Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

JENIS-JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

OLEH :

KELOMPOK 5

ANDI MASRIDAYANTI (B1C120006)


ANDI MUHAMMAD SAID (B1C120007)
IRVAN SAPUTRA (B1C120027)
INDAR UTAMI (B1C120028)
NURNANINGSIH UTAMI (B1C120053)
OCING GUSRAINI (B1C120054)
AZRAANESKA (2003501239)
YUWITA AMILA AULIA (202111330024)

KELAS A

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


BAB II

PENDAHULUAN

2.1 PERKEMBANGAN ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen


kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Ilal
ter sebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung
mere fleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai
alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat
digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat
berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan
pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis..

Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami


banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah
sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan
tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis pendekatan
dalam perencanaan dan penyu Sunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat
dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut
adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru
yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

2.2 ANGGARAN TRADISIONAL

Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang banyak digunakan di negara


berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara
penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur
dan susunan anggaran yang bersifat line-item.

Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c)
cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip
anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu
mengung kapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan
anggaran tradi sional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya
rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-
satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat
kepatuhan penggunaan anggaran.

2.2.1 Incrementalism

Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan
pertanggung jawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incrementalism, yaitu
hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada
sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk
menyesuaikan besarnya penambah an atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang
mendalam. Pendekatan semacam ini tidak saja belum menjamin terpenuhinya kebutuhan
riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan
karena kita tidak pernah tahu apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan
sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang
wajar.

Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian
terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali
tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak
adanya per hatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun
anggaran terjadi kele bihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada
aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas
susulan ini semata-mata di maksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal
tersebut tidak dilakukan akan ber dampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini
disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya
anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan output yang dihasilkan
dari aktivitas yang dilakukan di bandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki
(outcome). Anggaran tradisional yang bersifat "incrementalism" cenderung menerima
konsep.

2.2.2 Line-Item

Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang
didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item
budget tidak memung kinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau
pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item
tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya
yang demikian, penggunaan anggaran tradi sional tidak memungkinkan untuk dilakukan
penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satu nya tolok ukur yang dapat digunakan
adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.

Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan


adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran.
Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan
pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak,
atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan
berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.

2.2.3 Kelemahan Anggaran Tradisional

Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki


beberapa kelemahan, antara lain:

1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana
pembangunan jangka panjang.
2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeli aran tidak pernah
diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran
tradi sional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan
sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana
telah habis di belanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan
sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,
kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu
pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-
praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai
menye babkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya
budget padding atau budgetary slack.
8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme
pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi
anggaran dan 'manipulasi anggaran.'
9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar
mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan

2.3 ANGGARAN PUBLIK DENGAN PENDEKATAN NPM

2.3.1 Era New Public Management

Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan
hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih
mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana.
Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor
publik tersebut adalah pendekatan New Public Management.

Model New Public Management mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali populer
tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk inkarnasi, misalnya munculnya konsep
"managerialism" (Pollit, 1993); "market-based public administration" (Lan, Zhiyong, and
Rosenbloom, 1992); "post-bureaucratic paradigm" (Barzelay, 1992); dan "entrepreneurial
government" (Osborne and Gaebler, 1992). New Public Management berfokus pada mana
jemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan.
Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa
konsekuensi bagi peme rintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi,
pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.

Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model peme
rintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang dikenal dengan konsep "reinventing government". Perspektif baru
pemerintah menurut Osborne dan Gacbler tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan
publik.
Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat
secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah mem
fokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan
pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit
lain nya). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai
pengecualian, dan bukan keharusan: pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik
yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah. Pada saat ini, banyak
pelayanan publik yang dapat diproduksi oleh sektor swasta dan sektor ketiga (LSM).
Bahkan, pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah dikelola oleh pihak
non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani.

Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka


mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help
community). Sebagai misal, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan
tanggungjawab masyarakat, tidak hanya kepolisian. Karenanya, kepolisian semestinya
tidak hanya mem perbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa kriminal, tetapi juga
membantu warga untuk memecahkan masalah yang menyebabkan timbulnya tindak
kriminal. Contoh lain: untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, berikanlah
wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah
yang sedang dihadapi.

3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian


pelayanan publik.

Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan


kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat
ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Misalnya pada pelayanan pos
negara, akibat kompetisi yang semakin keras, pelayanan titipan kilat yang disediakan
menjadi relatif semakin cepat daripada kualitasnya di masa lalu.

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya.
Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.

Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan
oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi,
semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis
dan adil, tapi yang terjadi adalah, unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki
kinerja nya. Justru, mereka memiliki peluang baru: semakin lama permasalahan dapat
dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh.

Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu
membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah daerah wirausaha akan mengem
bangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu
memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya,
semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang
telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan


birokrasi.
Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya.
Pene rimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya
harus di setujui oleh DPR/DPRD. Akibatnya, pemerintah seringkali menganggap
bahwa DPR/ DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan anggaran adalah
pelanggannya. Bila DPR/DPRD dan para pejabat eksekutif tidak menomorsatukan
kepentingan kelom poknya, maka hal ini tidak menyebabkan masalah. Tetapi bila
mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka pelanggan yang
sebenarnya, yaitu masyarakat, akan cenderung dilupakan. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi,
sedangkan kepada masyarakat mereka sering kali menjadi arogan.

Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. la akan mengidentifikasikan pelanggan


yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak
bertanggung jawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem
pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus
akan berupaya untuk lebih me muaskan masyarakat.

7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar mem


belanjakan.

Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya untuk menghasilkan


pen dapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyak yang bisa dilakukan untuk
menghasilkan pen dapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah daerah
wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya: BPS dan
Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat
penelitian; BUMN/BUMD; pem berian hak guna usaha yang menarik kepada para
pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati.

Pemerintah tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik
untuk memecahkan masalah publik. Pemerintah birokratis cenderung bersifat reaktif:
seperti suatu satuan pemadam kebakaran, apabila tidak ada kebakaran maka tidak akan
ada upaya pemecahan. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak
hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk
mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan
visi.

9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.

Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkhis sangat diper
lukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komandonya
hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan bisnis. Pada
saat itu, sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif,
komu nikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih relatif
belum terdidik (masih sangat membutuhkan petunjuk langsung atas apa-apa yang harus
dilaksa nakan). Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan
teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/keinginan masyarakat dan bisnis sudah
semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi.
Sekarang ini, pengambilan kepu tusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-
asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.

10. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan


mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif
(system prosedur dan pemaksaan).

Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme
administratif Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam
mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme
administratif, sedangkan pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar.
Dalam mekanisme administratif, pemerintah tradisional menggunakan perintah dan
pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian
memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut).
Dalam mekanisme pasar, pemerintah wirausaha tidak memerin tahkan dan mengawasi
tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat. Munculnya konsep New Public
Management berpengaruh langsung terhadap konsep anggaran publik. Salah satu
pengaruhnya adalah terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran
tradisional menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja. Berikut ini akan
dibahas jenis-jenis anggaran dengan pendekatan New Public Management.

2.4 PERUBAHAN PENDEKATAN ANGGARAN


Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New
Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang
lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan
perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya
adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB),
dan Planning. Programming, and Budgeting System (PPBS).

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki


karakteristik umum sebagai berikut:

1. Komprehensif/komparatif
2. Terintegrasi dan lintas departemen
3. Proses pengambilan keputusan yang rasional
4. Berjangka panjang
5. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
7. Berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8. Adanya pengawasan kinerja.

2.5 ANGGARAN KINERJA

Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam
anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur
yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran
pelayan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada konsep
value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan
mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik
dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mengimplementasikan hal-hal
tersebut anggaran kinerja di lengkapi dengan teknik penganggaran analitis.

Anggaran kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu,
anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian kinerja didasarkan pada
pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak
pandangan anggaran tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan
campur tangan, pemerintah akan menyalahgunakan kedudukan mereka dan cenderung
boros (over spending). Menurut pendekatan anggaran kinerja, dominasi pemerintah akan
dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan
dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain, pemerintah dipaksa
bertindak berdasarkan cost minded dan harus efisien. Selain didorong untuk menggunakan
dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang
ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya
program dan tolok ukur sebagai standar kinerja.

Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan
penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan
sasaran program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai
dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai
dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang ber
tanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

2.6 ZERO BASED BUDGETING (ZBB)

Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada
pada sistem anggara tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero
Based Budgeting dapat menghilangkan incrementalism dan line-item karena anggaran di
asumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat incremental
men dasarkan besarnya realisasi anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun
depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. ZBB
tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun
penentuan anggaran di dasarkan pada kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah proses
anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan
dan tidak mendukung pen capaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur anggaran,
atau mungkin juga muncul item baru.

2.6.1

Anda mungkin juga menyukai