Anda di halaman 1dari 59

ASUHAN KEBIDANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

DENGAN ANEMIA SEDANG PADA Nn. A USIA 16 TAHUN


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SURADE 2021

Disusun Oleh :
SUCI RAHAYU
07200200016

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


PROGRAM SARJANA TERAPAN DEPARTEMEN KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEBIDANAN KESEHATAN REPRODUKSI


REMAJA DENGAN ANEMIA SEDANG PADA Nn.A USIA 16 TAHUN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SURADE

Telah Disetujui Pada Tanggal


24 Maret 2021

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab Klinik, Dosen Koordinator,

Nurwita Trisna Sumanti S.ST.M.Kes Retno Sugesti,S.ST,MKM

ii
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEBIDANAN KESEHATAN REPRODUKSI


REMAJA DENGAN ANEMIA SEDANG PADA Nn.A USIA 16 TAHUN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SURADE

Telah Disetujui Pada Tanggal

24 Maret 2021

Mengetahui,
Koordinator Program Studi

Madinah Munawaroh Hayatullah,S.ST,MKM

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME dengan segala rahmat,
kemurahan, kemudahan, yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Seminar kasus dengan judul ASUHAN KEBIDANAN
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN ANEMIA SEDANG
PADA Nn.A USIA 16 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SURADE
Dalam menyelesaikan seminar kasus ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik institusi, tempat penelitian,
keluarga, dan teman-teman terdekat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada :
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada :
1. Drs. H. Jacub Chatib selaku Ketua Yayasan Indonesia Maju Jakarta
2. Dr. Dr. dr. H. M. Hafizurrachman, MPH sebagai Pembina Yayasan Indonesia
Maju Jakarta.
3. Astrid Novita, SKM,MKM, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Indonesia Maju Jakarta.
4. Hidayani, Am.Keb, SKM, MKM selaku Kepala Departemen Kebidanan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju Jakarta, dan sebagai
pembimbing praktek.
5. Nurwita Trisna Sumanti S.ST.M.Kes selaku dosen klinik pembimbing
lapangan
6. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan laporan
seminar kasus yang tidak dapat saya sabutkan satu – satu.

iv
Penulis menyadari bahwa penyusun laporan ini masih banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran dari pembaca semua sangat penulis harapkan demi
perbaikan laporan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................vi
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II MATERI PENDUKUNG
2.1 Remaja Putri.................................................................................................4
2.2 Anemia dan Faktor Penyebabnya.................................................................5
2.3 Faktor Risiko Anemia..................................................................................7
2.4 Faktor Risiko Anemia Lainnya..................................................................16
2.5 Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi..................17
BAB III PENGKAJIAN KASUS
3.1 Data Subjektif.............................................................................................19
3.2 Data Objektif..............................................................................................21
3.3 Analisis Data..............................................................................................22
3.4 Penatalaksanaan.........................................................................................22
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Anemia.......................................................................................................24
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Dokumentasi
2. Satuan Acara Penyuluhan
3. Leaflet

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena
pada masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama
periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang;
jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat
dalam hal ukuran (DiMeglio 2015). Pertumbuhan tersebut menyebabkan
kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah
kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2016),
kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda
antara early adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang
lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut
growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence, sehingga
apabila terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro pada usia remaja baik
early adolescence maupun middle adolescence dapat mengganggu
pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard 2015).
Secara global, anemia merupakan masalah gizi dengan prevalensi yang
tinggi di negara maju maupun di negara berkembang, hampir 50%-90% kasus
anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi. Menurut WHO, di negara yang
sedang berkembang 26% wanita menderita anemia, sementara di negara maju
hanya sekitar 5%-7%. Pemberian tablet tambah darah merupakan pendekatan
yang paling banyak dilakukan untuk mengendalikan masalah Anemia
defisiensi besi. Menurut data Riskesdas tahun 2018, remaja puteri yang
mendapat tablet tambah darah sebanyak 76,2% dan sebanyak 23,8% tidak
mendapat tablet tambah darah. Angka kepatuhan konsumsi tablet tambah
darah pada remaja puteri sebanyak 98,6% mengonsumsi <52 butir (tidak
patuh) dan sebanyak 1,4% mengonsumsi ≤52 butir (patuh).anemia banyak
terjadi pada masa remaja dan ibu hamil.anemia pada remaja putri sampai saat
ini masih tinggi, menurut WHO than 2015 prevelensi anemia dunia berkisar

1
50-80%.prevelensi anemia pada remaja putri (usia 15-19 tahun) sebesar 26,5
% dan wanita usia subur sebesar 26,9 %(kemenkes RI, 2015).
Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi
terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi
pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan
para remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi
kebutuhan mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang
tersebar di seluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya
masukan (intake) zat besi (Wiseman 2016). Tidak semua zat besi yang
berada dalam makanan dapat diserap tubuh karena bioavailabilitasnya yang
rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Zat besi yang berasal dari
hewani, penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan
makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal
dari nabati. Makanan nabati misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan
zat besi namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus
(Wirakusumah 2018). Namun pangan

2
2

sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi,
sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang.
Kebanyakan masyarakat memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk
nabati (Backstrand et al 2016).
Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri
sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah
mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih
rentan terhadap anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami
sewaktu menstruasi (Wiseman 2016). Apabila darah yang keluar saat
menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga
cukup besar dan kehilangan tersebut dapat memicu timbulnya anemia
(Wirakusumah 2016). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai
simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal itu membuat
wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat intake zat besi kurang
atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw
2017).
Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi
karena penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat
infestasi cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi
zat besi dan anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi.
Infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus,
walaupun sedikit tetapi terjadi terus menerus dan hal itu dapat
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Kehilangan darah tersebut
mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2018)
BAB II
MATERI PENDUKUNG

2.1 Remaja Putri


WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara
usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa
masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2016).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan
waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode
dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama
masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50
persen dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan
dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi
oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNS-SCN 2016).
Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang
terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah
meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan
untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan
variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2015).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun
(ADB/SCN 2016 diacu dalam Briawan 2018). Selama periode remaja,
kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi
total volume darah, peningkata n massa lemak tubuh, dan terjadinya
menstruasi pada remaja putri (Beard 2015). Pada wanita, kebutuhan yang
tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi
(Wiseman 2016). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari
kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg

3
Fe/hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini
berhubungan

4
5

dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan
terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap
anemia besi dibandingkan pria (Beard 2015).
Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat
besi saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi
yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan
berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan
digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason
& Scrimshaw 2017).
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik
kognitif, sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak
yang sangat besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan
Hurlock (2017) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan
ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis
dan golongan pastry serta permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan
buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah akan zat
besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu hasil survei menunjukkan bahwa
remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih
sering dibandingkan konsumsi susu.

2.2 Anemia dan Faktor Penyebabnya


Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat
besi sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi
bervariasi pada tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti
pertumbuhan (bayi, remaja, kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat
besi (menstruasi dan kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam
meningkatkan absorpsi zat besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan
menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan
adanya asupan makanan (Gleason & Scrimshaw 2017).
6

Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah


batas normal. Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel
darah merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
Zat besi mempunyai peranan penting dalam tubuh, selain membantu
hemoglobin mengangkut oksigen dan mioglobin menyimpan oksigen, zat
besi juga membantu berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk
proses pembakaran (Brody 2017). Anemia gizi adalah suatu keadaan
kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan karena
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin
(Kemenkes RI 2018).
Menurut WHO (2016), batas ambang anemia untuk wanita usia 11
tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah
kurang dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan
berat belum ada keseragaman mengenai batasannya, namun untuk
mempermudah pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program
lapangan, menurut ACC/SCN (2016), anemia dapat digolongkan menjadi
tiga :
Tabel 1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb
Anemia Hb (g/dl)
Ringan 10.0 – 11.9
Sedang 7.0 – 9.9
Berat < 7.0
Sumber : ACC/SCN (2016)
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin
dan hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron
binding capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi
dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam
plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah
merah (sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi
penurunan jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir,
7

hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) dan


terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 2018).
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Kemenkes
RI (2018), anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang
dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh
akan zat besi, dan (3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.
Penyebab utama anemia yang paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya
kandungan zat besi dalam makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan
yang sangat rendah, (3) adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat
besi, dan (4) adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau
cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi
(Biesalski dan Erhardt 2017).
Defisiensi zat besi dari makanan biasanya menjadi faktor utama. Jika
zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau
makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh
untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan
digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason
& Scrimshaw 2017). Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan
vitamin A, B12, dan C yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan
kecacingan dapat pula menimbulkan anemia (WHO 2016).

2.3 Faktor Risiko Anemia


1. Menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi.
Selain itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi.
Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus
disertai pelepasan endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5
hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor yang mengganggu
kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan berat badan,
olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Panjang daur dapat
8

bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam


hidupnya (Affandi 2015).
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat
tinggal dari permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor
sosial misalnya status perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan
ovulasi mempengaruhi lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan
pada kebanyakan wanita setiap periode kurang lebih tetap (Affandi
2015).
Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal
ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu
komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama
menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh.
Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan
keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Kemenkes RI 2018).
Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan besi hingga dua kali jumlah
kehilangan besi laki-laki (Brody 2017). Apabila darah yang keluar saat
menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh
juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam
jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang
hilang selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan
dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml
(Affandi 2015). Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi
sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg sehari.
Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal maka jumlah
total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per hari (Arisman 2016).
Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah menstruasi
dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat
9

menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat


sangat mungkin terkena anemia ringan (Wiseman 2016).
2. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam
jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat
dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik (Supariasa et al 2016). Pengukuran antropometri terdiri dari dua
dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh
(pengukuran komponen lemak dan komponen bukan lemak).
Menurut Riyadi (2016), indikator antropometri yang dipakai di
lapangan adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang
atau tinggi badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator
tersebut sangat tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada
masa remaja karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi
perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor
hormonal. Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan popular
untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks
Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang
dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan
membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter.
Berikut adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan
usia menurut WNPG 2017.
Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)
Usia
Rata-rata SD Rata-rata SD
10-12 tahun 38.4 9.2 145.4 8.8
13-15 tahun 44.6 6.7 152.3 4.6
16-18 tahun 46.3 4.6 149.1 4.9
Sumber : Jahari & Jus’at (2017) dalam WNPG (2017)
10

Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat


badan saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi
makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat
pematangan seksual. Wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat
mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat mengalami
menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih
lambat (ABD/SCN 2016 diacu dalam Briawan 2018). IMT mempunyai
korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2017). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2015) yang
menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh
kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia.
3. Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
terkena infeksi (Permaesih dan Herman 2015). Telah diketahui secara
luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan
kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan
dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi
(Thurnham & Northrop-Clewes 2017). Kehilangan darah akibat
schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan
defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit infeksi
meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan
terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi
parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis
menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah
tersebut mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2016).
Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada
dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga
dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing
merupakan kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi.
11

Cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan usus yang memicu


kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus. Intensitas infeksi
cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi
menurut spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang
menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah A. duodenale (Dreyfuss
et al 2015).
Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi
besi dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit
yang ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium
yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P.
falciparum, anemia sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat
(Shulman et al 2017). Menurut hasil penelitian Wijianto (2016),
penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb
yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di
Nepal, terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi
besi. Konsentrasi serum ferritin pada wanita yang terjangkit P. vivax
lebih rendah dan proporsi wanita dengan serum ferritin rendah
cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2015).
Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang
peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan
tersebut terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang
menderita malaria parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil
penelitian menunjukkan malaria asimtomatik memiliki konsentrasi
hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
menderita malaria. Walaupun persentase sel darah merah yang terinfeksi
malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul akibat blokade
penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti
hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2017).
4. Aktivitas Fisik
12

Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani


seseorang. Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di
Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih
dan Herman 2015). Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan
tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat mampu melakukan aktivitas
fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik yang dilakukan secara
rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif bagi kesehatan
badan.
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa
dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola.
Aktivitas remaja dapat dilihat dari bagaimana cara remaja
mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari
untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang-ulang
(Kartono 2016 diacu dalam Ratnayani 2015). Menurut Framingham
Study diacu dalam Ratnayani (2015), aktivitas fisik selama 24 jam
dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga
seperti jogging, sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang
(belajar, naik tangga, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan
sebagainya), aktivitas ringan (kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas
rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).
Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas
tersebut dapat mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan
menurun sehubungan dengan terjadinya penurunan konsentrasi
hemoglobin dan jaringan yang mengandung zat besi. Zat besi dalam
hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat
mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard
dan Tobin 2015).
Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya
defisiensi zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan
kehilangan darah yang dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat
melalui keringat, feses dan urine, atau hemolisis intravaskular. Studi
13

yang dilakukan pada atlet wanita menunjukkan bahwa kehilangan zat


besi melalui keringat menurun sejalan dengan waktu. Konsentrasi zat
besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga
dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada lingkungan yang
panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai kasus zat
gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang,
dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik
(Akabas dan Dolins 2015).
5. Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah
pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang
pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang
dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan
hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang
dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah
2016).
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang
bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di
negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka
dari produk nabati (Backstrand et al 2016). Di Indonesia,
ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi
makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber
zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang
dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Kemenkes RI 2018).
Menurut Almatsier (2016) diperkirakan hanya 5-15 persen besi
makanan diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik
14

dan jika dalam keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50


persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi
heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat
daripada besi nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam
hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam
makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah
kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil
olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi
yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil
akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif. Sayuran daun
berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika
sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di dalam
tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang
dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif
lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang
terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2016).
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh
faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi
dari 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat
dalam makanan (WHO 2016). Menurut FAO/WHO (2016), faktor
pendorong penyerapan zat besi diantaranya :
- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood
- Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
- Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap Sedangkan faktor
penghambat penyerapan zat besi :
- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-
kacangan
- Makanan dengan kandungan inositol tinggi
- Protein di dalam kedelai
15

- Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu
(seperti oregano)
- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu
Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging,
unggas, dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi
(Almatsier 2016). Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas,
dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat
meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut
menghasilkan asam amino cysteine dalam jumlah besar. Selanjutnya
asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya
(Groff & Gropper 2015 diacu dalam Puri 2017).
Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat
menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu,
tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi
dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi
di dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di
dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang
lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier 2016).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam
pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyak kali
penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode
waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi
pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi.
Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi penggunaan
pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber protein,
sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik
(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi
zat gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu
daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan
Sa’diyyah 2016).
16

6. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Menurut Kemenkes RI (2017), perilaku hidup sehat adalah
perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman
penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya dengan higiene perorangan
(personal hygiene). Yang termasuk dalam higiene perorangan adalah
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun dan air bersih
mampu mencegah risiko terkena diare (Anonim 2017 diacu dalam
Nurwulan 2017). Selain itu kebersihan pribadi mencakup : kebersihan
kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan
kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan kecil
(Kemenkes RI 2017).
Cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor
determinan status anemia. Sebagaimana diketahui bahwa cuci tangan
sebelum makan merupakan salah satu perilaku hidup sehat. Melalui
membiasakan mencuci tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman
tersebut tidak turut masuk ke dalam mulut, selanjutnya akan
menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai pemicu
terjadinya anemia. Anak yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai
risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia (Irawati et al 2015).

2.4 Faktor Risiko Anemia Lainnya


Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama
yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi
oleh tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan
sarapan, status kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam
kategori kurus (Permaesih dan Herman 2015). Hasil penelitian Maharani
(2017) menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan
17

mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu faktor


jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria.
Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang
sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi
tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan
lebih rendah. Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh
pengetahuan gizi, juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal
ketersediaan pangan (Permaesih dan Herman 2015).
Keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus
mempunyai kecenderungan untuk terkena anemia (Permaesih dan Herman
2015). Menurut Thompson, pertumbuhan yang terganggu berhubungan
dengan anemia defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif
berhubungan dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil
tersebut berbeda dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan IMT dengan status anemia
(Khatib et al 2016 diacu dalam Briawan 2018).
Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua
yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut
sesuai dengan penyataan WHO (2016) bahwa anemia sering terjadi diantara
masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di
Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH)
Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi
faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley
et al 2015). Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk
pendapatan yang rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan
makanan yang rendah dan pola makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan
tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang pola makan
beragam dan pentingnya pangan sumber zat gizi mikro yang dapat
mendorong atau menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh (Thompson
18

2017). Hal ini menggambarkan asupan pangan sumber zat besi yang rendah
terutama pangan hewani (Bartley et al 2015).

2.5 Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi


Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)
pada remaja putri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Barat untuk menurunkan prevalensi anemia yang
masih tinggi pada remaja putri yang pada akhirnya diharapkan dapat
menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil. Kegiatan ini berupa
pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan kepada remaja putri. Beberapa
kabupaten dan kota di Jawa Barat seperti Cirebon, Subang, Cianjur, dan
Bandung telah melaksanakan program tersebut pada tahun 2016 dan secara
signifikan menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada remaja
putri baik pada siswa SMP maupun SMA yang diberikan tablet tambah darah
tersebut.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan seksi Kesehatan
Keluarga dan Gizi bekerja sama dengan seksi Promosi Kesehatan (Program
UKS), Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bekasi dan
Puskesmas Perumnas II serta Guru UKS di sekolah sasaran. Program
pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri ini
dilakukan dengan pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja
putri ini berlangsung dalam beberapa tahap diantaranya pemeriksaan kadar
Hb darah dan recall pola makan remaja putri yang dilakukan sebelum dan
setelah pemberian tablet tambah darah, pemberian tablet tambah darah
kepada remaja putri dan kegiatan konseling gizi yang bertujuan untuk
memantapkan kemauan dan kemampuan remaja putri melaksanakan perilaku
gizi yang baik dan benar agar tidak terjadi anemia, pemantauan kepatuhan
minum tablet tambah darah, dan evaluasi kegiatan. Tablet tambah darah yang
diberikan mengandung 250 mg Fe elemental dan 0.25 mg asam folat
ditambah vitamin dan mineral. Tablet tambah darah diberikan 1 tablet setiap
19

minggu dan 10 tablet pada waktu menstruasi sehingga total tablet yang
diminum selama 4 bulan kegiatan adalah 52 tablet.
Sekolah untuk pelaksanaan kegiatan dipilih dengan latar belakang
tingginya prevalensi anemia ibu hamil di daerah tersebut, adanya petugas
Puskesmas dengan latar belakang pendidikan gizi, kinerja puskesmas yang
cukup baik, tersedianya laboratorium dan tenaga lab untuk fasilitas
pengambilan dan pemeriksaan darah dengan metode Cya nmethemoglobin,
dan dukungan puskesmas terhadap pelaksanaan kegiatan, serta adanya
koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan dinas terkait untuk memberikan
dukungan terhadap kegiatan dan dapat menindaklanjuti pemberian tablet
tambah darah secara mandiri pasca kegiatan.
BAB III
PENGKAJIAN KASUS

FORMAT DOKUMENTASI
ASUHAN KEBIDANAN PADA MASA REMAJA,
PRANIKAH DAN PRAKONSEPSI

Tanggal MRS : 16-03-2021


Tanggal Pengkajian : 16-03-2021
No. Registrasi : 001
Waktu : 09.20 WIB
Pengkajian : Remaja
Tempat Pengkajian : Puskesmas Surade
PENGKAJIAN
3.1 Data Subjektif
1. Identitas
Nama anak : Nn. A
Usia : 16 thn
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Siswa
Pendidikan : SMA
Identitas Orangtua
Nama Ibu : Hj.Iis Nama Ayah : Tn.Juan
Usia : 57 Thn Usia : 67 Thn
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Sunda Suku : Sunda
Pekerjaan : MRT Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SD Pendidikan : SD

20
21

Alamat : Kp. Surade RT 014 RW 004. Kel. Surade Kec.


Surade
2. Alasan datang
Nn.A mengatakan mau periksa kesehatannya.
3. Keluhan utama
Nn.A mengatakan kepalanya terasa pusing,kadang pandangan berkunang-
kunang,badan tersa lemas,lesu, dan sedikit mual. Dalam keadaan diet
4. Riwayat menstruasi
Menarche : 11 tahun
Siklus : 27 hari
Lama : 7 hari
Selama sakit : tidak
Banyak : 20 cc
Selama sakit : tidak
Nyeri haid : tidak
Flour albus : ada normal
HPHT : 5 -3-2021
5. Riwayat kesehatan
Tidak ada,kalau ibu kandung mempunyai riwayat darah tinggi
6. Riwayat psikososial
Tidak ada kecemasan seperti menyendiri,mengurung diri dan minder
terhadap teman-temannya
7. Pola kebiasaan sehari-hari
a) Pola Istirahat
Siang tidak pernah tidur
Tidur malam 5 jam karena sering main Hp
b) Pola Aktifitas
Baik
c) Pola Eliminasi
BAK : + 4 kali sehari
BAB : 1 kali
22

d) Pola Nutrisi
Makan sehari 1 kali,minum lebih dari 4 gelas
e) Pola Personal Hygiene
Ganti celana dalam sehari 2kali,genti pembalut sehari 3 kali
f) Pola Kebiasaan
Olah raga,istirahat

3.2 Data Objektif


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
2. Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : 90/70 mmhg
Denyut nadi : 80x/m
Frekuensi nafas : 19x/m
Suhu tubuh : 36,6 cc
3. Pemeriksaan Status Gizi
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 145 cm
IMT : 19
LILA : 22 cm
Lingkar perut : 75 cm
4. Pemeriksaan Fisik Wajah
Mata konjung tiva : pucat
Telinga : simetris tidak ada serumen
Hidung : normal
Mulut : normal
Leher : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
Dada : simestris
Abdomen : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
Ekstremitas Atas : normal
23

Ekstremitas Bawah : normal


Anogenitalia : normal
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil pemeriksaan laboratorium
Nama Nilai Nama Nilai
Hasil Hasil
Pemeriksaan Normal Pemeriksaan Normal
Darah Lengkap Faal Hati
Golongan O+ Albumin -
darah SGOT -
Trombosit - SGPT -
Eritrosit - Gula Darah
Leukosit - GDS -
Hemoglobin 8,6 gr 11-13 gr Plano Test -
% %

b. Pemeriksaan penunjang lain


tes Hb saja

3.3 Analisis Data


Nn. A Remaja usia 16 tahun dengan anemia sedang

3.4 Penatalaksanaan
1. Memberi tahu Nn. A tentang hasil pemeriksaannya
2. Menganjurkan Nn. A untuk istirahat siang 1 jam dan malam 7-8 jam
3. Memberitahu Nn. A untuk tidak diet dulu karena bisa membuat dia sakit
untuk itu Nn. A harus banyak makan atau Nutrisi di tingkatkan seperti
sayuran,kacang kacangan,ikan,daging,buah buahan.
4. Menganjurkan Nn.A untuk minum obat tambah darah /Fe minimal 1x 1
dalam seminggu tapi berhubung sekarang anemia sedang Nn. A
dianjurkan untuk minum Fe 1x1 setiap hari selama 10 hari. Dan Memberi
tahukan kepada Nn. A untuk hindari minum tablet tambah darah dengan
24

susu,kopi, dan the.


5. Menganjurkan Nn. A untuk Kontrol 2 minggu yaitu tanggal ( 5 April
2021 ) tetapi jika ada seluhan sebelum 2 mingga bisa kontrol kembali ke
tenagan kesehatan terdekat atau puskesmas.
6. Dilakukan evaluasi tanggal 18 maret 2020 memalui telepon seluler dan
chat via wa Nn. A remaja 16 tahun dan menanyakan kepada Nn.A sudah
memperbaiki pola makan dengan memakan sayur-sayuran,buah-
buahan,ikan, daging, makan beragam dan menjauhi makanan pedas
seperti mie,baso dan seblak.dan memastikan juga Nn. A meminum Fe
1x1 dalam sehari.Nn.A menjawab kalau semua sudah dilakukan

Surade, 16 Maret 2021


Pengkaji,

( Suci Rahayu )
25
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Anemia
Anemia merupakan adanya kondisi dimana kondisi dimana jumlah
dan ukuran sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas
normal, akibatnya dapat mengganggu kapasitas darah untuk mengangkut
oksigen kesekitar tubuh. Anemia adalah indikator untuk gizi buruk serta
kesehatan yang buruk. Anemia adalah suatu masalah kesehatan yang terjadi
pada masyarakat dan serta tersebar pada seluruh dunia terutama pada
berbagai negara berkembang serta negara miskin. Kejadian anemia
banyak dialami terutama pada kelompok usia remaja baik laki laki maupun
perempuan.1
Kejadian anemia merupakan terjadinya kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah lebih rendah dilihat dari nilai normal untuk pada orang yang
bersangkutan. Untuk menentukan terjadinya anemia dilakukan dengan
mengukur hematokrit (Ht). Nilai hematokrit rata-rata setara dengan tiga
kali kadar hemoglobin. Batasan Hb untuk menentukan apakah seseorang
terkena anemia gizi besi atau tidak sangat dipengaruhi oleh umur. Untuk
anak-anak umur 6 bulan-5 tahun, dapat dikatakan menderita anemia gizi
besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 g/dl, umur 6-14 tahun
kurang dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl, dewasa
perempuan tidak hamil kurang dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan
hamil kurang dari 11 g/dl.2
Anemia mempengaruhi 1/2 miliar perempuan usia reproduksi di
seluruh dunia. Pada tahun 2011, 29% (496 juta) dari wanita yang tidak
hamil dan 38% (32.400.000) dari ibu hamil yang berusia 15-49 tahun yang
menderita anemia. Prevalensi anemia tertinggi di Asia selatan dan tengah

1
Wibowo, dkk. Hubungan Status Gizi Dengan Anemia Pada. Remaja Putri di Sekolah Menengah
Pertama Muhammadiyah 3 Semarang. 2013.
2
Arisman. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku. Kedokteran. Jakarta: EGC;
2004.

26
dan Afrika barat. Sedangkan penyebab anemia diperkirakan separuh dari
kasus

27
28

disebabkan oleh kurang zat besi.3


Anemia menjadi permasalahan yang terjadi pada gizi manusia di
dunia, terutama pada negara berkembang diantaranya Indonesia. Angka
kejadian anemia gizi besi di Indonesia sebanyak 72,3%. Kekurangan besi
pada remaja mengakibatkan pucat, lemah, letih, pusing, dan menurunnya
konsentrasi belajar. Penyebabnya, antara lain: tingkat pendidikan orang
tua, tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan tentang anemia dari remaja
putri, konsumsi Fe, Vitamin C, dan lamanya menstruasi. Angka
prevalensi anemia di Indonesia, yaitu pada remaja wanita sebesar 26,50%,
pada wanita usia subur sebesar 26,9%, pada ibu hamil sebesar 40,1%
dan pada balita sebesar 47,0%. Diketahui bahwa prevalensi anemia pada
anak usia para sekolah, wanita hamil, dan wanita tidak hamil di dunia
secara global berturut-turut sebagai berikut 47,4%, 41,8%, dan 30,2%.
Prevalensi anemia wanita tidak hamil di benua Afrika adalah 44,4%,
benua Asia 33,0%, benua Eropa 15,2%, benua Amerika Latin dan
Caribbean (LAC) 23,5%, Benua Amerika Utara 7,6% dan Benua Oceania
prevalensi anemia sebesar 20,2%.4
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2012),
prevalensi penyakit anemia sebanyak 75,9% pada remaja putri, pada ibu
hamil 53,6%. Kriteria lain orang terkena anemia apabila hemoglobin (Hb)
dalam darah kurang dari 13 g% untuk pria dan untuk wanita kurang dari 12 g
%. Sedangkan anemia untuk anak usia 6 bulan - 5 tahun, kandungan Hb
dalam darah kurang dari 11 g%. Anak usia 6-14 tahun kandungan Hb kurang
dari 12 g% .5
Anemia yang terjadi pada remaja putri adalah salah satu dampak
masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia berdampak pada gizi
disebabkan karena kekurangan zat gizi yang untuk pembentukan Hb,
akibatnya berkurangnya konsumsi serta gangguan absorpsi. Anemia adalah
3
WHO. Maternal Mortality: World Health Organization; 2014.
4
Burner. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada. Remaja Putri. Jurnal
Ilmu Pendidikan. 2012 http://repository.usu.ac.id/.
5
Badan Pusat Statistik. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2012. BPS –
BKKBN – Depkes
29

masalah gizi yang paling lazim di dunia dan diderita lebih dari 600 juta
orang. Anemia lebih banyak terjadi di negara sedang berkembang
dibandingkan negara yang sudah maju. Dari perkiraan populasi 3.800
juta orang (36% ) di negara sedang berkembang menderita anemia.6
Anemia adalah masalah gizi yang sering terjadi pada remaja
terutama remaja putri. Anemia ialah kelanjutan dampak dari kekurangan zat
gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin,
mineral).7 Pada remaja putri, kebutuhan besi meningkat karena mengalami
menstruasi/haid berkala yang mengeluarkan sejumlah zat besi setiap bulan.
Peningkatan kebutuhan jumlah total volume darah ini seringkali tidak diikuti
dengan konsumsi zat besi yang adekuat, apalagi saat menginjak usia remaja
putri cenderung ingin memiliki tubuh yang lebih langsing, sehingga sering
melakukan berbagai usaha, di antaranya adalah melakukan diet ketat.8
Penyebab anemia dikarenakan karena kurangnya asupan gizi dari
makanan yang mengandung gizi tinggi serta suplemen penambah darah,
serta adanya zat yang dapat menghambat penyerapan besi diantaranya dari
makanan, penyakit infeksi, malabsorbsi, dan pendarahan juga dipengaruhi
oleh faktor biologis seperti menstruasi, tiap bulan, kehamilan, melahirkan
dan masa nifas.9
Remaja merupakan siklus kedua dalam kehidupan setiap individu.
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini ditandai oleh perubahan fisik
dan psikologis. Perubahan fisik dari anak-anak menuju remaja ditandai
dengan bertambahnya masa otot, bertambahnya jaringan lemak dalam tubuh
dan terjadinya perubahan hormonal10. Secara psikologis remaja
mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan,
dan tanggung jawab yang dihadapinya. ini berarti masa remaja adalah
masa peralihan dari masa anak menuju ke masa dewasa. Dari segi

6
Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
7
Badriah, LD. 2011. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. PT Refika Aditama : Bandung.
8
Almatsier, S.(2010).Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
9
Prayitno dan Fadhilah, 2012
10
Andriani, M. & Wirjatmadi, B. (2012a) Pengantar gizi masyarakat. Jakarta: Kencana prenada
media group.
30

kesehatan, remaja sering dianggap kelompok usia yang dianggap sehat-


sehat saja, padahal kenyataannya tidak demikian. Adanya pertumbuhan
sosial dan pola kehidupan di masyarakat mempengaruhi jenis penyakit pada
remaja.11
Kekurangan zat besi (Fe) pada konsumsi makanan yang salah karena
mengkonsumsi makanan yang kurang mengandung gizi tinggi dapat
menimbulkan kekurangan darah yang dikenal sebagai anemia gizi besi
(AGB). P a d a Remaja perempuan akan lebih rawan terjadinya anemia
dibandingkan dengan pria. Terdapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
Fe (zat besi) yaitu rendahnya tingkat penyerapan Fe dalam tubuh, terutama
sumber Fe nabati yang hanya diserap 1-2%. Sumber Fe hewani mencapai
10-20%. Bentuk besi di dalam makanan berpengaruh terhadap
penyerapannya. Besi hem yang merupakan bagian dari hemoglobin dan
mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap dua kali lipat
daripada besi- nonhem. Makanan yang dapat meningkatkan penyerapan
zat besi terutama Fe non-heme adalah vitamin C serta sumber protein
hewani tertentu.12
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ani et al., (2010)
mengenai pemberian suplementasi tablet besi setiap hari selama 30 hari
dan vitamin C pada remaja putri dengan anemia di Poltekkes Kemenkes
Tasikmalaya. Penelitian tersebut didapatkan hasil sebanyak 44,2%
responden menderita anemia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tadete et
al., tahun 2012 menyatakan bahwa rendahnya tingkat penyerapan zat besi di
dalam tubuh merupakan kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat
besi terutama sumber zat besi dari nabati yang hanya diserap 1-2%.
Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat
besi (seperti kopi dan teh) secara bersamaan pada waktu makan
menyebabkan penyerapan zat besi semakin rendah.13

11
Istiany, Ari dan Rusilanti. (2013). Gizi Terapan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
12
Andriani, M. & Wirjatmadi, B. (2012a) Pengantar gizi masyarakat. Jakarta: Kencana prenada
media group.
13
Muchtadi, 2009
31

Anemia zat besi akan disertai dengan perkembangan jiwa, motorik,


serta perilaku yang lebih buruk pada anak kecil, dan keletihan serta
fungsi kognitif yang lebih buruk pada remaja. Defisiensi besi non-anemia
harus ditangani, karena defisiensi tersebut meningkatkan risiko terjadinya
anemia defisiensi besi pada laju pertumbuhan yang cepat dan awal haid.
Kebutuhan zat besi meningkat selama masa remaja untuk memenuhi
pertumbuhan dan kehilangan zat besi yang tidak dapat dihindari. Zat besi
akan hilang dalam saluran pencernaan, kulit, dan urine serta dari darah
menstruasi pada perempuan. Kebutuhan zat besi yang diabsorpsi pada
remaja perempuan diperkirakan sekitar 1,15 mg/hari. Remaja perempuan
mengkonsumsi besi sekitar 11 mg/hari sehingga beresiko mengalami
defisiensi zat besi.14
Salah satu cara untuk menanggulangi anemia zat besi tersebut adalah
dengan pemberian tablet besi karena asupan makanan z a t besi masih
kurang. Namun menurut beberapa penelitian suplementasi Fe saja tidak
dapat meningkatkan kadar hemoglobin, untuk itu suplementasi Fe perlu
ditambah dengan mikronutrient lain. Oleh karena itu diperlukannya
suplementasi besi ditambah dengan mikronutrient lain seperti vitamin A,
asam folat, vitamin C, riboflavin, seng dan vitamin B12. Penelitian yang
dilakukan oleh Khan et al., pada tahun 2012 di Bangladesh menyatakan
bahwa suplementasi Fe serta asam folat dapat meningkatkan Kadar
hemoglobin pada anemia remaja putri. Penelitian lainnya yang dilakukan
oleh Casey et al (2011) menyatakan bahwa dengan pemberian suplemen
besi dan asam folat per minggu pada anemia remaja putri akan mengurangi
prevalensi anemia.
Pemberian Suplementasi zat besi serta folat dua kali per minggu
pada remaja yang mengalami anemia sangat baik dan bermanfaat untuk
mengurangi efek samping serta menjadikan kepatuhan pengobatan yang
lebih baik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aryani dan
Purwaningsih tahun 2006. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa

14
Sharlin, Judith dan Sari Edelstein, Essentials of Life Cycle Nutrition.Canada
32

bahwa ada efek pemberian suplementasi tablet besi satu minggu sekali
selama 8 minggu terhadap kenaikan hemoglobin.15
Berdasarkan Depkes tahun 2008 menyatakan bahwa dosis
pemberian suplemen tablet besi adalah 65 mg satu kali per hari selama satu
bulan. Pemberian pada remaja suplementasi tablet besi dijalankan selama 2-
3 bulan untuk mengisi cadangan besi di dalam tubuh. Oleh karena itu
pemberian suplementasi tablet besi dan asam folat dapat digunakan untuk
memperbaiki status hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat.16
Pemberian suplemen tablet zat besi dan asam folat mingguan
digunakan untuk meningkatkan kepatuhan konsumsi besi harian yang
dianggap kurang efektif karena eritrosit dapat bertahan selama 4-5 hari
yang mengakibatkan berkurangnya efek samping dari tablet besi yang tidak
enak dan kebutuhan besi pada subjek meningkat sedangkan pemberian
suplementasi tablet besi dua kali per minggu karena setiap hari sekitar 25 ml
eritrosit harus di ganti sehingga membutuhkan 25 mg besi tetapi hanya 1
mg/hari yang dapat diabsorpsi dari makanan sedangkan 24 mg diambil
dari daur ulang besi dan cadangan besi. Laju perubahan hemoglobin
dari awal sampai akhir intervensi ditemukan hasil pemberian suplemen
tablet besi dan asam folat dua kali per minggu relatif lebih meningkat
dibandingkan dengan satu kali per minggu.17
Timbulnya anemia dapat disebabkan oleh asupan pola makan yang
salah, tidak teratur dan tidak seimbang dengan kecukupan sumber gizi yang
dibutuhkan tubuh diantaranya adalah asupan energi, asupan protein, asupan
karbohidrat, asupan lemak, vitamin C dan yang terutama kurangnya sumber
makanan yang mengandung zat besi, dan asam folat. Upaya penanggulangan
masalah anemia pada remaja berkaitan dengan asupan makanan yang
mengandung zat besi. Kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak
sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita
15
Purwaningsih. 2006. Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Resiko.
16
Departemen Kesehatan RI. (2008). Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi. Buruk.
Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
17
Gupta I, Gupta R. Tell Tale Shades of Discolored. Teeth: A review. Indian Journal of Dental
Science 2014; 6(2): 95-9.
33

anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat
adanya pertumbuhan dan menstruasi. Aktifitas sekolah, perkuliahan maupun
berbagai aktifitas organisasi dan ekstrakurikuler yang tinggi akan berdampak
pada pola makan yang tidak teratur, selain itu kebiasaan mengkonsumsi
minuman yang menghambat absorbsi zat besi akan mempengaruhi kadar
hemoglobin seseorang18. Berdasarkan penelitian Tiaki Nilai koefisien
korelasi 0,127 dengan signifikansi 0,026 < 0,05 pada pola makan. Hal ini
berarti mengidentifikasi Ha diterima dan Ho ditolak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan kejadian
anemia pada remaja putri.19
Kurang istirahat atau Kurang tidur pada seseorang yang berdampak
buruk pikiran dan tubuh di setiap aktivitasnya, mulai dari anak usia dini
sampai dewasa matang. Tetapi pada remaja yang berada pada tahap kritis
perkembangan, melewatkan waktu tidur atau kurangnya waktu tidur bisa
sangat berbahaya. Seiring waktu, pola “tidur larut malam, bangun pagi buta”
ini dapat menyebabkan sejumlah risiko kesehatan. Berikut adalah beberapa
risiko kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan kurang tidur selama
masa remaja yang harus diperhatikan baik oleh orang tua dan anak remaja itu
sendiri. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa Kejadian anemia pada
remaja putri di Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 56,3%. Kecamatan
Surade merupakan bagian dari Kabupaten Sukabumi dimana hasil Survai
data di Wilayah Kecamatan Surade memiliki prevalansi angka anemia
penduduk sebesar 36 % diantaranya berdasarkan hasil observasi di SMPN #
Surade terdapat angka anemia sebesar 30 %.
Dan menurut hasil penelitian yang di dapat pada kasus remaja Nn. A
usia 16 tahun mendapatkan hasil anemia sedang dan terdapata hubungan
antara teoari dan hasil penelitian.

18
Dinkes DIY. (2012) Angka Prevalensi Anemia pada Remaja di Yogyakarta.
Yogyakarta.
19
Nur Khatim AH Tiaki. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja
Putri Kelas Xi Di Smk N 2 Yogyakarta. Jurnal. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Aisyiyah Yogyakarta
34
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Remaja merupakan bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun.
Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan
dan 50 persen dari berat badan saat dewasa.
Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah
batas normal. Menurut WHO (2016), batas ambang anemia untuk wanita usia
11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah
kurang dari 12 g/dl.
Faktor risiko anemia diantaranya menstruasi, status gizi, riwayat
penyakit, aktivitas fisik, konsumsi pangan serta perilaku hidup bersih dan
sehat. Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama
yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi
oleh tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan
sarapan, status kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam
kategori kurus. Hasil penelitian Maharani (2017) menunjukkan bahwa faktor
risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia
mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan
status proteinuria.
5.2 Saran

1. Bagi Tempat Penelitian

a. Memberikan sumber informasi dan penyuluhan kepada siswi

bagaimana memahami dan mencegah kejadian anemia.

b. Melakukan pengecekan secara rutin kepada siswi yang

mengalami anemia

35
c. Memberikan arahan kepada siswi yang mengalami anemia

untuk tidak melakukan aktivitas yang berat disekolah seperti

olahraga atau extrakulikuler.

d. Memberikan penyuluhan atau penkes tentang memperbaiki pola

istirahat dan pola makan yang baik

e. Memberikan penyuluhan mengenai pentingnya mengkonsumsi

tablet tambah darah

2. Bagi Institusi pendidikan

Dapat menambah wacana keperpustakaan mengenai pendidikan

kesehatan terutama tentang kejadian anemia pada remaja.

3. Penelitian Selanjutnya

Dari hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman untuk melakukan penelitian selanjutnya, juga menjadi bekal

bagi peneliti dalam memberikan pelayanan dan penyuluhan kesehatan

saat bekerja di lapangan maupun di masyarakat. Untuk dijadikan data

dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya.

36
DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 2016. Controlling Iron Deficiency. Geneva

Affandi B. 2015. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI

Akabas SR, KR Dolins. 2015. Micronutrient requirements of physically active


women: what can we learn from iron?. The Journal Of
Nutrition;81(suppl):1246S–51S

Almatsier S. 2016. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama

Arisman. 2016. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC

Beard JL. 2015. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of


Nutrition 130: 440S–442S

Biesalski HK, JG Erhardt. 2017. Diagnosis of nutritional anemia – laboratory


assessment of iron status. Didalam Nutritional Anemia, Edited by
Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and
Life Press

Briawan D. 2018. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan


status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor

Brody T. 2017. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press

Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry,


SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, Jr. 2015. Hookworms,
Malaria and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron
Deficiency among Pregnant Women in the Plains of Nepal. The
Journal Of Nutrition 130: 2527–2536

Gleason G, NS Scrimshaw. 2017. An overview of the functional significance of


iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus
Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life
Press

Hurlock EB. 2017. Psikologi Perkembangan Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit


Erlangga

Irawati A, et al. 2015. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di
Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin

37
Kemenkes RI. 2017. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI

38
39

Kemenkes RI. 2018. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri
dan Wanita Usia Subur. Jakarta : Kemenkes RI

Kusharto CM, NY Sa’diyyah. 2016. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor:


IPB Press

Maharani II. 2017. Faktor risiko yang mempengaruhi status anemia mahasiswa
USMI IPB 2016-2017 [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor

Nurwulan I. 2017. Hubungan karakteristik lingkungan fisik rumah, perilaku hidup


sehat, serta akses terhadap pelayanan kesehatan dengan status
kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kecamatan
Bogor Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor

Permaesih D, S Herman. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada


remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171

Puri DK. 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia mahasiswi
peserta program pemberian makanan tambahan di IPB, Bogor
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Ratnayani. 2015. Identifikasi karakteristik mahasiswa putri TPB IPB dengan


status gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor

Riyadi H. 2016. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor :


Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian
Bogor

Shulman ST, JP Phair, HM Sommers. 2017. The Biologic & Clinical Basis of
Infectious Diseases, Fourth Edition, penerjemah Samik Wahab.
Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada

Supariasa IDN, I Fajar, B Bakri. 2016. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC

Thompson B. 2017. Food-based approaches for combating iron deficiency.


Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B.
Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Thurnham DI, CA Northrop-Clewes. 2017. Infection and the etiology of anemia.


Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B.
Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

UNS – SCN [United Nation System – Standing Committee on Nutrition]. 2016.


Adolescence. Geneva
40

WHO [World Health Organization]. 2016. Adolescent Nutrition: A Review of the


Situation in Selected South-East Asian Countries. New Delhi : WHO
Region Office for South-East Asia

WHO [World Health Organization]. 2016. Iron Deficiency Anaemia, Assessment,


Prevention, and Control : A guide for programme managers.
Geneva :World Health Organization

Wijianto. 2016. Dampak suplementasi tablet tambah darah (TTD) dan


faktorfaktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di
kabupaten Banggai propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Wirakusumah ES. 2018. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus
Agriwidya

Wiseman G. 2016. Nutrition & Health. London : Taylor & Francis Inc.
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN ANEMIA

A. Pengantar
Mata Kuliyah/ Praktikum : Praktek Pkk4
Kode Mata Kuliah/ Sks :-
Semester : Tujuh (Tujuh )
Sasaran : Remaja
Materi Pokok : Anemia Pada Remaja
Waktu/ Pertemuan : 09.00 Sd Selesai
Program Studi : Sarjana Terapan Kebidanan Universitas
Kebidanan Indonesia Maju (STIKIM)

B. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan remaja dapat
mendeteksi anemia pada remaja.

C. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Setelah mengikuti penyuluhan, Remaja dapat menjelaskan kembali
tentang:
1. Pengertian anemia
2. Penyebab anemia
3. Klasifikasi anemia
4. Tanda dan akibat anemia pada remaja
5. Kriteria anemia
6. Penanggulangan anemia
7. Pengobatan anemia

D. Materi
Terlampir
E. Media
1. SAP
2. Leaflet
3. Power Point

F. Metode
1. Penyuluhan
2. Peragaan/simulasi
3. Tanya jawab, diskusi

G. Kegiatan Pembelajaran
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1. 5  menit Pembukaan : Menjawab salam
a. Memberi salam Mendengarkan dan
b. Memperkenalkan diri memperhatikan
c. Menjelaskan tujuan
penyuluhaan
d. Menyebut materi/pokok
bahasan yang ingin
disampaikan 
2. 15 menit Pelaksanaan : Menyimak dan
Menjelaskan materi penyuluhan memperhatikan
secara berurutan dan teratur materi yang
Materi : disampaikan
a. Pengertian anemia
b. Penyebab anemia
c. Klasifikasi anemia
d. Tanda dan akibat anemia
pada remaja
e. Kriteria anemia
f. Penanggulangan anemia
g. Pengobatan anemia
3. 5 menit Evaluasi :
1. Memberikan kesempatan Merespon dan
kepada responden untuk bertanya
bertanya.
2. Memberikan pujian atas Merespon dan
keberhasilan ibu menjelaskan
menjelaskan pertanyaan dan
memperbaiki kesalahan.
4. 5 menit Penutup :
1. Menyimpulkan materi yang Menyimak
telah di sampaikan.
2. Mengucapkan terima kasih
atas perhatian dan waktu
yang telah diberikan kepada
responden.
3. Mengucapkan salam. Menjawab salam

H. Evaluasi
Metode evaluasi : Memberikan pertanyaan
Jenis pertanyaan : Lisan

LAMPIRAN MATERI
ANEMIA PADA REMAJA

A. Pengertian
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah
sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam
sel darah merah berada di bawah normal. Anemia adalah berkurangnya
hingga dibawah nilai normal eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume
packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah.

B. Penyebab Umum dari Anemia


1. Kehilangan darah atau Perdarahan hebat seperti :                                        
Perdarahan  Akut (mendadak),  Kecelakaan, Pembedahan, Persalinan,
Pecah pembuluh darah,perdarahan Kronik (menahun), Perdarahan
menstruasi yang sangat banyak, serta hemofilia.
2. Berkurangnya pembentukan sel darah merah  seperti:                        
Defesiensi zat besi,defesiensi vitamin B12, defesiensi asam folat,dan
Penyakit kronik.  
3. Gangguan produksi sel darah merah seperti:                                        
Ketidak sanggupan sumsum tulang belakang membentuk sel- sel darah.

C. Klasifikasi Anemia
1. Berdasarkan Morfologinya
a. Anemia Defisiensi Zat besi
Adalah Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya persediaan besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) sehngga pembentukan hemoglobin
berkurang.
b. Anemia Penyakit Kronik
Adalah anemia pada penyakit ini merupakan jenis anemia terbanyak
kedua setelah anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada orang
dewasa di Amerika Serikat.
2. Anemia Makrositik
a. Defisiensi vitamin B12
Adalah Anemia yang diakibatkan oleh karena kekurangan vitamin
B12 dikenal dengan nama anemia pernisiosa.
b. Defisiensi Asam folat
Adalah  bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA. Jumlah asam
folat dalam tubuh berkisar 6-10 mg, dengan kebutuhan perhari
50mg. Asam folat dapat diperoleh dari hati, ginjal, sayur hijau, ragi.
Asam folat sendiri diserap dalam duodenum dan yeyenum bagian
atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan didalam
hati. Tanpa adanya asupan folat, persediaan folat biasanya akan
habis kira-kira dalam waktu 4 bulan.

D. Tanda dan Akibat Anemia


1. Tanda – tanda dari penyakit anemia yakni:
a. Lesu, lemah , letih, lelah, lalai (5L).
b. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, dan
konjungtiva pucat.
c. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan
telapak tangan  menjadi pucat.
d. Nyeri tulang, pada kasus yang lebih parah, anemia menyebabkan
tachikardi, dan pingsan.
2. Akibat dari penyakit anemia pada remaja
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai
optimal.
c. Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.
d. Mengakibatkan muka pucat.

E. Kriteria Anemia
Batasan yang umum dipengaruhi adalah kriteria WHO pada tahun
1968.Dinyatakan sebagai anemia bila tedapat nilai dengan kriteria sebagai
berikut:
Klasifikasi Anemia menurut kelompok umur
Non Anemia (g/dl)
Populasi Anemia
Ringan Sedang Berat
(g/dl)
Anak 6-59 bulan 11 10.0-10.9 7.0-9.9 <7.0
Anak 5-11 tahun 11.5 11.0-11.4 8.0-10.9 <8.0
Anak 12-14 tahun 12 11.0-11.9 8.0-10.9 <8.0
Perempuan tidak
12 11.0-11.9 8.0-10.9 <8.0
hamil (≥ 15 tahun)
Ibu hamil 11 10.0-10.9 7.0-9.9 <7.0
Laki-laki ≥ 15 tahun 13 11.0-12.9 8.0-10.9 <8.0
F. Penanggulangan Anemia
Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara
lain:
1. Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi
yang cukup secara rutin pada usia remaja.
2. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan,
unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang mengandung
vitamin C (asam askorbat) untuk meningkatkan absorbsi besi dan
menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es, minuman ringan
yang mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
3. Suplementasi besi. Merupakan cara untuk menanggulangi ADB di
daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada
remaja dosis 1 mg/KgBB/hari.
4. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak
diberi bersama susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung
karbonat, multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium.
5. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih
merupakan pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi.

G. Pengobatan Anemia
Pengobatan anemia tergantung pada penyebabnya:
1. Anemia kekurangan zat besi. Bentuk anemia ini diobati dengan
suplemen zat besi, yang mungkin Anda harus minum selama beberapa
bulan atau lebih. Jika penyebab kekurangan zat besi kehilangan darah -
selain dari haid - sumber perdarahan harus diketahui dan dihentikan. Hal
ini mungkin melibatkan operasi.
2. Anemia kekurangan vitamin. Anemia pernisiosa diobati dengan suntikan
- yang seringkali suntikan seumur hidup - vitamin B-12. Anemia karena
kekurangan asam folat diobati dengan suplemen asam folat.
3. Anemia penyakit kronis. Tidak ada pengobatan khusus untuk anemia
jenis ini. Suplemen zat besi dan vitamin umumnya tidak membantu jenis
anemia ini . Namun, jika gejala menjadi parah, transfusi darah atau
suntikan eritropoietin sintetis, hormon yang biasanya dihasilkan oleh
ginjal, dapat membantu merangsang produksi sel darah merah dan
mengurangi kelelahan.
4. Aplastic anemia. Pengobatan untuk anemia ini dapat mencakup transfusi
darah untuk meningkatkan kadar sel darah merah. Anda mungkin
memerlukan transplantasi sumsum tulang jika sumsum tulang Anda
berpenyakit dan tidak dapat membuat sel-sel darah sehat. Anda mungkin
perlu obat penekan kekebalan tubuh untuk mengurangi sistem kekebalan
tubuh Anda dan memberikan kesempatan sumsum tulang
ditransplantasikan berespon untuk mulai berfungsi lagi.
5. Anemia terkait dengan penyakit sumsum tulang. Pengobatan berbagai
penyakit dapat berkisar dari obat yang sederhana hingga kemoterapi
untuk transplantasi sumsum tulang.
6. Anemias hemolitik. Mengelola anemia hemolitik termasuk menghindari
obat-obatan tertentu, mengobati infeksi terkait dan menggunakan obat-
obatan yang menekan sistem kekebalan Anda, yang dapat menyerang
sel-sel darah merah. Pengobatan singkat dengan steroid, obat penekan
kekebalan atau gamma globulin dapat membantu menekan sistem
kekebalan tubuh menyerang sel-sel darah merah.
7. Sickle cell anemia. Pengobatan untuk anemia ini dapat mencakup
pemberian oksigen, obat menghilangkan rasa sakit, baik oral dan cairan
infus untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah komplikasi. Dokter
juga biasanya menggunakan transfusi darah, suplemen asam folat dan
antibiotik. Sebuah obat kanker yang disebut hidroksiurea (Droxia,
Hydrea) juga digunakan untuk mengobati anemia sel sabit pada orang
dewasa.
F. Pencegahan Anemia....
ANEMIA pada
Mengkonsumsi makanan bergizi seimbang
REMAJA
Mengkonsumsi daging merah seperti
daging sapi
Suci Rahayu
07200200016
Mengkonsumsi sayur-sayuran
PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM
SARJANA TERAPAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INDONESIA MAJU

TERIMA
JAKARTA
2021

KASIH
C. Derajat
Pengertian E. Tanda dan Gejala...
Ringan sekali : Hb 11 g/dl- Batas
Kondisi dimana berkurangnya sel Cepat Lelah
Normal
darah merah (eritrosit) dalam Ringan : Hb 8 g/dl-9,9

sirkulasi darah atau massa hemoglobin g/dl Nyeri Kepala dan Pusing

Sedang : Hb 6 gr/dl-7,9
sehingga tidak mampu memenuhi
g/dl Kesulitan Bernafas
fungsinya sebagai pembawa oksigen
Berat : Hb < 6 g/dl.
keseluruh jaringan.

D. Penyebab
Kriteria
Kekurangan unsur penyusun sel
Kriteria anemia menurut WHO
darah merah
(1998) adalah:
Gangguan fungsi sumsum tulang
Laki-laki dewasa : Hemoglobin <13
Kandungan zat besi dari makanan
g/dl
yang dikonsumsi tidak mencukupi
Wanita dewasa tidak hamil :
kebutuhan.
Hemoglobin <12g/dl
Meningkatnya pengeluaran zat besi
Wanita hamil : Hemoglobin <11g/dl
dari tubuh, misalnya pendarahan
Anak umur 6-14 tahun :
yang hebat.
Hemoglobin <12g/dl

Anda mungkin juga menyukai