Anda di halaman 1dari 10

Makalah

“Mediasi”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Penyelesaian Sengketa Alternatif

Dosen Pengampu :
Khairunnisa Ginting, S.H., M.Kn.

 
Oleh :
20200475 - Regina Maria M S
Kelas B

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Mediasi” ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Penyelesaian Sengketa Alternatif dengan dosen pengampu Ibu
Khairunnisa Ginting, S.H., M.Kn. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang mediasi bagi para pembaca dan juga bagi kami penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Khairunnisa Ginting, S.H., M.Kn.,
selaku dosen mata kuliah Penyelesaian Sengketa Alternatif yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya melalui tulisan yang terdapat di internet
serta jurnal sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Medan, 16 May 2022


DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A.Pengertian peran dan fungsi Mediator 5
B.Jenis-jenis Mediator 5
C. Perbedaan prinsip mediasi dengan arbitrator 6
D. Peran aktif serta pasif mediator 8
E. Kode Etik Mediator terhadap para pihak 9
BAB III 10
PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
Daftar Pustaka 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” atau penengahan, yaitu
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi. Sedangkan secara etimologi, istilah
mediasi berasal dari bahasa Latin, “mediare” yang berarti berada di tengah. Makna
ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator harus
berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.
Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil
dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang
bersengketa. mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non intervensi) dan
tidak berpihak (imparsial) serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang
bersengketa.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian peran dan fungsi Mediator
2. Jenis - jenis Mediator
3. Perbedaan prinsip mediasi dengan arbitrator
4. Peran aktif serta pasif mediator
5. Kode etik mediator terhadap para pihak

C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana netralitas seorang mediator
2. Mengetahui jenis-jenis mediator
3. Mengetahui letak perbedaan prinsip mediasi dengan arbitrator
4. Mengetahui peran aktif serta pasif seorang mediator
5. Mengetahui kode etik mediator terhadap para pihak
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian peran dan fungsi Mediator

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Dalam pasal 15 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan juga ada diatur mengenai tugas mediator, yaitu:
1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk
dibahas dan disepakati
2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Mediator sangat berperan dalam proses berjalannya mediasi. Karena berhasil dan gagalnya
mediasi sangat ditentukan oleh keterampilan mediator. Mediator juga harus mengatur jadwal
pertemuan para pihak, memimpin, menjaga keseimbangan proses mediasi, dan menyimpulkan
kesepakatan para pihak. Sebagai pihak yang netral, ketika mediator memimpin pertemuan yang
dihadiri kedua belah pihak, mediator harus mengarahkan dan membantu para pihak untuk membuka
komunikasi positif dua arah, karena hal tersebut akan memudahkan proses mediasi selanjutnya.
Komunikasi dua arah yang aktif. Para pihak dipersilakan untuk berbagi masalah yang mereka
hadapi dan juga dapat memberikan umpan balik dan kesadaran dari satu pihak ke pihak lain.
Mediator juga dapat mengadakan sidang tersendiri dimana mediator bertemu dengan para pihak
secara individu (Kaukus).
Syarat seseorang menjadi mediator sebuah kasus atau konflik adalah netral. Ia harus
mengesampingkan berbagai kepentingan yang dimilikinya dan mengedepankan kepentingan bersama
untuk mencapai perdamaian.Kalau tidak netral sulit mendamaikan sebuah konflik, mediator juga
harus paham dengan persoalan yang dihadapi, independen dan bernyali besar.

B.Jenis-jenis Mediator
Pada buku Konflik dan Manajemen Konflik (2010) karya Wirawan, dijelaskan bahwa ada
tiga jenis mediator, yaitu:
1. Mediator jaringan sosial
Mediator jaringan sosial adalah individu yang diminta menjadi seorang mediator karena
mempunyai hubungan dengan para pihak yang terlibat konflik. Individu tersebut merupakan bagian
dari suatu jaringan sosial, seperti seorang teman, tetangga, rekan kerja, kolega bisnis, tokoh agama,
dan sebagainya.
2. Mediator otoritatif
Mediator otoritatif adalah seseorang yang dipilih menjadi mediator karena memiliki
hubungan otoritas dengan para pihak yang terlibat konflik. Misalnya adalah atasan yang memiliki
kapasitas untuk memengaruhi mereka (pihak) yang terlibat konflik. Akan tetapi, mediator jenis ini
tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan. Mediator tersebut hanya membantu
mengembangkan alternatif dan pemilihan alternatif terbaik yang akan diserahkan kepada kedua belah
pihak yang terlibat konflik.

3. Mediator independen
Mediator independen adalah mediator profesional yang melakukan intervensi seara netral
kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Mediator jenis ini, biasanya terdapat dalam budaya yang
telah mengembangkan tradisi bantuan untuk menyelesaikan konflik dengan bantuan profesional.
Anggota budaya tersebut lebih menyukai bantuan dan nasihat dari orang luar yang dianggap tidak
memiliki kepentingan tetap dalam proses intervensi dan solusi konflik. Mediator jenis ini, jelaslah
berbeda dengan mediator jaringan sosial dan mediator otoritatif. Mediator jaringan sosial dan
mediator otoritatif seringkali memiliki kepentingan tertentu dengan pihak-pihak yang terlibat
konflik. Sedangkan mediator independen tidak memiliki kepentingan apapun, alias netral. Ia murni
menjalankan tugasnya sebagai mediator profesional.

C. Perbedaan prinsip mediasi dengan arbitrator

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima
prinsip dasar mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip
tersebut adalah :
1. prinsip kerahasiaan (confidentiality)
2. prinsip sukarela (volunteer)
3. prinsip pemberdayaan (empowerment)
4. prinsip netralitas (neutrality), dan
5. prinsip solusi yang unik (a unique solution)

Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan ini artinya
adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain
tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang mediasi. Kerahasiaan dan ketertutupan ini juga sering
kali menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu, terutama para pengusaha yang tidak menginginkan
masalah yang mereka hadapi dipublikasikan di media massa. Sebaliknya jika sengketa dibawa ke
proses litigasi atau pengadilan, maka secara hukum sidang-sidang pengadilan terbuka untuk umum
karena keterbukaan itu merupakan perintah ketentuan undang-undang. Prinsip kedua, volunteer
(sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan
mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak
luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk
menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ketempat perundingan atas
pilihan mereka sendiri.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa
orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan
masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan
mereka.dalarn hal ini harus diakui dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi atau jalan
penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. penyelesaian sengketa harus muncul dari
pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak
untuk menerima solusinya.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya
menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator
hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang
mediator tidak bertindak. layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya
salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan
penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari
proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas.
Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak,
yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak.
Selanjutnya mengenai prinsip yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party
autonomy. Berbeda dengan litigasi konvensional dalam beracara di arbitrase melekat prinsip party
autonomy (kebebasan pihak). Prinsip party autonomy merupakan prinsip dasar dan sangat penting
dalam arbitrase, Gary B. Born menyatakan bahwa “One of the most fundamental characteristic of
international commercial arbitration is the parties’ freedom to agree upon the arbitral procedure”.
Kebebasan yang diberikan kepada para pihak tersebut membuat arbitrase menjadi suatu metode
penyelesaian sengketa yang fleksibel dan dapat mengakomodasi kepentingan para pihak. Namun,
seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, prinsip party autonomy sering
dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri. Pasal 31(1) UU
Arbitrase mengatur secara tegas bahwa para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang
mereka kehendaki, dengan catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU
Arbitrase itu sendiri.
Prinsip party autonomy dibagi menjadi 4 (empat) tahap. Tahap pertama, yaitu tahap
perancangan perjanjian arbitrase, para pihak bebas menentukan proses arbitrase yang dikehendaki
melalui kesepakatan dan tanpa adanya campur tangan dari pihak ketiga. Para pihak dapat
menentukan tempat dari arbitrase diselenggarakan, hukum yang berlaku, bahasa yang digunakan
dalam proses arbitrase dan jumlah arbiter.
Pada tahap pertama, party autonomy dapat disebut sebagai “self arrange- ment of legal relations by
individuals according to their respective will”41 (pengaturan hubungan hukum oleh individu-
individu sendiri sesuai dengan kehendak masing-masing). Sehingga segalanya tergantung kepada
kehendak para pihak untuk merancang perjanjian arbitrase dengan bebas tanpa kontrol dari manapun.
Tahap selanjutnya adalah tahap kedua, dimulainya tahap ini ditandai dengan diajukannya
permohonan arbitrase, namun majelis belum terbentuk. Peraturan arbitrase yang dipilih para pihak
mulai berlaku pada saat permohonan arbitrase diajukan ke badan arbitrase. Yang mana permohonan
arbitrase tersebut mengakibatkan kebebasan para pihak dibatasi oleh peraturan arbitrase tersebut.
Berikutnya, pada tahap ketiga, majelis telah terbentuk dan mengakibatkan kebebasan para pihak
dibatas oleh kewenangan yang dimiliki oleh majelis. Majelis sebagai pimpinan sidang arbitrase
mempunyai wewenang untuk memberikan arahan apabila para pihak tidak dapat mencapai suatu
kesepakatan atas suatu prosedur. Tahap yang terakhir adalah tahap keempat, dimana pada tahap ini
para pihak mendapatkan kembali kebebasan yang dimilikinya, karena majelis telah menjalankan
tugasnya yaitu memberikan putusan arbitrase.
Prinsip arbitrase berikutnya, yaitu Prinsip Pemisahan atau Separability Principle. Dahulu,
klausula arbitrase yang ada di dalam suatu perjanjian pokok dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan perjanjian pokok. Oleh karena itu, batalnya suatu perjanjian pokok akan diikuti
dengan batalnya klausula arbitrase. Sejak saat itu kewenangan dari majelis arbitrase untuk
memeriksa perkara sering dihalangi oleh perjanjian pokok yang telah batal atau berakhir.
Prinsip arbitrase yang berikutnya yaitu Kompetenz-Kompetenz. Kompetenz-Kompetenz
berasal dari bahasa Jerman yang berarti kewenangan (competence). Kompetenz-Kompetenz dapat
diartikan sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis untuk menentukan
kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis
diajukan kepada majelis dan majelis sendiri lah yang menentukan.

D. Peran aktif serta pasif mediator


Ada beberapa peran mediator yang sering yang ditemukan ketika proses mediasi berjalan.
Peran tersebut antara lain :
1. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak.
2. Menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi dan menguatkan suasana
yang baik.
3. Membantu para pihak untuk mengahadapi situasi atau kenyataan.
4. Mengajar para pihak dalam proses dan ketrampilan tawar menawar.
5. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk
memudahkan penyelesaian masalah.

Peran mediator akan terwujud apabila mediator mempunyai sejumlah keahlian


(skill). Keahlian ini diperoleh melalui sejumlah pendidikan, pelatihan (training) dan sejumlah
pengalaman dalam meyelesaiakan konflik atau sengketa. Mediator sebagai pihak yang netral dapat
menampilkan peran sesuai dengan kapasitasnya.Mediator dapat menjalankan perannya mulai dari
peran terlemah sampai peran yang terkuat.Ada beberapa peran mediator yang termasuk dalam peran
terlemah dan terkuat. Peran-peran ini menunjukkan tingkat tinggi rendahnya kapasitas dan keahlian
(skill) yang dimiliki oleh seorang mediator. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya
menjalankan perannya sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan pertemuan.
2. Pemimpin diskusi rapat.
3. Pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab.
4. Pengendali emosi para pihak.
5. Pendorong pihak/perunding yang kurang mampu atau segan
mengemukakan pandangannya.

Sedangkan sisi peran yang kuat diperlihatkan oleh mediator, apabila mediator
bertindak atau mengerjakan hal-hal dalam proses perundingan, sebagai berikut:
1. Mempersiapkan dan membuat notulen pertemuan.
2. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak.
3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah
pertarungan untuk dimenangkan, akan tetapi untuk diselesaikan.
4. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah.
5. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
E. Kode Etik Mediator terhadap para pihak
Pasal 2 Pedoman Perilaku Mediator, Mediator memiliki tanggung jawab terhadap para pihak
yang dibantu dan terhadap profesinya.
Tanggungjawab mediator terhadap para pihak, menurut Pasal 3 :
1. Mediator wajib memelihara dan mempertahankan ketidakberpihakan nya, baik dalam wujud kata,
sikap dan tingkah laku terhadap para pihak yang terlibat sengketa.
2. Diatur dilarang memengaruhi atau mengarahkan para pihak untuk menghasilkan syarat syarat atau
Klausa-klausa penyelesaian sebuah sengketa yang dapat memberikan keuntungan pribadi bagi
mediator.]
3. Dalam menjalankan fungsinya, mediator harus ber itikat baik, tidak berpihak, dan tidak
mempunyai kepentingan pribadi serta tidak mengorbankan kepentingan para pihak.
Mengenai Proses Mediasi, Setiap mediator berkewajiban untuk menyampaikan laporan secara
tertulis kepada PMN: (i) tentang nama para pihak, atas kasus yang dimediasi paling lambat dalam 2
(dua) minggu setelah proses Mediasi dimulai; (ii) tentang berhasil tidaknya kasus yang dimediasikan
paling lambat dalam 2 (dua) minggu setelah proses mediasi berakhir. Mediator harus berupaya agar
Para Pihak memahami proses Mediasi sebelum Mediasi dimulai.
Dalam menjalankan proses, Mediator berupaya untuk mendorong Para Pihak agar
berpartisipasi aktif dan saling menghormati. Mediator memberitahukan kepada Para Pihak bahwa
Mediasi akan lebih efektif bila Para Pihak yang menghadiri Mediasi dapat mempertimbangkan dan
atau mengusulkan berbagai bentuk alternatif penyelesaian serta memiliki kewenangan penuh dalam
pengambilan keputusan atas hal yang disengketakan.
Mediator yang berprofesi sebagai pengacara tidak diperkenankan untuk bertindak sebagai
kuasa hukum yang mewakili pihak yang bersengketa dalam Mediasi untuk kasus yang sama.
Mediator dan kuasa hukum yang mewakili para pihak dalam suatu kasus mediasi tidak berasal dari
kantor yang sama. Mediator berkewajiban untuk selalu menjaga dan meningkatkan keahlian serta
kemampuannya untuk menghasilkan Mediasi yang berkualitas.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan
guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Peran mediator akan terwujud apabila
mediator mempunyai sejumlah keahlian (skill). Keahlian ini diperoleh melalui sejumlah pendidikan,
pelatihan (training) dan sejumlah pengalaman dalam meyelesaiakan konflik atau sengketa. Mediator
sebagai pihak yang netral dapat menampilkan peran sesuai dengan kapasitasnya. Mediator dapat
menjalankan perannya mulai dari peran terlemah sampai peran yang terkuat.

Daftar Pustaka

http://pa-watampone.net/images/mediasi/pedoman-perilaku-mediator.pdf
https://www.pmn.or.id/wp-content/uploads/2020/06/084_KODE-ETIK
MEDIATOR_PMN_Agt_04-1.pdf
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/36636/117011072.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
https://repository.unri.ac.id/bitstream/handle/123456789/3621/BAB2.pdf?sequence=4&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai