Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIOFARMASETIKA & FARMAKOKINETIK TERAPAN

”Rate Limiting Step, Faktor Fisika Kimia Obat yang berpengaruh pada Bioavailabilitas
dan Bioekivalensi”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Matakuliah Biofarmasetika & Farmakokinetik Terapan

Dosen Pengampu : Apt. Teguh Adiyas P, M.Farm

Disusun oleh :

Kelompok 2

Nama anggota :

Arofah Firda Rahmah 2010203052

Carisya Aprina P.H 2010203008

Diah Ayu Arimbi 2010203013

Uswatun Hasanah 2010203047

Yuli Anggraeni 2010203050

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI 2022/2023

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

CIREBON
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas rahmat, karunia serta
kasih sayang-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Rate limiting step, faktor
fisika kimia obat yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas dan bioekivalensi ini dengan
sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup
para Nabi sekaligus satu-satunya tauladan kita, Nabi Muhammad SAW. tidak lupa pula saya
ucapkan terima kasih kepada Bapak Apt. Teguh Adiyas P, M.Farm, selaku dosen pengampu
mata kuliah Biofarmasetika & Farmakokinetik Terapan.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik
pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.

Oktober, 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Rate Limiting Step.....................................................................................................................4
B. Bioavailabilitas..........................................................................................................................5
C. Bioekivalensi.............................................................................................................................7
D. Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi..........................8
BAB III................................................................................................................................................16
PENUTUP...........................................................................................................................................16
Kesimpulan..........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah suatu obat dilepas dari bentuk sediaannya, obat diabsorpsi ke
dalam jaringan sekitarnya, tubuh, atau keduanya. Distribusi dan eliminasi obat
dalam tubuh berbeda untuk tiap pasien tetapi dapat dikarakterisasi dengan
menggunakan model matematika dan statisika. Farmakokinetika adalah llmu dari
kinetika absorpsi, distribusi, dan eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme)
obat. Deskripsi distribusi dan eliminasi obat sering disebut duposiri orat
Karakterisasi disposisi obat merupakan suatu Persyaratan penting untuk
penentuan atau modifikasi aturan pendosisan untuk individual dan kelompok
pasien.
Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses
absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat
dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk
sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi
dan disolusi. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi,
disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di
atas yang disebut dengan rate limiting step.
Telah diketahui bahwa sebelum dapat diabsorbsi dan memenuhi efek
farmakologis, bentuk sediaan tablet akan melalui proses disintegrasi, deagregasi
dan disolusi. Proses disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna suatu
obat. Partikel-partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi merupakan
proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu
larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu
tahapan penentu (rate limiting step) absorbsi sistemik obat (Sutriyo et al., 2005).
Dengan demikian bahan aktif dalam tablet harus dapat terdisolusi dengan baik
untuk memenuhi ketersediaannya dalam darah sehingga dapat diabsorbsi oleh
saluran cerna.

1
Rate limiting step  adalah tahap yang paling lambat di dalam suatu
rangkaian proses kinetik. Tahap ini disebut juga tahap penentu kecepatan. Untuk
obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil di dalam air, tahap pelarutan
merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu tahap ini mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya,
untuk obat-obat yang memiliki kelarutan besar di dalam air, laju pelarutannya
cepat, tapi sulit untuk menembus membran. Oleh sebab itu, tahap absorpsi
melewati membran merupakan tahap penentu kecepatan.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan
zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut (BPOM, 2004).
Sedangkan Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau
lebih produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama
dikatakan bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama (Chereson,
1996). Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi
farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis
molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga
efeknya akan sama, baik dalam hal efikasi maupun keamanan (BPOM, 2004).
Sebagai Tenaga Teknik Kefarmasian kami menjadikan rate limiting step
dan factor fisika kimia yang mempengaruhi bioavailabilitas dan bioekivalensi
sebagai landasan untuk menentukan jenis sediaan obat dan rute pemberian obat
kepada pasien. Oleh karena itu maklah ini dibuat sebagai acuan bagi kami dan
pembaca.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan rate limiting step?
2. Apa yang dimaksud dengan bioavailabilitas?
3. Apa yang dimaksud dengan bioekivalensi?
4. Apa saja faktor fisika-kimia obat yang mempengaruhi bioavailabilitas dan
bioekivalensi?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi rate limiting step
2. Mengetahui definisi bioavailabilitas

2
3. Mengetahui definisi bioekivalensi
4. Mengetahui factor fisika-kimia obat yang memengaruhi bioavailabilitas
dan bioekivalensi

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Rate Limiting Step
Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi
dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk
sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum
diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi.
Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan
absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang
disebut dengan rate limiting step.
Telah diketahui bahwa sebelum dapat diabsorbsi dan memenuhi efek
farmakologis, bentuk sediaan tablet akan melalui proses disintegrasi, deagregasi
dan disolusi. Proses disintegrasi belum menggambarkan pelarutan sempurna suatu
obat. Partikel-partikel kecil hasil disintegrasi akan terdisolusi. Disolusi merupakan
proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu
larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu
tahapan penentu (rate limiting step) absorbsi sistemik obat (Sutriyo et al., 2005).
Rate limiting step  adalah tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian
proses kinetik. Tahap ini disebut juga tahap penentu kecepatan. Untuk obat-obat
yang mempunyai kelarutan kecil di dalam air, tahap pelarutan merupakan tahap
yang paling lambat, oleh karena itu tahap ini mengakibatkan terjadinya efek
penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya, untuk obat-obat
yang memiliki kelarutan besar di dalam air, laju pelarutannya cepat, tapi sulit
untuk menembus membran. Oleh sebab itu, tahap absorpsi melewati membran
merupakan tahap penentu kecepatan.
Senyawa obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble
drugs) merupakan suatu tantangan dalam perkembangan obat baru. Kelarutan
merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting diperhatikan
pada saat memformulasikan suatu bahan obat menjadi bentuk sediaan (Leuner &
Dressman, 2000). Kelarutan dari suatu obat akan mempengaruhi bioavailabilitas

4
obat itu sendiri. Obat yang mempunyai kelarutan kecil akan memperlambat laju
disolusi obat dan membatasi proses absorpsi gastrointestinal obat karena
kecepatan laju disolusi merupakan tahap penentu (rate-limiting step) pada proses
absorpsi obat tersebut (Shargel et al., 2012).

B. Bioavailabilitas
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan
zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut (BPOM, 2004).
Studi bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui
maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu produk obat
untuk dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat tersebut aman dan
efektif sesuai label indikasi penggunaan (Shargel & Andrew, 2005).
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas absolut
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari
suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut
dengan pemberian intravena.
2. Bioavailabilitas relative
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari
suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain
intravena.

Studi bioavailabilitas digunakan untuk menunjukkan efek sifat fisika kimia


komponen obat dan bentuk sediaan terhadap farmakokinetika obat. Studi
bioekivalensi digunakan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dengan zat
aktif yang sama dari berbagai produk obat. Apabila produk obat tersebut
bioekivalen maka efikasi dan profil keamanan produk-produk obat tersebut dapat
dianggap sama dan dapat digantikan satu dengan yang lain (Shargel, Wu-Pong,
and Yu, 2005).

5
Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada
reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang
penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi
biasanya tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi
bioavailabilitas melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin.
Hal ini berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada
dalam kesetimbangan dinamis dengan obat di dalam darah (Chereson, 1999).

Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada


reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang
penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi
biasanya tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi
bioavailabilitas melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin.
Hal ini berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada
dalam kesetimbangan dinamis dengan obat di dalam darah (Chereson, 1999).

Obat dalam bentuk sediaan padat yang ditujukan untuk penggunaan


sistemik umumnya mengalami absorpsi melalui suatu rangkaian proses, yaitu
disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media
aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik (Shargel
et al., 2005).

Di dalam proses tersebut, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi


ditentukan oleh tahap yang paling lambat. Tahap yang paling lambat di dalam
rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step).

Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat (Malinowski, 2000)

6
C. Bioekivalensi
Istilah ekivalensi atau kesetaraan digunakan dalam perbandingan suatu
produk obat dengan produk obat lainnya. Ada beberapa istilah ekivalensi menurut
Malinowski (2000).
1. Ekivalensi kimia
Jika dua atau lebih bentuk sediaan mengandung obat seperti yang tertera
pada etiket.
2. Ekivalensi klinik.
Jika obat yang sama dalam dua atau lebih bentuk sediaan memberikan efek
in vivo yang identik, yang dapat dilihat dari respon farmakologi atau kontrol
terhadap gejala atau penyakit.
3. Ekivalensi terapeutik.
Ekivalensi terapeutik berarti bahwa dua merk obat diharapkan
menghasilkan efek klinik yang sama.
4. Bioekivalensi.
Jika obat dalam dua atau lebih bentuk sediaan yang sejenis mencapai
sirkulasi sistemik dengan jumlah dan kecepatan yang relatif sama.
5. Ekivalensi farmasetik.
Jika dua produk obat mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk
sediaan dan kekuatan yang sama.

Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih


produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama
dikatakan bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama
(Chereson, 1999).
Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi Badan POM RI, dua produk obat
disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau
merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang
sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya
akan sama, baik dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat

7
mempunyai ekivalensi farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang
sama dalam jumlah dan bentuk sediaan yang sama. Dua produk obat
merupakan alternatif farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama
tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau
kekuatan.
Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA
menghendaki studi bioavailabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan
bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Akibat perkembangan
studi bioavailabilitas dan bioekivalensi, maka diperlukan suatu kepastian bahwa
produk generik bioekivalen terhadap produk dagang sehingga produk generik
tidak perlu diragukan lagi jika diresepkan oleh dokter (Chereson, 1999).

D. Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Bioavailabilitas dan


Bioekivalensi
Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang
diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek
terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai
berikut.
1. Rute dan cara pemberian
Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal,
hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa obat
yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan
dalam jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai
sirkulasi sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga
mengalami first- pass effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan
diabsorpsi (Wagner, 1975).
2. Dosis dan aturan pakai
Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam
darah dapat berada dalam jendela terapi (Wagner, 1975).
3. Efek bentuk sediaan
a. Sifat fisika kimia obat
1) Kelarutan
Factor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat, diantaranya:

8
a) Bentuk Kristal
 Polimorf, Banyak obat memiliki lebih dari satu bentuk
kristal. Hal ini disebut dengan istilah polimorfi, sedangkan
masing-masing bentuk kristal disebut dengan istilah
polimorf. Bentuk polimorf metastabil memiliki kelarutan
dalam air paling besar (Proudfoot, 1990).
 Amorf, bentuk amorf biasanya lebih larut dan laju
disolusinya lebih cepat daripada bentuk kristal (Proudfoot,
1990).
 Solvate adalah bentuk kristal yang terbentuk ketika obat
berikatan dengan molekul pelarut (solvent). Jika pelarutnya
air, maka bentuk solvate dinamakan hidrat. Biasanya semakin
besar solvation pada kristal, maka kelarutan dan laju
disolusinya akan menurun (Proudfoot, 1990).
b) Asam bebas, basa bebas, atau bentuk garam.
Bentuk asam bebas, basa bebas dan bentuk garam dapat
mempengaruhi kelarutan obat. Sebagai contoh : garam logam
alkali dari asam organik lemah (misal : natrium atau kalium
warfarin) akan terdisolusi lebih cepat daripada bentuk asam
lemahnya. Serupa dengan itu, garam asam mineral dari basa
lemah (misal : amina atau sulfat) akan terdisolusi dengan lebih
cepat daripada basa lemahnya (Wagner, 1975).
c) Nilai PKa
Pengaruh nilai pKa dalam kelarutan obat dapat dijelaskan
dalam persamaan Krebs & Speakman :

9
d) Kompleksasi
Laju dan jumlah obat yang diabsorpsi tergantung pada
konsentrasi efektif obat. Kompleksasi dapat mempengaruhi
konsentrasi efektif obat pada cairan gastrointestinal. Contoh
kompleksasi yang terjadi adalah antara mucin dengan obat-obat
tertentu (misal streptomisin) yang membentuk kompleks yang
tidak dapat diabsorpsi (Proudfoot, 1990).
e) Surfaktan
Surfaktan memiliki efek yang bervariasi pada laju disolusi
dan absorpsi. Biasanya surfaktan menurunkan tegangan
permukaan sehingga laju disolusi akan meningkat. Namun jika
konsentrasi surfaktan sudah di atas critical micelle
concentrations, maka surfaktan akan membentuk micelle
dengan obat sehingga laju absorpsi obat akan menurun sebab
obat yang dapat diabsorpsi hanya obat dalam bentuk bebas
(Wagner, 1975).
2) Transport obat
Factor-faktor yang mempengaruhi transport suatu zat, diantaranya:
a) Nilai PKa dan pH
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan
hidrofilik. Obat- obat yang lebih larut dalam lemak akan lebih
mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut
lemak. Bagi obat yang bersifat sebagai elektrolit lemah,
besarnya ionisasi mempengaruhi laju transport obat (Shargel et
al., 2005).

10
b) Ada tidaknya muatan
Muatan pada obat dapat mempengaruhi transport obat
menembus membran. Berdasarkan penelitian Benet dkk.,
ternyata bentuk ion dari obat juga dapat menembus membran
(Wagner, 1975).

c) Koefisien partisi
Semakin besar koefisien partisi obat antara membran dan
lumen, maka laju absorpsi akan semakin besar pula (Wagner,
1975).
d) Molal volume, monomeric atau micellar, dan difusivitas.
Laju difusi micelle lebih lambat daripada laju difusi
monomeric (Wagner, 1975).
e) Stagnant water layer (aqueous diffusion layer).
Perpindahan obat melewati aqueous diffusion layer antara
luminal dan permukaan membran dapat menjadi rate limiting
step dalam proses absorpsi (Wagner, 1975).
b. Factor farmasetika dan pembuatan bentuk sediaan padat
1) Ukuran partikel dan luas permukaan spesifik
Laju disolusi obat berbanding langsung dengan luas
permukaan spesifik (Wagner, 1975). Penurunan ukuran partikel
akan menyebabkan peningkatan luas permukaan spesifik (York,
1990). Laju disolusi, laju absorpsi, keseragaman kandungan dalam
bentuk sediaan dan stabilitas bentuk sediaan tergantung pada
ukuran partikel dan ukuran distribusinya.
2) Static electrification.
Beberapa proses seperti pencampuran dan penyalutan dapat
menghasilkan static electrification. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya agregasi partikel dan terjadinya unmixing (tidak
tercampurnya) obat. Agregasi menyebabkan penurunan luas

11
permukaan sehingga laju disolusi menjadi lebih lambat (Wagner,
1975).
3) Tipe bentuk sediaan.
Pada umumnya, urutan laju absorpsi obat dalam bentuk
sediaan dari yang tercepat hingga terlambat adalah larutan,
suspensi, tablet, tablet salut gula, dan tablet salut enterik. Namun
urutan tersebut dapat berubah jika obat terdegradasi oleh asam di
lambung (Wagner, 1975).
4) Tipe dan jumlah bahan tambahan.
Secara umum, penggunaan bahan tambahan yang tidak
larut air akan menyebabkan laju disolusi dan absorpsi obat
menjadi lebih lambat dibandingkan dengan penggunaan bahan
tambahan yang larut air. Hal ini karena partikel obat akan
diselubungi oleh bahan tambahan yang tidak larut air sehingga
obat menjadi lebih hidrofob. Penambahan garam netral akan
meningkatan disolusi obat (Wagner, 1975).
5) Ukuran granul dan distribusi ukurannya.
Granulasi merupakan salah satu proses dalam pembuatan
tablet. Proses disintegrasi tablet diasumsikan melalui 2 tahap, yaitu
tablet menjadi granul dan granul menjadi partikel kecil. Oleh
karena itu, ukuran granul dan distribusi ukurannya menjadi penting
untuk diperhatikan (Wagner, 1975).
6) Tipe dan jumlah bahan penghancur.
Bahan penghancur akan mengembang oleh adanya air dan
mendesak tablet untuk hancur. Semakin banyak jumlah bahan
penghancur yang digunakan, maka tablet semakin mudah hancur
(Wagner, 1975).
7) Waktu pencampuran.
Dalam proses pencampuran terdapat waktu optimum, di
mana setelah waktu optimum terlewati, obat menjadi tidak
tercampur lagi (Wagner, 1975).
8) Tekanan dan kecepatan kompresi

12
Tekanan kompresi merupakan faktor penentu waktu hancur
dan laju disolusi obat dari tablet (Wagner, 1975).
9) Penyalutan (salut film, salut gula, salut enterik).
Tablet salut film terdisolusi lebih cepat daripada tablet salut
gula. Tablet salut gula biasanya lebih tebal daripada tablet salut
film. Tablet salut enterik tidak larut pada lambung, namun larut
pada usus halus (Wagner, 1975).

10) Efek matriks.


Dalam tablet lepas lambat, obat dicampur dengan wax atau
polimer sintetik yang inert dan tidak dapat diabsorpsi di saluran
pencernaan, yang disebut dengan matriks. Saat tablet tersebut
diberikan secara oral, cairan akan masuk ke dalam matriks dan
dengan perlahan akan melarutkan obat dari matriks (Wagner,
1975).
11) Tipe dan jumlah surfaktan.
Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara
obat dengan media disolusi sehingga dapat meningkatkan laju
disolusi (Wagner, 1975).
12) Kondisi lingkungan selama pembuatan.
Jika obat mudah terhidrolisis, maka stabilitas bentuk
sediaan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama
pembuatan (Wagner, 1975).
13) Kondisi saat penyimpanan dan lama penyimpanan.
Stabilitas obat dalam bentuk sediaan tertentu dapat diuji
dengan uji stabilitas bentuk sediaan dengan peningkatan
temperatur (Wagner, 1975).
4. Faktor fisiologis
a. Waktu transit obat
Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak
obat yang diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan
intestinal (Proudfoot, 1990)

13
b. Laju pengosongan lambung
Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus.
Penurunan laju pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi
obat dan menunda waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga
penting untuk obat yang mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama
obat berada di lambung, maka semakin banyak obat yang terdegradasi
sehingga bioavailabilitasnya akan menurun. Adanya makanan akan
menurunkan laju pengosongan lambung sehingga absorpsi obat akan
tertunda (Proudfoot, 1990)
c. Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi
Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena
adanya vili dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan
diabsorpsi secara maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan
intestinal bukan merupakan kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat
asam lemah/basa lemah. Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus
besar relatif kecil karena tidak memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot,
1990).
d. Laju aliran darah
Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang
penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke
tempat kerja. Di dalam usus terdapat pembuluh-pembuluh darah
mesentrika. Obat dilepaskan ke hati melalui vena porta hepatika dan
kemudian menuju ke sirkulasi sistemik. Jika laju aliran darah mesentrika
menurun, maka bioavailabilitas obat juga akan menurun (Shargel et al.,
2005)
e. Nilai pH cairan pada saluran pencernaan.
Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH
lambung 1- 3,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH
usus besar 8. Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak
terion akan diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai
pH pada saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain)

14
dapat menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat
mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990).
f. Aktivitas enzimatik
Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi
sistemik biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan
termetabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik. First pass effect
menyebabkan penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990).

g. Mukus dan glycocalyx


Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan
mukus, dan glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah
bagian yang menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi
mikrovili dan tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990)
h. Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan
Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa
mekanisme, di antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu
sekresi asam dan enzim pada saluran pencernaan, berkompetisi dengan
obat dalam hal absorpsi, membentuk kompleks dengan obat,
meningkatkan viskositas pada saluran pencernaan (Proudfoot, 1990)
i. Lain-lain : konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan
antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam
empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas
membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas
buffer, tonisitas (Wagner, 1975).

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

dapat disimpulkan bahwasannya Rate limiting step  adalah tahap yang paling


lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik.

Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan zat


aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut (BPOM, 2004).

Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih produk


obat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi antara lain yaitu Rute dan cara
pemberiam, dosis dan aturan pakai, efek bentuk sediaan serta faktor fisiologi.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H. C., 1969, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, 296-297, Lea
& Febiger, USA

Ansel, H. C., and Prince, S. J., 2006, Pharmaceutical Calculations : The


Pharmacist’s Handbook, diterjemahkan oleh Cucu Aisyah dan Ella
Elviana, 121-131, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Chereson, R., 1999, Bioavailability, Bioequivalence, and Drug Selection, in


Makoid, M. C., Vuchetich, P. J., and Banakar, U. V. (Eds.), Basic
Pharmacokinetics, 1st Edition,2-4,
Malinowski, H. J., 2000, Bioavailability and Bioequivalence Testing, in Gennaro,
A. R., et al. (Eds.), Remington : The Science and Practice of
Pharmacy, 20th Edition, 995, Philadelphia College of Pharmacy and
Science, Philadelphia
Proudfoot, S. G., 1990, Factors Influencing Bioavailability : Factors
Influencing Drug Absorption from The Gastrointestinal Tract, in Aulton,
M. E. (Ed.), Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design, 135-
170, ELBS with Churchill Livingstone, UK
Shargel, L., Wu-Pong, S., and Yu, A. B. C., 2005, Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics, 5th Edition, 3, 456-458, 465-468, McGraw-Hill,
Singapore

Suryawati, S. dan Donatus, I. A., 1998, Ketersediaan Hayati Obat pada


Manusia, Kursus Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta

Wagner, G. J., 1975, Fundamentals of Clinical Pharmacokinetics, 1st Edition, 7-


20, Drug Intelligence Publications Inc., Hamilt on, Illnois 6234.

17

Anda mungkin juga menyukai