Anda di halaman 1dari 61

ANALISIS KADAR SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE

1 (SFLT-1) TALI PUSAT TERHADAP TEKANAN DARAH DAN


LUARAN PERINATAL IBU PREEKLAMPSIA

THE ANALYSIS OF SOLUBLE FMS-LIKE TYROSINE KINASE 1 (SFLT-1)


UMBILIKAL CORD LEVELS TOWARD BLOOD PRESSURE AND
PERINATAL OUTCOMES OF THE MOTHER
WITH PREECLAMPSIA

Wahida

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
Analisis Kadar Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase 1 (sFlt-1)
Tali Pusat Terhadap Tekanan Darah dan Luaran Perinatal
Ibu Preeklampsia

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Magister Kebidanan

Disusun dan diajukan oleh

WAHIDA

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan anugerah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan untuk

melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan program Magister

Kebidanan di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Masyarakat.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah peneliti mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ketua Program Studi S2 Kebidanan Universitas Hasanuddin

Prof.Dr.dr. Suryani As’ad, M.Sc.,Sp.GK atas segala dorongan dan

bimbingan selama kami mengikuti pendidikan.

2. Para dosen pembimbing, Dr.dr. Irfan Idris, M.Kes dan Dr.dr. Nasrudin

A.M, Sp.OG atas waktu dan bimbingannya selama proses

penyusunan hingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Penguji, Dr.dr. Sharvianty Arifuddin, Sp.OG (K), Dr.dr. Burhanuddin

Bahar, Msc, Dr.dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ atas waktu yang

diluangkan untuk mengikuti presentasi tesis peneliti.

4. Staf Prodi S2 kebidanan atas kerjasama dan segala bantuan yang

diberikan selama penyusunan tesis.

5. Rekan-rekan sejawat mahasiswa S2 Kebidanan Universitas

Hasanuddin Angkatan Ke-IV atas segala dukungan selama

penyusunan tesis.
6. Ayah dan Ibu tercinta, yang telah mendidik, membesarkan dan selalu

mendukung sehingga dapat peneliti mengenyam pendidikan sampai

saat ini.

Akhirnya perkenankanlah peneliti mengucapkan terimakasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu

persatu, yang telah membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan

tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmatnya kepada semua pihak

yang dengan ikhlas membantu terselesainya tesis ini.

Makassar, 2017

Peneliti
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Wahida
Nomor Induk Mahasiswa : P4400215011
Program Studi : Pascasarjana Kebidanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa proposal/tesis yang saya tulis ini


benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atas pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini merupakan karya
orang lain maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Makassar, Juli 2017


Yang Menyatakan,

WAHIDA
P4400215011
ABSTRAK

Wahida. Kadar Soluble Fms-like Tyrosine Kinase (sFlt-1) Tali Pusat pada
Preeklampsia dan Hubungannya dengan Tekanan Darah serta Luaran
Perinatal (dibimbing oleh Irfan Idris dan Nasrudin A.M).

Soluble Fms like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) merupakan salah satu marker
yang berperan pada patogenesis preeklampsia. Penelitian ini bertujuan
menganalisis kadar sFlt-1 tali pusat terhadap tekanan darah dan luaran
perinatal pada ibu preeklampsia dan hamil normal. Penelitian ini
menggunakan studi observasional analitik secara potong silang. Sampel
yang digunakan adalah ibu inpartu preeklampsia sebanyak 18 orang dan
ibu inpartu dengan kehamilan normal sebanyak 15 orang. Kadar sFlt-1 tali
pusat diperiksa menggunakan metode ELISA. Data dianalisis
menggunakan uji Mann Whiteny-U untuk menentukan perbedaan kadar
sFlt-1, tekanan darah, dan luaran perinatal pada dua kelompok penelitian.
Uji korelasi Spearman Rank digunakan untuk menentukan korelasi antara
kadar sFlt-1 dan tekanan darah dan luaran perinatal. Hasil penelitian
menunjukan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar sFlt-1 tali
pusat pada kelompok preeklampsia dan kelompok kontrol (10.693±6.535
ng/mL, 3.572±1.225 ng/mL; p<0.05). Terdapat perbedaan bermakna
antara tekanan darah dan berat badan lahir pada kedua kelompok
penelitian (p<0.05). Sebaliknya, pada kejadian asfiksia tidak terdapat
perbedaan pada kedua kelompok (p=0.944). Terdapat hubungan
bermakna antara kadar sFlt-1 tali pusat dan tekanan darah dan luaran
perinatal (tekanan darah sistolik p=0.000 , tekanan darah diastolik
p=0.001, berat badan lahir p=0.008, dan asfiksia=0.013).

Kata Kunci : sFlt-1, preeklampsia, tekanan darah, berat badan lahir,


asfiksia.
Abstract

Wahida The Analysis Of Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase 1 (Sflt-1) Umbilikal


Cord Levels Toward Blood Pressure and Perinatal Outcomes Of The Mother
With Preeclampsia (supervised by Irfan Idris dan Nasrudin A.M).

Soluble Fms like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) is one of the markers that
function on the pathogenesis of preeclampsia. This research aimed to
analyze the level of sFlt-1 of umbilical cord against the hypertension and
the pre-natal discharge in the preeclampsia mothetrs and the normal
pregnant mothers. The research used an obsevasional analytical study
using the cross-sectional design. The sample used were the 18 delivering
mothers with preeclampsia and 15 normal delivering mothers. The level of
sFlt-1 of umbilical cords were examined using ELISA method. The data
were analyzed using Mann Whitney-U test to determine the different
levels of sFlt-1, the blood pressure, and the pre-natal discharge in the two
groups, while Spearman’s Rank correlation test was to determine the
correlation between the level of sFlt-1 and the blood pressure and pre-
natal discharge. The research results indicated that was a significant
difference between the level of sFlt-1 of umbilical cord in preeclampsia
group and that in control group (10.693±6.535 ng/mL, 3.572±1.225
ng/mL; p<0.05). There was a significant difference between the blood
pressure and the birth body weight in the two research groups (p<0.05),
on the other hand, the incident of asphyxia showed no difference between
the two goroups (p=0.944). Here was a significant correlation between the
level of sFlt-1 of umbilical cord and the blood pressure and the pre-natal
discharge (systolyc blood pressure, p=0.000, diastolic blood pressure,
p=0.001, birth body weight, p=0.008, asphyxia p=0.013).

Keywords: sFlt-1, preeclampsia, blood pressure, birth body weight,


asphyxia.
DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN SAMPUL I

PRAKATA II

ABSTRAK IV

DAFTAR ISI V

DAFTAR TABEL VII

DAFTAR GAMBAR VIII

DAFTAR LAMPIRAN IX

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN X

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 4

D. Manfaat Penelitian 5

E. Ruang Lingkup / Batasan Penelitian 6

F. Sistematika Penulisan 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 8

A. Faktor Angiogenik 8

1. Faktor Proangiogenik 9
2. Faktor Antiangiogenik 12
B. Preeklampsia 14
1. Definisi 14
2. Faktor Risiko 15
3. Etiologi dan Patofisiologi 20
4. Penegakan Diagnosa 23
5. Pencegahan 27
6. Penatalaksanaan 33
C. Luaran Perinatal 38

D. Kerangka Teori 42

E. Kerangka Konsep 43

F. Hipotesis Penelitian 43

G. Definisi Operasional 44

III. Metodologi Penelitian 46

A. Rancangan Penelitian 46

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 46

C. Populasi dan Tekhnik Sampel 47

D. Instrumen Pengumpulan Data 48

E. Analisis Data 48

F. Tahapan Penelitian 49

G. Etika Penelitian 54

IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil 55

B. Pembahasan 64

V. Kesimpulan dan Saran 72

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

nomor halaman

1. Kriteria Preeklampsia 27

2. Penatalaksanaan Preeklampsia 34

3. Karakteristik subyek penelitian 56

4. Rerata kadar sFlt-1 tali pusat antar kelompok 57


Preeklampsia dan kontrol

5. Rerata Tekanan darah dan berat badan lahir 58

6. Distribusi kejadian asfiksia 59

7. Hubungan kadar sFlt-1 tali pusat dengan tekanan 60


Darah, berat badan lahir dan asfiksia
DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

8. Faktor proangiogenik dan antangiogenik. PlGF dan 13


VEGF diikat oleh sFlt-1 sehingga tidak dapat berikatan
dengan reseptornya

9. Penatalaksanaan preeklampsia tanpa gejala berat 36

10. Penatalaksanaan preeklampsia dengan gejala berat 37

11. Diagram Scatter antara kadar sFlt-1 dengan tekanan 61


Darah

12. Diagram Scatter antara kadar sFlt-1 dengan berat 63


Badan lahir
DAFTAR LAMPIRAN

nomor

13. Master Tabel

14. Lembar Penjelasan kepada Responden

15. Informed Choiche

16. Lembar observasi preeklampsia dan luaran perinatal

17. Surat keterangan selesai pengambilan data dari RSPTN UNHAS

18. Surat Keterangan telah melakukan penelitian dari RSIA Siti


Khadijah I

19. Surat Keterangan telah melakukan penelitian dari RSIA Siti


Fatimah
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/ Arti dan Keterangan


singkatan
µL Mikroliter

ACOG The American College of Obstetricians and Gynecologis

ANC Ante Natal Care, asuhan selama kehamilan

ARDV Absent or reversed end diastolic velocity

BBLR Bayi berat lahir rendah

CD4 Jenis sel darah putih atau limfosit

ELISA Enzyme-linked immunosorbent assay

Et al. et alii, dan kawan kawan

FGR Fetal Growth Restriction, Pertumbuhan Janin Terhambat

HDP High Blood Pressure

HELLP Hemolysis, elevated liver enzyme, low platelets

HLA-G Human Leukosit Antigen G

IMT Indeks Masa Tubuh

IUGR Intra-uterine Growth Restriction

Kg Kilogram, tetapan berat badan

ng Nanogram

MHC Major histocompatibility complex, Kompleks histokompatibilitas utama

mmHg Milimeter Merkuri (Hydrargyrum), satuan tekanan darah

Mmol Milimoles

NK Natural Kiler
NO Nitrat Oksidasi

PGE2 Prostaglandin E2

PlGF Placental Growth Factor

PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

rpm Revolutions Per Minute atau Revolusi Per Menit

sEng soluble Endoglin

sFlt-1 Soluble Fms-like tyrosine kinase 1

SGA Small for Gestational Age

SPSS Statistical Product and Service Solution

TXA2 Tromboksan A2

VEGF Vascular Endothelial Growth Factor

WHO World Health Organization, Organisasi kesehatan dunia


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Preeklampsia adalah penyakit sistemik maternal yang ditandai dengan

timbulnya tekanan darah tinggi yaitu sistole ≥140 mmHg dan diastole ≥90

mmHg serta terdapat proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu yang

disertai gangguan organ. (Sarwono, 2012., Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Diagnosis dan tata laksana preeklampsia (PNPK) 2016.,

Rahmi et al, 2016)

Sepuluh juta wanita mengalami preeklampsia setiap tahun di seluruh

dunia (Preeclampsia fondation, 2013). Prevalensi preeklampsia di negara

maju mencapai 1,3%-6% dan di negara berkembang mencapai 1,8%-18%

(PNPK, 2016., Uzan et al, 2011). Di Indonesia, angka kejadian

preeklampsia mencapai 128.273 kasus atau sekitar 5,3% per tahun.

(PNPK, 2016., Myrta, 2015., Sirait, 2012). Berdasarkan survei riset

kesehatan dasar (Riskesdas 2007) prevalensi hipertensi dalam kehamilan

di Sulawesi Selatan mencapai angka 16,5%. Data di RSIA Sitti Khadijah I

Makassar pada tahun 2015 tercatat angka kejadian preeklampsia

sebanyak 126 kasus, sedangkan di RSKDIA Pertiwi Makassar pada tahun

yang sama tercatat 180 kasus.


World heath Organization (WHO) mencatat sekitar 830 wanita

meninggal setiap hari akibat komplikasi terkait kehamilan dan persalinan.

Salah satu dari 75% penyebab utama kematian ibu adalah tekanan darah

tinggi selama kehamilan (Say et al, 2014). Preeklampsia menyebabkan

70.000 kematian pertahun (WHO, 2015). Berdasarkan Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI)

di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran, dan 25% dari kematian

ibu tersebut disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Pada tahun 2015, hipertensi dalam

kehamilan di Sulawesi Selatan menyumbang sebanyak 36 kematian ibu

(Dinas kesehatan SulSel, 2015).

Komplikasi dari preeklampsia pada ibu meliputi oliguria, anuria,

solusio plasenta dan sindrom hemolysis, elevated liver enzyme, low

platelets (HELLP) sedangkan untuk bayinya, meningkatkan risiko Intra-

uterine Growth Restriction (IUGR), Small for Gestational Age (SGA),

kelahiran premature, asfiksia perinatal dan kematian janin dalam rahim

(Sivakumar et al, 2007).

Penyebab utama preeklampsia belum bisa dipastikan. Banyak teori

yang dikemukakan tentang penyebab terjadinya preeklampsia, namun

secara garis besar keadaan ini terjadi karena pengaruh plasenta

(Lindheimer et al, 2008., Sitompul, 2011., Putra, 2013). Preeklampsia

diperkirakan terjadi melalui 2 tahap. Tahap pertama yaitu terjadinya

gangguan endotel dari sitotrofoblas dan invasi arteri spiral ke dalam


miometrium yang dangkal sehingga menyebabkan iskemia dan hipoksia.

Tahap kedua yaitu terjadinya stres oksidatif sehingga memicu plasenta

melepaskan protein anti-angiogenik seperti soluble fms-like tyrosine

kinase-1 (sFlt-1), prostaglandin dan sitokin ke dalam sirkulasi darah ibu

(Chen, 2009).

Pada kehamilan normal kadar sFlt-1 rendah sampai dengan akhir

trimester II. Konsentrasi mulai meningkat mendekati akhir trimester II pada

wanita yang berpotensi mengalami preeklampsia, 4 sampai 5 minggu

sebelum manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Pengukuran sFlt-1

pada kehamilan dapat menolong memprediksi onset awal preeklampsia

dengan sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas 96% (Maynard et al,

2011).

Penelitian terkait peran sFlt-1 dalam patogenesis preeklampsia telah

dilakukan sebelumnya dengan berbagai metode penelitian. Powers et al

(2010) dan Varughese et al (2010) berkesimpulan bahwa pada wanita

hamil dengan preeklampsia terjadi peningkatan sFlt-1, demikian pula Tsao

et al (2005) dengan kesimpulan yang serupa bahwa kadar sFlt-1 pada

pada preeklampsia jauh lebih tinggi dibanding ibu normotensi.

Powers dan Varughese melakukan pengukuran kadar sFlt-1 dengan

mengambil darah melalui vena cubiti ibu, sedangkan Tsao melakukan

pengukuran sFlt-1 melalui tali pusat. Sebagian besar penelitian terkait

pengukuran kadar sFlt-1 mengambil darah melalui vena cubiti ibu yang

jika dibandingkan dengan serum darah tali pusat manusia/Human


Umbilical Cord Blood Serum (hUCBS) maka hasil yang diperoleh

seharusnya lebih signifikan pada pemeriksaan melalui HUCBS karena

HUCBS merupakan sumber yang lebih kaya berbagai sitokin dan berbagai

macam faktor pertumbuhan termasuk faktor proangiogenik (PlGF dan

VEGF) dan faktor antiangiogenik (sFlt-1 dan sEng).

Berbagai hasil positif terkait sFlt-1 sebagai patogenesis preeklampsia

dikaitkan dengan luaran perinatal. Bergen et al pada tahun 2014 telah

melakukan penelitian dengan hasil ditemukannya hubungan antara

peningkatan kadar cord blood sFlt-1 dengan small for gestational age at

birth (SGA) pada bayi.

Berdasar pada uraian di atas peneliti bertujuan untuk menganalisis

kadar sFlt-1 terhadap tekanan darah dan luaran perinatal Ibu

preeklampsia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

―Bagaimana kadar sFlt-1 mempengaruhi tekanan darah dan luaran

perinatal Ibu preeklampsia?‖

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Menganalisis kadar sFlt-1 terhadap tekanan darah dan luaran perinatal

Ibu preeklampsia.

2. Tujuan Khusus

a. Mengukur kadar sFlt-1 pada Ibu preeklampsia

b. Mengevaluasi tekanan darah Ibu preeklampsia

c. Menilai hasil luaran perinatal Ibu preeklampsia

d. Menganalisis hubungan antara kadar sFlt-1 terhadap tekanan darah

Ibu preeklampsia

e. Menganalisis hubungan antara kadar sFlt-1 terhadap tekanan darah

dan luaran perinatal

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan masukan di setiap unit pelayanan kesehatan dan

digunakan oleh setiap tenaga kesehatan khususnya para bidan agar

dapat dijadikan sebagai prognosis terhadap luaran perinatal Ibu

preeklampsia.

2. Manfaat Teoretis

Hasil peneliian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan tambahan pengetahuan dalam memperkaya


konsep dan teori terhadap ilmu pengetahuan dalam bidang kebidanan

terutama dalam patogenesis terjadinya preeklampsia.

E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional. Data yang

digunakan adalah data primer yaitu dengan melakukan pengambilan

darah melalui pembuluh darah tali pusat bayi ibu preeklampsia pada kala

II sebanyak 2 ml. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu inpartu

di RSIA Siti Khadijah I dan RSKDIA Siti Fatimah Makassar. Sedangkan

sampel dalam penelitian ini adalah ibu inpartu dengan preeklampsia

sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan oleh

peneliti.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian

F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Faktor Angiogenik

B. Tinjauan Tentang Preeklampsia

C. Tinjauan Tentang Luaran Perinatal

D. Kerangka Teori

E. Kerangka Konseptual

F. Hipotesis

G. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

C. Populasi dan Sampel

D. Instrumen Pengumpulan Data

E. Analisis Data

F. Tahapan Penelitian

G. Alur Penelitian

H. Etika Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Faktor Angiogenik

Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan yang terkait

dengan patologi plasenta. Proses plasentasi pada manusia dicirikan oleh

sifat invasif dari hasil konsepsi yang masuk ke dalam endometrium

uterus ibu dan miometrium superfisial disertai oleh remodeling ujung

arteri spiralis ibu. Pada kehamilan normal, tahap awal perkembangan

janin berlangsung dalam suatu lingkungan oksigen (O2) rendah. Hipoksia

fisiologis ini melindungi janin dari efek buruk dan teratogenik radikal

bebas O2. Gradien O2 yang stabil antara desidua uterus ibu dan jaringan

feto-plasenta juga merupakan faktor penting dalam diferensiasi dan

migrasi trofoblast, perkembangan vili normal dan angiogenesis (Jauniaux

et al, 2003). Angiogenesis, terutama saat masa perkembangan embrio

adalah kemampuan endotel vaskular untuk berproliferasi dan membentuk

jaringan kapiler. Endotel vaskular merupakan sistem yang paling serba

guna di dalam tubuh yang menyediakan berbagai macam fungsi

pertukaran dan regulasi yang penting. (Lam et al, 2005).

Angiogenesis ini ditandai dengan meningkatnya permeabilitas

vaskuler, proliferasi dan migrasi sel endotel. Hal ini diatur oleh berbagai

faktor proangiogenik dan antiangiogenik, angiopoietins dan matriks

metalloproteinase. Faktor proangiogenik (Vascular endhotelial growth


factor, Plasenta growth factor) dan antiangiogenik (soluble fms-like

tyrosine kinase-1, soluble endoglin) memainkan peran penting dalam

patofisiologi preeklampsia. sFlt-1 (disebut juga soluble vascular

endothelial growth factor receptor -1/ sVEGFR-1) merupakan molekul

protein antiangiogenik yang larut dalam aliran darah. SFlt-1 mengikat

faktor pertumbuhan proangiogenik yaitu VEGF dan PlGF sehingga tidak

dapat berikatan dengan reseptornya (Juniaux et al, 2000). Vaskularisasi

abnormal dari plasenta dengan kerusakan oksidatif yang meningkat

adalah etiologi umum dari preeklampsia, gangguan pertumbuhan janin

akibat insufisiensi plasenta dan kegagalan kehamilan dini (Muttukrisna et

al, 2011).

Tubuh mengontrol angiogenesis dengan menyeimbangkan faktor

stimulasi dan penghambatan. Jika terjadi ketidakseimbangan dapat

menimbulkan gangguan pada tubuh. Pada kasus preeklampsia terjadi

ketidakseimbangan antara proangiogenik dengan antiangiogenik. Kedua

angiogenik ini dihasilkan oleh plasenta. Tingginya faktor antiangiogenik

seperti sFlt1 dan endoglin menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang

mengakibatkan hipertensi, proteinuria, dan manifestasi sistemik lainnya

(Wang et al, 2009)

1. Faktor Proangiogenik

Pada proses pembentukan sistem pembuluh darah plasenta terdiri

dari tiga tahap, yaitu tahap vaskulogenesis, tahap angiogenesis branching

dan angiogenesis non branching. Vaskulogenesis adalah pembetukan


pembuluh darah baru dari sel cikal bakal endotel yaitu mesoderm.

Sedangkan angiogenesis adalah pembentukan kapiler atau percabangan

baru dari pembuluh darah yang sudah ada (Carmeliet, 2000). Dalam

vaskulogenesis terjadi differensiasi sel endotel insitu yang kemudian

membentuk tabung paten. Pada plasenta proses ini dimulai pada hari ke-

21 setelah konsepsi, dengan transformasi sel-sel mesenkim dalam villi

menjadi sel-sel hemangioblastik yang kemudian menjadi bagian dari

endotel. Angiogenesis branching terjadi pada hari ke-32 sampai minggu

ke-25 setelah konsepsi menghasilkan kapiler vilus yang kaya cabang

dengan aliran darah fetoplasental yang mempunyai tahanan rendah.

Proses angiogenesis beralih ke angiogenesis non branching pada minggu

ke-25 setelah konsepsi. Faktor-faktor angiogenik yang berperan dalam

angiogenesis plasenta antara lain Vascular Endothelial Growth Factor

(VEGF) beserta reseptornya Flt 1(VEGFR-1), VEGFR-2. Perubahan pada

jalur ini pada awal kehamilan mempunyai kontribusi terhadap invasi

sitotrofoblas yang tidak adekuat. Sitotrofoblas invasif mengekspresikan

VEGF, PlGF, VEGFR-1 (Flt-1). (Kaufmann, 2004)

a. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

VEGF terdiri dari glikoprotein berukuran 43-46 kDa yang berfungsi

sebagai faktor utama kelangsungan hidup bagi endotel vaskular.

Percobaan pada tikus yang diberikan anti-VEGF menimbulkan

kelainan pada ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan

kerusakan endotel glomerulus. Dengan demikian kekurangan


VEGF yang disebabkan oleh antibodi anti-VEGF, penghapusan

gen, atau kelebihan sFlt1, kemungkinan bertanggung jawab untuk

proteinuria dan glomerulus endotheliosis. Pada kehamilan VEGF

dihasilkan oleh sitotrofoblas yang pembentukannya diinduksi oleh

hipoksia serta berperan dalam angiogenesis. Aktivitas VEGF

diperantarai oleh interaksinya dengan dua reseptor afinitas tinggi

yaitu kinase domain region (KDR) dan reseptor Flt-1 yang

diekspresikan selektif pada permukaan sel endotel (Tjwa et al,

2003).

Pada wanita yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan

kadar VEGF disebabkan oleh menigkatnya kadar sFlt-1, hal ini

menyebabkan disfungsi endotel pada plasenta (Varughese et al,

2010., English, 2016., Wang et al, 2009).

b. Plasenta Growth Factor (PlGF)

PlGF adalah bagian dari VEGF yang terdiri dari 42% asam amino

dan memiliki struktur yang sama dengan VEGF. PlGF terdiri dari 4

bentuk yaitu PlGF-1, PlGF-2, PlgF-3, dan PlGF-4. PlGF adalah

protein yang sangat kecil berukuran ~30 kDa dan ditemukan di

ditemukan di dalam urine bahkan tanpa adanya kerusakan ginjal.

Interaksi PlGF dengan reseptornya dapat dihambat oleh sFlt-1 yang

dapat menyebakan disfungsi endotel. Pada kehamilan normal,

kadar PlGF meningkat pada kehamilan 8-12 minggu, mencapai

puncak pada kehamilan 29-32 minggu dan turun pada 33-40


minggu. Kadar PlGF pada wanita dengan preeklampsia sangat

rendah pada kehamilan 13-16 minggu sampai dengan melahirkan

(Chen, 2009).

2. Faktor Antiangiogenik

a. Soluble Fms Like-tyrosine Kinase-1 (sFLt-1)

SFLt-1 yang juga dikenal dengan soluble vascular endothelial

growth factor receptor-1 (sVEGFR-1) adalah reseptor larut untuk

VEGF dan PlGF. SfLt-1 merupakan protein antiangiogenik yang

tidak memiliki transmembran dan cytoplasmic domain.

Disekresikan trophoblast yang kemudian dilepaskan ke sirkulasi

maternal. Beraksi dengan antagonis terhadap reseptor VEGF

dan PlGF (VEGFR-1) dan mempunyai daya ikat yang lebih erat

terhadap VEGF dan PlGF dibandingkan dengan VEGFR-1

sehingga mencegah interaksi PlGF dan VEGF dengan reseptor

permukaan sel endothelial sehingga keseimbangan akan

bergeser menjadi melemahkan PlGF dan menyebabkan proses

angiogenesis plasenta terganggu (Schoofs, 2014., Warrington,

2013).

Pada kehamilan normal, konsentrasi serum sFlt-1 menurun dari

minggu ke 8-12 ke minggu 16-20, secara bertahap meningkat di

minggu 26-30, dan dengan cepat terjadi peningkatan pada

minggu 35-39 kehamilan, dan kembali ke tingkat normal setelah

melahirkan. Pada preeklampsia kadar sFlt-1 mulai meningkat


mendekati akhir trimester II pada wanita yang nantinya

mengalami preeklampsia, 4 sampai 5 minggu sebelum

manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Seiring dengan

berjalannya waktu, manifestasi preeklampsia nyata sebagai

peningkatan sFlt-1 dengan konsentrasi meningkat 2-4 kali

dibanding kehamilan normal dan terbesar pada preeklampsia

berat (Maynard et al , 2011).

Gambar 1. Faktor proangiogenik dan antangiogenik. PlGF dan

VEGF diikat oleh sFlt-1 sehingga tidak dapat berikatan dengan

reseptornya.

b. Soluble Endoglin (sENg)

Endoglin yang juga dikenal sebagai CD105 adalah sebuah

transmembran yang pertama kali diidentifikasi oleh kelompok

Letarte. Ada 2 jenis endoglin yaitu Endoglin-L consisting of 633

aa dengan 47 aa cytoplasmic tail and Endoglin-S consisting of

600 aa dengan 14 aa cytoplasmic tail. Soluble Endoglin adalah


bentuk terpotong ~65 kDa dari Endoglin. Pada kehamilan normal

kadar sENg cukup stabil dan meningkat pada minggu 33-42

kehamilan. Namun, pada wanita dengan preeklampsia terjadi

peningkatan sENg yang signifikan. sEng menghambat TGF-β1

dan memblok TGF-β1-dimediasi oksida nitrat aktivasi sintetase

dalam sel endotel. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan

tekanan darah pada wanita dengan preeklampsia mungkin

disebabkan oleh peningkatan sirkulasi konsentrasi sENg (Chen,

2009., Hirashima et al).

B. Tinjauan Tentang Preeklampsia

1. Definisi

Preeklampsia adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan

tekanan darah mencapai ≥140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20

minggu disertai proteinuria ≥300mg/jam dalam 24 jam atau pemeriksaan

minimal ≥+1 pada dipstick dalam dua sampel urin acak yang dikumpulkan

setidaknya 6 jam terpisah. Preeklampsia dianggap berat jika kadar

proteinuria mencapai ≥5gr/24 jam serta telah mengalami gangguan organ.

Gangguan organ ini antara lain sakit kepala hebat, penglihatan kabur,

nyeri epigastrium kuadran kanan atas, mual dan muntah. Selain itu,

terdapat juga gangguan lainnya yaitu oliguria (urine <500 ml/24 jam) dan

trombositopenia (trombosit <100.000/mm3) (Dulay, 2014., Myrta, 2015,

PNPK, 2016).
2. Faktor risiko

Faktor risiko preeklampsia mencakup beragam kondisi yang

mencerminkan kompleksitas dari proses penyakit. Faktor ini dapat

dikategorikan berdasarkan faktor keluarga, faktor demografi, riwayat

kesehatan yang lalu, faktor kehamilan, faktor paternal dan lain-lain.

a. Faktor keluarga

Preeklampsia dianggap sebagai penyakit yang kompleks yang

diwariskan dalam keluarga. Chesley dan Cooper melaporkan

bahwa untuk para wanita yang pernah pre-eklampsia, angka

kejadian untuk saudara perempuan 37%, anak perempuan 26%,

cucu perempuan 16%, sedangkan menantu hanya 6%. Mereka

yang memiliki keluarga dengan riwayat preeklampsia berisiko

tinggi untuk mengalami preklampsia juga. Wanita yang riwayat

orang tuanya pernah mengalami hipertensi atau diabetes melitus

juga berisiko tinggi untuk mengembangkan preeklampsia.

b. Faktor demografi

1) Usia

Kehamilan dengan usia >35 tahun dan <20 berisiko tinggi

mengalami preeklampsia.

2) Suku

Wanita Afrika-Amerika dengan pre-eklampsia berat

menunjukkan tekanan darah yang lebih tinggi dan memerlukan

lebih banyak perawatan antihipertensi, sementara perempuan


Kaukasia memiliki insiden HELLP sindrom yang lebih tinggi.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita dengan kulit

hitam lebih berisiko untuk mengalami hipertensi gestasional

(Kintiraki et al, 2015., Ghosh et al, 2014., Jian et al, 2014).

c. Riwayat kesehatan dan kehamilan yang lalu

1) Berat lahir ibu

Wanita dengan berat lahir rendah <2500 gram memiliki risiko 2

kali lipat untuk mengembangkan preeklampsia saat hamil.

Selanjutnya, meningkat 4 kali lipat pada wanita dengan berat

lahir rendah dan pada saat dewasa mengalami obesitas.

2) Indeks massa tubuh

Wanita yang kelebihan berat badan atau obesitas yang berisiko

tinggi untuk preeklampsia. Meta-analisis menyimpulkan bahwa

kelebihan berat badan/obesitas serta adipositas ibu dikaitkan

dengan peningkatan risiko preeklampsia.

3) Sudah pernah mengalami hipertensi

Wanita yang sebelum hamil menderita diabetes memiliki risiko

2 sampai 4 kali untuk preeklampsia. Sebuah tinjauan sistematis

terbaru oleh Bramham et al. melaporkan bahwa risiko relatif

untuk mengembangkan preeklampsia pada wanita dengan

hipertensi kronis hampir 8 kali lipat lebih tinggi dibanding

dengan wanita yang tidak hipertensi.

4) Trombofilia
Meta-analisis terbaru dari 31 studi kasus-kontrol menyimpulkan

bahwa faktor V Leiden single nucleotide polimorfisme (SNP)

dikaitkan dengan peningkatan risiko preeklampsia dan tidak

ada hubungan yang ditemukan antara metilen tetrahidrofolat

reduktase (MTHFR) SNP dan protrombin SNP dan risiko

terjadinya praeklampsia

5) Paritas

Preeklampsia umumnya terjadi pada wanita primigravida.

Beberapa penelitian meyimpulkan bahwa nulipara lebih berisiko

mengembangkan preeklampsia dibandingkan dengan

multipara. Kintiraki et al (2015) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa wanita nulipara tiga kali lipat berpotensi

mengalami preeklampsia.

6) Jarak antar kehamilan

Kehamilan kedua berisiko lebih rendah untuk mengalami

preeklampsia jika dengan pasangan yang sama. Akan tetapi

jarak antara kehamilan yang terlalu jauh berisiko tinggi untuk

mengmbangkan preeklampsia.

7) Riwayat abortus

Analisis data yang diperoleh dari Norwegia Mother and child

Cohort Study menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko

preeklampsia untuk wanita dengan keguguran berulang.

8) Riwayat kehamilan dengan preeklampsia


Wanita dengan riwayat pre-eklampsia dalam kehamilan

sebelumnya memiliki peningkatan risiko pre-eklampsia pada

kehamilan saat ini dibandingkan dengan wanita hamil tanpa

riwayat preeklampsia.

9) Riwayat kehamilan dengan hipertensi gestasional

Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya mungkin kambuh

pada kehamilan berikutnya sebagai hipertensi gestational dan

begitu juga sebaliknya.

d. Faktor kehamilan

1) Kehamilan kembar

Sebuah studi yang dilakukan oleh Sibai et al menyimpulkan

bahwa wanita dengan kehamilan kembar berisiko tinggi untuk

mengalami hipertensi gestasional dan preeklampsia.

Peningkatan massa plasenta pada kehamilan kembar dapat

memicu peningkatan sFlt-1 yang memainkan peran penting di

patofisiologi terjadinya preeklampsia.

2) Jenis kelamin janin

Sebuah studi di Norwegia melaporkan bahwa pada wanita yang

melahirkan janin laki – laki >40 minggu umur kehamilan, dan

janin perempuan yang lahir prematur minggu berisiko tinggi

untuk mengembangkan preeklampsia.

3) Penggunaan bantuan teknologi reproduksi


Tinjauan terbaru menemukan bahwa penggunaan assisted

reproductive technology (ART) khususnya in vitro fertilization

berisiko meningkatkan hipertensi gestasional dan

preeklampsia.

4) Infeksi

Meta-analisis dari 40 studi menyimpulkan bahwa perempuan

dengan infeksi saluran kemih (ISK) dan orang-orang dengan

penyakit periodontal lebih mungkin untuk mengembangkan pre-

eklampsia dibanding dengan wanita tanpa infeksi tersebut.

Akan tetapi, tidak ada hubungan antara infeksi maternal lainnya

seperti klamidia, malaria, HIV dan risiko preeklampsia.

5) Malformasi konginetal

Sebuah studi retrospektif besar dari Perinatal Database Sistem

Informasi di Uruguay dilaporkan bahwa malformasi janin

dikaitkan dengan peningkatan risiko pre-eklampsia.

e. Faktor paternal

1) Usia suami

Studi epidemiologis menunjukkan peningkatan risiko

preeklampsia pada wanita yang memiliki pasangan ≥ 45 tahun.

f. Lain – lain

1) Merokok

2) Aktifitas fisik

3) Defisiensi mikronutrient
4) Kesehatan mental

5) Status sosial ekonomi


3. Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab pasti terjadinya preeklampsia belum diketahui. Menurut

Sibai dalam buku Kehamilan risiko tinggi, 2015 dari sekian banyak teori

yang menjelaskan tentang etiologi preeklampsia, etiologi potensial antara

lain adalah ketidaknormalan invasi trofoblas pembuluh darah rahim,

intoleransi imunologi antara fetoplasenta dan jaringan maternal,

maladaptasi dengan perubahan kardiovaskular atau perubahan inflamasi

kehamilan, kekurangan makanan, dan kelainan genetik. Hipotesis

mekanisme terjadinya preeklampsia adalah terjadinya iskemia plasenta,

maladaptasi imun, Very low-density lipoproteins (VLDL) versus toxicity-

preventing activity, dan faktor genetik (Uzan, 2011., Eiland, 2012).

a. Iskemia plasenta

Pada preeklampsia perubahan arteri spiralis terbatas hanya pada

lapisan desidua dan arteri spiralis yang mengalami perubahan

hanya lebih kurang 35-50%. Akibatnya perfusi darah ke plasenta

berkurang dan terjadi iskemik plasenta. Proses ini digambarkan

dalam 2 tahap yaitu :

1) Tahap I: terdapat proses yang mempengaruhi arteri spiralis

yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke plasenta.

2) Tahap II: menggambarkan efek dari iskemia plasenta baik pada

ibu maupun bayi. Proliferasi sel endothelial terjadi pada

membran microvillus syncytiotrophoblast membentuk gambaran

―a honeycomb-like pattern‖. Peningkatan kehilangan partikel-


partikel kecil dari membrane microvillus syncytiotrophoblast

kemungkinan berhubungan dengan disfungsi sistemik sel

endothelial pada preeklampsia.

b. Maladaptasi imun

Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis

oleh selsel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi endotel yang

diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim

proteolitik dan radikal bebas.

c. Very low-density lipoproteins (VLDL) versus toxicity-preventing

activity

Hal ini terjadi akibat kompensasi dengan meningkatnya kebutuhan

energy selama hamil dengan memproses asam lemak

nonsterifikasi. Pada wanita dengan kadar albumin yang rendah,

pengangkutan kelebihan asam lemak nonsterifikasi dari jaringan

lemak kedalam hepar menurunkan aktifitas antitoksik albumin

sampai pada titik dimana toksisitas VLDL menjadi terekspresikan.

Jika ada VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan

muncul dan menyebabkan disfungsi endotel.

d. Faktor genetik

Meningkatnya prevalensi preeklampsia pada anak perempuan

yang lahir dari ibu preeklampsia, dihadapkan dengan kehamilan

nonpreeklampsia dari ibu yang sama, dapat mengindikasikan

adanya pengaruh genotip fetus pada sustibilitas terhadap


preeklampsia. Satu contoh pengaruh genotip fetus pada

preeklampsia adalah asosiasi antara sindrom HELLP (hemolisis,

elevated liver enzymes, and low platelets) dengan kelainan

metabolik fetal yang jarang dan insiden yang meningkat dari

preeklampsia pada kasus abnormalitas kromosom fetus.

Chaiworapongsa et al (2014) mengemukakan bahwa kejadian

preeklampsia ini disebabkan oleh stress oksidatif dan faktor genetik.

Banyaknya teori yang mengemukakan tentang penyebab preeklampsia

sehingga preeklampsia sering disebut sebagai ―the disease of theories”.

Plasenta memegang peranan penting pada proses terjadinya

preeklampsia. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 menyimpulkan

bahwa faktor antiangiogenik yang dihasilkan oleh plasenta berperan

penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia.

Menurut Chen et al (2009) preeklampsia diperkirakan terjadi melalui 2

tahap. Tahap pertama yaitu terjadinya gangguan endotel dari sitotrofoblas

dan invasi arteri spiral ke dalam miometrium yang tidak memadai,

menyebabkan sisa pembuluh resistensi kaliber kecil. Kurangnya invasi

plasenta dapat menyebabkan iskemia dan hipoksia. Tahap kedua terjadi

pada akhir kehamilan, terjadinya stres oksidatif memicu plasenta

melepaskan protein anti-angiogenik yaitu soluble fms-like tyrosine kinase-

1 (sFlt-1) dan soluble endoglin (sEng), prostaglandin dan sitokin ke dalam

sirkulasi darah ibu. Tingginya produksi kadar sFlt-1 dan sEng

menyebakan hipoksia dan mengurangi produksi kadar proangiogenik yaitu


placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth (VEGF).

Perubahan ini menyebabkan disfungsi endotel sistemik dan inflamasi

respon yang mengarah ke resistensi pembuluh darah sistemik meningkat,

vasokonstriksi, aktivasi kaskade koagulasi, dan manifestasi akhirnya klinis

seperti hipertensi, proteinuria, disfungsi hati, gangguan neurologis,

gangguan hematologi, dan terhambatnya pertumbuhan janin.

4. Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis preeklampsia dilakukan dengan pengukuran

darah pada wanita hamil disetiap kunjungan. Kriteria diagnosis untuk

preeklampsia adalah hasil pengukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg

pada 2 kali pemeriksaan yang berjarak 6 jam. Selain pengukuran tekanan

darah dilakukan pula pemeriksaan protein urine. Batas dari protein urine

adalah 300 mg dalam 24 jam. Penentuan 24 jam dianggap paling akurat

karena dipstik urin dapat dipengaruhi oleh variabel ekskresi, dehidrasi ibu,

dan bakteriuria. Rasio Sampel urine secara acak yang protein/kreatinin

<0,21 menunjukkan bahwa proteinuria signifikan tidak mungkin dengan

nilai prediksi negatif 83% namun konfirmasi 24 jam penentuan protein urin

direkomendasikan. Edema pada wajah dan kaki yang sering terjadi pada

wanita preeklampsia tidak dianggap sebagai kriteria dalam penegakan

diagnosis.

Selain pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan protein urine,

masih ada kriteria lain untuk menegakkan diagnosis untuk preeklampsia.


Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain tes fungsi hati dan koagulasi

darah. Preeklampsia dikategorikan ringan atau berat berdasarkan pada

derajat hipertensi dan proteinuria, dan adanya gejala yang timbul dari

kerusakan organ seperti ginjal, otak, hati, dan jantung.

a. Pemeriksaan tekanan darah

Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah

sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg,

berdasarkan pada rata-rata minimal dua pengukuran, diambil

setidaknya 15 menit terpisah, menggunakan lengan yang sama.

Pengukuran tekanan darah sebaiknya menggunakan tensimeter air

raksa, karena lebih akurat dibanding dengan tensimeter jenis

aneroid dan digital. Walaupun terbilang akurat tensimeter air raksa

ini tidak lagi digunakan karena tidak aman (FIGO,2016).

Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah wanita hamil

harus duduk dengan kaki tidak menyilang dan berada ditempat

yang datar selama 2 – 3 menit. Lengan diletakkan sejajar dengan

jantung, kemudian manset dipasang pada lengan yang terbuka/

tidak ditutupi pakaian. Manset yang digunakan setidaknya 80%

terpasang melingkar di lengan. Pada saat pemeriksaan tekanan

darah sistolik harus teraba di arteri brakialis, dan dipompa sampai

20 mmHg diatas sistolik tersebut (sampai tidak teraba) kemudian

mengempis perlahan – lahan sekitar 2 mmHg per detik. Jika

menggunakan tekhnik auskultasi penentuan diastolik menggunakan


bunyi korotkoff ke V. Pengukuran ini diulang setidaknya 3 kali

dalam jarak 1 menit (Lindheimer et al, 2008., FIGO, 2016., Brown et

al, 2001).

b. Pemeriksaan urine

Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan proteinuria dari 0,15

g/d sebelum hamil hingga 0,3 g/d selama kehamilan. Ini disebabkan

oleh peningkatan aliran plasma ginjal dan laju filtrasi glomerulus,

serta perubahan protein di nefron. Kondisi ini akan kembali normal

setelah melahirkan. Pemeriksaan protein urine ini harus dilakukan

minimal 1 kali pada kunjungan awal selama kehamilan (FIGO,

2016). Dikatakan preeklampsia jika hasil pemeriksaan

proteinuria/kreatinin mencapai >30 mg/mmol [0,3 mg/mg] atau >300

mg/hari atau setidaknya 1 g/L [ '2 +'] pada tes dipstik) (Brown et al,

2001). Pemeriksaan dengan dipstik ini dengan cara strip dipstick

urin harus direndam sebentar dalam wadah yang berisi urine,

kemudian dikeluarkan dari wadah dan menghapus sisa urine yang

menempel. Strip kemudian diangin anginkan (biasanya 60 detik).

Setelah itu akan terlihat hasilnya yaitu negatif, 1+, 2+, 3+, atau 4+

berdasarkan pada konsentrasi proteinuria terdeteksi (FIGO, 2016).

c. Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal

Pada pemeriksaan ini wanita dengan hipertensi dikatakan

mengalami preeklampsia jika ditemukan insufisiensi ginjal

(kreatinin> 90 umol/L; 1,02 mg /dL) dan pada pemeriksaan


gangguan liver yaitu jika terjadi peningkatan konsentrasi

transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah

epigastrik/regio kanan atas abdomen dua kali dari biasa kuadran

kanan atas (Brown et al, 2001).

d. Tes bekuan darah

Pada wanita dengan preeklampsia ditemui komplikasi hematologi.

Kompilkasi hematologi ini meliputi trombositopenia yaitu jumlah

trombositnya di bawah 100.000/dL serta Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC) yaitu suatu keadaan dimana

bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah,

menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan

berkurangnya faktor bekuan yang diperlukan untuk mengendalikan

perdarahan, dan hemolisis (Brown et al, 2001).


Tabel 1. Kriteria Preeklampsia (ACOG, 2013)

Kriteria preeklampsia*
Tekanan darah sistole ≥ 160 mm Hg atau diastol 110 mm Hg pada dua
kali pengukuran dengan jarak 6 jam
Proteinuria dalam sampel urine ≥ 5 g dalam 24 jam atau 3+ atau lebih
pada dua sampel urine acak yang diambil setidaknya dalam jarak 4 jam
Tanda dan gejala gangguan organ:
Gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas
Gangguan pertumbuhan janin
Gangguan fungsi hati
Oliguria < 500 mL dalam 24 jam
Edema paru
Trombositopenia (trombosit<100.000/ml)
*—satu atau lebih gejala yang timbul

5. Pencegahan

Pencegahan sekunder pada preeklampsia yaitu (PNPK, 2016):

a. Istirahat

Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane,

istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko

preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat

dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga

menurunkan risiko preeklampsia. Dari 3 studi yang dilakukan

telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia,

kematian perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang


melakukan tirah baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah

sakit pada pasien preeklampsia

b. Restriksi Garam

Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita

pada 2 RCT menunjukkan restriksi garam (20 – 50 mmol/hari)

dibandingkan diet normal tidak ada perbedaan dalam mencegah

preeklampsia, kematian perinatal, perawatan unit intensif dan skor

apgar < 7 pada menit kelima.

c. Aspirin dosis rendah

Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek

penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah

terjadinya preeklampsia. Beberapa studi menunjukkan hasil

penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat

aspirin. Agen antiplatelet vs plasebo atau tanpa pengobatan untuk

pencegahan primer preeklampsia dan komplikasinya Berdasarkan

data Cochrane yang menganalisis 59 uji klinis (37.560 subyek),

didapatkan penurunan risiko preeklampsia sebanyak 17% pada

kelompok yang mendapat agen antiplatelet. Peningkatan yang

nyata dijumpai pada kelompok dengan risiko yang tinggi

dibandingkan kelompok risiko sedang. Dibandingkan penggunaan

aspirin dosis 75 mg atau kurang, penggunaan agen antiplatelet

dosis yang lebih tinggi berhubungan dengan penurunan yang

nyata risiko preeklampsia. Dua puluh satu studi (26.984 wanita)


mengevaluasi penggunaan aspirin dosis 75 mg atau kurang,

didapatkan risiko relatif sebesar 0,88. Sebanyak 17 studi (3061

wanita) mengevaluasi penggunaan aspirin dosis > 75 mg/hari,

didapatkan risiko relatif sebesar 0,64 (95% CI 0,51 – 0,80). Tidak

ada studi yang langsung membandingkan pemberian aspirin

dengan dosis yang berbeda. Pemberian antiplatetet berhubungan

dengan penurunan risiko relatif persalinan preterm sebesar 8%,

kematian janin atau neonatus sebesar 14%, dan bayi kecil masa

kehamilan sebesar 10%. Tidak ada perbedaan yang signifikan

secara statistik antara kelompok perlakuan dan pembanding untuk

hasil luaran yang lain, seperti eklampsia, kematian maternal, angka

seksio sesarea, induksi persalinan, berat badan lahir < 2500 g,

perawatan bayi di unit perawatan khusus, perdarahan

intraventrikuler dan perdarahan lainnya pada neonatal. Agen

antiplatelet vs plasebo atau tanpa pengobatan untuk pencegahan

sekunder preeklampsia dan komplikasinya pada pasien dengan

hipertensi dalam kehamilan Dari studi – studi yang dilakukan

telaah didapatkan penurunan risiko preeklampsia sebesar 40%

persalinan preterm < 37 minggu sebesar 13% dan berat badan

bayi lahir < 2500 g. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada

risiko kematian janin, neonatal atau bayi, bayi kecil masa

kehamilan dan angka seksio sesarea. Untuk mencegah atau

memperlambat onset preeklampsia, aspirin diberikan sebelum


implantasi dan invasi trofoblas komplit. Pada telaah ini, hanya

sedikit bukti yang menunjukkan perbedaan pemberian aspirin

sebelum dan setelah 20 minggu. Aspirin dosis yang lebih tinggi

terbukti lebih efektif, namun risiko yang ditimbulkan lebih tinggi,

sehingga memerlukan evaluasi yang ketat.

d. Suplementasi kalsium

Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian

hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko

tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet

asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan

perbedaan yang signifikan pada populasi yang memiliki diet

kalsium yang adekuat. Tidak ada efek samping yang tercatat dari

suplementasi ini. Hasil metaanalisis dari 13 uji klinis yang

melibatkan 15.730 pasien didapatkan rerata risiko peningkatan

tekanan darah menurun dengan suplementasi kalsium (1,5 – 2 g

kalsium elemental/hari) bila dibandingkan dengan plasebo.

Terdapat juga penurunan pada rerata risiko kejadian preeklampsia

yang berkaitan dengan suplementasi kalsium. Efek ini terlihat lebih

besar pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah (<900

mg/hari) dan yang memiliki risiko. Risio rerata untuk persalinan

preterm juga turun pada kelompok perlakuan yang mendapatkan

kalsium dan pada wanita yang berisiko tinggi mengalami

preeklampsia. Hasil luaran terkait morbiditas dan mortalitas ibu


menunjukkan penurunan. Satu uji klinis melaporkan efek

pemberian kalsium terhadap tekanan darah pada masa kanak-

kanak. Dari uji klinis tersebut didapatkan tekanan darah sistolik

lebih besar dari persentil 95 pada masa kanak-kanak, lebih sedikit

ditemukan pada kelompok perlakuan.

e. Suplementasi antioksidan

Cochrane melakukan metaanalisis 10 (sepuluh) uji klinis yang

melibatkan 6533 wanita. Sebagian besar uji klinis menggunakan

antioksidan kombinasi vitamin C (1000 mg) dan E (400 IU).

Kesimpulan yang didapatkan adalah pemberian antioksidan

tersebut tidak memberikan perbedaan bermakna bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol pada kejadian preeklampsia atau

terhadap luaran primer lainnya, seperti preeklampsia berat

kelahiran preterm (sebelum 37 minggu), bayi kecil masa kehamilan

dan mortalitas perinatal. Wanita yang mendapat suplementasi

antioksidan cenderung membutuhkan dan terapi rawat inap untuk

hipertensi selama antenatal.

Conde-Agudelo, dkk mempublikasikan ulasan sistematik yang

dilakukan dengan menggunakanPRISMA (Preffered Reporting

Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses)—panduan

metaanalisis untuk uji klinis acak—terhadap penelitian yang

menggunakan vitamin C (1000 mg) dan vitamin E (400 IU) sebagai

intervensi untuk mencegah terjadinya preeklampsia atau hal lain


yang terkait dengan preeklampsia. Dari 9 penelitian yang

melibatkan 19.810 pasien, tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna terhadap risiko terjadinya preeklampsia antara kelompok

vitamin dan plasebo. Hasil yang hampir sama juga didapatkan

apabila analisa subgrup dilakukan hanya pada kelompok wanita

dengan risiko rendah/sedang terhadap kejadian preeklampsia atau

tinggi. Sementara itu, wanita yang mendapatkan suplemen vitamin

C (1000 mg) dan E (400 IU), dibandingkan dengan kelompok

plasebo, memiliki risiko yang tinggi mengalami hipertensi

gestasional dan kebutuhan penggunaan, Jumlah yang perlu

diperiksa (NNT for harm) 66, CI 95%, 30-235, 2 penelitian, 4272

subyek). Peningkatan ini signifikan secara statistik baik pada

wanita dengan risiko rendah/ maupun pada kelompok dengan

risiko tinggi.

WHO melakukan uji klinis acak terkontrol pada wanita hamil usia

gestasi 14-22 minggu dengan risiko tinggi preeklampsia dan status

nutrisi yang rendah. Intervensi berupa pemberian vitamin C 1000

mg dan vitamin E 400 IU kepada kelompok perlakuan dan plasebo

kepada kelompok pembanding yang dikonsumsi setiap hari sampai

bayi lahir. Dari analisis hasil penelitian didapatkan pemberian

vitamin antioksidan tidak berhubungan dengan penurunan kejadian

preeklampsia, atau hipertensi gestasional. Pemberian suplemen


antioksidan juga tidak berhubungan dengan berat lahir bayi

rendah, bayi kecil masa kehamilan, ataupun kematian perinatal,

6. Penatalaksanaan

Wanita dengan preeklampsia diberikan perawatan intensif agar dapat

mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan janinnya. Perawatan

ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Penatalaksanaan Preeklampsia (National Collaborating Centre

for Women’s and Children’s Health, 2011)

Tingkat Hipertensi Hipertensi sedang Hipertensi berat


hipertensi ringan (140/90 (150/100 to 159/109 (160/110 mmHg atau
to 149/99 mmHg) lebih)
mmHg)
Rawat inap Ya Ya Ya
di Rumah
Sakit
Pengobatan Tidak Pemberian labetalol Pemberian labetalol oral
oral pertama kali pertama kali untuk
untuk mempertahankan :
mempertahankan : - TD diastole antara 80-
- TD diastole antara 100 mmHg
80-100 mmHg - TD sistole dibawah
- TD sistole dibawah 150 mmHg
150 mmHg
Pengukuran 4 kali sehari 4 kali sehari Lebih dari 4 kali sehari,
tekanan tergantung dari keadaan
darah klinis
Tes protein Tidak diulang Tidak diulang Tidak diulang
urine
Tes darah Dipantau 2 kali Dipantau 3 kali Dipantau 3 kali seminggu
seminggu seminggu dengan tes dengan tes fungsi
dengan tes fungsi ginjal,elektrolit, ginjal,elektrolit, darah
fungsi darah lengkap, lengkap, transaminases,
ginjal,elektrolit, transaminases, bilirubin
darah lengkap, bilirubin
transaminases,
bilirubin
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus

preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang

dari 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih


Level evidence II, Rekomendasi C
ketat.

b. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus

preeklampsia tanpa gejala berat.


Level evidence IIb, Rekomendasi B

c. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:

1) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh

pasien

2) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis

3) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu


Level evidence II, Rekomendasi C

4) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala

(dianjurkan 2 kali dalam seminggu)

5) Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi

menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal

direkomendasikan (PNPK, 2016).


Level evidence II, Rekomendasi A
Preeklampsia

 Usia kehamilan ≥ 37 minggu


Ya
atau
 UK ≥ 34 minggu dengan : Lakukan
- Persalinan atau ketuban pecah Persalinan
- Perburukan kondisi ibu dan janin
- Pertumbuhan janin terhambat
- Didapatkan solusio plasenta

Tidak

 Usia kehamilan < 37 minggu


 Perawatan poliklinis :
- Evaluasi ibu 2 kali dalam
seminggu
- Evaluasi kesejahteraan janin 2
kali dalam seminggu

Ya
 Usia kehamilan ≥ 37 minggu
 Perburukan kondisi ibu dan janin
 Persalinan atau ketuban pecah

Gambar 2. Penatalaksanaan preeklampsia tanpa gejala berat (PNPK,


2016)
Preeklampsia dengan gejala berat

 Evaluasi di kamar bersalin 24-48 jam


 Kortikosterois untuk pematangan paru,
Magnesium sulfat profilaksis, antihipertensi
 USG, evaluasi kesejahteraan janin, gejala dan
pemeriksaan laboratorium

Kontraindikasi perawatan ekspektatif : Iya


Lakukan
Eklampsia, edema paru, DIC, HT berat, tidak Persalinan
terkontrol, Gawat Janin, Solusio Plasenta, IUFD, setelah stabil
Janin tidak viabel

Komplikasi perawatan ekspektatif :  Pemberian


Iya Kortikosteroid
Gejala persisten, sindrom HELLP, Pertumbuhan pematangan
Janin Terhambat, Severe olygohydramnion, paru
reversed end diastolic flow, KPP atau inpartu,  Persalinan
gangguan renal berat. setelah 48 jam

Perawatan ekspektatif :
 Tersedia fasilitas perawatan maternal dan
neonatal intensif
 Usia kehamilan : janin viabel – 34 minggu
 Rawat Inap
 Stop MgSo4 dalam 24 jam
 Evaluasi ibu dan janin setiap hari

 Usia kehamilan ≥ 34 minggu


 KPP atau inpartu Iya
Lakukan
 Perburukan maternal – fetal Persalinan
 Adanya salah satu gejala kontraindikasi setelah
perawatan ekspektatif stabil

Gambar 3. Penatalaksanaan preeklampsia dengan gejala berat

(PNPK,2016)
C. Tinjauan Tentang Luaran Perinatal

Preeklampsia digambarkan sebagai sindrom spesifik kehamilan,

multifaktorial yang berhubungan dengan berkurangnya perfusi organ

sekunder untuk vasospasme dan aktivasi endotel. Preeklamsia

mempengaruhi baik ibu dan janin. Komplikasi preeklampsia pada janin

menyebabkan prematuritas, gawat janin, retardasi pertumbuhan

intrauterin, dan kematian janin dalam rahim (Sultana, 2013).

1. Mortalitas Perinatal

Sebanyak 25% dari jumlah stillbirth, kematian bayi dengan usia

kehamilan sekurang-kurangnya 20 minggu atau jika bayi ditimbang

beratnya mencapai 500 gram, dan kematian neonatal pada negara

berkembang diasosiasikan dengan preekalmpsia. Di negara-negara

dengan pendapatan rendah dan menengah, masih banyak rumah sakit

yang sulit bahkan tidak dapat mengakses neonatal intensive care unit,

sehingga mortalitas dan morbiditas yang berkaitan dengan preeklampsia

masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka mortalitas dan

morbiditas pada negara dengan akses yang lebih baik terhadap fasilitas

kesehatan tersebut.

2. Morbiditas Perinatal

Preeklampsia memberikan pengaruh pada suplai darah dari ibu ke

plasenta, yang dapat menyebabkan buruknya pertumbuhan janin dalam


kandungan ibu dan dapat memicu terjadinya persalinan prematur. Menjadi

penyebab dari 12% bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah dan

seperlima dari bayi yang lahir prematur. Di negara dengan tingkat

pendapatan tinggi, bayi yang dilahirkan terlalu dini merupakan penyebab

utama mortalitas dan morbiditas perinatal, dan preeklampsia adalah faktor

utama kelahiran prematur. Komplikasi yang berasosiasi dengan kelahiran

prematur meliputi respiratory distress, apneu, ikterik, kern iketrik, kesulitan

dalam menyusu, hipoglikemia, kejang, periventricular leucomalacia, dan

memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit. Selain itu, data juga

menunjukkan bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan preeklampsia

memiliki risiko lebih besar untuk menderita cerebral palsy dibandingkan

dengan anak yang lahir dari ibu dengan kondisi kehamilan tanpa

komplikasi dan 30 juta bayi mengalami gangguan pertumbuhan setiap

tahunnya di negara berkembang, dan 1 dari 7 bayi tersebut berhubungan

dengan kasus ibu dengan preeklampsia.

a. Intra uterine growth restriction (IUGR)

Pertumbuhan janin dalam kandungan merupakan penanda yang

baik akan kondisi janin. Kehamilan dengan komplikasi intra uterine

growth restriction didefinisikan sebagai proses patologis reduksi

pertumbuhan janin yang diasosiasikan dengan meningkatan angka

kematian perinatal. Preeklampsia sebagai komplikasi kehamilan

dengan karakter penurunan aliran darah dan iskemi uteroplasenta


merupakan faktor risiko yang paling dominan dalam terjadinya intra

uterine growth restriction.

b. Berat badan lahir rendah

Pertumbuhan janin dalam uterus ibu memiliki pengaruh yang besar

terhadap berat badan bayi ketika lahir. Suplai darah dan nutrisi dari

sistem uteroplasenta memiliki peran yang penting dalam

pertumbuhan janin intra uteri dan berat badan lahir. Pada kasus ibu

dengan preeklampsia, dimana terjadi gangguan pada sistem

uteroplasenta, pertumbuhan janin dan berat badan lahir menjadi

tidak optimal sehingga muncul luaran perinatal berupa bayi berat

badan lahir rendah.

c. Asfiksia

Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor risiko akan terjadinya

asfiksia pada bayi dapat dilihat dari riwayat obstetri ibu, riwayat

perkembangan janin, dan komplikasi persalinan. Di antara faktor

risiko tersebut, terdapat preeklampsia dan kelahiran prematur

sebagai faktor risiko terjadinya asfiksia

d. Gawat janin

Salah satu patogenesis dari preeklampsia adalah adanya

hipoperfusi uteroplasenta yang berefek pada terganggunya suplai

oksigen dari ibu kepada janin. Jika kondisi ini terus menerus

berlanjut, maka janin akan berusaha untuk beradaptasi dengan

lingkungan yang kadar oksigennya tidak optimal dan berusaha


untuk melindungi organ-organ vital dari kerusakan yang disebabkan

oleh kondisi tersebut. Proses adaptasi yang diupayakan oleh janin

tidak dapat terus berlangsung, terlebih lagi jika suplai oksigen terus

turun dan menstimulasi kemoreseptor pada arteri karotikus

sehingga refleks vagal muncul dan menyebabkan janin mengalami

bradikardi yang nampak sebagai kondisi gawat janin.

e. Kelahiran prematur

Preeklampsia dapat muncul jika proses inflamasi sistemik pada ibu

menyebabkan ibu untuk melakukan dekompensasi. Ibu dengan

preeklampsia mengalami peningkatan produksi kortisol dan dan

sitokin yang lebih besar dibandingkan dengan ibu tanpa komplikasi

kehamilan. Hal ini diasosiasikan dengan meningkatnya risiko

kelahiran bayi prematur. Studi lain menunjukkan bahwa kelahiran

prematur sering terjadi pada ibu dengan preeklampsia terjadi

dikarenakan persalinan merupakan terapi definitif preeklampsia,

sehingga persalinan perlu dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan

bayi.
D. Kerangka Konsep

sFlt-1
Luaran Perinatal :
BBLR
sEng Asfiksia
VEGF
PlGF

Preeklampsia

Eklampsia
Hipertensi gestasional
Hipertensi kronik

Keterangan :

Variabel independen : sFlt-1

Variabel antara : Preeklampsia

Variabel dependen : Luaran perinatal

E. Hipotesis Penelitian

Berdasar dugaan sementara Hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan

adalah ―Semakin tinggi kadar sFlt-1 semakin meningkatkan tekanan darah

serta memperburuk luaran perinatal‖.


F. Definisi Operasional

Variabel Defisi Operasional Kreiteria Objektif Instrumen Skala

Soluble Flt-1 Antiangiogenesis yang Pg/mL Reagen Human Rasio


berada dalam bentuk Soluble Flt-1
bebas didalam darah yang Immunoassay
dikeluarkan oleh jaringan Quantikin(R)
trophoblas yang sedang DVR100
tumbuh. Pemeriksaan
kadar dilakukan dengan
mengambil darah dari
pembuluh darah tali pusat
bayi baru lahir.
Preeklampsia Meningkatnya tekanan 1. Ya Lembar Nominal
darah mencapai >140/90 2. Tidak Observasi
mmHg, proteinuri > 0,3
mg/dl disertai gangguan
organ pada kehamilan di
atas 20 minggu.
Tekanan Gaya atau dorongan darah 1. Normal (<120/ Lembar Rasio
Darah ke dinding arteri saat <80 mmHg) Observasi
darah dipompa keluar dari 2. Prehipertensi
jantung ke seluruh tubuh (120-139 / 80-89)
3. Hipertensi tk 1
(140-159 / 90-99)
4. Hipertensi tk 2
(≥160 / ≥100)
BBL Berat badan bayi 0-24 jam 1. Normal (Berat Lembar Ordinal
setelah lahir yang diukur 2500 – 4000 gr). observasi
dengan timbangan bayi 2. BBLR (Berat <
yang telah distandarisasi 2500 gr)
(Camry) 3. Macrosomia
(Berat > 4000 gr)
Asfiksia Kegagalan nafas secara 1. Ya Lembar Nominal
spontan dan teratur pada 2. Tidak observasi
saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir.

Anda mungkin juga menyukai