Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“HAKIKAT PENDIDIKAN”

Dosen Pengampu: Try Wahyu Purnomo, S. Pd., M. Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 7 :

Vhanescha Analia Br Pasaribu (2221142001)


Bulan Eka Pertiwi (2221142005)
Helena Marito Simanjuntak (2221142019)
Josh Daniel Manalu (2223142007)

Prodi : Pendidikan Seni Musik A 2022


Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan

JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Pendidikan pada program studi S1
Pendidikan Seni Musik pada Universitas Negeri Medan. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Try Wahyu Purnomo, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah yang
telah mengajarkan dan membimbing mahasiswa/I agar dapat memahami pembelajaran
filsafat pendidikan. Terimakasih kepada teman-teman kami yang ikut dalam pengerjaan
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Tak lupa, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini. Akhirnya, kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi para pembaca. Atas perhatian
nya kami mengucapkan terima kasih .

Medan, Oktober 2022

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Hakikat Pendidikan...........................................................................................................3
2.2 Pendidikan Karakter..........................................................................................................6
2.3 Hakikat Manusia.............................................................................................................10
2.4 Hakikat Masyarakat.........................................................................................................14
BAB III PENUTUP................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................19
3.2 Saran................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Achmad Munib, 2004: 142).
Hal di atas menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang terencana,
yang dilakukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Potensi
yang dimiliki oleh setiap peserta didik tentu berbeda–beda, yang nantinya adalah tugas
seorang pendidik untuk mampu melihat dan mengasah potensi–potensi yang dimiliki
peserta didiknya sehingga mampu berkembang menjadi manusia berguna bagi
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan mempunyai tugas untuk menghasilkan generasi yang baik, manusia–
manusia yang lebih berbudaya, manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang
lebih baik. Tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan tujuan pendidikan di
negara lainnya, sesuai dengan dasar negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi negara
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud hakikat pendidikan?
2. Apa tujuan pendidikan?
3. Apa kegunaan dan manfaat pendidikan?
4. Apa saja unsur-unsur pendidikan?
5. Apa itu pendidikan karakter?
6. Apa tujuan pendidikan karakter?
7. Apa saja komponen pendidikan karakter?
8. Apa fungsi pendidikan karakter?
9. Apa itu hakikat manusia?
10. Apa saja aspek-aspek hakikat manusia?
11. Apa hubungan hakikat manusia dengan pendidikan?
12. Apa itu hakikat masyarakat?

1
13. Apa saja teori-teori tentang hakikat masyarakat?
14. Apa hubungan hakikat masyarakat dengan pendidikan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud hakikat pendidikan
2. Untuk mengetahui tujuan pendidikan
3. Untuk mengetahui kegunaan dan manfaat pendidikan
4. Untuk mengetahui unsur-unsur pendidikan
5. Untuk mengetahui pengertian pendidikan karakter
6. Untuk mengetahui tujuan pendidikan karakter
7. Untuk mengetahui komponen pendidikan karakter
8. Untuk mengetahui fungsi pendidikan karakter
9. Untuk mengetahui pengertian hakikat manusia
10. Untuk mengetahui aspek-aspek hakikat manusia
11. Untuk mengetahui hubungan hakikat manusia dengan pendidikan
12. Untuk mengetahui itu hakikat masyarakat
13. Untuk mengetahui teori-teori tentang hakikat masyarakat
14. Untuk mengetahui hubungan hakikat masyarakat dengan pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Pendidikan


Hakikat Pendidikan adalah proses pembelajaran sebagai upaya untuk
mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dengan interaksi yang menghasilkan
pengalaman belajar. Pendidikan dapat dikatakan berhasil dan mencapai tujuan jika terjadi
perubahan. Hakikat Pendidikan adalah pendidikan untuk manusia dan dapat diperoleh
selama manusia lahir hingga dewasa. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Achmad Munib, 2004: 142).
Hal di atas menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang terencana,
yang dilakukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Potensi yang
dimiliki oleh setiap peserta didik tentu berbeda–beda, yang nantinya adalah tugas seorang
pendidik untuk mampu melihat dan mengasah potensi–potensi yang dimiliki peserta didiknya
sehingga mampu berkembang menjadi manusia berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara.

2.1.1 Definisi Pendidikan


Istilah pendidikan berasal dari Bahasa Yunani “Paedagogie” yang akar katanya adalah
“pais” yang berarti anak dan “again” yang berarti bimbingan. Jadi paedagogie berarti
bimbingan yang diberikan kepada anak. Sementara itu, dalam Bahasa Inggris, pendidikan
disebut dengan Education, yang berasal dari Bahasa Yunani “Educare” yang memiliki arti
membawa keluar yang tersimpan dalam 1 jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan
berkembang (dalam Asfar, dkk., 2020). Pengertian pendidikan menurut beberapa ahli atau
teori yaitu:
1) MJ. Langeveld, menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan/ pertolongan yang
diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang tumbuh untuk mencapai
kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya
sehingga tidak perlu bimbingan lagi.
2) John Dewey, mendefiniskan pendidikan seabgai proses pembentukan kecakapan-
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesame
manusia. 3) Ki Hadjar Dewantara, menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelek dan tubuh anak).
3) Diryakarya, memberikan definisi pendidikan adalah kegiatan sadar untuk
memanusiakan manusia muda atau harmonisasi dan humanisasi.
4) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 Tahun 2003 Bab I,
pasal 1, mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif

3
mengembangkan potensi diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2.1.2 Tujuan Pendidikan


Menurut Anshory&Utami (2018) pendidikan dikatakan sebagai wahana pembangunan
negara secara keseluruhan. Dengan pendidikan akan dapat menyediakan tenaga kerja yang
terampil sesuai dengan bidangnya. Pendidikan akan memberikan pembaharuan-pembaharuan
melalui pengajaran kepada generasi baru mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh
masyarakat secara menyeluruh serta alat-alat pemenuhan mereka. Ahmadi (2014)
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut beberapa tokoh pendidikan aliran
perenialisme adalah:
1) Plato, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu membina pemimpin yang sadr dengan
asas normatif dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
2) Aristoteles menyatakan bahwa tujuan pendidikan yaitu membentuk kebiasaan pada
tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral.
3) Thomas Aquinas memaparkan bahwa pendidikan bertujuan menuntun
kemampuankemampuan yang masih pasif menjadi aktif tergantung pada kesadaran
individu.
Tujuan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang menduduki posisi sangat
penting. Hal ini dikarenakan seluruh komponen pendidikan dilakukan hanya untuk mencapai
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan bersifat memaksa yang harus dipatuhi oleh peserta
didik. Meskipun sifatnya yang memaksa, pada kenyataanya tujuan pendidikan dapat diterima
oleh masyarakat dan tidak meyimpang dari perkembangan peserta didik. Setiap praktisi
pendidikan haruslah memahami tujuan pendidikan. Praktisi pendidikan yang tidak memahami
tujuan pendidikan akan berdampak pada kesalahan dalam menyelenggarakan pendidikan,
sehingga kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat tidak terpenuhi melalui proses
pendidikan ini. Tujuan pendidikan nasional Indonesia tertuang dalam UU No.20 tahun 2003
tentang Pendidikan Nasional, yaitu:
“ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembannya potensi peserta didik afar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.”
Agar tidak terjadi kesenjangan dalam menerapkan tujuan pendidikan nasional yang
masih bersifat umum dan abstrak, maka perlu dibentuk hirarki tujuan pendidikan. Sutirna
(2015) menjelaskan bahwa hirarki tujuan pendidikan di Indonesia yaitu:
1) tujuan Pendidikan Nasional,
2) tujuan institusional,
3) tujuan kurikuler, dan
4) tujuan instruksional.

2.1.3 Kegunaan Dan Manfaat Pendidikan


Pada hakikatnya setiap manusia dalam hidupnya, didasari atau tidak telah melakukan
aktivitas berpikir yang merupakan bagian dari berpikir filsafat. Hal ini disebabkan setiap

4
manusia dengan kadar kemampuan berpikir masing-masing sepanjang hidupnya selalu
berusaha mencari makna kebahagiaan dan kebajikan hidup, baik untuk lingkup kebutuhan
pribadi maupun kehidupan sosial.
Pendidikan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai apa yang telah
dicita-citakan oleh masyarakat, diantaranya adalah kedamaian. Dengan pendidikan, maka
kedamaian akan tumbuh dan berkembang pesat, yang selalu membawa pada etika, estetika,
dan ketenangan dalam diri seseorang yang senantiasa akan patuh terhadap peraturan-
peraturan yang berlaku. Menurut Hamalik (1994) fungsi dan kegunaan penddikan adalah
menyiapkan peserta didik. Menyiapkan peserta didik diartikan bahwa peserta didik pada
hakikatnya belum siap, tetapi perlu disiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri.

2.1.4 Unsur-unsur pendidikan


Dalam proses pelaksanaan pendidikan melibatkan banyak hal yang disebut dengan
unsur-unsur pendidikan. Unsur-unsur pendidikan menurut Asnhory&Utami (2018) yaitu:
1) Peserta Didik
Peserta didik merupaka subyek didik. Peserta didik bersifat unik,
artinya antara peserta didik satu dengan yang lain memiliki karakteristik yang berbeda-
beda. Pendidik yang baik dapat memahami karakteristik peserta didik secara mendalam.
Seiring perkembangan zaman, karakteristik peerta didik juga mengalami perubahan.
Kondisi yang demikian membuat pendidik perlu terus memahami perkembangan peserta
didiknya.
2) Pendidik
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan. Pendidik dapat berupa guru di sekolah ataupun orangtua di
rumah. Agar seorang guru dapat diaktakan menjadi guru yang professional, maka
terdapat 3 syaratnya, yaitu: a) Kualifikasi, ijazah min.S1, 2) Kompetensi, yang meliputi
kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan sosial, c) karakter, yang meliputi
olah piker, olah hati, olah rasa, dan olah raga. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini yang
berada pada era revolusi industry 4.0, maka kompetensi yang harus dikuasai oleh guru
meliputi critical thinking skill, creative thinking skiil, Communication skill, dan
Collaboration skill.
3) Interaksi Edukasi
Interaksi edukasi merupakan komunikasi antara pendidik dan
peserta didik mengarah pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan akan tercapai secara
optimal dengan melalui proses komunikasi secara intensif dengan memanipulasi isi,
metode serta sarana dan prasaranan pendidikan.
4) Tujuan Pendidikan
Setiap sekolah memiliki tujuan institusionalnya masing-masing
dan tentunya berbeda-beda. Tujuan institusional sekolah tertuang dalam visi dan misi
sekolah. Terbentuknya visi misi sekolah tersebut tidak boleh terlepas dari tujuan
pendidikan nasional. Selanjtunya dari tujuan pendidikan nasional dan visi misi sekolah
kemudian diturunkan menjadi tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu tujuan pendidikan
tidak akan tercapai jika sekolah tersebut tidak memiliki visi dan misi.
5) Materi/ Isi Pendidikan

5
Materi pendidikan yang telah disajikan dalam kurikulum
merupakan sarana untuk mengantarkanpencapaian tujuan pendidikan. Materi pendidikan
meliputi materi inti dan amteri muatan local. Materi inti bersifat nasional, sedangkan
amteri local bersifat local.
6) Alat dan metode
Dalam penyampaian materi pembelajaran dibutuhkan alat dan
metode agar materi tersebut dapat tersampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Alat
yang digunakan ini dapat berupa media yang menarik bagi peserta didik. Metode
pembelajaran juga mempengaruhi keberhasilan dalam penyampaian materi
pembelajaran. Dalam pemilihan metode pembelajaran harus disesuaikan dengan amteri
maupun karakteristik peserta didik.
7) Lingkungan Pendidikan
Proses pendidikan peserta didik berlangsung di keluarga, sekolah,
dan masyarakat Ketiga unsur ini saling mempengaruhi. Pendidikan yang pertama bagi
peserta didik yaitu dari lingkungan keluarga. Namun lingkungan keluarga tidak dapat
menjadi patokan dalam 6 keberhasilan pendidikan seorang anak. Sebab bisa jadi
pendidikan di lingkungan keluarga sangat baik, namun lingkungan masyarakat anak tidak
mendukung. Oleh sebab itu. Lingkungan masyarakat ini tentunya juga akan
mempengaruhi proses perkembangan anak.

2.2 Pendidikan Karakter


2.2.1 Pengertian Pendidikan Karakter
1) Dalam bukunya, Thomas Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter
adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Thomas
Lickona juga mengartikan pendidikan karakter adalah usaha secara sengaja dari
seluruh dimensi kehidupan sosial untuk membantu pembentukan karakter secara
optimal.
2) Menurut Samani dan Hariyanto (2013:45) dalam bukunya menjelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa
dan karsa.
3) Menurut Salahudin dan Alkrienciechie (2013:42) dapat dimaknai sebagai pendidikan
moral atau budi pekerti untuk mengembangakan kemampuan seseorang untuk
berperilaku yang baik dalam kehidupan sehariharinya.
4) Menurut Muhamimin Azzet (2014:37) pendidikan karakter merupakan suatu sistem
dalam penanaman nilai-nilai karakter yang baik kepada seluruh warga sekolah
sehingga memilki pengetahuan dan tindakan yang sesuai dengan nilai kebaikan.

6
5) Menurut Zubaedi (2012:19) yaitu segala perencanaan usaha yang dilakukanoleh guru
yang dapat mempengaruhi pembentukan karkater peserta didiknya, memahami,
membentuk, dan memupuk nilai-nilai etika secara keseluruhan.
6) Menurut Wibowo (2013:40) pendidikan karakter adalah suatu pendidkan yang
digunakan untuk menanamkan dan mengembangkan karakter kepada peserta didik,
sehingga mereka memiliki karakter yang luhur setelah memiliki maka dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari bak di rumah, di sekolah maupun di
masyarakat.
7) Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa menumbuhkan nilai-nilai moral ke dalam
jiwa seorang anak sangatlah penting. Pemikiran yang dituangkan oleh Ki Hajar
Dewantara tentang pendidikan budi pekerti bahwa pedidikan harus diarahkan pada
pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya
bangsa.

2.2.2 Tujuan Pendidikan Karakter


Menurut Kesuma (dalam Fadlillah dan Lilif,2013:24), tujuan pendidikan karakter dalam
aturan sekolah yakni sebagai berikut:
a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu
sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
nilai-nilai yang dikembangkan.
b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai
dikembangkan oleh sekolah.
c. Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam
memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

Sedangkan menurut Kemendiknas (dalam Fitri,2012:24), tujuan pendidikan karakter


antara lain :
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa,yang religious.
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa.

7
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri,
kreatif, dan berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang
aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan.

Berdasarkan dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan


pendidikan karakter adalah membentuk, menanamkan, memfasilitasi, dan mengembangkan
nilai-nilai positif pada anak sehingga menjadi pribadi yang unggul dan bermartabat.

2.2.3 Komponen Pendidikan Karakter


Thomas Lickona (1992) berpendapat dalam pendidikan karakter ada tiga komponen
karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling
(perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak
mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan.
1. Pengetahuan Moral (Moral Knowing) adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui,
memahami, mempertimbangkan, membedakan, menginterpretasikan jenis-jenis moral yang
perlu dilakukan dan yang harus ditinggalkan. Pengetahuan moral ini memiliki enam
komponen yaitu:
1) 1). Kesadaran Moral (Moral Awareness) adalah kesadaran untuk melihat moral yang
ada disekitaranya dan melaksanakanya.
2) Pengetahuan Nilai Moral (Knowing Moral Values) adalah kemampuan memahami
nilai moral dalam berbagai situasi.
3) Memahami Sudut Pandang Lain (Perspective Taking) adalah kemampuan untuk
menghargai pendapat dari sudut pandang orang lain.
4) Penalaran Moral (Moral Reasoning) kemampuan untuk mengetahui dan memahami
makna dari bermoral.
5) Keberanian Mengambil Keputusan (Decision Making) adalah wujud tindakan
keberanian dalam mengambil keputusan yang tepat saat mengalami dilema moral.
6) Pengenalan Diri (Self Knowledge) adalah kemampuan mengenali perilaku kita dan
mengevaluasinya secara jujur.

2. Perasaan Moral (Moral Feeling) adalah kemampuan merasa merasa wajib untuk
melakukan tindakan moral dan merasa bersalah jika melakukan perbuatan jahat. Perasaan
moral ini memiliki enam komponen yaitu:

8
1) Mendengarkan Hati Nurani (conscience) adalah perasaan moral yang mendorong
seseorang dalam melakukan tindakan sesuai hati nurani baik hati nurani dalam sisi
kognitif maupun sisi emosional.
2) Harga diri (self esteem) adalah kemampuan merasa bermartabat karena seseorang
memilki kebaikan atau nilai luhur.
3) Empati (empathy) adalah memiliki kepekaan terhadap keadaan atau penderitaan orang
lain.
4) Cinta Kebaikan (loving the good) adalah kemampuan untuk merasa senang ketika
melakukan kebaikan.
5) Kontrol Diri (self kontrol) adalah kemampuan mengendalikan diri sendiri emosi
datang dengan berlebih seperti ketika sedang marah.
6) Rendah Hati (humility) adalah keterbukaan sejati pada kebenaran dan kemauan untuk
bertindak memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dan membantu kita mengatasi rasa
sombong.

3. Tindakan Moral (Moral Acting) adalah kemampuan untuk menggerakkan seseorang dalam
melakukan tindakan moral ataupun mencegah seseorang untuk tidak melakukannya.
Tindakan moral ini memiliki tiga komponen yaitu:
1) Kompetisi (competence) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengubah
perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif.
2) Keinginan (will) adalah kemampuan yang kuat untuk melakukan apa yang menurut
kita harus lakukan.
3) Kebiasaan (habit) adalah melakukan sesuatu secara berulang-ulang.Berdasarkan
pengertian pendidikan karakter dan sistem karakter maka yang dimaksud pendidikan
karakter adalah sistem pendidikan moral dan budi pekerti yang digunkan untuk
mengembangkan nilai karakter melalui proses pembentukan moral, perasaan moral
dan tindakan moral.

Adapun cara mendidik menurut Ki HajarDewantara disebutnya sebagai “peralatan


pendidikan”. Menurut Ki Hajar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, terdapat beberapa
cara yng patut diperhatikan, yaitu:
a. Memberi contoh (voorbeelt)
b. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c. Pengajaran (wulang-wuruk)

9
d. Laku (zelfbeheersching)
e. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara dalam
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977: 28).

2.2.4 Fungsi Pendidikan Karakter


Adapun beberapa fungsi pendidikan karakter adalah sebagai berikut;
1) Untuk mengembangkan potensi dasar dalam diri manusia sehingga menjadi individu
yang berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik.
2) Untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur.
3) Untuk membangun dan meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
hubungan internasional.

2.3 Hakikat Manusia


2.3.1 PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA
Manusia adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala
sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai
hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri. Dalam rentang ruang
dan waktu, manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri. Hakikat manusia
dipelajari melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan melalui
berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi, politik).
Dalam kehidupannya yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal,
baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan sebagaimana dikemukakan di
atas, pengetahuan tentang manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut pandang
dalam melakukan studinya. Alasannya bukankah karena mereka semua adalah manusia maka
harus diakui kesamaannya sebagai manusia? (M.I. Soelaiman, 1988). Berbagai kesamaan
yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia,
sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus sebagai
manusia yang berbeda dari yang lainnya. Contoh: manusia adalah animal rasional, animal
symbolicum, homo feber, homo sapiens, homo sicius, dan sebagainya.
Mencari pengertian hakikat manusia merupakan tugas metafisika, lebih spesifik lagi
adalah tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi berupaya
mengungkapkan konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar tentang manusia,
berupaya menemukan karakteristik yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya
menemukan karakteristik yang secara prinsipil (bukan gradual) membedakan manusia dari
makhluk lainnya. Antara lain berkenaan dengan: (1) asal-usul keberadaan manusia, yang
mempertanyakan apakah ber-ada-nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil
evolusi atau hasil ciptaan Tuhan?; (2) struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari
manusia itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa; (3) berbagai karakteristik dan makna
eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia
adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna

10
eksistensi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya”
(principe de’etre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat
gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia, antara lain
berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur
metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna
eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk
sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk
beragama).

2.3.2 ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA


2.3.2.1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi
dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Kitab suci menerangkan bahwa manusia
berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti Turab, Thien,
Shal-shal, dan Sualalah.
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri
(self-awarness). Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia
mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek). Selain
itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus
sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan
alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian
daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia
berada, manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu
(1) Evolusionisme dan (2) Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada
bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan
sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya,
Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu
Creative Causeatau Personality yang kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa (J. Donal
Butler, 1968). Menurut Evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai
hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan
Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya
manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsuf yang berpandangan
demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E. Frost Jr., 1957) dan Al-Ghazali (Ali Issa
Othman, 1987).

2.3.2.2. Manusia sebagai Kesatuan Badan–Roh


Para filsuf berpendapat yang berkenaan dengan struktur metafisik manusia. Terdapat
empat paham mengenai jawaban atas permasalahan tersebut, yaitu Materialisme, Idealisme,
Dualisme, dan paham yang mengatakan bahwa manusia adalah kesatuan badan-roh.

11
Materialisme, Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak
berbeda dari alam itu sendiri. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia tunduk pada hukum
alam, hukum kualitas, hukum sebab-akibat atau stimulus-respon. Manusia adalah apa yang
nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, dan urat syaraf). Segala hal yang
bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi
saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).

Idealisme, Bertolak belakang dengan pandangan materialisme, penganut Idealisme


menganggap bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya, hal ini
sebagaimana dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan,
namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam
hubungannya dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang
mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah
asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki
daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme
(J.D.Butler, 1968).

Dualisme, Menurut Descartes, esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan
jiwa. Oleh karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka
antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957), namun
demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya.
Contohnya, jika jiwa sedih maka secara paralel badanpun tampak murung atau menangis.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D.
Butler, 1968).

2.3.2.3. Manusia sebagai Makhluk Individu


Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki
perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang
otonom.Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani
dan rohaninya. Setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Perbedaan ini
baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat dan bakatnya,
dunianya, serta cita-citanya.
Setiap manusia mampu menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki,
memikirkan, bebas mengambil sikap, dan bebas mengambil tindakan atas tanggung jawabnya
sendiri (otonom). Oleh karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai
objek. Berkenaan dengan hal ini, Theo Huijbers menyatakan bahwa "manusia mempunyai
kesendirian yang ditunjukkan dengan kata pribadi" (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983);
adapun Iqbal menyatakannya dengan istilah individualitas atau khudi (K.G. Syaiyidain,
Kembar siam1954).

2.3.2.4. Manusia sebagai Makhluk Sosial


Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati
kedudukan (status) tertentu. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan

12
hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama
dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada
manusia. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan
eksistensinya. Sehubungan dengan ini, Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial
atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).

2.3.2.5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya


Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup
berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya,
kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia.
Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena
bersama kebudayaannya (C. A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer
menegaskan bahwa "manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya,
seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia" (C.A. Van Peursen,
1988).

2.3.2.6. Manusia sebagai Makhluk Susila


Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia
terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Contoh:
jika kita meminjam barang milik orang lain maka ada perintah yang mewajibkan untuk
mengembalikan barang pinjaman tersebut. (S.E. Frost Jr., 1957; P.A. Van Der Weij, 1988).
Sehubungan hal itu, dapatlah dipahami jika Henderson (1959) menyatakan: "Man is creature
who makes moral distinctions. Only human beings question whether an act is morally right or
wrong".Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan
pada suatu alternatif tindakan yang harus dipilihnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan Soren
Aabye Kierkegaard: "Yes, I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do
either this or that" (Fuad Hasan, 1973). Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu
berhubungan dengan normanorma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya.
Oleh karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara
otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung-jawaban atas
perbuatannya.

2.3.2.7. Manusia sebagai Makhluk Beragama


Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang
diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun baik dalam
rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis tempat manusia
berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas
suatu agama.

2.3.3 Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan

13
Manusia adalah makhluk yang memiliki derajat lebih tinggi daripada makhluk yang
lainnya, kemudian Pendidikan merupakan suatu proses yang dapat mengubah perilaku dan
sikap manusia dalam upaya untuk menjadi dewasa melalu pengajaran dan pelatihan dalam
pendidikan.

2.4 Hakikat Masyarakat

2.4.1 Pengertian Masyarakat

Istilah masyarakat dalam bahasa inggrisnya society, yang berarti kumpulan orang yang
sudah lama terbentuk, memiliki sistem sosial atau struktur sosial tersendiri dan memiliki
kepercayaan, sikap, dan perilaku yang dimiliki bersama.

Menurut Paul B. Horton dan Hunt, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama tinggal di suatu wilayah
tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di
dalam kelompok atau kumpulan manusia.

Menurut Ogburn dan Nimkoff, suatu masyarakat ialah satu kelompok atau sekumpulan
kelompok-kelompok yang mendiami suatu daerah.

Sedangkan menurut Plato masyarakat merupakan refleksi dari manusia perorangan. Suatu
masyarakat akan mengalami keguncangan sebagaimana halnya manusia perorangan yang
terganggu keseimbangan jiwanya yang terdiri dari tiga unsur yaitu nafsu, semangat dan
intelegensia. Dalam konsep an-Nas bahwa masyarakat adalah makhluk sosial. Manusia tidak
dapat hidup sendiri dengan mengabaikan keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan
antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat diartikan sebagai suatu
kelompok manusia yang hidup bersama disuatu wilayah pada waktu tertentu dengan tata cara
berfikir dan bertindak yang relatif sama dengan pola-pola kehidupan yang terbentuk oleh
antar hubungan dan interaksi warga masyarakat itu dengan alam sekitar yang membuat warga
masyarakat itu menyadari diri mereka sebagi satu kesatuan (kelompok). Unsur-unsur
masyarakat antara lain:

1. Kumpulan orang
Didalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak atau angka yang pasti untuk
menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis,
angka minimumnya adalah dua orang yang hidup bersama.
2. Sudah terbentuk dengan lama.
Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti
kursi, meja dsb. Karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-
manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti.
Mereka juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau
perasaan-perasaannya. Akibat hidup bersama maka timbullah sistem komunikasi

14
dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok
tersebut.
3. Sudah memiliki sistem dan struktur sosial tersendiri.
4. Memiliki kepercayaan (nilai), siap dan perilaku yang dimiliki bersama.
5. Adanya kesinambungan dan pertahanan diri.
6. Memiliki kebudayaan, sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh
karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.

2.4.2 Teori Tentang Hakekat Masyarakat

Teori-teori tentang hakekat masyarakat yang berkembang dan dianut dunia pada
umumnya hingga dewasa ini adalah:

1. Teori Atomic

Pribadi manusia sebagai individu memiliki kebebasan, kemerdekaan dan persamaan


diantara manusia lainnya, karena didorong oleh kesadaran tertentu, mereka secara sukarela
membentuk masyarakat dan masyarakat dalam bentuk yang formal ialah negara. Tiap-tiap
pribadi sebagai individu adalah sederajat dan didalam kebersamaan mereka itulah untuk
tujuan tertentu terbentuk apa yang dikenal sebagai masyarakat.

Berdasarkan asas pandangan atomisme ini penghargaan kepada pribadi manusia


adalah prinsip utama. Nilai-nilai sosial di dalam masyarakat berorientasi kepada martabat
manusia, terutama selft-respect. Artinya setiap praktek tentang kehidupan didalam
masyarakat selalu diarahkan bagi pembinaan hak-hak manusia, demi martabat manusia. Tata
kehidupan sosial menurut menurut teori atomistic pasti berlandaskan nilai-nilai demokrasi.

2. Teori Organisme

Prinsip pelaksanaan pola-pola kehidupan di dalam masyarakat menurut teori


organisme ialah:1) bahwa kekuasaan dan kehendak masyarakat sebagai lembaga monolistis
dan vertikal hak, kepentingan, keinginan, cita-cita dan kekuasaan individu, 2) lembaga
masyarakat yang meliputi seluruh bangsa, secara nasional, bersifat totaliter, pendidikan
berfungsi mewujudkan warga negara ideal, dan bukan manusia sebagai individu ideal.

3. Teori integralistik

Menurut teori ini meskipun masyarakat sebagai satu lembaga yang mencerminkan
kebersamaan sebagai satu totalitas, namun tak dapat diingkari realita manusia sebagai
pribadi. Sebaliknya manusia sebagai pribadi selalu ada dan hidup didalam kebersamaan,
didalam masyarakat. Pelaksanaan asas-asas menurut teori integralistik adalah berdasarkan
keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Praktek tata kehidupan sosial
berdasarkan kesadaran nilai-nilai, norma-norma sosial yang berlaku dan dijunjung bersama
baik oleh individu sebagai pribadi, maupun oleh masyarakat sebagai lembaga.

2.4.3 Hakikat Nilai dan Moral dalam Kehidupan di Masyarakat

15
Dalam masyarakat ini, manusia tidaklah dapat hidup sendiri. Mereka hidup
berinteraksi dengan orang lain, dalam interaksi itulah manusia harusnya memiliki suatu etika
hidup bermasyarakat. Etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Nilai erat
hubungannya dengan masyarakat, baik dalam bidang etika yang mengatur kehidupan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan
memaknai nilai sebagai suatu yang objektif, apabila ia memandang nilai itu ada tanpa ada
yang menilainya, tetapi ada sebagian sesuatu yang ada dan menuntun manusia dan
kehidupannya. jadi nilai nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya
penilaian. Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilaian.

2.4.4 Perbedaan Pola Hidup Masyarakat Desa dan Kota

Masyarakat berdasarkan tempat hidupnya dibagi dua yaitu masyarakat kota dan
masyarakat desa. Pola hidup antara masyarakat desa dan kota pada umumnya sangat terlihat
jelas berbeda. Selain faktor lingkungan di mana mereka tinggal dalam melakukan kegiatan
sehari-hari, faktor etika dan budaya juga sangat memperlihatkan perbedaan yang ada.
Kesederhanaan misalnya, sebagian masyarakat desa terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Hal
tersebut bisa disebabkan karena pada dasarnya secara ekonomi mereka memang tidak mampu
dan secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri. Berbeda dengan masyarakat
kota yang cenderung terbiasa hidup dalam kemewahan.

Ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa antara lain, berbicara apa adanya.
Mereka tidak peduli apakah ucapan mereka menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena
memang mereka tidak bermaksud untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka
tanamkan. Dalam hal keuangan, masyarakat kota lebih cenderung mempublikasikannya ke
khalayak. Karena menurut mereka, status sosial dari segi materi sangat berpengaruh dalam
pergaulan. Sedangkan masyarakat desa biasanya akan menutup diri jika ada orang yang
bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarg. Apalagi jika orang tersebut belum begitu
dikenalnya. Baik secara langsung maupun tidak langsung, ketika bertemu dan bergaul dengan
orang kota, masyarakat desa cenderung memiliki perasaan minder yang cukup besar.
Biasanya mereka lebih memilih untuk tidak banyak bicara. Berbeda dengan masyarakat kota
yang cenderung agresif dalam bergaul. Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan
kebaikan orang lain yang pernah diterimanya. Balas budi yang diberikan ada orang lain tidak
selalu dalam wujud materi seperti yang kebanyakan dilakukan oleh orang kota.

2.4.5 Faktor Penyebab dan Penghambat Hidup Manusia dalam Bersosialisasi Di


Masyarakat

1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap


manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan
yang berbeda-beda satu dengan lainnya.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang


berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan

16
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan,


pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu
yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-
beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan


adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Perubahan-
perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-
proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

2.4.6 Interaksi sosial

1. Interaksi sosial

Interaksi adalah proses di mana orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam


pikiran dan tindakan.Seperti kita ketahui bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak
lepas dari hubungan yang satu dengan yang lain.Ada beberapa pengertian interaksi yang ada
di masyarakat, di antaranya:

a. Menurut H. Booner, merumuskan interaksi sosial adalah hubungan antara dua


individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

b. Menurut Gillin (1954) yang menyatakan bahwa interaksi sosial adalah hubungan
antara orang-orang secara individu,antar kelompok dan orang perorangan dengan kelompok.

c. Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu dengan


individu, antar kelompok dengan kelompok, antar individu dengan kelompok.

Interaksi sosial sebagai faktor utama dalam kehidupan. Ada pun faktor-faktor yang mendasari
berlangsungnya interaksi sosial yaitu:

1) Faktor imitasi, faktor ini mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi
sosial.Salah satu segi positifnya yaitu imitasi dapat membawa kaidah-kaidah yang
berlaku.
2) Faktor sugesti, yang dimaksud sugesti di sini yaitu pengaruh psikis,baik yang datang
dari dirinya maupun dari orang lain,yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya
kritik
3) Faktor identifikasi, identifikasi dalam fisiologi berarti dorongan untuk menjadi
identik(sama) dengan orang lain.

17
4) Faktor simpati, simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang
yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional,melainkan berdasarkan
penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi. Bahkan orang akan tiba-tiba
merasa tertarik pada orang lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara
tingkah laku menarik baginya.

2.4.7 Hubungan Masyarakat dan Pendidikan

Hubungan masyarakat dan pendidikan sangat bersifat korelatif, masyarakat maju


karena pendidikan dan pendidikan yang maju hanya akan ditemukan dalam masyarakat yang
maju pula. Masyarakat harus secara aktif menetapkan asas-asas pendidikan yang tersimpul
didalam filsafat pendidikan masyarakat (bangsa dan negara).

Menurut Thompson, pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan


masyarakat, dan oleh beberapa ahli diberi batasan sebagai proses penyesuain oleh pribadi
untuk melaksanakan fungsinya didalam masyarakat. Untuk pedoman pelaksanaan pendidikan
termaktub didalam undang-undnag pendidikan. Jadi masyarakat/negara sebagai subyek
makro kependidikan wajar menentukan motivasi, tujuan, lembaga atau keseluruhan sistem
pendidikan nasional berdasarkan cita karsa.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian makalah ini dapat disimpulkan bahwa Pendidikan mempunyai tugas untuk
menghasilkan generasi yang baik, manusia–manusia yang lebih berbudaya, manusia sebagai
individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. . Pendidikan akan memberikan
pembaharuan-pembaharuan melalui pengajaran kepada generasi baru mengenai tujuan yang
ingin dicapai oleh masyarakat secara menyeluruh serta alat-alat pemenuhan mereka.
Pendidikan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai apa yang telah
dicita-citakan oleh masyarakat, diantaranya adalah kedamaian. Dengan pendidikan, maka
kedamaian akan tumbuh dan berkembang pesat, yang selalu membawa pada etika, estetika,
dan ketenangan dalam diri seseorang yang senantiasa akan patuh terhadap peraturan-
peraturan yang berlaku.

3.2 Saran
Saran dari penulis, sebaiknya para peserta didik mempunyai hubungan baik dengan
orang-orang yang berada disekitarnya serta peserta didik hendaknya mau menerima dengan
baik pendidikan baik itu ilmu pengetahuan maupun pendidikan karakter. Selain itu, peserta
didik harus mampu menempatkan dirinya baik sebagai manusia maupun masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/54115/14/BAB%20I%20revisi.pdf
https://www.silabus.web.id/hakikat-pendidikan/amp/
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hakikat+pendidikan&btnG=#d=gs_qabs&t=1665948970659&u=
%23p%3DAcmFaqjzuokJ
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/10398/1/FANNY%20IFFAH%20Z%20_%20KONSEP
%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20DALAM%20TEORI%20TRIPUSAT
%20PENDIDIKAN%20KI%20HAJAR%20DEWANTARA%20%26%20RELEVANSINYA
%20DENGAN%20PENDIDIKAN%20AKHLAK.pdf
https://smkwidyanusantara.sch.id/read/5/pendidikan-karakter-pengertian-fungsi-tujuan-dan-
urgensinya
http://sriwahyuwidyaningsih.blogspot.com/2013/08/hakikat-masyarakat.html?m=1
https://www.academia.edu/45164159/
HAKIKAT_MANUSIA_DAN_HUBUNGANNYA_DENGAN_PENDIDIKAN#:~:text=Ma
nusia%20adalah%20makhluk%20yang%20memiliki,pengajaran%20dan%20pelatihan
%20dalam%20pendidikan
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hakikat+pendidikan&btnG=#d=gs_qabs&t=1665948970659&u=
%23p%3DAcmFaqjzuokJ
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/10398/1/FANNY%20IFFAH%20Z%20_%20KONSEP
%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20DALAM%20TEORI%20TRIPUSAT
%20PENDIDIKAN%20KI%20HAJAR%20DEWANTARA%20%26%20RELEVANSINYA
%20DENGAN%20PENDIDIKAN%20AKHLAK.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/9376/29/Bab%203.pdf
http://eprints.umpo.ac.id/4312/3/BAB%20II%20FIX.pdf
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hakikat+manusia+dan+pendidikan&btnG=#d=gs_qabs&t=166594
9866484&u=%23p%3DqF5ymBDMYxEJ
http://eprints.umpo.ac.id/4312/3/BAB%20II%20FIX.pdf
https://eprints.umm.ac.id/38863/3/BAB%202.pdf

20
21

Anda mungkin juga menyukai