Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI NIFAS

OLEH:

MELIA AGUSTINA PRAHARTI


P1337424821454

PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
SEMARANG
2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan kebidanan Holistik Nifas Patologis di Puskesmas Pare Temanggung, telah


disahkan oleh pembimbing pada :

Hari :
Tanggal :

Magelang,

Pembimbing Institusi Mahasiswa

Herlina Tri Damilia, S.KM,M.Kes Melia Agustina Praharti


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis


1. Pengertian
Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6
minggu setelah melahirkan. Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang
berlangsung kira-kira 6 minggu (Marmi, 2017).
2. Tujuan Asuhan Kebidanan Masa Nifas
Pada masa nifas ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikis berupa organ
reproduksi, terjadinya proses laktasi, terbentuknya hubungan antara orang tua dan bayi
dengan memberi dukungan. Atas dasar tersebut perlu dilakukan suatu pendekatan
antara ibu dan keluarga dalam manajemen kebidanan. Adapun tujuan dari pemberian
asuhan pada masa nifas untuk:
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik secara fisik maupun psikologis.
b. Melaksanakan skrining secara komprehensif, deteksi dini, mengobati atau merujuk
bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, KB,
cara dan manfaat menyusui, pemberian imunisasi serta perawatan bayi sehari-hari.
d. Memberikan pelayanan keluarga berencana.
e. Mendapatkan kesehatan emosi (Marmi, 2017).
3. Peran dan Tanggungjawab Bidan
Menurut Rukiyah dkk (Rukiyah, Yulianti, & Liana, 2011) setelah proses
persalinan selesai bukan berarti tugas dan tanggung jawab seorang bidan terhenti,
karena asuhan kepada ibu harus dilakukan secara komprehensif dan terus menerus,
artinya selama masa kurun reproduksi seorang wanita harus mendapatkan asuhan yang
berkualitas dan standar, salah satu asuhan berkesinambungan adalah asuhan ibu
selama masa nifas, bidan mempunyai peran dan tanggung jawab antara lain:
a. Bidan harus tinggal bersama ibu dan bayi dalam beberapa saat untuk memastikan
keduanya dalam kondisi yang stabil.
b. Periksa fundus tiap 15 menit pada jam pertama, 20-30 menit pada jam kedua, jika
kontraksi tidak kuat. Massase Uterus sampai keras karena otot akan menjepit
pembuluh darah sehingga menghentikan perdarahan.
c. Periksa tekanan darah, kandung kemih, nadi, perdarahan tiap 15 menit pada jam
pertama dan tiap 30 menit pada jam kedua.
d. Anjurkan ibu minum untuk mencegah dehidrasi, bersihkan perineum, dan kenakan
pakaian bersih, biarkan ibu istirahat, beri posisi yang nyaman, dukung program
bounding attachman dan ASI eksklusif, ajarkan ibu dan keluarga untuk memeriksa
fundus dan perdarahan, beri konseling tentang gizi, perawatan payudara,
kebersihan diri.
e. Memberikan dukungan secara berkesinambungan selama masa nifas sesuai dengan
kebutuhan ibu untuk mengurangi ketegangan fisik dan psikologis selama masa
nifas.
f. Sebagai promotor hubungan antara ibu dan bayi serta keluarga.
g. Mendorong ibu untuk menyusui bayinya dengan meningkatkan rasa nyaman.
h. Membuat kebijakan, perencana program kesehatan yang berkaitan ibu dan anak
dan mampu melakukan kegiatan administrasi.
i. Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.
j. Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara mencegah
perdarahan, mengenali tanda-tanda bhaya, menjaga gizi yang baik, serta
mempraktekkan kebersihan yang aman.
k. Melakukan manajemen asuhan dengan cara mengumpulkan data, menetapkan
diagnose dan rencana tindakan serta melaksanakannya untuk mempercepat proses
pemulihan, mencegah komplikasi dengan memenuhi kebutuhan ibu dan bayi
selama periode nifas.
l. Memberikan asuhan secara professional.
4. Tahapan Masa Nifas
Nifas dibagi dalam tiga periode yaitu:
a. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan
b. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital
c. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna,
terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu
untuk sehat sempurna mungkin beberapa minggu, bulan, atau tahun (Marmi,
2017).
5. Perubahan Fisiologis
Setelah kelahiran bayi dan pengeluaran plasenta, ibu mengalami suatu periode
pemulihan kembali kondisi fisik dan psikologisnya. Pada periode 6 minggu setelah
melahirkan diharapkan semua sistem dalam tubuh ibu akan pulih dari berbagai
pengaruh kehamilan dan kembali pada keadaan sebelum hamil. Berikut beberapa
perubahan fisiologis pada masa nifas:
a. Perubahan sistem reproduksi
Dalam masa nifas, alat-alat genetalia interna maupun eksterna akan berangsur-
angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan alat-alat genital
ini dalam keseluruhannya disebut involusi.
1) Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana
uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat 60 gram. Involusi
uterus melibatkan reorganisasi dan penanggalan decidua atau endometrium
dan pengelupasan lapisan pada tempat implantasi plasenta sebagai tanda
penurunan ukuran dan berat serta perubahan tempat uterus, warna, dan jumlah
lochia (Marmi, 2017). Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
a) Iskemia miomerium
Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus
setelah pengeluaran plasenta membuat uterus relatif anemi dan
menyebabkan serat otot atrofi.
b) Atrofi jaringan
Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon estrogen saat
pelepasan plasenta.
c) Autolysis
Autolysis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di
dalam otot uterine. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot
yang telah sempat mengendur hingga 10 kali panjangnya dari semula dan 5
kali lebar dari semula selama kehamilan atau dapat juga dikatakan sebagai
pengrusakan secara langsung jaringan hipertropi yang berlebihan, hal ini
disebabkan karena penurunan hormone estrogen dan progesteron.
d) Efek oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterin
sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan
berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk
mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi
perdarahan (Marmi, 2017).
Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum hamil.
Perubahan ukuran uterus adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perubahan Ukuran Uterus

Diameter
Involusi Uteri TFU Berat Uterus
Uterus
Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm
7 hari (1 minggu) Pertengahan 500 gram 7,5 cm
pusat dan
simpisis
14 hari (2 minggu) Tidak teraba 350 gram 5 cm
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm
Sumber: Marmi, 2017.
Penurunan ukuran uterus yang cepat itu dicerminkan oleh perubahan
lokasi uterus ketika turun keluar dari abdomen dan kembali menjadi organ
pelviks. Segera setelah proses persalinan puncak fundus kira-kira dua pertiga
hingga tiga perempat dari jalan atas diantara simpisis pubis dan umbilicus
(Marmi, 2017).

Gambar 2.1 Involusi Uterus

Sumber: google.com
2) Perubahan pada serviks
Serviks mengalami involusi bersama dengan uterus. Perubahan-
perubahan yang terdapat pada serviks postpartum adalah bentuk serviks yang
akan menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang
dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga
seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks terbentuk semacam
cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah.
Beberapa hari setelah persalinan, ostium externum dapat dilalui oleh 2 jari,
pinggirnya tidak rata melainkan retak-retak karena robekan dalam persalinan.
Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui oleh 1 jari saja, dan lingkaran
retraksi berhubungan dengan bagian atas dari canalis cervikallis (Marmi,
2017).
3) Lochia
Dengan adanya involusi uterus, maka lapisan luar dari decidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Decidua yang mati akan
keluar bersama dengan sisa cairan. Campuran atara darah dan decidua tersebut
dinamakan lochia. Lochia disekresikan dengan jumlah banyak pada awal jam
postpartum yang akan semakin berkurang pada hari-hari berikutnya. (Marmi,
2017). Perbedaan masing-masing lochia dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perbedaan Lochia

Lochia Waktu Warna Ciri-ciri


Rubra 1-3 hari Merah Terdiri dari sel disidua,
kehitaman verniks caseosa, rambut
lanugo, sisa mekonium
dan sisa darah
Sanguinolenta 3-7 hari Putih Sisa darah bercampur
bercampur lendir
merah
Serosa 7-14 hari Kekuningan Lebih sedikit darah dan
atau lebih banyak serum, juga
kecoklatan terdiri dari leukosit dan
robekan laserasi plasenta
Alba >14 hari Putih Mengandung leukosit,
selaput lendir serviks dan
serabut jaringan yang mati
Sumber: Marmi, 2017.

Gambar 2.2 Lochia

Sumber: google.com
4) Perubahan pada vagina dan perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama
sesudah proses tersebut kedua organ ini tetap berada pada keadaan kendur.
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Perubahan pada
perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan.
Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomy
dengan indikasi tertentu. Pada postnatal hari kelima, perineum sudah
mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur
dari pada keadaan sebelum melahirkan (Marmi, 2017).
b. Perubahan sistem pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan
cairan tubuh, meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot
polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun
demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal (Marmi,
2017). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan
antara lain:
1) Nafsu makan
Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan
untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4
hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun
setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu
atau dua hari (Marmi, 2017).
2) Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap
selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan
anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan
normal (Marmi, 2017).
3) Pengosongan usus
Buang air besar secara spontan bias tertunda selama dua sampai tiga hari
setelah ibu melahirkan. Keadaan ini dissebabkan karena tonus otot usus
menurun selama proses persalinan dan pada awal masa pascapartum, diare
sebelum persalinan, anemia sebelum melahirkan, kurang makan atau dehidrasi.
Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu yang berangsur-
angsur untuk kembali normal. Pola makan ibu nifas tidak akan seperti biasa
dalam beberapa hari dan perineum ibu akan terasa sakit untuk defekasi.
Faktor-faktor tersebut mendukung konstipasi pada ibu nifas dalam minggu
pertama (Marmi, 2017).
c. Perubahan sistem perkemihan
Ibu postpartum dianjurkan segera buang air kecil agar tidak mengganggu
proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Naming demikian, pasca melahirkan
ibu merasa sulit buang air kecil. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil
pada ibu postpartum diantaranya:
1) Adanya odema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi
urin.
2) Diaphoresis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi
dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
3) Depresi dari spingter uretra oleh karena penekanan penekanan kepala janin dan
spasme oleh iritasi muskus spingter ani selama persalinan sehingga
menyebabkan miksi (Marmi, 2017).
d. Perubahan sistem endokrin
Kelahiran bayi dan plasenta mengharuskan adanya penyesuaian segera
ataupun jangka panjang terhadap kehilangan hormon-hormon kehamilan.
Terhentinya tiba-tiba hormon-hormon dari unit plasenta-janin pada persalinan
memungkinkan kita menentukan waktu paruh dari hormon-hormon tersebut dan
juga evaluasi dari sebagian fungsinya selama kehamilan. Perubahan-perubahan
sistem endokrin pada ibu nifas meliputi:
1) Steroid
Dengan ekspulsi plasenta, kadar steroid akan turun mendadak dan waktu
paruh dapat terukur beberapa menit atau jam. Akibat produksi kontinu
progesteron dalam kadar rendah oleh korpus luteum, maka kadarnya dalam
darah tidak segera mencapai kadar basal pranatal, seperti halnya estradiol.
Progesteron plasma menurun mencapai kadar fase luteal dalam 24 jam setelah
persalinan, namun baru mencapai kadar folikular setelah beberapa hari.
Pengangkatan korpus luteum berakibat penurunan mencapai kadar fase
folikular dalam 24 jam. Estradio mencapai kadar fase folikular dalam 1-3 hari
setelah persalinan.
2) Hormon-hormon hipofisis
Kelenjar hipofisis yang mengalami pembesaran selama kehamilan
terutama akibat peningkatan laktotrof, tidak akan mengecil sampai selesai
menyusui. Sekresi FSH dan LH terus ditekan pada minggu-minggu pertama
nifas, dan stimulus dengan bolus GnRH menyebabkan pelepasan FSH dan LH
subnormal. Dalam minggu-minggu berikutnya, kepekaan terhadap GnRH
kembali pulih dan banyak wanita memperlihatkan kadar LH, dan FSH serum
fase folikular pada minggu ketiga atau keempat postpartum.
3) Prolaktin
Prolaktin (PRL) serum yang meningkat selama kehamilan akan menurun
pada saat persalinan dimulai dan kemudian memperlihatkan pola sekresi yang
bervariasi tergantung apakah ibu menyusui atau tidak. Persalinan dikaitkan
dengan suatu lonjakan PRL yang diikuti suatu penurunan cepat kadar serum
dalam 7-14 hari pada ibu-ibu yang tidak menyusui (Sukma dkk, 2017).
e. Perubahan sistem musculoskeletal
Otot–otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-pembuluh
darah yang berada diantara anyaman-anyaman otot-otot uterus akan terjepit.
Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta diberikan. Pada wanita
berdiri dihari pertama setelah melahirkan, abdomennya akan menonjol dan
membuat wanita tersebut tampak seperti masih hamil. Dalam 2 minggu setelah
melahirkan, dinding abdomen wanita itu akan rileks. Diperlukan sekitar 6 minggu
untuk dinding abdomen kembali kekeadaan sebelum hamil. Kulit memperoleh
kambali elastisitasnya, tetapi sejumlah kecil stria menetap (Sukma dkk, 2017).
f. Perubahan sistem hematologi
Leokositoisis, yang meningkatan jumlah sel darah yang putih hingga 15.000
selama proses persalinan, tetap meningkat untuk sepasang hari pertama
postpartum. Jumlah sel darah putih dapat menjadi lebih meningkat hingga 25.000
atau 30.000 tanpa mengalami patologis jika wanita mengalami proses persalinan
diperlama. Meskipun demikian, berbagai tipe infeksi mungkin dapat
dikesampingkan dalam temuan tersebut. Jumlah normal kehilangan darah dalam
persalinan pervaginam 500 ml, seksio secaria 1000 ml, histerektomi secaria 1500
ml. Total darah yang hilang hingga akhir masa postpartum sebanyak 1500 ml,
yaitu 200-500 ml pada saat persalinan, 500-800 ml pada minggu pertama
postpartum ±500 ml pada saat puerperium selanjutnya. Total volume darah
kembali normal setelah 3 minggu postpartum. Jumlah hemoglobin normal akan
kembali pada 4-6 minggu postpartum (Sukma dkk, 2017).
g. Perubahan tanda-tanda vital
1) Suhu badan: setelah melahirkan, suhu tubuh dapat naik kurang lebih 0,5
derajat celcius dari keadaan normal, setelah dua jam pertama melahirkan suhu
badan akan kembali normal.
2) Nadi dan pernafasan: nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah
melahirkan, dan dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu
tubuh tidak panas, mungkin ada perdarahan berlebihan pada penderita,
sedangkan pernafasan akan sedikit lebih meningkat setelah melahirkan
kemudian kembali seperti keadaan seperti semula.
3) Tekanan darah: setelah melahirkan pada kasus normal, tekanan darah biasanya
tidak berubah. Bila terjadi hipertensi postpartum akan menghilang dengan
sendirinya bila tidak ada penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam
setengah bulan tanpa pengobatan (Sukma dkk, 2017).
6. Perubahan Psikologis
Ibu dalam masa postpartum membutuhkan dukungan dari petugas pemberi
asuhan kesehatan terutama untuk masalah yang sudah nyata atau yang dicurigai.
Selain itu mereka juga memerlukan dukungan emosional dan psikologis dari suami
dan keluarga yang dapat memberikan dukungan dengan cara membantu
menyelesaikan tugas-tugas di rumah agar ibu memiliki lebih banyak waktu untuk
mengasuh bayinya. Pada masa postpartum ibu dapat merasa takut akan
ketidakmampuan serta kehilangan hubungan yang erat dengan suaminya dan juga
tanggungjawab yang terus menerus untuk mengasuh bayi dan pekerjaan rumah
lainnya (Rahayu, 2017).
Menjadi orang tua adalah merupakan krisis dari melewati masa transisi. Masa
transisi pada postpartum yang harus diperhatikan adalah:
a. Phase honeymoon
Phase honeymoon adalah fase anak lahir dimana terjadi intimasi dan kontak
yang lama antara ibu, ayah, dan anak. Hal ini dapat dikatakan sebagai “psikis
honeymoon” yang tidak memerlukan hal-hal romantik. Masing-masing saling
memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
b. Bonding attachment
Terjadi pada kala IV, dimana diadakan kontak antara ayah, ibu, anak dan
tetap dalam ikatan kasih, penting bagi bidan untuk memikirkan bagaimana hal
tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan
salah satu upaya untuk proses ikatan kasih tersebut (Marmi, 2017).
Setelah melahirkan, ibu mengalami perubahan fisik dan fisiologis yang juga
mengakibatkan adanya beberapa perubahan dari psikisnya. Ibu mengalami
stimulasi kegembiraan yang luar biasa, menjalani proses ekplorasi dan similasi
terhadap bayinya, berada dibawah tekanan untuk dapat menyerap pembelajaran
yang diperlukan tentang apa yang harus diketahuinya dan perawatan untuk
bayinya, dan merasa tanggung jawab yang luar sekarang untuk menjadi seorang
ibu. Tidak mengherankan bila ibu mengalami sedikit perubahan perilaku dan
sesekali merasa kerepotan. Masa ini adalah masa retan dan terbuka untuk
bimbingan dan pembelajaran (Marmi, 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa menjadi
orang tua pada masa postpartum yaitu:
a. Respon dan dukungan dari keluarga dan teman.
b. Hubungan antara pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi.
c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain.
d. Pengaruh budaya (Marmi, 2017).
Perubahan psikologi pada awal postpartum disebut periode taking in.
Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Ibu pada umumnya pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada
kekhawatiran akan tubuhnya.
b. Ibu akan mengulang-mengulang menceritakan pengalamannya waktu
melahirkan.
c. Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mengurangi gangguan kesehatan
akibat kurang istirahat.
e. Peningkataan nutrisi dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan dan
penyembuhan luka, serta persiapan proses laktasi aktif (Marmi, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyah Amin Daman dan Sri
Yunita Suraida Salat pada tahun 2015 di Puskesmas Legung Timur Kabupaten
Sumenep dapat diketahui bahwa semakin matang usia ibu maka semakin rendah
kejadian stres pada ibu nifas tersebut. Pendidikan merupakan factor risiko
terjadinya stres pada ibu nifas. Pendidikan memiliki peran penting dalam hal
terjadinya stres pada ibu nifas. Pendidikan yang tiinggi akan meminimalkan
kejadian stres pada ibu nifas. Paritas merupakan salah satu factor risiko terjadinya
stres pada ibu nifas dimana semakin tinggi paritas ibu maka semakin rendah
kejadian stres pada ibu nifas. Tingkat ekonomi merupakan factor risiko kejadian
stres pada ibu nifas dimana semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga ibu nifas,
maka kejadian stres ibu nifas semakin rendah (Daman & Salat, 2015).
7. Kebutuhan Dasar Ibu Nifas
Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan pada masa nifas, maka ibu
nifas membutuhkan diet yang cukup kalori dan protein, membutuhkan istirahat yang
cukup, dan sebagainya. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu:
a. Nutrisi dan cairan
Mengonsumsi tambahan 500 kalori per hari. Makan dengan gizi seimbang
untuk mendapatkan protein, vitamin, dan mineral yang cukup. Sebaiknya minum 3
liter per hari dan minum setelah ibu menyusui.
b. Mobilisasi Dini
Suatu kebutuhan untuk pemulihan ibu pasca persalinan dengan membantu
serta membimbing ibu pasca persalinan agar dapat bergerak sesuai kemampuan
dari tempat tidurnya apabila pada saat persalinan tidak ada masalah atau penyulit
pada ibu.
c. Eliminasi
Ibu akan mengalami dieresis pada satu atau dua hari pertama pasca
persalinan dan terkadang ibu juga sulit utuk mengosongkan kandung kemihnya
karena merasa sakit pada perineum atau gangguan pada tonus otot. Selain itu, ibu
pasca persalinan juga sering mengalami konstipasi.
d. Personal hygiene
Hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu tentang kebersihan puting susu,
mamae serta perineum. Setelah persalinan, dapat menggunakan waslap atau
meyeka ibu sampai ibu bisa pergi ke kamar mandi sendiri tanpa bantuan.
e. Seksual
Hubungan seksual diperbolehkan apabila ibu sudah tidak mengalami
perdarahan dan laserasi atau luka perineum sudah sembuh. Untuk mengetahui
apakah sudah aman untuk melakukan hubungan seksual, maka ibu dapat
melakukan pemeriksaan sendiri dengan memasukkan satu atau dua jarinya ke jalan
lahir. Apabila sudah tidak terasa sakit, maka hubungan seksual boleh dilakukan.
f. Istirahat
Ibu nifas memerlukan waktu istirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan
yang berlebihan. Kurang istirahat dapat mengakibatkan kurangnya produksi ASI,
involusi uteus terhambat, memperbanyak perdarahan, depresi, dan
ketidakmampuan merawat bayinya.
g. Keluarga berencana
Setidaknya pasangan suami istri harus menunggu minimal 2 tahun sebelum
hamil kembali. Pada umumnya wanita tidak akan mengalami ovulasi sebelum
siklus menstruasinya kembali, sehingga metode amenorea laktasi dapat digunakan
sebagai metode kontrasepsi.
h. Senam nifas
Senam kegel adalah senam yang paling baik dilakukan selama nifas. Apabila
kondisi ibu sudah baik dan ibu bisa bergerak, maka senam kegel dapat dilakukan
pada hari pertama post partum. Senam ini mempunyai beberapa manfaat yaitu
untuk membuat jahitan menjadi lebih rapat, membantu mempercepat
penyembuhan, meredakan haemorroid, meningkatkan pengendalian terhadap urin
pada saat buang air kecil (Rukiyah, Yulianti and Liana, 2011).
8. Penatalaksanaan
Kunjungan pada masa nifas dilakukan tiga kali selama masa nifas. Kunjungan
pertama 6 jam – 3 hari postpartum, kunjungan kedua 4-28 hari postpartum, dan
kunjungan ketiga 29-42 hari postpartum (Kemenkes RI, 2015). Pada kunjungan 6 jam
– 3 hari post partum hal yang perlu diperhatikan adalah:
a. Memastikan involusi uterus
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan
c. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan, dan istirahat
d. Memastikan ibu meyusui dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi
e. Bagaimana perawatan bayi sehari-hari
Tindakan yang baik untuk asuhan masa nifas normal pada ibu menurut Sukma,
dkk (2017) yaitu:
a. Kebersihan Diri
1) Anjurkan kebersihan seluruh tubuh
2) Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan
air. Pastikan bahwa ia mengerti untuk membersihkan daerah di sekitar vulva
terlebih dahulu dari depan ke belakang baru kemudian membersihkan daerah
sekitar anus. Nasehatkan ibu untuk membersihkan diri setiap kali selesai buang
air kecil atau besar.
3) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut setidaknya dua
kali sehari. Kain dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik, dan
dikeringkan di bawah matahari atau disetrikan.
4) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan daerah kelaminnya.
5) Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu untuk
menghindari menyentuh daerah luka.  
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia, dan Mai pada tahun (2018)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan
penyembuhan luka perineum dimana ibu dengan personal hygiene baik maka luka
perineum akan semakin cepat sembuh. Perawatan perineum yang tidak benar dapat
mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lokhea menjadi lembab sehingga
sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya
infeksi pada perineum. Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka
tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga
akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman
luka. Pada kenyataan fase-fase penyembuhan akan tergantung pada beberapa
faktor termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologis umum pasien, dan cara
perawatan luka episiotomi yang tepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indah (2019) pada tahun 2019
dapat diketahui bahwa ada pengaruh kemampuan vulva hygiene terhadap waktu
penyembuhan luka perineum pada ibu post partum. Ibu post partum yang
mengalami keterlambatan dalam penyembuhan lukanya rata-rata masih merasakan
kesakitan dan nyeri pada luka perineumnya serta lukanya masih kelihatan
bengkak. Hal ini sangat erat hubungannya dengan bagaimana cara ibu dalam
melakukan perawatan luka perineum seperti menjaga luka perineum tetap kering
dan bersih, dan ketika selesai buang air besar dan buang air kecil.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Novila (2017) menjelaskan bahwa
terdapat hubungan perawatan perineum dengan kesembuhan luka perineum pada
ibu nifas. Luka bersih sembuh lebih cepat daripada luka yang kotor. Sehingga
perawatan perineum yang tidak tepat dapat menyebabkan kesembuhan luka
perineum yang tidak baik. Personal hygiene (kebersihan diri) yang kurang dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing
seperti debu dan kuman.
b. Istirahat
1) Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan
2) Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan-kagiatan rumah tangga biasa secara
perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi tidur.
3) Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam berbagai hal:
a) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi
b) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan
c) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri.
c. Latihan
1) Diskusikan pentingnya mengembalikan otot-otot perut dan panggul kembali
normal. Ibu akan merasakan lebih kuat dan ini menyebabkan otot perutnya
2) Menjadi kuat sehingga mengurangi rasa sakit pada punggung.
3) Jelaskan bahwa latuhan-latihan tertentu beberapa menit setiap hari dapat
membantu mempercepat mengembalikan otot-otot perut dsan panggul kembali
normal, seperti:
a) Tidur telentang dengan lengan di samping, menarik otot perut selagi
menarik nafas, tahan nafas ke dalam dan angkat dagu ke dada, tahan satu
hitungan sampai lima. Rileks dan ulangi 10 kali.
b) Untuk memperkuat otot vagina, berdiri dengan tungkai dirapatkan.
Kencangkan otot-otot pantat dan dan panggul tahan sampai 5 kali hitungan.
Kendurkan dan ulangi latihan sebsnyak 5 kali.
c) Mulai dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan. Setiap
minggu naikkan jumlah latihan 5 kali lebih banyak. Pada minggu ke-6
setelah persalinan ibu harus mengerjakan latihan sebanyak 30 kali. 
Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Rahmawati (2018) di Puskesmas
Toroh I menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara mobilisasi
dini dengan involusi uteri. Hal ini dikarenakan mobilisasi dini dapat memperlancar
pengeluaran lochea sehingga dapat mempercepat proses involusi uterus yang
disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri. Tetapi, jika mobilisasi terlambat
dilakukan akan berpengaruh terhadap proses involusi uterus, sehingga akan
menimbulkan suatu keadaan yang disebut subinvolusi uteri yang akan
menyebabkan terjadinya perdarahan yang dapat berakibat pada terjadinya
komplikasi pada masa nifas.
d. Gizi
1) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori setiap hari
2) Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan
vitamin yang cukup
3) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (anjurkan ibu untuk minum setiap kali
menyusui)
4) Tablet zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40
hari pasca bersalin
5) Minum kapsul vit. A 200.000 unit sebanyak 2 buah (1x setelah melahirkan dan
1x pada 24 jam berikutnya) agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya
melalui ASInya.
Penelitian yang dilakukan oleh Widowati dkk pada tahun 2016 di Kota
Pekalongan menjelaskan bahwa orang tua (ibu) berperan dalam memberikan
perintah atau anjuran untuk melakukan Pantang makanan, sedangkan suami
mengikuti keputusan istri dengan menyerahkan sepenuhnya kepada istri dan ada
pula yang memberikan dukungan untuk melakukan Pantang makanan. Kedudukan
ibu dalam rumah tangga berhubungan dengan kebudayaan dalam masyarakat.
Dalam kebudayaan Jawa, posisi wanita dalam keluarga sangat kuat, terutama
dalam pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan proses reproduksi.
e. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering
2) Mengenakan BH yang menyokong payudara
3) Apabila puting susu lecet oleskan colostrums atau ASI yang keluar pada
sekitar puting susu setiap kali seleswai menyusui. Menyusu tetap dilakukan
dari puting susu yang tidak lecet.
4) Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama 24 jam. ASI
dikeluarkan dan diminumkan dengan sendok.
5) Apabila payudara bengkak akibat bendungan ASI, lakukan:
a) Pengompresan payudara dengan menggunakan kain basah dan hanagat
selama 5 menit.
b) Urut payudara dari arah pangkal menuju putting atau gunakan sisir untuk
mengurut payudara dengan arah “Z” menuju putting.
c) Keluarkan ASI sebagian dari nagian depan payudara sehingga putting susu
menjadi lunak.
d) Susukan bayi setiap 2-3 jam sekali. Apabila tidak dapat menghisap seluruh
ASI keluakan dengan tangan.
e) Letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui.
f) Payudara dikeringkan.
Menurut penelitian yang berjudul Efektifitas Breast Care Post Partum
Terhadap Produksi ASI dapat diketahui bahwa breast care efektif untuk
meningkatkan produksi ASI. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis data
dengan independent t test yang menunjukkan bahwa rata – rata produksi ASI
pada kelompok breastcare postpartum lebih lancar dibandingkan dengan
kelompok tanpa breast care postpartum yaitu 6.73 > 3.86 serta nilai thit > ttab
(16.40 > 1.691) atau nilai ρ : 0,000 < 0,05 yang artinya Breastcare Postpartum
efektif meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui (Wijayanti &
Setiyaningsih, 2016).
9. Anemia
a. Pengertian
Kata anemia berasal dari bahasa Yunani yaitu anaimia. An artinya tidak ada,
haima artinya darah jadi anaimia adalah kekurangan darah. Anemia adalah
keadaanya rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar Hemoglobin (Hb) atau
Hematokrit (Ht) dibawah normal (Bararah, 2013). Anemia adalah berkurangnya
sel-sel darah merah di dalam tubuh (Mitayani. and Sartika, 2010).
Anemia adalah rendahnya konsentrasi Hemoglobin (Hb) atau hematokrit nilai
ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah
(eritrosit) dan Hemoglobin, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau
kehilangan darah yang berlebihan (Departemen Gizi dan kesehatan Masyarakat,
2011).
Anemia adalah penyebab kematian Ibu kedua terbesar di ASIA karena anemia
memiliki pengaruh besar pada kesehatan manusia. Kadar hemoglobin ibu post
partum merupakan refleksi hemoglobin selama kehamilan sehingga anemia ibu
nifas adalah suatu keadaan dimana ibu sehabis melahirkan sampai dengan kira-kira
5 minggu dalam kondisi pucat, lemah dan kurang bertenaga dan hasil pemeriksaan
Hemoglobin > 11 gr%. (Mitayani. and Sartika, 2010).
b. Etiologi
Faktor yang mempengaruhi anemia pada masa nifas adalah persalinan dengan
perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang kurang, penyakit virus dan
bakteri. Anemia dalam masa nifas merupakan lanjutan daripada anemia yang
diderita saat kehamilan, yang menyebabkan banyak keluhan bagi ibu dan
mengurangi presentasi kerja, baik dalam pekerjaan rumah sehari-hari maupun
dalam merawat bayi (Prawirohardjo, 2010).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia
postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta kehilangan
darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia postpartum berhubungan dengan
lamanya perawatan di rumah sakit, depresi, kecemasan, dan pertumbuhan janin
terhambat (Mitayani. and Sartika, 2010)
Kehilangan darah adalah penyebab lain dari anemia. Kehilangan darah yang
signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia
postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan besi selama persalinan dapat
menurunkan risiko terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan (Mitayani.
and Sartika, 2010)
Defisiensi besi dapat menurunkan fungsi limfosit, netrofil, dan fungsi
makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi. Memperbaiki status besi tubuh
dengan adekuat akan memperbaiki system imun. Meskipun demikian,
keseimbangan besi tubuh penting. Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon
imun yang efektif, jika suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan, invasi
mikroba dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tubuh dan
menyebabkan eksaserbasi infeksi (Mitayani. and Sartika, 2010)
Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu kelompok risiko tinggi terpapar
anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup
terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe dan dari kelompok WUS tersebut paling
tinggi berisiko menderita anemia adalah wanita hamil, wanita nifas, dan wanita
yang banyak kehilangan darah saat menstruasi (Mitayani. and Sartika, 2010)
Anemia gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah zat besi
dalam makanan tidak cukup, penyerapan zat besi rendah, kebutuhan meningkat,
kekurangan darah, pola makan tidak baik, status sosial ekonomi, penyakit infeksi,
pengetahuan yang rendah tentang zat besi, dan terdapat zat penghambat penyerapan
zat besi dalam makanan (Mitayani. and Sartika, 2010)
c. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia secara umum menurut Proverawati (2011) adalah :

1) Anemia defisiensi besi


Anemia dalam kehamilan yang sering dijumpai ialah anemia akibat
kekurangan besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang masuknya
unsur besi dalam makanan, karena gangguan reabsopsi, gangguan pencernaan,
atau karena terlampau banyaknya besi yang keluar dari badan, misal pada
perdarahan.
2) Anemia megaloblastik
Anemia dalam kehamilan disebabkan karena defisiensi asam folik, jarang
sekali karena defisiensi B12. Hal itu erat kaitanya dengan defisiensi makanan.
3) Anemia hipoplastik
Anemia pada wanita hamil dikarenakan sumsum tulang kurang mampu
membuat sel – sel darah baru.
4) Anemia hemolitik
Anemia disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung
lebih cepat dari pada pembuatannya.
d. Gejala Anemia
Gejala anemia yaitu ibu mengeluh lemah, letih, lesu, mudah lelah, dan lunglai,
wajah tampak pucat, mata berkunang-kunang, sulit berkonsentrasi dan mudah lupa,
dan sering sakit (Proverawati, 2011)
e. Diagnosa
Diagnosa pada kehamilan dapat dilakukan dengan anamnesa. Pada anamnesa,
akan didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, dan
keluhan mual muntah yang lebih hebat dari kehailan muda. Pemeriksaan dan
pengawasan hemoglobin (Hb) dapat dilakukan dengan alat sahli atau digital.
Kondisi Hb dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Hb 11 gr% : tidak anemia


2) Hb 9-10 gr% : anemia ringan
3) Hb 7-8 gr% : anemia sedang
4) Hb <7 gr% : anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada
trimester I dan trimester III (Proverawati, 2011).
f. Pencegahan
Makan makanan yang tinggi kandungan zat besi dapat membantu tubuh
menjaga pasokan besi yang diperlukan untuk berfungsi dengan baik. Pemberian
vitamin untuk memastikan bahwa tubuh memiliki cukup asam besi dan folat
(Proverawati, 2011).
Suplemen Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake Fe yang
berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Banyak factor yang
mendukung rendahmya tingkat kepatuhan (compliance) tersebut, seperti individu
sulit mengingat aturan minum tiap hari, minimnya dana untuk membeli suplemen
secara teratur, dan efek samping yang tidak nyaman dari Fe contohnya gangguan
lambung (Fatmah, 2011).
Menurut penelitian Sunarti dan Ratnasari (2020) didapatkan hasil terhadap 31
ibu hamil didapatkan kadar hemoglobin (Hb) tidak normal sebanyak 74.2% (23 ibu
hamil) dan kadar hemoglobin (Hb) normal sebanyak 25.8% (8 ibu hamil) sebelum
pemberian tablet zat besi (Fe). Setelah diberi perlakuan dengan pemberian tablet zat
besi (Fe) selama 90 hari pemberian, maka diperoleh hasil bahwa kadar hemoglobin
(Hb) tidak normal pada ibu hamil sebanyak 22.6% (7 ibu hamil) dan kadar
hemoglobin (Hb) normal sebanyak 77.4% (24 ibu hamil). Sebanyak 87.1% (27 ibu
hamil) mengalami kenaikan kadar hemoglobin (Hb) dan terjadi penurunan kadar
hemoglobin (Hb) sebanyak 12.9% (4 ibu hamil). Pada penelitian ini diketahui juga
lebih dari setengah ibu hamil mengalami perubahan kategori dari tidak normal
menjadi normal 54.8% (17 ibu hamil), sebanyak 19.4% (6 ibu hamil) tidak
mengalami perubahan kadar hemoglobin (Hb) yang berarti tetap tidak normal,
sebanyak 22.6% (7 ibu hamil) memiliki kadar hemoglobin (Hb) tetap normal, dan
sebanyak 3.2% (1 ibu hamil) mengalami perubahan kadar hemoglobin (Hb) dari
normal menjadi tidak normal. Tablet zat besi adalah tablet tambah darah yang
berisi zat besi folat yang berbentuk tablet. Tiap tablet mengandung 200 mg sulfat
ferosus (yang setara dengan 60 mg besi elemental) dan 0.25 mg asam folat (Depkes
RI, 2005).
Pencegahan anemia menurut Waryono (2010) adalah :

1) Selalu menjaga kebersihan dan mengenakan alas kaki setiap hari


2) Istirahat cukup
3) Makan makanan yang bergizi dan banyak mengandung Fe, misalnya
kangkung, daging sapi, hati ayam dan susu
Menurut penelitian Susilowati (2017) bahwa hasil penelitian yang telah
dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagia berkut : 1) Pemberian
buah kurma dapat meningkatkan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester III
yang dengan anemia yang diberikan perlakuan rata-rata mengalami kenaikan
1,10 gr%. 2) Pemberian buah kurma dapat meningkatkan kadar hemoglobin
pada ibu hamil trimester III dengan anemia, rata-rata kenaikan sebesar 1,1 gr%
dan bermakna secara statistic dengan nilai signifikasi sebesar 0,000. 3).
Hal ini sejalan dengan penelitian Irmawati dan Rosdiana (2020) bahwa
analisa bivariat diperoleh 15 orang sampel dimana sebelum pemberian sari
kurna memperoleh nilai mean sebesar 10,18 dan setelah pemberian sari kurma
memperoleh nilai mean sebesar 11,31. Hasil uji T-Test menunjukkan bahwa
nilai p sebesar 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima sehingga hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pemberian sari kurma dengan kadar
hemoglobin. Kurma mengandung nutrisi yang amat baik. Kandungan gula
yang terdapat di dalam buah kurma dapat langsung diserap oleh tubuh.
Kandungan gula dalam buah ini berbeda dengan kandungan gula dalam
makanan yang lain, sebab kandungan gula yang biasanya harus diuraikan
terlebih dahulu baru diserap oleh tubuh. Para pakar diet menilai kurma sebagai
makanan terbaik bagi wanita hamil dan ibu menyusui. Bahwa pengaruh
pemberian kurma terhadap kemajuan persalinan, bagi ibu hamil untuk
mengkonsumsi buah kurma dalam jumlah dan saat yang tepat .
Namun lain hal dengan penelitian yang dilakukan Jannah dan
Puspatingtyas (2018) hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
karakteristik responden kedua kelompok sebagian besar berumur 20-35 tahun,
pekerjaan responden sebagian besar ibu rumah tangga dan sebagian besar
paritas promigravida. Hasil perlakukan didapatkan rata-rata kenaikan
Hemoglobin pada kelompok yang mengkonsumsi sari kacang hijau sebesar
2,15 gr/dl sedangkan untuk kelompok konsumsi jus kurma tidak ada kenaikan
yang signifikan karena didapatkan hasil -0,14 gr/dl. Kacang hijau merupakan
jenis kacang-kacangan yang memiliki kandungan zat besi tinggi, baik untuk
dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui untuk menunjang masa pertumbuhan
anak[16]. Kandungan zat besi dalam 100 gram kacang hijau (7 mg) mampu
memenuhi kebutuhan zat besi pada ibu hamil trimester pertama, yaitu 0.8 mg,
dan ibu hamil trimester kedua dan ketiga yang meningkat menjadi 6.3 mg.
Hal ini sejalan dengan penelitian Retnoriri, dkk (2017) Ada pengaruh
pemberian tablet Fe dan sari kacang hijau terhadap kadar hemoglobin pada ibu
hamil dengan p value 0,000. Salah satu jenis kacang-kacangan yang
mengandung zat besi tinggi adalah kacang hijau. (vigna radiata). Kacang hijau
sangat bermanfaat bagi kesehatan ibu hamil dan menyusui, juga untuk
menunjang masa pertumbuhan anak. Kandungan zat besi dalam kacang hijau
paling banyak terdapat pada embrio dan kulit bijinya, dengan jumlah
kandungan zat besi pada kacang hijau sebanyak 6,7 mg per 100 gram kacang
hijau dan salah satu bentuk penyajian kacang hijau yang paling efektif adalah
dengan sari kacang hijau, yaitu air dan ampasnya disaring dan dipisahkan
sehingga minuman tersebut padat gizi. Pencegahan anemia pada masa nifas
menurut Suherni Dkk (2010) adalah mengkonsumsi tablet besi 1 tablet tiap
hari selama 40 hari.
Penanganan anemia menurut Prawirohardjo (2010) adalah :
1) Pada anemi ringan, bisa diberikan sulfas ferosis 3 x 100 mg/hari dikombinasi
dengan asam folat / B12 : 15 –30 mg/hari.
2) Pemberian vitamin C untuk membantu penyerapan.
Menurut penelitian Agustina (2019) bahwa terdapat perbedaan signifikan
kadar hemoglobin Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Yang Mengkomsumsi
Tablet Besi dengan dan Tanpa Vitamin C Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa
Lama Tahun 2019 dengan nilai Sig = 0,000, dimana nilai probabilitas (Sig) <
0,005. Hal ini dikarenakan unsur vitamin C yang dapat mereduksi zat besi feri
kedalam bentuk dero sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh ibu hamil yang
mengkonsumsinya. Jadi vitamin C ini bukanlah vitamin yang berfungsi
menaikkan kadar hemoblobin pada ibu hamil jika tidak dberikan bersamaan
dengan tablet besi, vitamin C hanyalah sebagai pengantar/media dimana tablet
besi yang mengandung zat besi tersebut dapat diserap dengan baik dan lebih
maksimal oleh tubuh.
Menurut penelitian Andaruni dan Nurbaety (2018) bahwa setelah
intervensi 8 minggu diperoleh rerata peningkatan kadar Hb tertinggi pada
kelompok tablet Fe+jus jambu biji sebesar 2,13 gr/dL, kelompok tablet
Fe+vitamin C sebesar 1,23 gr/dL, dan kelompok tablet Fe sebesar 0,83 gr/dL.
Berdasarkan uji Anova setelah intervensi 2 minggu (p=0,010), setelah
intervensi 4 minggu (p=0,226), setelah intervensi 6 minggu (p=0,423), setelah
intervensi 8 minggu (p=0, 0,267) dengan α=0,05.
3) Bila anemi berat dengan Hb kurang dari 6 gr % perlu darah disamping obat-
obatan diatas dan bila tidak ada perbaikan cari penyebabnya lainnya.
Menurut Proverawati (2011) akibat yang terjadi pada anemia pascapartus
adalah organ uterus menyebabkan perdarahan, retensio plasenta (plasenta adhesive,
plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta), perlukaan sukar sembuh,
mudah terjadi febris peurperalis, gangguan involusi uteri, kematian ibu tinggi
(perdarahan, infeksi peurperalis, gestosis).
Dampak anemia pada masa nifas menurut Manuaba (2012) adalah terjadi
subinvolusio uteri menimbulkan perdarahan postpartum, memudahkan infeksi
puerpurium, pengeluaran ASI berkurang, terjadi dekompensasi kordis mendadak
setelah persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mamae.

B. Tinjauan Sistem Kolaborasi dan Rujukan


1. Pelayanan Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan saling berbagi tanggung jawab (kerjasama) dengan
rekan sejawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam memberi asuhan pada pasien.
Dalam praktiknya, kolaborasi dilakukan dengan mendiskusikan diagnosis pasien serta
bekerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian asuhan. Masing-masing tenaga
kesehatan dapat saling berkonsultasi dengan tatap muka langsung atau melalui alat
komunikasi lainnya dan tidak perlu hadir ketika tindakan dilakukan. Petugas
kesehatan yang ditugaskan menangani pasien bertanggung jawab terhadap
keseluruhan penatalaksanaan asuhan.
Pelayanan kebidanan kolaborasi adalah pelayanan yang dilakukan oleh bidan
sebagai anggota tim yang kegiatannya di lakukan secara bersamaan atau sebagai salah
satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan. Tujuan pelayanan ini
adalah berbagi otoritas dalam pemberian pelayanan berkualitas sesuai ruang lingkup
masing-masing.
Elemen kolaborasi mencakup:
a. Harus melibatkan tenaga ahli dengan keahlian yang berbeda, yang dapat
bekerjasama secara timbal balik dengan baik.
b. Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama.
c. Kelompok harus memberi pelayanan yang keunikannya dihasilkan dari
kombinasi pandangan dan keahlian yang di berikan oleh setiap anggota tim
tersebut.
Pelayanan Kolaborasi /kerjasama terdiri dari:
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi
kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.
b. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil resiko tinggi dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
c. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
d. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
e. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dan pertolongan pertama
pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
f. Memberikan asuhan kebidanan pada balita resiko tinggi dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi (Asrinah, 2013).
2. Kolaborasi Dalam Praktek Kebidanan
Dalam praktik pelayanan kebidanan, layanan kolaborasi adalah asuhan
kebidanan yang diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama semua
pemberi pelayanan yang terlibat. Misalnya: bidan, dokter, dan atau tenaga kesehatan
profesional lainnya. Bidan merupakan anggota tim.
Bidan meyakini bahwa dalam memberi asuhan harus tetap menjaga,
mendukung, dan menghargai proses fisiologis manusia. Intervensi dan penggunaan
teknologi dalam asuhan hanya atas indikasi. Rujukan yang efektif dilakukan untuk
menjamin kesejahteraan ibu dan bayinya. Bidan adalah praktisi yang mandiri. Bidan
bekerja sama mengembangkan kemitraan dengan anggota dan kesehatan lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan
perujukan sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, dan kemampuannya (Asrinah,
2013).
a. Pengertian Sistim Rujukan
Sistem rujukan adalah sistem yang dikelola secara strategis, proaktif,
pragmatif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang
membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka bearada
dan berasal dari golongan ekonomi manapun agar dapat dicapai peningkatan
derajat kesehatan dan neonatal di wilayah mereka berada (Asrinah, 2013).
Rujukan Pelayanan Kebidanan adalah pelayanan yang dilakukan oleh bidan
dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu
pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu menerima rujukan dari dukun yang
menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau
fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan lain secara horizontal
maupun vertical (Asrinah, 2013).
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab
secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi
antara unit yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi
ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau,
rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi (Asrinah, 2013).
b. Tujuan Sistim Rujukan
Tujuan umum sistem rujukan adalah untuk meningkatkan mutu, cakupan
dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu (Kebidanan Komunitas).
Tujuan umum rujukan untuk memberikan petunjuk kepada petugas puskesmas
tentang pelaksanaan rujukan medis dalam rangka menurunkan IMR dan AMR.
Tujuan khusus sistem rujukan adalah:
1) Meningkatkan kemampuan puskesmas dan peningkatannya dalam rangka
menangani rujukan kasus “resiko tinggi” dan gawat darurat yang terkait
dengan kematian ibu maternal dan bayi.
2) Menyeragamkan dan menyederhanakan prosedur rujukan di wilayah kerja
puskesmas (Asrinah, 2013).
c. Jenis Rujukan
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari :
1) Rujukan Internal
Yaitu rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi
tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke
puskesmas induk.
2) Rujukan Eksternal
Yaitu rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat
inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah)
(Asrinah, 2013).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari:
1) Rujukan Medik
Yaitu rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya penyembuhan
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien puskesmas
dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke
rumah sakit umum daerah. Jenis rujukan medik:
a) Transfer of patient.
b) Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan
operatif dan lain-lain.
c) Transfer of specimen.
d) Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
e) Transfer of knowledge/personel.
f) Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan
mutu layanan pengobatan setempat. Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke
daerah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui
ceramah, konsultasi penderita, diskusi kasus dan demonstrasi operasi
(transfer of knowledge). Pengiriman petugas pelayanan kesehatan
daerah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan mereka ke
rumah sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit pendidikan, juga
dengan mengundang tenaga medis dalam kegiatan ilmiah yang
diselenggarakan tingkat provinsi atau institusi pendidikan (transfer of
personel) (Asrinah, 2013).
2) Rujukan Kesehatan
Yaitu hubungan dalam pengiriman dan pemeriksaan bahan ke fasilitas
yang lebih mampu dan lengkap. Rujukan ini umumnya berkaitan dengan
upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan
(preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik
konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah
kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas (Asrinah, 2013).
3. Alur Sistem Rujukan
Alur rujukan kasus kegawat daruratan:
a. Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke:
1) Puskesmas pembantu
2) Pondok bersalin atau bidan di desa
3) Puskesmas rawat inap
4) Rumah sakit swasta / RS pemerintah
b. Dari Posyandu
Dapat langsung merujuk ke:
a) Puskesmas pembantu
b) Pondok bersalin atau bidan di desa
4. Mekanisme Rujukan
a. Menentukan kegawadaruratan penderita
1) Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih
Ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga atau
kader/ dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
terdekat, oleh karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan ke tingkat
kegawatdaruratan.
2) Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus
dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya, mereka harus menentukan kasus mana yang
boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk.
3) Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
Sebaiknya bayi yang akan dirujuk harus sepengatahuan ibu atau keluarga bayi
yang bersangkutan dengan cara petugas kesehatan menjelaskan kondisi atau
masalah bayi yang akan dirujuk dengan cara yang baik.
4) Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
a) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk
b) Meminta petunjuk apa yan perlu dilakukan dalam rangka persiapan dan
selama dalam perjalanan ke tempat rujukan
c) Meminta petunjuk dan cara penanganan untuk menolong penderita bila
penderita tidak mungkin dikirim.
3) Persiapan penderita (BAKSOKUDA)
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan disingkat
“BAKSOKUDA” yang diartikan sebagi berikut :
B (Bidan) : Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi oleh tenaga kesehatan yang
kompeten dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegawatdaruratan
A (Alat) : Bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan seperti spuit,
infus set, tensimeter dan stetoskop
K (keluarga) : Beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (klien) dan alasan
mengapa ia dirujuk. Suami dan anggota keluarga yang lain harus menerima ibu
(klien) ke tempat rujukan.
S (Surat) : Beri sura ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu (klien), alasan
rujukan, uraian hasil rujuka, asuhan atau obat-obat yang telah diterima ibu
O (Obat) : Bawa obat-obat esensial yang diperlukan selama perjalanan merujuk
K (Kendaraan) : Siapkan kendaraan yang cukup baik untuk memungkinkan ibu
(klien) dalam kondisi yang nyaman dan dapat mencapai tempat rujukan dalam
waktu cepat.
U (Uang) : Ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah yang cukup
untuk membeli obat dan bahan kesehatan yang diperlukan di tempar rujukan
DA (Darah) : Siapkan darah untuk sewaktu-waktu membutuhkan transfusi darah
apabila terjadi perdarahan
4) Pengiriman Penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/ sarana
transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita
5) Tindak lanjut penderita
a) Untuk penderita yang telah dikemalikan
b) Harus kunjungan rumah bila penderita yang memerlukan tindakan lanjut tapi
tidak melapor.
C. Tinjauan Teori Asuhan Nifas dan Menyusui
Asuhan kebidanan yang diberikan dengan menggunakan kerangka pikir Varney
dengan pendekatan managemen kebidanan yang terdiri dari 7 langkah. Berikut penjelasan
dari kerangka pikir Varney (2010):
1. Pengumpulan data dasar: melakukan pengkajian dan mengumpulkan data yang
diperlukan meliputi data subjektif, data objektif, dan data penunjang.
2. Interpretasi data dasar: menginterpretasi semua data yang diperoleh dan menuliskan
diagnosis kebidanan dan masalah yang ada.
3. Identifikasi diagnosis atau masalah potensial: mengidentifikasi msalah atau diagnosis
potensial lain berdasarkan diagnosis yang sudah teridentifikasi.
4. Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera: menuliskan kebutuhan
untuk konsultasi atau kolaborasi dengan profesi lain.
5. Perencanaan asuhan yang menyeluruh: menuliskan rencana tindakan berdasarkan
diagnosis atau masalah yang ada.
6. Pelaksanaan: melaksanakan asuhan yang sudah direncanakan secara aman dan efisien.
7. Evaluasi: melakukan evaluasi terhadap asuhan yang telah diberikan apakah sudah
sesuai dengan kebutuhan klien.
Untuk asuhan dilanjutkan dengan asuhan ibu nifas dengan menggunakan SOAP
(Mangkuji, Ginting, Suswaty, Lubis, & Wildan, 2012) yaitu:
1. Data Subjektif
a. Identitas
Data ini berisi identitas ibu dan penanggungjawab (suami atau keluarga) yang
terdiri dari nama, umur, agama, pekerjaan, suku bangsa, dan alamat.
b. Keluhan Utama
Data ini digunakan untuk mengetahui keluhan yang dirasakan ibu secara fisik
maupun psikologis sehingga klien datang ke tenaga kesehatan, mengidentifikasi
keluhan tersebut fisiologis/patologis, dan mendeteksi adanya tanda bahaya atau
komplikasi yang mungkin muncul.
c. Riwayat Kesehatan
Data riwayat kesehatan berisi riwayat penyakit yang sedang diderita oleh ibu
dan riwayat penyakit dalam keluarga yang terdiri dari penyakit menular, penyakit
tidak menular, penyakit keturunan, kelainan bawaan, serta ada tidaknya riwayat
kembar dalam keluarga.
d. Riwayat Persalinan
Menurut (Marmi, 2017) riwayat persalinan dikaji untuk mengetahui jenis
persalinan, pada ibu nifas normal klien melahirkan normal, ada komplikasi atau
tidak dalam persalinan, plasenta lahir spontan atau tidak, tali pusat normal atau
tidak, perineum ada robekan atau tidak, perdarahan untuk mengetahui jumlah
perdarahan, serta proses persalinan yang dikaji adalah tanggal lahir, BB, PB, apgar
score, cacat bawaan dan air ketuban.
e. Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
Menurut Marmi (2017) hal-hal terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
adalah sebagai berikut :
1) Nutrisi
Konsumsi kalori pada ibu nifas 6 bulan pertama adalah 2900 kalori dan
60mg protein. Ibu yang menyusui membutuhkan konsumsi 60-70%
karbohidrat, 10-20% protein, 20-30% lemak, 85mg vitamin C, 850mg vitamin
A, 200mg iodium, 29 mg serat, dan minum sedikitnya 3 liter setiap hari
(anjurkan ibu untuk minum setiap kali menyusui). Sementara itu, pil zat besi
diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40 hari pasca bersalin,
dan minum vitamin A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A kepada
bayinya melalui ASInya. Vitamin A dikonsumsi kapsul pertama pada 24 jam
pertama dan kapsul kedua setelah 24 jam dan maksimal 6 minggu pasca
persalinan. Pemberian kapsul pertama diharapkan dapat mencukupi kebutuhan
selama 60 hari dan kapsul kedua untuk 6 bulan.
2) Eliminasi
a) BAB
Ibu diharapkan dapat BAB 3-4 hari postpartum. Konstipasi dapat
terjadi dalam beberapa hari pertama karena efek hormon progesteron yang
menyebabkan relaksasi dinding abdomen, sehingga meningkatkan risiko
konstipasi dan dinding abdomen menjadi tegang karena berisi gas. Ibu
akan menghindari rasa nyeri karena luka perinium dengan menahan BAB.
b) BAK
Kesulitan BAK dapat terjadi, namun dalam 6 jam pertama post
partum pasien harus dapat buang air kecil. Hal tersebut dikarenakan selama
hamil ibu mengalami peningkatan kapasitas kandung kemih dan penurunan
tonus otot. Selama persalinan uretra, kandung kemih, dan jaringan di
sekitar uretra menjadi edema dan mengalami trauma karena penekanan
kepala janin, sehingga hal tersebut menyebabkan sensifitas terhadap cairan
menurun walaupun kandung kemih sudah penuh. Retensio urin dan over
distensi kandung kemih dapat mengakibatkan bakteri berkembang biak,
serta jika kandung kemih penuh akan menghambat kontraksi uterus dan
menyebabkan perdarahan masa nifas.
3) Istirahat dan Tidur
Ibu postpartum membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk
memulihkan kembali keadaan fisiknya. Kurang istirahat dapat mengakibatkan
mengurangi jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi,
memperbanyak perdarahan, dan menyebabkan depresi, serta ketidaknyamanan
untuk merawat bayi dan dirinya sendiri.
Kesulitan tidur dapat terjadi karena rasa tidak nyaman di kandung kemih
dan perinium, serta gangguan bayi. Oksitosin adalah hormon yang berperan
penting untuk memacu kontraksi otot polos di sekitar duktus dan sinus untuk
memeras ASI menuju ke puting susu.
4) Personal Hygiene
Ibu nifas sebaiknya diajarkan membersihkan kelamin dengan membilas
daerah kelamin dari depan ke belakang, mengganti pembalut setiap kali darah
penuh atau minimal 2 kali sehari, mencuci tangan setiap sebelum dan selesai
membersihkan kemaluan, dan memberitahu jika mempunyai luka episiotomy
hindari untuk menyentuh daerah luka.
5) Hubungan Seksual
Ibu dapat melakukan hubungan seksual setelah darah berhenti keluar dan
ibu tidak merasa nyeri bila satu atau dua jari dimasukkan ke dalam vagina. Ibu
juga harus mengingat bahwa ovulasi dapat terjadi setiap saat, sehingga
dibutuhkan perlindungan dari alat kontrasepsi sebelum ibu melakukan
hubungan seksual agar tidak terjadi kehamilan dalam waktu yang terlalu dekat.

6) Aktivitas
Mobilisasi hendaknya dilakukan secara bertahap. Mobilisasi yang
dilakukan terlalu cepat dapat menyebabkan ibu terjatuh, sebaliknya mobilisasi
yang terlambat juga bisa menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh, aliran
darah tersumbat, dan terganggunya fungsi otot. Ambulasi akan memulihkan
kekuatan otot dan panggul, memperlancar aliran lochea dan urin, ambulasi
dilakukan maksimal.
f. Adat istiadat
Adat pada masa nifas, misalnya ibu nifas harus pantang makan yang berasal
dari daging, ikan, telur dan goreng-gorengan karena dipercaya akan menghambat
penyembuhan luka persalinan dan makanan ini akan membuat ASI menjadi amis.
Adat ini akan membuat pemulihan kesehatan ibu terhambat dan produksi ASI
berkurang (karena volume ASI dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas nutrisi).
g. Data Psikososial Spiritual
Perubahan peran dari wanita menjadi seorang ibu memerlukan adaptasi
sehingga ibu dapat melakukan perannya dengan baik, serta perubahan hormonal
yang sangat cepat setelah proses melahirkan juga dapat mempengaruhi keadaan
emosi dan proses adaptasi ibu pada masa nifas. Perhatian ibu pada fase ini yaitu
fase taking in, perhatian ibu terhadap kebutuhan dirinya berlangsung 1-2 hari.
Dalam fase ini yang diperlukan ibu adalah informasi tentang bayinya, bukan cara
merawat bayi.
h. Data Pengetahuan
Dikaji untuk mengetahui tentang keadaanya dan perjalanan perawatannya. Hal
ini dimaksudkan agar pasien dapat kooperatif dalam menjalankan program
perawatan.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum: keadaan umum pasien yang dilihat secara langsung, missal
keadaan umum pasien adalah baik
2) Kesadaran: kesadaran pasien normalnya komposmentis (kesadaran maksimal).
3) Tekanan Darah: tekanan darah normal adalah sistolik antara 90-120 mmHg dan
diastolik 60-80 mmHg. Handayani dan Pujiastuti (2016) menyatakan bahwa
tekanan darah tinggi pada masa nifas merupakan tanda pre eklampsia
postpartum (Marmi, 2017).
4) Nadi: pasca melahirkan denyut nadi dapat menjadi lebih cepat namun tidak
melebihi 100x/menit. Nadi melebihi 100x/menit harus diwaspadai adanya
infeksi atau perdarahan postpartum (Marmi, 2017).
5) Suhu: pasca melahirkan, suhu tubuh dapat naik kurang lebih 0,5˚C dari keadaan
normal akibat kerja keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan maupun
kelelahan. Apabila suhu lebih dari 38°C, waspada terhadap infeksi postpartum
(Marmi, 2017).
6) Pernapasan: frekuensi pernafasan normal pada orang dewasa adalah 16-24 kali
per menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau normal, hal
ini dikarenakan ibu dalam proses pemulihan atau dalam kondisi istirahat
(Marmi, 2017). Bila pernapasan pada masa postpartum menjadi lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok dan embolus paru.
7) Berat badan: pada masa nifas akan terjadi pengurangan berat badan ibu dan
janin, plasenta, cairan ketuban, kehilangan darah, selama persalinan sekitar 4,5-
5,8 kg. Setelah proses diuresis, ibu akan kehilangan berat badan 2,3-2,6 kg dan
0,9-1,4 kg karena proses involusi uteri.
b. Status Present
1) Muka: perlu dikaji apakah pucat atau tidak, simetris atau tidak
2) Mata: perlu dikaji warna konjungtiva, keadaan sklera dan pupil
3) Hidung: perlu dikaji adanya sekret dan polip
4) Mulut: perlu dikaji kebersihan mulut, adanya karies gigi dan stomatitis
5) Telinga: perlu dikaji kebersihan telinga
6) Ketiak: perlu dikaji adanya benjolan
7) Dada: perlu dikaji adanya retraksi dinding dada, suara dan frekuensi nafas
8) Abdomen: perlu dikaji adanya pembesaran kelenjar limfe
9) Lipat paha: perlu dikaji adanya benjolan atau pertumbuhan organyang abnormal
10) Vulva: perlu dikaji adanya infeksi atau peradangan serta benjolan yang
abnormal
11) Ekstremitas: perlu dikaji simetris atau tidaknya, tonus otot, dan reflek patella
12) Punggung: perlu dikaji keadaan tulang punggung
13) Anus: perlu dikaji adanya hemoroid (Marmi, 2017).
c. Status Obstetri
1) Mamae
Normalnya bentuk simetris, puting susu menonjol, dan ada/tidak ada
pengeluaran colostrum (Marmi, 2017). Pengkajian payudara pada awal
pascapartum meliputi penampilan dan integritas puting susu, memar atau iritasi,
adanya kolostrum, adanya sumbatan ductus.
2) Abdomen
Perlu dikaji uterus untuk mengetahui TFU, bagaimana kontraksi uterus,
konsistensi uterus, posisi uterus (Marmi, 2017).
3) Genetalia
Pengeluaran pervaginam pada hari 1-3 pasca persalinan keluar lochea rubra
yang berkarakteristik berwarna merah kehitaman terdiri dari sel desidua,
verniks caseosa, rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah. Selain
pengeluaran lochea, perlu dikaji luka perineum ibu dan jumlah darah yang
keluar (Marmi, 2017)
3. Analisa
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosis atau
masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas dasar data-data
yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga ditemukan masalah atau diagnosis yang spesifik (Marmi, 2017).
4. Penatalaksanaan
Melaksanakan perencanaan. Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh
dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh
bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien (Marmi, 2017).
5. Evaluasi
Pada evaluasi, dilakukan penilaian terhadap tindakan atau asuhan yang telah
diberikan pada kunjungan sebelumnya, apakah sesuai dengan yang diharapkan atau
tidak. Selain itu juga digunakan untuk menentukan rencana asuhan selanjutnya (Marmi,
2017).
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Winda. 2019. Comparison Of Hemoglobin Levels In Pregnant Moms Who


Comsume Iron Tablets With And Without Vitamin C In The Puskesmas Working Area
Langsa Lama 2019. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (Jnik) Volume 2. Edisi 2 2019 Issn:
2621-6507.
Asrinah, dkk. 2013. Konsep Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Amalia, R., & Larasati, E. M. (2018). Mobilisasi Dini Dan Personal Hygiene Dengan
Lamanya Penyembuhan Luka Perineum Padaibu Nifas. Jurnal Kebidanan Universitas
Kader Bangsa Palembang, 6(88), 480–485.

Andaruni, Rista, Qamariah, Nurul Dan Nurbaety, BQ. 2018. Efektivitas Pemberian Tablet Zat
Besi (Fe), Vitamin C Dan Jus Buah Jambu Biji Terhadap Peningkatan Kadar
Hemoglobin (Hb) Remaja Putri Di Universitas Muhammadiyah Mataram . Midwifery
Journal | Kebidanan ISSN 2503-4340 |E-ISSN 2614-3364 Vol. 3 No. 2 Juli 2018, Hal.
104-107
Daman, F. A., & Salat, S. Y. S. (2015). Faktor Risiko Tingkat Stres Pada Ibu Nifas Di
Wilayah Kerja Upt Puskesmas Legung Timur Kecamatan Batang–Batang Kabupaten
Sumenep Tahun 2014. Wiraraja Medika, 5(1).
Indah, P. (2019). Pengaruh Kemampuan Vulva Hygiene Terhadap Waktu Penyembuhan Luka
Perineum Pada Ibu Post Partum Primipara. Jurnal Kebidanan, Vi(1), 16–27.
Irmawati, S. Rosdiana. 2020. Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar
Hb pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Volume 9, Nomor 2,
Desember 2020, pp1051-1056 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563 DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.463.

Jannah, M. Puspaningtyas, M. 2018. Peningkatan Kadar Hb Ibu Hamil Dengan Jus Kurma
Dan Sari Kacang Hijau Di Kota Pekalongan. Placentum Jurnal Ilmiah Kesehatan dan
Aplikasinya, Vol.6(2) 2018.

Mangkuji, B., Ginting, I., Suswaty, Lubis, S., & Wildan. (2012). Asuhan Kebidanan : 7
Langkah SOAP. Jakarta: EGC.
Marmi. (2017). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas (S. Riyadi, ed.). Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Manuaba I. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: EGC.
Mitayani & Wiwi, Sartika. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Novila. H. U. (2017). Hubungan Perawatan Perineum dengan Kesembuhan Luka Perineum
Pada Ibu Nifas di Klinik Bersalin Widuri Sleman. Jurnal Kebidanan.
Proverawati. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rahayu, S. (2017). Asuhan Kebidanan Fisiologis. Jakarta: Trans Info Media.


Retnorini, Luh, Dewi. Widatiningsih, Sri. Masini. 2017. Pengaruh Pemberian Tablet Fe Dan
Sari Kacang Hijau Terhadap Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil. Jurnal Kebidanan
Vol. 6 No.12 April 2017 ISSN.2089-7669

Rukiyah, A. Y., Yulianti, L., & Liana, M. (2011). Asuhan Kebidanan III (Nifas). Jakarta: CV.
Trans Info Media.
Sari, D. G., & Rahmawati, F. (2018). Hubungan Antara Mobilisasi Dini Dengan Involusi
Uterus Di Puskesmas Toroh I. Jurnal Kesehatan Ibu Dan Anak, 3, No 1, 33–41.
Sukma, F., Hidayati, E., & Nurhasiyah Jamil, S. (2017). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada
Masa Nifas.
Sulistyowati, Ayu, Diyah. 2017. Pengaruh Pemberian Buah Kurma Pada Ibu Hamil Tm Iii
Dengan Anemia Terhadap Kadar Hemoglobin Di Bpm Tri Rahayu Setyaningsih
Cangkringan Sleman Yogyakarta.

Sunarti, dan Ratnasari, Eka, Ellysa. 2020. Kadar Hemoglobin (Hb) Ibu Hamil Pre Dan Post
Pemberian Tablet Zat Besi (Fe) Di Uptd Puskesmas Kecamatan Sananwetan Kota
Blitar. Jurnal Keperawatan Malang Volume 5, No 1, 2020, 17-30.

Varney, H., & Jan M.K, C. (2010). Buku Ajar Asuhan Kebidanan (4th ed.). 2010: EGC.
Waryono. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Widowati, I., Harnany, A. S., & Amirudin, Z. (2016). Peran Keluarga Dalam Pengambilan
Keputusan Ibu Nifas Untuk Melakukan Praktik Pantang Makanan Di Kota Pekalongan.
Jurnal Litbang Kota Pekalongan, 10, 30–41.
Wijayanti, T., & Setiyaningsih, A. (2016). Jurnal Kebidanan Efektifitas Breast Care Post
Partum Terhadap Produksi Postpartum Breastcare Effectiveness Of Production Asi.
Viii(2), 201–208.

Anda mungkin juga menyukai