Anda di halaman 1dari 106

UNIVERSITAS INDONESIA

METODE LINE PROFILE: PENDEKATAN TERHADAP


EVALUASI KUANTITATIF CITRA COMPUTED
RADIOGRAPHY TORAKS PADA PASIEN PEDIATRIK

SKRIPSI

HALIMAH HARFAH
1206239176

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM
PROGRAM STUDI S1 FISIKA
DEPOK
JUNI 2016
UNIVERSITAS INDONESIA

METODE LINE PROFILE: PENDEKATAN TERHADAP


EVALUASI KUANTITATIF CITRA COMPUTED
RADIOGRAPHY TORAKS PADA PASIEN PEDIATRIK

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana

HALIMAH HARFAH
1206239176

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM
PROGRAM STUDI S1 FISIKA
DEPOK
JUNI 2016
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah atas segala rahmat, hidayah dan karu-
nia yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul : Metode Line Profile: Pendekatan terhadap Evaluasi Kuantitatif
Citra Computed Radiography Toraks pada Pasien Pediatrik, sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Fisika di Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-bersarnya kepada :

1. Ibu Kristina Tri Wigati, M.Si. , selaku dosen pembimbing I yang telah
dengan sabar dalam membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi
ini berlangsung serta kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan nasi-
hat untuk membimbing dan mengarahkan penulis, serta atas segala per-
hatian selama penelitian hingga skripsi ini dapat diselesaikan, semoga
Allah selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan untuk Ibu.

2. Kakak Lukmanda Evan Lubis, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang


telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan
mengarahkan penulis, serta atas segala perhatian selama penelitian
hingga skripsi ini dapat diselesaikan, semoga Allah selalu memberikan
kesehatan dan kebahagiaan untuk Kakak.

3. Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko, selaku pembimbing utama yang telah


memberikan ide, arahan, inspirasi, semangat dan motivasi, serta nasi-
hat dalam pembuatan skripsi ini. Semoga Allah memberi kesehatan
dan kesejahteraan untuk ibu, dan semoga Allah mempertemukan kita di
Syurga-Nya kelak.

4. Supriyanto Ardjo Pawiro, M.Si., Ph.D, selaku penguji I yang telah


bersabar dan berbaik hati memberikan saran-saran untuk keberlanjutan
skripsi ini. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan
untuk Bapak.

5. dr. Fery Murtopo, Sp.Rad, selaku penguji II yang telah bersabar, berbaik
hati menunggu, mengajarkan, menasihati, dan memberikan motivasi,
serta memberikan saran-saran untuk keberlanjutan skripsi ini. Semoga

iv
v

Allah selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan untuk Bapak dan


semoga Allah mempertemukan kita di Syurga-Nya kelak.

6. Mama, Eva, Bang Samsul dan keluarga, yang selalu mendoakan serta
memberikan semangat selama perkuliahan hingga pengerjaan skripsi, se-
moga Allah mengumpulkan keluarga kita di syurga-Nya kelak.

7. Yusuf Wicaksono yang selalu membantu segala hal dalam pembuatan


skripsi hingga skripsi ini mencapai tahap akhir. Semoga Allah selalu
melindungi dan mempertemukan kita di syurga-Nya kelak.

8. Ayu Puspita Sari, sahabat terbaik yang selalu mendukung, mendoakan,


menjadi pengingat, dan penyemangat dalam segala hal, semoga Allah
mempertemukan kita di syurga-Nya kelak.

9. Linda Isnaeniyah dan Asiati, sahabat-sahabat terbaik yang senantiasa


menjadi inspirasi, mendoakan dan penyemangat diri ketika diri mulai
lalai, semoga Allah mempertemukan kita di syurga-Nya kelak.

10. Tutta Aurum Nisauf, Rofikoh, Muthiara Maharani, Sari, Yuli, Risa,
Ratih, Mutia, Stevy, Dede, Hamdi, Oka, teman-teman yang selalu men-
dukung dan teman seperjuangan penulis. Semoga Allah memberikan
perlindungan dan kesehatan untuk kalian.

11. Jeffry Marselie dan Rizki Andiarto yang selalu berkumpul bersama, men-
gobrol, dan menghibur penulis. Semoga Allah memberikan perlindungan
dan kesehatan untuk kalian.

12. Kak Septi yang telah sangat berbaik hati mendukung segala hal dalam
pembuatan skripsi. Semoga Allah membalas kebaikan Kakak.

13. teman-teman satu penelitian, Yuli Dewi Pratiwi dan Sari Yuliani yang
merupakan teman seperjuangan yang senantiasa mendukung dan mene-
mani penulis. Semoga Allah mempertemukan kita di syurga-Nya kelak.

14. Seluruh Bapak/Ibu dosen Departemen Fisika UI yang telah mengajarkan


banyak ilmu pengetahuan, berbagi pengalaman, serta nasihat-nasihat di
tengah-tengah pembelajaran yang sangat yang sangat bermanfaat dan
tidak akan pernah terlupakan, semoga Allah senantiasa memberikan ke-
berkahan kepada seluruhnya.

Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Halimah Harfah


Program Studi : Fisika
Judul : Metode Line Profile: Pendekatan terhadap Evaluasi
Kuantitatif Citra Computed Radiography Toraks pada
Pasien Pediatrik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan visibilitas metode


line profile sebagai metode evaluasi kuantitatif citra computed radography
toraks pasien pediatrik. Sampel berupa 36 citra toraks pediatrik yang
terdiri dari 26 citra toraks normal dan 10 citra toraks abnormal, diperoleh
dengan menggunakan sistem CR. Line profile dibuat dengan menggunakan
perangkat lunak imageJ dan dikuantisasi menggunakan fortran 90. Setiap
line profile diberi enam perlakuan (metode) yang berbeda, yakni tanpa
modifikasi nilai piksel (metode I), modifikasi nilai piksel menjadi kontras
region of interest (ROI) tulang (metode II), modifikasi nilai piksel menjadi
kontras ROI toraks (metode III), normalisasi rentang nilai piksel (metode IV),
normalisasi rentang nilai piksel dan modifikasi kontras ROI tulang (metode
V), serta normalisasi rentang nilai piksel dan modifikasi kontras ROI toraks
(metode VI). Verifikasi metode dilakukan dengan menggunakan coefficient of
variation (CoV). Metode terbaik dipilih dan digunakan sebagai acuan line
profile normal yang akan dibandingkan dengan line profile citra abnormal.
Untuk membandingkan secara kuantitatif line profile normal dan abnormal,
diskrepansi (δ) digunakan sebagai parameter. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa metode line profile dengan menggunakan normalisasi rentang nilai
piksel adalah metode yang memiliki fisibilitas untuk membedakan citra
normal dan abnormal. Dari metode ini, kelainan dengan δ terkecil adalah
bronchitis dan δ terbesar adalah effusion. Penelitian lanjutan diperlukan
untuk meningkatkan fisibilitas metode ini untuk kasus abnormalitas lain.

Kata Kunci:
Citra toraks, coefficient of variation, computed radiography, diskrepansi, kuan-
titatif, line profile, nilai piksel, pediatrik, ROI toraks, ROI tulang.

viii
ABSTRACT

Name : Halimah Harfah


Program : Fisika
Title : Line Profile Method : An Approach Towards Quantitative
Evaluation of Thorax Computed Radiography Images in Pae-
diatrics Patient

This study was aimed to demonstrate the feasibility of line profile method
in quantitatively evaluating paediatric chest images acquired using computed
radiography (CR). A sample of 36 paediatric chest images, which is 26
normal chest images and 10 abnormal chest images, were obtained using
a CR system and were evaluated quantitatively using line profile. The
method involves the use of imageJ software for profile setting and fortran
90 for quantifying the results. Each line profiles were subjected using six
different quantization methods. These methods are pixel value without
any modification (method I), pixel value modification with contrast of
bone region of interest (ROI) (method II), pixel value modification with
contrast of thorax ROI (method III), filtering pixel value range (method
IV), filtering pixel value range with modification using bone ROI contrast
(method V), as well as filtering pixel value range with modification using
thorax ROI contrast (method VI). Methods were compared by means of
their coefficient of variation (CoV). The best method for normal images was
selected and was used to serve as baseline in distinguishing abnormal images.
To quantitatively compare normal and abnormal line profile, discrepancy (δ)
with the baseline set was used as parameter. Result shows that line profile
method with pixel value range filtering method (method IV) was able to
distinguish abnormal images. From this set of method, the abnormalities
with the smallest δ and the greatest δ was bronchitis and effusion. More thor-
ough studies are required to confirm and improve the feasibility of this method.

Keywords:
Bone ROI, chest images, coefficient of variation, computed radiography, dis-
crepancy, filtering, line profile, paediatric, pixel value, quantitatively, thorax
ROI.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH vii

ABSTRAK viii

Daftar Isi x

Daftar Gambar xii

Daftar Tabel xviii

1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Batasan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.4 Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Prinsip Dasar Pembentukan Citra Radiografi . . . . . . . . . . . 5
2.2 Prinsip Dasar Computed Radiography (CR) . . . . . . . . . . . 7
2.3 Diagnosis dan Evaluasi Kualitatif Citra Toraks Pasien Pediatrik 10
2.4 Diagnosis dan Evaluasi Kuantitatif Citra Toraks Pasien Pediatrik 13

3 METODE PENELITIAN 15
3.1 Koleksi Data Sekunder . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.2 Kuantisasi dan Analisis Citra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.2.1 Definisi Line Profile . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.2.2 Metode Penentuan Line Profile . . . . . . . . . . . . . . 18
3.2.3 Preparasi Citra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19

x
xi

3.2.3.1 Normalisasi Rentang Piksel . . . . . . . . . . . 19


3.2.3.2 Resize . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
3.2.3.3 Kontras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.2.4 Analisis Line Profile . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.2.4.1 Penentuan Metode Terbaik . . . . . . . . . . . 21
3.2.4.2 Penentuan Baseline . . . . . . . . . . . . . . . . 22
3.2.4.3 Perbandingan Line Profile Citra Normal dan
Abnormal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24


4.1 Line Profile Proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
4.1.1 Line Profile Proyeksi AP untuk Pasien Normal . . . . . 26
4.1.2 Line Profile Proyeksi AP untuk Pasien dengan Abnor-
malitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
4.1.3 Pemilihan Metode Line Profile Proyeksi AP (CoV) . . . 37
4.1.4 Perbandingan Line Profile Proyeksi AP antara Pasien
Normal dan Abnormal (δ) . . . . . . . . . . . . . . . . . 38
4.2 Line Profile Proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
4.2.1 Line Profile Proyeksi PA untuk Pasien Normal . . . . . . 43
4.2.2 Line Profile Proyeksi PA untuk Pasien dengan Abnor-
malitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47
4.2.3 Pemilihan Metode Line Profile Proyeksi PA (CoV) . . . 51
4.2.4 Perbandingan Line Profile Proyeksi PA antara Pasien
Normal dan Abnormal (δ) . . . . . . . . . . . . . . . . . 52

5 KESIMPULAN DAN SARAN 55


5.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
5.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55

Daftar Referensi 57

LAMPIRAN 1

Lampiran I 2

Lampiran II 14

Lampiran III 18

Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

2.1 Susunan komponen Radiografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6


2.2 Peristiwa ketika PSP diekspos dengan sinar-X. (Sumber : gam-
bar ini diperoleh dari referensi [22]) . . . . . . . . . . . . . . . . 9
2.3 Perangkat CR reader. (Sumber : gambar ini diperoleh dari
referensi [22]) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.4 Kelenjar timus yang berbentuk seperti sail pada bagian kanan
toraks ditunjukkan oleh panah. (sumber : gambar ini diperoleh
dari referensi [22]) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.5 Anatomi toraks pada pediatrik. (Sumber : gambar ini diperoleh
dari referensi [22]) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.6 Plot profile tool . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2.7 Representasi nilai piksel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14

3.1 Flow chart pengolahan data pada penelitian . . . . . . . . . . . 16


3.2 Penempatan posisi 9 garis uji. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
3.3 Straight line tool. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
3.4 ROI Manager. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.5 Langkah membuat line profile. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.6 Plot profile tool. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
3.7 Metode penentuan line profile . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
3.8 (a) ROI dari tulang dan (b) ROI anatomi toraks. . . . . . . . . 22

4.1 Grafik line profile metode I nilai piksel tanpa normalisasi dan
tanpa kontras pada garis ke-7. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
4.2 Grafik line profile metode II nilai piksel tanpa normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI tulang pada garis ke-7. . . . . . . 26
4.3 Grafik line profile metode III nilai piksel tanpa normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7. . . . . . . 27
4.4 Grafik line profile metode IV nilai piksel dengan normalisasi dan
tanpa kontras pada garis ke-7. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
4.5 Grafik line profile metode V nilai piksel dengan normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI tulang pada garis ke-7. . . . . . . 28

xii
xiii

4.6 Grafik line profile metode VI nilai piksel dengan normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7. . . . . . . 28
4.7 Grafik line profile metode I nilai piksel dengan normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra nor-
mal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . . . 31
4.8 Grafik line profile metode II nilai piksel dengan normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra nor-
mal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . . . 31
4.9 Grafik line profile metode III nilai piksel dengan normalisasi
dan dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra
normal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . 32
4.10 Grafik line profile metode IV nilai piksel dengan normalisasi
dan dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra
normal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . 32
4.11 Grafik line profile metode V nilai piksel dengan normalisasi dan
dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra nor-
mal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . . . 33
4.12 Grafik line profile metode VI nilai piksel dengan normalisasi
dan dengan Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra
normal dan Abnormal (pneumothorax). . . . . . . . . . . . . . . 33
4.13 Perbandingan line profile baseline dan line profile pneumothorax
garis uji ke-3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
4.14 Perbandingan line profile baseline dan line profile effusion garis
uji ke-3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
4.15 Perbandingan line profile baseline dan line profile effusion garis
uji ke-7 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
4.16 Perbandingan line profile baseline dan line profile pneumonia
garis uji ke-3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
4.17 Perbandingan line profile baseline dan line profile cardiomegaly
garis uji ke-4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4.18 Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial
pneumonia garis uji ke-5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4.19 Perbandingan line profile baseline dan line profile cardiomegaly
garis uji ke-3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 42
4.20 Grafik line profile metode I tanpa kontras dan tanpa normalisasi
pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal . . . . . . . . . 43

Universitas Indonesia
xiv

4.21 Grafik line profile metode II dengan kontras ROI tulang dan
tanpa normalisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal 43
4.22 Grafik line profile metode III dengan kontras ROI toraks dan
tanpa normalisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal 44
4.23 Grafik line profile metode IV tanpa kontras dan normalisasi
pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal . . . . . . . . . 44
4.24 Grafik line profile metode V dengan kontras ROI tulang dan
normalisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal . . . 45
4.25 Grafik line profile metode VI dengan kontras ROI toraks dan
normalisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal dan
abnormal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . . . . . . . 45
4.26 Grafik line profile metode I tanpa kontras dan tanpa normal-
isasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan
abnormal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . . . . . . . 47
4.27 Grafik line profile metode II dengan kontras ROI tulang dan
tanpa normalisasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis
normal dan abnormal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . 48
4.28 Grafik line profile metode III dengan kontras ROI toraks dan
tanpa normalisasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis
normal dan abnormal (interstisial pneumonia. . . . . . . . . . . 48
4.29 Grafik line profile metode IV tanpa kontras dan normalisasi
pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnor-
mal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
4.30 Grafik line profile metode V dengan kontras ROI tulang dan
normalisasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal
dan abnormal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . . . . . 49
4.31 Grafik line profile metode VI dengan kontras ROI toraks dan
normalisasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal
dan abnormal (interstisial pneumonia). . . . . . . . . . . . . . . 50
4.32 Perbandingan line profile baseline dan line profile bronchitis
garis uji ke-6 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53
4.33 Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial
pneumonia garis uji ke-6 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53
4.34 Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial
pneumonia garis uji ke-6 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54

Universitas Indonesia
xv

1 Line profile dengan menggunakan metode I (resize tanpa nor-


malisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . 2
2 Line profile dengan menggunakan metode II (kontras terhadap
nilai minimum piksel ROI tulang tanpa normalisasi rentang nilai
piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h)
dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
3 Line profile dengan menggunakan metode III (kontras terhadap
nilai maksimum piksel ROI toraks tanpa normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . 4
4 Line profile dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . 5
5 Line profile dengan menggunakan metode V (kontras terhadap
nilai minimum piksel ROI tulang dengan normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . 6
6 Line profile dengan menggunakan metode VI (kontras terhadap
nilai maksimum piksel ROI toraks dengan normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g),
8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
7 Line profile dengan menggunakan metode I (resize tanpa nor-
malisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . 8
8 Line profile dengan menggunakan metode II (kontras terhadap
nilai minimum piksel ROI tulang tanpa normalisasi rentang nilai
piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h)
dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
9 Line profile dengan menggunakan metode III (kontras terhadap
nilai maksimum piksel ROI toraks tanpa normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . 10
10 Line profile dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . 11

Universitas Indonesia
xvi

11 Line profile dengan menggunakan metode V (kontras terhadap


nilai minimum piksel ROI tulang dengan normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . 12
12 Line profile dengan menggunakan metode VI (kontras terhadap
nilai maksimum piksel ROI toraks dengan normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g),
8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
13 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 1 (pneumotorax)
untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan
9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
14 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 2 (effusion) un-
tuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i)
pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
15 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 4 (effusion) un-
tuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i)
pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
16 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 5 (pneumonia)
untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan
9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
17 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 6 (cardiomegaly
dan interstitial pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d),
5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . 22
18 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 7 (interstitial
pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . 23
19 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 8 (cardiomegaly
ringan) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g),
8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

Universitas Indonesia
xvii

20 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-


malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 3 (bronchitis)
untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan
9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
21 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 9 (interstitial
pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . 26
22 Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan nor-
malisasi rentang nilai piksel) dan abnormalitas 10 (interstitial
pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g),
8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27

Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

2.1 Hubungan densitas material dengan koefisien atenuasi. (Sum-


ber : telah diolah kembali dari [22]) . . . . . . . . . . . . . . . . 7

4.1 Rentang nilai piksel dan kontras untuk Referensi(normal) pada


proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
4.2 Rentang nilai piksel dan kontras untuk pasien dengan abnor-
malitas pada proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
4.3 Perbandingan nilai CoV pada tiap metode (metode) untuk
proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
4.4 Nilai dicrepancy δ dengan metode IV untuk proyeksi AP . . . . 38
4.5 Rentang nilai piksel dan kontras untuk Referensi(normal) pada
proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46
4.6 Rentang nilai piksel dan kontras untuk pasien dengan abnor-
malitas pada proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
4.7 Perbandingan nilai CoV pada tiap metode (metode) untuk
proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
4.8 Nilai dicrepancy δ dengan metode IV untuk proyeksi PA . . . . 52

1 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 1 (pneumothorax)


pada proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 2 (effusion) pada
proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
3 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 4 (Effusion) pada
proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
4 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 5 (pneumonia) pada
proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
5 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 6 (cardiomegaly dan
interstitial pneumonia) pada proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . 15
6 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 7 (interstitial pneumo-
nia) pada proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
7 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 8 (cardiomegaly
ringan) pada proyeksi AP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

xviii
xix

8 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 3 (bronchitis ringan)


pada proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
9 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 9 (interstitial pneumo-
nia ringan) pada proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
10 Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 10 (interstitial pneu-
monia ringan) pada proyeksi PA . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17

Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan radiologi diagnostik terutama dalam mencitrakan radiografi


telah memainkan peranan penting dalam diagnosis dan manajemen pasien
lebih dari 110 tahun [1]. Radiografi sinar-X merupakan bagian dari radiologi
diagnostik dengan peranan yang sangat besar dalam pencitraan medis. Hal
ini dikarenakan, modalitas radiografi ini telah ditemukan terlebih dahulu se-
belum adanya modalitas-modalitas lain, dan paling banyak digunakan dalam
mencitrakan anatomi pasien di berbagai rumah sakit.
Dalam penerapan pada pasien khususnya pasien pediatrik, radiografi sinar-
X merupakan modalitas utama yang didahulukan untuk mencitrakan anatomi
pasien pediatrik. Pada dasarnya, pasien pediatrik lebih sensitif terhadap efek
potensial dari radiasi ionisasi daripada pasien dewasa. Adanya pasien pediatrik
memberikan tantangan bagi fisikawan medis. Oleh karena itu, radiologi diag-
nostik untuk pasien pediatrik memerlukan penanganan khusus dengan mem-
pertimbangkan penggunaan modalitas yang memberikan citra dengan waktu
yang cepat dan dosis yang rendah. Dalam hal ini, radiografi sinar-X meru-
pakan modalitas yang sesuai untuk pencitraan anatomi pasien pediatrik.
Berdasarkan perkembangan teknologi, radiografi sinar-X terdiri dari radio-
grafi konvensional dan radiografi digital. Kedua Radiografi ini memiliki perbe-
daan pada reseptor dan pemrosesan citra. Digital Radiography (DR) terutama
computed radiography (CR) pertama kali diperkenalkan hampir 30 tahun yang
lalu dan sekarang telah dijadikan sebagai teknologi standar hampir di semua
pusat radiologi [2]. Computed radiography (CR) saat ini merupakan modalitas
pencitraan digital yang telah diterima bersama dengan sistem DR [3, 4]. Ke-
unggulan sistem CR dan DR dibandingkan teknologi film-screen telah banyak
diakui [3–6]. Di negara berkembang atau unit radiologi yang kecil, teknologi
CR dapat menjadi pilihan pertama daripada teknologi radiografi digital lain
karena harga dan biaya pengoperasian yang relatif lebih murah [7].
Dalam interpretasi hasil citra, fisikawan medis memiliki standar kualitas
citra yang berupa SNR, line pair, MTF dan lain sebagainya. Sejauh ini, stan-
dar kualitas citra yang dimiliki oleh fisikawan medis tidak digunakan seba-

1
2

gai standar kualitas citra oleh dokter radiologi. Hal ini dikarenakan diagno-
sis dokter radiologi bergantung pada observasi langsung yang mengutamakan
keahlian dokter dalam mendeteksi adanya kondisi kelainan (patologis) pada
citra pasien. Namun, kelemahan dari diagnosis ini adalah terdapat kemung-
kinan terjadinya kesalahan diagnosis akibat luputnya abnormalitas dalam ob-
servasi citra, serta interpretasi yang subyektif. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu proses kuantisasi citra yang dapat menghubungkan standar kualitas citra
dari fisikawan medis dan dokter radiologi.
Proses kuantisasi citra ini merupakan langkah awal terciptanya alat penun-
jang diagnosis dokter radiologi yang berperan dalam meningkatkan akurasi
dan konsistensi diagnosis citra. Alat penunjang ini disebut sebagai computer-
aided diagnosis (CAD). Belakangan ini, CAD telah menjadi salah satu sub-
yek penelitian utama dalam pencitraan medis dan radiologi diagnostik [8–20].
Konsep dasar CAD adalah untuk menyediakan computer output sebagai sec-
ond opinion untuk membantu dokter radiologi dalam interpretasi citra [8–14].
Berbagai macam tipe perencanaan CAD sedang dikembangkan untuk de-
teksi dan/atau karakterisasi berbagai abnormalitas dalam pencitraan medis,
meliputi radiografi, computed tomography (CT), magnetic resonance imag-
ing (MRI) dan ultrasonography (USG). Organ yang biasanya menjadi sub-
yek penelitian CAD meliputi payudara, toraks, usus besar, otak, hati, ginjal,
pembuluh, dan sistem kerangka [21].
Pada skripsi ini, digunakan citra CR toraks dari pasien pediatrik. Citra
tersebut akan dikuantisasi menggunakan metode line profile. Metode line pro-
file diharapkan mampu berperan sebagai pendekatan objektif dalam diagnosis
citra.

1.2 Batasan Masalah

1. Melakukan peninjauan data sekunder citra computed radiography (CR)


pasien pediatrik pada rentang 0-15 tahun berdasarkan jenis pemeriksaan
untuk mengetahui jenis pemeriksaan yang sering dilakukan di Rumah
Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita

2. Melakukan koleksi data sekunder citra computed radiography (CR) toraks


pasien pediatrik dan mengelompokan citra berdasarkan diagnosis dokter
untuk membedakan citra normal dan abnormal

3. Melakukan pemilihan data sekunder dari 500 data citra computed radio-
graphy toraks menjadi 36 data yang terdiri dari 26 data citra normal dan

Universitas Indonesia
3

10 data citra abnormal

4. Melakukan pengelompokan 36 data citra berdasarkan jenis proyeksi


anterior-posterior (AP) dan posterior-anterior (PA) yang terdiri dari
10 citra proyeksi AP dan 16 citra proyeksi PA untuk normal dan 7 citra
proyeksi AP dan 3 citra proyeksi PA untuk abnormal

5. Membandingkan hasil analisis metode line profile dengan hasil interpre-


tasi dokter untuk menganalisa kecocokan antara hasil metode line profile
dengan interpretasi/diagnosis dokter

1.3 Tujuan

Menunjukkan fisibilitas penggunaan metode line profile dalam evaluasi


kuantitatif citra computed radiography (CR) toraks pasien pediatrik.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan adalah sebagai berikut:

• Bab 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang dilakukan kuantisasi citra CR
menggunakan metode line profile, tujuan dilakukannya kuantisasi citra,
batasan masalah, dan sistematika penelitian.

• Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tentang teori-teori penunjang penelitian yang terdiri dari
prinsip dasar pembentukan citra radiografi, prinsip dasar computed ra-
diography, serta evaluasi kualitatif dan kuantitatif citra.

• Bab 3 METODE PENELITIAN


Bab ini berisi penjelasan lengkap mengenai proses koleksi data sekunder,
pembuatan line profile untuk seluruh citra (normal dan abnormal, AP
dan PA) beserta metode kuantisasi dan analisis citra.

• Bab 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini terdiri dari hasil penelitian yang telah diolah dan direpresen-
tasikan dalam bentuk tabel dan grafik dari line profile citra normal dan
abnormal untuk masing-masing proyeksi (AP dan PA), dan perbandin-
gan antara citra abnormal dengan baseline serta analisa mengenai hasil
yang telah diperoleh.

Universitas Indonesia
4

• Bab 5 KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini berisi penarikan kesimpulan berdasarkan tujuan dari penelitian
dan saran yang akan berguna untuk pengembangan dan keberlanjutan
penelitian.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Dasar Pembentukan Citra Radiografi

Radiografi merupakan modalitas pencitraan pertama yang berhasil dibuat


setelah ditemukannya sinar-X pada 8 November 1985 oleh Wilhelm Roent-
gen. Wilhelm Roentgen adalah fisikawan pertama yang berhasil membuat
citra radiografi anatomi manusia. Radiografi merupakan bagian dari radiologi
yang memiliki peranan penting pada diagnostik. Radiografi dapat disebut se-
bagai projection imaging modality, dimana setiap titik pada citra berkaitan
dengan informasi sepanjang lintasan pada tubuh pasien yang dilalui sinar-
X [22]. Modalitas ini terdiri dari rangkaian sumber sinar-X, objek (pasien),
dan detektor dengan konfigurasi seperti pada gambar 2.1. Secara umum, proses
pembentukan citra radiografi diawali dengan sinar-X yang dipancarkan oleh
sumber yang terdiri dari sejumlah foton sinar-X yang kemudian berinteraksi
dengan objek (pasien) dan selanjutnya hanya sebagian foton yang mencapai
detektor dimana citra radiografi terbentuk.
Dasar pembentukan citra radiografi terdiri dari modalitas radiografi, inter-
aksi antara keluaran foton dari modalitas radiografi dan medium yang dilalui
(tubuh pasien), serta interaksi foton dengan detektor. Modalitas radiografi
terdiri dari 4 komponen utama, yaitu X ray tube insert, X ray tube housing,
kolimator, dan generator [22].
Komponen utama radiografi sinar-X memiliki peranan yang berbeda dalam
memproduksi sinar-X. X ray tube insert berisi katoda yang merupakan sumber
elektron dan anoda yang menjadi target elektron, dimana keduanya terletak
didalam kaca vakum. X ray tube housing berguna sebagai pelindung tube
insert. Fungsi lain X ray tube housing adalah sebagai shielding yang dapat
mencegah terjadinya kebocoran sinar-X. Kolimator berguna dalam mengatur
luasan medan sinar-X. Untuk dapat mempercepat elektron mencapai target,
digunakan generator sinar-X untuk memberikan beda potensial yang dikon-
versi menjadi energi kinetik elektron. Elektron berenergi tinggi ini kemudian
menumbuk target dan terjadi interaksi partikel bermuatan dengan materi yang
menghasilkan sinar-X.
Hasil interaksi elektron dengan target merupakan spektrum sinar-X yang

5
6

Gambar 2.1: Susunan komponen Radiografi

terdiri dari sinar-X bremmstrahlung dan sinar-X karakteristik. Sinar-X bremm-


strahlung merupakan hasil dari interaksi coulomb elektron berenergi tinggi de-
ngan elektron disekitar inti yang mengakibatkan pengereman elektron, sedan-
gkan sinar-X karakteristik adalah sinar-X yang dihasilkan dari terlepasnya
elektron yang menyebabkan kekosongan pada orbital elektron sehingga ter-
jadi deeksitasi yang menghasilkan pemancaran foton. Sinar-X yang dihasilkan
ini keluar dari kolimator dengan distribusi yang homogen saat menuju tubuh
pasien .
Ketika sinar-X mencapai tubuh pasien, terjadi interaksi antara foton sinar-
X yang terdistribusi homogen dengan atom pada tubuh pasien. Distribusi
sinar-X yang homogen berubah karena hilangnya sejumlah foton. Peristiwa
ini disebut dengan atenuasi. Terjadinya atenuasi disebabkan oleh adanya in-
teraksi penyerapan dan penghamburan foton dalam jaringan tubuh pasien.
Berdasarkan Hukum Beer-Lambert pada persamaan 2.1,

It = I0 e−µx (2.1)

dimana I0 dan It adalah intensitas sinar-X sebelum dan sesudah mengalami


atenuasi, µ dan x berturut-turut adalah koefisien atenuasi dan ketebalan
medium yang dilalui [23]. Persamaan 2.1 menunjukkan bahwa jumlah fo-
ton hasil interaksi dengan jaringan tubuh pasien bergantung pada koefisien
atenuasi dan ketebalan medium yang dilalui. Tiap foton sinar-X yang melalui
jaringan akan melewati komposisi tubuh (densitas jaringan dan ketebalan)
yang berbeda. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan atenuasi pada se-
tiap titik di tubuh pasien. Sifat atenuasi jaringan tubuh seperti tulang, udara
dan jaringan lunak sangat berbeda dikarenakan perbedaan densitas jaringan,
dimana koefisien atenuasi sebanding dengan densitas (tabel 2.1).

Universitas Indonesia
7
Tabel 2.1: Hubungan densitas material dengan koefisien atenuasi. (Sumber : telah diolah
kembali dari [22])

Densitas
Densitas µ @ 50 keV
Material Elektron
(g/cm3 ) (cm−1 )
(e/cm3 )
Hidrogen 0.000084 0.0005 0.000028
Uap air 0.000598 0.002 0.000128
Udara 0.00129 0.0038 0.00029
Lemak 0.91 3.04 0.193
Es 0.917 3.06 0.196
Air 1 3.34 0.214
Tulang padat 1.85 5.91 0.573

Perbedaan atenuasi menghasilkan distribusi sinar-X heterogen yang keluar


dari tubuh pasien. Jumlah foton sinar-X yang ditransmisikan dari tubuh
pasien berbeda-beda untuk tiap titik yang mencapai detektor sehingga ter-
bentuk citra radiografi. Pada dasarnya, citra radiografi merupakan gambaran
distribusi sinar-X yang heterogen. Detektor yang digunakan pada modalitas
radiografi dapat berupa film fotografi (film-screen) atau sistem detektor elek-
tronik (radiografi digital).

2.2 Prinsip Dasar Computed Radiography (CR)

Sistem pencitraan medis mengalami kemajuan teknologi yang pesat dalam


transisi menuju sistem digital. Modalitas radiografi merupakan modalitas ter-
akhir yang mengalami transisi dari sistem analog ke digital. Hal ini dikare-
nakan detektor modalitas ini (film-screen) memberikan citra dengan kualitas
terbaik sehingga motivasi perubahan menuju dunia digital menjadi semakin
lambat. Dengan dibutuhkannya memori yang cukup besar untuk menyimpan
citra radiografi digital (dengan rentang 4 MB sampai 32 MB) dibandingkan
dengan citra dari modalitas lain (citra CT 0.5 MB), juga mendukung terham-
batnya transisi ke arah sistem digital [22].
Perubahan ke arah sistem digital diawali dengan dikenalkannya computed
radiography (CR) pada tahun 1970 [22]. Detektor dari sistem ini adalah photo-
stimulable phosphor (PSP). Screen PSP merupakan screen yang fleksibel yang
diletakkan didalam kaset seperti detektor film-screen. PSP juga sering dise-
but sebagai storage phosphor atau imaging plate karena penggunaannya yang

Universitas Indonesia
8

dapat menyimpan energi sinar-X.


Imaging plate CR merupakan campuran dari BaFBr dan BaFI yang sering
disebut bariumfluorohalide. Proses radiografi CR identik dengan proses ra-
diografi film-screen. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi pada saat pem-
rosesan citra, yaitu setelah diekspos, dilakukan pencucian film di ruang gelap
(karakteristik sistem analog) untuk film-screen, sedangkan untuk radiografi
CR dilakukan pemrosesan citra CR secara analog dan digital di CR reader
unit.
Pada dasarnya, screen PSP merupakan campuran 85% BaFBr dan 15%
BaFI yang di-doping dengan atom Europium (Eu) [22]. Proses doping menye-
babkan defect pada kristal BaFBr sehingga memudahkan penangkapan elek-
tron secara efisien [22]. Ketika imaging plate diekspos dengan sinar-X, energi
sinar-X yang diserap oleh phosphor BaFBr menyebabkan terjadinya eksitasi
elektron yang berkaitan dengan atom Eu. Elektron ini mengalami eksitasi
dari pita valensi menuju pita konduksi yang mengakibatkan atom Eu men-
galami proses kimia (oksidasi) dari atom Eu divalen (Eu2+ ) menjadi atom Eu
trivalen (Eu3+ ). Elektron yang mengalami eksitasi kemudian bergerak bebas
di pita konduksi dan sebagian elektron berinteraksi dengan F-center. Elektron
kemudian terperangkap di F-center dan berada pada keadaan metastabil de-
ngan tingkatan energi yang lebih tinggi daripada energi pada keadaan di pita
valensi. Banyaknya elektron yang terperangkap di F-center sebanding dengan
banyaknya foton sinar-X yang datang mengekspos setiap titik di imaging plate.
Elektron yang terperangkap ini mencapai jutaan elektron yang disimpan pada
imaging plate selama sehari hingga seminggu dalam bentuk bayangan laten.
Setelah diekspos dan timbul bayangan laten pada imaging plate, proses
selanjutnya adalah pemrosesan imaging plate di CR reader unit. Tahap awal
dilakukan dengan memasukkan kaset ke CR reader unit, dimana pada proses
ini imaging plate dikeluarkan secara mekanik dan ditranslasikan bersamaan de-
ngan dilakukannya scanning menggunakan berkas laser merah. Berkas laser
merah merupakan berkas laser yang memiliki energi kurang dari energi berkas
cahaya biru-hijau (energi gap antara pita valensi dan pita konduksi). Energi
berkas laser merah ini cukup untuk membuat elektron pada F-center terbe-
bas dan mencapai pita konduksi. Pada saat dilakukan scanning, berkas laser
merah diserap oleh elektron yang terperangkap di F-center sehingga elektron
ini mampu mencapai pita konduksi dan kembali bergerak bebas (gambar 2.2).
Elektron yang bergerak bebas mengalami deeksitasi dan memancarkan cahaya
dengan energi sebanding dengan energi gap (cahaya biru-hijau) dan kembali

Universitas Indonesia
9

Gambar 2.2: Peristiwa ketika PSP diekspos dengan sinar-X. (Sumber : gambar ini diper-
oleh dari referensi [22])

ke pita valensi. Hal ini mengakibatkan tereduksinya atom Eu3+ menjadi Eu2+
(elektron kembali diserap oleh atom Eu).
Scanning dilakukan dengan mentranslasikan imaging plate pada arah ver-
tikal dan berkas laser merah menyapu pada arah horizontal, dimana kedua
pergerakan ini menghasilkan scan dengan pola raster (pola persegi panjang de-
ngan garis sejajar). Berkas laser melakukan scanning dengan menggunakan ro-
tating multifaceted mirror yang menyebabkan scanning dilakukan secara beru-
lang pada imaging plate (gambar 2.3). Hal ini dikarenakan satu kali scanning
hanya dapat melepaskan sebagian elektron sehingga diperlukan dua atau tiga
kali scanning. Proses scanning menghasilkan pelepasan energi yang bersesua-
ian dengan posisi (x,y) terjadinya penangkapan energi sinar-X. Cahaya biru-
hijau yang dipancarkan pada proses ini melintas melalui fibreoptic light guide
dan melalui optical filter untuk memastikan hanya cahaya biru-hijau yang
menuju photomultiplier tube (PMT) dan hasilnya dikonversi menjadi sinyal
elektronik. Sinyal ini diubah ke dalam bentuk digital dan disimpan didalam
memori. Oleh karena itu, nilai gray scale yang ditentukan akan bersesuaian
dengan setiap titik (x,y) pada citra sehingga citra digital dapat dihasilkan.
Proses scanning tidak secara sempurna melepaskan seluruh elektron pada
F-center, maka untuk mengosongkan F-center, imaging plate diekspos dengan
sumber cahaya putih yang terang. Hal ini menyebabkan hampir seluruh sisa
elektron pada F-center kembali pada keadaan dasar dan imaging plate dapat
digunakan kembali.

Universitas Indonesia
10

Gambar 2.3: Perangkat CR reader. (Sumber : gambar ini diperoleh dari referensi [22])

2.3 Diagnosis dan Evaluasi Kualitatif Citra Toraks


Pasien Pediatrik

Analisis kualitatif citra dapat dilakukan dengan observasi secara langsung


pada citra. Observasi ini dilakukan dengan membandingkan anatomi tubuh
pada citra terdiagnosis abnormal dengan anatomi tubuh normal (tanpa ke-
lainan).
Pasien pediatrik merupakan pasien anak dengan rentang usia 0-15 tahun.
Pada pasien pediatrik, terdapat beberapa pengaruh teknis pengambilan citra
dan usia dalam interpretasi radiologi. Pengaruh teknis ini terdiri dari proyeksi,
fase respirasi, posisi, artefak, usia dan kelenjar timus [24].
Salah satu karakteristik dari pasien pediatrik adalah kurang kooperatif.
Hal ini mempengaruhi arah proyeksi atau posisi pengambilan citra. Po-
sisi posterior-anterior (PA) merupakan posisi pengambilan citra yang tidak
dimungkinkan bagi kategori pasien pediatrik yang masih belum kooperatif.
Posisi yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan citra pediatrik adalah
anterior-posterior (AP). Oleh karena itu, terdapat perbedaan posisi pengam-
bilan citra bergantung dari sifat kooperatif pediatrik.
Fase respirasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi interpretasi
citra radiografi. Pengambilan citra toraks biasanya dilakukan pada saat inspi-
rasi yang optimal. Dengan inspirasi optimal, bagian anatomi toraks pasien
akan terlihat dengan jelas, terutama bagian tulang rusuk. Bagian tulang
rusuk yang terlihat pada citra dengan inspirasi optimal adalah sebanyak 9-

Universitas Indonesia
11

10 rusuk untuk bagian posterior dan 6-7 rusuk untuk bagian anterior. Jika
inspirasi tidak dilakukan dengan optimal, maka bagian tulang rusuk yang ter-
lihat hanya sekitar 7-8 rusuk posterior, 5-6 rusuk anterior. Fase respirasi yang
tidak benar juga menyebabkan bentuk dari anatomi bayangan jantung terdis-
torsi dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis.
Pengaruh teknis selanjutnya adalah gerakan rotasi pada saat pengambilan
citra. Posisi rotasi dapat terjadi dalam tiga orientasi yang berbeda, yaitu
x,y,z. Terjadinya rotasi dapat menyebabkan hasil citra yang berbeda dikare-
nakan distorsi pada bagian antomi yang rotasi. Rotasi pada arah sumbu x
(kiri-kanan) menyebabkan citra menjadi miring dan terdapat kemungkinan
adanya bagian anatomi yang tidak terlihat jelas. Rotasi pada arah sumbu y
(depan-belakang) dapat menyebabkan sinar-X datang tidak tegak lurus de-
ngan jaringan. Jika pengambilan citra tegak lurus, maka bagian puncak paru-
paru akan terlihat diatas bagian anatomi tulang selangka (clavicula). Rotasi
sumbu y dapat menyebabkan bagian puncak paru-paru menjadi terletak di-
belakang tulang selangka (clavicula). Pada posisi yang benar, letak vertebrae
spinous process adalah ditengah antara ujung tulang selangka. Adanya rotasi
pada arah sumbu z (salah satu sisi kiri/kanan ke arah depan/belakang) da-
pat menyebabkan vertebrae spinous process terletak lebih mendekati tulang
selangka sesuai arah rotasi.
Artefak dapat terjadi karena berbagai hal, dimana pada pasien pediatrik,
artefak sering terjadi pada citra yang diambil dari bayi yang berada pada inku-
bator. Pengaruh adanya inkubator memberikan bayangan tambahan berben-
tuk bulat pada citra yang dapat menyebabkan kesalahan interpretasi. Pada
pasien pediatrik perempuan, artefak pada citra dari disebabkan oleh rambut
dan objek eksternal lain.
Pengaruh usia juga mempengaruhi citra pasien pediatrik. Proses pertum-
buhan dan perkembangan anak terjadi dengan cukup cepat. Pada bayi, bentuk
toraks lebih mendekati segitiga dan memiliki diameter AP yang lebih lebar.
Selain itu, pada bagian anterior pada citra bayi diafragma lebih terlihat tinggi
dan costophrenic angle relatif dangkal.
Faktor lain yang mempengaruhi interpretasi citra toraks pasien pediatrik
adalah kelenjar timus. Pada pasien pediatrik bayi dan neonatal, kelenjar timus
terlihat mencolok sebagai bayangan pada bagian anterior mediastinal dengan
ukuran yang bervariasi yang berbentuk seperti layar kapal (gambar 2.4). Pada
pediatrik dengan rentang usia 2-8 tahun, kelenjar timus tidak terlalu terlihat
pada citra, bahkan tidak visible pada pasien pediatrik dengan usia diatas 8

Universitas Indonesia
12

Gambar 2.4: Kelenjar timus yang berbentuk seperti sail pada bagian kanan toraks ditun-
jukkan oleh panah. (sumber : gambar ini diperoleh dari referensi [22])

tahun [24]. Pengaruh adanya kelenjar timus ini harus dapat dibedakan dengan
abnormalitas.
Dalam meninjau kualitas citra radiografi pada pediatrik, kriteria citra
menurut European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic Radiographic
Images in Pediatrics ialah dilakukan pada saat inspirasi optimal (kecuali un-
tuk foreign body inspiration), reproduksi toraks tanpa rotasi dan miring, repro-
duksi toraks dari puncak paru-paru sampai toraks ke 12 (T12) atau lumbar ke 1
(L1), reproduksi trakea dan brokus, reproduksi yang jelas pada diafragma dan
costo-phrenic angle, dan reproduksi tulang belakang dan struktur paraspinal,
serta visualisasi retrocardiac lung dan mediastinum [25].
Struktur anatomi toraks dapat dilihat pada gambar 2.5. Pada pediatrik
usia muda (bayi), trakea sedikit bergerak dan melengkung secara anterior ke
arah kanan pada saat ekspirasi. Abnormalitas yang biasanya terjadi pada
trakea untuk pasien pediatrik adalah penyempitan subglottic trakea akibat
acute laryngo-tracheo-bronchitis, congenital trachea stenosis atau intralumi-
nal tumour. Pelebaran trakea juga sering terjadi pada pediatrik yang mengi-
dap batuk kronis (cystic fibrosis). Abnormalitas lain dapat berupa pelebaran
bayangan hilar yang disebabkan lymphadenopathy yang berhubungan dengan
pneumonia dan infeksi kronis [24].
Abnormalitas pada toraks juga dapat terlihat pada bagian mediastinum.
Abnormalitas ini dapat berupa massa mediastinal didaerah anterior yang
terindikasi dengan terdeviasinya trakea ke arah posterior pada pasien pen-
derita penyakit lymphoma atau tumor terato-dermoid.
Abnormalitas pada bagian jantung atau cardiac sillhoute dapat diketahui

Universitas Indonesia
13

Gambar 2.5: Anatomi toraks pada pediatrik. (Sumber : gambar ini diperoleh dari referensi
[22])

dari perbandingan lebar bayangan jantung dengan lebar toraks. Perbandin-


gan ini tidak boleh lebih dari 50% [24]. Namun, pada pasien pediatrik dalam
kategori infant, kontur jantung akan besar dengan lebar hingga mencapai 60%
dibandingkan lebar toraks, tetapi hal ini masih dalam kategori normal. Ab-
normalitas yang terjadi pada paru-paru dan rongga pleura ditunjukkan dengan
adanya area yang terfokus atau tergeneralisasi yang mengalami kenaikan atau
penurunan translucency paru-paru, ring shadow, dan pulmonary nodule.

2.4 Diagnosis dan Evaluasi Kuantitatif Citra Toraks


Pasien Pediatrik

Evaluasi citra toraks pasien pediatrik dilakukan dengan metode line pro-
file, yaitu metode yang memanfaatkan plot profile pada analyze tool dari soft-
ware imageJ. Dengan memanfaatkan plot profile ini, maka dapat diketahui
distribusi gray value berdasarkan posisi dalam satuan milimeter yang bers-
esuaian dengan panjang line profile (gambar 2.6). Gray value pada sumbu
y dari grafik line profile atau yang disebut juga nilai piksel merupakan nilai
numerik yang menunjukkan tingkat keabu-abuan pada line profile dari garis
uji yang diletakkan di posisi anatomi yang bersesuaian. Tingkat keabu-abuan
ini berhubungan langsung dengan karakteristik atenuasi sinar-X (intensitas
sinar-X yang mencapai detektor).

Universitas Indonesia
14

Gambar 2.6: Plot profile tool

Besarnya parameter eksposi (kVp dan mAs) dan ketebalan tubuh pasien meru-
pakan faktor yang mempengaruhi banyaknya sinar-X yang mencapai detektor
dan secara tidak langsung berdampak pada rentang nilai piksel pada citra. Ni-
lai piksel minimum direpresentasikan sebagai tingkat keabu-abuan yang ren-
dah, yaitu warna putih, sedangkan nilai piksel maksimum direpresentasikan
sebagai tingkat keabu-abuan tinggi, yaitu warna hitam (gambar 2.7).
Perbedaan nilai piksel di setiap titik pada citra dengan nilai piksel back-
ground menghasilkan citra yang kaya akan anatomic detail. Perbedaan nilai
piksel ini disebut sebagai kontras. Persamaan 2.2 menunjukkan definisi kon-
tras.

A−B
C= (2.2)
B
dimana C adalah Kontras, A adalah nilai piksel di titik tertentu pada citra,
dan B adalah nilai piksel background.

Gambar 2.7: Representasi nilai piksel

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Koleksi Data Sekunder

Koleksi data sekunder diperoleh dari instansi radiologi anak Rumah Sakit
Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita selama periode Mei 2015 hingga Jan-
uari 2016. Jenis citra yang digunakan adalah citra for presentation. Citra
yang telah dikoleksi dikelompokan berdasarkan diagnosis dokter untuk mem-
bedakan citra terdiagnosis normal dan abnormal.
Total jumlah data yang digunakan pada penelitian ini adalah 36 data
yang terdiri dari 26 data citra terdiagnosis normal dan 10 data terdiagno-
sis abnormal. Pengelompokan citra selanjutnya dilakukan berdasarkan jenis
proyeksi radiografi, yaitu anterior-posterior (AP) dan posterior-anterior (PA).
Sebanyak 26 data citra terdiagnosis normal dikelompokan menjadi 10 data
citra proyeksi AP dan 16 citra proyeksi PA. Untuk 10 data citra terdiagnosis
abnormal, pengelompokannya terdiri dari 7 data citra proyeksi AP dan 3 data
proyeksi PA. Abnormalitas yang terjadi terdiri dari 4 jenis patologis, yaitu
pneumothorax, effusion, bronchitis, dan interstitial pneumonia. Alur pengola-
han data penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1.

3.2 Kuantisasi dan Analisis Citra

3.2.1 Definisi Line Profile


Hasil citra computed radiography diolah dengan menggunakan perangkat
lunak imageJ. Proses kuantisasi diawali dengan pembuatan garis uji pada se-
tiap citra. Jumlah garis uji yang dibuat untuk setiap citra terdiri dari 9 garis.
Seluruh garis ditempatkan pada anatomi 9 rusuk yang terlihat jelas pada citra
(gambar 3.2).
Pembuatan garis uji dimulai dari garis antara rusuk 1 dan 2, serta diakhiri
dengan garis antara rusuk 9 dan 10. Acuan anatomi untuk penempatan ujung-
ujung garis uji adalah pada titik pertemuan antara bagian anterior rusuk
atas dan posterior rusuk bawah. Panjang garis uji berbeda-beda bergantung
karakteristik anatomi pasien. Tebal 9 garis uji yang dibuat adalah sebesar 1
piksel.

15
16

Mulai

Koleksi Citra CR
Toraks di RSAB

500 Citra CR Toraks


Pasien Pediatrik

Diagnosis citra oleh


dokter radiologi
dan seleksi sampel

10 Citra Terdiagnosis
Apakah citra
tidak memiliki Abnor-
terdiagnosis
malitas (7 citra AP
normal?
dan 3 citra PA)

Seleksi citra dengan


iya patologis tertentu
26 Citra Terdiagnosis
Normal (10 citra AP
Citra pasien dengan
dan 16 citra PA)
patologis: effusion,
pneumothorax inter-
Pembuatan Line Profile stitial pneumonia,
pada Citra Normal dan bronchitis

9 Line profile Pembuatan Line Profile


pada seluruh citra

9 Line profile pada


Modifikasi Line Pro- seluruh citra abnormal
file (metode II-VI)

Pembuatan line profile


SD dan x untuk menggunakan metode
masing-masing metode dengan CoV terkecil
pada citra normal

Pembuatan base-
line dengan meng- Line profile abnormal
gunakan metode dengan modifikasi
dengan CoV terkecil

Baseline yang Perbandingan baseline


representatif un- citra normal dengan
tuk citra normal line profile abnormal

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.1: Flow chart pengolahan data pada penelitian

Universitas Indonesia
17

Gambar 3.2: Penempatan posisi 9 garis uji.

Gambar 3.3: Straight line tool.

Pembuatan garis uji dilakukan dengan menggunakan straight line tool


(gambar 3.3). Selain itu, digunakan pula pilihan ROI manager pada gam-
bar 3.4 yang berguna untuk mengatur garis uji secara bersamaan. Langkah
selanjutnya adalah pembuatan line profile menggunakan pilihan plot profile
yang terdapat pada analyze tool seperti terlihat pada gambar 3.5. Langkah
tersebut diterapkan pada semua garis. Oleh karena itu, setiap citra akan ter-
diri dari 9 line profile. Setiap garis yang berkaitan langsung dengan line profile
ini dibedakan dan ditandai dengan nama garis uji ke-n.
Hasil plot profile dari garis uji dapat dilihat dari gambar 3.6. Sumbu-x
dari plot profile merepresentasikan posisi disepanjang garis uji yang dinyatakan
dalam satuan milimeter (mm). Sumbu-y merepresentasikan gray value yang
merupakan nilai piksel (tingkat keabu-abuan) dari tiap titik pada garis uji
yang melintasi citra.
Hasil plot profile kemudian disimpan dalam format .dat agar dapat diolah
dengan menggunakan programming bahasa Fortran 90. Setelah diolah, data
dengan format .dat ini di-plot kembali menggunakan GNU plot dengan absis
yang bernilai nol (x=0) adalah pada titik tengah dari garis uji. Namun, nilai

Universitas Indonesia
18

Gambar 3.4: ROI Manager.

Gambar 3.5: Langkah membuat line profile.

pada ordinat (sumbu-y) akan terdiri dari dua jenis nilai, yaitu nilai piksel dan
nilai kontras. Nilai kontras diperoleh dari persamaan 3.3

3.2.2 Metode Penentuan Line Profile


Metode yang diaplikasikan pada tiap line profile dapat dilihat dari gambar
3.7. Berdasarkan gambar 3.7, metode yang diterapkan terdiri dari 6 jenis
metode yang dibagi menjadi tiga jenis metode tanpa normalisasi rentang piksel
dan tiga jenis dengan normalisasi rentang piksel dan masing-masing terdiri dari
nilai piksel asli, nilai piksel dikuantisasi menjadi kontras terhadap nilai piksel
rata-rata dari ROI tulang referensi, dan nilai kontras terhadap nilai piksel

Universitas Indonesia
19

Gambar 3.6: Plot profile tool.

Metode penentuan line profile

Tanpa normalisasi rentang piksel Dengan normalisasi rentang piksel

Nilai kontras Nilai kontras


terhadap nilai Nilai kontras terhadap nilai Nilai kontras
Nilai piksel terhadap nilai Nilai piksel terhadap nilai
piksel rata- piksel rata-
sepanjang garis uji piksel maksimum sepanjang garis uji piksel maksimum
rata dari ROI rata dari ROI
tulang referensi ROI toraks tulang referensi ROI toraks

Metode I Metode II Metode III Metode IV Metode V Metode VI

Gambar 3.7: Metode penentuan line profile

maksimum dari ROI toraks.

3.2.3 Preparasi Citra


3.2.3.1 Normalisasi Rentang Piksel

Metode normalisasi pada penelitian ini merupakan metode yang digu-


nakan untuk menyamakan rentang piksel dari setiap citra. Penerapan metode
ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari berbagai faktor, salah satunya
adalah parameter eksposi. Nilai piksel minimum dan maksimum dari citra di
normalisasi menjadi satu rentang piksel yang sama, yaitu 253 - 4078. Rentang
ini diperoleh dengan menggunakan histogram tool pada perangkat lunak im-
ageJ dengan melihat nilai piksel minimum dan maksimum dari citra. Nilai

Universitas Indonesia
20

piksel sebesar 253 merupakan nilai piksel minimum terbesar dari seluruh citra,
sedangkan nilai piksel sebesar 4078 merupakan nilai piksel maksimum terkecil
dari seluruh citra. Pemilihan rentang tersebut dilakukan agar nilai rentang
piksel yang dipilih termasuk ke dalam nilai piksel yang dimiliki oleh seluruh
citra. Normalisasi rentang piksel dilakukan dengan menggunakan persamaan
3.1,

y − ymin
y = 253 + (4078 − 253) (3.1)
ymax − ymin
dimana y’ dan y adalah nilai piksel sesudah dan sebelum dilakukan penyamaan
rentang piksel, ymin dan ymax adalah nilai piksel minimum dan maksimum dari
line profile.

3.2.3.2 Resize

Untuk membuat sembilan line profile acuan dari seluruh citra terdiagnosis
normal, tiap garis uji yang dikelompokan berdasarkan garis ke-n kemudian
di-plot dalam satu grafik. Hasil plot dari satu line profile untuk setiap data
pasien menunjukkan perbedaan yang mencolok. Perbedaan mendasar yang da-
pat dilihat adalah perbedaan nilai maksimum dari sumbu-x yang merupakan
representasi dari panjang garis ke-n masing-masing citra. Telah diketahui
sebelumnya bahwa perbedaan karakteristik anatomi pasien pediatrik menye-
babkan perbedaan panjang garis dari tiap citra. Perbedaan panjang garis
uji juga berdampak pada perbedaan jumlah titik pada sumbu-x. Perbedaan
ini perlu ditiadakan agar dapat dilakukan proses pembandingan line profile
dari masing-masing citra. Oleh karena itu, dilakukan resize atau adjustment
dan interpolasi pada sumbu-x line profile. Proses resize ini dilakukan dengan
menormalisasi nilai sumbu-x terhadap nilai maksimum. dengan menggunakan
persamaan 3.2.

xmax global
x0 = x (3.2)
xmax
dimana x’ dan x adalah nilai x yang setelah dilakukan resize dan sebelum
dilakukan resize, dan xmax dan xmax global adalah nilai maksimum dari sumbu-
x pada satu line profile dan nilai maksimum dari sumbu-x seluruh citra pada
garis ke-n yang sama.
Setelah dilakukan resize, interpolasi juga dilakukan untuk memperoleh titik
yang bersesuaian. Hal ini dimaksudkan agar setiap titik pada garis uji dapat
diperbandingkan dan diolah menjadi satu baseline. Jenis interpolasi yang digu-

Universitas Indonesia
21

nakan adalah interpolasi lagrange orde-4, dimana interpolasi ini cukup relevan
dikarenakan tidak terjadi perubahan pola trend dari line profile sebelum dan
sesudah di interpolasi. Penerapan interpolasi dilakukan dengan menggunakan
bahasa Fortran 90.

3.2.3.3 Kontras

Pada dasarnya, pembuatan baseline hanya dapat dilakukan apabila tiap


line profile dari garis yang sama memiliki pola yang mirip dan berhimpit satu
sama lain. Tidak berhimpitnya line profile dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, yaitu usia, anatomi, parameter eksposi, ketebalan tubuh dan lain se-
bagainya. Langkah awal untuk mengurangi dampak ini adalah dengan meng-
gunakan metode yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu metode normalisasi
rentang piksel. Metode tambahan yang digunakan adalah Metode Kontras.
Metode kontras yang diterapkan terdiri dari dua jenis, yaitu kontras terhadap
rata-rata nilai piksel dari ROI tulang dan kontras terhadap nilai piksel maksi-
mum dari ROI toraks. Nilai kontras dikalkulasikan menggunakan persamaan
3.3,

y−B
y0 = (3.3)
B
dimana y dan y’ adalah nilai piksel (sumbu-y) sebelum dan sesudah diku-
rangi efek background, dan B adalah nilai piksel background dari citra yang
terdiri dari nilai piksel jaringan tulang dan nilai piksel dari toraks. Penggu-
naan ROI tulang dan ROI toraks bertujuan untuk melihat perbedaan kontras
dari anatomi tanpa abnormalitas dan dengan abnormalitas. Bagian ROI tu-
lang dan toraks dibuat dengan perangkat lunak imageJ, dimana untuk bagian
tulang yang di kontur adalah pertemuan tulang rusuk ke-4 dan k-5 yang ada
dibagian kanan pasien (bagian kiri dari citra), sedangkan untuk bagian toraks
yang di kontur adalah daerah batas rusuk yang melingkupi paru-paru. Bentuk
dari kontur ROI ini dapat dilihat dari gambar 3.8.

3.2.4 Analisis Line Profile


3.2.4.1 Penentuan Metode Terbaik

Penerapan keenam metode dilakukan pada tiap titik data line profile bertu-
juan untuk menentukan metode terbaik yaitu metode yang berhasil memini-
malkan variasi nilai piksel (menghimpitkan line profile) dari berbagai data

Universitas Indonesia
22

Gambar 3.8: (a) ROI dari tulang dan (b) ROI anatomi toraks.

secara efektif. Metode yang terbaik ini akan digunakan sebagai line profile
acuan atau baseline.
Pada dasarnya, metode terbaik dapat ditentukan secara subjektif (visu-
alisasi dari data line profile). Namun, penentuan metode terbaik juga perlu
diverifikasi secara objektif. Oleh karena itu, digunakan parameter untuk men-
verifikasi secara objektif variasi nilai piksel dari seluruh citra pada line profile
dari garis uji yang sama. Parameter tersebut adalah coefficient of variation
(CoV). Nilai CoV dikalkulasi menggunakan persamaan 3.4,

SD
CoV = (3.4)
y
dimana SD adalah nilai standar deviasi dan y adalah nilai piksel rata-rata
dari tiap titik piksel masing-masing citra pada garis uji yang sama [26]. Uji
verifikasi metode terbaik dilakukan dengan membandingkan CoV rata-rata
dari tiap metode. Nilai CoV terkecil menunjukkan kecilnya variasi nilai piksel
masing-masing citra pada garis uji yang sama (berhimpitnya line profile). Oleh
karena itu, metode terbaik ditentukan dari nilai CoV terkecil.

3.2.4.2 Penentuan Baseline

Setelah metode terbaik ditentukan, penentuan baseline dilakukan dengan


menerapkan metode terbaik pada line profile. Baseline dibentuk dari hasil
kuantisasi nilai piksel rata-rata dan standar deviasi pada tiap titik dari masing-
masing citra. Nilai piksel rata-rata diperoleh dari merata-ratakan nilai piksel
dari seluruh citra pada garis uji yang sama. Nilai standar deviasi juga diperoleh
dengan merata-ratakan standar deviasi dari seluruh citra pada urutan garis
uji yang sama. Hasil ini akan dibandingkan dengan hasil kuantifikasi citra
terdiagnosis abnormal dengan menggunakan metode yang sama.

Universitas Indonesia
23

Line profile pada baseline akan terdiri dari line profile rata-rata yang ter-
letak di antara line profile batas atas dan bawah yang merupakan batas toler-
ansi untuk citra normal. Adanya abnormalitas ditunjukkan dari adanya line
profile yang melewati batas atas dan bawah ini. Line profile batas atas meru-
pakan nilai piksel rata-rata dari line profile dijumlahkan dengan nilai tiga
kali standar deviasi, sedangkan line profile batas bawah merupakan nilai pik-
sel rata-rata dari line profile dikurangi dengan nilai tiga kali standar deviasi.
Pemilihan tiga kali standar deviasi ini dilakukan berdasarkan referensi [29,30]
dimana secara statistik nilai outlier merupakan nilai yang berada diluar batas
tiga kali standar deviasi dari nilai rata-rata. Outlier pada dasarnya adalah
nilai error yang bukan berasal dari data.

3.2.4.3 Perbandingan Line Profile Citra Normal dan Abnormal

Parameter pembanding secara kuantitatif line profile normal dan abnormal


yang digunakan pada penelitian ini adalah diskrepansi (δ). Nilai ini menya-
takan tingkat perbedaan line profile dari citra dengan abnormalitas terhadap
citra tanpa abnormalitas. Parameter tersebut dinyatakan dalam persamaan
3.5,

y − y
δ = (3.5)


y

dimana y dan y berturut-turut adalah nilai piksel dari citra abnormal dan nilai
piksel rata-rata dari citra normal (baseline).

Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data citra yang diperoleh, dilakukan identifikasi informasi


yang tertera pada citra. Hasil identifikasi ini ditinjau dan dikelompokkan
dalam beberapa kriteria yang terdiri dari usia pasien, sikap tubuh, bentuk
toraks, bentuk rusuk, proyeksi radiografi, ukuran piksel, dan rentang nilai pik-
sel. Selain itu, dilakukan pula identifikasi pola (trend) dari line profile. Hasil
identifikasi pola yang telah diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam dua
jenis pola yang berbeda. Kedua pola ini berkaitan erat dengan salah satu
kriteria, yaitu proyeksi radiografi. Kedua jenis pola menginterpretasikan je-
nis proyeksi pada saat pengambilan citra, yaitu Anterior-Posterior (AP) dan
Posterior-Anterior (PA). Untuk usia pasien, tidak ditemukan adanya hubun-
gan yang erat antara bentuk/pola line profile dengan kriteria tersebut. Hal
ini dikarenakan adanya perbedaan proyeksi radiografi sangat mempengaruhi
bentuk anatomi yang dicitrakan sehingga pada pasien dengan kelompok usia
yang sama akan memiliki bentuk pola trend line profile yang lebih bervariasi
dibandingkan pada pasien dengan kelompok proyeksi radiografi yang sama.
Selanjutnya dilakukan uji verifikasi metode. Berdasarkan grafik-grafik
pada lampiran, dapat dilihat kecenderungan dari tiap metode dalam mereduksi
perbedaan nilai (jarak antar line profile). Pada dasarnya, reduksi perbedaan
antar line profile bertujuan untuk memperoleh baseline untuk dibandingkan
dengan line profile yang terindikasi memiliki abnormalitas. Secara kualitatif,
visualisasi dari grafik memberikan perbedaan yang jelas terlihat. Perbedaan
ini dapat disebabkan oleh tiga faktor utama yang mempengaruhi interpretasi
citra, yaitu rotasi, fase respirasi dan optimalisasi penetrasi [24].
Pada dasarnya, artefak juga merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk
line profile. Contoh pengaruh artefak adalah selang yang digunakan pada
pasien pediatrik. Adanya selang memberikan kontribusi warna putih pada
citra yang dapat memberikan kesalahan interpretasi pada citra. Namun, hal
ini dapat diantisipasi dengan menandakan daerah yang merupakan gangguan
citra saat dilakukan pengambilan citra.
Berdasarkan keseluruhan grafik line profile (pada lampiran) untuk citra ter-
diagnosis normal, line profile yang sangat fluktuatif dan tidak memiliki pola
adalah line profile dari garis uji ke-1. Hal ini dapat disebabkan oleh rotasi

24
25

pada saat pengambilan citra, perbedaan fase respirasi pada pasien pediatrik,
dan perbedaan penetrasi (untuk memperjelas anatomi). Perbedaan pola line
profile dan fluktuasi yang besar dari line profile pada garis uji ke-1 juga dapat
disebabkan kurang jelasnya posisi acuan anatomi garis uji ke-1, yaitu daerah
diatas puncak paru-paru (apex), dimana pada daerah ini tulang rusuk I dan
II sangat mempengaruhi bentuk dari line profile garis uji ke-1. Tulang rusuk
ke I dan II memiliki kecenderungan posisi dan bentuk yang berbeda pada tiap
pasien, terlebih karena adanya perbedaan posisi tulang selangka (clavicula)
dan perbedaan kondisi pasien (dalam hal ini pasien pediatrik kurang kooper-
atif) sehingga hal ini menyebabkan fluktuasi yang besar pada line profile garis
uji ke-1. Selain itu, adanya anatomic variant pada tulang rusuk cervical yang
berbeda-beda pada tiap pasien juga mempengaruhi bentuk pola line profile
pada garis uji ke-1.
Fluktuasi yang lebih kecil terjadi pada line profile setelah garis uji ke-1,
meskipun pada dasarnya line profile garis uji ke-2 dan ke-3 masih sangat dipen-
garuhi oleh posisi tulang selangka. Fluktuasi line profile kembali besar pada
line profile dari garis uji ke-8. Hal ini dikarenakan, fase respirasi sangat mem-
pengaruhi besar volume paru, dimana line profile pada garis uji ke-8 terletak
di daerah perbatasan dasar paru-paru dan puncak abdomen sehingga dampak
respirasi (inspirasi penuh) sangat mempengaruhi daerah anatomi paru-paru
atau abdomen yang dilewati oleh garis uji. Untuk line profile pada garis uji
lainnya, bentuk line profile tidak terlalu fluktuatif dikarenakan posisi kelima
garis uji ini cukup konsisten, yaitu berada di area paru-paru, kecuali untuk
garis uji ke-9 (melewati daerah abdomen).

Universitas Indonesia
26

4.1 Line Profile Proyeksi AP

4.1.1 Line Profile Proyeksi AP untuk Pasien Normal

Gambar 4.1: Grafik line profile metode I nilai piksel tanpa normalisasi dan tanpa kontras
pada garis ke-7.

Gambar 4.2: Grafik line profile metode II nilai piksel tanpa normalisasi dan dengan Kon-
tras terhadap ROI tulang pada garis ke-7.

Universitas Indonesia
27

Gambar 4.3: Grafik line profile metode III nilai piksel tanpa normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7.

Gambar 4.4: Grafik line profile metode IV nilai piksel dengan normalisasi dan tanpa
kontras pada garis ke-7.

Universitas Indonesia
28

Gambar 4.5: Grafik line profile metode V nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI tulang pada garis ke-7.

Gambar 4.6: Grafik line profile metode VI nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7.

Universitas Indonesia
29
Tabel 4.1: Rentang nilai piksel dan kontras untuk Referensi(normal) pada proyeksi AP

Garis Kontras terhadap ROI Kontras terhadap ROI


Nilai Piksel
ke-n Tulang Toraks
Metode I Metode IV Metode II Metode V Metode III Metode VI
1 925 - 2056 253 - 4078 2,57 - 4,56 -0,82 - 16,56 -0,59 - 0,04 -0,93 - 2,15
2 927 - 3078 253 - 4078 2,52 - 7,76 -0,82 - 16,56 -0,69 - 0,50 -0,93 - 2,15
3 818 - 3353 253 - 4078 2,49 - 9,29 -0,82 - 16,56 -0,72 - 0,86 -0,93 - 2,15
4 718 - 3429 253 - 4078 2,22 - 10,96 -0,82 - 16,56 -0,75 - 0,56 -0,93 - 2,15
5 660 - 3459 253 - 4078 1,98 - 10,44 -0,82 - 16,56 -0,77 - 0,77 -0,93 - 2,15
6 603 - 3331 253 - 4078 1,67 - 11,29 -0,82 - 16,56 -0,79 - 1,10 -0,93 - 2,15
7 605 - 3385 253 - 4078 1,73 - 11,21 -0,82 - 16,56 -0,79 - 1,11 -0,93 - 2,15
8 667 - 3465 253 - 4078 2,01 - 11,64 -0,82 - 16,56 -0,76 - 1,18 -0,93 - 2,15
9 626 - 3330 253 - 4078 1,82 - 12,79 -0,82 - 16,56 -0,78 - 0,72 -0,93 - 2,15

Gambar 4.1 menunjukkan plot dari line profile pada garis uji ke-7 untuk
seluruh citra dengan menggunakan metode I (nilai piksel tanpa normalisasi).
Gambar 4.1 memperlihatkan variasi pola trend line profile yang secara kuali-
tatif tidak terlalu besar, dimana hanya terdapat satu line profile yang terlihat
jelas tidak berhimpit. Perbedaan yang terjadi pada line profile dapat dise-
babkan oleh berbagai faktor, baik teknis, maupun teoritis. Ketiga faktor yang
telah dijelaskan sebelumnya (rotasi, respirasi, penetrasi) merupakan faktor
yang tidak dapat direduksi secara kuantitatif.
Berdasarkan teori, salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas citra
adalah parameter eksposi. Parameter eksposi adalah hal yang mendasari
perbedaan distribusi intensitas sinar-X yang diserap oleh tubuh pasien yang
berdampak langsung pada perbedaan rentang piksel. Hal ini dikarenakan, un-
tuk memperoleh penetrasi optimal bagi tubuh pasien, diperlukan penyesuaian
parameter eksposi terhadap medium yang dilalui sinar-X (tebal tubuh pasien).
Pengaturan parameter eksposi untuk mendapatkan penetrasi yang optimal
ditetapkan berdasarkan ketebalan tubuh pasien oleh radiografer, dimana peng-
ambilan keputusan ini lebih bersifat subjektif. Hal ini menyebabkan adanya
pengaruh besar perbedaan parameter eksposi tiap pasien yang berdampak
langsung pada rentang nilai piksel yang direpresentasikan dalam bentuk citra.
Adanya perbedaan rentang nilai piksel akan memberikan kesulitan dalam pem-
buatan baseline atau line profile standar. Metode ke-II hingga ke-VI meru-
pakan lima metode yang bertujuan untuk mereduksi efek dari berbagai faktor
sehingga diharapkan hal ini dapat mempermudah pembuatan baseline karena

Universitas Indonesia
30

adanya pengurangan perbedaan bentuk line profile.


Gambar 4.2 menunjukkan bahwa metode II tidak dapat menghimpitkan
antar line profile, dimana terdapat dua line profile yang mengalami kenaikan
peak yang cukup mencolok sehingga terjadi perubahan trend. Kedua line
profile yang berbeda trend ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ni-
lai kontras terhadap tulang yang didasari oleh perbedaan parameter eksposi
dan ketebalan tubuh pasien. Secara kualitatif, hasil ini menunjukkan bahwa
metode kedua merupakan metode yang kurang efektif.
Gambar 4.3 juga menunjukkan adanya line profile yang mengalami peruba-
han peak yang cukup mencolok akibat perbedaan kontras dari masing-masing
citra. Metode III pada dasarnya bertujuan untuk memperjelas perbedaan line
profile normal dan abnormal karena nilai kontrasnya adalah terhadap nilai
piksel maksimum dari toraks (nilai piksel jaringan normal). Namun, adanya
perbedaan kontras citra sejak awal menunjukkan bahwa metode III masih
belum feasible untuk pembuatan baseline.
Gambar grafik 4.4 secara kualitatif menunjukkan efektifitas metode ke IV
(normalisasi rentang piksel) dalam menghimpitkan antar line profile sehingga
metode ini lebih feasible dan berpotensi untuk dibuat sebagai baseline. Adanya
penyamaan rentang nilai piksel berperan dalam menarik line profile yang ku-
rang berhimpit menjadi cukup berhimpit akibat adanya pengurangan efek dari
parameter eksposi.
Gambar 4.5 dan 4.6 (metode V dan VI) menunjukkan perubahan yang
tidak mencolok dari metode sebelumnya, yaitu II dan III. Hal ini dikarenakan
line profile dari citra yang telah dilakukan normalisasi rentang piksel akan
memiliki nilai rentang piksel yang lebih besar dan perbandingan kontras yang
sebanding sehingga terjadi perubahan rentang piksel tetapi tidak terjadi pe-
rubahan trend dari line profile.
Tabel 4.1 menunjukkan rentang nilai piksel dan kontras untuk citra normal
dengan proyeksi AP. Pada kolom perbandingan nilai piksel sebelum dan sesu-
dah normalisasi (Metode I dan IV), terlihat perubahan rentang nilai piksel,
dimana rentang nilai piksel setelah dinormalisasi menjadi lebih lebar daripada
sebelum dinormalisasi. Rentang nilai piksel yang semakin lebar ini terjadi
pada semua garis uji. Nilai rentang piksel kontras ROI tulang secara umum
lebih kecil dari nilai rentang piksel kontras ROI toraks. Hal ini terjadi karena
nilai piksel rata-rata tulang jauh lebih kecil daripada nilai piksel maksimum
dari toraks, dimana berdasarkan persamaan 3.3, nilai kontras pada ROI tulang
akan bernilai besar daripada kontras pada ROI toraks.

Universitas Indonesia
31

4.1.2 Line Profile Proyeksi AP untuk Pasien dengan


Abnormalitas

Gambar 4.7: Grafik line profile metode I nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Gambar 4.8: Grafik line profile metode II nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Universitas Indonesia
32

Gambar 4.9: Grafik line profile metode III nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Gambar 4.10: Grafik line profile metode IV nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Universitas Indonesia
33

Gambar 4.11: Grafik line profile metode V nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Gambar 4.12: Grafik line profile metode VI nilai piksel dengan normalisasi dan dengan
Kontras terhadap ROI toraks pada garis ke-7 citra normal dan Abnormal (pneumothorax).

Universitas Indonesia
34
Tabel 4.2: Rentang nilai piksel dan kontras untuk pasien dengan abnormalitas pada proyeksi AP

Garis Kontras terhadap ROI Kontras terhadap ROI


Pasien Nilai Piksel
ke-n Tulang Toraks
Metode I Metode IV Metode II Metode V Metode III Metode VI
1 3 950 - 1852 253 - 4078 -0,09 - 0,78 -0,76 - 2,91 -0,58 - -0,19 -0,89 - 0,79
2 6 393 - 2073 253 - 4078 -0,61 - 1,03 -0,75 - 3,00 -0,87 - -0,33 -0,92 - 0,31
4 7 737 - 3124 253 - 4078 -0,44 - 1,36 -0,81 - 2,08 -0,77 - -0,04 -0,92 - 0,26
5 3 495 - 2164 253 - 4078 -0,39 - 1,66 -0,69 - 4,01 -0,85 - -0,35 -0,92 - 0,23
6 5 753 - 3004 253 - 4078 -0,68 - 0,26 -0,89 - 0,71 -0,81 - -0,24 -0,94 - 0,03
7 5 849 - 2576 253 - 4078 -0,26 - 1,24 -0,78 - 2,54 -0,71 - -0,12 -0,91 - 0,39
8 3 1464 - 3710 253 - 4078 -0,26 - 0,87 -0,87 - 1,05 -0,61 - -0,02 -0,93 - 0,08

Gambar 4.7 menunjukkan perbandingan line profile citra normal dan ab-
normal pada garis uji ke-7 untuk metode I. Line profile ini memperlihatkan
pola yang berbeda antara line profile dari citra normal dan abnormal, dimana
peak pada line profile abnormal lebih rendah dari peak line profile normal yang
menunjukkan bahwa daerah paru-paru pada line profile abnormal lebih putih.
Walaupun metode I merupakan metode tanpa tambahan treatment pada nilai
piksel, metode ini cukup memperlihatkan fisibilitas metode line profile.
Gambar 4.27 menunjukkan perbandingan bentuk line profile dengan
metode II, yaitu kontras terhadap nilai piksel rata-rata dari ROI tulang refer-
ensi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode ini tidak berpotensi sebagai
baseline, tetapi untuk menunjukkan perbedaan antara line profile normal dan
abnormal, cukup terlihat jelas bahwa line profile abnormal memiliki pola yang
tidak fluktuatif dan nilai kontras yang secara umum lebih rendah dari kontras
line profile normal. Hal ini memperlihatkan bahwa line profile yang terdapat
abnormalitas memiliki nilai piksel yang tidak terlalu kontras dengan nilai pik-
sel rata-rata dari ROI tulang, dimana telah diketahui bahwa pada citra abnor-
mal terdapat banyak abnormalitas yang direpresentasikan dengan warna putih
pada citra dengan nilai piksel yang rendah dan tidak berbeda jauh dengan ni-
lai piksel tulang. Oleh karena itu, line profile dari citra dengan abnormalitas
cenderung rendah, berbentuk datar dan monoton. Selain itu, dapat dikatakan
bahwa perhitungan kontras pada metode II cukup efektif dalam memberikan
perbedaan pada line profile normal dan abnormal, tetapi tidak berpotensi un-
tuk digunakan sebagai baseline, serta kurang efektif untuk mengetahui posisi
abnormalitas.
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa penerapan metode III pada line profile

Universitas Indonesia
35

normal (tanpa abnormalitas) dan abnormal (dengan abnormalitas) cukup da-


pat memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Walaupun line profile dengan
metode III ini tidak berpotensi untuk dijadikan baseline, grafik pada gambar
4.9 menunjukkan bahwa kontras terhadap ROI toraks untuk line profile normal
memiliki pola trend yang berbeda dengan line profile abnormal. Perhitungan
kontras menggunakan metode III pada dasarnya bertujuan untuk menonjolkan
abnormalitas dengan cara mengurangi nilai piksel pada tiap titik dengan nilai
piksel maksimum dari toraks (nilai piksel jaringan normal), dimana hal ini
cukup memberikan perbedaan pada pola line profile dikarenakan perbedaan
antara nilai piksel yang kecil pada line profile abnormal (tingkat keabu-abuan
rendah atau warna putih) dan nilai piksel maksimum toraks (tingkat keabu-
abuan tinggi atau warna hitam).
Gambar 4.10 menunjukkan perbandingan line profile garis uji ke-7 untuk
citra normal dan abnormal menggunakan metode IV. Berdasarkan pemba-
hasan sebelumnya, metode IV memiliki potensi untuk dijadikan baseline. Hal
ini juga dapat dibuktikan dari perbandingan menggunakan metode IV pada
gambar 4.10, dimana perbedaan antara line profile normal dan abnormal men-
jadi lebih mencolok daripada menggunakan metode I (tanpa normalisasi).
Gambar selanjutnya adalah gambar 4.11 yang merupakan perbandingan
line profile normal dan abnormal dengan menggunakan metode V. Gambar
4.11 menunjukkan perbandingan yang cukup mencolok antara line profile nor-
mal dan abnormal yang identik dengan gambar 4.8. Perbedaan gambar 4.11
dengan gambar 4.8 hanyalah pada rentang nilai kontras. Hal ini dikarenakan
adanya normalisasi sebelum kalkulasi kontras hanya membuat rentang menjadi
lebar, tetapi nilainya tetap sebanding.
Gambar gambar 4.12 menunjukkan perbandingan line profile normal dan
abnormal menggunakan metode VI. Perbandingan ini memberikan perbedaan
yang sebanding dengan gambar 4.9. Adanya normalisasi pada metode VI jika
dibandingkan dengan metode III hanya memberikan perbedaan rentang nilai,
tetai tidak pada bentuk pola trend dari line profile.
Tabel 4.2 menunjukkan rentang nilai piksel dan kontras dari citra proyeksi
AP untuk pasien dengan abnormalitas. Rentang piksel untuk membandingkan
antara citra normal dan abnormal pada proyeksi AP dapat dilihat dari nilai
piksel minimum dan maksimum terkecil. Hal ini sesuai dengan abnormalitas,
dimana nilai piksel minimum dan maksimum terkecil dapat mengindikasikan
adanya abnormalitas. Nilai piksel terkecil menunjukkan nilai gray scale yang
lebih putih. Citra dengan diagnosis abnormal pada beberapa penyakit tertentu

Universitas Indonesia
36

biasanya memiliki nilai piksel yang rendah sehingga akan terlihat perbedaan
antara citra normal dan abnormal dengan jelas melalui nilai piksel minimum
pada line profile tertentu. Rentang nilai piksel pada metode normalisasi meru-
pakan rentang nilai tidak dapat dibedakan karena telah dilakukan penyamaan
rentang piksel.
Perbandingan rentang piksel antara citra normal dan abnormal pada
proyeksi AP dapat dilihat dari tabel 4.1 dan 4.2. Rentang nilai piksel (metode
I) dari line profile normal secara umum lebih lebar dari rentang nilai piksel
dari line profile abnormal. Hal ini dapat dilihat dari rentang nilai piksel untuk
garis uji ke-3 pada tabel 4.1, yaitu 818-3353, sedangkan untuk garis uji yang
sama pada pasien 1 (tabel 4.2), rentang nilai pikselnya, yaitu 950-1852. Hal
ini terjadi karena citra dengan abnormalitas cenderung memiliki nilai piksel
yang rendah (tingkat keabu-abuan rendah atau warna putih).
Perbedaan rentang nilai kontras juga terlihat jelas antara line profile nor-
mal dan abnormal. Secara umum, terjadi penurunan nilai rentang kontras
ROI tulang pada line profile abnormal. Hal ini dapat dilihat dari garis uji
ke-3, rentang kontras ROI tulang (metode II) untuk citra normal, yaitu 2,49-
9,29, sedangkan rentang kontras citra abnormal, yaitu -0,09-0,78. Adanya
penurunan nilai kontras pada citra abnormal disebabkan oleh adanya abnor-
malitas yang berkontribusi pada rendahnya nilai piksel yang berdampak pada
kecilnya perbedaan dengan nilai piksel dari ROI tulang.
Tabel 4.1 dan 4.2 juga memperlihatkan perbandingan rentang nilai kon-
tras terhadap ROI toraks. Terdapat perbedaan rentang nilai kontras, dimana
pada line profile dengan abnormalitas terjadi penurunan nilai rentang dan
jangkauan (lebar rentang). Hal ini dapat dilihat dari garis uji ke-3, rentang
kontras ROI tulang (metode II) untuk citra normal, yaitu -0,72 - 0,86 sedan-
gkan rentang kontras citra abnormal, yaitu -0,58 - -0,19. Penurunan ini terjadi
dikarenakan adanya representasi abnormalitas (warna putih) pada citra mem-
berikan pengurangan perbedaan (kontras) jaringan normal dan abnormal.

Universitas Indonesia
37

4.1.3 Pemilihan Metode Line Profile Proyeksi AP


(CoV)

Tabel 4.3: Perbandingan nilai CoV pada tiap metode (metode) untuk proyeksi AP

Line Profile CoV pada metode ke-


I II III IV V VI
1 0.32 4.36 0.24 0.43 1.47 3.13
2 0.28 13.6 0.44 0.27 0.45 1.30
3 0.23 1.81 0.55 0.24 0.50 0.96
4 0.25 0.30 0.42 0.22 0.89 0.72
5 0.28 0.71 0.53 0.22 1.82 2.74
6 0.29 1.54 0.64 0.23 0.20 1.45
7 0.24 0.58 0.81 0.20 0.80 0.85
8 0.44 2.18 0.72 0.40 0.14 1.05
9 0.42 1.24 0.14 0.25 0.95 0.83
Rata-rata 0.31 2.92 0.50 0.27 0.80 1.45

Analisis kualitatif pada citra normal proyeksi AP menunjukkan bahwa


metode IV merupakan metode yang cukup efektif dalam menghimpitkan an-
tar line profile pada garis uji yang sama. Hasil analisis ini sejalan dengan
hasil kuantitatif yang ditunjukkan dari parameter cofficient of variation (CoV).
Berdasarkan tabel 4.3, nilai CoV rata-rata terbesar adalah 2,92 (metode II).
Nilai CoV terbesar ini menunjukkan bahwa metode II memiliki line profile
yang paling fluktuatif. Dilain sisi, nilai CoV rata-rata terkecil adalah sebe-
sar 0,27 (metode IV). Nilai CoV terkecil ini menunjukkan cukup berhimpitnya
line profile yang menggunakan metode IV. Hal ini menunjukkan bahwa metode
ke-IV merupakan metode terbaik yang dapat dipilih untuk membuat baseline.

Universitas Indonesia
38

4.1.4 Perbandingan Line Profile Proyeksi AP antara


Pasien Normal dan Abnormal (δ)

Tabel 4.4: Nilai dicrepancy δ dengan metode IV untuk proyeksi AP

Line Profile Diskrepansi (δ) dengan metode IV pada pasien ke-


1 2 4 5 6 7 8
1 5.22 4.71 5.39 4.74 3.34 2.40 5.63
2 5.92 13.50 2.50 9.01 9.42 5.92 7.04
3 4.12 3.48 2.30 2.54 1.62 2.61 2.62
4 6.73 7.49 2.77 4.49 4.94 2.04 4.99
5 4.98 7.22 2.19 3.27 9.03 3.44 5.24
6 6.08 7.18 2.42 3.63 5.60 2.97 3.11
7 6.66 11.31 11.36 4.81 10.36 5.27 3.49
8 3.63 3.41 3.94 2.21 2.72 3.96 3.91
9 0.47 0.48 0.99 0.49 0.79 0.75 0.39
Rata-rata 4.87 6.53 3.76 3.91 5.31 3.26 4.05

Nilai parameter kuantitatif lain yang digunakan pada penelitian ini adalah
diskrepansi (δ). Nilai ini menunjukkan besaran kuantitatif dari perbedaan
line profile citra pasien normal dan abnormal. Diskrepansi (δ) yang diper-
oleh berdasarkan hasil perhitungan dari data dengan penggunaan metode IV
menunjukkan bahwa citra dengan tingkat abnormalitas yang tinggi dapat di-
nyatakan dengan parameter δ yang besar, yaitu pada patologis effusion atau
citra abnormal ke-2 sebesar 6,53. Dilain sisi, citra dengan tingkat abnormali-
tas yang rendah ditunjukkan sebagai nilai parameter δ yang kecil, yaitu 3,26
untuk patologis interstitial pneumonia atau citra abnormal ke-7. Secara kual-
itatif, adanya abnormalitas cukup sebanding dengan besaran kuantitatif yang
diperoleh, dimana citra dengan abnormalitas effusion merupakan citra dengan
banyaknya warna putih pada daerah paru-paru pasien. Hal ini juga dapat
dilihat dari gambar 4.14 dan 4.18, dimana abnormalitas dengan nilai δ terbe-
sar (tingkat lanjut) untuk jenis patologi effusion dapat dilihat perbedaannya
yang cukup besar dengan baseline pada gambar 4.14, sedangkan abnormalitas
dengan nilai δ terkecil pada gambar 4.18 untuk jenis patologi interstitial pneu-
monia memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar dengan baseline (perlu
pengembangan lebih lanjut). Gambar perbandingan baseline dan line profile
abnormal lainnya cukup dapat menunjukkan fisibilitas dari metode ini.

Universitas Indonesia
39

Gambar 4.13: Perbandingan line profile baseline dan line profile pneumothorax garis uji
ke-3

Gambar 4.14: Perbandingan line profile baseline dan line profile effusion garis uji ke-3

Universitas Indonesia
40

Gambar 4.15: Perbandingan line profile baseline dan line profile effusion garis uji ke-7

Gambar 4.16: Perbandingan line profile baseline dan line profile pneumonia garis uji ke-3

Universitas Indonesia
41

Gambar 4.17: Perbandingan line profile baseline dan line profile cardiomegaly garis uji
ke-4

Gambar 4.18: Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial pneumonia
garis uji ke-5

Universitas Indonesia
42

Gambar 4.19: Perbandingan line profile baseline dan line profile cardiomegaly garis uji
ke-3

Universitas Indonesia
43

4.2 Line Profile Proyeksi PA

4.2.1 Line Profile Proyeksi PA untuk Pasien Normal

Gambar 4.20: Grafik line profile metode I tanpa kontras dan tanpa normalisasi pada garis
ke-3 untuk citra terdiagnosis normal

Gambar 4.21: Grafik line profile metode II dengan kontras ROI tulang dan tanpa nor-
malisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal

Universitas Indonesia
44

Gambar 4.22: Grafik line profile metode III dengan kontras ROI toraks dan tanpa nor-
malisasi pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal

Gambar 4.23: Grafik line profile metode IV tanpa kontras dan normalisasi pada garis ke-3
untuk citra terdiagnosis normal

Universitas Indonesia
45

Gambar 4.24: Grafik line profile metode V dengan kontras ROI tulang dan normalisasi
pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal

Gambar 4.25: Grafik line profile metode VI dengan kontras ROI toraks dan normalisasi
pada garis ke-3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneumonia).

Universitas Indonesia
46
Tabel 4.5: Rentang nilai piksel dan kontras untuk Referensi(normal) pada proyeksi PA

Garis Kontras terhadap ROI Kontras terhadap ROI


Nilai Piksel
ke-n Tulang Toraks
Metode I Metode IV Metode II Metode V Metode III Metode VI
1 244 - 2561 253 - 4078 -0,67 - 6,87 -0,76 - 17,39 -0,92 - 0,19 -0,93 - 0,46
2 212 - 3574 253 - 4078 -0,74 - 11,08 -0,76 - 17,39 -0,93 - 0,13 -0,93 - 0,46
3 134 - 3724 253 - 4078 -0,69 - 11,79 -0,76 - 17,39 -0,96 - 0,17 -0,93 - 0,46
4 71 - 3668 253 - 4078 -0,76 - 12,01 -0,76 - 17,39 -0,98 - 0,13 -0,93 - 0,46
5 61 - 3507 253 - 4078 -0,82 - 10,63 -0,76 - 17,39 -0,98 - 0,10 -0,93 - 0,46
6 60 - 3488 253 - 4078 -0,88 - 10,19 -0,76 - 17,39 -0,98 - 0,09 -0,93 - 0,46
7 50 - 3584 253 - 4078 -0,88 - 10,89 -0,76 - 17,39 -0,98 - 0,10 -0,93 - 0,46
8 54 - 3665 253 - 4078 -0,86 - 11,67 -0,76 - 17,39 -0,98 - 0,15 -0,93 - 0,46
9 34 - 3694 253 - 4078 -0,90 - 11,90 -0,76 - 17,39 -0,99 - 0,12 -0,93 - 0,46

Gambar 4.20 menunjukkan line profile citra terdiagnosis normal yang meru-
pakan hasil penerapan metode I, dimana bentuk trend-nya cukup fluktuatif
dan terdapat tiga line profile yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan rentang nilai piksel yang cukup bervariasi. Penyebab lain dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan anatomi yang dilalui oleh garis uji. Hal ini
merupakan limitasi dari metode ini karena hanya digunakan linewidth = 1.
Gambar 4.21 semakin menunjukkan secara kualitatif perbedaan trend antar
line profile. Hal ini didasari oleh adanya parameter eksposi yang berbeda.
Analog dengan citra proyeksi AP, metode II merupakan metode yang tidak
efektif untuk diterapkan pada line profile dalam pembuatan baseline.
Gambar 4.22 juga menunjukkan adanya perubahan trend yang tidak terlalu
mencolok. Hal ini disebabkan adanya kontras alami dari perbedaan parame-
ter eksposi dan belum dilakukannya normalisasi rentang piksel. Oleh karena
itu, metode ini juga tidak efektif untuk diterapkan pada line profile dalam
pembuatan baseline.
Gambar 4.23 memperlihatkan efektifitas metode normalisasi (metode IV)
karena mampu menghimpitkan salah satu line profile yang cukup berbeda se-
belum dilakukan normalisasi. Metode IV merupakan metode yang diterapkan
untuk mengurangi efek dari perbedaan parameter eksposi. Hasil gambar 4.23
menunjukkan secara kualitatif bahwa metode ini berpotensi untuk diterapkan
dalam pembuatan baseline.
Gambar 4.24 dan 4.25 analog dengan gambar 4.21 dan 4.22 yang me-
nunjukkan bahwa normalisasi tidak mengubah pola dari line profile. Pada

Universitas Indonesia
47

dasarnya, secara kualitatif metode VI cukup efektif dalam menghimpitkan,


tetapi masih terdapat line profile yang tidak berhimpit. Hal ini dapat dikare-
nakan perbedaan kontras yang cukup besar dari citra line profile ini.
Tabel 4.5 menunjukkan perbedaan rentang nilai piksel sebelum dan sesudah
dinormalisasi. Analog dengan citra proyeksi AP, rentang nilai piksel pada
proyeksi PA juga mengalami kenaikan jangkauan (lebar) rentang nilai sesudah
dinormalisasi. Hal ini dikarenakan penyamaan rentang piksel dilakukan pada
nilai piksel minimum terbesar dan maksimum terkecil dari citra.

4.2.2 Line Profile Proyeksi PA untuk Pasien dengan


Abnormalitas

Gambar 4.26: Grafik line profile metode I tanpa kontras dan tanpa normalisasi pada Line
profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneumonia).

Universitas Indonesia
48

Gambar 4.27: Grafik line profile metode II dengan kontras ROI tulang dan tanpa normal-
isasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneu-
monia).

Gambar 4.28: Grafik line profile metode III dengan kontras ROI toraks dan tanpa nor-
malisasi pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneu-
monia.

Universitas Indonesia
49

Gambar 4.29: Grafik line profile metode IV tanpa kontras dan normalisasi pada Line
profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneumonia).

Gambar 4.30: Grafik line profile metode V dengan kontras ROI tulang dan normalisasi
pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneumonia).

Universitas Indonesia
50

Gambar 4.31: Grafik line profile metode VI dengan kontras ROI toraks dan normalisasi
pada Line profile 3 untuk citra terdiagnosis normal dan abnormal (interstisial pneumonia).

Tabel 4.6: Rentang nilai piksel dan kontras untuk pasien dengan abnormalitas pada proyeksi PA

Garis Kontras terhadap ROI Kontras terhadap ROI


Pasien Nilai Piksel
ke-n Tulang Toraks
Metode I Metode IV Metode II Metode V Metode III Metode VI
3 6 123 - 2265 253 - 4078 -0,58 - 6,66 -0,14 - 12,79 -0,96 - -0,28 -0,92 - 0,30
9 6 279 - 2777 253 - 4078 -0,58 - 3,20 -0,62 - 5,17 -0,91 - -0,13 -0,92 - 0,28
10 6 110 - 1813 253 - 4078 -0,97 - -0,48 -0,93 - 0,18 -0,97 - -0,43 -0,92 - 0,28

Tabel 4.5 dan 4.6 merupakan tabel yang berisi rentang nilai piksel pada
line profile citra normal dan abnormal. Secara umum, analog dengan citra
proyeksi AP, rentang nilai piksel dan kontras pada citra normal dan abnormal
pada proyeksi PA juga memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Pada nilai
piksel garis uji ke-6 dari citra normal dan abnormal, terjadi penurunan nilai
dan jangkauan (lebar rentang) dari nilai piksel pada citra abnormal. Hal
ini dikarenakan adanya abnormalitas yang direpresentasikan dengan warna
putih pada citra membuat distribusi nilai piksel menjadi menurun. Untuk
rentang nilai kontras, hal yang terjadi pada citra proyeksi AP juga terjadi
pada citra proyeksi PA, dimana terdapat adanya penurunan nilai dari rentang
nilai kontras akibat kontribusi abnormalitas (tingkat keabu-abuan rendah pada
citra).

Universitas Indonesia
51

4.2.3 Pemilihan Metode Line Profile Proyeksi PA


(CoV)

Tabel 4.7: Perbandingan nilai CoV pada tiap metode (metode) untuk proyeksi PA

Line Profile CoV pada metode ke-


I II III IV V VI
1 0.39 1.21 0.15 0.38 0.93 0.90
2 0.39 1.13 0.30 0.31 1.04 3.85
3 0.36 0.78 0.45 0.22 0.53 0.37
4 0.33 0.95 0.41 0.20 0.46 2.00
5 0.37 0.45 0.34 0.22 1.95 6.22
6 0.39 0.64 0.32 0.23 0.56 0.23
7 0.40 0.44 0.35 0.24 0.47 6.98
8 0.58 0.75 0.50 0.42 0.49 1.04
9 0.70 9.56 0.23 0.33 1.02 0.45
Rata-rata 0.43 1.77 0.34 0.28 0.72 2.45

Berdasarkan tabel CoV pada citra proyeksi AP, terlihat bahwa metode
terbaik yang direpresentasikan dengan nilai CoV terkecil adalah pada metode
IV. Hasil ini juga dapat dilihat dari tabel 4.7, dimana nilai CoV terkecil adalah
pada metode ke-IV, yaitu sebesar 0.28. Hasil kuantitatif ini juga menunjukkan
kesesuaian dengan hasil kualitatif sehingga dapat dinyatakan bahwa metode
yang efektif untuk membedakan citra normal dan abnormal adalah metode
ke-IV, yaitu normalisasi rentang piksel.

Universitas Indonesia
52

4.2.4 Perbandingan Line Profile Proyeksi PA antara


Pasien Normal dan Abnormal (δ)

Tabel 4.8: Nilai dicrepancy δ dengan metode IV untuk proyeksi PA

Line Profile Diskrepansi (δ) dengan metode IV


3 9 10
1 0.25 0.23 0.31
2 0.26 0.29 0.32
3 0.14 0.20 0.28
4 0.15 0.19 0.20
5 0.18 0.20 0.17
6 0.20 0.24 0.15
7 0.21 0.26 0.29
8 0.38 0.31 0.38
9 0.23 0.20 0.22
Rata-rata 0.22 0.24 0.26

Nilai parameter kuantitatif (diskrepansi (δ)) yang diperoleh berdasarkan


hasil kuantisasi data dengan metode IV menunjukkan bahwa citra dengan
tingkat abnormalitas yang tinggi dapat dinyatakan dengan parameter δ yang
besar (interstitial pneumonia atau citra pasien abnormal ke-10). Dilain sisi,
citra dengan abnormalitas yang rendah (bronchitis atau citra pasien abnormal
ke-3) juga dapat dilihat sebagai nilai parameter δ yang kecil. Secara kualitatif,
citra dengan abnormal bronchitis memang terlihat lebih normal (tidak terlalu
banyak bercak putih pada citra), dimana hasil ini sejalan dengan hasil kuanti-
tatif. Hal ini dapat dilihat dari gambar 4.32, 4.33, 4.34, dimana abnormalitas
dengan nilai δ terbesar (abnormalitas tingkat lanjut) untuk jenis patologis in-
terstitial pneumonia dapat dilihat perbedaannya dengan baseline pada gambar
4.34, sedangkan abnormalitas dengan nilai δ terkecil pada gambar 4.32 untuk
jenis patologis bronchitis memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar dengan
baseline (perlu pengembangan lebih lanjut). Gambar perbandingan baseline
dan line profile abnormal lainnya cukup dapat menunjukkan fisibilitas dari
metode ini.

Universitas Indonesia
53

Gambar 4.32: Perbandingan line profile baseline dan line profile bronchitis garis uji ke-6

Gambar 4.33: Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial pneumonia
garis uji ke-6

Universitas Indonesia
54

Gambar 4.34: Perbandingan line profile baseline dan line profile interstitial pneumonia
garis uji ke-6

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, kesimpulan yang dapat diperoleh dari


penelitian ini adalah

• Kuantisasi line profile dengan resize dan normalisasi rentang piksel


(metode IV) merupakan metode yang memiliki fisibilitas dalam mem-
bedakan citra dengan diagnosis normal dan diagnosis abnormal.

– Pada citra dengan proyeksi AP, metode IV memiliki nilai CoV terke-
cil, yaitu 0,27, dimana dibandingkan dengan nilai CoV metode yang
lain, yaitu 0,31 (metode I), 2,92 (metode II), 0,50 (metode III), 0,80
(metode V) dan 1,45 (metode VI).
– Pada citra dengan proyeksi PA, metode IV juga memiliki nilai CoV
terkecil, yaitu 0,28, dimana dibandingkan dengan nilai CoV metode
yang lain, yaitu 0,43 (metode I), 1,77 (metode II), 0,34 (metode III),
0,72 (metode V) dan 2,45 (metode VI).

• Metode ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya untuk membedakan citra


terdiagnosis normal dan abnormal, dimana abnormalitas yang terjadi
harus cukup signifikan (abnormalitas tingkat lanjut)

– Pada citra dengan proyeksi AP, nilai diskrepansi (δ) terkecil adalah
3,26 untuk patologi interstitial pneumonia dan nilai diskrepansi (δ)
terbesar adalah 6,53 untuk patologi effusion.
– Pada citra dengan proyeksi PA, nilai diskrepansi (δ) terkecil adalah
0,22 untuk patologi bronchitis dan nilai diskrepansi (δ) terbesar
adalah 0,26 untuk patologi interstitial pneumonia.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah

• Perlunya penambahan citra terdiagnosis normal untuk mendapatkan


baseline yang akurat dan relevan dengan citra normal pada umumnya.

55
56

• Perlu dilakukannya grouping berdasarkan usia, ketebalan tubuh, dan


parameter eksposi agar dapat diperoleh baseline yang relevan dengan
kondisi pasien.

• Perlunya koreksi background pada imaging plate CR untuk menghindari


kesalahan interpretasi citra akibat defect pada imaging plate

• Perlu adanya penambahan database citra untuk tiap patologis agar dapat
ditentukan baseline sesuai jenis patologis.

Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI

[1] Seibert JA, Morin RL. The standardized exposure index for digital radio-
graphy: an opportunity for optimization ofradiation dose to the pediatric
population. Pediatr Radiol. 41(5):573-581. 2011.

[2] Schaefer-Prokop CM, De Boo DW, Uffmann M, Prokop M. DR and CR:


Recent advances in technology.Eur J Radiol. 72:194-201. 2009.

[3] American Association of Physicists in Medicine. Acceptance testing and


quality control of photostimulable storage phosphor imaging systems,
AAPM Report No. 93, Report of AAPM Task Group 10, AAPM. 2006.

[4] Charnock P, Connolly PA, Hughes D, Moores BM. Evaluation and testing
of computed radiography systems. Radiat Prot Dosim. 114:201-7. 2005.

[5] Rowlands JA. The physics of computed radiography. Phys Med Biol.
47:R123-66. 2002.

[6] Walsh C, Gorman D, Byrne P, Larkin A, Dowling A, Malone JF. Quality


assurance of computed and digital radiography systems.Radiat Prot Dosim.
129:271-5. 2008.

[7] Muhogora W, Padovani R, Bonutti F, Msaki P, Kazema R. Performance


evaluation of three computed radiography systems using methods recom-
mended in American Association of Physicists in Medicine Report 93. J
Med Phys. 36:138-46. 2011.

[8] Freer TW, Ulissey MJ. Screening mammography with computer-aided de-
tection: prospective study of 12,860 patients in a community breast center.
Radiology. 220:781-786. 2001.

[9] Gur D, Sumkin JH, Rockette HE, Ganott M, Hakim C, Hardesty L, Poller
WR, Shah R, Wallace L. Changes in breast cancer detection and mam-
mography recall rate after the introduction of a computer-aided detection
system. J Natl Cancer Inst. 96:185-190. 2004.

[10] Birdwell RL, Bandodkar P, Ikeda DM. Computer-aided detection with


screening mammography in a university hospital setting. Radiology.
236:451-457. 2005.

57
58

[11] Cupples TE, Cunningham JE, Reynolds JC. Impact of computer-aided


detection in a regional screening mammography program. AJR. 185:944-
950. 2005.

[12] Morton MJ, Whaley DH, Brandt KR, Amrami KK. Screening mammo-
grams: interpretation with computer-aided detection-prospective evalua-
tion. Radiology. 239:375-383. 2006.

[13] Dean JC, Ilvento CC. Improved cancer detection using computer-aided
detection with diagnostic and screening mammography: prospective study
of 104 cancers. AJR. 187:20-28. 2006.

[14] Destounis SV, DiNitto P, Logan-Young W, Bonaccio E, Zuley ML, Willi-


son KM. Can computer-aided detection with double reading of screening
mammograms help decrease the false-negative rate? Initial experience. Ra-
diology. 232:578-584. 2004.

[15] Butler SA, Gabbay RJ, Kass DA, Siedler DE, O’Shaughnessy KF,
Castellino RA. Computer-aided detection in diagnostic mammography: de-
tection of clinically unsuspected cancers. AJR. 183:1511-1515. 2004.

[16] Nishikawa RM, Haldemann RC, Papaioannou J, Giger ML, Lu P, Schmidt


RA, Wolverton DE, Bick U, Doi K. Initial experience with a prototype clin-
ical ”intelligent” mammography workstation for computer-aided diagnosis.
Proc SPIE. 2434:65-71. 1995.

[17] Schmidt RA, Nishikawa RM, Osnis RB, Schreibman K, Giger ML, Doi
K. Computerized detection of lesions missed by mammography. In: K Doi,
Giger ML, Nishikawa RM, Schmidt RA., editors. Digital Mammography.
Elsevier Science; Amsterdam. pp. 105-110. 1996.

[18] Warren-Burhenne LJ, Wood SA, D’Orsi CJ, et al. Potential contribution
of computer-aided detection to the sensitivity of screening mammography.
Radiology. 215:554-562. 2000.

[19] Giger ML, Huo Z, Kupinski MA, Vyborny CJ. Computer-aided diagnosis
in mammography. In: Fitzpatrick JM, Sonka M, editors. The Handbook
of Medical Imaging, volume 2 Medical Imaging Processing and Analysis.
SPIE. pp. 915-1004. 2000.

[20] Giger ML. Computerized analysis of images in the detection and diagnosis
of breast cancer. Seminars in Ultrasound CT and MRI. 25:411-418. 2004.

Universitas Indonesia
59

[21] Doi K. Current status and future potential of computer-aided diagnosis


in medical imaging. Br J Radiol 78 Spec No 1:S3-S19. 2005.

[22] Bushberg JT, Seibert JA, Leidholt EMJ, Boone JM. The Essential Physics
for Medical Imaging, 2nd ed. Lippincott, William and Walkins. Baltimore.
MD. 2002.

[23] Attix, Frank H. Introduction to Radiological Physics and Radiation


Dosimetry. John Wiley and Sons, Inc. 1986.

[24] Arthur, R. Interpretation of the paediatric chest X-ray. Paediatr Respir


Rev 1:41-50. 2000.

[25] Commission of the European Communities: European guidelines on qual-


ity criteria for diagnostic radiographic images in pediatrics. (Office for Of-
ficial Publications of the European Communities, Luxembourg), Report
EUR 16261. CEC. 1996.

[26] Reed GF, Lynn F, Meade BD. Use of Coefficient of Variation in Assess-
ing Variability of Quantitative Assays. Clinical and Diagnostic Laboratory
Immunology. 2002;9(6):1235-1239. doi:10.1128/CDLI.9.6.1235-1239.2002.

[27] Bramson RT, Griscom NT, Cleveland RH. Interpretation of chest radio-
graphs in infants with cough and fever. Radiology. 236:22-29. 2005.

[28] Sanchez JacobR, Vano-Galvan E, Vano E, et al. Optimising the use of


computed radiography in pediatric chest imaging. J Digit Imaging;22:104-
13. 2009.

[29] Ruan, Da; Chen, Guoqing; Kerre, Etienne. Wets, G., ed. Intelligent Data
Mining: Techniques and Applications. Studies in Computational Intelli-
gence Vol. 5. Springer. p. 318. Berlin. 2005.

[30] Cheung YY, Jung B, Sohn JH, Ogrinc G. Quality initiatives: statistical
control charts-simplifying the analysis of data for quality improvement.
RadioGraphics;32(7):2113-2126. 2012.

Universitas Indonesia
LAMPIRAN
GRAFIK LINE PROFILE KESELURUHAN DATA
UNTUK SELURUH METODE

Line Profile Proyeksi AP

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 1: Line profile dengan menggunakan metode I (resize tanpa normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi
AP.

2
3

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 2: Line profile dengan menggunakan metode II (kontras terhadap nilai minimum
piksel ROI tulang tanpa normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
4

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 3: Line profile dengan menggunakan metode III (kontras terhadap nilai maksi-
mum piksel ROI toraks tanpa normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b),
3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
5

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 4: Line profile dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi


rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i)
pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
6

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 5: Line profile dengan menggunakan metode V (kontras terhadap nilai minimum
piksel ROI tulang dengan normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
7

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 6: Line profile dengan menggunakan metode VI (kontras terhadap nilai maksimum
piksel ROI toraks dengan normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
8

Line Profile Proyeksi PA

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 7: Line profile dengan menggunakan metode I (resize tanpa normalisasi rentang
nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi
PA.

Universitas Indonesia
9

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 8: Line profile dengan menggunakan metode II (kontras terhadap nilai minimum
piksel ROI tulang tanpa normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
10

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 9: Line profile dengan menggunakan metode III (kontras terhadap nilai maksi-
mum piksel ROI toraks tanpa normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b),
3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
11

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 10: Line profile dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi
rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada
proyeksi PA.

Universitas Indonesia
12

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 11: Line profile dengan menggunakan metode V (kontras terhadap nilai minimum
piksel ROI tulang dengan normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
13

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 12: Line profile dengan menggunakan metode VI (kontras terhadap nilai maksi-
mum piksel ROI toraks dengan normalisasi rentang nilai piksel) untuk garis ke 1(a), 2(b),
3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
TABEL RENTANG NILAI PIKSEL SELURUH
ABNORMAL

Tabel Rentang Nilai Piksel Abnormal untuk Proyeksi AP

Tabel 1: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 1 (pneumothorax) pada proyeksi AP

Tabel 2: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 2 (effusion) pada proyeksi AP

14
15
Tabel 3: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 4 (Effusion) pada proyeksi AP

Tabel 4: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 5 (pneumonia) pada proyeksi AP

Tabel 5: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 6 (cardiomegaly dan interstitial pneu-
monia) pada proyeksi AP

Universitas Indonesia
16
Tabel 6: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 7 (interstitial pneumonia) pada proyeksi
AP

Tabel 7: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 8 (cardiomegaly ringan) pada proyeksi
AP

Tabel Rentang Nilai Piksel Abnormal untuk Proyeksi PA

Tabel 8: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 3 (bronchitis ringan) pada proyeksi PA

Universitas Indonesia
17
Tabel 9: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 9 (interstitial pneumonia ringan) pada
proyeksi PA

Tabel 10: Rentang nilai piksel untuk Abnormalitas 10 (interstitial pneumonia ringan) pada
proyeksi PA

Universitas Indonesia
GRAFIK BASELINE DENGAN MENGGUNAKAN
METODE IV BESERTA ABNORMAL

Baseline-Abnormalitas Proyeksi AP

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 13: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 1 (pneumotorax) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e),
6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

18
19

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 14: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 2 (effusion) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
20

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 15: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 4 (effusion) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
21

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 16: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 5 (pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
22

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 17: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 6 (cardiomegaly dan interstitial pneumonia) untuk garis ke
1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
23

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 18: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 7 (interstitial pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
24

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 19: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 8 (cardiomegaly ringan) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d),
5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi AP.

Universitas Indonesia
25

Baseline-Abnormalitas Proyeksi PA

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 20: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 3 (bronchitis) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c), 4(d), 5(e), 6(f),
7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
26

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 21: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 9 (interstitial pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia
27

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 22: Baseline dengan menggunakan metode IV (resize dengan normalisasi rentang
nilai piksel) dan abnormalitas 10 (interstitial pneumonia) untuk garis ke 1(a), 2(b), 3(c),
4(d), 5(e), 6(f), 7(g), 8(h) dan 9(i) pada proyeksi PA.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai