Anda di halaman 1dari 29

Brain Management

for Self
Improvement
Fiqram Iqra Pradana Februari 24, 2019

Buku yang saya resensi kali ini adalah


hadiah langsung dari penulisnya yaitu
seorang ilmuwan otak Indonesia yaitu Dr.
dr. Taufiq Pasiak, M.Kes, MPd.I yang
memiliki minat khusus pada penelitian:
Neuroscience and Sprituality (Positive
Neuropsychology), Self Control and Brain,
‘Food Psychology’ and Obesity. Buku ini
khusus membahas bagaimana melakukan
perubahan diri berbasis ilmu otak. 

Buku ini sangat kaya dari sisi referensi


maupun dari sisi substansi jadi menurut
saya, sangat sayang jika hanya dibaca
melalui resensi yang saya tulis ini. Adapun
yang akan saya resensi hanyalah
gambaran umum dari buku ini yang sifatnya
subyektif. Buku ini terdiri dari 252 halaman
dan 6 Bab. Berturut-turut sebagai berikut:
Sifat-sifat Otak Temuan Neurosains; Otak
dan Spiritualitas; Otak dan Berpikir; Otak
dan Emosi; Otak, Musik, dan Gerak.
Pendahuluan

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah


keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri”
(Q.S Al-Ra’d: 11).  Hanya dengan
memperbaiki diri dahulu maka perbaikan
yang lebih luas akan dapat dilakukan.
Perubahan diri merupakan hasil sebuah
proses integratif yang melibatkan banyak
ilmu dan pendekatan. Jika ingin mengubah
diri, maka mustahil hanya menggunakan
satu jenis ilmu, satu pendekatan, satu jenis
strategi, dan satu jenis cara. Kesan ini
sekaligus memberikan pencerahan bahwa
menguasai satu jenis ilmu sangatlah tidak
cukup untuk menangani banyak masalah
manusia dan kemanusiaan.

Sejak Thomas Khun memperkenalkan


istilah “Revolusi Paradigma”, telah terjadi
banyak sekali perubahan paradigma yang
mengubah banyak cara pandang manusia
terhadap alam dan manusia, sekalipun
penerapan paradigma baru itu belum terjadi
sepenuhnya.[1] Fisika baru dicirikan oleh
tiga prinsip berikut yang memungkinkannya
melihat pelbagai fenomena secara utuh[2]:

1. Interdependensi; bahwa semua yang ada


di alam semesta ini saling bergantung dan
saling terhubung. Bagian terbesar dari
setiap material (yang kecil umumnya
dikenal sebagai atom) sesungguhnya
adalah “ruang kosong” yang sisinya adalah
sejumlah unit energi atau gelombang, yang
disebut kuantum. Pendekatan kuantum
memungkinkan semua hal saling
terhubung.
2. Diferensiasi; bahwa terdapat dorongan
kontinu dari setiap komponen alam
semesta untuk menghasilkan
keanekaragaman. Alam semesta tidak
pernah membuat hal yang sama. Sebagai
contoh, sekalipun manusia adalah hasil dari
proses kehamilan yang sama selama jutaan
tahun, tetapi kita tidak pernah menjadi
makhluk yang sama. Konsekuensi logis dari
prinsip kedua ini adalah kelapangan untuk
menerima perbedaan dalam semua segi
kehidupan.
3. Pengaturan diri; bahwa setiap benda
hidup di alam semesta memiliki suatu
potensi bawaan untuk mempertahankan diri
dan melanggengkan dirinya. Prinsip ketiga
ini membawa kita pada pengertian tentang
pentingnya menata diri. Artinya, rancanglah
dengan baik usaha Anda untuk mengubah
diri. Perubahan diri harus by design,
bukan by accident.

Perubahan paradigma tentang organisme


manusia yang utuh dikukuhkan dengan
banyak penemuan dalam neurosains yang
menyibak kedahsyatan otak manusia. Otak
manusia terbukti merupakan bagian tubuh
yang tidak saja dicirikan oleh komponen-
komponen struktural (seperti dipelajari ahli
anatomi selama ini dan diaplikasikan
secara klinis oleh para ahli saraf dan ahli
bedah saraf). 

Otak manusia merupakan bagian tubuh


yang kedahsyatannya terjadi karena
interdependensi (kesalingbergantungan)
seluruh komponen-komponennya.
Kedahsyatan otak terjadi karena adanya
sirkuit-sirkuit canggih yang terbentuk ketika
semua komponen otak bekerja secara
harmonis. Keberadaan otak sebagai sirkuit
juga dapat menjelaskan kejadian bawah
sadar yang oleh Malcolm Gladwell disebut
Blink[3]. 
Blink adalah kesimpulan seseorang yang
lahir dalam dua detik pertama. Blink dapat
terjadi karena otak kita memiliki alam
bawah sadar yang oleh Gladwell
disebut adaptive unconscious.Snap
judgement (kesimpulan cepat) dan thin
clicing (cuplikan tipis) yang membangun
blink itu terutama dimainkan oleh sirkuit
yang berpusat di cortex prefrontalis,
terutama bagian yang bermana cortex
ventromedialis.

Lima asumsi utama yang


membangun Whole Brain Thinking (WBT)
ini adalah: (1) Perubahan paling substansial
adalah perubahan pada diri sendiri, (2)
Manusia dibangun oleh empat komponen
utama (tubuh, akal, nafsu, dan ruh) yang
saya sebut sebagai kapasitas mental, (3)
Otak manusia bekerja sebagai sebuah
sirkuit canggih untuk mendukung
bekerjanya kapasitas mental, (4)
Perubahan yang harus lebih dulu dilakukan
adalah perubahan pada mindset, pada cara
seseorang memandang dunia dan
peristiwa, (5) Setiap orang memiliki
keunggulan. Jauh lebih penting
mengoptimalkan keunggulan daripada
menutupi kelemahan.

Mengubah cara berpikir adalah kegiatan


paling sulit, tetapi memiliki efek yang
spektakuler. Perubahan-perubahan
bersejarah yang berhasil membangun
peradaban adalah perubahan-perubahan
yang bermula pada cara berpikir. Nabi
Muhammad  Saw yang mengubah mindset
orang Makkah dari politeisme menjadi
monoteisme, Nabi Isa as (Yesus Kristus)
yang mengubah hukum besi menjadi
hukum kasih, Martin Luther mengubah
rasialisme menjadi egalitarianisme, Karl
Marx mengubah cara pandang terhadap
materi dan alat-alat produksi, para feminis
mengubah cara pandang terhadap
perempuan.

Sifat-Sifat Otak: Temuan Neurosains

Otak adalah mesin canggih yang diciptakan


untuk berubah. Didalamnya berisi cetak biru
(blue print) kemanusiaan kita. Tidak usah
heran jika sebagian besar sikap dan
perilaku baik bukanlah sesuatu yang
dipelajari (nurture), tetapi dibawa sejak lahir
(nature). Setidak-tidaknya ada lima
keunikan lagi berkaitan dengan
perkembangan otak sejak dari masa bayi,
yaitu melihat suara dan mendengar warna,
emosi tidak sadar, memiliki ingatan
emosional, memiliki ingatan tempat yang
kuat dan memiliki kemampuan berbicara
(memahami pembicaraan).
Erick Kandel, ahli saraf yang mendapatkan
Nobel Kedokteran 2002, menemukan
bahwa pengondisian stimulus dapat menata
molekul-molekul kimia yang berkaitan.
Penemuan ini membuktikan bahwa apa
yang kita sebut sebagai keadaan-keadaan
psikologis (kejiwaan) sesungguhnya tidak
terlepas dari keadaan neurobiologis. Pikiran
dan perasaan, bahkan keseluruhan jiwa
kita, memiliki biological roots (dasar-dasar
biologis). Aplikasi klinisnya antara lain:
Psikoterapi dan pendidikan dapat
mengubah biometabolisme
neurotransmiter dan biostruktur
sinapsis; Nature dan nurture mempengaruh
i penyusunan sinapsis sel saraf yang
kemudian menyusun mind dan behavior.[4]

Paul McLean, ahli dalam evolusi biologi


membagi otak menurut perkembangan
evolusinya menjadi tiga lapis: (1) lapisan
Neomamalia, merupakan lapisan otak yang
paling akhir muncul. Lapisan ini
bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir
tingkat tinggi (high order thinking), antara
lain persepsi dan bahasa. Lapisan ini hanya
ada pada mamalia tertentu dan paling
lengkap ada pada otak manusia; (2) lapisan
paleomamalia, selain ditemukan pada
manusia, lapisan ini merupakan sistem
limbik yang bertanggung jawab untuk
pengaturan emosi; dan (3) otak reptil;
bagian ini terutama berfungsi mendukung
kegiatan vegetatif tubuh manusia, seperti
bernapas dan pengaliran darah,
termasuk respons fight dan flight.[5]
Kedewasaan, kebijaksanaan, kearifan,
kecerdasan spiritual dan kecerdasan
emosional, disebabkan oleh dominasi
neocortex (neomamalia) terhadap sistem
limbik (paleomamalia).[6]
Instrumen yang disebut The Herrmann
Brain Dominance Instrument (HBDI)
membagi otak menjadi empat bagian yang
disebut kuadran. Kuadran A yang terletak
pada otak kiri atas bekerja dengan
mengacu pada Fakta (Fakta apa saja yang
ada). Kuadran B pada otak kiri bawah
berkaitan dengan Form (bagaimana sebuah
peristiwa berlangsung), kuadran C pada
kanan bawah dihubungkan dengan
Feelings (bagaimana suasana psikologis
yang timbul) dan kuadran D pada kanan
atas berkaitan Futures (bagaimana efek
sebuah kejadian terhadap hal-hal lain).[7]
Neurosaintis Joseph LeDoux yang
penemuannya soal emosi telah mengilhami
Daniel Goleman merumuskan Kecerdasan
Emosi (EQ) misalnya menyebutkan
synaptic self untuk merujuk pada proses
dan struktur mental manusia. “Diri kita tak
lebih dari proses unik pada tingkat
sinapsis”, kata LeDoux.[8]

Hess pada tahun 1930-an berhasil


menempatkan elektroda ke dalam otak dan
memonitornya dari luar. Flynn (1967)
berhasil memicu sikap dan perilaku
membunuh pada kucing dengan
memberikan rangsangan listrik pada area
otak. Hofstatter dan Girgis (1972)
melaporkan hal serupa pada monyet.
Delgado (1969) berhasil meredam perilaku
agresif banteng aduan hanya dengan
meletakkan elektoda yang ditanamkan
dalam amygdala banteng dengan
menggunakan gelombang radio. Bedah jiwa
(psychosurgery) pertama kali dilakukan
oleh Moniz (1936) terhadap penderita
depresi dan schizophrenia.[9]

Intervensi pendidikan ternyata bisa mencapi


hingga sintesis protein di tingkat gen. Para
ahli yakin bahwa pendidikan dapat
mengubah tidak saja perilaku orang, tetapi
juga mengubah struktur sinapsis.
Pendidikan, karena itu, dapat merupakan
teknologi otak yang lebih soft untuk
mengubah manusia. Pendidikan yang
bertumpu pada penggalian keunggulan
manusia daripada memasalahkan
kelemahannya merupakan teknologi paling
bagus untuk menciptakan manusia cerdas
dan baik.[10]

Otak dan Spiritualitas

Secara lahiriah, setiap orang yang


dilahirkan sudah membawa tiga buah
dorongan yang dapat menjadi daya dorong
setiap kegiatan kehidupannya. Dorongan-
dorongan itu, yang terdiri dari empat
dorongan: belajar (to learn), bertahan (to
defend), mendapatkan sesuatu (to acquire),
dan terikat (to bond) dengan orang lain.
Dorongan- dorongan ini tersimpan,
bagaikan program-program computer yang
diinstal, di dalam otak, terutama pada
cortex prefrontalis dan sistem limbik.[11]

Ketika seseorang beranjak dewasa, maka


lobus frontal –bagian otak yang terletak
persis di belakang dahi- berkembang penuh
dan menjadi lebih kompleks. Sinapsis yang
terbentuk makin banyak dan fungsi yang
dimainkan pun makin kompleks. Fungsi
bagian ini, terutama yang bernama cortex
prefrontalis, berkaitan dengan kepribadian,
identitas diri, social judgment, dan kearifan.
[12]

Ramachandran (1997), peneliti sebelum


Persinger, menemukan bahwa perasaan
mistis terkait dengan lobus temporal.
Setelah dua kelompok subjek (orang
normal dan penderita epilepsi) dipasangi
monitor gelombang otak di otak bagian
pelipisnya, terlihat bahwa subjek normal
menunjukkan peningkatan aktivitas
gelombang otak ketika diberikan nasihat-
nasihat religius, persis sama dengan
penderita epilepsi yang sedang kena
serangan.[13] Lobus temporal disebut juga
sebagai “God Spot” (Titik Tuhan) karena
daerah ini akan terangsang (dan dapar
dirangsang) untuk memunculkan
pengalaman-pengalaman mistis.

Menurut Soedjono Aswin dan Taufiq


Pasiak, pengalaman spiritual dan perasaan-
perasaan mistis merupakan mahakarya dari
interkoneksi sel-sel otak yang membentuk
sirkuit canggih di antara banyak komponen
otak. Tidak ada locus tertentu otak untuk
hal ini, tetapi merupakan kerja harmonis
seluruh bagian otak.

Setelah membaca, menelusuri, berdiskusi,


dan meneliti isi semua kitab suci, ajaran-
ajaran kuno, tulisan-tulisan orang arif dan
para mistikus, serta puisi-puisi penyair
religius yang ada di dunia ini, Danah Zohar
dan Ian Marshal (2004), menyimpulkan
bahwa enam sikap utama yang ada pada
semua ajaran itu: kearifan dan
pengetahuan, keberanian, cinta dan
kemanusiaan, keadilan, kesederhanaan,
spiritualitas dan transendensi.Berdasarkan
riset-riset di atas, enam sikap mental dan
internalisasi nilai-nilai ini adalah bagian
penting dari apa yang secara filosofis kita
sebut iman. Tidak beriman seseorang jika
ia tidak mempraktikkan nilai-nilai mental
yang baik, yang ditulis oleh kitab-kitab suci
itu.
Spiritualitas dan kecenderungan manusia
untuk menjadi makhluk spiritual ternyata
merupakan bawaan (nature) yang sengaja
disiapkan oleh sang pencipta. Faktor-faktor
sosiologis dan kultur kemudian membingkai
bawaan spiritualitas itu sebagai ritus-ritus
yang penuh dengan simbol-simbol.
Manusia tidak perlu diajar tentang Tuhan
karena memang ia sudah tahu secara
alamiah tentang itu. Agama-agama
hanyalah sarana untuk memberikan bentuk
dan cara kepada pengenalan akan Tuhan.
Menurut Musa Djabar seorang arif dan
mistikus, ada cara sederhana untuk
mengontrol diri yaitu bicara seperlunya,
makan secukupnya, dan tidur sekadarnya.

Otak dan Berpikir

Filsuf dan penulis Milton, dalam karyanya


Paradise Lost, menyatakan bahwa pikiran
(berpikir) dapat membuat surga dari neraka
dan neraka dari surga. Mistikus dan
pemusik India, Hazrat Inayat Khan bahkan
berpendapat bahwa you are what you
think (Anda adalah apa yang Anda
pikirkan). Jika kita berpikir siapa, apa, dan
bagaimana kita, maka jadilah kita seperti
itu. Ahli otak Mariam Diamond lebih hebat
lagi menyatakan bahwa pikiran (otak) dapat
mengubah takdir (talenta).

Kita pasti pernah mengalami keadaan di


mana kita cenderung untuk menerima,
menyimpan dalam pikiran, dan mengingat-
ingat pendapat yang menyokong apa yang
kita sampaikan. Tidak penting soal benar-
salahnya. Bahkan kita kerap menjadi
pemusnah gagasan bagus orang lain yang
dianggap bertentangan dengan apa yang
kita sampaikan. Inilah bentuk sempit
berpikir.
Ada enam jurus sesat pikir yaitu pertama
disebut egocentric righteousness. Dalam
kalimat ringkas: “Kebenaran adalah saya
dan saya adalah kebenaran.” Membuat kita
merasa lebih superior dibandingkan dengan
orang lain. Kita menutup telinga dari
pendapat lain. Kedua disebut egocentric
myopia yaitu kecenderungan tidak mau
mempelajari, mencari tahu, atau
menambah wawasan hal-hal lain yang
bertentangan dengan apa yang kita yakini.

Ketiga, egocentric memory yaitu saking


kuatnya memori dalam otak kita yang
mendukung gagasan tertentu, sering kali
hal-hal yang salah mendapat justifikasi
tanpa kita sadari. Pemikiran kita kehilangan
kotrol. Keempat, egocentric blindness yaitu
kita cenderung tidak mempercayai fakta
atau data yang menggugat apa yang sudah
kita percayai sebelumnya, sekalipun fakta
itu akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Kelima, overgeneralisation yaitu
kecenderungan membuat generalisasi
(pukul rata) secepat mungkin atas setiap
perasaan dan pengalaman kita. Jika kita
merasakan ada sesuatu yang tidak beres
atau kurang menyenangkan dari suatu
kejadian, maka kita menggeneralisasi
bahwa sepanjang waktu tertentu kita pasti
menjadi sial atau hidup tanpa kesenangan.
Keenam, egocentric oversimplification yaitu
kecenderungan mengabaikan hal-hal yang
terasa rumit dan kompleks dalam upaya
memperbaiki diri. Sebaliknya, kita lebih
suka kepada hal-hal yang sederhana yang
tidak memberatkan pikiran dan mudah
dilakukan.

Otak dan Emosi


Penjahat-penjahat kelas berat, yang oleh
ahli neurobiologi kejahatan Robert Hare
disebut psikopati, ternyata memiliki kelainan
yang bersifat neurobiologis. Para peneliti
mengemukakan adanya kelainan pada
bagian otak bernama cortex
orbitofrontal dan amygdala yang berfungsi
mengatur sifat impulsif dan agresif. Dalam
pemeriksaan zat kimia otak pada mereka
ditemukan adanya kadar serotonin dan
monoamin oksidase yang tidak normal.
Karena itu, pemberian serotonin (misalnya,
obat fenfluramine) yang disertai psikoterapi
secara intensif dapat mengurangi perilaku
agresif seseorang.

Otak manusia, tidak seperti otak binatang,


disusun secara fungsional oleh dua bagian:
bagian yang berurusan dengan kegiatan
emosional (dilakukan oleh sistem limbik,
terutama amygdala) dan yang berurusan
dengan kegiatan rasional (dilakukan oleh
kulit otak. Kulit otak ini juga dimiliki oleh
beberapa binatang, tetapi dengan kualitas
yang kurang baik). Karena itu, tahap awal
perubahan diri bukanlah pada
pembangkitan sentimen emosional, tetapi
pada pengenalan cara berpikir, cara kita
memersepsi persoalan.

Penjelasan ilmiah soal penularan pikiran


dan perasaan merupakan penemuan paling
baru dan spektakuler di kalangan ilmuwan
saraf (neurosaintis). Apa yang Anda
rasakan bisa menular ke saya karena
adanya limbic loop yang terbuka. Kondisi
pikiran dan perasan bisa mempengaruhi
orang lain disekitar Anda.

Otak dan Seks


Otak terdiri dari tiga bagian besar: otak
depan (forebrain), otak tengah (midbrain),
dan otak belakang (hindbrain). Otak depan
dan sebagian besar otak tengah
merupakan area pembentukan kepribadian
manusia. Emosi, kognisi, dan perilaku
manusia diatur oleh bagian ini. Sistem
limbik yang antara lain disusun oleh sub-
sub sistem amygdala, hypothalamus,
sebagian kecil cortex cerebri dan
hippocampus adalah sistem yang paling
berperan dalam mengurus hal-hal yang
bersifat seksualitas dan spiritualitas. Jalur
saraf seksualitas dan spiritualitas sangat
mungkin merupakan jalur yang sama.[14]

Menurut Taufiq Pasiak, kalau ada yang


bertanya seberapa nikmat seorang pencinta
Tuhan (mistikus) berhubungan dengan
Tuhannya, maka katakan saja
kenikmatannya melebihi kenikmatan
ejakulasi atau orgasme, ketika kita
berhubungan seks dengan pasangan yang
sah.Paling tidak, ada tiga  komponen
penting yang menentukan berhasil tidaknya
sebuah perkawinan: motivasi (untuk apa
menikah), finansial dan etika. Kalau boleh
diumpamakan sebagai sebuah segitiga
sama sisi, maka motivasi merupakan basis
dari segitiga itu, sementara sisi kiri-
kanannya dibentuk oleh finansial dan etika.
[15]

Termasuk dalam etika rumah tangga


adalah soal hubungan seks rutin. Seks itu
dilakukan tidak karena terpaksa, tetapi
karena berahi cinta yang kuat. Seks bukan
soal puas-memuaskan, tetapi beri-memberi.
Ketika Anda siap digauli, itu artinya Anda
telah siap memberikan cinta, bukan
kepuasan.
Otak, Musik dan Gerak

Musik dipercaya sebagai salah satu sarana


mendidik orang, terutama mengajarkan
kelembutan dan cinta. Alunan musik yang
mengalun memberi nuansa pada jiwa yang
mampu membawa perubahan. Orang
awam menyebutnya rasa seni (sense of
art). Musik tertentu bahkan menjadi sarana
penyembuhan diri yang sangat baik.
Beberapa penelitian menemukan bahwa
musik tertentu dapat memperbaiki
kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas,
dan menyuguhkan keriangan hati
sepanjang hari.[16]

Pengaruh musik terhadap tubuh yaitu


meningkatkan energi otot, meningkatkan
energi molekul, memengaruhi denyut
jantung, memengaruhi metabolisme,
meredakan nyeri dan stres, mempercepat
penyembuhan pada pasien pasca operasi,
meredakan kelelahan, membantu
melepaskan emosi yang tidak nyaman dan
menstimulasi kreativitas, sensitivitas dan
berpikir.[17]

Para peneliti menyimpulkan untuk manusia:


makin sering bergerak, makin kaya
lingkungan tempat tinggal, makin baik otak
kita. Sebaliknya, makin sering
menggunakan alkohol, makin mengurangi
kemampuan motorik dan kekuatan menjaga
keseimbangan tubuh. Otak dan otot saling
berhubungan erat. Termasuk fakta
penelitian bahwa makin sering kita bergerak
(dengan olah tubuh), makin baik daya ingat
dan kewaspadaan kita.

Latihan fisik (olah tubuh) memengaruhi otak


melalui tiga cara: meningkatkan aliran
darah ke otak sehingga otak mendapat
tambahan darah yang sedikit lebih banyak,
meningkatkan produksi sejenis hormon
bernama NGF (Nerve Growth Factor) –
yang dapat meningkatkan fungsi otak
melalui rangsangan perkembangan sel-sel
saraf- serta meningkatkan produksi zat
penghantar pesan di otak bernama
dopamine. Men sano in corpore
sano (pikiran yang sehat berada pada
tubuh yang sehat).

________________
[1] Taufiq Pasiak, Brain Management for
Self Improvement, Hal. 22-23
[2] Ibid, Hal. 23-25.
[3] Malcolm Gladwell. Blink. The Power of
Thinking Without Thinking. Penguin Book,
2005;8.
[4] Op.cit. Hal. 55-56.
[5] Ibid. Hal. 70.
[6] Ibid. Hal. 73.
[7] Ibid. Hal. 76-79.
[8] Ibid. Hal. 86-87.
[9] Ibid. Hal. 89-90.
[10] Ibid. Hal. 91.
[11] Lawrence Paul. Nitin Nohria. DRIVEN:
How Human Nature Shapes Our Choices.
John Wiley & Sons, Inc., 2002: 168.
[12] Op.cit. Hal. 98.
[13] Ibid. Hal. 101.
[14] Ibid. Hal. 206.
[15] Ibid. Hal. 223.
[16] Ibid. Hal. 235.
[17] Eric Jensen, 1995: 245.

Anda mungkin juga menyukai