Anda di halaman 1dari 24

MODUL

Diklat Peningkatan Kapasitas Forecaster

METEOROLOGI
TROPIS

Oleh:
Ida Pramuwardani

Sub Bidang Prakiraan Cuaca


BMKG
2020
DAFTAR ISI

1. FAKTOR PENGENDALI CUACA DI INDONESIA...............................................1

2. UNSUR - UNSUR METEOROLOGI TROPIS (DI INDONESIA).......................... 2

2.1 Sirkulasi Walker................................................................................................ 2

2.2 Sirkulasi Hadley.................................................................................................4

3. FENOMENA - FENOMENA METEOROLOGI TROPIS (DI INDONESIA).........7

3.1 Angin pasat dan sabuk pertemuan antar tropis/ Inter Tropical Convergenze
Zone (ITCZ).............................................................................................................7

3.2 Gelombang ekuator, yang terdiri dari gelombang Kelvin, Rossby Ekuator,
Mix-Rossby Gravity (MRG), dan Inertia Gravity (IG)........................................... 8

3.3 Madden Julian Oscillation (MJO)................................................................... 10

3.4 Siklon Tropis................................................................................................... 13

3.5 Mesoscale Convective System (MCS)............................................................. 15

3.6 Intrusi udara kering/ Dry Intrusion.................................................................. 18

3.7 Seruakan dingin/ Cold Surge........................................................................... 20


1

1. FAKTOR PENGENDALI CUACA DI INDONESIA

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dibatasi oleh
dua samudera besar, yakni samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dua benua
dengan kondisi iklim yang sangat kontras, yakni benua Asia dan Australia,
berdampak pada variabilitas cuaca di Indonesia yang dipengaruhi oleh dua faktor
tersebut pada skala global - regional. Pada skala yang lebih kecil lagi yakni skala
lokal, variabiltas cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi bentuk topografis wilayah
Indonesia terdiri dari wilayah pantai, perbukitan dan pegunungan. Hal ini menjadikan
variasi harian yang sangat tinggi terhadap kondisi cuaca di Indonesia. Faktor regional
- global yang memiliki peran penting antara lain:
a. El-Nino Souther Oscillation (ENSO), yang terdiri dari La-Nina dan El-Nino
b. Indian Ocean Dipole (IOD)
c. Monsoon dan Cold Surge/ Seruakan Dingin
d. Fenomena - fenomena skala synop, antara lain fenomena angin pasat dan
Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), Madden Julian Oscillation (MJO),
siklon tropis, gelombang ekuator, intrusi udara kering.
e. Fenomena - fenomena skala meso yang tergabung dalam Mesoscale Convective
System (MCS)

Faktor regional - global di atas akan dibahas lebih detail pada bab selanjutnya.
Sementara itu, fenomena meteorologi pada skala lokal yang terjadi di Indonesia antara
lain:
a. Konvektifitas dari pemanasan sinar matahari
b. Angin darat - angin laut
c. Angin gunung - angin lembah

Di wilayah tropis, faktor lokal memiliki peran yang sangat penting dalam
mengendalikan cuaca, yang bervariasi secara harian. Meskipun demikian, faktor
regional-global yang berinteraksi dengan faktor lokal akan memberikan dampak
terhadap kondisi cuaca yang lebih ekstrem di wilayah Indonesia. Kondisi cuaca
ekstrem di Indonesia pada tahap selanjutya akan berdampak pada kejadian bencana
yang berkaitan dengan faktor hidrometeorologi, yakni banjir, longsor, kebakaran
hutan, angin kencang dan gelombang tinggi.
2

2. UNSUR - UNSUR METEOROLOGI TROPIS (DI INDONESIA)

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai unsur - unsur meteorologi tropis yang
berpengaruh di Indonesia, perlu terlebih dahulu memahami mengenai definisi dari
meteorologi tropis itu sendiri. Studi mengenai meteorologi tropis adalah kajian
mengenai kondisi cuaca di zona tropis yakni antara lintang ± 23,5 utara dan selatan.
Proses meteorologis yang mempengaruhi cuaca pada zona tropis diantaranya adalah:
- Cumulus convection, yang berkaian dengan aktifitas konvektif
- Surface heating, yakni proses pemanasan dari sinar matahari yang berasosiasi
dengan proses diurnal
- Interaksi laut/samudera yang kuat, yang kemudian membentuk pola - pola angin
tertentu baik musiman maupun harian.

Sirkulasi tropis yang terjadi di wilayah tropis khususnya di Indonesia yakni:


- Quasi Biennal Oscillation : merupakan sirkulasi zonal (barat - timur) yang secara
periodik terjadi di lapisan stratosfer dan memberikan pengaruh terhadap aktifitas
di lapisan bawahnya
- Hadley : merupakan sirkulasi meridional (utara - selatan) yang terjadi di lapisan
troposfer dan mempengaruhi kondisi cuaca di daerah tropis dari perubahan aliran
massa udara akibat perubahan lokasi optimum pemanasan sinar matahari di BBU
dan BBS
- Walker : merupakan sirkulasi zonal (barat - timur) yang terjadi pada lapisan
troposfer yang mempengaruhi kondisi cuaca di daerah tropis dari perubahan
aliran massa udara akibat perubahan lokasi gradien kolam hangat di sisi barat dan
sisi timur samudera.

2.1 Sirkulasi Walker

Sirkulasi Walker yang mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia terdiri atas 2 (dua)
unsur, yakni El Nino Souther Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
ENSO dipengaruhi oleh perbedaan kolam hangat di Samudera Pasifik Barat yakni
kepulauan maritim Indonesia, dengan di Samudera pasifik Timur yakni Amerika
Tengah - Selatan. Kedua fenomena ini merepresentasikan interaksi yang kuat antara
atmosfer dengan samudera sebagai media penyimpan energi yang selanjutnya
3

digunakan dalam pembentukan daerah - daerah bertekanan rendah/inti sirkulasi di


atmosfer. Sirkulasi walker terdiri dari 3 (tiga) fase, sebagai berikut:
- Normal/netral : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Pasifik yang
normal, dengan kemiringan landai ke arah benua maritim bagian timur (Samudera
Pasifik ekuator bagian barat) dan pusat tekanan rendah ada di wilayah tersebut,
sehingga pembentukan awan juga terkonsentrasi di wilayah tersebut.
- La Nina : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Pasifik yang
miring curam ke arah benua maritim bagian timur, yang kemudian menyebabkan
pusat tekanan rendah meluas ke arah benua maritim bagian barat akibat suhu
muka laut yang lebih tinggi di wilayah tersebut, sehingga pembentukan awan
terkonsentrasi di benua maritim Indonesia.
- El Nino : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Pasifik yang
miring sangat landai ke arah benua maritim bagian timur, yang kemudian
menyebabkan anomali angin pasat di pasifik ekuator bagian tengah - barat ke
arah timur (benua Amerika). Hal ini terjadi karena pusat tekanan rendah bergeser
ke arah Samudera Pasifik ekuator bagian tengah akibat suhu muka laut yang
tinggi di wilayah tersebut, sehingga daerah pembentukan awan terkonsentrasi di
wilayah tersebut. Kondisi ini menyebabkan defisit energi di benua maritim
Indonesia, yang kemudian menyebabkan kondisi yang lebih kering di wilayah
Indonesia.

Interkasi atmosfer - samudera lainnya yang mempengaruhi wilayah Indonesia


terutama bagian barat yakni fenomena IOD. Fenomena ini terjadi akibat perbedaan
kolam hangat antara Samudera Hindia bagian barat (timur benua Afrika) dengan
bagian timur (benua maritim Indonesia), dengan fase sebagai berikut:
- Normal/netral : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Hindia yang
normal, dengan kondisi yang datar antara benua maritim Indonesia dengan
Samudera Hindia bagian barat (timur benua Afrika). Hal ini menyebabkan tidak
ada perbedaan pembentukan tekanan rendah yang signifikan antara kedua
wilayah tersebut
- Positif : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Hindia yang miring
ke arah Samudera Hindia bagian barat (timur benua Afrika) akibat suhu muka
laut yang tinggi di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya pembetukan
daerah tekanan rendah yang signifikan di wilayah tersebut, sehingga
4

menyebabkan aliran massa udara bergerak dari benua maritim Indonesia ke arah
Samudera Hindia barat Afrika. Kondisi ini menyebabkan defisit energi di benua
maritim Indonesia, yang kemudian menyebabkan kondisi yang lebih kering di
wilayah Indonesia.
- Negatif : merupakan fase dengan kondisi termoklin Samudera Hindia yang
miring ke arah Samudera Hindia bagian timur (benua maritim Indonesia) akibat
suhu muka laut yang tinggi di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya
pembetukan daerah tekanan rendah yang signifikan di wilayah tersebut, sehingga
menyebabkan aliran massa udara bergerak dari Samudera Hindia barat Afrika ke
arah benua maritim Indonesia. Kondisi ini menyebabkan surplus energi di benua
maritim Indonesia, yang kemudian menyebabkan kondisi yang lebih basah di
wilayah Indonesia.

Penelitian terbaru menyebutkan bahwa interkasi ENSO dan IOD memiliki keterkaitan
yang kuat terhadap pembentukan cuaca ekstrem di Indonesia. Fase La Nina yang
terjadi bersamaan dengan fase IOD negatif akan mengakibatkan hujan yang lebih
ekstrem di Indonesia. Sebaliknya, Fase El Nino yang terjadi bersamaan dengan fase
IOD positif akan berdampak pada musim hujan dan musim kemarau yang lebih kering
dari kondisi normalnya.

2.2 Sirkulasi Hadley

Sebelum kita memahami mengenai sirkulasi hadley yang berpengaruh di Indonesia,


terlebih dahulu kita mengetahui sirkulasi global yang bergerak secara meridional
(utara - selatan) yang menjadi dasar dari sirkulasi hadley. Sirkulasi global terjadi
akibat perbedaan energi dari sinar matahari yang diterima pada lintang yang berbeda
di bumi. Berikut ini adalah pembagian sirkulasi global berdasarkan batasan lintangnya
di bumi:
- Ekuator - 30 LU/LS : Sirkulasi Hadley, dengan karakteristik naiknya (ascending)
massa udara diwilayah ekuator, sehingga terbentuk awan - awan konvektif di
wilayah tersebut. Daerah ini sering disebut sebagai Inter Tropical Convergence
Zone (ITCZ) atau sabuk pertemuan antar tropis.
- 30 - 60 LU/LS : Sirkulasi Ferrel, dengan karakteristik naiknya (ascending) massa
udara di wilayah lintang 60, sehingga terbentuk awan - awan konvektif di wilayah
5

tersebut. Sebaliknya wilayah pada lintang 30 akan terbentuk jet di troposfer


lapisan atas sebagai akibat dari pertemuan massa udara dari ekuator dan lintang
60. Di sekitar lintang ini kondisi udara akan stabil yang kemudian sering disebut
sebagai daerah lintang kuda atau tapak kuda.
- 60 - kutub : Sirkulasi Kutub, dengan karakteristik turunnya (descending) massa
udara di sekitar kutub yang menyebabkan kondisi cuaca di sekitar wilayah
tersebut menjadi stabil.

Kondisi cuaca di lintang tinggi (daerah subtropis) sebagian besar terjadi sebagai
akibat dari kondisi cuaca di daerah tropis, melalui proses sirkuasi global dari daerah
tropis (sirkulasi Hadley). Panas laten yang dilepaskan aktivitas konvektif dari energi
potensial di daerah tropis, kemudian ditransfer ke daerah lintang tinggi di atmosfer
lapisan atas sebagai energi kinetik. Pada wilayah subsidence (massa udara turun)
atmosfer lapisan atas di daerah subtropis, terbentuk subtropical jet yang kemudian
kekuatannya menjadi indikator pembentukan cuaca di daerah lintang tinggi/60 Pada
lapisan atas dari wilayah tersebut kemudian terbentuk daerah divergen, yang
kekuatannya juga dapat mengkontrol ektremitas pembentukan cuaca di lapisan
bawahnya. Wilayah tersebut kemudian disebut sebagai polar jet.

Sirkulasi Hadley di wilayah Indonesia erat kaitannya dengan aktifitas monsun yang
bersumber dari BBU dan dari BBS. Monsun memiliki definisi sebagai perubahan arah
angin di suatu wilayah dalam periode 6 (enam) bulan, yang berimplikasi pada kondisi
cuaca di wilayah tersebut (AMS Glossary). Monsun di Indonesia dan Malaysia
dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia (Ramage, 1971), dengan klasifikasi
sebagai berikut:
- musim dingin di BBS yang sering disebut sebagai monsun tenggara : terjadi pada
bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus, ketika monsun Australia aktif dan pemanasan
maksimal terjadi di BBU. Pada fase ini sebagian besar wilayah Indonesia akan
mengalami musim kemarau.
- transisi dari musim dingin BBS ke musim dingin BBU : terjadi pada bulan
September – Oktober
- musim dingin di BBU yang sering disebut sebagai monsun barat laut : terjadi
pada bulan Desember, Januari dan Februari, ketika monsun Asia aktif dan
pemanasan maksimal terjadi di BBS. Pada fase ini sebagian besar wilayah
Indonesia akan mengalami musim hujan.
6

- transisi dari musim dingin BBU ke musim dingin BBS : terjadi pada bulab Maret,
April dan Mei.

Terdapat 8 (delapan) wilayah monsun di seluruh dunia ditinjau dari hujan regional
(Wang et al., 2012) sebagaimana tersaji pada gambar berikut

Pebagian 8 (delapan) wilayah monsun ditinjau dari hujan regional (Wang et al., 2012). Warna merah
menunjukkan hujan diatas rata - rata, wilayah monsun disingkat dengan huruf depan, dan kotak putus -
putus biru merupakan wilayah perhitungan indeks monsun yang umumnya digunakan dalam
mengidentifikasi aktifitas monsun di Indonesia

Gambar di atas menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki monsun yang spesifik
khusus untuk wilayah Indonesia. Namun demikian, dalam mengidentifikasi pengaruh
aktifitas monsun di wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan menghitung indeks
monsun dari benua Asia dari indeks monsun West North Pacific (WNP) pada kotak
biru putus - putus bagian atas. Sementara untuk monsun Australia digunakan indeks
Australia (AUS) pada kotak putus - putus biru bagian bawah.
7

3. FENOMENA - FENOMENA METEOROLOGI TROPIS (DI INDONESIA)

Terdapat bermacam - macam fenomena meteorologi tropis di dunia, namun beberapa


fenomena meteorologi tropis yang memberikan pengaruh terhadap kondisi cuaca di
Indonesia, yang akan dijelaskan pada subbab berikut;

3.1 Angin pasat dan sabuk pertemuan antar tropis/ Inter Tropical Convergenze Zone
(ITCZ)

Angin pasat merupakan sistem angin global di wilayah tropis yang berasal dari
tekanan tinggi subtropis di BBU dan BBS, menuju ke pusat tekanan rendah di ekuator
(AMS Glossary). Angin pasat di Indonesia merupakan kombinasi yang kompleks
antara sirkulasi Walker (ENSO) dan sirkulasi Hadley (ITCZ dan Cold Surge), serta
sirkulasi antara benua dan samudera. Angin pasat yang berkaitan dengan sirkulasi
Walker di wilayah Indonesia, terlihat pada saat fase La Nina (angin pasat kuat) dan El
Nino (angin pasat lemah). Sementara itu, angin pasat yang berkaitan dengan sirkulasi
Hadley di Indonesia ditunjukkan oleh angin pasat barat daya pada periode monsun
Australia yang mendorong sabuk ITCZ bergerak ke arah utara ekuator. Sebaliknya
pada periode monsun Asia, angin pasat tenggara dari benua Australia bertemu dengan
angin pasat timur laut dari benua Asia yang mendorong sabuk ITCZ bererak ke arah
selatan ekuator. ITCZ sendiri didefinisikan sebagai daerah sepanjang lintasan angin
pasat di wilayah tropis.

Proses pembentukan awan - awan konvektif terjadi di sepanjang ITCZ. Hal ini terjadi
karena wilayah ini umumnya memiliki suhu permukaan laut /Sea Surface
Temperature (SST) yang lebih hangat dibandingkan sekitarnya, sehingga
menghasilkan beberapa daerah tekanan rendah di sepanjang garis ITCZ. Beberapa
daerah sirkulasi siklonik umumnya juga terjadi pada daerah lintasan ITCZ, yang pada
tahap yang lebih kuat akan berkembang menjadi diklon tropis. Gugusan awan - awan
konvektif pada skala yang lebih kecil juga terjadi di sepanjang lintasan ITCZ. Gambar
berikut menunjukkan lintasan angin pasat yang mempengaruhi pembentukan ITCZ
yang berinteraksi dengan sirkulasi zonal (walker) dan meridonal (hadley).
8

Lintasan angin pasat yang membentuk ITCZ yang berinteraksi dengan sirkulasi zonal pada
fase ENSO (atas) dan berinteraksi de ngan sirkulasi meridional pada fase monsun Asia dan
Australia (bawah)

3.2 Gelombang ekuator, yang terdiri dari gelombang Kelvin, Rossby Ekuator,
Mix-Rossby Gravity (MRG), dan Inertia Gravity (IG)

Gelombang ekuator adalah fenomena dengan karakteristik gelombang (memiliki


frekuensi, periode, bilangan gelombang, cepat rambat gelombang dan mode
gelombang) di wilayah tropis yang merambat secara vertikal dan zonal (barat- timur),
9

baik di atmosfer dan samudera. Gelombang ekuator yang akan dibahas selanjutnya
adalah gelombang ekuator yang berada di atmosfer. Selanjutnya gelombang ekuator
terbagi ke dalam beberapa tipe, berdasarkan pada karakteristik gelombangnya (arah
rambat, cepat rambat, spektrum, nilai mode gelombang, dll). Gelombang ekuator yang
berasosiasi dengan proses konvektif di atmosfer disebut sebagai Convectively
Coupled Equatorial Waves (CCEW) dengan tipe yang sama dengan tipe gelombang
ekuator, yakni:
- Gelombang Kelvin : memiliki pergerakan yang sama dengan MJO yakni ke arah
timur, namun lebih cepat dibandingkan dengan pergerakan MJO dan cakupannya
lebih kecil dibandingkan cakupan MJO
- Gelombang Rossby Ekuator : bergerak ke arah barat simetris terhadap ekuator
dengan periode berkisar antara 6 – 30 hari, dengan variasi hujan yang paling
besar pada wilayah antara lintang 12° – 15°, sehingga sering disebut sebagai
gelombang off-equator.
- Gelombang Mix-Rossby Gravity (MRG) : bergerak ke arah barat dan menyatu
dengan karakter gelombang ER untuk bilangan gelombang yang besar,
sedangkan bergerak ke arah timur dan menyatu dengan gelombang EIG untuk
bilangan gelombang yang kecil. Bilangan gelombang berimplikasi pada besarnya
cakupan suatu gelombang, semakin tinggi bilangan gelombang maka semakin
kecil luas cakupannya.
- Gelombang Inertia Gravity (IG) : bergerak dua arah, yakni ke arah barat untuk
mode gelombang 1 (satu) dan ke arah timur untuk mode gelombang 0 (nol).
Gelombang IG ke arah barat disebut sebagai Westward Inertia Gravity (WIG)
dan elombang IG ke arah timur disebut sebagai Eastward Inertia Gravity (WIG)

Berikut ini adalah simulasi hubungan bilangan gelombang (k) dengan mode
gelombang (n) pada bidang datar (Lubis, 2013)
10

Simulasi hubungan bilangan gelombang (k) dengan mode gelombang (n) pada bidang
datar (Lubis, 2013)

Dalam beberapa referensi bidang meteorologi, masih banyak yang menyebut CCEW
sebagai gelombang ekuator saja, karena karaktertiknya sama. Namun demikian,
CCEW teramati di wilayah troposfer karena interaksinya dengan proses konvektif,
sedangkan gelombang ekuator teramati hingga lapisan stratosfer yang mempengaruhi
sirkulasi global di bumi.

3.3 Madden Julian Oscillation (MJO)

MJO adalah fenomena perambatan gelombang di atmosfer yang berosilasi


selama periode 40 – 50 hari, dan memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan
pembentukan awan-awan konvektif di wilayah tropis. Keterkaitan MJO dengan sistem
konvektif tersebut kemudian mampu meningkatkan hujan ≈30% di atas daratan dan
≈70% di atas lautan dari normalnya (Hidayat dan Kizu, 2010). Fenomena MJO juga
memiliki kemampuan untuk menurunkan tekanan udara terutama di wilayah
kepulauan maritim Indonesia (Madden dan Julian, 1972), sehingga mampu memicu
11

pertumbuhan awan-awan hujan yang kuat di wilayah Indonesia. MJO memiliki sifat
gelombang yang mampu teridentifikasi pada domain frekuensi dan bilangan
gelombang yang hampir sama dengan CCEW serta memiliki interaksi yang cukup
kuat dengan gelombang Kelvin. Propagasi zonal gelombang Kelvin tidak tergantung
pada komponen angin meridional (utara – selatan) (Matsuno, 1966), sementara
propagasi zonal MJO masih dipengaruhi oleh komponen angin meridional (Zhang dan
Dong, 2004), sehingga pergerakan gelombang Kelvin arah timur menjadi lebih cepat
dibandingkan gelombang MJO. Terdapat 8 (delapan) fase perambatan MJO yang
dikembangkan berdasarkan komponen utama MJO, yang menunjukkan pergerakan
MJO dari Afrika barat ke Samudera Pasifik bagian barat melalui Samudera Hindia
dan kepulauan maritim Indonesia. Pengaruh MJO di Indonesia kuat jika MJO berada
pada fase 4 (empat) dan 5 (lima), yakni ketika MJO aktif di wilayah kepulauan
maritim. Gambar berikut menunjukkan 8 (delapan) fase propagasi MJO yang
merupakan hasil penelitian dari Wheeler dan Hendon (2004). Perhatikan wilayah di
dalam kotak merah putus - putus merupakan wilayah dominasi MJO di Indonesia
pada fase 4 dan 5.
12

Delapan fase perambatan MJO (Wheeler dan Hendon, 2004)

Lebih dari 75% fase MJO berasal dari proses inisiasi di Samudera Hindia, yang
selanjutnya berpropagasi ke timur menuju samudera Pasifik melewati benua maritim
Indonesia. Beberapa fase MJO tidak sampai menuju ke Samudera Pasifik, dan
melemah ketika akan memasuki wilayah benua maritim Indonesia. Hal ini terjadi dari
proses blocking MJO ketika melintasi wilayah kepulauan Indonesia. Meskipun
demikian, fase MJO dengan gangguan yang kuat umumnya mampu melintasi wilayah
benua maritim Indonesia. Adapun faktor pengendali blocking fenomena MJO ketika
melintasi wilayah benua maritim Indonesia adalah :
13

- pegunungan di Barat Sumatera, yang mengurangi panas laten sebagai bahan dasar
proses konveksi pada fenomena MJO

- Anomali suhu muka laut/ Sea Surface Temperature (SST) di Indonesia yang
nilainya kecil

Indonesia merupakan wilayah yang dilintasi gelombang ekuator dan MJO, yang
selanjutnya memberikan dampak terhadap pembentukan awan - awan hujan di
wilayah Indonesia.

3.4 Siklon Tropis

Siklon tropis adalah sistem kolom massa udara yang berputar dari kumpulan awan
Cumulonimbus (Cb) yang teroganisir pada skala sinop (±2000km, harian - mingguan),
dan terjadi di sekitar wilayah tropis. Siklon tropis umumnya terjadi dari kolam hangat
di samudera yang kemudian membentuk daerah pusat tekanan rendah, sehingga
mampu menarik massa udara di sekitarnya untuk selanjutnya digunakan dalam proses
konvektif. Sistem tekanan rendah tersebut berevolusi menjadi depresi tropis (tropical
depression) sebelum akhirnya meningkatkan intensitasnya menjadi kategori siklon
tropis jika terdeteksi kecepatan angin >34 knots. Tabel berikut menunjukkan kategori
siklon tropis di 7 (tujuh) basin di dunia;

Klasifikasi Siklon Tropis di Dunia (Sumber: BoM Australia dan JTCW)


14

Tidak semua sistem tekanan rendah berkembang menjadi siklon tropis. Terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu sistem tekanan rendah dapat tumbuh
dan menguat menjadi siklon tropis (Gray, 1975), yakni:
- suhu muka laut/ Sea Surface Temperature (SST) ≥ 26.5°C
- suhu udara lapisan 500 hPa ≥ 7°C
- gaya Coriolis mendekati 0 (nol), yang terjadi pada daerah dengan jarak dari
ekuator ≥ 500 km atau pada lintang ≥ 5°. Wilayah ini memiliki nilai vorticitas
yang tinggi
- wind shear vertikal/ vertical shear yang lemah, yakni < 10m/s (20 knot). Vertical
shear yang kuat dapat menghambat pertumbuhan vertikal siklon tropis,
menghambat pembentukan 'mata/eye', melemahkan intensitas siklon tropis yang
kemudian menyebabkan penurunan tekanan permukaan laut/ Mean Sea Level
Pressure (MSLP), sehingga menyebabkan kecepatan angin maksimal di dekat
pusat siklon tropis berkurang.
- kelembaban cukup, dan
- umumnya terbentuk pada sabuk ITCZ

Siklon tropis mempunyai daur hidup mulai dari proses pembentukannya hingga saat
kepunahannya. Siklus hidup siklon tropis dapat dibagi menjadi empat tahapan
(www.tcwc.go.id), yaitu :
1. Tahap pembentukan
Ditandai dengan adanya gangguan atmoster. Jika dilihat dari citra satelit cuaca,
gangguan ini ditandai dengan wilayah konvektif dengan awan-awan cumulonimbus.
Pusat sirkulasi seringkali belum terbentuk, namun kadangkala sudah nampak pada
ujung sabuk perawanan yang membentuk spiral.
2. Tahap belum matang
Pada tahap ini wilayah konvektif kuat terbentuk lebih teratur membentuk sabuk
perawanan melingkar (berbentuk spiral) atau membentuk wilayah yang bentuknya
relatif bulat. Intensitasnya meningkat secara simultan ditandai dengan tekanan udara
permukaan yang turun mencapai kurang dari 1000 mb serta kecepatan angin
maksimum yang meningkat hingga mencapai gale force wind (kecepatan angin ≥ 34
knot atau 63 km/jam). Angin dengan kecepatan maksimum terkonsentrasi pada cincin
yang mengelilingi pusat sirkulasi. Pusat sirkulasi terpantau jelas dan mulai tampak
terbentuknya mata siklon.
15

3. Tahap matang
Pada tahap matang, bentuk siklon tropis cenderung stabil. Tekanan udara minimum di
pusatnya dan angin maksimum di sekelilingnya yang tidak banyak mengalami
fluktuasi berarti. Sirkulasi siklonik dan wilayah dengan gale force wind meluas, citra
satelit cuaca menunjukkan kondisi perawanan teratur dan lebih simetris. Pada siklon
tropis yang lebih kuat dapat jelas terlihat adanya mata siklon. Fenomena ini ditandai
dengan wilayah bersuhu paling hangat di tengah-tengah sistem perawanan dengan
angin permukaan yang tenang dan dikelilingi oleh dinding perawanan konvektif tebal
di sekelilingnya (dinding mata). Kecuali jika siklon tropis berada di wilayah yang
sangat mendukung perkembangannya, tahap matang biasanya hanya bertahan selama
kurang lebih 24 jam sebelum intensitasnya mulai melemah.
4. Tahap pelemahan
Pada tahap punah, pusat siklon yang hangat mulai menghilang, tekanan udara
meningkat dan wilayah dengan kecepatan angin maksimum meluas dan melebar
menjauh dari pusat siklon. Tahap ini dapat terjadi dengan cepat jika siklon tropis
melintas di wilayah yang tidak mendukung bagi pertumbuhannya, seperti misalnya
memasuki wilayah perairan lintang tinggi dengan suhu muka laut yang dingin atau
masuk ke daratan. Dari citra satelit dapat terlihat jelas bahwa wilayah konvektif siklon
tropis tersebut berkurang, dan sabuk perawanan perlahan menghilang.

Indonesia merupakan wilayah yang jarang dilintasi siklon tropis, namun menerima
dampak tidak langsung berupa terbentuknya daerah pertemuan angin di Indonesia.
Kondisi ini kemudian menyebabkan potensi hujan lebat dengan durasi lama di daerah
pertemuan angin, serta terjadinya angin kencang (>25 knots), dan gelombang tinggi
(>2 meter) di daerah sekitar siklon tropis.

3.5 Mesoscale Convective System (MCS)

Mesoscale Convective System (MCS) berasal dari kata mesoscale yang berarti luasan
meteorologis baik spasial dan temporal, convective yakni terdapat aktifitas Deep
Moist Convection (DMC) atau konveksi yang tebal dan lembab pada skala yang
dimaksud, serta system yang berarti proses yang terorganisasi dan serentak pada skala
meso yang terbentuk dari beberapa proses DMC. DMC sendiri memiliki arti sebagai
proses konvektif yang menembus seluruh lapisan troposfer atau seluruh bagian yang
sangat luas. MCS dapat pula diartikan sebagai sistem konvektif pada skala meso,
16

yakni fenomena yang wilayah radiusnya berkisar antara ratusan hingga ribuan
kilometer, dan skala waktu berkisar antara jam hingga hari. Fenomena yang termasuk
dalam lingkup meso antara lain; kluster awan, Mesoscale Convective Complex (MCC),
squall lines dan bow echo. Gambar berikut menunjukkan klasifikasi skala meteorologi
dengan contoh fenomenany di atmosfer.

Klasifikasi skala meteorologi dengan garis merah menunjukkan domain skala meso
(sumber: ECMWF)

Dengan memperhatikan gambar di atas, fenomena MCS merupakan DMC yang


terbentang pada jarak horizontal 100 - 1000 km dan dengan ketinggian kolom udara
vertikal antara 1 - 10 km, serta variasi temporal antara 3 jam hingga 3 hari. Dari
gambar tersebut dapat diketahui juga bahwa siklon tropis berada pada skala synop
yang lebih besar dibandingkan MCS.

MCS terbentuk dari proses sirkulasi vertikal yang sangat kuat pada wilayah yang labil,
yang kemudian membentuk awan - awan convective towers (misalnya pada awan
Towering Cumulus/TCu dan awan Cb) dan awan - awan convective statiform
(misalnya pada awan - awan stratocumulus), yang kemudian menghasilkan tipe hujan
yang terjadi pada wiayah yang luas dan durasi yang lama (statiform rain). Di dalam
sistem MCS umumnya terjadi hujan es/hail, angin kencang, tornado/puting beliung,
bahkan bibit siklon tropis jika terjadi pada samudera. MCS umumnya terjadi dari
17

awan - awan konvektif dengan jumlah inti sel yang lebih dari satu dan mempunyai
kecenderungan untuk terjadi di malam hari, sehingga agak sulit untuk diamati secara
langsung.

Pertumbuhan MCS terdiri dari 2 (dua) tahap utama, yang diawali dengan
pengangkatan massa udara hangat yang selanjutnya mengalami pendinginan secara
adiabatik di atmosfer. Pada tahap ini sudah terbentuk minimal 1 (satu) sel awan
konvektif. Selanjutnya terjadi proses utama kedua berupa turunnya massa udara
dingin dari badan sistem konvektif di lapisan atas (cold downdraft), di atas freezing
level. Cold downdraft yang kemudian membentuk cold pool (daerah kolam dingin) ini
memiliki peran penting dalam mempertahankan siklus hidup MCS, yakni
pembentukan sel-sel awan konvektif baru pada daerah wind gust (daerah pertemuan
massa udara dingin dan massa udara hangat). Proses pertama dan kedua terbentuk
berulang - ulang pada daerah di depan wind gust hingga energi yang diperlukan dalam
pengangkatan massa udara hangat habis, yang ditandai dengan massa udara dingin
yang lebih mendominasi di suatu wilayah MCS dibandingkan massa udara hangatnya.
Vertical wind shear juga memberikan pengaruh kuat terhadap pertumbuhan MCS,
yakni vertical wind shear yang kuat dan tebal mendorong pertumbuhan MCS lebih
kuat dibanding vertical wind shear yang lemah dan tipis. Perlu kita fahami bahwa
vertical windshear yang dimaksud tidak sama dengan vertical windshear yang
mempengaruhi pertumbuhan siklon tropis. Vertical windshear pada pertumbuhan
siklon tropis merupakan vertical windshear pada skala synop dan berlaku pada
wilayah di sekitar sistem siklon tropis (environment vertical windshear). Sementara
itu, vertical windshear pada pertumbuhan MCS ada pada skala yang lebih kecil, yakni
di dalam sistem MCS itu sendiri. Vertical windshear dominan kuat yang berada pada
lapisan menegah hingga lapisan atas diperlukan dalam mendorong proses cold
downdraft, yang selanjutnya meningkatkan pembentukan wind gust dalam proses
pembentukan sel - sel awan konvektif baru.

Klasifikasi MCS dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik perisai awan dingin


berdasarkan ukuran, bentuk dan durasi dari data pengamatan penginderaan jauh (citra
satelit dan radar cuaca). MCS kemudian dikalisifikasikan ke dalam bentuk linier dan
sirkular, dengan 3 (tiga) tipe utama sebagai berikut:
1. Squall line : merupakan kumpulan dari barisan awan – awan konvektif yang
memanjang dan masuk dalam klasifikasi MCS bentuk linier.
18

2. Bow echo : merupkanan kumpulan dari barisan awan – awan konvektif yang
menjadi bowed/melekuk pada tahapan siklus hidup tertentu. Tipe ini merupakan
tipe yang berada di tengah antara tipe linier dengan tipe sirkular
3. Mesoscale Convective Complex (MCC) : merupakan kumpulan awan - awan
konvektif yang berbentuk quasi-circular /semu sirkular, dengan besar
eccentricity >0,7.

3.6 Intrusi udara kering/ Dry Intrusion

Intrusi udara kering merupakan fenomena meteorologi yang umumnya terjadi di


wilayah lintang sedang dan erat kaitannya dalam pembentukan extra-tropical cyclone.
Meskipun demikian, fenomena intrusi udara kering terkadang mampu mencapai
wilayah tropis yang kemudian mampu meningkatkan aktifitas konvektif pada selang
waktu tertentu, ketika massa udara hangat dan lembab menggantikan udara dingin dan
kering yang berasal dari intrusi udara kering ini. Disamping mekanisme intrusi udara
kering yang terjadi akibat perluasan fenomena tersebut dari daerah lintang tinggi, di
wilayah tropis juga seringkali teridentifikasi aktifitas “mirip” intrusi udara kering.
Sebelum kita memahami lebih lanjut mengenai fenomena intrusi udara kering di dekat
tropis yang mekanismenya mirip dengan intrusi udara kering di lintang menengah,
terlebih dahulu perlu difahami definisi mengenai intrusiudara kering secara teoritis.
Pada tahun 1964, seorang ahli meteorologi Barat bernama Danielsen membuat model
konseptual dari fenomena intrusi udara kering yang tersaji pada Gambar berikut.

Representasi intrusi udara kering dalam 3 (tiga) dimensi (Danielsen, 1964)


19

Massa udara yang sangat dingin dan kering berasal dari lapisan dekat tropopause yang
kemudian turun ke lapisan atmosfer lebih rendahdan membentuk daerah tekanan
rendah di bawahnya. Massa udara dingin dari tropopause tersebut juga mengalir
menuju daerah tekanan rendah di atmosfer lapisan bawah hingga mendekati
permukaan bumi. Massa udara dingin ini kemudian mendesak massa udara yang
relatif hangat di depannya sehingga terbentuk front dingin, dan terjadi pengangkatan
massa udara hangat dan lembab oleh massa udara dingin dan kering dari fenomena
intrusi udara kering tadi. Di daerah muka front dingin yang hangat dan lembab
tersebut, kemudian terbentuk awan - awan konvektif yang kemudian mampu
mengintensifkan sistem ektra tropical cyclone yang terjadi di wilayah lintang
menengah.

Di wilayah tropis sendiri, mekanisme intrusi udara kering yang mirip dengan intrusi
udara kering di lintang menengah terjadi, meskipun dengan skala kekuatan yang lebih
kecil. Pembetukan awan - awan konvektif yang berasal dari proses adveksi terjadi
umumnya di daerah muka aliran massa udara dingin dan kering dari BBU dan BBS
(yang selanjutnya disebut sebagai intrusi udara kering). Wilayah muka intrusi udara
kering tersebut umumnya hangat dan lembab, yang ditandai dengan gradien
dingin-hangat yang sangat kuat. Selanjutnya di wilayah muka intrusi udara kering,
atau di batas gradien pada bagian hangat inilah terjadi pengangkatan massa udara
hangat dan lembab oleh massa udara dingin dan kering dari fenomena intrusi udara
kering. Meskipun intensitas hujan yang dihasilkan umumnya tidak se-ekstrem di
lintang menengah, namun fenomena ini cukup mampu membantu proses pertumbuhan
awan - awan konvektif khususnya di wilayah Indonesia. Identifikasi seruakan dingin
dapat dilakukan dengan berdasakan data pemodelan suhu titik embun/dew point
temperature (DPT) dan citra satelit kanal uap air/water vapour (WV). Daerah intrusi
udara kering ditandai dengan gradien yang sangat besar antara massa udara dingin
dari BBU dan BBS dengan massa udara hangat dari ekuator. Umumnya wilayah muka
dry intrusion yang hangat dan lembab akan menghasilkan intensitas hujan yang cukup
tinggi.
20

3.7 Seruakan dingin/ Cold Surge

Seruakan dingin di Indonesia identik dengan seruakan dingin dari benua Asia yang
terjadi pada saat monsun Asia aktif, yang umumnya maksimum terjadi pada bulan
Desember hingga Februari. Hal ini karena seruakan dingin dari benua Asia
memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan seruakan dinngin
dari benua Australia terhadap kondisi cuaca di Indonesia. Seruakan dingin Asia
mampu meningkatkan intensitas hujan pada saat puncak musim hujan di Indonesia
(bulan Desember - Februari), dan jika berinteraksi dengan fenomena cuaca pada skala
yang lebih besar atau lebih kecil akan berpotensi menghasilkan kondisi hujan ekstrem.
Selain meningkatkan intensitas hujan, aktifitas seruakan dingin juga akan
menyebabkan peningkatan kecepatan angin yang kemudian berpengaruh pada
peningkatan ketinggian gelombang (>2 meter), terutama di Laut Cina Selatan, Selat
Karimata hingga laut Jawa.

Secara teoritis, seruakan dingin Asia atau Asian Cold Surge atau biasa hanya disebut
Cold Surge merupakan fenomena cuaca yang memberikan pengaruh sangat besar dan
kuat di beberapa daerah di Asia Timur-Tenggara (Ramage 1971). Fenomena ini
memiliki variasi durasi antara 4 hingga 20 hari dengan variasi seruakan terkuat pada
interval 6–7 hari. Kondisi ini diawali dengan peningkatan tekanan permukaan di
Siberia pada saat musim dingin di BBU, bersamaan dengan penurunan suhu di daerah
tersebut yang kemudian diikuti dengan munculnya lidah kontur suhu muka laut yang
dingin di sepanjang perairan timur benua Asia menuju Laut Cina Selatan. Seruakan
dingin menurut Boyle dan Chen (1987), didefinisikan sebagai kondisi dimana aliran
massa udara Barat Laut di lapisan 500 hPa bergerak di sepanjang Sungai Baikal dan
mengakibatkan aliran yang lebih global, dari propagasi gelombang–gelombang
pendek menjadi gelombang panjang yang mengalir di sepanjang pantai Timur Asia.
Hal tersebut kemudian menyebabkan aliran massa udara dingin menuju Timur pantai
Cina dan bergerak ke Selatan menuju Laut Cina Selatan. Selanjutnya terjadi
peningkatan kecepatan angin yang berhembus dari benua Asia melalui kanal aliran di
perairan timur benua Asia hingga Laut Cina Selatan. Hal ini kemudian mendesak
massa udara dari BBU untuk melewati ekuator menuju BBS (cross equatorial flow),
yang kemudian berdampak pada pembentukan awan - awan hujan di wilayah
Indonesia bagian Barat dan Selatan.
21

Di sisi lain, seruakan dingin juga berpengaruh pada penurunan intensitas di beberapa
wilayah di Indonesia khususnya di bagian Selatan, seperti di Sumatera bagian selatan,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian Selatan.
Kondisi tersebut terjadi jika terdapat fenomena yang menghambat aliran cross
equatorial flow menuju BBS. Fenomena yang dimaksud adalah Borneo Vortex, yang
juga memerlukan asupan energi dari benua Asia dari aktifnya seruakan dingin Asia
dalam meningkatkan aktiftas siklonik di sekitar Kalimantan bagian barat. Kondisi ini
seringnya mengecoh para prakirawan cuaca dalam mengidentifikasi seruakan dingin
yang membawa potensi pembentukan cuaca ekstrem di Indonesia. Oleh karena itu,
seruakan dingin Asia yang umumnya diidentifikasi dari perbedaan suhu di Gushi dan
Hongkong perlu dikonfirmasi dengan data dinamika atmosfer secara spasial.

Terdapat 3 (tiga) fase kejadian seruakan dingin Asia yang memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan awan di daerah LCS hingga kepulauan maritim Indonesia. Tiga
fase tersebut adalah:
a. Fase 1: terjadi ketika seruakan dingin Asia diperkirakan terjadi maksimum di
daerah Hong Kong (22 LU, 114 BT), dengan indikasi cuaca berupa udara dingin
dan kering di daerah tersebut
b. Fase 2: terjadi ketika seruakan dingin Asia diperkirakan mencapai koordinat 15
LU di LCS, dengan indikasi berupa angin meridional yang kuat (>8 m/s)
sepanjang 15 LU
c. Fase 3: munculnya cross equatorial flow sebagai akibat seruakan dingin Asia
yang kuat, dengan indikasi berupa angin meridional yang kuat (>5 m/s) di
sepanjang daerah benua maritim ekuator.

Umunya perlu waktu 2 - 3 hari saat seruakan dingin teridentifikasi di Hongkong


hingga memberikan dampak ke wiayah Indonesia bagian Selatan. Namun ketika cross
equatorial flow terjadi, maka dapat menjadi indikator peningkatan aktifitas konvektif
di Indonesia dalam kurun waktu <1 hari berikutnya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seruakan dingin akan menghambat


peningkatan intensitas hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, namun dapat
meningkatkan sistem siklonik di Kalimantan bagian barat pada Borneo Vortex. Oleh
karena itu perlu sedikit dibahas mengenai Borneo Vortex yang terjadi pada saat nilai
seruakan dingin tinggi, namun dapat menghambat terjadinya cross equatorial flow.
Fenomena Borneo Vortex tejadi dari aliran angin pasat timur laut yang berhembus di
22

sepanjang Laut Cina Selatan pada saat monsun Asia aktif. Aliran massa udara dingin
dan kering ini kemudian membentuk shear angin baratan di bagian selatannya di
sekitar wilayah Kalimantan bagian barat. Angin baratan tersebut kemudian
berinteraksi dengan topografi yang berupa pegunungan di sekitar Kalimantan bagian
tengah, dan membentuk daerah sirkulasi di wilayah barat Kalimantan. Beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa pegunungan di sepanjang Sumatera juga
memberikan kontribusi terhadap pembentukan Borneo Vortex berupa
penghalang/blocking dari kanal aliran massa udara di sepanjang selat Karimata.
Meskipun mengurangi intensitas hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, namun
fenomena ini justru meningkatkan pembentukan awan - awan konvektif di sekitar
sistem Borneo Vortex, yakni di Kalimantan hingga kepulauan Riau.

Anda mungkin juga menyukai