya Breastcare Postpartum
efektif meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui (Wijayanti &
Setiyaningsih, 2016).
9. Anemia
a. Pengertian
Kata anemia berasal dari bahasa Yunani yaitu anaimia. An artinya tidak ada,
haima artinya darah jadi anaimia adalah kekurangan darah. Anemia adalah
keadaanya rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar Hemoglobin (Hb) atau
Hematokrit (Ht) dibawah normal (Bararah, 2013). Anemia adalah berkurangnya
sel-sel darah merah di dalam tubuh (Mitayani. and Sartika, 2010).
Anemia adalah rendahnya konsentrasi Hemoglobin (Hb) atau hematokrit nilai
ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah
(eritrosit) dan Hemoglobin, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau
kehilangan darah yang berlebihan (Departemen Gizi dan kesehatan Masyarakat,
2011).
Anemia adalah penyebab kematian Ibu kedua terbesar di ASIA karena anemia
memiliki pengaruh besar pada kesehatan manusia. Kadar hemoglobin ibu post
partum merupakan refleksi hemoglobin selama kehamilan sehingga anemia ibu
nifas adalah suatu keadaan dimana ibu sehabis melahirkan sampai dengan kira-kira
5 minggu dalam kondisi pucat, lemah dan kurang bertenaga dan hasil pemeriksaan
Hemoglobin > 11 gr%. (Mitayani. and Sartika, 2010).
b. Etiologi
Faktor yang mempengaruhi anemia pada masa nifas adalah persalinan dengan
perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang kurang, penyakit virus dan
bakteri. Anemia dalam masa nifas merupakan lanjutan daripada anemia yang
diderita saat kehamilan, yang menyebabkan banyak keluhan bagi ibu dan
mengurangi presentasi kerja, baik dalam pekerjaan rumah sehari-hari maupun
dalam merawat bayi (Prawirohardjo, 2010).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia
postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta kehilangan
darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia postpartum berhubungan dengan
lamanya perawatan di rumah sakit, depresi, kecemasan, dan pertumbuhan janin
terhambat (Mitayani. and Sartika, 2010)
Kehilangan darah adalah penyebab lain dari anemia. Kehilangan darah yang
signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia
postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan besi selama persalinan dapat
menurunkan risiko terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan (Mitayani.
and Sartika, 2010)
Defisiensi besi dapat menurunkan fungsi limfosit, netrofil, dan fungsi
makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi. Memperbaiki status besi tubuh
dengan adekuat akan memperbaiki system imun. Meskipun demikian,
keseimbangan besi tubuh penting. Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon
imun yang efektif, jika suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan, invasi
mikroba dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tubuh dan
menyebabkan eksaserbasi infeksi (Mitayani. and Sartika, 2010)
Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu kelompok risiko tinggi terpapar
anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup
terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe dan dari kelompok WUS tersebut paling
tinggi berisiko menderita anemia adalah wanita hamil, wanita nifas, dan wanita
yang banyak kehilangan darah saat menstruasi (Mitayani. and Sartika, 2010)
Anemia gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah zat besi
dalam makanan tidak cukup, penyerapan zat besi rendah, kebutuhan meningkat,
kekurangan darah, pola makan tidak baik, status sosial ekonomi, penyakit infeksi,
pengetahuan yang rendah tentang zat besi, dan terdapat zat penghambat penyerapan
zat besi dalam makanan (Mitayani. and Sartika, 2010)
c. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia secara umum menurut Proverawati (2011) adalah :
6) Aktivitas
Mobilisasi hendaknya dilakukan secara bertahap. Mobilisasi yang
dilakukan terlalu cepat dapat menyebabkan ibu terjatuh, sebaliknya mobilisasi
yang terlambat juga bisa menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh, aliran
darah tersumbat, dan terganggunya fungsi otot. Ambulasi akan memulihkan
kekuatan otot dan panggul, memperlancar aliran lochea dan urin, ambulasi
dilakukan maksimal.
f. Adat istiadat
Adat pada masa nifas, misalnya ibu nifas harus pantang makan yang berasal
dari daging, ikan, telur dan goreng-gorengan karena dipercaya akan menghambat
penyembuhan luka persalinan dan makanan ini akan membuat ASI menjadi amis.
Adat ini akan membuat pemulihan kesehatan ibu terhambat dan produksi ASI
berkurang (karena volume ASI dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas nutrisi).
g. Data Psikososial Spiritual
Perubahan peran dari wanita menjadi seorang ibu memerlukan adaptasi
sehingga ibu dapat melakukan perannya dengan baik, serta perubahan hormonal
yang sangat cepat setelah proses melahirkan juga dapat mempengaruhi keadaan
emosi dan proses adaptasi ibu pada masa nifas. Perhatian ibu pada fase ini yaitu
fase taking in, perhatian ibu terhadap kebutuhan dirinya berlangsung 1-2 hari.
Dalam fase ini yang diperlukan ibu adalah informasi tentang bayinya, bukan cara
merawat bayi.
h. Data Pengetahuan
Dikaji untuk mengetahui tentang keadaanya dan perjalanan perawatannya. Hal
ini dimaksudkan agar pasien dapat kooperatif dalam menjalankan program
perawatan.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum: keadaan umum pasien yang dilihat secara langsung, missal
keadaan umum pasien adalah baik
2) Kesadaran: kesadaran pasien normalnya komposmentis (kesadaran maksimal).
3) Tekanan Darah: tekanan darah normal adalah sistolik antara 90-120 mmHg dan
diastolik 60-80 mmHg. Handayani dan Pujiastuti (2016) menyatakan bahwa
tekanan darah tinggi pada masa nifas merupakan tanda pre eklampsia
postpartum (Marmi, 2017).
4) Nadi: pasca melahirkan denyut nadi dapat menjadi lebih cepat namun tidak
melebihi 100x/menit. Nadi melebihi 100x/menit harus diwaspadai adanya
infeksi atau perdarahan postpartum (Marmi, 2017).
5) Suhu: pasca melahirkan, suhu tubuh dapat naik kurang lebih 0,5˚C dari keadaan
normal akibat kerja keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan maupun
kelelahan. Apabila suhu lebih dari 38°C, waspada terhadap infeksi postpartum
(Marmi, 2017).
6) Pernapasan: frekuensi pernafasan normal pada orang dewasa adalah 16-24 kali
per menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau normal, hal
ini dikarenakan ibu dalam proses pemulihan atau dalam kondisi istirahat
(Marmi, 2017). Bila pernapasan pada masa postpartum menjadi lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok dan embolus paru.
7) Berat badan: pada masa nifas akan terjadi pengurangan berat badan ibu dan
janin, plasenta, cairan ketuban, kehilangan darah, selama persalinan sekitar 4,5-
5,8 kg. Setelah proses diuresis, ibu akan kehilangan berat badan 2,3-2,6 kg dan
0,9-1,4 kg karena proses involusi uteri.
b. Status Present
1) Muka: perlu dikaji apakah pucat atau tidak, simetris atau tidak
2) Mata: perlu dikaji warna konjungtiva, keadaan sklera dan pupil
3) Hidung: perlu dikaji adanya sekret dan polip
4) Mulut: perlu dikaji kebersihan mulut, adanya karies gigi dan stomatitis
5) Telinga: perlu dikaji kebersihan telinga
6) Ketiak: perlu dikaji adanya benjolan
7) Dada: perlu dikaji adanya retraksi dinding dada, suara dan frekuensi nafas
8) Abdomen: perlu dikaji adanya pembesaran kelenjar limfe
9) Lipat paha: perlu dikaji adanya benjolan atau pertumbuhan organyang abnormal
10) Vulva: perlu dikaji adanya infeksi atau peradangan serta benjolan yang
abnormal
11) Ekstremitas: perlu dikaji simetris atau tidaknya, tonus otot, dan reflek patella
12) Punggung: perlu dikaji keadaan tulang punggung
13) Anus: perlu dikaji adanya hemoroid (Marmi, 2017).
c. Status Obstetri
1) Mamae
Normalnya bentuk simetris, puting susu menonjol, dan ada/tidak ada
pengeluaran colostrum (Marmi, 2017). Pengkajian payudara pada awal
pascapartum meliputi penampilan dan integritas puting susu, memar atau iritasi,
adanya kolostrum, adanya sumbatan ductus.
2) Abdomen
Perlu dikaji uterus untuk mengetahui TFU, bagaimana kontraksi uterus,
konsistensi uterus, posisi uterus (Marmi, 2017).
3) Genetalia
Pengeluaran pervaginam pada hari 1-3 pasca persalinan keluar lochea rubra
yang berkarakteristik berwarna merah kehitaman terdiri dari sel desidua,
verniks caseosa, rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah. Selain
pengeluaran lochea, perlu dikaji luka perineum ibu dan jumlah darah yang
keluar (Marmi, 2017)
3. Analisa
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosis atau
masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas dasar data-data
yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga ditemukan masalah atau diagnosis yang spesifik (Marmi, 2017).
4. Penatalaksanaan
Melaksanakan perencanaan. Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh
dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh
bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien (Marmi, 2017).
5. Evaluasi
Pada evaluasi, dilakukan penilaian terhadap tindakan atau asuhan yang telah
diberikan pada kunjungan sebelumnya, apakah sesuai dengan yang diharapkan atau
tidak. Selain itu juga digunakan untuk menentukan rencana asuhan selanjutnya (Marmi,
2017).
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R., & Larasati, E. M. (2018). Mobilisasi Dini Dan Personal Hygiene Dengan
Lamanya Penyembuhan Luka Perineum Padaibu Nifas. Jurnal Kebidanan Universitas
Kader Bangsa Palembang, 6(88), 480–485.
Andaruni, Rista, Qamariah, Nurul Dan Nurbaety, BQ. 2018. Efektivitas Pemberian Tablet Zat
Besi (Fe), Vitamin C Dan Jus Buah Jambu Biji Terhadap Peningkatan Kadar
Hemoglobin (Hb) Remaja Putri Di Universitas Muhammadiyah Mataram . Midwifery
Journal | Kebidanan ISSN 2503-4340 |E-ISSN 2614-3364 Vol. 3 No. 2 Juli 2018, Hal.
104-107
Daman, F. A., & Salat, S. Y. S. (2015). Faktor Risiko Tingkat Stres Pada Ibu Nifas Di
Wilayah Kerja Upt Puskesmas Legung Timur Kecamatan Batang–Batang Kabupaten
Sumenep Tahun 2014. Wiraraja Medika, 5(1).
Indah, P. (2019). Pengaruh Kemampuan Vulva Hygiene Terhadap Waktu Penyembuhan Luka
Perineum Pada Ibu Post Partum Primipara. Jurnal Kebidanan, Vi(1), 16–27.
Irmawati, S. Rosdiana. 2020. Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar
Hb pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Volume 9, Nomor 2,
Desember 2020, pp1051-1056 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563 DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.463.
Jannah, M. Puspaningtyas, M. 2018. Peningkatan Kadar Hb Ibu Hamil Dengan Jus Kurma
Dan Sari Kacang Hijau Di Kota Pekalongan. Placentum Jurnal Ilmiah Kesehatan dan
Aplikasinya, Vol.6(2) 2018.
Mangkuji, B., Ginting, I., Suswaty, Lubis, S., & Wildan. (2012). Asuhan Kebidanan : 7
Langkah SOAP. Jakarta: EGC.
Marmi. (2017). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas (S. Riyadi, ed.). Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Manuaba I. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: EGC.
Mitayani & Wiwi, Sartika. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Novila. H. U. (2017). Hubungan Perawatan Perineum dengan Kesembuhan Luka Perineum
Pada Ibu Nifas di Klinik Bersalin Widuri Sleman. Jurnal Kebidanan.
Proverawati. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rukiyah, A. Y., Yulianti, L., & Liana, M. (2011). Asuhan Kebidanan III (Nifas). Jakarta: CV.
Trans Info Media.
Sari, D. G., & Rahmawati, F. (2018). Hubungan Antara Mobilisasi Dini Dengan Involusi
Uterus Di Puskesmas Toroh I. Jurnal Kesehatan Ibu Dan Anak, 3, No 1, 33–41.
Sukma, F., Hidayati, E., & Nurhasiyah Jamil, S. (2017). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada
Masa Nifas.
Sulistyowati, Ayu, Diyah. 2017. Pengaruh Pemberian Buah Kurma Pada Ibu Hamil Tm Iii
Dengan Anemia Terhadap Kadar Hemoglobin Di Bpm Tri Rahayu Setyaningsih
Cangkringan Sleman Yogyakarta.
Sunarti, dan Ratnasari, Eka, Ellysa. 2020. Kadar Hemoglobin (Hb) Ibu Hamil Pre Dan Post
Pemberian Tablet Zat Besi (Fe) Di Uptd Puskesmas Kecamatan Sananwetan Kota
Blitar. Jurnal Keperawatan Malang Volume 5, No 1, 2020, 17-30.
Varney, H., & Jan M.K, C. (2010). Buku Ajar Asuhan Kebidanan (4th ed.). 2010: EGC.
Waryono. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Widowati, I., Harnany, A. S., & Amirudin, Z. (2016). Peran Keluarga Dalam Pengambilan
Keputusan Ibu Nifas Untuk Melakukan Praktik Pantang Makanan Di Kota Pekalongan.
Jurnal Litbang Kota Pekalongan, 10, 30–41.
Wijayanti, T., & Setiyaningsih, A. (2016). Jurnal Kebidanan Efektifitas Breast Care Post
Partum Terhadap Produksi Postpartum Breastcare Effectiveness Of Production Asi.
Viii(2), 201–208.