Anda di halaman 1dari 2

Oleh Berry Juliandi

PERISTIWA pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir terbukti meningkatkan tingkat
emosi masyarakat seiring dengan polarisasi yang semakin tajam antara kubu Joko “Jokowi”
Widodo dan lawannya, Prabowo Subianto. Tahun ini dengan semakin meluasnya penggunaan
telepon seluler dan media sosial, masyarakat terpapar beragam informasi, palsu maupun
valid, yang memicu perasaan cemas, amarah, takut. Hal ini mendorong individu-individu
untuk bereaksi dalam beragam cara, dari berceloteh di media sosial hingga terlibat dalam
kerusuhan dan menyulut bom molotov. Hal ini terjadi pada aksi kerusuhan di beberapa titik
di Jakarta yang diduga disulut oleh penyebaran informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan di media sosial. The Conversation Indonesia melakukan tanya jawab
dengan Berry Juliandi, peneliti neurosains dari Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui
mengapa aksi kerusuhan ini bisa terjadi dari aspek bagaimana otak manusia bekerja ketika
menerima (dis)informasi. Dengan memahami cara kerja otak, kita akan lebih menyadari jika
tindakan kita didorong oleh emosi yang tidak teregulasi dengan baik. Apa yang terjadi
dengan otak manusia ketika menerima informasi, baik yang benar atau palsu? Ketika manusia
menerima stimuli informasi otak kita memiliki dua cara untuk memproses informasi tersebut.
Cara pertama, terjadi secara cepat dan didorong oleh naluri bertahan hidup, diatur oleh bagian
otak yang disebut otak “kuno”. Sementara cara kedua, terjadi secara lebih lambat dan
menggunakan logika, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “baru”. Otak “kuno”
mengatur fungsi hewani seperti nafas, nafsu makan, dan rasa takut. Otak kuno ini dimiliki
oleh semua hewan bertulang belakang. Bagian dari otak kuno yang mengatur bermacam-
macam nafsu (seperti nafsu berahi, amarah, dan makan) disebut hipotalamus. Sementara
bagian dari otak kuno yang mengatur rasa takut disebut amigdala. Otak “baru” atau neocortex
membentuk otak besar atau cerebrum yang mengatur rasionalitas, kognisi, penglihatan–hal-
hal yang membantu manusia mengambil keputusan yang didasari logika. Otak baru
berkembang pesat di hewan mamalia golongan primata, yaitu monyet, kera dan manusia.
Ketika manusia menerima pesan dari lingkungan melalui indera mata, telinga, kulit,
penciuman, mulut, otak menganalisis pesan tersebut.

Sebelum pesan tersebut sampai ke otak besar, pesan tersebut melewati pengolahan di otak
kuno terlebih dahulu. Amigdala akan bertugas menilai apakah pesan ini mengandung sesuatu
yang berbahaya. Jika amigdala menganggap pesan tidak berbahaya, pesan ini akan
dilanjutkan ke otak besar untuk diolah dengan mempertimbangkan bermacam-macam hal.
Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan
diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.

Otak manusia. Shutterstock (gambar)

Bagaimana proses di otak kemudian menyulut tindak kekerasan?


Amigdala yang mengatur rasa takut dan hipotalamus yang mengatur nafsu merupakan bagian
integral dari kemampuan leluhur manusia bertahan hidup. Contohnya, ketika melihat predator
yang berbahaya, amigdala akan merangsang rasa takut yang akan mengaktifkan hipotalamus.
Hipotalamus berfungsi untuk mengatur kelenjar-kelenjar hormon seperti hipofisis yang
merangsang kelenjar adrenal menghasilkan adrenalin, hormon yang mendorong pengaturan
energi. Adrenalin membuat jantung berdetak lebih kencang sehingga persediaan oksigen
dalam darah meningkat dan dapat mengubah cadangan glukosa dalam tubuh manusia menjadi
energi lebih cepat. Reaksi yang timbul bisa dua: lari atau bertarung menghadapi ancaman.
Keduanya membutuhkan energi. Otak kuno manusia masih mengatur cara manusia modern
bereaksi terhadap rangsangan yang kita terima, meskipun rangsangan bukan melihat singa
berdiri di depannya, tetapi misalnya membaca pesan yang mengancam keyakinannya.
Membaca berita, baik palsu maupun benar, tetap dapat menghasilkan reaksi lari atau
bertarung. Pesan-pesan hoaks yang disisipi simbol keagamaan, misalnya takbir untuk
komunitas muslim atau kalimat “Terpujilah Yesus” dapat mengancam keyakinan penerima
pesan jika tidak diikuti. Otak kuno kita yang ingin mempertahankan keyakinan yang kita
pegang akan sampai pada kesimpulan, jika kita tidak mempercayai pesan ini berarti kita tidak
beragama. Keputusan otak kita untuk bereaksi lari atau bertarung diambil dalam waktu yang
sangat cepat mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya, probabilitas keberhasilan, serta
risiko. Karena itulah berada dalam kerumunan biasanya meningkatkan rasa percaya diri untuk
bertarung karena meningkatkan probabilitas keberhasilan dan mengurangi resiko keamanan
ketimbang melawan sendirian.

Bagaimana cara mencegahnya?


Banyak pihak yang mencoba memanfaatkan proses bertindak yang didorong oleh otak kuno
kita. Pengiklan biasanya mengirimkan pesan-pesan yang membuat seseorang tidak percaya
diri sehingga mendorong mereka membeli produk. Untuk kepentingan politik, berbagai pihak
kerap menyebar pesan yang menyulut emosi. Kita bisa mengendalikan itu jika kita
mengetahui cara otak kita bekerja, dan bahwa kemungkinan besar rasa takut dan nafsu
amarah kita didorong oleh proses informasi secara cepat tanpa logika oleh otak kuno kita.
Seringkali penyebar hoaks menyisipi pesannya dengan berbagai aksesori yang menyentuh
keyakinan penerima pesan. Misalnya dalam pesan tersebut banyak sisipan pesan agama atau
embel-embel predikat gelar dari penulis atau narasumber. Kita perlu tidak terburu-buru
terpengaruh oleh aksesoris simbol agama atau gelar dalam suatu pesan. Semakin banyak
aksesoris tersebut kita harus waspada untuk mengaktifkan otak besar kita dan tidak
dikendalikan oleh otak kuno kita.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak
Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019",
https://sains.kompas.com/read/2019/05/23/160500023/neurosains-jelaskan-cara-kerja-otak-
sulut-kerusuhan-22-mei-2019?page=3.

Editor : Shierine Wangsa Wibawa

Anda mungkin juga menyukai