Anda di halaman 1dari 36

RESUME BUKU KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN SUMBER DAYA

MANUSIA SEKTOR PUBLIK


PROF. D.R. Jusuf Irianto, drs, M.Com.

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas


mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia

Oleh
(Muhammad Dilon Kurniadijaya)
(C1B180699)

PRODI ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
BANDUNG
2022
BAB 1

KONSEP DASAR MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA SEKTOR

PUBLIK

Pendahuluan

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan salah satu

instrumen penting bagi organisasi dalam mencapai berbagai tujuannya. Bagi

sektor publik, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi pelayanan kepada

masyarakat harus didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang

profesional dan kompeten. Dalam konteks reformasi birokrasi, MSDM

merupakan salah satu pilar perbaikan di samping aspek kelembagaan dan sistem

(lihat Kompas edisi 06 Juni 2011). Utilisasi SDM aparatur secara efektif dan

efisien menjadi fungsi utama MSDM bagi birokrasi mulai dari perencanaan

hingga tahap terminasi SDM.

Sebagaimana terdapat dalam berbagai literatur manajemen, pencapaian

tujuan organisasi secara manajerial diawali dengan fungsi perencanaan

(Ivancevich et al, 2004:66-87). Keterlibatan aparatur dalam perencanaan

memiliki peran signifikan terutama berkaitan dengan sikap dan perilakunya.

Seperti telah diidentifikasi oleh Boyne & Gould-Williams (2003), sikap

aparatur yang terlibat dalam perencanaan berperan penting bagi pencapaian

kinerja organisasi sektor publik di samping adanya pengaruh sejumlah variabel

teknis lainnya. Jika dalam tahap perencanaan SDM bermutu memiliki peran

penting dalam mencapai target yang ditetapkan, maka proses manajerial

birokrasi selanjutnya dalam bentuk pengarahan, pelaksanaan, dan evaluasi pun


harus didukung oleh aparat yang bermutu.

Dalam konteks yang demikian itulah, MSDM mendapat tantangan untuk

menjawab masalah peningkatan mutu aparat. Hingga saat ini mutu aparat

birokrasi dalam memberikan layanan publik di Indonesia masih menjadi

persoalan yang sangat serius. Masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi

acapkali mengeluhkan mutu aparat dalam menjalankan fungsinya. Berbagai

bentuk keluhan muncul mulai dari proses pelayanan, waktu yang dibutuhkan

dalam penyelesaian urusan, sikap dan perilaku aparat, hingga berkaitan dengan

kualitas hasil layanan. Permasalahan serius yang tak kunjung teratasi tersebut

pada ahirnya memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak kondusif bagi

pelayanan publik.

Peran MSDM di sektor publik menjadi sangat kritis dan berbeda

kondisinya dengan sektor privat (lihat Boselie et al, 2003). Secara historis

konsep-konsep yang berkembang dalam MSDM memang berawal dari kegiatan

usaha sektor privat. Bagi perusahaan, MSDM tidak hanya sekadar merupakan

instrumen utilisasi pegawai. MSDM di sektor privat sebagaimana dikatakan

Stroh & Caligiuri (1998) sekaligus merupakan sumber kekuatan bagi

perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing di era global seperti saat ini.

MSDM dapat berfungsi secara efektif di sektor privat, sementara tidak

demikian halnya di sektor publik. Salah satu faktor penentu efektifitas MSDM

berkaitan dengan budaya organisasi sektor privat yang sangat kontras dengan

sektor publik. Selain budaya, iklim organisasi yang tidak kondusif dan nilai-

nilai manajerial yang tidak relevan dengan perubahan menjadi ganjalan


birokrasi dalam mencapai efektifitas organisasi sebagaimana pernah

diidentifikasi oleh Wallace et al (1999) yang meneliti organisasi sektor publik

dan kepolisian di Australia.

Sangat penting artinya bagi dunia ilmu pengetahuan dan praktisi untuk

menguraikan MSDM dalam budaya, iklim organisasi dan nilai-nilai manajerial

khas birokrasi yang berbeda dengan perusahaan yang merepresentasikan sektor

privat. Dengan keyakinan terhadap pandangan bahwa budaya dan iklim

organisasi serta nilai-nilai manajerial dapat mendukung pencapaian keunggulan

bersaing organisasi sebagaimana dikembangkan Glonaz & Lees (2001), maka

tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan fenomena dan pengantar

pengembangan model MSDM dalam sektor publik sehingga dapat digunakan

sebagai acuan untuk membangun birokrasi yang kuat dalam memberi pelayanan

yang mendukung peningkatan daya saing bangsa Indonesia.


BAB II

REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA

MSDM

MSDM secara umum dapat dipahami baik dari makna sistem maupun fungsi.

Dari sisi makna sistem, MSDM tidak lain merupakan suatu sistem manajemen

yang sengaja dirancang untuk dapat memastikan bahwa potensi atau bakat semua

individu dalam organisasi dapat diutilisasi (digunakan) secara efektif dan efisien

(Mathis & Jackson, 2008). Utilisasi individu tersebut dimaksudkan untuk

mencapai tujuan dan target yang telah ditentukan organisasi. Psikologi

merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang sangat besar kontribusinya

bagi organisasi untuk memetakan potensi individu menjadi teraktualisasikan

secara efektif dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan.

Sistem tersebut kemudian diimplementasikan kedalam beberapa fungsi

MSDM yang akhirnya membentuk suatu rumusan definitif MSDM fungsional

yaitu “semua kegiatan yang dimulai dengan perencanaan SDM sampai pada

pemberhentian atau terminasi SDM”. Di antara kegiatan vital lain setelah fungsi

perencanaan dan sebelum terminasi SDM adalah penyusunan analisis jabatan,

rekrutmen SDM yang dilanjutkan dengan seleksi dan penempatan SDM dalam

jabatan yang relevan, kemudian berturut-turut fungsi penggajian, penilaian

kinerja, pelatihan dan pengembangan, pengelolaan karir dalam jabatan,

pembinaan hubungan antar individu (employee relationships), serta

perancangan berbagai program kualitas kehidupan kerja (quality of working

life).
Namun demikian, MSDM tidaklah cukup dapat dipahami hanya dari sisi

sistem dan fungsi. MSDM akan memiliki arti yang lebih komprehensif bagi

organisasi jika dilihat pula dari sisi kebijakan (policy). Dari sisi kebijakan,

MSDM secara klasik sebagaimana dikembangkan oleh Guest (1987) bermakna

sebagai salah satu bentuk kebijakan organisasi yang sengaja dirancang untuk

memaksimalkan integrasi semua unsur organisasi (organizational integration),

membangun komitmen pegawai terhadap organisasi (employee commitment),

prinsip kelenturan dalam pelaksanaan fungsi manajerial dan pekerjaan

(flexibility) untuk menghindari kekakuan (rigidity), serta pencapaian kualitas

baik dari sisi proses pelaksanaan maupun hasil dari pelaksanaan pekerjaan

(quality of work). Dari sisi kebijakan inilah akhirnya berkembang suatu

pemikiran, bahwa makna utuh dari MSDM tidak terbatasi dalam pengertian

yang sekadar bersifat teknis. Lebih daripada masalah teknis, MSDM ternyata

juga mengalami konvergensi peran yang sifatnya lebih substansial.

Konvergensi peran yang dialami MSDM tersebut telah terjadi sejak

tahun 2000-an. Sebagaimana pernah diuraikan oleh Lengnick-Hall & Lengnick-

Hall (2003: 33-43) peran MSDM yang mengalami konvergensi tersebut tidak

lain dimaksudkan untuk merespon perubahan lingkungan dengan segala macam

tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan peran yang baru, MSDM

mengemban misi dalam menyajikan layanan bagi SDM (human capital

steward), memberi fasilitasi berupa pengetahuan bagi SDM (knowledge

facilitator), membangun interaksi kondusif bagi semua pihak (relationship

builder), serta memiliki keahlian yang terspesialisasi dalam mengatasi setiap


masalah organisasional secara tepat dan cepat (rapid deployment specialist).

Berbagai macam persoalan yang muncul dalam era yang sedang mengalami

perubahan secara drastis diharapkan dapat dipecahkan melalui konvergensi

peran MSDM ini. Unit fungsional MSDM tidak sekadar berputar pada

penanganan masalah teknis, namun juga berkembang pada orientasi pemberian

layanan dan fasilitasi bagi semua pihak dalam organisasi.

Dengan memahaminya secara utuh baik dari sisi (perspektif) sistem,

fungsi, kebijakan, dan reorientasi peran dalam organisasi, MSDM tampaknya

harus didefinisikan ulang. Sebagaimana telah diimpikan oleh Keenoy &

Anthony (1992), perkembangan yang terjadi dalam MSDM mencerminkan

adanya suatu upaya untuk mendefinisikan ulang baik tentang pekerjaan yang

dilaksanakan (sebagaimana dengan munculnya prinsip kelenturan atau

fleksibilitas dan kualitas dalam pelaksanaan pekerjaan) maupun tentang

interaksi antar individu (sebagaimana tercermin dari munculnya integrasi semua

unsur dalam organisasi dan komitmen individu terhadap organisasi). MSDM

secara kultural dapat dikonstruksikan sebagai suatu konsep yang utuh dan

berkembang sesuai dengan konteks lingkungan organisasi. Perkembangan arus

pemikiran ini pada akhirnya memunculkan berbagai upaya untuk merumuskan

kembali (rekonseptualisasi) beberapa konsep (fungsi) dalam MSDM. Menjelang

akhir tahun 2000 misalnya, muncul suatu studi yang mencoba merumuskan

kembali makna penting konsep perencanaan SDM dalam suatu lembaga

pemerintahan yang sedang mengalami perubahan sebagaimana dilakukan oleh

Rahman & Eldridge (1998) di Malaysia.


Makna MSDM dapat berkembang sesuai dengan kondisi yang terjadi

pada suatu lingkungan tertentu. Suatu negara misalnya, membutuhkan model

MSDM spesifik yang dapat membedakannya dengan negara lain yang memiliki

karakter lingkungan spesifik tertentu. Hal ini dapat diartikan bahwa suatu

organisasi dengan karakteristik lingkungan tertentu memiliki cara pandang dan

teknik yang berbeda dalam utilisasi SDM. Praktek MSDM dengan demikian

tidak memiliki kesamaan antara satu negara atau organisasi dengan tempat

lainnya yang memiliki karakteristik lingkungan berbeda. Sebagaimana telah

diuraikan oleh Gonza´lez & Tacorante (2004) bahwa praktek-praktek MSDM

dalam suatu organisasi memiliki model yang berbeda dengan organisasi

lainnya. Praktek-praktek terbaik (best practices) MSDM tidak dapat

digeneralisir karena setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Model

praktek terbaik yang berlaku di suatu tempat tertentu dapat diterapkan secara

efektif di tempat lain jika dilakukan penyesuaian sesuai konteksnya.


BAB 3

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA SEKTOR PUBLIK DI

INDONESIA

Prinsip Dasar MSDM

Sektor publik memiliki asas yang sama dengan sektor privat dalam

melakukan fungsi manajerial. Sejak lingkungan organisasi berkembang dengan

dinamika yang sangat intensif pada dekade 1990-an, fungsi manajerial

diarahkan pada pengembangan perilaku individu dengan mengacu pada

panduan umum yang oleh Wright & Rudolph (1994) ditekankan pada lima

aspek yaitu: (1) Emphasis on people; (2) Participative leadership; (3)

Innovative workstyles; (4) Strong client orientation; dan (5) A mindset that

seeks optimum performance.

Secara alamiah, organisasi diadakan untuk memenuhi kebutuhan

manusia. Sementara dalam melakukan utilisasi SDM, organisasi secara eksplisit

menunjukkan adanya pemosisian manusia sebagai unsur utama di dalamnya.

Dengan demikian unsur manusia dalam organisasi tidak hanya sekadar bersifat

pasif, namun lebih bersifat aktif untuk menghadapi sejumlah tantangan dan siap

mengembangkan diri demi kelangsungan organisasi itu sendiri. Sebagaimana

telah diidentifikasi oleh Jacob & Washington (2003) bahwa pengembangan

kualitas SDM berdasarkan hasil sejumlah riset diyakini dapat meningkatkan

kinerja organisasi.

MSDM memiliki prinsip kepemimpinan yang bersifat partisipatif. Jika


mencermati prinsip MSDM pertama yang memposisikan unsur manusia sebagai

pihak yang bersifat aktif, prinsip kedua inipun juga memposisikan figur

pemimpin sebagai pihak yang aktif dan tidak sekadar bersifat situasional.

Secara teoritis, kepemimpinan terbaik adalah dengan menyesuaikan diri

terhadap semua perubahan bentuk situasional. Namun kepemimpinan yang

terbaik dari yang terbaik adalah kemampuan penyesuaian diri pemimpin secara

aktif disertai tingkat pelibatan diri pada semua level organisasi secara intensif

dan dengan kemampuan membentuk lingkungan yang kreatif (Amabilea, 2004).

Prinsip dasar ketiga MSDM merujuk pada perilaku inovatif yang tidak

berhenti maknanya pada hasil yang telah dapat dicapai seorang individu. Prinsip

ketiga ini merujuk pada kemampuan individu untuk dapat merefleksikan diri

pada kinerja (Vaughan, 2003) yang telah dicapai dan kemudian mempelajarinya

sedemikian rupa sehingga akan dapat mencapai tingkat yang lebih baik di masa

mendatang.

Akibat tingkat persaingan yang kian intensif, orientasi organisasi lebih

cenderung bersifat outward looking. Dalam konteks yang demikian inilah

kepuasan pelanggan (untuk sektor privat) dan masyarakat (untuk sektor publik)

tidak hanya merupakan tujuan namun juga sekaligus sebagai “instrumen” bagi

organisasi untuk mencapai sustained competitive advantage (SCA) atau

keunggulan bersaing secara berkelanjutan (Chan et al, 2004). Prinsip keempat

MSDM memegang peranan yang sangat penting dalam era scarcity resources

yakni sumberdaya yang tersedia semakin terbatas sementara tuntutan

masyarakat pengguna produk dan jasa organisasi semakin bervariasi sehingga


kebutuhan akan sumberdaya menjadi meningkat (Wang & Lo, 2003).

Sementara prinsip kelima dalam MSDM tetap memposisikan figur

sentral individu sebagai pihak yang memegang teguh sejumlah nilai luhur yang

dapat mengarahkan dirinya pada berbagai upaya perbaikan. Mindset menjadi

konsep yang sangat penting untuk menunjukkan bahwa persepsi, sikap, dan

perilaku individu memiliki kejelasan arah dalam membangun kesuksesan

organisasi. Pengalaman di negara lain membuktikan bahwa keunggulan

organisasi dapat dicapai melalui pengembangan SDM (Pattanayak, 2003)

sebagai instrumen dalam memenangkan persaingan dan mencapai keberhasilan.

Kelima prinsip MSDM tersebut menjadi pelajaran penting dalam

membangun organisasi bermutu yang berpusat pada pengembangan SDM.

Prinsip-prinsip MSDM tersebut juga menegaskan kembali bahwa tanpa SDM

bermutu, organisasi dipastikan tidak dapat mencapai keberhasilan.


BAB 4

PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

SEKTOR PUBLIK

MSDM Sektor Publik: Peran Dominan

Secara klasik MSDM sektor publik telah menjadi bagian penting dari

setiap upaya reformasi birokrasi dalam menyajikan pelayanan bagi pemenuhan

kebutuhan serta akomodasi berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Di Inggris, misalnya, dua hal dicatat oleh Dorman B. Eaton (1880) tentang

MSDM yaitu “(1) in filling offices, it is the right of the people to have the

worthiest citizens in the public service fo the general welfare,. of character

and capacity which

qualify him for such service; dan (2) the ability, attaintments, and character

requisite for the fit discharge of official duties of any kind, - in other words, the

personal merits of the candidate – are themselves the highest claim upon an

office”. Keberhasilan reformasi birokrasi dapat diawali dari keseriusan birokrasi

itu sendiri dalam mengelola SDM aparaturnya. Oleh karena itu, sudah saatnya

bagi birokrasi di Indonesia untuk tidak lagi kompromistis dalam melakukan

rekrutmen, pemilihan dan penempatan pekerjaan atau jabatan bagi staf dan

pejabat, penilaian kinerja, rotasi dan mutasi hingga membangun kapasitas,

karakter, dan kompetensi individu. Semua fungsi MSDM harus dengan tegas

dijalankan secara rasional dan obyektif.

Sementara itu, Henry (2004: 290-291) juga telah menguraikan peran

dominan MSDM sektor publik yang telah mewarnai birokrasi Amerika Serikat
(AS) sedemikian rupa sehingga memberi corak yang khas dalam memberikan

layanan publik. Dengan MSDM tersebut, Henry menambahkan bahwa

pemerintahan AS bersifat “more honest and more accountable”, sementara

peran MSDM dalam birokrasi digambarkannya secara ilustratif sebagai: “ ....

public human resource management was used to pry open public jobs for

women, people of color, and older and disabled Americans. and

continuing into our own time, it is being used to improve the management of

government”. Dengan segala perubahan yang terjadi baik dalam masyarakat

maupun birokrasi, Henry kemudian optimistis bahwa MSDM sektor publik

memiliki prospek masa depan yang cerah dengan segala penyesuaian yang

harus dilakukan untuk membuat birokrasi pemerintahan menjadi bernilai

tambah.

Sejumlah fakta lain juga telah memberi keyakinan bahwa MSDM sektor

publik tidak hanya ampuh bagi birokrasi yang ada di negara-negara maju baik

di Eropa, Asia, Australia, maupun Amerika. Di Afrika pun MSDM sektor

publik juga menjadi suatu pendekatan efektif khususnya dalam rangka

meningkatkan produktifitas sektor publik sebagaimana pernah diteliti oleh Hope

(1999) di Botswana sebagai salah satu representasi negara berkembang.

Jika dikaitkan dengan berbagai situasi yang harus dihadapi birokrasi,

maka MSDM dapat diandalkan oleh sektor publik sebagai instrumen utama

dalam membangun kekuatan birokrasi. Dalam situasi lingkungan

organisasional yang sedang dan selalu berubah Pynes (2004) mengingatkan

bahwa: “Public and nonprofit organizations are finding themselves having to


confront a variety of economic, technological, legal, and cultural changes with

which they must cope effectively if they are to remain viable”. Dalam kondisi

yang demikian itulah selanjutnya Pynes menegaskan bahwa: “The key to

viability is well-trained and flexible employees. To be responsive to the

constantly changing environment, agencies must integrate their human

resources management (HRM) needs with their long-term strategic plans. Dari

berbagai catatan inilah dapat ditarik sebuah nilai penting bahwa telah dan akan

ada banyak persoalan yang harus diatasi birokrasi ternyata dapat mengandalkan

peran MSDM sebagai titik tumpuannya (Irianto, 2009).


BAB 5

MEMBANGUN KAPASITAS APARATUR NEGARA DENGAN

MANAJEMEN SDM BERBASIS KOMPETENSI (MSDM-BK)

Terdapat berbagai masalah yang ada dalam birokrasi di Indonesia

khususnya berkaitan dengan pengelolaan SDM aparatur. Permasalahan tersebut

dapat dilihat baik dari perhitungan statistik jumlah SDM aparatur atau Pegawai

Negeri Sipil (PNS), maupun dari sisi kualitatifnya. Dari sisi kuantitatif, jumlah

PNS pada tahun 2010 sudah mencapai 4.598.100 (lihat: www.bkn.go.id).

Menurut versi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi (Menpan & RB) EE. Mangindaan, jumlah PNS tersebut termasuk

dalam kategori “cukup moderat”. Dengan total jumlah penduduk Republik

Indonesia (RI) saat ini yang mencapai sekitar 224 juta jiwa, maka rasio

jumlah PNS terhadap jumlah penduduk adalah 1,94 persen.

Persoalan PNS dalam birokrasi bukanlah sekadar terletak pada hasil

perhitungan kuantitatif. Berbagai pertanyaan kritis yang patut dikedepankan

sehubungan dengan perhitungan jumlah PNS tersebut diantaranya adalah: (1)

Apakah beban kerja (work-load) PNS telah dianalisis secara benar sedemikian

rupa sehingga mampu menghasilkan angka ketersediaan dan kebutuhan (supply

and demand) PNS yang tepat?; (2) Apakah PNS telah tersebar secara merata

dan proporsional baik dari sisi demografis maupun per satuan atau unit kerja?;

(3) Apakah semua PNS telah benar-benar bekerja sesuai dengan kebutuhan

organisasi?; dan (4) Apakah telah ada perhitungan secara eksak dan rasional

atas kontribusi dan kinerja PNS terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan
pertumbuhan negara RI? Daftar pertanyaan skeptis tersebut dapat saja terus

bertambah. Oleh karena itu respon strategis sangat diperlukan baik berupa

kajian ataupun penelitian ilmiah secara terus menerus untuk mendapat

menjawab semua permasalahan kepegawaian.

Secara normatif semakin besar jumlahnya, PNS seharusnya mampu

memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan jumlah yang

sangat besar, PNS harus pula dapat memposisikan diri secara lebih dekat lagi

dengan (kepentingan) masyarakat. Namun demikian realitas menunjukkan

bahwa meskipun jumlahnya besar, ternyata kualitas PNS berada pada tingkat

yang rendah dan pada akhirnya mempengaruhi level efektifitas pemerintahan.

Permasalahan kualitas SDM birokrasi di Indonesia tampaknya juga

diperberat dengan perilaku menyimpang para aparat. Berbagai media massa

baik tulis maupun elektronik menyajikan pemberitaan yang sangat tidak sedap

tentang perilaku negatif aparat dalam bertugas mulai dari kasus korupsi (lihat

misalnya Koran Tempo edisi 16 November 2010) hingga kasus penggelapan

pajak yang mewarnai mayoritas berita nasional (lihat misalnya Suara

Pembaruan edisi 7 Januari 2011) serta bermacam-macam berita negatif

lainnya. Sementara di sisi lain, ternyata negara ini juga telah banyak menyedot

anggaran untuk menggaji aparatnya dalam jumlah yang sangat besar sehingga

pembangunan berbagai sektor utama lain menjadi tersendat (lihat misalnya

Kompas edisi 4 Januari 2011). Semua pemberitaan tersebut mengirimkan suatu

pesan yang sama bahwa perilaku PNS dan kinerja PNS berada pada tingkat

yang mengkuatirkan.
Di tengah berbagai kekuatiran dan keprihatinan terhadap kinerja

birokrasi dan perilaku aparat tersebut, ternyata ada satu berita yang

menggembirakan. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh

GlobeScan bekerjasama dengan Program on International Policy Attitudes di

University of Maryland untuk BBC Extreme World Series, Indonesia masuk

dalam kategori sebagai negara terbaik dalam memulai usaha. Survei tersebut

mengukur empat dimensi yaitu (1) penghargaan terhadap inovasi dalam

berbisnis, (2) tingkat kesulitan untuk memulai usaha, (3) penghargaan terhadap

upaya-upaya para pebisnis yang memulai berusaha, dan (4) kemudahan

mengimplementasikan ide-ide inovatif dalam hal bisnis. Satu hal paling

menarik dari survei ini adalah tentang posisi Indonesia melampaui negara-

negara yang selama ini dianggap “super” yakni Amerika Serikat, Kanada, India

dan Australia. Sekalipun demikian, semua pihak tetap harus diingatkan bahwa

hasil survei bisa saja mengalami pembiasan dan oleh karena itu jangan

membuat bangsa Indonesia terlena seolah sudah tidak ada masalah lagi (lihat

Kompas edisi 04 Juni 2011). Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia

(Apindo) Anton Supit, setiap hari di berbagai media muncul aneka keluhan dari

para pengusaha sehingga bisa jadi hasil survei tersebut dapat menyesatkan.

Berbagai permasalahan baik secara kuantitatif (memastikan bahwa

jumlah PNS tergolong “properly”) maupun kualitatif (perilaku dan kinerja

PNS) yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia harus mendapat perhatian

serius. Jika tidak, birokrasi tidak lagi enabling bagi RI untuk dapat bersaing

dengan negara lain. RI dalam berbagai bidang telah ketinggalan bahkan dengan
negara tetangga sekalipun, misalnya dalam menggaet investor dan menarik

sejumlah wisatawan. Dengan kata lain RI bukanlah negara yang “memikat”

untuk dilirik. Mutu birokrasi dan perilaku SDM aparatur dalam memberi

pelayanan menjadi salah satu determinan bagi hadirnya fenomena tersebut.

Sebetulnya pemerintah RI telah berupaya mengatasi berbagai masalah

SDM aparatur melalui penerbitan sejumlah undang-undang dan seperangkat

peraturan di bidang kepegawaian. Jika dilihat secara historis, undang-undang

(UU) yang mengatur kepegawaian yang pertama kali diterbitkan adalah UU

Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda Duda

Pegawai. Adapun UU yang langsung berkaitan dengan unsur utama

kepegawaian RI adalah UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian yang kemudian diperbaiki dengan UU Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian. Dengan memperhatikan peran penting tenaga pendidik yang juga

merupakan aparatur negara di bidang pendidikan, pemerintah berkomitmen

dengan menerbitkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Untuk mendukung implementasi atau pelaksanaan UU bidang

kepegawaian tersebut, pemerintah hingga tahun 2000 juga telah mengeluarkan

kurang lebih 22 (dua puluh dua) Peraturan Pemerintah (PP). Berikut adalah

hasil identifkasi PP yang telah diterbitkan pemerintah berkaitan dengan masalah

kepegawaian:

1. PP Nomor 96 Tahun 2000 Wewenang Kepangkatan, Pemindahan dan

Pemberhentian PNS
2. PP Nomor 97 Tahun 2000 Formasi Pegawai Negeri Sipil

3. PP Nomor 98 Tahun 2000 Pengadaan Pegawai Negeri Sipil

4. PP Nomor 99 Tahun 2000 Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

5. PP Nomor 100 Tahun 2000 Kepangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam

Jabatan Struktural

6. PP Nomor 101 Tahun 2000 Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri

Sipil

7. PP Nomor 15 Tahun 1979 Daftar Urut Kepangkatan Pegawai Negeri

Sipil

8. PP Nomor 24 Tahun 1976 Cuti Pegawai Negeri Sipil

9. PP Nomor 4 Tahun 1966 Pemberhentian/Pemberhentian Sementarara

Pegawai Negeri Sipil

10. PP Nomor 32 Tahun 1979 Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

11. PP Nomor 30 Tahun 1980 Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

12. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 Pernikahan dan

Penceraian bagi Pegawai Negeri Sipil

13. PP Nomor 16 Tahun 1994 Pengangkatan PNS dalam Jabatan Fungsional

14. PP Nomor 26 Tahun 2001 Struktrur Gaji Pegawai Negeri Sipil

15. PP Nomor 11 Tahun 2002 Perubahan atas PP No. 98 Tahun 2000

tentang Pengadaaan Pegawai Negeri Sipil

16. PP Nomor 12 Tahun 2002 Perubahan atas PP No. 99 Tahun 2000

tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

17. PP Nomor 13 Tahun 2002 Perubahan atas PP No. 100 Tahun 2000
tentang Kepangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural

18. PP Nomor 1 Tahun 1983 Pelakuan Terhadap Pegawai Negeri Sipil

yang Cacat atau Tewas Akibat Kecelakaan Karena Dinas  tidak

berlaku lagi sejak ada PP 99 TAHUN 2000

19. PP Nomor 1 Tahun 1994 Perubahan atas PP No. 32 Tahun 1979

tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

20. PP Nomor 2 Tahun 1979 Penyesuaian Pensiun Pokok Pegawai Negeri

Sipil dan Pensiun Janda/Dudanya

21. PP Nomor 3 Tahun 1980 Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri

Sipil  tidak berlaku lagi sejak ada PP 99 TAHUN 2000

22. PP Nomor 4 Tahun 1976 Pegawai Negeri Yang Menjadi Pejabat Negara.

Melihat upaya hukum pemerintah dengan menerbitkan sejumlah UU dan

PP di bidang kepegawaian, tampaknya sudah cukup kuat bagi birokrasi untuk

mengatur perilaku dan kinerja SDM aparatur. Namun demikian harus tetap

diingat, bahwa sekadar pendekatan legal-formal tidaklah cukup komprehensif

untuk mampu membentuk perilaku PNS yang disiplin, produktif, dan berkinerja

tinggi. Oleh karena itu, pendekatan nonlegal-formal atau multi-perspectives

approach harus dikedepankan dalam mengatur MSDM sektor publik untuk

birokrasi di Indonesia. Sebagai negara hukum, aspek legal-formal memang

menjadi dasar bagi birokrasi untuk mengatur dirinya termasuk dalam masalah

SDM. Aspek hukum inilah yang menjadi penanda khas MSDM sektor publik

jika dibandingkan dengan MSDM sektor privat. Akan tetapi, pendekatan legal-

formal dalam MSDM sektor publik perlu diperkuat dengan aspek-aspek


lainnya, terutama berkaitan dengan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan

aspek lainnya. Dalam konteks yang demikian inilah, model hipotetis MSDM

sektor publik yang melibatkan berbagai perspektif dapat dikontsruksikan.


BAB 8

ANALISIS BEBAN KERJA

Secara klasik, terdapat berbagai model dalam MSDM. Berdasarkan

identifikasi yang telah dilakukan Figen Cakar et al (2003) upaya pengembangan

model MSDM telah dilakukan sejak dekade 1980-an hingga 1990-an. Pada

dekade 1990-an misalnya, tiga ahli MSDM yaitu Karen Legge (1995),

S. Tyson (1995), dan J. Storey (1994) masing-masing mengembangkan model

MSDM yang berbeda. Legge mengembangkan model MSDM yang dapat

diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu Normative, Descriptive-

functional, Descriptive-behavioural, dan Critical-evaluative. Sementara

klasifikasi model MSDM dari Tyson terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu Normative,

Desciptive, dan Analytical. Sama dengan model dari Tyson, klasifikasi model

MSDM yang dikembangkan Storey juga terdiri dari 3 (tiga) jenis namun

berbeda konsepnya yaitu Conceptual, Descriptive, dan Prescriptive.

Selain ketiga ahli tersebut, para ahli MSDM lainnya juga telah

mengembangkan model MSDM dengan versi yang berbeda. Di antara model

MSDM versi lainnya justru dikembangkan pada dekade 1980-an hingga awal

dekade 1990-an yang dapat diidentifikasi dalam 4 (empat) model lain yaitu:

(1) Michigan model (Fombrun et al, 1984), yang dterdiri dari 2 (dua) perspektif

yaitu the strategic and environmental perspective dan the human resource

perspective. Perspektif strategis dan lingkungan menunjukkan adanya hubungan

antara strategi MSDM dengan strategi organisasi secara keseluruhan dalam

rangka menghadapi berbagai tekanan dari faktor-faktor politik, ekonomi, dan


budaya yang mendeterminasi organisasi. Strategi MSDM dan strategi organisasi

bersifat interaktif. Strategi MSDM menyajikan suatu kerangka kerja bagi

organisasi untuk melakukan seleksi SDM, penilaian kinerja, penyusunan skema

penghargaan dan pelatihan, serta tindakan yang harus dilakukan untuk

merespon hasil penilaian kinerja;

(2) Harvard model (Beer et al, 1984) yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu: the

human resource system dan a map of the HRM territory. Bagian pertama,

yaitu sistem SDM merepresentasikan perspektif labour relations dan

administrasi kepegawaian (personnel administration) berdasarkan 4 (empat)

kategori SDM yaitu employee influence, human resource flow, rewards, dan

work systems. Sedangkan bagian kedua yaitu a map of the HRM territory yang

menunjukkan adanya kedekatan hubungan yang sangat intensif antara MSDM

baik dengan lingkungan eksternal (misalnya kepentigan stakeholder) maupun

lingkungan internal (misalnya berbagai faktor situasional yang terjadi di dalam

organisasi). Guest’s (1987) model yang tediri dari 7 (tujuh) kebijakan MSDM

untuk dapat mencapai 4 (empat) outcomes SDM. Menurut Guest, ke-empat

outcomes tersebut akan mengarahkan pada hasil yang diinginkan organisasi.

Dalam konteks seperti ini, model MSDM dari Guest memiliki kesamaan dengan

model MSDM dari Harvard, sekalipun berbeda dalam konsep dan jumlah

komponen dalam masing- masing model. Model dari Guest memiliki 7 (tujuh)

kategori yang mirip dengan model Harvard dengan 4 (empat) kategori.

Kemiripan itu dapat ditunjukkan misalnya yaitu human resource flow dalam

model Harvard sama dengan manpower flow and recruitment, selection, dan
socialisation; sementara dalam model Harvard model terdapat work systems,

dalam model Guest tersaji organisational and job design. Kedua model MSDM

ini juga mengandung unsur sistem penghargaan (reward systems). Dengan

demikian dapat diidentifikasi bahwa model MSDM dari Guest memiliki

tambahan 3 (tiga) kategori yaitu policy formulation & management of change;

employee appraisal, training & development; serta communication systems.

(3) Warwick model (Hendry and Pettigrew, 1992) yang terdiri dari 2 (dua)

konteks yakni inner dan outer context. Model ini dikembangkan berdasarkan

substansi dari Model MSDM Harvard, namun menekankan pada aspek strategi.

Untuk membandingkan antara kedua model ini dapat diilustrasikan sebagai

berikut: Jika model MSDM dari Harvard mengandung policy choices yang

terdiri dari employee influence, human resource flow, reward systems, work

systems; maka model MSDM dari Warwick mengkonseptualisasikannya dengan

HRM context, yang terdiri dari human resource flows, work systems, reward

systems dan employee relations. Contoh lainnya adalah jika dalam model

Harvard terdapat business strategy dalam berbagai faktor situasional, maka

dalam model Warwick dapat ditemukan adanya business strategy content, dan

seterusnya.

Berbagai uraian telah disajikan untuk menjelaskan makna masing-

masing klasifikasi model MSDM. Namun demikian, eksplanasi atas setiap

model MSDM tersebut justru semakin membingungkan dan pada akhirnya tidak

dapat membedakannya secara tegas. Model-model MSDM yang lahir sejak

dekade 1980-an sifatnya tumpang tindih sehingga tidak memiliki garis


demarkasi dan perbedaan yang jelas. Menurut Figen Cakar et al (2003) harus

dikembangkan model MSDM alternatif yang bersifat komprehensif yakni

model MSDM berdasarkan model bisnis (HRM business process model). HRM

business process model yang diusulkan Figen Cakar dan kawan-kawan

tersebut terdiri dari 3 (tiga) komponen strategi yaitu (1) perumusan strategi

MSDM; (2) implementasi strategi MSDM; dan (3) pemantauan dampak atas

hasil yang dicapai organisasi (business results).

Menurut Figen Cakar dan kawan-kawan masing-masing komponen

tersebut dapat dijelaskan

berikut.

(1) Perumusan strategi MSDM. Sub-proses ini dilakukan untuk

merumuskan suatu strategi MSDM secara terpadu, digunakan strategi

dan tujuan organisasi serta berbagai proses utama dalam organisasi.

Perumusan strategi MSDM terpadu dilakukan dengan menetapkan

tujuan dan sasaran, menghitung dan menetapkan kapabilitas

(establishing current capabilities), melakukan negosiasi kecukupan

anggaran untuk mengimplementasikan perencanaan secara ralistis dan

menetapkan kebijakan SDM. Dalam tahapan perumusan strategi MSDM

ini ditentukan batas-batas tentang: (a) objective activity, yakni

melakukan intepretasi terhadap strategi dan tujuan organisasi serta

berbagai proses kegiatan utama dalam organisasi dikaitkan dengan

kebutuhan dan tujuan MSDM; (b) establish current capability activity,

yakni menentukan kapabilitas SDM yang ada dalam organisasi dikaitkan


dengan berbagai proses utama dalam organisasi untuk mencapai

berbagai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; (c) plan activity,

yakni mengembangan suatu rencana, termasuk di dalamnya anggaran;

(d) negotiate budget activity, yakni menggunakan perencanaan untuk

melakukan negosiasi dalam rangka memperoleh anggaran yang

memadai yang dapat diyakini sebagai instrumen meraih keberhasilan

implementaasi strategi MSDM; (e) set HR policies activity, yakni

menentukan jenis-jenis kompensasi, metode staffing, metode penilaian

kinerja, membentuk skema pelatihan dan pengembangan, serta

menciptakan situasi dan kondisi kerja yang kondusif dan relevan dengan

kebutuhan implementasi strategi.

(2) Implementasi Strategi MSDM. Sub-proses implementasi strategi MSDM

dilakukan dengan pengendalian terhadap perencanaan SDM,

pemantauan atau monitoring, utilisasi, rekrutmen, penilaian dan

pemilihan the right people dalam rangka mengembangan (to develop),

melatih (to train), dan mendidik (to educate) SDM. Kesemuanya itu

juga dilakukan dengan mengelola kinerja SDM melalui performance

review dan appraisal. Implementasi startegi akan menghasilkan

redeployment SDM yang meliputi: (a) control HR, yakni memastikan

bahwa SDM sudah terencana, terlaksana dan terpantau secara tepat dan

benar dalam kaitannya dengan tujuan dan sasaran yang diinginkan

organisasi; (b) recruit activity, yakni perhatian terhadap posisi SDM

yang in line dengan kebutuhan organisasi baik berasal dari sumber


dalam maupun luar untuk memperoleh SDM yang tepat; (c) train,

educate, develop, yakni kegiatan yang diarahkan untuk melakukan

upgrading kapabilitas bagi semua SDM yang ada sesuai dengan

kebutuhan organisasi; (d) manage HR performance, yakni kegiatan yang

diarahkan untuk menentukan berbagai target individual, pemantauan

terhadap kemajuan dan perkembangan berdasarkan target yang telah

ditentukan serta melakukan identifikasi tentang kebutuhan pelatihan,

pengembangan, dan pendidikan sebagai respon atas hasil penilaian

kinerja sebelum menentukan tindakan baik dalam bentuk reward

maupun discipline action; (e) manage redeployment, yakni kegiatan

untuk mengidentifikasi defisiensi posisi pekerjaan yang tidak dapat

diatasi (rectified) baik melalui pelatihan, pengembangan ataupun

pendidikan yang diarahkan pada redeployment bagi pemegang

pekerjaan/jabatan baik di dalam maupun di luar organisasi; (f)

negotiation for working conditions, yakni kegiatan yang diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan SDM dan pencapaian tujuan organisasi.

(3) Pemantauan dampak atas hasil organisasi. Sub-proses ini dilakukan

untuk memantau dampak proses MSDM terhadap kinerja organisasi

melalui monitoring konribusi MSDM terhadap pencapaian strategi dan

tujuan organisasi serta berbagai proses utama lainnya. Sub-proses ini

dilakukan secara rinci dengan: (a) monitor impact on business strategy,

yakni pemantauan dampak strategi SDM terhadap strategi serta kinerja

organisasi; (b) monitor impact on people satisfaction, yakni kegiatan


yang dimasudkan untuk menentukan tingkat kepuasan SDM; (c) monitor

impact on manage process, yakni kegiatan yang berkaitan dengan

monitoring kadar strategi MSDM dan implementasinya sehingga dapat

memenuhi semua kebutuhan dalam pengelolaan proses kegiatan; (d)

monitor impact on operate process, yakni kegiatan berkaitan dengan

monitoring kadar kualitas strategi MSDM dan implementasinya dapat

memenuhi semua kebutuhan proses kegiatan (operate processes) yang

terdiri dari get order, develop product, fulfil order, dan support product;

(e) monitor impact on support process, yakni kegiatan yang berkaitan

dengan monitoring kadar kualitas strategi MSDM dan implementasinya

sehingga dapat memenuhi semua kebutuhan proses pendukung (support

processes) yang terdiri dari keuangan dan Teknologi Informasi (TI)

yang dapat mendukung berjalannya fungsi proses.

Model yang ditawarkan Figen Cakar dan kawan-kawan tersebut tentu dapat

dikembangkan sesuai konteks dan kebutuhan. Model MSDM berdasar konteks

tersebut dapat dibangun dengan memanfaatkan semua informasi yang tersaji

dalam berbagai literatur serta selanjutnya dapat terus dikembangkan dengan

melibatkan para ahli dan praktisi.


BAB 10

PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN POTENSI SDM APARATUR

Konstruksi Model MSDM Sektor Publik

Bagaimanakah model hipotesis MSDM sektor publik yang dapat

dikonstruksikan berdasarkan atas usulan Figen Cakar et al (2003) serta

dikaitkan dengan perkembangan paradigma terbaru yang terjadi dalam Ilmu

Administrasi Negara? Untuk itulah sebelum model MSDM sektor publik

dikembangkan, terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat paradigma

terbaru dalam Administrasi Negara yaitu sound governance.

Substansi paradigma sound governance adalah inovasi dalam

pengembangan kebijakan dan administrasi. Era sound governance yang

merefleksikan paradigma terbaru dalam Administrasi Negara tersebut

menyuarakan gaung untuk mengkombinasikan secara unik antar berbagai

komponen dalam MSDM sehingga dapat mendukung bagi terciptanya inovasi

dalam pelayanan publik. Kombinasi tersebut antara lain melibatkan

pengetahuan (knowledge), skill, dan sikap (attitude) serta mengembangkan

kerangka kerja yang mampu untuk memikat (attract), mempertahankan

(retain), mengembangkan (develop), dan memotivasi (motivate) SDM agar

birokrasi mampu memperoleh dan memperkerjakan aparat dengan kriteria

appropriate calibre (Farazmand, 2004: 267). Pandangan Farazmand tersebut

menginspirasi bagi terbentuknya suatu model MSDM sektor publik yang

mampu melahirkan aparat dengan kompetensi utuh mencakup berbagai unsur

yaitu: information and knowledge management, knowledge and access to


modern technology and the internet, mobility/flexibility/speed of people and

processes, continuous learning, attention to cost-effectiveness and results,

client orientation and quality of service, communication and negosiation

skills, dan teamwork and partnerships within and outside the public services.

Dari pandangan inilah model hipotesis dan ideal MSDM sektor publik

kemungkinan dapat dikembangkan. Dengan demikian, kontruksi model

hipotetis MSDM sektor publik untuk mendukung birokrasi yang enabling,

perlu mempertimbangkan beberapa aspek yang telah diuraikan dalam tulisan

ini. Aspek-aspek tersebut meliputi makna signifikan MSDM dalam birokrasi,

prinsip dasar dan peranan MSDM, permasalahan dalam MSDM sektor publik,

upaya aturan hukum pemerintah dalam memayungi SDM apartur dan

pendekatan multi-perspektif dalam MSDM sektor publik, serta

berbagai model teoritis dalam MSDM.

Berkaitan dengan penyusunan model hipotetis MSDM sektor publik

tersebut, terdapat satu catatan penting yang perlu digarisbawahi yakni

kecenderungan sifat atau bentuk model yang mampu mengakomodir berbagai

aspek yang memang harus dipertimbangankan sesuai ide dasar paradigma

sound governance. Model MSDM sektor publik harus dibedakan secara tegas

untuk cenderung bersifat traditional bureaucratic model ataukah new

management approach (Brown, 2004). Menurut Brown, model MSDM sektor

publik saat ini cenderung mengarah pada pendekatan new management, yakni:

“shifted the emphasis in the public sector from administration to management

and was part of a broad strategy to achieve efficiency, effectiveness and quality
of service The new models of HRM in the public sector introduced the notion of

human resources having the capacity to achieve performance outcomes in line

with the strategic direction of the public sector organization”.

Tulisan ini telah menguraikan makna dan peran strategis MSDM, berbagai

masalah dalam birokrasi yang berkaitan dengan kualitas, efisiensi dan

efektifitas, orientasi nilai (value orientation) inovasi paradigma good

governance, serta kecenderungan model MSDM sektor publik ke arah new

management approach. Dengan merujuknya sebagai dasar pemikiran, maka

model hipotetis MSDM sektor publik dapat mengintegrasikan sejumlah konsep

yang oleh Way & Johnson (2005) disebutkan terdiri dari nilai-nilai struktural

(structural allignment), budaya (cultural alignment), kinerja (performance

alignment), lingkungan (environment alignment), kesesuaian (fitness) dan

konsensus, tujuan dan sasaran organisasi, strategi organisasi, strategi MSDM,

sistem MSDM, MSDM strategis dan outcomes MSDM dan organisasi,

dukungan sumber daya (keuangan), serta pemangku kepentingan (terutama

external stakeholders).

Berdasarkan landasan pemikiran yang menghasilkan sejumlah konsep

rinci tentang berbagai elemen dalam organisasi dan MSDM, maka model

hipotetis MSDM sektor publik dapat mengadaptasi suatu kerangka kerja yang

dikembangkan oleh Way & Johnson (2005). Kerangka kerja ini merupakan

suatu model hipotetis yang juga berfungsi sebagai panduan bagi para ahli untuk

meneruskannya dalam berbagai riset dan pengembangan praksisnya.


Dengan mengingat kategori sebagai model hipotetis, model MSDM

sektor publik tersebut bersifat ideal (normatif). Oleh karena kajian mendalam

melalui riset dan mencermati pengalaman praksis, model tersebut dapat

berkembang sesuai perubahan konteks, baik dalam dimensi ruang maupun

waktu.
Daftar Bacaan

1. Amabilea, Teresa M.; Schatzela, Elizabeth A.; Monetaa, Giovanni B.; & Kramer.

Steven J., 2004. Leader behaviors and the work environment for creativity: Perceived

leader support. The Leadership Quarterly. 15: 5–32.

2. Beer, Michael; Spector, Bert; Lawrance, Paul R.; Mills, D. Quinn; & Walton, Richard

E., 1984. Managing human assets: The ground-breaking Harvard Business School

Program. The Free Press. NewYork.

3. Boselie, Paul; Paauwe, Jaap, and Richardson, Ray., 2003. Human resource

management, institutionalization and organizational performance: a comparison of

hospitals, hotels and local government. International Journal of Human Resource

Management. 14 (8): 1407–1429.

4. Boyne, George & Gould-Williams, Julian S., 2003. Planning and performance in public

oganizations: an empirical analysis, Public Management Review. 5 (1): 115–132.

5. Brown, Kerry., 2004. Human resource management in the public sector. Public

Management Review. 6 (3): 303–309.

6. Cakar, Figen.; Bititci, Umit S., & MacBryd, Jillian., 2003. A business process approach

to human resource management. Business Process Management Journal. 9 (2): 190-

207.

7. Chan, Lismen L.M.; Shaffer, Margaret A.; & Snape, Ed., 2004. In search of sustained

competitive advantage: the impact of organizational culture, competitive strategy and

human resource management practices on firm performance. International Journal of

Human Resource Management. 15 (1): 17–35.

8. Eaton, Dorman B., (1880). Civil service reform in Great Britain: A history of abuses

and reforms and their bearing upon American politics, dalam: Shafritz, Jay M.; Hyde,

Albert C.; & Parkes, Sandra J., 2004. Classics of Public Administration.
Wadsworth/Thomson Learning., Belmont, CA.

9. Farazmand, Ali., 2004. Sound governance: Policy and administrative innovations.

Praeger Publishers., Westport, CT.

10. Fombrun, Charles J.; Tichy, Noel M., & Devanna, Mary Anne, 1984. Strategic human

resource management. John Wiley & Sons. New York.

11. Gonza´lez, Santiago Melia´n & Tacorante, Domingo Verano., 2004. A new approach to

the best practices debate: are best practices applied to all employees in the same way?.

International Journal of Human Resource Management. 15 (1): 56–75.

12. Guest, David E., 1987. Human resource management and industrial relations. Journal

of Management Studies. 24 (5): 503-521.

13. Hendry, John; & Pettigrew, Andrew, 1992. Patterns of strategic change in the

development of human resources management. British Journal of Management. 3 (3):

137-56.

14. Henry, Nicholas., 2004. Public administration and public affairs (9th edition). Pearson

Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.

15. Hope, Kempe Ronald Sr., 1999. Human resource management in Botswana: approaches

to enhancing productivity in the public sector. The International Journal of Human

Resource Management. 10 (1): 108-121.

16. Irianto, Jusuf., 2009. Manajemen SDM sebagai titik tumpu perubahan birokrasi. Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Manajemen SDM. FISIP

Universitas Airlangga, Surabaya.

17. Ivancevich, John M.; Donnely, James H. Jr., & Gibson, James, L., 2004. Management:

Principles and functions (4th edition). Richard D. Irwin, Inc., New Delhi.

18. Jacobs, Ronald L., & Washington, Christopher., 2003. Employee development and

organizational performance: a review of literature and directions for future research.


Human Resource Development International. 6(3): 343–354.

19. Keenoy, Tom & Anthony, Peter., 1992. HRM: metaphor, meaning and morality, dalam

Blyton, P. & Turnbull, P. (eds.). Reassesing human resource management. Sage

Publication.

20. Legge, Karen., 1995. Human resources management: Rhetorics and realities.

Macmillan, London.

21. Lengnick-Hall, Mark L. & Lengnick-Hall, Cynthia A., 2003. Human resource

management in the knowledge economy. Berrett-Kohler Publishers Inc., San Fransisco.

22. Mathis, Robert L., & Jackson, John H., 2008. Human resource management (12th).

Thomson South Western. Mason, Ohio.

23. Pattanayak, Biswajeet, 2003. Gaining competitive advantage and business success

through strategic HRD: an Indian experience. Human Resource Development

International. 6 (3): 405– 411.

24. Pynes, Joan E., 2004. Human Resources Management for Public and Nonprofit

Organizations

(Second Edition). Published by Jossey-Bass, San Francisco, CA.

25. Rahman, Abdul bin Idris, & Eldridge, Derek., 1998. Reconceptualising human

resource planning in response to institutional change. International Journal of

Manpower. 19 (5): 343-357.

26. Stroh, Linda K. & Caligiuri, Paula M., 1998. Strategic human resources: a new source

for competitive advantage in the global arena. The International Journal of Human

Resource Management. 9 (1): 1-17.

27. Sadri, Golnaz & Lees, Brian., 2001. Developing corporate culture as a competitive

advantage. Journal of Management Development. 20 (10): 853-859.

28. Storey, J., 1994. Developments in the management of human resources. Basil Blackwell,
Oxford.

29. Tyson, S., 1995. Human resource strategy: Towards a general theory of human

resource anagement. Pitman, London.

30. Vaughan, Sheila., 2003. Performance: self as the principal evaluator. Human Resoruce

Development International. 6 (3): 371–385.

31. Wallace, Joseph; Hunt, James & Richards, Christopher., 1999. The relationship

between organisational culture,organisational climate and managerial values. The

International Journal of Public Sector Management. 12 ( 7): 548-564.

32. Wang, Yonggui & Lo, Hing-Po., 2003. Customer-focused performance and the

dynamic model for competence building and leveraging A resource-based view.

Journal of Management Development. 22 (6): 483-526.

33. Way, Sean. A., & Johnson, Diane, E., 2005. Theorizing about the impact of

strategic human resource management. Human Resource Management Review. 15 (1):

1-19.

34. Wright, Phillip C., & Rudolph, Jake J., 1994. HRM trends in the 1990s: Should local

government buy in?. International Journal of PublicSector Management. 7 (3): pp. 27-

43.

35. Reformasi: Desain strategis birokrasi. Kompas, 06/06/2011.

36. Gayus naik Air Asia di kursi 11F. Suara Pembaruan, 07/0/2011.

37. Iklim usaha: Jangan terlena dengan hasil survei. Kompas, 04/06/2011.

38. Sekretaris Daerah Bekasi divonis 3 tahun penjara. Koran Tempo, 16/11/2010.

39. Tersedot gaji pegawai, anggaran sektor pertanian merosot. Kompas, 04/01/2011.

Anda mungkin juga menyukai