Neurosains Jelaskan Bagaimana Cara Kerja Otak Yang Memicu Kerusuhan 21 Mei Oleh Berry Juliandi
Neurosains Jelaskan Bagaimana Cara Kerja Otak Yang Memicu Kerusuhan 21 Mei Oleh Berry Juliandi
PERISTIWA pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir terbukti meningkatkan tingkat
emosi masyarakat seiring dengan polarisasi yang semakin tajam antara kubu Joko “Jokowi”
Widodo dan lawannya, Prabowo Subianto. Tahun ini dengan semakin meluasnya penggunaan
telepon seluler dan media sosial, masyarakat terpapar beragam informasi, palsu maupun
valid, yang memicu perasaan cemas, amarah, takut. Hal ini mendorong individu-individu
untuk bereaksi dalam beragam cara, dari berceloteh di media sosial hingga terlibat dalam
kerusuhan dan menyulut bom molotov. Hal ini terjadi pada aksi kerusuhan di beberapa titik
di Jakarta yang diduga disulut oleh penyebaran informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan di media sosial. The Conversation Indonesia melakukan tanya jawab
dengan Berry Juliandi, peneliti neurosains dari Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui
mengapa aksi kerusuhan ini bisa terjadi dari aspek bagaimana otak manusia bekerja ketika
menerima (dis)informasi. Dengan memahami cara kerja otak, kita akan lebih menyadari jika
tindakan kita didorong oleh emosi yang tidak teregulasi dengan baik. Apa yang terjadi
dengan otak manusia ketika menerima informasi, baik yang benar atau palsu? Ketika manusia
menerima stimuli informasi otak kita memiliki dua cara untuk memproses informasi tersebut.
Cara pertama, terjadi secara cepat dan didorong oleh naluri bertahan hidup, diatur oleh bagian
otak yang disebut otak “kuno”. Sementara cara kedua, terjadi secara lebih lambat dan
menggunakan logika, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “baru”. Otak “kuno”
mengatur fungsi hewani seperti nafas, nafsu makan, dan rasa takut. Otak kuno ini dimiliki
oleh semua hewan bertulang belakang. Bagian dari otak kuno yang mengatur bermacam-
macam nafsu (seperti nafsu berahi, amarah, dan makan) disebut hipotalamus. Sementara
bagian dari otak kuno yang mengatur rasa takut disebut amigdala. Otak “baru” atau neocortex
membentuk otak besar atau cerebrum yang mengatur rasionalitas, kognisi, penglihatan–hal-
hal yang membantu manusia mengambil keputusan yang didasari logika. Otak baru
berkembang pesat di hewan mamalia golongan primata, yaitu monyet, kera dan manusia.
Ketika manusia menerima pesan dari lingkungan melalui indera mata, telinga, kulit,
penciuman, mulut, otak menganalisis pesan tersebut.
Sebelum pesan tersebut sampai ke otak besar, pesan tersebut melewati pengolahan di otak
kuno terlebih dahulu. Amigdala akan bertugas menilai apakah pesan ini mengandung sesuatu
yang berbahaya. Jika amigdala menganggap pesan tidak berbahaya, pesan ini akan
dilanjutkan ke otak besar untuk diolah dengan mempertimbangkan bermacam-macam hal.
Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan
diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak
Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019",
https://sains.kompas.com/read/2019/05/23/160500023/neurosains-jelaskan-cara-kerja-otak-
sulut-kerusuhan-22-mei-2019?page=3.