Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MANAJEMEN AGRIBISNIS PETERNAKAN

ANALISIS POLA KEMITRAAN


SAMPOERNA RETAIL COMMUNITY (SRC)

Disusun Oleh:

Dinda Febyan Prameswari (I2D222001)

PROGRAM MAGISTER (S2)


PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2022
PENDAHULUAN
Masyarakat perkotaan kini dimanjakan oleh kehadiran berbagai pusat
perbelanjaan. Bahkan lokasinya kadang-kadang di satu kawasan. Kondisi ini sangat
menguntungkan karena masyarakat tinggal memilih gerai mana yang akan
dimasukinya. Ritel merupakan mata rantai yang penting dalam proses distribusi
barang dan merupakan mata rantai terakhir dalam suatu proses distribusi. Melalui
ritel, suatu produk dapat bertemu langsung dengan penggunanya.

Industri ritel di sini didefinisikan sebagai industri yang menjual produk dan
jasa pelayanan yang telah diberi nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan
pribadi, keluarga, kelompok, atau pemakai akhir. Produk yang dijual kebanyakan
adalah pemenuhan dari kebutuhan rumah tangga termasuk sembilan bahan pokok.
Industri ritel di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) dan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang
besar.

Sebagai negara yang membangun, angka pertumbuhan industri ritel


Indonesia dipengaruhi oleh kekuatan daya beli masyarakat, pertambahan jumlah
penduduk, dan juga adanya kebutuhan masyarakat akan pemenuhan produk
konsumsi. Kehadiran industri ritel modern pada dasarnya memanfaatkan pola
belanja masyarakat terutama kelas menengah ke atas yang tidak mau berdesak-
desakan di dalam pasar tradisional yang biasanya becek atau tidak tertata rapi.
Walaupun kehadiran ritel modern ini disoroti dapat mematikan pasar tradisional
karena mempunyai keunggulan pada banyak faktor, perkembangannya sendiri
dapat dikatakan tidak terbendung. Jika diamati lebih lanjut maka persaingan bisnis
ritel atau eceran itu makin tidak sehat. Pemerintah cenderung mengobral ijin
terhadap pemain besar, bahkan hypermarket, meskipun sebenarnya pasarnya sudah
jenuh. Akibatnya di beberapa kota mulai ada gerai ritel besar yang tutup,
sedangkan di perumahan-perumahan dan kampung-kampung pedagang kelontong
terancam oleh waralaba mini market.

Dalam iklim usaha yang tidak sehat berlaku hukum rimba. Siapa yang
kuat dialah yang keluar sebagai pemenang. Mungkin Indonesia belum
separah itu, tetapi jika tidak segera dibenahi maka potensi berlaku hukum
rimba tinggal selangkahlagi. Pemerintah daerah selaku penguasa wilayah
semestinya tahu potensidaerahnya. Berapa daya beli masyarakatnya dan sudah
ada berapa ritel yang beroperasi. Selama ini ada kecenderungan pemerintah
daerah tidak pernah keberatan memberi ijin kepada investor yang hendak
membuka gerai ritel.

Dengan adanya dinamika di era industri 4.0 mendorong pemerintah fokus


dalam mendongkrak pembangunan ekonomi Indonesia melalui sektor UMKM,
termasuk meminta berbagai pihak untuk berkolaborasi dan berpartisipasi aktif.
Berbagai program dan langkah nyata telah dilakukan oleh para pemangku
kepentingan guna menjadikan UMKM naik kelas dari usaha mikro ke usaha
kecil kemudian meningkat menjadi usaha menengah lalu diharapkan dapat
menjadi perusahaan besar. Sebagai tulang punggung, UMKM memiliki peranan
penting dalam meningkatkan kemandirian ekonomi kerakyatan termasuk
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Untuk itu, perlu
kolaborasi antara seluruh komponen bangsa, termasuk pelaku usaha, pemerintah,
juga masyarakat luas.

PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) sebagai pelaku usaha turut mengambil


peran aktif dalam mendorong ekonomi kerakyatan yang inklusif sebagai bentuk
komitmen dukungan pemerataan kemajuan ekonomi di seluruh Indonesia.
Dilakukan melalui program Sampoerna Retail Community (SRC), Sampoerna
melakukan pengembangan dan peningkatan daya saing toko kelontong
tradisional sejak tahun 2008 dan kini SRC telah membina lebih dari 120.000
toko kelontong yang tersebar di seluruh Indonesia. Tidak hanya memberi
kontribusi bagi perputaran perekonomian, SRC juga telah menciptakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat.

Sampoerna Retail Community (SRC) sebenarnya bukanlah minimarket,


tetapi toko kelontong yang kepemilikannya sepenuhnya oleh pemilik toko, nama
dibelakang brand yang tercantum merupakan nama pemiliknya. Demikian juga
yang di seluruh toko yang tergabung dalam jaringan SRC bukanlah milik
Sampoerna, tetapi dimiliki oleh warga yang berbeda-beda atau perorangan. Peran
kemitraan yang diberikan oleh SRC adalah berupa bimbingan berupa bimbingan
pemasaran, pengelolaan keuangan, penampilan fisik toko supaya menarik, dan
masih banyak lagi. SRC tidak hanya mengembangkan bisnis toko saja, namun
mereka mendorong pemilik toko untuk bersifat produktif. Jadi selain toko, mereka
juga dianjurkan membuka bisnis sampingan lain yang letaknya berdekatan dengan
toko, misalnya mini SPBU, kedai Juice, dan atau kedai kopi. Dari latar belakang
tersebut, kemudiaan untuk memaparkan lebih jauh tentang pola kemitraan yang
dijalankan oleh SRC, maka penulis membuat paper “Analisis Pola Kemitraan
SRC”, dan juga untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Manajemen Agribisnis
Peternakan.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemitraan Secara Umum


1. Pengertian
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata mitra adalah teman,
kawan kerja, pasangan kerja, rekan.Sedangkan kemitraan artinya perihal
hubungan (jalinan kerjasama, dsb) sebagai mitra. Kemitraan pada
hakikatnya dikenal dengan istilah gotong-royong atau kerjasama dari
berbagaipihak, baik secara individual maupun kelompok. Secara umum
kemitraan usaha adalah kerja sama antara dua pihak dengan hak dan
kewajiban yang setara dan saling menguntungkan. Hubungan kemitraan
usaha pada umumnya dilakukan antara dua pihak yang memiliki posisi
sepadan dalam hal tawar menawar (balgaining position), namun
kemitraan juga bisa dilakukan kelompok kecil masyarakat yang dinilai
lebih kuat dan kelompok besar masyarakat yang dinilai lebih lemah
terutama dibidang ekonomi (Martodireso, 2002).
Berdasarkan Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008,
yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan
usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling
memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang
melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha
besar. Salah satu teori yang sangat relevan untuk membahas kemitraan
usaha adalah Agency Theory, yaitu teori yang menjelaskan hubungan-
hubungan hierarchies atau pertukaran hak kepemilikan (property right)
antar individu atau organisasi (Suradistra, 2010).
Agar ekonomi rakyat, terutama pedagang kecil, dapat tumbuh dengan
semestinya, tindakan perbaikan ekonomi pedagang haruslah bisa
dilakukan sebagai bagian yang integral dalam sistem berbisnis. Dengan
begini, keberhasilan bisnis ditandai oleh adanya kemitraan antara seluruh
pelaku perdagangan (stakeholders) dan adanya perbaikan ekonomi
pedagang kecil sendiri. Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan
kedudukan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta
adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk saling berbagi
biaya, risiko, dan manfaat.
Kemitraan antara perusahaan Sampoerna dan pedagang toko
kelontong kecil dinilai sebagai salah satu pendekatan yang paling
prospektif dapat mengangkat ekonomi pedagang toko kelontong yang
dimaksud. Diasumsikan bahwa dengan kemitraan tersebut pedagang
kecil bisa diskenariokan untuk mendapat bagian nilai tambah yang lebih
besar dari suatu usaha perdagangannya.
2. Tujuan Kemitraan
Secara umum tujuan kemitraan usaha, yaitu untuk meningkatkan
pendapatan, kesenimbangan usaha, kuantitas produksi, kualitas
produksi, meningkatkan kualitas kelompok mitra, peningkatan usaha
dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha
kelompok mitra mandiri, adapun prinsi-prinsip yaitu: Persamaan
(equality), keterbukaan (transparancy), dan saling menguntungkan
(mutual benefit). Sedangkan dasar dalam membangun sebuah kemitraan
antara lain:
a) Kesamaan Perhatian (common interest) atau kepentingan.
b) Saling mempercayai dan saling menghormati.
c) Tujuan yang jelas dan terukur.
d) Kesediaan untuk berkorban baik, waktu, tenaga, maupun sumber
daya yang lain.
3. Model-Model Kemitraan
Dapat dipahami apabila terdapat keraguan di antara sesama pihak
yang beranggapan bahwa program kemitraan adalah program belas
kasihan yang lebih merupakan kewajiban sosial daripada tujuan ekonomi,
yang cenderung mengarah ke efisiensi dan karenanya tidak akan dapat
tumbuh dan berkembang sebagaimana diharapkan . Secara empiris
memang dijumpai adanya program kemitraan yang gagal karena
pendekatan yang keliru. Namun, tidak sedikit juga program kemitraan
yang berhasil.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 27
Tentang Usaha Kecil, pola-pola kemitraan diklasifikasi ke dalam lima
jenis, yaitu:
1. Pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan
usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan
mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam
menyediakan lahan, penyedia sarana produksi, perolehan, penguasaan
dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi
serta produktifitas usaha. Kerjasama inti plasma diatur melalui suatu
perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Pihak yang terlibat dalam
kerjasama ini antara lain pengusaha besar (pemraksa), pengusaha kecil
(mitra usaha), dan pemerintah.
2. Pola sub-kontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau usaha besar, yang didalamnya usaha
kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah
atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya.
3. Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau usaha besar, yang didalamnya usaha
menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil
atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha
menengah atau usaha besar mitranya.
4. Pola keagenan adalah hubungan kemitraan yang didalamnya usaha
kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha
menengah atau usaha besar mitranya. Dalam hal ini usaha menengah
atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya
kepada usaha kecil yang mampu melaksakannya.
5. Pola waralaba adalah hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi
waralaba memberi hak pengguna lisensi, merek dagang, dan saluran
distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai
bantuan bimbingan manajemen
6. Pola kemitraan contract farming. Kontrak dapat didefinisikan sebagai
perjanjian tertulis antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan hukum tertentu yang di dalamnya
mengatur tugas, hak dan kewajiban pihak-pihak yang bersangkutan
atau suatu persetujuan dimana tindakan diperlukan dengan konsiderasi
yang sah. Persetujuan harus diadakan antara dua pihak yang
berkepentingan (Wati, 2004).
7. Pseudo Partnership (kemitraan semu ) adalah sebuah persekutuan
yang terjadi antara dua pihak atau lebih, dilakukan kerja sama dengan
seimbang antara satu dengan yang lain.Kemitraan ini merupakan
bentuk kemitraan yang terjadi, tetapi ada ketidakseimbangan antara
satu pihak dengan pihak lainnya. Hal ini dikarenakan salah satu pihak
belum mengetahui secara pasti tujuan yang ingin dicapai dan makna
di balik persekutuan tersebut.
8. Mutualism partnership (kemitraan mutualistik) adalah persekutuan
dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya
melakukan kemitraan yaitu usaha saling memberi manfaat dan
memberi manfaat lebih, sehingga akan mencapai tujuan secara lebih
optimal. Kemitraan ini lebih mengadopsi simbiosis mutualisme yang
disebabkan karena saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
9. Conjugation partnership (kemitraan melalui peleburan dan
pengembangan) adalah kemitraan yang dianalogikan dari kehidupan
paramecium. Dua paramecium melakukan konjugasi untuk
mendapatkan pembelahan diri. Dua pihak atau lebih dapat melakukan
konjungsi dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing.
Kemitraan ini merupakan bentuk kemitraan dengan model konjugasi,
dimana masing-masing pihak pada awalnya memiliki kekurangan
dalam mencapai usaha dan tujuan. Di samping itu, dampak lain dari
kemitraan model konjugasi terdapat peningkatan kapasitas (Wati,
2004).
B. Gambaran Umum SRC
Sampoerna Retail Community (SRC) adalah sebuah program
pembinaan terhadap toko atau outlet retail yang dinilai potensial dan terpilih
sebagai partner bagi Sampoerna, lalu digabungkan dalam suatu komunitas
yang bertujuan untuk membina toko kelontong yang potensial serta
melakukan aktivitas promosi dan distribusi PT. HM Sampoerna secara lebih
agresif dan eksklusif. SRC menjaring pelaku usaha ritel yang dianggap
potensial untuk digandeng sebagai mitra, sehingga lebih berdaya saing dan
mendorong melakukan inovasi untuk pengembangan usaha.
Para mitra binaan mendapatkan bimbingan manajemen pengelolaan
toko seperti layanan, display, administrasi., untuk memudahkan pembeli
untuk belanja serta arahan strategi pengembangan dan perbaikan pelayanan
demi meningkatkan omset toko. Untuk meningkatkan performa toko binaan
Sampoerna juga memberikan program untuk para anggota SRC. Mekanisme
program SRC sendiri meliputi:
a. Fundamental
1) Product visibility program
2) Stock management
3) Retailer
4) Tataruang
5) kebersihan
b. Store Enhancement Program
1) Repainting
2) Meja kasir
3) Rak toko
4) Lantai kramik
5) Plafon
c. Business Expansion
1) Food stall
2) Loyalty
d. Business Grow
1) Store revenue
2) Retail advocacy program

Masing-masing program ada penilaian masing-masing dari penilaian


minggunan, bulanan, maupun penilaian tahunan. Dari hasil penilaian toko,
anggota SRC berhak mendapatkan Business Suport dari PT. HM
SAMPOERNA yang nilainya tentu saja berubah tiap tahunnya. Contoh
Business Suport :
 Re-Painting
Toko SRC yang melakukan re-painting sebelum desember 2016 berhak
mendapatkan Business Suport sebesar Rp.1000.000,-
 Akselerasi Performance
Semua toko/outlet SRC yang mengikuti progam dibulan januari 2017 akan
mendapatkan Business Suport sebesar Rp.500.000,-

C. Syarat mengikuti program SRC


Dalam mengikuti program kemitraan SRC (Sampoerna Retail
Community) ada beberapa persyaratan yang harus di jalankan oleh calon
mitra, diantaranya:
1. Mempunyai toko/outlet sendiri.
2. Mempunyai keinginan untuk maju atau mengembangkan toko/outlet
dan bisnisnya.
3. Mengajukan diri untuk menjadi anggota SRC ke pihak HM Sampoerna.
4. Apabila pengajuan sudah disetujui, maka segera kerjakan 4P atau dalam
bisnis lebih dikenal dengan parameter: penampilan, perlengkapan,
pengelolaan, dan pengembangan bisnis. Penjelasan 4 parameter yakni:
a. Penampilan
• Pengecetan (luar dan dalam)
• Tata Ruang (gudang, tidak ada rencengan, label harga, penerangan)
• Kebersihan
b. Perlengkapan, seperti rak, meja kasir, keramik, plafon, mesin kasir.
c. Pengelolaan
• Stok checking
• Rekap pemasukan dan pengeluaran
d. Pengembangan bisnis, yaitu usaha tambahan diluar produk
distributor.

Untuk mengerjakan 4 parameter bisa dikerjakan secara bertahap,


misalnya bulan pertama cukup mengerjakan pengecetan, bulan
berikutnya bisa mengerjakan penataan barang dan seterusnya.
PEMBAHASAN

Saat ini gaya hidup konsumen di kota Mataram mengalami perubahan, seperti
kebutuhan, keinginan dan selera konsumen yang selalu berubah-ubah dalam
mengkonsumsi barang dan jasa yang mereka beli, termasuk juga perilaku-perilaku
konsumen dalam berbelanja yang lebih menyukai berbelanja di ritel modern yang
menunjukkan bahwa perilaku konsumen dalam berbelanja mengalami perubahan.
Konsumen dalam berbelanja akan memilih berdasarkan penilaian yang mereka
lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan dan selera mereka seperti
penilaian terhadap lokasi berbelanja, kelengkapan produk yang dijual, hargaproduk
yang baik, promosi yang dilakukan, suasana toko dan pelayanan terhadap
pelanggan. Tempat berbelanja yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
merekalah yang dipilih sebagai tempat berbelanja. Apabila konsumen memiliki
penilaian yang baik, maka kemungkinan besar mereka akan menjadi konsumen
yang loyal terhadap tempat berbelanja tersebut.

Permasalah ini membuat Sampoerna mendirikan Sampoerna Ritel


Community (SRC), komunitas ini menaungi kemitraan strategis antara Sampoerna
dan pemilik ritel tradisional agar tetap bisa mengembangkan usaha dan
meningkatkan jumlah konsumennya. Pemilik ritel tradisional yang bergabung
dalam komunitas ini akan mendapatkan bimbingan. Tujuan dari bimbingan ini agar
mereka bisa mengikuti perkembangan dan dinamika pasar sehingga para pemilik
ritel tradisional siap untuk bersaing di pasar ritel Indonesia. Untuk bimbingan ini
tak hanya Sampoerna yang akan memberikan ilmu pemasaran untuk pemilik ritel
tradisional, partner strategis Sampoerna dan ahli pemasaran ternama juga akan
membagikan ilmu pemasaran kepada para pemilik ritel tradisional tersebut.
Harapan kedepannya ritel tradisional diharap bisa semakin tumbuh kesadaran dan
semangat untuk terus berbenah tentunya maju bersama sebagai jaringan akan terasa
lebih nyaman dari pada maju seorang diri.

Bergabungnya puluhan ribu ritel maka para mitra SRC bisa saling berbagi
dan membantu secara lokal di paguyuban masing-masing area untuk terus memacu
perkembangan usahanya. Program kemitraan SRC yang sudah diluncurkan sejak
tahun 2008 ini diharapkan bisa terus dikembangkan oleh Sampoerna. Banyaknya
mitra SRC yang telah berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial diharapkan bisa
terus menyalurkan hal positif dengan aktivitas sosial lainnya, baik untuk lingkungan
maupun masyarakat sekitar.

SRC untuk meningkatkan daya saing dalam era industri 4.0 saat ini
meluncurkan tiga inovasi berupa identitas baru, “Ayo SRC, Pojok Bayar dan Pojok
Lokal”. Ketiga inovasi ini merupakan upaya untuk membuka peluang kerja sama
dan akses pasar tanpa batas bagi para pelaku saling berbagi ilmu bisnis dan
mendapatkan informasi mengenai pembinaan dan pengelolaan ritel tradisional
menjadi ritel modern. Peluncuran aplikasi ini turut mendukung proses infrastruktur
berbasis digital pada perkembangan bisnis dan penciptaan peluang. Untuk
mempromosikan Pojok Lokal yang merupakan salah satu bentuk nyata dukungan
untuk mengajak masyarakat berbelanja di toko kelontong yang lebih dekat dengan
rumah, sebagai upaya mendorong ekonomi kerakyatan di daerah melalui slogan
“Berbelanja Dekat Rumah”. Dari upaya dan program yang diluncurkan ini pada
tahun 2019, keberadaan SRC mampu memberikan iklim persaingan yang sehat
antara ritel tradisioal dengan ritel modern untuk membawa perubahan dalam
mengembangkan usaha ritel tradisional dengan ritel modern untuk membawa
perubahan dalam mengembangkan usaha ritel tradisional yang bermanfaat bagi
komunitas, meningkatkan daya saing usaha serta mampu menggerakkan ekonomi
daerah.

Terdapat tiga pihak yang terlibat langsung dalam kemitraan usaha SRC ini,
yaitu pemilik toko retail SRC, mitra SRC selaku penyedia atau distributor barang,
dan pihak PT SRC Indonesia Sembilan. Pola kemitraan usaha ini dikategorikan
secara ideal ke dalam pola Kemitraan Inti Plasma, yaitu PT SRC Indonesia
Sembilan sebagai Inti dalam kemitraan ini, dan kedua lainnya sebagai plasma. Pola
Kemitraan SRC, berbentuk supply chain dari produsen pertamanya yaitu
sampoerna bemitra dengan wholeseller (penyedia grosiran) dalam pengisian
produkproduk yang dijual di toko klontongan, yang dimana retailer tersebut bias
mendapatkan harga produk yang lebih terjangkau, dengan syarat toko tersebut harus
yang menjadi member dan akan mendapatkan manfaat dan keuntungan dari
bergabungnya ke SRC dari pembinaan maupun bantuan dari program SRC ini.
Program SRC ini bisa digunakan sebagai perubahan cara promosi produk
rokok yang sebelumnya dilakukan di media telivisi karena pada saat sekarang
tentunya iklan promosi produk rokok yang menampilkan rokok secara langsung
sudah dilarang oleh pemerintah, dalam kata lain program ini bisa dipakai sebagai
branding oleh pihak sampoerna sebagai komunikasi promosi produknya kepada
konsumen, dan keuntungan dalam promosi ini juga membantu perekonomian
UKM-UKM untuk lebih bergairah memajukan ekonomi kerakyaktan. Salah satu
strategi yang sangat tepat, karena siapapun yang tergabung dalam SRC, tokonya
akan mengambarkan bahwa itu branding dari pihak rokok sampoerna itu sendiri,
dapat dilihat dari design retail yang warna dominan putih dan sedikit merah, dan itu
adalah ciri khas dari identitas sampoerna itu sendiri, dan ini juga termasuk
competitive advantage (keunggulan bersaing) dari sampoerna yang bisa
mengunggulin pesaing terdekatnya ialah gudang garam dan djarum yang belum
memakai strategi ini.

Pada pelaksanaan pola kemitraan antara inti dan plasma ini perlu lebih
dicermati pola hubungan kelembagaan antar mitra, sebab secara umum memang
harus disadari bahwa pola kemitraan ini mempertemukan dua kepentingan yang
sama tetapi dilatarbelakangi oleh kemampuan manajemen, kekurangpahaman
dalam pengetahuan hukum serta permodalan yang berbeda sehingga plasma sangat
rentan untuk menjadi korban dari perusahaan inti yang jelas-jelas mempunyai latar
belakang lebih kuat, baik dari segi permodalan dan manajemen.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan yang dapat


membantu peternak plasma, tetapi pada kenyataannya pola kemitraan yang terjadi
seringkali merupakan perjanjian standar atau baku, dimana peternak plasma tidak
mempunyai kebebasan untuk merundingkan isi dari perjanjian tersebut. Peternak
plasma hanya menerima formulir perjanjian yang disodorkan oleh perusahaan inti
untuk disetujui, tanpa punya kesempatan untuk melakukan negoisasi atas syarat-
syarat yang diajukan oleh perusahaan inti.

Hal ini menunjukan bahwa perjanjian yang terjadi antara perusahaan inti dan
usaha plasma, tidak berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak diantara kedua
pihak yang mempunyai kedudukan seimbang. Dalam hal ini kedudukan usaha
plasma sangat lemah karena tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan
negoisasi terhadap isi perjanjian, mereka hanya mempunyai pilihan menerima atau
menolak (take it or leave it) isi perjanjian yang disodorkan oleh perusahaan inti.
Apabila retail SRC menerima perjanjian tersebut, maka harus siap dengan segala
konskuensi yang ada dan timbul sebagai akibat dari perjanjian tersebut, tetapi
apabila pemilik retail SRC menolak maka mereka akan kehilangan kesempatan
untuk mengembangkan usaha yang dimilikinya. Pilihan yang sulit ini
mengharuskan pemilik retail SRC untuk bijaksana dalam mengambil keptusan.

Perusahaan inti yang biasanya mempunyai latar belakang lebih kuat dalam
berbagai hal dibandingkan plasma harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap
pelaksanaan kemitraan itu sendiri, karena tidak tertutup kemungkinan terjadinya
pembelokan arah program kemitraan tersebut demi keuntungan perusahaan inti
semata. Bukannya tidak mungkin terjadi dalam praktek, bahwa tujuan semula dari
program kemitraan adalah untuk membangun hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara inti yang menjadi induk, dengan plasma yang menjadi mitra
usahanya, dalam kenyataannya justru plasma sering menjadi sasaran pemerasan
oleh perusahaan induknya.

Surat perjanjian yang telah dibuat dan disiapkan oleh perusahaan inti tersebut
merupakan bentuk dari perjanjian standar, dimana pihak plasma yang mempunyai
kedudukan lebih lemah, tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar
menawar terhadap isi perjanjian. Pihak plasma hanya bisa menerima semua isi
perjanjian yang disodorkan oleh perusahaan inti.

Sedikit dari kutipan wawancara dengan salah satu pemilik toko/outlet yang
bernama Ibu Ayu. Ibu Ayu mendapat tawaran dari pihak Sampoerna yakni sebuah
program yang bernama SRC (Sampoerna Retail Community). Ibu Ayu megikuti
program SRC ini dari tahun 2019 dan sudah berjalan hampir 3 tahun. Dengan
mengikuti program SRC(Sampoerna Retail Community) ini, Ibu Ayu mendapatkan
uang dari pihak sampoerna sebesar 100.000 perbulannya. Tetapi sebelum
mendapatkan uang 100.000 perbulan, beliau sudah mendapatkan uang sebesar
500.000 di awal perjanjian untuk kebutuhan renovsasi dan sebagainya sesuai
dengan arahan dari sampoerna. Dari wawancara tersebut bahwasannya program
SRC (Sampoerna Retail Community) tersebut memberikan pemasukan yang
menguntungkan. Tidak seperti program rokok lainnya yang memberikan uang sewa
hanya dalam satu tahun sekali atau 6 bulan sekali. Disamping menguntungkan juga
dapat penghasilan tambahan.

Dengan adanya program SRC (Sampoerna Retail Community) tersebut


banyak took atau outlet yang terbantu dalam hal penghasilan yang bisa dikatakan
tidak menentu dalam hal berdagang, yang kadang penghasilan atau omset mendapat
banyak dan kadang mendapat sedikit karena dalam hal berbisnis yang merupakan
pesaing itu banyak dan bermacam-macam. Apalagi dalam berbisnis atau membuka
usaha berjualan yang semakin banyak dan menjamur pesaing usaha yang membuka
dengan nama minimarket yang semakin terkenal dan menguasai pasar. Yang tak
dapat dipungkiri juga, banyak masyarakat yang beralih atau memilih membeli di
minimarket dari pada di toko/outlet kelontong. Padahal dalam hal harga selisih yang
tertera tidak terlalu signifikan, yang masih bisa dikatakan lebih murah di toko/outlet
kelontong dari pada di minimarket yang harganya cenderung lebih mahal. Akan
tetapi dengan penatan dan desain tempat yang menarik dapat menarik minat
pembeli agar dapat membeli di tempatnya yakni minimarket tersebut.

Dalam perjanjian sewa kontrak ini, pihak yang disewa yakni toko/outlet
diharuskan menjalankan 4 parameter yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya
untuk tahap awal dan jika ingin mendapatkan business suport. Akan tetapi yang
terjadi dilapangan, bahwasannya pihak Sampoerna memberikan penawaran secara
langsung jika mengikuti pogram SRC (Sampoerna Retail Community), akan
mendapatkan uang untuk pengecatan sejumlah Rp.500.000,-. Program ini
ditawarkan kepada toko dengan kesepakatan kontrak yang tidak ada masa
waktunya, yang artinya tidak ada batas waktu dalam perjanjian kontrak sewa tempat
tersebut. Dan dalam penyataan yang di sampaikan oleh pihak sampoerna,
bahwasannya jika mengikuti program tersebut akan mendpatkan kompensasi
sebesar Rp.100.000,-/bulan.

Tidak dapat dipungkiri jika apa yang di sampaikan oleh pihak sampoerna
dapat menarik minat pemilik toko/outlet untuk mengikuti program SRC
(Sampoerna Retail Community) jika apa yang dikatakan oleh pihak sampoerna
pendapatan bertambah dan meningkatnya omset. Akan tetapi program tersebut
yang dinyatakan sebagai program pembinaan nyatanya banyak dimanfaatkan
sebagai promosi oleh PT. HM SAMPOERNA Tbk. untuk mempromosikan produk-
produknya lebih mudah terjual.

Dalam kesepakatan yang dibuat oleh pihak sampoerna bahwa sampoerna


akan memberikan sejumlah uang sebesar Rp.100.000,- per bulan. Akan tetapi yang
terjadi dilapangan hanya berjalan selama 3 bulan saja. Yang artinya bahwa pihak
sampoerna hanya memberikan uang Rp.100.000,- hanya 3 kali saja. Dan bulan
selanjutnya tidak diberikan lagi dengan dalih masih dalam proses pencairan dari
kantor pusat. Maka kerugian yang dialami oleh pihak pemilik toko ada pada
kecacatan dalam pelaksanaan kontrak yakni mengenai tidak diberikannya upah
yang telah dijanjikan diawal kontrak. Dan pada bab sebelumnya, sudah dijelaskan
bahwa dalam penandatangan kontrak, pihak pemilik toko tidak diberiknnya
fotocopy lembara perjanjian. Maka pihak toko tidak mempunyai pegangan yang
kuat untuk menagih janji yang telah disepakati diawal kontrak.
DAFTAR PUSTAKA

Martodireso, S. 2002. Suryanto, W. A. Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama.


Yogyakarta; Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.


1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka.

www.src.id

Suradistra, K. 2010. Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi


Kesejahteraan Petani. Bogor: Jurnal Pusat Ekonomi Pertanian, Vol. 7. No.
2, hlm. 221

Wati, A. T. S. 2004. Kemitraan Dan Model Model Pemberdayaan. Yogyakarta;


Gaya Media

Anda mungkin juga menyukai