Anda di halaman 1dari 7

Mengenal Monsun Musim Panas India/ Indian Summer Monsoon (ISM)

Sandy.H.S. Herho, Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,Institut Teknologi Bandung,
Jalan Ganesha 10, Labtek XI
sandyherho@meteo.itb.ac.id

I. Pendahuluan
Iklim monsunal memiliki karakteristik pembalikan skala besar angin musiman, sehingga
menghasilkan dua musim yang saling berbeda. Kata monsun sendiri secara etimologi berasal dari
Bahasa Arab mausim yang berarti musim (seasons). Mausim merujuk pada fenomena pembalikan
arah angin di Laut Arab. Tetapi sekarang, fenomena monsun telah dikenali sebagai siklus cuaca
tahunan di wilayah tropis dan sub-tropis di Asia, Australia, dan Afrika. Dalam pembahasan ini,
kita hanya berfokus pada monsun yang terjadi di wilayah Asia Selatan, yang mana memberikan
dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat di Sub-benua India.

II. Pola Musiman


Pada saat musim panas, massa udara lembab bergerak dari Samudra Hindia menuju Sub-benua
India, di mana akan terjadi hujan di atas wilayah India. Sebaliknya, pada waktu musim dingin,
massa udara kering yang berasal dari dataran Asia akan terbawa ke arah selatan melintasi Sub-
benua India, sehingga menyebabkan terjadinya musim kering di India. Sehingga pola cuaca
tahunan di benua India terbagi menjadi dua musim, yaitu musim basah dan musim kering.
Angin musim panas terbentuk di wilayah bertekanan tinggi di Samudra Hindia Selatan,
kemudian melintasi khatulistiwa, hingga bertiup di atas Sub-benua India. Massa udara dari selatan
ini memperoleh kelimpahan kelembapan dalam perjalanannya menuju utara, sehingga
berkontribusi dalam pembentukan awan konvektif dan badai sepanjang musim panas. Monsun
musim panas ini tiba di wilayah udara India Selatan pada akhir Mei atau awal Juni, dan secara
bertahap menjalar ke arah utara dan barat, hingga mencapai wilayah Pakistan pada awal Juli.
Monsun musim panas ini mulai berbalik arah di Pakistan pada awal September, sedangkan di India
Selatan pembalikan arah terjadi pada awal bulan Desember. Siklus monsunal inilah yang
membentuk pola hujan tahunan di Sub-benua India. Pakistan yang mana merupakan wilayah
paling akhir yang terkena monsun musim panas, dan wilayah awal terjadinya pembalikan arah
angin monsun, menjadikan Pakistan hanya memiliki sedikit kelimpahan hujan dengan musim
hujan yang singkat pula. Sebaliknya, Delta Gangga-Brahmaputra yang subur memiliki surplus
curah hujan. Rata – rata hujan tahunan di Sub-benua India umumnya berada pada angka 10.000
mm/tahun (10 m3 /tahun). Penjalaran angin monsun ke arah utara dipengaruhi oleh keberadaan
Pegunungan Himalaya. Massa udara monsunal umumnya dapat mencapai ketinggian 10 km dari
permukaan, sedangkan Pegunungan Himalaya memiliki rata – rata ketinggian 7 km, sehingga
menjadikan Pegunungan Himalaya sebagai batas alami penjalaran alami massa udara basah ke
arah Tibet. Pegunungan Himalaya menjadikan Tibet memiliki iklim kering. Begitupun sebaliknya,
Pegunungan Himalaya juga menghalangi pergerakan massa udara kering dan dingin ketika musim

1
dingin, sehingga menjadikan musim dingin di India Utara relatif lebih hangat dibandingkan
wilayah Asia lain pada lintang yang sama.

Gambar 1. Peta ini menunjukkan pola sebaran angin dan tekanan udara permukaan secara
global pada bulan Juli (atas) dan pada Januari (bawah). Garis merah merupakan Zona
Konvergensi Intertropis (Inter Tropical Convergence Zone/ ITCZ), yang merupakan sabuk
massa udara permukaan bertekanan rendah dan curah hujan lebat yang bergeser secara
musiman mengikuti sabuk pemanasan udara maksimum. Monsun Musim Panas India
(Indian Summer Monsoon/ ISM) merupakan salah satu bagian dari fenomena pergeseran
ITCZ ke arah utara.
(sumber: Climate Laboratory, Environmental Change Research Group, Department of
Geography, University of Oregon)
2
III. Mekanisme Pembentukan ISM
Terdapat setidaknya tiga mekanisme utama yang menjadi kendali monsun, yaitu perbedaan
kapasitas kalor darat dan laut, pembelokkan arah angin akibat rotasi bumi, dan proses transfer
kelembapan yang mendistribusikan panas melalui perpindahan panas laten.
A. Perbedaan Panas Darat – Laut
Daratan dan lautan memiliki respon yang berbeda terhadap input dan output energi.
Radiasi matahari yang mengenai daratan dengan cepat akan memanaskan permukaan
tanah, sehingga pada gilirannya juga mempercepat pemanasan udara di atasnya. Meskipun
demikian, panas tersebut dengan cepat menghilang dari daratan ketika musim dingin atau
di malam hari, khususnya ketika dibarengi dengan kondisi langit yang cerah di mana panas
(dalam bentuk radiasi gelombang panjang) secara cepat akan terlepas ke luar angkasa.
Sebaliknya, radiasi matahari yang diterima laut pada musim panas dapat menembus lapisan
laut yang lebih dalam dan terkena proses mixing yang diakibatkan oleh arus dan pusaran.
Akibatnya, radiasi matahari harus memanaskan volume air yang lebih besar dan
pemanasan berlangsung dengan lambat, maka temperatur atmosfer hasil pemanasan di
permukaan laut lebih rendah ketimbang temperatur atmosfer dengan pemanasan yang sama
di darat. Pada musim dingin, lautan dianggap sebagai kolam panas raksasa yang
melepaskan panas ke atmosfer di atasnya secara lambat. Maka dari itu, benua cenderung
lebih panas ketika musim panas dan cenderung lebih dingin ketika musim dingin, jika
dibandingkan permukaan laut, dan hal ini juga berkorespondensi dengan massa udara di
atasnya. Di Asia Selatan, efek ini diperparah dengan kehadiran Dataran Tinggi Tibet
(Tibetan Plateau) yang memanas dan mendingin secara lebih cepat dibandingkan dataran
di sekitarnya sebagai konsekuensi dari ketinggiannya. Pada waktu musim panas, daratan
lebih panas dibandingkan lautan di sekitarnya, begitu pula pada musim dingin, di mana
lautan lebih panas dibandingkan daratan. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan
tekanan udara permukaan sebagai berikut:
- Musim Panas: tekanan udara permukaan yang rendah di Sub-benua India, dan
tekanan udara permukaan yang tinggi di Samudera Hindia. Angin permukaan
bertiup dari Samudra Hindia ke Sub-benua India.
- Musim Dingin: tekanan udara permukaan yang tinggi di Sub-benua India, dan
tekanan udara permukaan yang rendah di Samudra Hindia. Angin permukaan
bertiup dari Sub-benua India ke Samudra Hindia.
Pada musim panas, perbedaan tekanan ini menghasilkan angin permukaan dan konveksi
massa udara yang kaya akan uap air dari Samudra Hindia menuju Sub-benua India,
sehingga menghasilkan hujan dan kenaikan (uplift) massa udara di atas Sub-benua India.
B. Pengaruh Rotasi Bumi
Jalur aliran angin monsun dari Belahan Bumi Selatan (BBS) ke Sub-benua India
dipengaruhi oleh rotasi bumi. Angin mengalami pembelokan ke arah kanan di Belahan
Bumi Utara (BBU) dan ke arah kiri di BBS, hal ini dikenal sebagai Efek Coriolis. Maka,
ketika musim panas, angin dari BBS cenderung merupakan angin monsun tenggara, yang
mana ketika melintasi ekuator angin tersebut dibelokkan ke kanan menjadi angin monsun

3
barat daya (Gambar 2 kiri). Pada musim dingin, fenomena yang terjadi berkebalikan angin
monsun yang bertiup dari Sub-benua India dibelokkan ke arah kanan menjadi angin
monsun timur laut (Gambar 2 kanan).

Gambar 2. Arah angin monsunal dan topografi di Sub-benua India


(sumber: Mr.Forbes’s Website)

C. Transfer Kelembapan
Surplus energi hasil proses evaporasi di laut, ditransfer ke darat dalam bentuk panas
laten di mana terjadi kenaikan massa udara dan proses pendinginan sehingga menyebabkan
kondensasi dan terbentuknya awan hujan ketika musim panas. Energi yang ditransfer pada
proses ini lebih besar dibandingkan kenaikan massa udara biasa (uplift) sehingga
memperbesar jumlah awan konvektif dan meningkatkan peluang terjadinya badai.

IV. Variabilitas ISM


Peristiwa ISM bukan merupakan fenomena yang bersifat tetap dan kontinyu, melainkan
fenomena ini juga memiliki fase basah dan kering yang dikenal sebagai periode aktif dan
periode break. Pada periode aktif sistem atmosfer bertekanan rendah seringkali disertai dengan

4
badai petir (thunderstroms) dan hujan lebat. Ketika memasuki periode break, umumnya langit
akan tampak lebih cerah dan kering ketika musim panas. Waktu kejadian kedua periode ini
bervariasi dari tahun ke tahunnya (umumnya disebabkan oleh IOD dan/ atau ENSO). Kejadian
kekeringan di Sub-benua India biasanya dihubungkan dengan periode break yang
berkepanjangan.

V. Siklon
Siklon (dikenal juga sebagai Hurricane di Atlantik dan Taifun di Pasifik Barat) merupakan
badai tropis skala besar yang berotasi dengan kecepatan angin permukaannya mencapai 33
m/s. Pada kasus siklon ekstrem, kecepatan angin permukaan bahkan hingga mencapai 70 m/s.
Siklon terbentuk pada lautan tropis yang luas dengan temperatur permukaan laut mencapai
27°C. Kondisi – kondisi ini dapat ditemukan pada wilayah Samudra Hindia Utara, khususnya
pada Teluk Bengal. Siklon dapat terjadi di Teluk Bengal pada permulaan (April – Juni) dan
akhir (Oktober – November) ISM, ketika temperatur permukaan laut mencapai titik
maksimum. Ketika Siklon bergerak ke arah Sub-benua India, maka siklon dapat menimbulkan
bencana alam yang cukup hebat, khususnya ketika mengenai wilayah Delta Gangga-
Brahmaputra. Bencana alam yang ditimbulkan oleh siklon umumnya diakibatkan oleh angin
kencang yang merobohkan bangunan – bangunan rapuh; storm surges yang mengakibatkan
kenaikan permukaan laut sebagai respon terhadap angin kencang.

Gambar 3. Pembentukan siklon di Teluk Bengal berdasarkan hasil pengamatan satelit


(sumber: NOAA)

5
Storm surges dapat menenggelamkan dataran rendah dan pantai di India Selatan. Bahkan
pada kepulauan kecil dengan elevasi maksimum yang rendah, mustahil untuk menghindari
banjir akibat storm surges ini. Bangladesh merupakan wilayah yang terkena dampak paling
parah dari strom surges ini. Bencana yang paling parah di zaman modern terjadi pada tahun
1970, di mana 250.000 penduduk Bangladesh tewas akibat Siklon Bhola. Siklon Bhola ini pula
(tentu dengan mengikutsertakan faktor genosida dan perang ideologi) yang menginisiasi
Perang Kemerdekaan Bangladesh melawan Pakistan. Kejadian siklon terbaru terjadi pada Mei
2016 silam, yang diberi nama sebagai Siklon Roanu. Siklon Roanu yang tergolong siklon
lemah ini mengakibatkan kematian 201 jiwa di Sri Lanka dan 26 jiwa di Bangladesh, serta
kerugian yang mencapai US$ 1,7 – 2 juta. India, Bangladesh, dan Sri Lanka saat ini telah
memiliki sistem prediksi siklon yang cukup canggih, dan sistem pemberitahuan dini yang
disiarkan melalui radio dan melalui pengeras suara masjid. Salah satu kesulitan terberat yang
dihadapi pemerintah ketiga negara ini adalah proses evakuasi penduduk yang sangat banyak,
terutama pada wilayah pedesaan. Sistem penampungan pengungsi bencana siklon sudah
dibangun di Bangladesh, akan tetapi masih dianggap belum cukup untuk menampung
banyaknya pengungsi.

VI. Fenomena Musim Gugur Bersalju di Himalaya

Gambar 4. Ilustrasi yak yang tertimbun salju. Yak (Bos grunniens) biasa digunakan sebagai
hewan angkut suku – suku lokal di Pegunungan Himalaya.
(sumber: besthike)
6
Terkadang siklon (dalam bentuk lemahnya) bergerak jauh ke utara hingga mencapai
Pegunungan Himalaya. Dampaknya adalah hujan salju lebat yang terjadi pada musim gugur
yang umumnya relatif kering. Pada tanggal 11 – 12 November 1995, siklon yang berasal dari
Teluk Bengal menyebabkan hujan deras dan hujan salju yang lebat di wilayah India Utara
hingga Nepal. Hujan salju dan longsor tersebut mengakibatkan 61 orang tewas dan ratusan
penduduk dan wisatawan lainnya terpaksa mengungsi sepanjang dua hari tersebut. Salah satu
kejadian longsor di Phanka, sisi barat Gunung Everest pada 11 November 1995 bahkan
menewaskan 26 orang, termasuk 13 orang dari tim ekspedisi pendakian Jepang dan 13
pemandu lokal mereka yang merupakan warga negara Nepal. Terdapat rumah di mana seluruh
penghuninya tewas akibat tertimpa longsoran salju setebal 6 kaki. Korban yang selamat bahkan
menceritakan bagaimana Suku Sherpa membersihkan jalur longsor tersebut dengan hanya
menggunakan tangan dan wadah plastik yang dibelah untuk dijadikan cangkul. Bahkan yak
(lembu hutan) yang merupakan hewan asli Himalaya tidak sanggup menahan badai salju ketika
itu dan mati lemas terkubur di dalam longsoran salju.

Daftar Bacaan
Bose, S. dan Jalal, A. 1997. MODERN SOUTH ASIA History, Culture, Political Economy.
Oxford UP: Delhi.
Gadgil, S. 2003. The Indian Monsoon and Its Variability. Annu. Rev. Earth Planet. Sci.(31): 429
– 467.
Kattlemann,R. dan Yamada, T. 1996. Storms and Avalanches of November 1995, Khumbu
Himal, Nepal. Makalah disajikan dalam Proceedings of the 1996 International Snow Science
Workshop, Banff, Canada.
Sanchez, R. 22 Mei 2016. Cyclone Roanu batters Bangladesh, kills 21. CNN
(http://edition.cnn.com/2016/05/21/asia/bangladesh-cyclone-roanu/ diakses pada 22/03/2017).

Anda mungkin juga menyukai