Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. TEORI MEDIS
1. Masa Nifas
a. Pengertian Masa Nifas
1) Masa nifas (puerperium) merupakan masa yang dimulai setelah
plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan sebelum hamil berlangsung selama 6 minggu
(Yuliana dkk, 2020). Masa nifas dimulai sejak 2 jam setelah
plasenta lahir sampai 6 minggu atau 42 hari setelah itu yang diikuti
dengan proses kembalinya ke keadaan sebelum hamil seperti
robekan perineum yang terjadi hampir pada primigravida maupun
multigravida (Susilawati et al., 2020).
2) Menururt Hainun Nisa, (2020) ibu post partum yang mengalami
atau melalui masa ini disebut (puerpera). Masa nifas berlangsung
selama 6 minggu yang ditandai dengan beberapa perbedaan baik
secara fisiologi maupun psikologi yang meliputi perubahan fisik,
involusio uterus, pengeluaran lochia, laktasi, perubahan system
tubuh lainya, perubahan peran ibu menjadi orang tua dan
perubahan psikologis.
b. Tujuan Asuhan Masa Nifas.
Pada masa nifas ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun
psikis berupa organ reproduksi, terjadinya proses laktasi, terbentuknya
hubungan antara orang tua dan bayi dengan memberikan dukungan.
Atas dasar tersebut perlu dilakukan suatu pendekatan antara ibu dan
keluarga dalam manajemen kebidanan. Adapun tujuan dari
perkembangan asuhan pada masa nifas untuk:
1) Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik secara fisik dan
psikologis.
2) Melaksanakan skrinning secara komprehensif, deteksi dini,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun
bayinya.
3) Memberikan Pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan
diri, nutrisi, KB, cara dan manfaat menyusui, pemberian imunisasi
serta perawatan bayi sehari-hari
4) Memberikan pelayanan keluarga berencana
5) Mendapatkan kesehatan emosi (Marmi, 2015).
c. Peran dan Tanggungjawab Bidan dalam Masa Nifas
Bidan memiliki peranan yang sangat penting dalam pemberian
asuhan Post Partum. Asuhan kebidanan pada masa nifas merupakan
hal yang sangat penting, karena periode ini merupakan masa kritis bagi
ibu maupun bayinya. Adapun peran dan tanggung jawab bidan dalam
masa nifas antara lain :
1) Memberikan dukungan secara berkesinambungan selama masa
nifas sesuai dengan kebutuhan ibu untuk mengurangi ketegangan
fisik dan psikologis selama masa nifas.
2) Sebagai promotor hubungan antara ibu dan bayinya serta keluarga.
3) Mendorong ibu untuk menyusui bayinya dengan meningkatkan
rasa nyaman
4) Membuat kebijakan, perencanaan program kesehatan yang
berkaitan ibu dan anak serta mampu melakukan kegiatan
administrasi.
5) Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.
6) Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara
mencegah perdarahan, mengenai tanda-tanda bahaya, menjaga gizi
yang baik serta mempratikkan kebersihan yang sama.
7) Melakukan manajemen asuhan kebidanan dengan cara
mengumpulkan data, mengidentifikasi, menetapkan diagnosa, dan
rencana tindakan serta melaksanakan untuk mempercepat proses
pemulihan, mencegah komplikasi dengan memenuhi kebutuhan
ibu dan bayi selama periode nifas (Elisabeth, 2015).
d. Kewenangan Bidan dalam Penanganan Rupture Perineum
Bidan dalam menjalankan praktek praktek berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu,
pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi wanita
dan keluarga berencana. Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa
sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa nifas, masa
menyusui, dan masa antara dua kehamilan. Pada pelayanan kesehatan
ibu tersebut meliputi pelayanan konseling. Bidan dalam memberikan
pelayanan berwenang untuk episiotomy, penjahitan luka jalan lahir
tingkat I dan II, penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan, pemberian tablet fe, pemberian vitamin A dosis pada ibu
nifas (Kemenkes, 2017).
e. Tahapan Masa Nifas
1) peurperium dini (immediate puerperium)
Peurperium dini adalah suatu masa yang dimulai dari segera
plasenta lahir sampai 24 jam atau dalam rentan waktu 0-24 jam
pasca melahirkan pada masa ini sering sekali terdapat masalah,
seperti perdarahan karena atonia uteri dan lainya. Akan tetai pada
tahap pemilihan ini ibu diperbolehkan atau dianjurkan oleh bidan
untuk berdiri dan berjalan-jalan (Mobilisasi) (Fatmawati and
Hidayah, 2019).
2) Peurperium Intermedial (early puerperium)
Peurperium intermedial yaitu tahapan yang dimulai dari hari
ke-1 sampai ke-7 dimana bidan akan memastikan involusio uteri
dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak berbau
busuk, tidak demam, ibu mendapatkan makanan dan cairan yang
cukup, serta ibu mmpu menyusui bayinya dengan baik.
3) Remote Puerperium (later puerperium)
Remote purperium adalah masa yang terjadi dari minggu ke 1
hingga 6 pada ibu post partum atau waktu yang diperlukan untuk
pulih dan sehat kemballi dalam keadaan sempurna terutama bila
ibu selama kehamilan atau waktu persalinan mengalami penyulit
atau komplikasi (Wahida Yuliana, 2020).
f. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Menurut (Sukma, dkk. 2017), perubahan fisik ibu nifas sebagai berikut
:
1) Perubahan sistem reproduksi
Selama masa nifas alat-alat genetalia interna maupun eksterna
akan berangsurangsur pulih kembali seperti keadaan sebelum
hamil. Perubahan-perubahan alat genetalia ini dalam keseluruhan
disebutkan involusi. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih
setinggi 7 cm di atas simfisis pusat, sesudah 12 hari uterus tidak
dapat diraba lagi diatas simfisis. Postpartum 2 minggu diameternya
menjadi 3,5 cm dan pada postpartum 6 minggu telah mencapai 2,4
cm.
2) Lochea
Lochea adalah cairan secret yang berasal dari kavum uteri dan
vagina selama masa nifas. Pada 0-3 hari keluar cairan berwarna
merah atau disebut lochea rubra, pada hari ke-3 sampai ke-7 keluar
cairan berwarna merah kuning berisi darah dan lendir atau disebut
lochea sanguinolenta, pada hari ke-7 sampai ke-14 cairan yang
keluar berwarna kuning atau disebut lochea serosa, cairan ini tidak
berdarah lagi, selama 2 minggu, lochea hanya merupakan cairan
putih yang disebut dengan lokia alba. Lochea mempunyai bau
yang khas, tidak seperti bau menstruasi.
3) Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah thrombosis, degenerasi,
dan nekrosis ditempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal
endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua, dan selaput janin. Setelah tiga hari mulai rata,
sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas
implantasi plasenta.
4) Serviks
Perubahan yang terjadi pada serviks ialah bentuk serviks agak
menganga seperti corong, segera setelah bayi lahir. Bentuk ini
disebabkan oleh corpus uteri yang akan mengalami kontraksi,
sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada
perbatasan antara korvus dan serviks berbentuk semacam cincin.
5) Perubahan sistem pencernaan
Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan. Hal ini
disebabkan karena makanan padat dan kurang berserat selama
persalinan.
6) Perubahan perkemihan
Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2-8 minggu,
tergantung pada keadaan sebelum persalinan, lamanya partus kala
dua dilalui.
7) Perubahan sistem musculoskeletal
Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang
pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan
pulih kembali sehingga tak jarang uterus ke belakang dan menjadi
retropleksi karena ligamentum rotundum menjadi kendor. Tidak
jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun setelah
melahirkan karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat
genetalia menjadi kendur. Stabilisasi secara sempurna terjadi pada
6-8 minggu setelah persalinan.
8) Perubahan tanda-tanda vital
a) Suhu tubuh wanita inpartu tidak dari 37,2 derajat celsius.
Sesudah partus dapat naik kurang lebih 0,5 derajat celsius dari
keadaan normal.
b) Nadi normal berkisar antara 60-80 denyut permenit setelah
partus.
c) Tekanan darah pada beberapa kasus ditemukan keadaan
hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya
apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang
menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan.
g. Perubahan Psikologis Ibu Nifas.
Ada 3 fase penyesuaian ibu terhadap perannya sebagai orang tua, yaitu
fase taking in, fase taking hold, fase letting go.
1) Fase Taking-in
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung
dari hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat
itu, fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman
selama proses persalinan sering berulang diceritakannya.
Kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah gejala
kurang tidur, seperti mudah tersinggung. Hal ini membuat ibu
cenderung menjadi pasif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu
kondisi ibu perlu dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik.
Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu adalah:
a) Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan
tentang bayinya misalnya jenis kelamin tertentu, warna kulit,
jenis rambut dan lainlain.
b) Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisk yang
dialami ibu misalnya rasa mules karena rahim berkontraksi
untuk kembali pada keadaan semula, payudara bengkak, nyeri
luka jahitan.
c) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
2) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada
fase taking hold, ibu merasa khawatir atau ketidak mampuan dan
rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Selain itu
perasaannya sangat sensitif sehingga mudah tersinggung jika
komunikasinya kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan
dukungan karena saat ini merasakan kesempatan yang baik untuk
menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya
sehingga tumbuh rasa percaya diri.
3) Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran
barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah
mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya.
Keinginan untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase
ini.
h. Kebutuhan Dasar Ibu Nifas
Dalam masa nifas, alat-alat genetalia internal maupun eksterna
akan berangsurangsur pulih seperti keadaan sebelum hamil. Untuk
membantu mempercepat proses penyembuhan pada masa nifas, maka
ibu membutuhkan beberapa kebutuhan dasar sebagai berikut :
1) Nutrisi dan Cairan
Ibu nifas membutuhkan nutrisi yang cukup, gizi seimbang,
terutama kebutuhan protein dan karbohidrat. Gizi Ibu sangan erat
kaitannya dengan produksi air susu yang dibutuhkan bayi untuk
tumbuh kembang. Kebutuhan kalori selama menyusui
proporsional dengan jumlah air susu ibu yang dihasilkan dan lebih
tinggi selama menyusui disbanding selama hamil. Kebutuhan
kalori selama menyusi sekitar 400-500 kalori, sebaiknya ibu nifas
jangan mengurangi kalori karena akan mengganggu proses
metabolisme tubuh dan menyebabkan ASI menjadi rusak.
Sedangkan kebutuhan konsumsi cairan sebanyak 8 gelas perhari.
Minum sedikitnya 3 liter tiap hari, kebutuhan cairan diperoleh
dari air putih, sari buah, susu dan sup (Nugroho dkk, 2014).
2) Eliminasi (BAB / BAK)
Hendaknya kencing dapat dilakukan sendiri secepatnya.
Kadang–kadang wanita mengalami sulit kencing, karena spingter
uretra ditekan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musculus
sphincter ani selama persalinan, juga oleh karena adanya edema
kandung kemih yang terjadi selama persalinan. Bila kandung
kemih penuh segera dilakukan pengosongan kandung kemih
karena dapat membantu terjadinya kontraksi yang disertai dengan
peregangan berlebihan dari kandung kemih yang tidak dapat
dikosongkan secara spontan. Sedangkan buang air besar harus
dilakukan 3-4 hari pasca persalinan. Bila masih sulit buang air
besar dan terjadi obstipasi dapat diberikan obat laksans per oral
atau per-rectal. Jika masih belum bisa dilakukan klisma.
3) Istirahat
Ibu nifas memerlukan istirahat yang cukup, istirahat tidur yang
dibutuhkan ibu nifas sekitar 8 jam pada malam hari dan 1 jam
pada siang hari, kemudian boleh miring-miring ke kanan dan ke
kiri, untuk mencegah adanya trombosis. Kurang istirahat akan
mempengaruhi ibu dalam beberapa hal, diantaranya sebagai
berikut:
a) Mengurangi jumlah ASI yang di produksi
b) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak
perdarahan
c) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat
bayi dan dirinya sendiri.
4) Kebersihan
Menurut Kemekes RI (2013), ibu nifas perlu melakukan
kebersihan diri untuk mengurangi infeksi dan meningkatkan
perasaan nyaman. Hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Membersihkan daerah vulva dari depan ke belakang setelah
buang air kecil atau besar dengan sabun dan air.
b) Mengganti pembalut dua kali sehari
c) Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan daerah kelamin
d) Menghindari menyentuh daerah luka episiotomi atau laserasi
5) Kebutuhan Seksual
Kebutuhan informasi dan konseling tentang hubungan seksual
merupakan salah satu pertanyaan yang banyak diajukan pada
masa pasca persalinan. Hubungan seksual dilakukan begitu darah
berhenti dan ibu tidak merasa ketidaknyamanan, maka aman
untuk memulai melakukan hubungan suami istri kapan saja ibu
siap. Setelah 8 minggu pasca persalinan, hanya 71% responden
menyatakan telah melakukan hubungan seksual dan pada 10
minggu 90% diantara perempuan yang memiliki pasangan telah
melakukan hubungan seksual. Menyusui lebih berpengaruh pada
penurunan aktivitas seksual apabila dibandingkan dengan
penggunaan susu formula.
6) Keluarga Berencana
Informasi mengenai penggunaan kontrasepsi pada masa
postpartum sangat berguna bagi ibu nifas untuk memberikan
batasan jarak anak atau mencegah terjadinya kehamilan.
Kontrasepsi yang cocok untuk ibu pada masa nifas antara lain
adalah metode amenorhea laktasi (MAL), pil progestrin (mini
pil), kontrasepsi implan, dan alat kontrasepsi dalam Rahim.
7) Latihan / Senam Nifas
Pada masa nifas organ-organ tubuh wanita akan kembali
seperti semula sekitar 6 minggu. Oleh karena itu, ibu dianjurkan
untuk melakukan senam nifas sejak hari pertama melahirkan
sampai dengan hari ke sepuluh dengan cara sebagai berikut:
Menarik otot perut bagian bawah selagi menarik napas dalam
posisi tidur terlentang dengan lengan disamping, tahan napas
sampai hitungan 5, angkat dagu ke dada, ulangi sebanyak 10 kali.
Berdiri dengan kedua tungkai dirapatkan. Tahan dan kencangkan
otot pantat, pinggul sampai hitungan 5, ulangi sebanyak 5 kali
(Kemenkes RI, 2013).
i. Kunjungan Masa Nifas.
1) Asuhan masa nifas berdasarkan waktu kunjungan nifas (Sukma,
dkk. 2017):
a) Kunjungan I (6-8 jam setelah persalinan)
(1) Mencegah perdarahan masa nifas
(2) Mendeteksi dan merawat penyebab perdarahan, rujuk bila
perdarahan berlanjut.
(3) Pemberian ASI awal, 1 jam setelah Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) berhasil dilakukan.
(4) Melakukan hubungan antara ibu dan bayi
(5) Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi.
b) Kunjungan II (6 hari setelah persalinan)
(1) Memastikan involusi uteri berjalan normal, uterus
berkontraksi fundus dibawah umbilicus, tidak ada
perdarahan abnormal dan tidak ada bau menyengat.
(2) Menilai adanya tanda demam, infeksi atau perdarahan
abnormal.
(3) Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak ada
tandatanda penyulit dalam menyusui.
(4) Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada
bayi yaitu perawatan tali pusat, menjaga bayi agar tetap
hangat dan merawat bayi sehari-har.
c) Kunjungan III (2 minggu setelah persalinan).
(1) Memastikan involusi uteri berjalan normal, uterus
berkontraksi fundus dibawah umbilicus, tidak ada
perdarahan abnormal dan tidak ada bau menyengat.
(2) Menilai adanya tanda demam, infeksi atau perdarahan
abnormal.
(3) Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan
istirahat. Dan memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak ada tanda-tanda penyulit dalam menyusui.
(4) Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada
bayi yaitu perawatan tali pusat, menjaga bayi agar tetap
hangat dan merawat bayi sehari-hari.
d) Kunjungan IV (6 minggu setelah persalinan)
(1) Menanyakan pada ibu tentang keluhan dan penyulit yang
dialaminya.
(2) Memberikan konseling untuk menggunakan KB secara
dini.
j. Komplikasi Masa Nifas
Beberapa komplikasi yang terjadi pada ibu selama masa nifas antara
lain sebagai berikut :
1) Pervaginam
Perdarahan Perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml
setelah persalinan didefinisikan sebagai perdarahan postpartum
(Nugroho dkk, 2014). Klasifikasi perdarahan postpartum dibagi
menjadi 2 antara lain sebagai berikut (Astuti dkk, 2015).
2) Perdarahan Postpartum Primer
Pedarahan postpartum primer merupakan perdarahan pasca
persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran.
Penyebab utama perdarahan primer adalah atonia uteri, retensio
plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
3) Perdarahan Prostpartum Sekunder
Perdarahan postpartum sekunder merupakan perdarahan pasca
persalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran.
Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
k. Infeksi Masa Nifas.
Infeksi adalah invasi jaringan oleh mikroorganisme patogen,
hingga menyebabkan kondisi sakit karena virulensi dan jumlah
mikroorganisme patogen tersebut. Infeksi nifas adalah infeksi yang
berasal dari saluran reproduksi selama persalinan atau puerperium
(Astuti dkk, 2015). Gejala umum infeksi dapat dilihat dari temperature
atau suhu pembengkakan takikardi dan malaise. Sedangkan gejala
lokal dapat berubah uterus lembek, kemerahan, dan rasa nyeri pada
payudara atau adanya disuria. Ibu beresiko terjadi infeksi postpartum
karena adanya luka pada bekas pelepasan plasenta, laserasi pada
saluran genital termasuk episiotomi pada perineum, dinding vagina
dan serviks, infeksi post SC yang mungkin terjadi (Nugroho dkk,
2014).

2. Rupture Perineum
a. Pengertian Rupture Perineum.
Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil konsepsi
(janin dan plasenta) dari intra uterin ke ekstra uterin yang seringkali
mengakibatkan perlukaan jalan lahir (Sampara et al., 2020). Luka
perineum ditemukan sekitar 70% pada wanita yang melahirkan
pervaginam (Rohmin et al., 2019). Luka perineum (rupture perineum)
adalah perlukaan yang terjadi pada saat proses persalinan berlangsung
yang disebabkan karena adanya robekan di daerah perineum baik
secara spontan atau sengaja digunting (episiotomi) dengan tujuan agar
mempermudah lahirnya bayi. Robekan ini terjadi pada hampir semua
persalinan primipara maupun multigravida (Pitriani and Afni, 2019).
Luka perineum (rupture perineum) adalah robekan yang
terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan
menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi
pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir
terlalu cepat. Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan
berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan
mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan. Perawatan
perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva (Rostika et al.
2020).
b. Tingkat Luka Perineum.
1) Derajat I : Robekan ini meliputi mukosa vagina, kulit perineum
tepat dibawahnya. Pada umumnya robekan tingkat 1 dapat sembuh
sendiri dan penjahitan tidak diperlukan serta akan menyatu dengan
baik.
2) Derajat II : Robekan meliputi mucosa vagina, kulit perineum dan
otot perineum. Penanganan luka dilakukan setelah diberikan
anestesi lokal kemudia otot-otot diafragma urogennitalis
dihubungkan di garis tengan dengan jahitan kemudian luka pada
vagina dan kulit perineum ditutupi dengan cara mengikut sertakan
jaringan-jaringan di bawahnya.
3) Derajat III : Robekan ini meliputi mukosa vagina, kulit perineum,
otot perineum dan otot spingterani ekternal. Pada robekan partialis
derajat ketiga yang robek hanyalahh spingter.
4) Derajat IV : Robekan derajat 4 merupakan robekan total sampai
spinter recti terpotong dan laserasi meluas sehingga dinding
anterior rektum dengan jarak yang sangat bervariasi (Narsih et
al,2019).

Gambar 2.1

c. Penyebab Luka Perineum


1) Garis tengah perineum dan bida yang luas.
2) Bagian terendah janin lahir terlalu cepat
3) Persalinan persipitatus tidak terkendali
4) Paritas
5) Jaringan parut
6) Bayi besar
7) Distosia bahu
8) Perluasan episiotomy
9) Perineum kaku
10) Persalinan kelainan letak, posisi kepala yang abnormal, misalnya:
presentasi muka dan occipitoposterior. (Fauziah et al, 2020).
d. Tanda Gejala Robekan Jalan Lahir.
1) Tanda dan gejala yang selalu ada
a) Perdarahan segar
b) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
c) Uterus kontraksi baik
d) Plasenta baik
2) Tanda dan gejala yang kemungkinan ada
a) Pucat
b) Lemah
c) Menggigil (Mochtar, 2016).
e. Penanganan Rupture Perineum.
1) Untuk mencegah luka yang jelek dan tepi luka yang tidak rata serta
kurang bersih, pada beberapa keadaan dilakukan episiotomy, pada
keadaan lain cukup dengan pimpinan persalinan yang baik.
2) Apabila di jumpai robekan perineum, dilakukan penjahitan luka
lapis demi apis agar tidak terjadi ruang kosong yang terbuka ke
arah vagina (dead space). Ruang tersebut dapat dimasuki bekuan-
bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya
penyembuhan luka.
a) Berikan antibiotic yang cukup.
b) Pada luka perineum lama (old perineal tear), lakukan
perineoplasty dengan membuat luka baru dan menjahitnya
kembali sebaik-baiknya (sofian, 2013).
f. Prinsip Yaang Harus Diperhatikan Dalam Menangani Rupture
Perineum
1) Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,
segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio
plasenta atau plasenta tidak lahir lengkap.
2) Bila plasenta telah lahir lengkapdan kontraksi uterus baik, dapat
dipastikan bahwa perdarahan tersebu berasal dari perlukaan pada
jalan lahir, selanjutnya dilakukan pejahitan.
g. Meminimalisir Derajat Rupture Perineum.
Menurut Mochtar (2016) persalinan yang salah merupakan salah
satu sebab terjadinya rupture perineum. Kerjasama dengan ibu dan
penggunaan prasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala,
bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau
meminimalkan robekan pada perineum. Cara-cara yang dianjurkan
untuk meminimalkan terjadinya rupture perineum diantaranya:
1) Saat kepala membuka vulva (5-6 cm), penolong meletakan kain
yang bersih dan kering yang dilipat 1/3 dibawah bokong ibu dan
menyiapkan kain atau handuk bersih diatas perut ibu, untuk
mengeringkan bayi segera setelah lahir.
2) Melindungi perineum dengan satu tangan dengan kain bersih dan
kering, ibu jari pada salah satu sisi perineum dan empat jari tangan
pada sisi yang lain pada belakang kepala bayi.
3) Menahan belakang kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada
saat keluar secara bertahap melewati introitus dan perineum.
4) Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala, bahu,
dan seuruh tubuh bayi secara bertahap dengan hati-hati dapat
mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada vagina dan
perineum.
h. Tata Laksana Rupture Perineum
Tatalaksana ruptur perineum antara lain yaitu pada rupture
derajat I, robekan diperbaiki dengan sangat sesederhana, derajat II
memiliki robekan yang lebih dalam sehingga penjahitan dilakukan
lapis demi lapis, adapun derajat III dan IV biasanya dilakukan oleh
dokter umum dan obgyn disebabkan dalamnya luka rupture hingga
dapat mencapai rectum sehingga perlu diperbaiki lapis demi lapis.
i. Cara Menjahit Rupture Perineum.
2) Prinsip Dasar penjahitan Perineum :
a) Ibu dalam posisi litotomi
b) Penggunaan cahaya yang cukup terang
c) Tindakan cepat
d) Teknik yang steril
e) Bekerja dengan hati-hati
3) Mempersiapkan penjahitan
a) Bantu ibu dengan posisi litotomi
b) Tempat kain bersih dibawah bokong ibu
c) Jika pencahayaan kurang letakkan lampu sorot
d) Gunakan teknik aseptic pada saat memeriksa robekan atau
episiotomy, kemudian siapkan anastesi lokal dengan lidocain
1%.
e) Gunakan sarung tangan steril
f) Gunakan kasa yang telah disterilkan untuk menyeka vulva,
vagina, dan perineum.
g) Periksa perineum secara lengkap untuk mengetahui berapa
derajat luka perineum, pastikan hhanya merupakan derajat I
atau II
h) Siapkan jarum dan benang
i) Berikan anastesi local
a) elaskan pada ibu bahwa akan dilakukan anastesi lokal dan
anjurkan ibu untuk rileks
b) Tusukan jarum dri tepi luka pada perbatasan antara mukosa
dan kulit perineum kearah perineum. Lakukan aspirasi
memeriksa adaya pembuluh darah dari pembuluh darah yang
tertusuk.
c) Ulangi penyuntikan pada sisi-sisi luka, masing-masing luka
akan memerlukan kira-kira 5ml lidocain 1%. Tunggu selama 2
menit agar anastesi lokal bereaksi.
4) Langkah penjahitan luka perineum
a) Siapkan jarum catgut dan gunting
b) Robekan perineum derajat 1, pada umunya dapat sembuh
sendiri dan tidak perlu dijahit, tetapi harus dilihat lagi apakah
meluas dan terus mengeluarkan darah. Jika perdarahan banyak
dapat digunakan jahitan angkat 8 karena jahitan ini kurang
menimbulkan tegangan
c) Robekan derajat 2. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm
diatas ujung laserasi dimukosa vagina. Setelah itu buat ikatan
dan potong pendek benang dari yang lebih pendek, sisakan
benang kira-kira 1 cm
d) Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit kebawah
kearah cincin hymen
e) Tepat sebelum cincin hymen, masukan jarum kedalam mukosa
vagina kemudian ditarik keluar pada luka
f) Gunakan tekhnik jelujur saat mejahit lapisan otot. Lihat
kedalaman luka untuk mengetahui letak ototnya
g) Setelah dijahit sampai ujung luka putarlah jarum dan mulailah
menjahit kearah vagina menggunakan teknik subkutikuler.
h) Pindahkan jahitan dari bagian luka perineum kevagina
dibelakang cincin hymen untuk diikat dan disimpul dan potong
benangnya
i) Lakukan pemeriksaan ulang pada vagina untuk memastikan
jahitan sudah rapih dan tidak ada kasa yang tertinggal.
j) Dengan lembut masukan jari kedalam anus untuk memastikan
anus tidak terjahit
k) Cuci area genetalia dengan lembut dengan air bersih, kemudian
keringkan. Bantu pasien mencari posisi yang nyaman
(Williams, 2016).
j. Perawatan Luka Rupture Perineum Menurut APN
1) Menjaga agar perineum selalu bersih dan kering.
2) Menghindari pemberian obat tradisional
3) Menghindari pemakaian air panas untuk berendam
4) mencuci luka dan perineum dengan air dan sabun 3-4 kali sehari
5) Kontrol ulang maksimal seminggu setelah persalinan untuk
pemeriksaan penyembuhan luka.
k. Waktu Perawatan Perineum
1) Saat Mandi
Pada saat mandi,ibu postpsrtum pasti melepas pembalut,setelah
terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada
cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu
dilakukan penggantian pembalut. Demikian pula pada perineum
ibu, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.
2) Setelah Buang Air Kecil
Pada saat buang air kecil kemunginan besar terjadi kontaminasi
air seni pada rectum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri
pada perineum, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.
3) Pada Saat Buang Air Besar.
Diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus,
diperlukan mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke
perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses
pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan (Rukiyah Y,
2018)

l. Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Perineum


1) Gizi
Gizi sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
pada perineum karena penggantian jaringan sangat membutuhkan
protein.
2) Keturunan
Genetik seseorang akan mempengaruhi kemampuan dirinya
dalam penyembuhan luka. Salah satunya yaitu berpengaruh
terhadap kemampuan sekresi insulin dapat dihambat, sehingga
menyebabkan glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan
protein- kalori.
3) Sarana dan Prasarana
Kemampuan ibu dalam menyediakan obat-obatan baik secara
farmakologis maupun non farmakologis untuk perawatan
perineum akan sangat mempengaruhi penyembuhan perineum,
seperti kemampuan ibu dalam menyediakan antiseptik.
4) Budaya dan Keyakinan
Budaya dan keyakinan sesorang akan sangat mempengaruhi
penyembuhan perineum, kebiasaan yang lumrah dimasyarakat
seperti tidak boleh makan telur, ikan, dan daging ayam akan
mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat mempengaruhi
penyembuhan luka.
5) Mobilisasi Dini
Mobilisasi dilakukan secara bertahap. Yaitu diawali dengan
gerakan miring kekanan dan kekiri diatas tempat tidur, duduk
kemudian berjalan setelah 2-3 jam pertama setelah melahirkan.
Ambulasi dini (early ambulation) adalah mobilisasi segera setelah
melahirkan dengan membimbing ibu untuk bangun dari tempat
tidurnya. Ibu post partum diperbolehkan bangun dari tempat
tidurnya dan berjalan 24-28 jam setelah melahirkan
6) Kondisi Kesehatan Ibu
Kondisi kesehatan ibu merupakan suatu hal yang perlu
diperhatikan karena dapat mempengruhi lamanya proses
penyembuhan luka perineum. Berdasarkan penelitian (Rohmin et
al.,2019) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara usia, mobilisasi dini, paritas dan jenis luka dengan lama
penyembuhan luka perineum. Kondsi kesehatan ibu baik secara
fisik maupun mental, dapat mempengaruhi lamanya proses
penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat
diri dengan baik dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan enelitian
yang dilakukan oleh (Sulistianingsih dkk, 2019) yang
menunjukan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesembuham luka perineum secara signifikan adalah pendidikan,
pantang makanan, jenis jahitann, pengetahuan perawatan
perineum, perawatan perineum, resep obat dan jenis luka. Faktor
yang paling dominan adalah pantang makanan.
. m. Fase-Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan
fungsi jaringan yang rusak. Sifat penyembuhan pada semua luka
bervariasi, bergantung pada lokasi, keparahan dan luas cidera. Ada 3
fase penyembuhan luka yaitu :
1) Fase Inflamasi
Fase ini terjadi sejak terjadinya injuri hingga sekitar hari kelima.
Pada fase inflamasi, terjadi proses :
a) Hemostasis (usaha tubuh untuk menghentikan perdarahan), di
mana pada proses ini terjadi :
(1) Konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi)
(2) Agregasi platelet dan pembentukan jala-jala fibrin
(3) Aktivasi serangkaian reaksi pembekuan darah
b) Inflamasi, di mana pada proses ini terjadi :
(a) Peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi yang
disertai dengan migrasi sel-sel inflamasi ke lokasi luka.
(b) Proses penghancuran bakteri dan benda asing dari luka
oleh neutrofil dan makrofag.
2) Fase Prolifasi
Fase ini berlangsung sejak akhir fase inflamasi sampai sekitar 3
minggu. Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, dan terdiri
dari proses :
a) Angiogenesis Adalah proses pembentukan kapiler baru yang
distimulasi oleh TNF-α2 untuk menghantarkan nutrisi dan
oksigen ke daerah luka.
b) Granulasi Yaitu pembentukan jaringan kemerahan yang
mengandung kapiler pada dasar luka (jaringan granulasi).
Fibroblas pada bagian dalam luka berproliferasi dan
membentuk kolagen.
c) Kontraksi Pada fase ini, tepi-tepi luka akan tertarik ke arah
tengah luka yang disebabkan oleh kerja miofibroblas sehingga
mengurangi luas luka. Proses ini kemungkinan dimediasi oleh
TGF-β.
d) Re-epitelisasi Proses re-epitelisasi merupakan proses
pembentukan epitel baru pada permukaan luka.
3) Fase Maturasi dan Remodelling
Fase ini terjadi sejak akhir fase proliferasi dan dapat
berlangsung berbulan-bulan. Pada fase ini terjadi pembentukan
kolagen lebih lanjut, penyerapan kembali sel-sel radang, penutupan
dan penyerapan kembali kapiler baru serta pemecahan kolagen
yang berlebih. Selama proses ini jaringan parut yang semula
kemerahan dan tebal akan berubah menjadi jaringan parut yang
pucat dan tipis. Pada fase ini juga terjadi pengerutan maksimal
pada luka. Jaringan parut pada luka yang sembuh tidak akan
mencapai kekuatan regang kulit normal, tetapi hanya mencapai
80% kekuatan regang kulit normal (Kemenkes, 2022).
B. TEORI MANAJEMEN KEBIDANAN
1. Definisi Manajemen Kebidanan
Manajemen Kebidanan adalah suatu metode proses berfikir logis
simetris dalam memberikan asuhan kebidanan, agar menguntungkan
kedua belah pihak klien maupun pemberi asuhan. Oleh karena itu,
manajemen kebidanan merupakan alur fikir bagi seorang bidan dalam
memberikan arah / kerangka dalam menangani kasus yang menjadi
tanggung jawabnya. Manajemen kebidanan merupakan proses
perencanaan masalah yang digunakan sebagai metode untuk
mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ulmiah,
temuan-temuan, keterampilan suatu keputusan yang berfokus pada klien.
Dan adapun pengertian Manajemen Kebidanan menurut beberapa sumber
:
a. IBI (Ikatan Bidan Indonesia)
Manajemen Kebidanan adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap
pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan antenatal, persalinan,
nifas, menyusui, bayi baru lahir, reproduksi dan kontrasepsi, serta
pelayanan kebidanan lainnya, dengan mengedepankan keamanan,
keselamatan, kualitas, dan kepuasan pasien serta optimalisasi sumber
daya yang ada, Manajemen kebidanan juga mencakup
pengembangan sumber daya manusia bidan dan pemantauan
pelayanan kebidanan. (IBI, 2020).
b. Mentri Kesehatan RI
Manajemen Kebidanan adalah pengorganisasian dan
koordinasi dari sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta
pelayanan kebidanan yang tepat guna dan bermutu dalam rangka
pencegahan dan pengurangan komplikasi kehamilan, persalinan, dan
nifas peningkatan kualitas hidup ibu dan bayi baru lahir. (Menteri
Kesehatan RI Nomor 26 Tahun 2020).
c. Helen Varney
Buku helen varney telah direvisi beberapa kali dan edisi
terbaru pada tahun 2019. Menurut Varney’s Midwifery, manajemen
kebidanan dapat di idefinisikan sebagai suatu proses pengambilan
keputusan dan tindakan yang melibatkan pengelolaan sumber daya,
organisasi dan pengarahan dalam rangka memberikan pelayanan
kebidanan yang berkualitas tinggi kepada perempuan dan bayinya.
Dalam manajemen kebidanan, keputusan dan tindakan yang diambil
harus didasarkan pada bukti ilmiah dan praktek terbaik yang
tersedia, serta memperhatikan prinsip-prinsip etika dan hak asasi
manusia. Manajemen kebidanan meliputi perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, dan pengawasan pelayanan kebidanan, serta pengelolaan
sumber daya manusia, sumber daya materi dan sumber daya
finansial yang terlibat dalam pelayanan kebidanan. (Varney. H,
2019).
2. Langkah-Langkah Manajemen Kebidanan Menurut Varney
a. Langkah 1 : Pengumpulan data dasar
Pada langkah ini kita harus mengumpulkan semua informasi yang
akurat
dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien,
untuk peroleh data yang dilakukan dengan cara :
1) Anamnesa
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan
tanda-tanda vital
3) Pemeriksaan khusus
4) Pemeriksaan penunjang
Bila klien mengalami komplikasi yang perlu dikonsultasikan
kepada dokter dalam penatalaksanaan maka kita perlu melakukan
konsultasi atau kolaborasi dengan sokter. Tahap ini merupakan
langkah awal yang akan menentukan langkah berikutnya, sehingga
kelengkapan data sesuai dengan kasus yang dihadapi akan
menentukan proses interpretasi yang benar atau tidak dalam tahap
selanjutnya, sehingga kita harus melakukan pendekatan yang
komprehensif meliputi data subjektif, objektif dan hasil
pemeriksaan sehingga dapat menggambarkan kondisi / masukan
klien yang sebenarnya dan valid. (Modul Kebidanan, 2021).
b. Laagkah II : Interpreteasi data dasar atau Analisa Data
Pada langkah ini kita akan melakukan identifikasi terhadap diagnose
atau masalah berdasarkan interpretasi yang akurat atas data yang
telah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan
diagnose dan masalah yang spesifik. Rumusan diagnosa dan masalah
keduanya digunakan karena masalah yang terjadi pada klien tidak
dapat didefinisikan seperti diagnose tetapi membutuhkan
penanganan. Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang
dialami wanita yang diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan hasil
pengkajian. Masalah juga sering menyertai diagnose. Diagnose
kebidanan adalah diagnose yang ditegakkan bidan dalam lingkup
praktik kebidanan dan memenuhi nomenklatus diagnose kebidanan
(Modul Kebidanan, 2021). Standar nomenklatur diagnose kebidanan
adalah seperti dibawah ini :
1) Diakui dan telah disahkan oleh profesi
2) Berhubungan langsung dengan praktik kebidanan
3) Memiliki ciri khas kebidanan
4) Didukung oleh clinical judgement dalam praktik kebidanan
5) Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan
c. Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial
Pada langkah ini kita akan mengidentifikasi masalah potensial
atau diagnose potensial berdasarkan diagnose / masalah yang sudah
diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila
memungkinkan dapat dilakukan pencegahan. Pada langkah ketiga ini
bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi masalah potensial tidak
hanya merumuskan masalah potensial yang akan terjadi tetapi juga
merumuskan Tindakan antisipasi penanganan agar masalah atau
diagnose potensial tidak terjadi (Modul Kebidanan, 2021).
d. Langkah IV : Mengidentifikasi tindakan segera
Pada Langkah ini kita akan mengidentifikasi perlunya
Tindakan segera oleh bidan atau dokter dan atau untuk
dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim
Kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah ini
mencerminkan kesinambungan dari proses penatalaksanaan
kebidanaan. Jadi, penatalaksanaan bukan hanya selama asuhan
primer periodic atau kunjungan prenatal saja tetapi juga selama
wanita tersebut bersama bidan terus-menerus.
Pada penjelasan diatas menunjukkan bahwa bidan dalam melakukan
Tindakan harus sesuai dengan priorotas malasah / kebutuhan yang
dihadapi klien. Setelah bidan merumuskan tindakan yang perlu
dilakukan untuk mengantisipasi diagnose / masalah potensial pada
langkah sebelumnya, bidan juga harus merumuskan Tindakan
emergency / segera untuk ditangani baik ibu maupun bayinya.
Dalam rumusan ini termasuk Tindakan segera yang mampu
dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau yang bersifat rujukan.
(Modul Kebidanan, 2021).
e. Langkah V : Merencanakan tindakan asuhan kebidanan
Pada Langkah ini kita harus merencanakan asuhan secara
menyeluruh yang ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya.
Langkah ini merupakan kelanjutan penatalaksanaan terhadap
masalah sebelumnya. Pada langkah ini informasi data yang tidak
lengkap dapat dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak
hanya meliputi apa-apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien
atau dari masalah yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman
antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan
akan terjadi berikutnya, apakah dibutuhkan penyuluhan konseling
dan apakah perlu merujuk klien bila ada masalahmasalah yang
berkaitan dengan sosial ekonomi-kultural atau masalah psikologi.
(Modul Kebidanan, 2021).
f. Langkah VI : Melaksanakan tindakan asuhan kebidanan
Pada langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti
yang telah diuraikan pada langkah ke lima dilaksanakan secara aman
dan efisien. Perencanaan ini dibuat dan dilaksanakan seluruhnya
oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien atau anggota tim kesehatan
lainnya. Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri, bidan tetap
bertanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya. Dalam
kondisi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani
klien yang mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam
penatalaksanaan asuhan bagi klien adalah tetap bertanggung jawab
terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh
tersebut. Pelaksanaan yang efisien akan menyangkut waktu dan
biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien (Modul Kebidanan,
2021).
g. Langkah VII : Evaluasi tindakan asuhan kebidanan
Tindakan asuhan kebidanan pada langkah ini dilakukan
evaluasi
keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan
kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi didalam diagnosa
dan masalah. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang
benar-benar efektif dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah proses
penatalaksanaan umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas
proses pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi
pada proses klinis, karena proses penatalaksanaan tersebut
berlangsung di dalam situasi klinik, maka dua langkah terakhir
tergantung pada klien dan situasi klinik (Modul Kebidanan, 2021).
3. Data Perkembangan SOAP.
a. Definisi SOAP
SOAP adalah catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis,
dantertulis. Model SOAP sering digunakan dalam catatan
perkembangan pasien. Seorang bidan hendaknya menggunakan
SOAP setiap kali dia bertemu dengan pasiennya. Selama antepartum,
seorang bidan bisa menulis satu catatan SOAP untuk setiap
kunjungan, sementara dalam masa intrapartum, seorang bidan boleh
menulis lebih dari satu catatan untuk satu pasien dalam satu hari.
b. Format SOAP
Format SOAP ini terdiri dari empat komponen utama, yaitu:
1) Subjektif (subjective) Informasi yang diperoleh dari pasien atau
keluarganya tentang keluhan, riwayat medis, riwayat obstetri,
dan sebagainya.
2) Objektif (objective) Informasi yang diperoleh melalui
pemeriksaan fisik, hasil tes laboratorium, dan sebagainya
3) Evaluasi (Assessment) Diagnosis atau penilaian kondisi pasien
berdasarkan informasi subjektif dan objektif.
4) Rencana (plan) Tindakan yang akan diambil berdasarkan hasil
evaluasi, termasuk rencana tindak lanjut, pengobatan, dan
monitoring. Sebagai bidan.SOAP digunakan untuk membuat
catatan medis tentang ibu hamil dan bayi yang di bawah
pengawasan. Dengan format ini, bidan dapat memantau
perkembangan ibu hamil dan bayinya secara teratur,
mengevaluasi kondisi kesehatan mereka, dan membuat rencana
perawatan yang sesuai.(Varney 's Midwifery, 2014).
Perencanaan
Membuat rencana tindakan pada saat itu atau yang akan datang.
Untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien yang sebaik
mungkin atau menjaga mempertahankan kesejahteraannya.
Implementasi
Pelaksanaan rencana tindakan untuk menghilangkan dan
mengurangi masalah klien. Tindakan ini harus disetujui oleh
klien kecuali bila tidak dilaksanakan akan membahayakan
keselamatan klien.
Evaluasi
Tafsiran dari efek tindakan yang telah di ambil merupakan hal
penting untuk menilai keefektifan asuhan yang diberikan.
Analisis dari hasil yang di capai menjadi focus dari ketepatan
nilai tindakan.
C. TEORI HUKUM KEWENANGAN BIDAN
1. Wewenang Bidan
Dalam PERMENKES RI NOMOR 28 TAHUN 2017 pada BAB III
tentang penyelenggaraan keprofesian dalam bagian kedua kewenangan
yang meliputi :
a. Pasal 18
Dalam penyelenggaraan praktik kebidanan, bidan memiliki
kewenangan untuk memberikan:
1) Pelayanan kesehatan ibu
2) Pelayanan kesehatan anak
3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana.
b. Pasal 19
1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksut dalam pasal 18
huruf a diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa
persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara dua
kehamilan.
2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksut pada ayat (1)
meliputi pelayanan :
a) Konseling pada masa sebelum hamil
b) Antenatal pada kehamilan normal
c) Persalinan normal
d) Ibu nifas normal
e) Ibu menyusui dan
f) Konseling pada masa antara dua kehamilan.
3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana di
maksut pada ayat (2), bidan berwenang melakukan :
a) Episitomi
b) Pertolongan persalinan normal
c) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
d) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan
perujukan
e) Pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil
f) Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
g) Fasilitas/bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air
susu ibu eksklusif
h) Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala III dan
postpartum
i) Penyuluhan dan konseling
j) Bimbingan pada kelompok ibu hamil
k) Pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran
c. Pasal 20
Bidan juga berwenang memberikan pelayanan kesehatan anak yang
dijelaskan pada Pasal 20, meliputi :
1) Memberikan pelayanan neonatal esensial.
2) Penanganan kegawatdaruratan, dialnjutkan dengan perujukan.
3) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak
prasekolah.
4) Memberikan konseling dan penuyuluhan.
d. Pasal 21
Pasal 21 Permenkes RI No. 28 tahun 2017 menjelaskan wewenang
bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluargaberencana meliputi:
1) Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana.
2) Pelayanan kotrasepsi oral, kondom, dan suntikan
Selain wewenang yang telah dijelaskan pada Pasal 18, bidan
juga memiliki
kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan penugasan dari
pemerintah
sesuai kebutuhan dan pelimpahan wewenang melakukan
tindakan pelayanan
kesehatan sencara mandat dari dokter.

2. Standar Profesi Bidan


Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan RI No. 320 Tahun 2020
Tentang Standar Profesi Bidan. “Kompetensi Bidan adalah kemampuan
yang dimiliki oleh lulusan Pendidikan profesi bidan yang meliputi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam memberikan pelayanan
kebidanan pada bayi baru lahir/neonatus, bayi, balita, dan anak pra
sekolah, remaja, masa sebelum hamil, masa kehamilan, masa persalinan,
masa pasca keguguran, masa nifas, masa antara dua kehamilan,
pelayanan keluarga berencana, masa klimakterum, kesehatan reproduksi
dan seksualitas perempuan, serta keterampilan dasar praktik klinis
kebidanan “.(Kepmenkes RI No. 320 Tahun 2020 Tentang Standar
Profesi Bidan )
3. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2021 Tentang “Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan ,Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual”.
Yang meliputi :
a. Pasal 21
1) Dalam Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan meliputi:
a) pelayanan kesehatan bagi ibu;
b) pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir; dan
c) pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak.
2) Pelayanan Kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan paling sedikit 4 (empat) kali yang meliputi:
a) 1 (satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua)
hari pascapersalinan.
b) 1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh)
hari pascapersalinan.
c) 1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28
(dua puluh delapan) hari pascapersalinan.
d) 1 (satu) kali pada periode 29 (dua puluh sembilan) hari sampai
dengan 42 (empat puluh dua) hari pascapersalinan.
3) Dalam Pelayanan kesehatan yang diberikan pada periode
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan
pelayanan kesehatan di luar pelayanan persalinan dan dapat
dilakukan sebelum ibu dipulangkan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19.
4) Pelayanan kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi:
a) pemeriksaan dan tata laksana menggunakan algoritma tata
laksana terpadu masa nifas;
b) identifikasi risiko dan komplikasi;
c) penanganan risiko dan komplikasi;
d) konseling; dan
e) pencatatan pada buku kesehatan ibu dan anak, kohort ibu dan
kartu ibu/rekam medis.
5) Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali yang
meliputi :
a) 1 (satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua)
hari pascapersalinan.
b) 1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh)
hari pascapersalinan.
c) 1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28
(dua puluh delapan) hari pascapersalinan.
6) Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terintegrasi dengan
pelayanan kesehatan bagi ibu yang meliputi:
a) pelayanan kesehatan neonatal esensial dengan mengacu pada
pendekatan manajemen terpadu balita sakit.
b) skrining bayi baru lahir;
c) stimulasi deteksi intervensi dini pertumbuhan perkembangan,
dan
d) pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi kepada ibu dan
keluarganya mengenai perawatan dan pengasuhan bayi baru
lahir.
7) Pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar
pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pasal 22
Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan dilaksanakan sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran
I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
D. STANDAR PELAYANAN BIDAN
Pelayanan Kebidanan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh bidan secara mandiri, kolaborasi, dan/atau rujukan. Standar Pelayanan
Kebidanan adalah pedoman yang diikuti oleh bidan dalam melakukan
pelayanan kebidanan. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari
pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Permenkes No 21 Tahun 2021 menyatakan
bahwa pelayanan kebidanan dilakukan mulai kesehatan masa sebelum hamil,
masa hamil, persalinan dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan
pelayanan kontrasepsi serta pelayanan kesehatan seksual. Adapun pelayanan
tersebut yaitu:
1) Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja
hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi
hamil sehat
2) Pelayanan kesehatan masa hamil adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga
melahirkan
3) Pelayanan kesehatan persalinan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6
(enam) jam setelah melahirkan.
4) Pelayanan kesehatan masa sesudah melahirkan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang ditujukan pada selama masa nifas dan
pelayanan yang mendukung bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2
tahun.
5) Pelayanan kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan
pemberian obat, pemasangan atau pencabutan alat kontrasepsi dan
tindakan-tindakan lain dalam upaya mencegah kehamilan.
6) Pelayanan kesehatan seksual adalah setiap kegiatan atau serangkaian yang
ditujukan pada kesehatan seksualitas.
Pengaturan penyelenggaraan pelayanan tersebut bertujuan untuk
mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir
(Kemenkes RI, 2021).

Anda mungkin juga menyukai