Anda di halaman 1dari 63

BAB III

ANGIN, PASANG SURUT DAN GELOMBANG

3.1 Pendahuluan

Dalam perencanaan pelabuhan, beberapa faktor perlu dipertimbangkan agar dapat


mempengaruhi bangunan dan kapal yang berlabuh. Faktor-faktor yang penting meliputi
angin, pasang surut, dan gelombang. Pengetahuan tentang angin sangat penting karena
angin menimbulkan arus dan gelombang dan angin dapat menimbulkan tekanan pada
kapal dan bangunan pelabuhan. Pasang surut adalah penting di dalam menentukan
dimensi bangunan pelabuhan seperti pemecah gelombang, dermaga, pelampung
penambat, kedalaman alur pe- layaran dan perairan pelabuhan, dan sebagainya. Elevasi
puncak ba- ngunan didasarkan pada elevasi muka air pasang, sedang kedalaman alur dan
perairan pelabuhan berdasar muka air surut. Elevasi muka air rencana ditetapkan berdasar
pengukuran pasang surut dalam periode waktu yang panjang.

Gelombang yang menyerang bangunan pantai akan menimbulkan gaya-gaya yang


bekerja pada bangunan tersebut. Bangunan harus tetap aman terhadap gaya gelombang
yang bekerja padanya. Selain itu gelom- bang juga akan berpengaruh pada ketenangan di
perairan pelabuhan. Di dalam bab ini akan dipelajari angin, pasang surut dan gelombang.

3.2 Angin

Angin terjadi ketika udara mengalami sirkulasi yang sejajar dengan permukaan bumi.
Sirkulasi ini disebabkan oleh perubahan suhu atmosfer. Ketika udara dipanaskan, rapat
massanya berkurang, menyebabkan udara tersebut naik dan digantikan oleh udara yang
lebih dingin di sekitarnya. Perubahan suhu di atmosfer disebabkan oleh berbagai faktor,
seperti perbedaan penyerapan panas oleh tanah dan air, perbedaan suhu di gunung dan
lembah, atau perbedaan suhu pada belahan bumi utara dan selatan karena perbedaan
musim. Pada siang hari, daratan lebih cepat menyerap panas daripada air, sehingga udara
di atas daratan naik dan digantikan oleh udara dari laut, sehingga terjadi angin laut. Pada
malam hari, daratan lebih cepat melepaskan panas daripada air, sehingga udara di atas
laut naik dan digantikan oleh udara dari daratan, sehingga terjadi angin darat.

Indonesia mengalami angin musim, yaitu angin yang berhembus secara mantap dalam
satu arah dalam satu periode dalam satu tahun. Pada periode yang lain arah angin
berlawanan dengan angin pada periode sebelumnya. Angin musim ini terjadi karena
adanya perbedaan musim dingin dan panas di Benua Asia dan Australia. Pada bulan
Desember, Januari dan Febuari, belahan bumi di bagian utara mengalami musim dingin;
sedangkan belahan bumi bagian selatan mengalami musim panas.

Tekanan udara yang lebih tinggi di daratan Asia daripada daratan Australia menyebabkan
angin bergerak dari Asia ke Australia. Selain itu, perbedaan tekanan udara antara belahan
bumi utara dan selatan juga mempengaruhi arah angin, di mana angin dari Samudra
Pasifik biasanya bertiup dari timur laut dan berubah arah menjadi barat laut di sekitar
khatulistiwa. Di Indonesia, angin tersebut dikenal sebagai angin musim barat yang
bergerak dari arah barat laut.

Pada bulan Juli, Agustus, dan September, Australia mengalami musim dingin sementara
Asia mengalami musim panas. Akibatnya, angin kering dari daratan Australia bergerak
dari tenggara, dan di sekitar khatulistiwa, arah angin berubah menjadi dari barat daya ke
timur laut karena perputaran bumi. Di Indonesia, angin ini dikenal sebagai angin musim
timur. Sistem tekanan yang ada tetap, sehingga angin musim umumnya bertiup dengan
stabil, terutama di lautan. Arah angin musim dapat dipengaruhi oleh selat dan pegunungan
yang melintasi pulau-pulau. Gambar 3.1 menunjukkan arah angin musim. Dalam gambar
tersebut ditunjukkan pula garis isobar (garis dengan tekanan sama).
(Anugerah Nontji, 1987 dalam Bambang Triatmodjo 2010)
Gambar 3. 1 Arah angin musim

Istilah musim barat dan musim timur banyak digunakan, meskipun seringkali juga disebut
dengan istilah lain sesuai dengan arah utama angin yang bertiup disuatu daerah tertentu.
Misalnya musim barat di sebelah utara garis khatulistiwa sering pula disebut dengan
musim timur laut, di sekitar khatulistiwa disebut dengan musim utara dan di sebelah
selatan khatulistiwa dikenal dengan musim barat laut. Sebaliknya musim timur disebut
juga musim barat daya di utara khatulistiwa, musim selatan di khatulistiwa dan musim
tenggara di selatan khatulistiwa.

Angin terbagi menjadi dua jenis, yaitu angin musim dan angin lokal. Angin darat, laut,
lembah dan jatuh merupakan beberapa jenis angin lokal.

1. Angin Gunung dan Angin Lembah

Perbedaan pemanasan suhu juga terjadi dikawasan pegunungan dengan kawasan lembah,
berikut penjelasannya: Ketika matahari terbit merupakan waktu dimana angin lembah
terjadi, daerah pertama kali yang mendapatkan energi panas adalah puncak gunung dan
proses tersebut berlangsung sepanjang hari, lembah mendapatkan energi panas lebih
rendah dibandingkan lereng gunung. Sehingga terjadi perbedaan suhu antara lembah dan
lereng gunung. Udara dingin dari lembah menggantikan udara panas pada lereng gunung
yang naik, akibatnya terjadi aliran udara dari lembah menuju gunung yang dinamakan
dengan angin lembah. Sedangkan pada sore hari puncak gunung yang mendingin akan
mengalirkan udara ke lembah dan lembah akan melepas energi panas. Aliran udara
tersebut dinamakan angin gunung.

2. Angin Ribut atau Angin Puyuh

Angin ribut atau angin puyuh biasa juga disebut sebagai angin puting beliung, yaitu angin
kencang yang datang secara tiba – tiba, mempunyai pusat gerak seperti spiral hingga
menyentuh permukaan bumi dan hilang dalam waktu singkat (3 – 5 menit). Dengan
kecepatan angina rata – rata berkisar antara 30 – 40 knots. Angin ini berasal dari awan
Cumulonimbus (CB) yaitu awan yang bergumpal berwarna abu-abu gelap dan menjulang
tinggi. Namun, tidak semua awan Cumulonimbus menyebabkan angin puting beliung.
Puting beliung dapat terjadi dimana saja, di darat maupun di laut, dan jika terjadi di laut
durasinya lebih lama daripada di darat. Angin ini lebih sering terjadi pada siang atau sore
hari, terkadang pada malam hari dan lebih sering terjadi pada peralihan musim
(pancaroba).

3. Angin Fohn

Angin Fohn adalah angin bersifat kering dan panas yang turun dari lereng pegunungan.
Angin ini terjadi karena turunnya kelembaban udara yang mendapatkan pemanasan
secara dinamis. Sehingga udara panas dan keringlah yang mengalir ke daratan. Selain itu
jenis angin selain angin lokal merupakan angin yang bertiup dengan kawasan yang lebih
luas seperti angin musim atau angin monsoon. Ada dau jenis angin monsoon yang terjadi
di Indonesia, yaitu monsoon barat dan monsoon timur. Angin monsoon disebabkan oleh
perbedaan tekanan udara pada benua yang menggapit Indonesia, yaitu Benua Autralia
dengan udara kering dan Benua Asia dengan udara yang relatif lembab.

4. Angin Monsun Barat


Pada bulan Oktober hingga April merupakan bulan dimana angin monsoon barat terjadi.
Pada bulan tersebut belahan bumi bagian selatan tepat berada di bawah matahari, yang
mengakibatkan suhu pada belahan bumi bagian selatan lebih tinggi dibandingkan dengan
suhu bumi bagian utara, sehingga angin bertiup ke bumi bagian selatan.

5. Angin Monsun Timur

Pada bulan April hingga Oktober merupakan bulan dimana angin monsoon timur terjadi.
Pada saat itu bumi bagian utara berkedudukan tepat dibawah matahari. Menyebabkan
benua Australia mengalami musim dingin sehingga bertekanan tinggi. Sedangkan benua
Asia lebih panas, sehingga tekanannya rendah.

6. Angin Laut dan Angin Darat

Angin darat merupakan angin yang bertiup mengalir dari darat ke lautan, sedangkan angin
laut merupakan angin yang bertiup dari laut ke daratan. Adanya perbedaan sifat antara
lautan dan dartan mengakibatkan terjadinya angin darat dan angin laut. Lautan menyerap
dan melepas energi panas lebih lama daripada daratan. Proses terjadinya angin darat dan
angin laut :
a. Pada malam hari merupakan waktu terjadinya angin darat, dikarenakan daratan
melepas energi panas yang diserap dari permukaan bumi lebih cepat yang
mengakibatkan suhu udara menjadi dingin. Sedangkan energi panas di lautan sedang
mengalami proses pelepasan energi ke udara. Udara yang naik dari lautan ke atas
digantikan oleh udara dingin yang bergerak dari daratan, sehingga hal ini merupakan
penyebab terjadinya aliran udara dari daratan menuju ke lautan. Pada malam hari
hingga dini hari merupakan waktu terjadinya angin darat.
b. Pada waktu pagi hingga sore merupakan waktu terjadinya angin laut, karena energi
panas yang ada di daratan diserap lebih cepat daripada energi panas yang diserap di
lautan, sehingga udara lebih panas terjadi di daratan daripada di lautan. Udara dingin
dari lautan akan naik dan menggantikan udara panas di daratan. Kecepatan angin di
ukur dengan anemometer. Anemometer adalah sebuah alat pengukur kecepatan angin
yang paling banyak dipakai dalam bidang Meteorologi dan Geofisika atau stasiun
prakiraan cuaca karena alat ini masih diyakini sebagai alat yang paling akurat untuk
mengukur kecepatan angin. Nama alat ini berasal dari bahasa Yunani yaitu anemos
yang berarti angin. Fungsi yang paling utama dari anemometer ialah mengukur
kecepatan angin dan dapat juga menentukan arah mata angin. Fungsi lainnya dari alat
ini yaitu dapat juga digunakan untuk mengukur gas, mengukur tinggi gelombang laut
dan mengukur tekanan udara. Cara menggunakan anemometer dengan baik dan
sesuai dengan prosedur penggunaan alat tersebut yaitu dengan memegang
anemometer secara vertikal, kemudian menstabilkan anemometer dengan penyangga
agar saat penggunaan alay tersebut berjalan dengan stabil dan kecepatan angin akan
muncul secara otomatis pada speedometer yang terdapat pada layar LCD
anemometer. Gambar 3.2 adalah gambar anemometer yang digunakan untuk
mengukur kecepatan angin.

Gambar 3. 2 Anenometer

Apabila tidak tersedia anemometer, kecepatan angin dapat diperkirakan berdasar keadaan
lingkungan dengan menggunakan skala Beaufort, seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.1.
Kecepatan angin biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot adalah panjang satu menit
garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852
km/jam.
Tabel 3. 1 Skala Beaufort

V P
Tingkat Sifat Angin Keadaan Lingkungan
(knot) (kg/m2)
0 Sunyi (calm) Tidak ada angin, asap mengumpul 0-1 0,2
Arah angin terlihat pada arah asap,
1 Angin sepoi 1-3 0,8
tidak ada bendera angina
Angin terasa pada muka, daun
2 Angin sangat lemah 4-6 3,5
ringan bergerak
Daun/ranting terus menerus
3 Angin lemah 7-10 8,1
bergerak
Debu/kertas tertiup, ranting dan
4 Angin sedang 11-16 15,7
cabang kecil bergerak
Pohon kecil bergerak, buih putih
5 Angin agak kuat 17-21 26,6
di laut
Dahan besar bergerak, suara
6 Angin kuat 22-27 41,0
mendesir kawat tilpun
Pohon seluruhnya bergerak,
7 Angin kencang 28-33 60,1
perjalanan di luar sukar
Ranting pohon patah, berjalan
8 Angin sangat kuat 34-40 83,2
menentang ranting
Kerusakan kecil pada rumah,
9 Badai 41-47 102,5
genting tertiup dan terlempar
Pohon tumbang, kerusakan besar
10 Badai kuat 48-55 147,5
pada rumah
Kerusakan karena badai terdapat
11 Angin rebut 56-63 188,0
di daerah luas
Pohon besar tumbang, rumah
12 Angin topan 64 213,0
rusak berat

Dengan :
V = kecepatan angin
P = tekanan angin
Data angin kemudian dicatat tiap jam dengan pencatatan angin tersebut akan diketahui
angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan angin maksimum, arah angin,
dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata harian. Untuk data yang disajikan dalam
bentuk tabel (ringkasan) atau diagram disebut dengan mawar angin. Penyajian tersebut
dapat diberikan dalam bentuk bulanan, tahunan, atau untuk beberapa tahun pencatatan.
Dengan tabel atau mawar angin tersebut maka karakteristik angin dapat dibaca dengan
cepat. Tabel 3.2 adalah contoh penyajian data angin dalam bentuk tabel dari pencatatan
angin di lapangan terbang Kemayoran selama 11 tahun (1974-1985). Sedangkan gambar
3.3 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan data dalam tabel 3.2.

Tabel 3. 2 Data Persentasi Kejadian Angin di Kemayoran Tahun 1974-1985

Kecepatan Arah Angin


(knot) U TL T TG S BD B BL
0-10 88,3%
10-13 1,23 0,27 0,32 0,06 0,08 0,6 0,56 1,35
13-16 1,84 0,40 0,48 0,08 0,13 0,7 0,70 2,03
16-21 0,17 0,07 0,08 0,01 0,01 0,12 0,12 0,20
21-27 0,01 - - - - 0,03 0,03 -

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 3 Mawar Angin
Tabel dan gambar tersebut menunjukan presentasi kejadian angin dengan kecepatan
tertentu dari berbagai arah dalam periode waktu pencatatan. Sebagai contoh, presentasi
kejadian angin dengan kecepatan 10-13 knot dari arah utara adalah 1,23 % dari 11 tahun
pencatatan. Dalam gambar tersebut garis-garis radial adalah arah angin dan tiap lingkaran
menunjukkan persentasi kejadian angin dalam periode waktu pengukuran.

3.3 Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya
Tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya
terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari.

Pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan pelabuhan.


Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk
merencankan bangunan-bangunan pelabuhan. Sebagai contoh, elevasi puncak bangunan
pemecah gelombang dan dermaga ditentukan oleh elevasi muka air pasang, semetara
kedalaman alur pelayaran dan perairan pelabuhan ditentukan oleh muka air surut.

3.3.1 Kurva Pasang Surut

Gambar 3.3 adalah contoh gambaran kondisi pasang surut yang merupakan hasil
pencatatan muka air laut sebagai fungsi waktu (kurva pasang surut). Kurva tersebut
menggambarkan ketinggian air laut pada suatu waktu tertentu. Sumbu x menunjukkan
waktu, sedang sumbu y menunjukkan ketinggian muka air laut.

Terdapat beberapa istilah dalam kurva pasang surut, di antaranya sebagai berikut. Tinggi
pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah
(lembah air surut) yang berurutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan
dari posisi muka air rerata ke posisi yang sama berikutnya. Selain itu, periode pasang
surut dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan dari posisi muka air tertinggi (atau
terendah) sampai ke muka air tertinggi (atau terendah) berikutnya. Periode pasang surut
bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit, yang bergantung pada tipe pasang surut.
Periode ketika muka air bergerak naik disebut pasang, sedangkan pada saat air bergerak
turun disebut surut. Adanya variasi muka air menimbulkan arus yang disebut dengan arus
pasang surut, yang mengangkut massa air dalam jumlah sangat besar. Arus pasang terjadi
pada saat periode pasang dan arus surut terjadi pada saat periode air surut. Titik balik
(slack) adalah saat dimana arus berbalik antara arus pasang dan arus surut. Titik balik ini
dapat terjadi pada saat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat tersebut,
kecepatan arus adalah nol.

(Bambang triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 4 Kurva Pasang Surut

3.3.2 Pembangkitan Pasang Surut

Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik antara bumi,
bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan dengan memandang
suatu sistem bumi-bulan, sedangkan untuk sistem bumi-matahari penjelasannya identik.
Di anggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan,
tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar).

Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih tinggi daripada di
garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya yang seragam di sepanjang
garis lintang yang sama, maka tidak dapat diamati sebagai suatu variasi pasang surut.
Oleh karena itu, rotasi bumi tidak menyebabkan pasang surut, karena dianggap bahwa
bumi tidak berotasi. Gaya tarik menarik antara bumi dan bulan tersebut menyebabkan
sistem bumi-bulan menjadi satu sistem kesatuan yang beredar bersama-sama sekeliling
sumbu perputaran bersama (common axis of revolution). Sumbu perputaran bersama ini
adalah pusat berat dari sistem bumi-bulan, yang berada di bumi dengan jarak 1718 km di
bawah permukaan bumi.

Selama peredaran tersebut, setiap titik di bumi beredar sekeliling pusatnya dalam orbit
berbentuk lingkaran dengan jari-jari sama dengan jari-jari dari revolusi pusat massa bumi
sekeliling sumbu perputaran bersama. Jari-jari tersebut adalah sama dengan jarak antara
pusat massa bumi dan sumbu perputaran bersama. Gambar 3.5.a. menunjukkan revolusi
pusat massa bumi sekeliling sumbu perputaran bersama. Dipandang titik P yang berada
di permukaan bumi. Selama gerak revolusi pusat massa bumi C sekeliling sumbu
perputaran bersama G (tidak disertai dengan rotasi) titik P beredar sekeliling Cp dengan
orbit lintasan berbentuk lingkaran yang berjari-jari sama dengan jari-jari orbit pusat
massa bumi sekeliling sumbu perputaran bersama (CG). Dalam peredaran tersebut titik
C1 bergerak ke C2 dan P1 juga bergerak ke P2. Demikian juga karena C2 bergerak ke C3,
P2 juga bergerak ke P3, demikian seterusnya. Orbit yang dilintasi adalah P1 P2 P3 dan
seterusnya.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 5 5 Pembangkitan Pasang Surut (schwartz, ML, 1987)
Dengan adanya perputaran tersebut maka pada setiap titik di bumi bekerja gaya
sentrifugal (Fc) yang sama besar dan arahnya. Arah gaya tersebut adalah berlawanan
dengan posisi bulan. Selain itu karena pengaruh gravitasi bulan, setiap titik di bumi
mengalami gaya tarik (FMg) dengan arah menuju pusat massa bulan, sedang besar gaya
tergantung pada jarak antara titik yang ditinjau dan pusat massa bulan. Gaya pembangkit
pasang surut adalah resultan dari kedua gaya tersebut (Gambar 3.5.b). Pada sumbu bumi
gaya gravitasi dan gaya sentrifugal adalah seimbang. Suatu elemen air yang berada pada
sisi bumi yang terjauh dari bulan, gaya sentrifugal lebih besar dari gaya gravitasi (FMVc,
< Fg), sehingga resultannya keluar dan akibatnya permukaan air tertarik keluar.
Sedangkan pada belahan bumi yang terdekat dengan bulan F < MVg < FMVc, sehingga
resultannya juga keluar (ke arah bulan) dan permukaan air tertarik ke arah bulan.

Penjelasan tentang pembangkitan pasang surut yang sudah dijelaskan adalah anggapan
bahwa bumi dikeliling oleh laut secara merata. Pada kenyataannya di permukaan bumi
terdapat pulau- pulau dan benua- benua. Selain itu dasar laut juga tidak rata, karena
adanya palung yang dalam, perairan dangkal, selat, teluk, gunung bawah laut, dan
sebagainya. Keadaan ini yang menyebabkan terjadinya penyimpangan- penyimpangan
dari kondisi yang ideal, dan dapat menimbulkan ciri- ciri pasang surut yang berbeda dari
satu lokasi ke lokasi lainnya.

3.3.3 Beberapa Tipe Pasang Surut

Pasang surut yang terjadi di berbagai daerah tidak selalu sama. Pasang surut dapat terjadi
satu atau dua kali sehari di suatu daerah. Secara umum, pasang surut dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide),
harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Gambar 3.6. menunjukkan
keempat jenis pasang surut tersebut. Sedangkan Gambar 3.7. adalah sebaran keempat
jenis pasang surut tersebut di Indonesia dan sekitarnya

1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide)


Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide) terjadi apabila air mengalami pasang
sebanyak dua kali dan air mengalami surut sebanyak dua kali, dengan ketinggian yang
hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur (Gambar 3.6.a.).
Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Jenis pasang surut ini dapat
ditemukan di Selat Malaka sampai laut Andaman.

2. Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal Tide)

Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) terjadi apabila terjadi satu kali air mengalami
pasang dan satu kali air mengalami surut dalam satu hari (Gambar 3.6.d). Periode pasang
surut adalah 24 jam 50 menit. Jenis pasang surut ini dapat ditemukan di perairan Selat
Karimata.

3. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide Prevailing


Semidiurnal)

Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal)
terjadi apabila dalam satu hari air mengalami pasang sebanyak dua kali dan air mengalami
surut dua kali juga, tetapi tinggi dan periodenya berbeda (Gambar 3.6.b.). Jenis pasang
surut ini banyak ditemukan di perairan Indonesia Timur.

4. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed Tide Prevailing


Diurnal)

Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) terjadi
apabila air mengalami pasang dan surut dalam satu hari, tetapi terkadang terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dengan ketinggian dan periode yang sangat berbeda dalma
beberapa waktu (Gambar 3.6.c). Jenis pasang surut ini dapat ditemukan di selat
Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
(Anugerah Nontji, 1987 dalam Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 6 Tipe Pasang Surut

(Anugerah Nontji, 1987 dalam Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 7 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia dan Sekitarnya
3.3.4 Pasang Surut Purnama dan Perbani
Pasang purnama (spring tides) merupakan peristiwa yang terjadi ketika posisi bumi,
bulan, dan matahari sedang berada dalam satu garis lurus. Menurut modul "Geografi"
yang dipublikasikan oleh Kemendikbud, peristiwa ini biasanya terjadi pada awal bulan
dan pertengahan bulan ketika kemunculan bulan baru dan purnama. Pasang purnama
menyebabkan pasang naik dan pasang surut yang ekstrem. Ini artinya jika sedang pasang
naik maka gelombang laut akan sangat tinggi, sementara jika sedang pasang surut maka
gelombang akan sangat rendah. Peristiwa pasang-surut pada periode ini dikarenakan
kombinasi antara gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi.

Pasang perbani atau dikenal juga dengan istilah neap tides merupakan peristiwa yang
terjadi ketika posisi bulan dan matahari saling membentuk sudut 90°. Dengan kata lain,
peristiwa ini disebabkan pada saat bumi, bulan, dan matahari berada dalam posisi tegak
lurus. Posisi tersebut menyebabkan gravitasi yang dihasilkan antara bulan dengan
matahari terhadap bumi saling berlawanan. Akibatnya, pasang-surut yang dihasilkan
dalam periode ini merupakan peristiwa pasang-surut yang terendah. Sama dengan pasang
purnama, pasang perbani juga terjadi dalam dua waktu, yaitu ketika bulan seperempat
dan ketika bulan tiga perempat.

Permukaan bumi yang menghadap ke bulan akan mengalami pasang naik, sedangkan
permukaan bumi yang tidak menghadap ke bulan akan mengalami psang surut. Proses
terjadinya pasang surut purnama dan perbani ini dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
Seperti telah dijelaskan di depan, dengan adanya gaya tarik bulan dan matahari maka
lapisan air yang semula berbentuk bola berubah menjadi ellips. Karena peredaran bumi
dan bulan pada orbitnya, maka posisi bumi-bulan-matahari selalu berubah setiap saat.

Revolusi bulan terhadap bumi ditempuh dalam waktu 29,5 hari (jumlah hari dalam satu
bulan menurut kalender tahun kamariah, yaitu tahun yang didasarkan pada peredaran
bulan). Pada setiap sekitar tanggal 1 dan 15 (bulan muda dan bulan purnama) posisi bumi-
bulan-matahari kira-kira berada pada satu garis lurus (Gambar 3.8.a), sehingga gaya tarik
bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat. Dalam keadaan ini terjadi pasang
surut perbani (pasang kecil, neap tide) di mana tinggi pasang surut kecil dibanding dengan
hari- hari lain. Gambar 3.9 menunjukkan variasi pasang surut selama satu bulan yang
menunjukkan terjadinya pasang surut purnama dan perbani.

Gambar 3. 8 Kedudukan Bumi- Bulan- Matahri saat Pasang Purnama (a) dan Perbani (b)

Gambar 3. 9 Variasi Pasang Surut tergantung Tata Letak Bumi- Bulan- Matahari

3.3.5 Beberapa Definisi Elevasi Muka Air

Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut ini.


1. Muka air tinggi (high water level), muka air tertinggi yang dicapai pada saat air
pasang dalam satu siklus pasang surut.
2. Muka air rendah (low water level), kedudukan air terendah yang dicapai pada saat
air surut dalam satu siklus pasang surut.
3. Muka air tinggi rerata (mean high water level,MHWL), adalah rerata dari muka air
tinggi selama periode 19 tahun.
4. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air
rendah selama periode 19 tahun.
5. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka air
tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk
elevasi di daratan.
6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air tertinggi pada
saat pasang surut purnama atau bulan mati.
7. Air rendah terendah (Lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat
pasang surut purnama atau bulan mati.
8. Higher high water level, adalah air tertinggi dari dua air tinggi dalam satu hari, seperti
dalam pasang surut tipe campuran.
9. Lower low water level, adalah air terendah dari dua air rendah dalam satu hari.

Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam perencanaan bangunan
pelabuhan, misalnya MHWL atau HHWL digunakan untuk menentukan elevasi puncak
pemecah gelombang, dermaga, panjang rantai pelampung penambat, dan sebagainya.
Sedangkan LLWL diperlukan untuk menentukan kedalaman alur pelayaran dan kolam
pelabuhan.

3.3.6 Elevasi Muka Air Rencana

Di dalam perencanaan pelabuhan diperlukan data pengamatan pasang surut minimal 15


hari yang digunakan untuk menentukan elevasi muka air rencana. Dengan pengamatan
selama 15 hari tersebut telah tercakup satu siklus psang surut yang meliputi pasang
purnama dan perbani. Pengamatan lebih lama (30 hari atau lebih) akan memberikan data-
data yang lebih lengkap. Pengamatan muka air dapat dengan menggunakan alat otomatis
(automatic water level recorder) atau secara manual dengan menggunakan bak ukur
dengan interval pengamatan setiap jam, siang dan malam. Untuk dapat melakukan
pembacaan dengan baik tanpa terpengaruh gelombang, biasanya pengamatan dilakukan
di tempat terlindung, seperti muara sungai atau teluk.

Gambar 3.9 adalah contoh hasil pengamatan pasang surut selama 30 hari di muara sungai
Donan, Cilacap. Dari kurva pasang surut tersebut dapat ditentukan beberapa elevasi muka
air, yaitu MHWL, MLWL, MSL, HHWL dan LLWL. Dari data pengamatan selama 15 hari
atau 30 hari dapat diramalkan pasang surut untuk periode berikutnya dengan
menggunakan metode Admiralty atau metode kuadrat terkecil (least square method).
Metode ini dapa dipelajari dari buku-buku tentang pasang surut atau teknik pantai.
Jawatan Hidrooseanografi di Jakarta setiap tahun menerbitkan buku Daftar Pasang Surut
Kepulauan Indonesia yang berisi data pasang surut di berbagao lokasi di Indonesia.

Gambar 3. 10 Kurva Pasang Surut dan Beberapa Elevasi Muka Air

3.4 Gelombang

3.4.1 Teori Gelombang Airy

Gambar 3.. menunjukkan suatu gelombang yang berada pada sistem koordinat x,y.
Gelombang menjalar pada arah sumbu z.
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 11 Definisi Gelombang

Beberapa notasi yang digunakan adalah :


D : jarak antara muka air rerata dan dasar laut
ᶯ(x, I) : ftuktuasi muka air terhadap muka air diam
a : amplitudo gelombang
H : tinggi gelombang = 2a
L : panjang gelombang
T : periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh partikel air untuk
kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya.
C : kecepatan rambat gelombang = L/T
k : angka gelombang 2π/L
w : frekuensi gelombang 2π/T

Dalam gambar tersebut gelombang bergerak dengan cepat rambat C di air dengan
kedalaman d. Dalam hal ini yang bergerak (merambat) hanya bentuk (profil) muka airnya.
Tidak seperti dalam aliran air di sungai di mana partikel (massa) air bergerak searah
aliran, pada gelombang partikel air bergerak dalam satu orbit tertutup sehingga tidak
bergerak maju ke arah sumbu x. Suatu pelampung yang berada di laut hanya bergerak
naik turun mengikuti gelombang dan tidak berpindah (dalam arah penjalaran) dari
tempatnya semula. Posisi partikel setiap saat selama ge- rak orbit tersebut diberikan oleh
koordinat horisontal (ζ) dan vertikal (ε) terhadap pusat orbit. Komponen kecepatan
vertikal pada setiap saat adalah u dan v, dan elevasi muka air terhadap muka air diam
(sumbu x) di setiap titik adalah ɳ.
a. Profil Muka Air

Profil muka air merupakan fungsi ruang (x) dan waktu (t) yang mempunyai bentuk berikut
ini.

𝐻
𝜂(𝑥, 𝑡) = cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.1)
2

Persamaan (3.1) menunjukkan bahwa fluktuasi muka air adalah periodik terhadap x dan
t, dan merupakan gelombang sinusoidal dan progresif yang menjalar dalam arah sumbu
x positif.

Gambar 3.11. adalah bentuk gelombang dari Persamaan (3.1) untuk empat nilai t yaitu t0
= 0, t1=T/8, t2=T/4, t3=3T/8; dengan T adalah periode gelombang. Kurva 1, 2, 3 dan 4
adalah bentuk muka air pada keempat nilai I tersebut. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa sesuai dengan perubahan waktu gelombang menjalar dalam arah sumbu x dengan
cepat rambat C = L/T, dengan L adalah panjang gelombang. Penjalaran tersebut terlihat
dari bergesernya puncak gelombang, dari kiri ke kanan sesuai dengan perubahan waktu.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 12 Profil Muka Air karena Adanya Gelombang

b. Cepat Rambat dan Panjang Gelombang


Cepat rambat (C) dan panjang gelombang (L) diberikan oleh persamaan berikut ini.
𝑔𝑇 2𝜋𝑑 𝑔𝑇
𝐶 = 2𝜋 𝑡𝑎𝑛ℎ = 2𝜋 tanh 𝑘𝑑 (3.2)
𝐿
𝑔𝑇 2 2𝜋𝑑 𝑔𝑇 2
𝐶= 𝑡𝑎𝑛ℎ = tanh 𝑘𝑑 (3.3)
2𝜋 𝐿 2𝜋

Dengan k = 2π/L
Jika kedalaman air dan periode gelombang diketahui, maka dengan cara coba-banding
(iterasi) akan didapat panjang gelombang L.

c. Klasifikasi Gelombang Menurut Kedalaman Relatif

Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air d dan panjang
gelombang L, (d/L), gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu:
1. Gelombang di laut dangkal jika d/L < 1/20
2. Gelombang di laut transisi jika 1/20 < d/L < 1/2
3. Gelombang di laut dalam jika d/L > ½

Klasifikasi ini dilakukan untuk menyederhanakan rumus-rumus gelombang. Apabila


kedalaman relatif d/L adalah lebih besar dari 0,5; nilai tanah (2πd/L) = 1,0 sehingga
Persamaan (3.2.) dan (3.3.) menjadi (untuk g = 9,8l m/d2) :
𝑔𝑇
𝐶0 = 2𝜋 = 1,56𝑇 (3.4)
𝑔𝑇 2
𝐿0 = = 1,56𝑇 2 (3.5)
2𝜋

Indeks 0 menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut adalah untuk kondisi di laut dalam. Di
laut dalam, cepat rambat dan panjang gelombang hanya tergantung pada periode
gelombang T.

Apabila kedalaman relatif kurang dari 1/20, nilai tanh (2π/L) = (2πd/L) sehingga
persamaan (3.2) dan (3.3) menjadi :
𝐶 = √𝑔𝑑 (3.6)
𝐿 = √𝑔𝑑 T (3.7)
Di laut dangkal, cepat rambat gelombang hanya tergantung pada kedalaman.

Untuk gelombang di laut transisi, yaitu apabila 1/20 < d/L < ½, cepat rambat dan panjang
gelombang dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.2) dan (3.3).

Terdapat hubungan antara panjang gelombang di laut dalam dan di suatu lokasi yang
ditinjau, yaitu :
𝑑 𝑑 2𝜋𝑑
= 𝐿 𝑡𝑎𝑛ℎ ( ) (3.8)
𝐿0 𝐿

d. Kecepatan Partikel Air

Komponen horizontal dan vertikal dari kecepatan dan percepatan partikel mempunyai
bentuk berikut ini:
𝜋𝐻 cos 𝑘(𝑑+𝑦)
𝑢=(𝑇) cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.9)
sin 𝑘𝑑
𝜋𝐻 sin 𝑘(𝑑+𝑦)
𝑣=(𝑇) sin (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.10)
sin 𝑘𝑑
2𝜋 2 𝐻 cos 𝑘(𝑑+𝑦)
𝑎𝑥 = ( ) s in (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.11)
𝑇2 sin 𝑘𝑑
2𝜋 2 𝐻 sin 𝑘(𝑑+𝑦)
𝑎𝑦 = ( ) cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.12)
𝑇2 sin 𝑘𝑑

Kecepatan partikel maksimum terjadi pada permukaan air dan berkurang dengan
kedalaman sampai akhirnya nol pada kedalaman relatif d/L = 0,5; seperti terlihat dalam
Gambar 3.13.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 13 Distribusi Kecepatan Partikel pada Kedalaman
e. Perpindahan Partikel

Ordinat horizontal dan vertikal dari gerak orbit partikel terhadap pusat orbit diberikan
dalam bentuk berikut ini:
𝐻 cos 𝑘 (𝑑+𝑦)
𝜁 =−2 sin(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.13)
sin 𝑘𝑑
𝐻 sin 𝑘 (𝑑+𝑦)
𝜀= cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.14)
2 sin 𝑘𝑑

Selama penjalaran gelombang dari laut dalam ke laut dangkal, orbit partikel mengalami
perubahan bentuk seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.14. Orbit perpindahan
partikel berbentuk lingkaran pada seluruh kedalaman di laut dalam. Di laut transisi dan
dangkal lintasan partikel berbentuk ellips. Semakin besar kedalaman bentuk ellips
semakin pipih, dan di dasar gerak partikel adalah horizontal.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 14 Gerak Orbit Partikel Air di Laut Dangkal, Transisi dan Dalam

f. Tekanan Gelombang

Tekanan yang disebabkan oleh gelombang merupakan gabungan dari tekanan hidrostatis
dan dinamis yang disebabkan oleh gelombang, dan mempunyai bentuk berikut ini.
Gambar 3.15. menunjukkan distribusi tekanan tersebut.
𝜌𝑔𝐻 cos 𝑘(𝑑+𝑦)
𝑝 = −𝜌𝑔𝑦 + ( ) cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) (3.15)
2 cos 𝑘𝑑
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 15 Tekanan Gelombang

g. Kecepatan Kelompok Gelombang

Kecepatan kelompok gelombang mempunyai bentuk berikut :


1𝐿 2𝑘𝑑
𝐶𝑔 = 2 𝑇 (1 + sinh 2𝑘𝑑) = 𝑛𝐶 (3.16)
1 2𝑘𝑑
𝑛 = 2 (1 + sinh 2𝑘𝑑) (3.17)

h. Energi dan Tenaga Gelombang

Energi total gelombang adalah jumlah dari energi kinetik dan energi potensial gelombang.
Energi kinetik adalah energi yang disebabkan oleh kecepatan partikel air karena adanya
gerak gelombang. Energi potensial adalah energi yang dihasilkan oleh perpindahan muka
air karena adanya gelombang. Tenaga gelombang adalah energi gelombang tiap satu
satuan waktu yang menjalar dalam arah penjalaran gelombang.
Energi kinetik gelombang :
𝜌𝑔𝐻 2 𝐿
𝐸𝑘 = ( )
16

Energi potensial gelombang :


𝜌𝑔𝐻 2 𝐿
𝐸𝑝 = ( )
16

Energi Total Gelombang :


𝜌𝑔𝐻 2 𝐿
𝐸𝑡 = 𝐸𝑘 + 𝐸𝑝 = ( 8
) (3.18)

Tenaga Gelombang :
𝑛𝐸
𝑃= (3.19)
𝑇

Dengan :
1 2𝑘𝑑
𝑛 = 2 (1 + 𝑠𝑖𝑛ℎ2𝑘𝑑) (3.20)

Contoh Soal 1
Gelombang dengan periode 10 detik terjadi di laut dengan kedalaman 30 m. hitung
panjang dan cepat rambat gelombang. Hitung pula panjang dan cepat rambat gelombang
pada kedalaman 5 m.
Penyelesaian :
Panjang gelombang dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.5) atau Lampiran
A-1 dalam Lampiran A. Penyelesaian berdasar Persamaan (3.3) dilakukan dengan cara
iterasi (coba banding) dalam contoh hitungan ini digunakan Lampiran A-1 dengan
prosedur hitungan berikut ini.
Panjang gelombang di laut dalam (Persamaan 3.5) :
L0 = 1,56T2 = 1,56 x 102 = 156 meter

Untuk kedalaman 30 m :
𝑑 30
= = 0,1923
𝐿𝑜 156

Dengan Lampiran A-1 untuk nilai d/Lo didapat nilai d/l (dengan interpolasi):
𝑑 0,0003
= 0,21839 + (0,2193 − 0,21839) = 0,218642
𝐿 0,001

Panjang gelombang :
30
𝐿= = 137,2 𝑚
0,218642

Cepat rambat gelombang :


𝐿 137,2
𝐶= = = 13,72 𝑚/𝑑
𝑇 10

Untuk d = 5 m :
𝑑 5 𝑑
= = 0,032 → = 0,07385
𝐿𝑜 156 𝐿
Panjang gelombang :
5
𝐿 = 0,07385 = 67,6 𝑚

Cepat rambat gelombang :


67,7
𝐶= = 6,77 𝑚/𝑑
10

Contoh Soal 2 :

Suatu gelombang dengan periode T = 8 detik, di air dengan kedalaman d = 15 m dan


tinggi gtelombang 2,0 m. Hitung kecepatan dan percepatan horizontal dan vertikal u, v,
ax, ay pada posisi x = 10 m dan y = -5 m di bawah muka air untuk t = 0.

Penyelesaian :

Untuk x = 10 m

Hitungan dilakukan dengan menggunakan Lampiran A-1 dalam Lampiran A. Dihitung


panjang gelombang pada kedalaman d = 15 m.

𝑑 15
𝐿𝑜 = 1,56𝑇 2 = 1,56(102 ) = 99,84 𝑚 → = = 0,1502
𝐿𝑜 99,84

Dari Lampiran A-1 dengan interpolasi :

𝑑 2
= 0,1833 + (0,18414 − 0,1833) = 0,183468
𝐿 10
15
𝐿 = 0,183468= 81,76 m

Kecepatan dan percepatan partikel pada posisi x = 10 m dan t = 0 (Persamaan 3.9).

𝜋𝐻 cosh 𝑘 (𝑑 + 𝑦)
𝑢=( )( ) cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
𝑇 sin ℎ 𝑘𝑑

15 − 5
𝜋𝑥2 cosh 2𝜋 81,76 2𝜋 𝑥 10 2𝜋𝑥0
𝑢=( )( ) cos ( − )
8 sin 2𝜋15 81,76 81,76
81,76
𝜋
cosh(0,7685) 2 × 180° × 10
𝑢=4 𝑐𝑜𝑠 ( − 0)
sinh (1,1527 81,76

Dari lampiran A-1 untuk 2π/L = 0,7685 dan dengan interpolasi didapat :

0,0001
cosh(0,7685) = 1,31 + ( (1,3149 − 1,31)) = 1,3101
(0,7741 − 0,7684)

sinh(0,7685) = 0,8643

0,001
sinh(1,1527) = 1,4238 + (1,4329 − 1,4238) = 1,4255
0,0053

Sehingga :

𝜋
1,3101
𝑢=4 cos(44,03°) = 0,519 𝑚/𝑑
1,4255

Dengan cara yang sama, komponen kecepatan vertikal adalah (Persamaan 3.10) :

𝜋𝐻 𝑠𝑖𝑛ℎ𝑘(𝑑 + 𝑦)
𝑣 = ( )( ) sin(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
𝑇 sinh 𝑘𝑑

𝜋 0,8463
𝑣= 𝑥 sin(44,03°) = 0,3241 𝑚/𝑑
4 1,4255

Percepatan partikel dalam arah horizontal dan vertikal (Persamaan 3.11 dan 3.12) :

2𝜋 2 𝐻
( 2 ) 𝑐𝑜𝑠ℎ𝑘(𝑑 + 𝑦)
𝑇
𝑎𝑥 = sin (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
sinh 𝑘𝑑

2𝜋 2 𝑥2 1,3101
𝑎𝑥 = ( 2 ) sin(44,03°) = 0,394 𝑚/𝑑 2
8 1,4255
2𝜋 2 𝐻
( ) sinh 𝑘 (𝑑 + 𝑦)
𝑇2
𝑎𝑦 = − cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
sinh 𝑘𝑑

2𝜋 2 𝑥 2
( ) 0,8463
82
𝑎𝑥 = − cos 44,03° = −0,263 𝑚/𝑑 2
1,4255

3.4.2 Refraksi Gelombang

Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Di daerah dimana
kedalaman air lebih besar dari setengah panjang gelombang, yaitu di laut dalam,
gelombang menjalar tanpa dipengaruhi dasar laut. Tetapi di laut transisi dan dangkal,
dasar laut mempengaruhi gelombang. Di daerah ini, apabila ditinjau suatu garis puncak
gelombang, bagian dari puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan
menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian di air yang lebih dalam.
Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan berusaha untuk sejajar dengan
garis kedalaman laut. Garis ortogonal gelombang, yaitu garis yang tegak lurus dengan
garis puncak gelombang dan menunjukkan arah penjalaran gelombang, juga akan
membelok dan berusaha untuk menuju tegak lurus dengan garis kontur dasar laut.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 16 Refraksi Gelombang
Gambar di atas menunjukkan contoh refraksi gelombang di daerah pantai yang
mempunyai garis kontur dasar laut dan garis pantai yang tidak teratur. Suatu deretan
gelombang yang di laut dalam mempunyai panjang gelombang L0 dan garis puncak
gelombang sejajar bergerak menuju pantai. Terlihat dalam gambar bahwa garis puncak
gelombang berubah bentuk dan berusaha untuk sejajar garis kontur dan garis pantai. Garis
ortogonal gelombang membelok dalam arah menuju tegak lurus garis kontur. Pada lokasi
1, garis ortogonal gelombang menguncup sedang di lokasi 2 garis ortogonal gelombang
menyebar. Karena energi di antara dua garis ortogonal adalah konstan sepanjang lintasan,
berarti energi gelombang tiap satuan lebar di lokasi 1 adalah lebih besar daripada di lokasi
2 (jarak antara garis ortogonal di lokasi 1 lebih kecil daripada di laut dalam sedang di
lokasi 2 jarak tersebut lebih besar). Apabila akan direncanakn suatu pelabuhan di daerah
pantai tersebut, maka lokasi 2 adalah lebih cocok daripada lokasi 1, karena bangunan-
bangunan yang direncanakan akan menahan energi gelombang yang lebih kecil.

Dipandang dua garis ortogonal yang melintas dari laut dalam menuju pantai dan dianggap
tidak ada energi yang merambat ke arah garis puncak gelombang (seperti gambar di
bawah ini). Tenaga yang terjandung di antara dua garis ortogonal dapat dianggap konstan.
Apabila jara antara garis ortogonal adalah b, maka tenaga gelombang di laut dalam dan
di suatu titik yang ditinjau adalah :

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 17 Refraksi Gelombang pada Kontur Lurus dan Sejajar
𝑏𝑛𝐸 𝑏𝑛𝐸
( )0 = ( ) 1 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛
𝑇 𝑇

Apabila energi gelombang seperti yang diberikan oleh Persamaan (3.18) disubtitusikan
ke dalam persamaan di atas maka :
𝐻12 𝑏0 𝑛0 𝐿0
=
𝐻02 𝑏1 𝑛1 𝐿1
𝐻1 𝑛 𝐿 𝑏
= √𝑛0 𝐿0 √𝑏0 (3.21)
𝐻0 1 1 1

Suku pertama dari pers di atas adalah pengaruh pendangkalan sedang suku kedua adalah
pengaruh garis ortogonal menguncup (konvergen) atau menyebar (divergen) yang
disebabkan oleh refraksi gelombang. Kedua suku tersebut dikenal sebagai koefisien
pendangkalan Ks dan koefisien refraksi Kr, sehingga Persamaan (3.21) menjadi :
𝐻1 = 𝐾𝑠 𝐾𝑟 𝐻0 (3.22)

Hukum Snell berlaku :


𝐶
sin 𝛼1 = (𝐶1 ) 𝑠𝑖𝑛𝛼0 (3.23)
0

Dengan :
α0 : sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar di mana gelombang
melintas
α1 : sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi kontur
dasar berikutnya
C0 : kecepatan gelombang pada kedalaman di kontur pertama
C1 : kecepatan gelombang pada kedalaman kontur berikutnya

Apabila kontur dasar laut lurus dan sejajar maka jarak x di titik 0 dan 1 adalah sama
sehingga :
𝑏0 𝑏1
𝑥= =
𝑐𝑜𝑠𝛼0 𝑐𝑜𝑠𝛼1

Dan koefisien refraksi adalah :


𝑏 𝑐𝑜𝑠𝛼
𝐾𝑟 = √𝑏0 = √𝑐𝑜𝑠𝛼0 (3.24)
1 1

Contoh 5 :
Suatu deret gelombang merambat dari laut dalam menuju pantai yang mempunyai kontur
dasar laut lurus dan sejajar dalam arah barat- timur. Di laut dalam tinggi gelombang
adalah 2,0 m; periode 8,0 detik dan arah gelombang adalah dari barat laut (α0 = 45°).
Tentukan tinggi dan sudut datang gelombang pada kedalaman 3,0 m.
Penyelesaian :
𝐿0
𝐿𝑜 = 1,56𝑇 2 = 1,56(82 ) = 99,84 𝑚 → 𝐶0 = = 12,48 𝑚/𝑑
𝑇

𝑑 3
= = 0,03
𝐿0 99,84

Untuk nilai d/L0 di atas, dengan Lampiran A-1 didapat :


𝑑 3
= 0,07135 → 𝐿 = = 42,05 𝑚
𝐿 0,07135
𝐿 42,05
𝐶= = = 5,26 𝑚/𝑑
𝑇 8

Arah datang gelombang pada kedalaman 3,0 m dihitung dengan Persamaan (3.23) :
𝐶1 5,26
𝑠𝑖𝑛𝛼1 = ( ) 𝑠𝑖𝑛𝛼0 = 𝑠𝑖𝑛 45° = 0,2980
𝐶0 12,48
𝛼1 = 17,34°

Koefisien refraksi :

cos 𝛼0 𝑐𝑜𝑠45°
𝐾𝑟 = √ =√ = 0,86
cos 𝛼1 𝑐𝑜𝑠17,34°

Untuk menghitung koefisien pendangkalan, dicari nilai n dengan menggunakan Lampiran


A-1 berdasar nilai d/L0 di atas, didapat n1 = 0,9388. Di laut dalam nilai n0 = 0,5; sehingga
koefisien pendangkalan adalah :

𝑛0 𝐿0 0,5 × 99,84
𝐾𝑠 = √ =√ = 1,1245
𝑛1 𝐿1 0,9388 × 42,05
Tinggi gelombang pada kedalaman 3,0 m adalah :
𝐻1 = 𝐾𝑠 𝐾𝑟 𝐻0 = 1,1245 × 0,86 × 2 = 1,93 𝑚

3.4.3 Difraksi Gelombang

Difraksi adalah peristiwa membeloknya gelombang apabila gelombang datang terhalang


oleh suatu rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau. Gelombang tersebut akan
membelok di sekitar ujung rintangan dan akan masuk di daerah terlindung di
belakangnya. Apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah
gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar ujung
rintangan dan masuk di daerah terlindung di belakangnya; seperti terlihat dalam Gambar
3.17. Fenomena ini dikenal dengan difraksi gelombang. Dalam difraksi gelombang ini
terjadi transfer energi dalam arah tegak lurus penjalaran gelombang menuju daerah ter-
lindung. Seperti terlihat dalam gambar 3.17, apabila tidak terjadi difraksi gelombang,
daerah di belakang rintangan akan tenang.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 18 Difraksi Gelombang di Belakang Rintangan

Tetapi karena adanya proses difraksi maka daerah tersebut terpengaruh oleh gelombang
datang gelombang di daerah tersebut, meskipun tidak sebesar gelombang di luar daerah
terlindung. Garis puncak gelombang di belakang rintangan mempunyai bentuk busur
lingkaran. Dianggap bahwa kedalaman air adalah konstan. Apabila tidak maka selain
difraksi juga terjadi refraksi gelombang. Biasanya tinggi gelombang berkurang di
sepanjang puncak gelombang menuju daerah terlindung. Pengetahuan tentang difraksi
gelombang ini penting di dalam perencanaan pelabuhan dan pemecah gelombang sebagai
pelindung pantai.

3.4.4 Hitungan Difraksi Gelombang

Perhitungan difraksi dibagi menjadi 2 yaitu perhitungan pada rintangan tunggal dan
perhitungan pada rintangan ganda. Pada rintangan (pemecah gelombang) tunggal, tinggi
gelombang di antara tempat di daerah terlindung tergantung pada jarak titik tersebut
terhadap ujung rintangan r, sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan titik
tersebut dengan ujung rintangan β, dan sudut antara arah penjalaran gelombang dan
rintangan θ (Gambar 3.17). Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak
di daerah terlindung dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.

𝐻𝐴 = 𝐾′𝐻𝑃 (3.25)
𝐾 ′ = 𝑓(𝜃, 𝛽, 𝑟/𝐿)

Dengan A adalah titik yang ditinjau di belakang rintangan dan P adalah ujung pemecah
gelombang. Nilai K’ = f(θ, β, r/L) untuk 𝜃, 𝛽 dan r/ L tertentu diberikan dalam Tabel 3.5.
yang didasarkan pada penyelesaian matematis untuk difraksi cahaya (Panny and Price,
1952; dalam Sorensen, 1978). Difraksi gelombang air ini analog dengan difraksi cahaya,
sehingga Tabel 3.5. juga dapat digunakan untuk memperkirakan pola garis puncak
gelombang dan variasi tinggi gelombang yang mengalami difraksi.

Contoh 6 :
Suatu deret gelombang dengan periode 8 detik menuju pemecah gelombang dengan
membentuk sudut θ = 60°. Kedalaman air di belakang pemecah gelombang adalah 10 m
dan dianggap konstan. Hitung tinggi gelombang di titik A yang berjarak 140 m dari ujung
pemecah gelombang dan membentuk sudut β = 30° terhadap pemecah gelombang. Tinggi
gelombang di ujung rintangan adalah 2 m.
Penyelesaian :
a. Panjang gelombang datang
𝑑 10
𝐿0 = 1,56𝑇 2 = 1,56 × (8)2 = 99,84 𝑚 → = = 0,1002
𝐿0 99,84

b. Perbandingan kedalaman dengan panjang gelombang

𝑑
= 0,14115 (didatapat dari interpolasi nilai yang ditandai pada tabel di atas)
𝐿
10
𝐿= = 70,84 𝑚
0,14115
𝑟 140
= = 1,98 ≈ 2
𝐿 70,84
Didapat nilai K’ = 0,28

c. Tinggi gelombang di titik A


𝐻𝐴 = 𝐾 ′ 𝐻𝑃 = 0,28 × 2 = 0,56 𝑚

Teori difraksi seperti yang dijelaskan di atas adalah untuk pemecah gelombang tunggal.
Apabila terdapat dua pemecah gelombang dengan celah (bukaan) di antaranya, untuk
menentukan koefisien difraksi digunakan grafik yang dikeinbangkan oleh Johnson.
Grafik tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.19 sampai 3.20; yang menunjukkan kurva
koefisien difraksi yang sama untuk arah gelombang datang tegak lurus sisi pemecah
gelombang (θ = 90°) dan untuk berbagai perbandingan antara lebar celah B dan panjang
gelombang L, B/L. Dalam Gambar 3.20 - 3.22 karena penyelesaiannya adalah simetris,
maka hanya digambar setengah bagiannya. Johnson menganggap bahwa untuk keperluan
praktis grafik-grafik tersebut dapat digunakan untuk sudut datang gelombang yang lain
sampai batas tertentu (gelombang datang membentuk sudut selain 90°), dengan
menggunakan proyeksi lebar celah imaginer seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.23.
Apabila lebar celah sama dengan lima kali panjang gelombang atau lebih, maka difraksi
oleh kedua ujung pemecah gelombang tidak saling mempengaruhi. Sehingga teori
difraksi untuk pemecah gelombang tunggal dapat digunakan untuk kedua sisi. Dalam
grafik-grafik tersebut sumbu absis dan ordinat serta lebar celah dinyatakan dalam
besaran tak berdimensi yaitu x/L, y/L dan B/L.

Gambar 3. 19 Grafik Difraksi Melalui Celah (B = 2L)


Gambar 3. 20 Grafik Difraksi melalui Celah (B = L, B=1,41 L)

Gambar 3. 21 Grafik Difraksi melalui Celah (B = 1,64L; B = 1,78L; B = 2,5L)


Gambar 3. 22 Grafik Difraksi melalui Celah (B = 1,95L; B = 3,82L; B = 5L)

Apabila diinginkan hasil yang lebih teliti di dalam menentukan koefisien difraksi untuk
gelombang datang membentuk sudut sumbu pemecah gelombang, maka dapat digunakan
Gambar 3.23 – 3.25, yaitu apabila sudut datang gelombang adalah 75°, 60°, 45°, 30°, 15°
dan 0°. Gambar tersebut berlaku untuk nilai B/L = 1.
Gambar 3. 23 Grafik Difraksi melalui Celah (θ = 75° dan θ = 60°)

Gambar 3. 24 Grafik Difraksi melalui Celah (θ = 45° dan θ = 30°)


Gambar 3. 25 Grafik Difraksi melalui Celah (θ = 15° dan θ = 0°)

3.4.5 Gelombang Laut dalam Ekivalen

Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang laut dalam
ekivalen, yaitu tinggi gelombang laut dalam apabila gelombang tidak mengalami refraksi.
Pemakaian gelombang ini bertujuan untuk menetapkan tinggi gelombang yang
mengalami refraksi, difraksi dan transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi
dan deformasi gelombang dapat dilakukan lebih mudah. Tinggi gelombang di laut dalam
ekivalen diberikan oleh bentuk :

Gambar 3. 26 Gelombang Datang Membentuk Sudut terhadap Celah


𝐻′0 = 𝐾𝑟 𝐻0 (3.26)
Dengan :
' Ho : tinggi gelombang laut dalam ekivalen
Ho : tinggi gelombang laut dalam
K’ : koefisien difraksi
Kr : koefisien refraksi

3.4.6 Refleksi Gelombang

Proses refleksi gelombang dapat dikatakan menyerupai dengan refleksi cahaya pada kaca,
yaitu besarnya sudut refleksi sama dengan besarnya sudut datang.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 27 Refleksi Gelombang

Gelombang yang mengenai/membentur suatu bangunan akan dipantulkan sebagian atau


seluruhnya. Refleksi gelombang di dalam pelabuhan akan menyebabkan ketidaktenangan
di dalam perairan pelabuhan. Fluktuasi muka air ini akan menyebabkan pergerakan pada
kapal-kapal yang tengah ditambat, dan dapat menimbulkan tegangan yang besar pada tali
penambat. Untuk mendapatkan ketenangan di kolam pelabuhan maka bangunan -
bangunan yang ada di pelabuhan harus bisa menyerap/menghancurkan gelombang. Suatu
bangunan yang mempunyai sisi miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa
menyerap energi gelombang lebih banyak dibanding dengan bangunan tegak dan masif.
Pada bangunan vertikal, halus, dan dinding tidak elastis, gelombang akan dipantulkan
seluruhnya.
Gambar di bawah ini adalah bentuk profil muka air di depan bangunan vertikal.
Gelombang di depan bangunan vertikal di sebut dengan gelombang berdiri (standing
wave). Besar kemampuan suatu benda memantulkan gelombang diberikan oleh koefisien
refleksi, yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi Hr dan tinggi gelombang
datang Hi :
𝐻𝑟
𝑋=
𝐻𝑖

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 28 Profil Muka Air di Depan Bangunan Vertikal

Koefisien refleksi bangunan diestimasi berdasarkan tes model. Koefisien refleksi


berbagai benda diberikan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 3. 3 Koefisien Refleksi

Gerak gelombang di depan dinding vertikal yang dapat memantulkan gelombang dengan
sempurna yang mempunyai arah tegak lurus pada dinding dapat ditentukan dengan
siperposisi dari dua gelombang yang mempunyai karakteristik sama tetapi arah
penjalarannya berlawanan. Superposisi dari kedua gelombang tersebut menyebabkan
terjadinya standing wave atau gelombang berdiri. Untuk gelombang amplitudo kecil,
fluktuasi muka air :
𝐻𝑖
𝜂𝑖 = cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
2
Dan gelombang refleksi :
𝐻𝑖
𝜂𝑟 = cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
2
Profil muka air di depan bangunan diberikan oleh jumlah 𝜂𝑖 dan 𝜂𝑟 :
𝐻𝑖 𝐻𝑖
𝜂 = 𝜂𝑖 + 𝜂𝑟 = cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) + 𝑋 cos (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
2 2
𝐻𝑖
= (1 + 𝑋) cos 𝑘𝑥 𝑐𝑜𝑠 𝜎𝑡
2

Apabila refleksi adalah sempurna maka X = 1 sehingga :


𝜂 = 𝐻𝑖 cos 𝑘𝑥 𝑐𝑜𝑠 𝜎𝑡 (3.27)

Persamaan tersebut menunjukkan fluktuasi muka air gelombang berdiri (standing wave)
yang periodik terhadap waktu (t) dan terhadap jarak (x). Apabila cos kx = cos 𝜎𝑡 = 1
maka tinggi maksimum adalah 2Hi, yang berarti bahwa tinggi gelombang di depan
bangunan vertikal bisa mencapai dua kali tinggi gelombang datang.

Tinggi gelombang di kolam pelabuhan harus cukup kecil sehingga tidak mengganggu
kapal yang sedang melakukan bongkar muat barang. Untuk itu, bangunan pelabuhan
dipilih sedemikian rupa sehingga gelombang berdiri yang terjadi di kolam pelabuhan
tidak besar, yaitu dengan memilih material yang mempunyai koefisien refleksi kecil.

3.4.7 Gelombang Pecah

Gelombang Pecah adalah suatu sistem yang sangat kompleks, bahkan dalam beberapa
jarak sebelum gelombang pecah, bentuknya tidak sinusoida lagi. Jika terjadi gelombang
pecah, energi yang diterima dari angin akan berkurang, kemudian beberapa energi
dikembalikan ke laut dan jumlahnya bergantung kepada kemiringan pantai, semakin kecil
sudut kemiringan pantai maka semakin kecil pula energi yang dibalikkan (Open
University 1993).

Berdasarkan cara pecahannya gelombang dapat dibagi menjadi spilling, plunging, dan
surging. Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan kecil menuju
pantai yang sangat datar (kemiringan kecil). Gelombang mulai pecah pada jarak yang
cukup jauh dari pantai dan pecahnya terjadi berangsur-angsur. Buih terjadi pada puncak
gelombang dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak yang cukup panjang.
Gelombang pecah tipe plunging terjadi apabila kemiringan gelombang dan dasar laut
besar sehingga gelombang pecah dengan puncak gelombang memutar dan massa air pada
puncak gelombang akan terjun kedepan. Energi gelombang pecah dihancurkan dalam
turbulensi, Sebagian kecil dipantulkan pantai ke laut, dan tidak punya gelombang baru
terjadi pada air yang lebih dangkal. Gelombang pecah tipe surging terjadi pada pantai
yang kemiringan yang sangat besar sama seperti terjadi pada pantai berkarang. Daerah
gelombang pecah sangat sempit, dan Sebagian besar energi dipantulkan kembali ke laut
dalam. Gelombang tipe ini mirip dengan plunging tetapi belum puncaknya terjun karena
dasar gelombangnya pecah.

Jika gelombang menjalar dari temoat yang dalam menuju ke tempat yang makin lama
makin dangkal, pada suatu lokasi tertentu gelombang tersebut akan pecah. Kondisi
gelombang pecah tergantung pada kemiringan dasar pantai dan kecuraman gelombang.
Tinggi gelombang dapat dihitung dengan rumus berikut ini.
𝐻𝑏 1
= 𝐻′
(3.28)
𝐻′0 3.3 ( 0 )1/3
𝐿0

Kedalaman air di mana gelombang pecah diberikan oleh rumus berikut :


𝑑𝑏 1
= (3.29)
𝐻𝑏 𝑏 (𝑎𝐻𝑏 /𝑔𝑇 2 )1/3

Di mana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh persamaan
berikut:
𝑎 = 43,75(1 − 𝑒 −19𝑚 )

1,56
𝑏=
(1 + 𝑒 −19,5𝑚 )
Dengan :

Hb : tinggi gelombang pecah


H’0 : tinggi gelombang laut dalam ekivalen
L0 : Panjang gelombang di laut dalam
db : kedalaman air pada saat gelombang pecah
m : kemiringan dasar laut
g : percepatan gravitasi
T : periode gelombang

Gelombang pecah dapat dibedakan menjadi spilling, plunging dan surging yang
tergantung pada cara pecahnya. Spilling biasanya erjadi apabila gelombang dengan
kemiringan kecil menuju pantai yang sangat datar (kemiringan kecil). gelombang mulai
pecah pada jarak yang cukup jauh dari pantai dan pecahnya terjadi berangsur- angsur.
Buih terjadi pada puncak gelombang dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak
yang cukup panjang. Gelombang pecah tipe plunging terjadi apabila kemiringan
gelombang dan dasar laur besar sehingga gelombang pecah dengan puncak gelombang
memutar dan massa air pda puncak gelombang akan terjun ke depan. Energi gelombang
pecah dihancurkan dalam turbulensi, sebagian kecil dipantulkan pantai ke laut, dan tidak
banyak gelombang baru yang terjadi pada air yang lebih dangkal. Gelombang pecah tipe
surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang sangat besar seperti yang terjadi pada
pantai berkarang. Daerah gelombang pecah sangat sempit, dan sebagian besar energi
dipantulkan kembali ke laut dalam. Gelombang pecah tipe surgiing ini mirip dengan
plunging, tetapi sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah.

Contoh 7 :
Gelombang merambat dari laut menuju pantai dengan kemiringan dasar laut 1 : 20. Di
laut dalam tinggi gelombang adalah 2 m dan periode 10 detik. Dianggap bahwa analisis
refraksi memberikan nilai koefisien refraksi Kr = 1,05 pada titik di mana gelombang
pecah diharapkan terjadi. Hitung tinggi dan kedalaman gelombang pecah.
Penyelesaian :
Tinggi gelombang laut dalam ekivalen dihitung dengan persamaan berikut (Persamaan
3.26) :
𝐻′0 = 𝐾𝑟 𝐻0 = 1,05 × 2 = 2,1 𝑚

Dihitung nilai berikut :


𝐻′0 2,1
2
= = 0,00214
𝑔𝑇 9,81 × 102

Dari Gambar 3.22 untuk nilai tersebut dan m = 1 : 20 = 0,05 didapat :


𝐻𝑏
= 1,5 → 𝐻𝑏 = 1,5 × 2,1 = 3,15 𝑚
𝐻′0

Menghitung kedalaman gelombang pecah.


Dihitung nilai berikut :
𝐻𝑏 3,15
2
= = 0,00321
𝑔𝑇 9,81 × 102

Dengan menggunakan Gambar 3.23 untuk nilai tersebut dan m = 0,05 didapat :
𝑑𝑏
= 0,96 → 𝑑𝑏 = 0,96 × 3,15 = 3,02 𝑚
𝐻𝑏

Jadi tinggi dan kedalaman gelombang pecah adalah 𝐻𝑏 = 3,15 𝑚 dan 𝑑𝑏 = 3,02 𝑚

3.4.8 Gelombang Alam

Pada sub bab terdahulu telah dibicarakan teori gelombang untuk gelombang sederhana,
yaitu gelombang sinusoidal dan monochromatik (gelombang tunggal). Gelombang yang
ada di alam adalah sangat kompleks yang terdiri dari suatu deretan/kelompok gelombang
di mana masing-masing gelombang di dalam kelompok tersebut mempunyai tinggi dan
periode berbeda. Gambar 3.21. adalah suatu pencatatan gelombang sebagai fungsi waktu
di suatu tempat. Gambar tersebut menunjukkan bahwa gelombang mempunyai bentuk
yang tidak teratur, dengan tinggi dan periode tidak konstan. Evaluasi terhadap gambar
tersebut menimbulkan pertanyaan berapakah tinggi dan periode gelombang tersebut,
mengingat terdapat lebih dari satu gelombang dengan tinggi dan periode berbeda.
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 29 Pencatatan Gelombang di Suatu Lokasi

Pengukuran gelombang di suatu tempat memberikan pencatatan muka air sebagai fungsi
waktu. Pengukuran ini dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, sehingga data
gelombang akan sangat banyak. Mengingat kekompleksan dan besarnya jumlah data
tersebut, maka gelombang alam dianalisa secara statistik untuk mendapatkan bentuk
gelombang yang bermanfaat. Dalam bidang teknik sipil, parameter gelombang yang
banyak digunakan adalah tinggi gelombang.

Dalam pengukuran gelombang seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.21, absis adalah
waktu dari dimulainya pencatatan. Ada dua metode untuk menentukan gelombang yaitu
zero upcrossing method dan zero downcrossing method. Untuk menjelaskan metode
tersebut, pertama kali ditetapkan elevasi rerata dari permukaan air berdasarkan fluktuasi
muka air pada waktu pencatatan. Muka air tersebut didefinisikan sebagai garis no1.
Kemudian kurva gelombang ditelusuri dari awal sampai akhir. Pada metode zero
upcrossing, diberi tanda titik perpotongan antara kurva naik dan garis nol, dan titik
tersebut ditetapkan sebagai awal dari satu gelombang. Mengikuti naik turunnya kurva,
penelusuran dilanjutkan untuk mendapatkan perpotongan antara kurva naik dan garis
nol berikutnya. Titik tersebut ditetapkan sebagai akhir dari gelombang pertama dan awal
dari gelombang kedua. Jarak antara kedua titik tersebut adalah periode gelombang
pertama (T). Sedang jarak vertikal antara titik tertinggi dan terendah di antara kedua titik
tersebut adalah tinggi gelombang pertama (H). Penelusuran dilanjutkan lagi untuk
mendapatkan gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya. Metode zero downcrossing
mempunyai prosedur yang sama, tetapi titik yang dicatat adalah pertemuan antara kurva
turun dan garis nol.
Untuk keperluan perencanaan bangunan-bangunan pantai perlu dipilih tinggi dan perioda
gelombang tunggal yang dapat mewakili suatu spektrum gelombang, yang disebut dengan
gelombang representatif. Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari
nilai tertinggi ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan tinggi Hn yang
merupakan rerata dari n persen gelombang tertinggi. Dengan bentuk seperti itu akan
dapat dinyatakan karakteristik gelombang alam dalam bentuk gelombang tunggal.
Misalnya, H10 adalah tinggi rerata dari 10 persen gelombang tertinggi dari pencatatan
gelombang. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah H33 atau tinggi rerata dari
33,3% atau 1/3 nilai tertinggi dari pencatatan gelombang; yang juga disebut sebagai tinggi
gelombang signifikan. Cara yang sama juga dapat digunakan untuk periode gelombang.
Tetapi biasanya periode signifikan didefinisikan sebagai periode rerata untuk sepertiga
gelombang tertinggi. Untuk memudahkan pemahaman tentang gelombang representatif,
berikut ini diberikan contoh hitungan. Misalkan dalam pengukuran terdapat 20 buah
gelombang seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.4.

Kolom 1 dari tabel tersebut adalah nomor gelombang yang didapat dari metode zero
upcrossing atau zero downcrossing, sedang kolom 2 dan 3 adalah tinggi dan periode
gelombang. Data tersebut kemudian diurutkan sesuai dengan tinggi gelombang, dari
urutan terbesar ke terkecil seperti terlihat dalam kolom 3, 4 dan 5. Untuk periode
gelombang mengikuti urutan tinggi gelombang.

Dari data tersebut dapat ditentukan Hn. Gelombang maksimum dan periodenya adalah
Hmax = 3,25 m dan Tmax = 8,4 detik.
Gelombang 10% (H10) adalah :
𝑛 = 10% × 20 = 2 𝑑𝑎𝑡𝑎
3,25 + 3,05
𝐻10 = = 3,15 𝑚
2
8,4 + 8,3
𝑇10 = = 8,35 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
2

Gelombang 33,3% (gelombang signifikan, Hs) adalah


𝑛 = 33,3% × 20 = 6,6 ≈ 7 𝑑𝑎𝑡𝑎
Apabila data tinggi gelombang dari pencatatan gelombang diplot terhadap probabilitas
kejadiannya, maka akan terlihat bahwa probabilitas kejadian p(Hi,) akan mengikuti
distribusi Rayleigh. Berdasar distribusi Rayleigh ini akan didapat hubungan antara tinggi
gelombang rerata dari n % gelombang tertinggi dan tinggi gelombang signifikan (Hn/Hs
),serta H100 (Hn/H100) seperti diberikan dalam Tabel 3.5.

Tabel 3. 4 Pencatatan Tinggi dan Periode Gelombang

Tinggi Periode
No No
Gelombang Gelombang H (m) T (detik)
Gelombang Urut
H (m) T (detik)
1 2,32 7,4 1 3,25 8,4
2 0,24 2,3 2 3,05 8,3
3 1,85 6,5 3 2,89 7,4
4 2,41 7,3 4 2,45 7,8
5 2,89 7,4 5 2,41 7,3
6 0,47 4,1 6 2,38 7,7
7 1,87 5,7 7 2,32 7,4
8 1,92 6,2 8 2,31 7,4
9 1,00 5,1 9 2,05 6,9
10 2,05 6,9 10 2,05 7,1
11 2,38 7,7 11 2,00 7,2
12 1,05 6,2 12 1,92 6,2
13 2,00 7,2 13 1,89 6,8
14 2,05 7,1 14 1,87 5,7
15 1,63 6,4 15 1,85 6,5
16 3,05 8,3 16 1,63 6,4
17 3,25 8,4 17 1,05 6,2
18 2,31 7,4 18 1,00 5,1
19 1,89 6,8 19 0,47 4,1
20 2,45 7,8 20 0,24 2,3
Tabel 3. 5 Hubungan antara n, ‘Hn/Hs dan Hn/H100

n Hn/Hs Hn/H100
1 1,68 2,68
5 1,37 2,18
10 1,28 2,03
33 1,00 1,60
50 0,89 1,42
100 0,63 1,00

3.4.9 Pembangkitan Gelombang

Angin yang berhembus di atas permukaan air yang semula tenang, akan menyebabkan
gangguan pada permukaan tersebut, dengan angin bertambah, riak tersebut menjadi
semkain besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan terbentuk gelombang.
Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang
terbentuk. Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan
angin U, lama hembus angin D, dan fetch F yaitu Panjang permukaan laut pada mana
angin berhembus.
Di dalam peramalan gelombang, perlu diketahui beberapa parameter berikut ini.
1. Kecepatan rerata angin U di permukaan air.
2. Arah angin.
3. Panjang daerah pembangkitan gelombang di mana angin mempunyai kecepatan dan
arah konstan (fetch)
4. Lama hembus angin pada fetch.

1. Kecepatan Angin

Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal di dalam rumus rumus


pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah yang ada di atas permukaan
laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi dari data angin di daratan yang terdekat
dengan lokasi studi ke data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas
laut dan angin di daratan terdekat diberikan oleh RL = UW/UL seperti terlihat pada
gambar 3.25. Gambar tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Great Lake,
Amerika Serikat (SPM, 1984). Grafik tersebut dapat digunakan untuk daerah lain kecuali
apabila karakteristik daerah sangat berlainan. Lama hembus (durasi) angin dapat
diperoleh dari data angin jam jam an seperti yang telah dijelaskan.

Rumus rumus dan grafik pembangkitan gelombang mengandung variabel UA, yaitu
faktor tegangan angin yang dapat dihitung dari kecepatan angin. Setelah dilakukan
berbagai konversi pada faktor tegangan angin dengan menggunakan rumus berikut :
1,23
𝑈𝐴 = 0,71𝑈𝑤 (3.30)
Dimana :
Uw : kecepatan angin di laut dengan satuan m/d

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 30 Hubungan Kecepatan Angin di Laut dan Darat (SPM, 1984)

2. Fetch

Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh bentuk daratan
yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang, tidak hanya dibangkitkan
dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah
angin. Panjang fetch adalah Panjang laut yang dibatasi oleh pulau pulau pada kedua
ujungnya. Gambar 3.26 menunjukkan cara untuk mendapatkan fetch efektif. Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut.
∑ 𝑋𝑖 𝑐𝑜𝑠𝛼
𝐹𝑒𝑓𝑓 = ∑ 𝑐𝑜𝑠𝛼
(3.31)

Dimana :
Feff : fetch rerata efektif
Xi : Panjang segmen fetch yang di ukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir
fetch
α : deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6
sampai sudut sebesar 42° pada kedua sisi dari arah angin.

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 31 Fetch (FT UGM, 1988)

3. Peramalan Gelombang di Laut Dalam

Berdasarkan pada kecepatan angin, lama hembus angin dan fetch seperti yang di
bicarakan didepan, dilakukan peramalan gelombang dengan menggunakan grafik pada
gambar 3.27 (SPM,1984). Dari grafik terse but apabila Panjang fetch (F), faktor tegangan
air (UA) dan durasi diketahui maka tinggi dan periode gelombang seignifikan dapat
dihitung
Contoh 8
Akan diramalkan timggi dan periode gelombang disuatu tempat dilaut. Kecepatan angin
yang di ukur di darat dekat laut adalah 10m/d, durasi angin 3 jam dan Panjang fetch efektif
adalah 100 km. Berapakah tinggi dan periode gelombang.
Penyelesaian :
Dihitung kecepatan angin dilaut dalam gambar 3.25.
Untuk nilai UL=10 m/d didapat :
𝑈𝑤
𝑅𝐿 = = 1,13
𝑈𝐿

Kecepatan angin di laut :


𝑈𝑤 = 𝑅𝐿 𝑈𝐿 = 1,13 × 10 = 11,3 𝑚/𝑑

Faktor tegangan angin dihitung dengan rumus berikut :


1,23
𝑈𝐴 = 0,71𝑈𝑤 = 0,71 × (11,3)1,23 = 14,01 𝑚/𝑑

Dengan menggunkan grafik pada gambar 3.27. Untuk nilai UA = 14,01m/d dan fetch F
= 100km didapat :
H = 2,28 m
T = 7 detik

Selain berdasarkan UA dan F dihitung pula tinggi dan periode gelombang berdasarkan
UA dan durasi angin dengan menggunakan grafik yang sama dan didapat :
H = 1,1 m
T = 4,3 detik

Dari kedua nilai H dan T tersebut di atas di ambil nilai yang lebih kecil, sehingga tinggi
dan periode gelombang adalah:
H = 1,1 m
T = 4,3 detik

3.4.10 Pemilihan Gelombang Rencana


Bangunan pelabuhan harus direncanakan untuk mampu menahan gaya- gaya yang bekerja
padanya. Hitungan stabilitas bangunan biasanya didasarkan pada kondisi ekstrim, di
mana dengan kondisi tersebut bangunan harus tetap aman. Biasanya kondisi yang
diperhitungkan tersebut adalah termasuk gelombang dengan periode kejadian tertentu,
misalnya gelombang dengan masa ulang 50 atau 100 tahunan. Penentuan gelombang
rencana harus mempertimbangkan fungsi dan tipe bangunan, kepentingan bangunan, dan
juga biaya pelaksanaan pekerjaan.

Tinggi gelombang yang diperoleh dari peramalan gelombang adalah tinggi gelombang
signifikan Hs. Dengan menganggap tinggi gelombang mengikuti distribusi Rayleigh, Hs
dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi gelombang dengan karakteristik yang lain,
misalnya H10 = 12,8Hs; H5 = 1,37Hs; H1 = 1,68Hs; dll.

Untuk menghitung gaya- gaya gelombang maksimum yang bekerja pada bangunan atau
berat batu pelindung pemecah gelombang diperlukan pemilihan tinggi dan periode
gelombang rencana yang dapat mempresentasikan spektrum gelombang selama kejadian
ekstrem. Pemilihan tinggi gelombang rencana tergantung pada kondisi lokasi bangunan,
metoda pelaksanaan, bahan bangunan yang digunakan dan data- data lain yang tersedia.

Pemilihan tinggi gelombang rencana dengan memperhatikan apakah bangunan kaku,


semi kaku, atau fleksibel. Untuk bangunan kaku, seperti dinding beton atau kaison, di
mana tinggi gelombang di dalam deretan gelombang dapat menyebabkan runtuhnya
seluruh bangunan, maka tinggi gelombang rencana biasanya diambil H1. Untuk bangunan
semi kaku, seperti sel turap baja, tinggi gelombang rencana dipilih antara H10 sampai
H1. Untuk bangunan fleksibel, seperti bangunan dari tumpukan batu, tinggi gelombang
rencana bervariasi dari H5, sampai Hs. Kerusakan yang terjadi pada bangunan tumpukan
batu, apabila gelombang yang terjadi lebih besar dari gelombang rencana, tidak akan
berakibat fatal. Walaupun bangunan telah rusak tetapi masih bisa berfungsi, dan batu-
batu yang tergeser dari tempatnya akan mudah diperbaiki. Gambar 3.28 memberikan
gambaran penggunaan gelombang rencana untuk beberapa tipe bangunan.
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 32 Pemilihan Gelombang Rencana

3.4.11 Transpor Sedimen Pantai

Gelombang yang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai dapat menimbulkan arus
sepanjang pantai titik arus ini terjadi di daerah antara gelombang peta dan garis pantai.
variabel terpenting di dalam menentukan kecepatan arus sepanjang pantai adalah sudut
datang gelombang pecah sudut antara Puncak gelombang pecah dan garis pantai dan
tinggi gelombang pecah transport sedimen pantai adalah gerak sedimen di daerah pantai
yang disebabkan oleh gelombang dan arus daerah transpor sedimen pantai ini terbentuk
dari garis pantai sampai tepat di luar daerah gelombang pecah. transport sedimen pantai
dapat diklasifikasikan menjadi transport menuju dan meninggalkan pantai dan transport
sepanjang pantai transfer menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata
tegak lurus garis pantai sedang transport sepanjang pantai. mempunyai arah rata-rata
sejajar pantai. gerak partikel sedimen mempunyai dua komponen yaitu menuju
meninggalkan pantai dan sepanjang pantai titik di daerah lepas pantai biasanya terjadi
transport menuju dan meninggalkan pantai sedang di daerah dekat pantai terjadi ketika
kedua jenis transpor sedimen. Sepanjang pantai hanya banyak menyebabkan
permasalahan di dalam pemecahan sedimentasi di pelabuhan dan erosi pantai. oleh karena
itu prediksi translate di sepanjang pantai untuk berbagai kondisi adalah sangat penting.
Transport sedimen sepanjang pantai dapat dihitung dengan menggunakan rumus empiris
rumus untuk menghitung transport sedimen sepanjang pantai dikembangkan berdasar
data pengukuran model dan Prototype pada pantai berpasir yang merupakan hubungan
antara transpor sedimen dan komponen untuk energi gelombang sepanjang pantai dalam
bentuk:
𝑄3 = 𝐾𝑃𝑖𝑛 (3.32)
𝑝𝑔
𝑃1 = 𝐻𝑏2 𝐶𝑏 𝑠𝑖𝑛𝛼𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑏 (3.33)
8

Dimana :
Qs = angkutan sedimen sepanjang pantai
P1 = komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat pecah
(Nm/d/m)
ρ = rapat massa air laut (kg/m3)
Hb = tinggi gelombang pecah (m)
Cb = cepat rambat gelombang pecah
αb = sudut datang gelombang pecah
K, n = konstanta

CERF 1984 memberikan hubungan berikut:


𝑄𝑠 = 1290𝑃1

Dengan Q mempunyai satuan m tahun apabila dikehendaki dalam m3 /hari maka


persamaan tersebut menjadi:
𝑄𝑠 = 3,534𝑃1 (3.34)

Persamaan memberikan transport sedimen total. distribusi transpor sedimen pada label
zone di mana transport sedimen terjadi tidak dapat diketahui. Selain itu rumus CRC tidak
memperhitungkan sifat-sifat sedimen datar. rumus tersebut diturunkan untuk pantai yang
terdiri dari pasir agak seragam dengan diameter rata bervariasi dari 0,175 mm sampai 1
mm Oleh karena itu rumus tersebut bisa digunakan untuk pantai lain yang memiliki
sedimen dengan sifat serupa.
Contoh 9 :
Gelombang dari laut dalam bergerak menuju pantai dengan membentuk sudut garis
pantai. Tinggi, kedalaman dan sudut datang gelombang pecah adalah Hb = 1 m, db = 1
m, dan αb = 15°. Hitung transpor sedimen sepanjang pantai. Rapat massa air laut 1030
kg/m3.
Penyelesaian :
Dalam sistem satuan MKS terdapat hubungan γ = ρg yang mempunyai satuan kgf/m3 atau
ton/m3. Untuk air laut γ = 1030 kgf/m3 atau 1,03 ton/m3, sehingga :
1,03
𝑃1 = (1)2 √9,81 × 1 sin(2 × 15°) = 0,10081𝑡 −m/ d/ m
16

= 0,10081 × 24 × 3600 = 8710𝑡 −m/ hari/ m


𝑄𝑠 = 0,401 × 8710 = 3492𝑚3 / ℎ𝑎𝑟𝑖

3.4.12 Pengaruh Pembangunan Pelabuhan terhadap Pantai di Sekitarnya

Pembangunan pelabuhan di pantai terbuka dilakukan dengan membuat pemecah


gelombang yang menjorok dari pantai ke arah laut gambar 3.9. bangunan tersebut
menyebabkan terjadinya transpor sedimen sepanjang pantai. akibatnya sedimen pasir
yang bergerak dari sebelah kiri akan terhalang oleh pemecah gelombang sehingga dapat
akan terjadi di daerah tersebut pada daerah di sebelah kanan Pelabuhan gelombang yang
datang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai menyebabkan terjadinya arus
sepanjang pantai. arus tersebut dapat mengangkut sedimen tetapi di daerah ini tidak
mendapatkan suplai sedimen karena sedimen yang bergerak dari sebelah kiri Pelabuhan
terhalang oleh pemecah gelombang. akibatnya pantai di sebelah kanan Pelabuhan akan
mengalami erosi. dalam gambar tersebut garis penuh adalah garis pantai asli sedang garis
terputus adalah keadaan pantai setelah adanya pelabuhan.

Untuk melindungi pantai di sebelah kanan Pelabuhan terdapat erosi perlu dibuat
bangunan pelindung pantai yang bisa berupa dinding pantai, groin atau pemecah
gelombang sejajar pantai adalah contoh perlindungan pantai di sebelah hilir Pelabuhan
terhadap para transpor sedimen sepanjang pantai yang terjadi dari gabungan antara
revetment dan groin erosi pantai karena serangan gelombang sedang groin akan menahan
transpor sedimen sepanjang pantai.
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 33 Perubahan Garis Pantai akibat Pembangunan Pelabuhan

(Bambang Triatmodjo, 2010)


Gambar 3. 34 Perlindungan Pantai di Sebelah Hilir Pelabuhan

Contoh 10 :
Gelombang merambat dari laut dalam menuju pantai dengan kontur dasar laut dan sejajar
(pantai terbentang sepanjang arah barat- timur). Di laut dalam tinggi gelombang adalah 3
m, periode 10 detik dan sudut datang gelombang adalah 45° (arah utara adalah 0°).
Pelabuhan direncanakan di laut tersebut, dengan mulut pelabuhan berada pada kedalaman
-10,0 m (muka air rerata pada 0,0 m). Kemiringan dasar laut 1 : 20 (m = 0,05).
(Bambang Triatmodjo, 2010)
Gambar 3. 35 Penjalaran Gelombang pada Contoh 10

Hitung :
a. Panjang, tinggi dan arah datang gelombang di mulut pelabuhan
b. Apabila koefisien difraksi di suatu titik di dalam kolam pelabuhan adalah 0,4
berapakah tinggi gelombang di titik tersebut.
c. Hitung tinggi, kedalaman dan sudut datang gelombang pecah.

Penyelesaian :
a. Panjang, tinggi dan arah datang gelombang di mulut pelabuhan
Kondisi gelombang pada kedalaman 10 m dihitung dengan menggunakan Lampiran
A-1 dalam Lampiran A, dengan prosedur hitungan berikut ini.
Panjang gelombang di laut dalam :
𝐿0 = 1,56𝑇 2 = 1,56 × 102 = 156 𝑚

Cepat rambat gelombang adalah :


156
𝐶0 = = 15,6 𝑚/𝑑
10

Untuk kedalaman 10 m :
𝑑 10
= = 0,0641
𝐿0 156
Dengan Tabel A-1 untuk nilai d/L0 didapat nilai d/L (dengan interpolaso) :
𝑑 10
= 0,1083 → 𝐿 = = 92,3 𝑚
𝐿 0,1083
𝐿 92,3
𝐶= = = 9,23 𝑚/𝑑
𝑇 10

Koefisien pendangkalan (shoaling) dapat diperoleh dari Lampiran A-1 dalam


Lampiran A, dan hasilnya adalah :
Ks = 0,9837

Untuk menghitung koefisien refraksi, dihitung terlebih dahulu arah datang


gelombang pada kedalaman 10,0 m yang dihitung dengan Persamaan (3.23) :
𝐶1 5,26
𝑠𝑖𝑛𝛼1 = ( ) 𝑠𝑖𝑛𝛼0 = 𝑠𝑖𝑛45° = 0,2980
𝐶0 12,48

Koefisien refraksi :

𝑐𝑜𝑠𝛼0 𝑐𝑜𝑠45°
𝐾𝑟 = √ =√ = 0,8824
𝑐𝑜𝑠𝛼1 𝑐𝑜𝑠24,7°

Tinggi gelombang pada kedalaman 10,0 m adalah :


𝐻1 = 𝐾𝑠 𝐾𝑟 𝐻0 = 0,9837 × 0,8824 × 3 = 2,60 𝑚

Dengan demikian, tinggi gelombang di mulut pelabuhan yang berada pada


kedalaman 10 m adalah H = 2,6 m.

b. Tinggi gelombang di kolam pelabuhan


Gelombang yang masuk ke kolam pelabuhan mengalami proses difraksi gelombang,
yang dinyatakan dalam bentuk koefisien difraksi. Koefisien difraksi dapat dihitung
dengan menggunakan Tabel 3.5. atau grafik yang diberikan oleh Gambar 3.18. dalam
soal diketahui bahwa nilai koefisien difraksi K’ = 0,4 sehingga tinggi gelombang di
lokasi yang ditinjau adalah sama dengan koefisien difraksi dikalikan dengan tinggi
gelombang di mulut pelabuhan, yang telah dihitung dalam penyelesaian, yaitu :
𝐻𝑑𝑖𝑓 = 𝐾 ′ 𝐻1 = 0,4 × 2,6 = 1,04 𝑚

c. Tinggi, kedalaman dan sudut datang gelombang pecah


Untuk menentukan sudut datang gelombang pecah diperlukan data kedalaman
gelombang pecah. Dalam hitungan ini, data tersebut belum diketahui, sehingga
langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkirakan kedalaman gelombang
pecah.
Langkah/ iterasi I
Misalnya kedalaman gelombang pecah adalah db = 3 m, sehingga hitungan dilakukan
berikut ini.
𝑑𝑏 3
= = 0,0192
𝐿0 156

Dengan Tabel A-1 untuk nilai db/L0 didapat nilai db/L (dengan interpolasi):
𝑑𝑏 3
= 0,05646 → 𝐿 = = 53,13 𝑚
𝐿 0,05646
𝐿 53,13
𝐶= = = 5,31 𝑚/𝑑
𝑇 10

Koefisien pendangkalan (shoaling) dapat diperoleh dari Lampiran A-1 dalam


Lampiran A, dan hasilnya adalah :
Ks = 1,1183

Koefisien refraksi dihitung dengan cara berikut ini.


𝐶1 5,31
𝑠𝑖𝑛𝛼1 = ( ) 𝑠𝑖𝑛𝛼0 = 𝑠𝑖𝑛45° = 0,24084
𝐶0 15,6

Koefisien refraksi :

𝑐𝑜𝑠𝛼0 𝑐𝑜𝑠45°
𝐾𝑟 = √ =√ = 0,8536
𝑐𝑜𝑠𝛼1 𝑐𝑜𝑠13,94°

Tinggi gelombang laut dalam ekivalen dihitung dengan menggunakan Persamaan


(3.26).
𝐻0 = 𝐾𝑟 𝐻0 = 0,8536 × 2,6 = 2,56 𝑚

Tinggi gelombang pecah dihitung dengan menggunakan grafik pada gambar 3.22.
untuk itu dihitung:
𝐻′0 2,56
2
= = 0,00261
𝑔𝑇 10 × 102

𝐻′
Dengan menggunakan Gambar 3.22. untuk nilai 𝑔𝑇02 = 0,00261 dan kemiringan pantai

m = 0,05 diperoleh :
𝐻𝑏
= 1,45
𝐻0

Sehingga diperoleh tinggi gelombang pecah :


𝐻𝑏 = 1,45 × 2,56 = 3,71 𝑚
Setelah tinggi gelombang pecah diperoleh, selanjutnya dihitung kedalaman
gelombang pecah db dengan menggunakan Gambar 3.23. untuk itu dihitung nilai
berikut :
𝐻𝑏 3,71
2
= = 0,0037
𝑔𝑇 10 × 102

Dengan menggunakan Gambar 3.23 diperoleh :


𝑑𝑏
= 0,95
𝐻𝑏

Sehingga diperoleh kedalaman gelombang pecah :


𝑑𝑏 = 0,95 × 3,71 = 3,52 𝑚

Hitungan tinggi dan kedalaman gelombang pecah serta sudut datang gelombang di
atas berdasarkan perkiraan awal bahwa gelombang pecah terjadi pada kedalaman 3,0
m. Hasil hitungan menunjukkan bahwa db = 3,52 m. Jika dianggap bahwa hasil
hitungan tersebut sudah mendekati perkiraan awal (db = 3,0 m ≈ db = 3,52 m), maka
hitungan dapat dihentikan, dan hailnya adalah db = 3,52 m; Hb = 3,71 m dan αb =
13,94°. Namun apabila dikehendaki hitungan yang lebih teliti, dapat dilakukan
hitungan untuk iterasi berikutnya dengan anggapan bahwa kedalaman gelombang
pecah terjadi pada db = 3,52 m. Prosedur hitungan dilakukan dengan cara yang sama
dengan iterasi sebelumnya, seperti diberikan berikut ini.

Iterasi II
Misalnya gelombang pecah terjadi pada kedalaman db = 3,52 m.
𝑑𝑏 3,52
= = 0,023
𝐿0 156

Dengan Tabel A-1 untuk nilai db/L0 didapat nilai db/L (dengan interpolasi):
𝑑𝑏 3,52
= 0,062 → 𝐿 = = 56,8 𝑚
𝐿 0,062
𝐿 56,8
𝐶= = = 5,68 𝑚/𝑑
𝑇 10

Koefisien pendangkalan (shoaling) dapat diperoleh dari Lampiran A-1 dalam


Lampiran A, dan hasilnya adalah :
Ks = 1,189

Koefisien refraksi dihitung dengan cara berikut ini.


𝐶1 5,68
𝑠𝑖𝑛𝛼1 = ( ) 𝑠𝑖𝑛𝛼0 = 𝑠𝑖𝑛45° = 0,2575
𝐶0 15,6
𝛼1 = 14,9°

Koefisien refraksi :

𝑐𝑜𝑠𝛼0 𝑐𝑜𝑠45°
𝐾𝑟 = √ =√ = 0,8554
𝑐𝑜𝑠𝛼1 𝑐𝑜𝑠14,9°

Tinggi gelombang laut dalam ekivalen dihitung dengan menggunakan Persamaan


(3.26).
𝐻′0 = 𝐾𝑟 𝐻0 = 0,8554 × 3 = 2,57 𝑚
Tinggi gelombang pecah dihitung dengan menggunakan grafik pada gambar 3.22.
untuk itu dihitung:
𝐻′0 2,57
= = 0,0026
𝑔𝑇 2 10 × 102

𝐻′
Dengan menggunakan Gambar 3.22. untuk nilai 𝑔𝑇02 = 0,0026 dan kemiringan pantai

m = 0,05 diperoleh :
𝐻𝑏
= 1,45
𝐻0

Sehingga diperoleh tinggi gelombang pecah :


𝐻𝑏 = 1,45 × 2,57 = 3,73 𝑚
Setelah tinggi gelombang pecah diperoleh, selanjutnya dihitung kedalaman
gelombang pecah db dengan menggunakan Gambar 3.23. untuk itu dihitung nilai
berikut :
𝐻𝑏 3,73
= = 0,0037
𝑔𝑇 2 10 × 102

Dengan menggunakan Gambar 3.23 diperoleh :


𝑑𝑏
= 0,95
𝐻𝑏

Sehingga diperoleh kedalaman gelombang pecah :


𝑑𝑏 = 0,95 × 3,73 = 3,54 𝑚

Hasil hitungan pada iterasi II hampir sama dengan iterasi I, sehingga hitungan dapat
dihentikan dan hasilnya adalah hasil hitungan pada iterasi ke II.
Tinggi gelombang pecah : 𝐻𝑏 = 3,73 m
Kedalaman gelombang pecah : 𝑑𝑏 = 3,54 m
Sudut datang gelombang pecah : 𝛼𝑏 = 14,9°

Anda mungkin juga menyukai