Anda di halaman 1dari 28

Pidato DIES Natalis ke-67 FISIPOL UGM

TRANSFORMASI DIGITAL, PANDEMI,


DAN KRISIS IKLIM:
TANTANGAN BARU DEMOKRASI GLOBAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
Pidato DIES Natalis ke-67 FISIPOL UGM
TRANSFORMASI DIGITAL, PANDEMI,
DAN KRISIS IKLIM:
TANTANGAN BARU DEMOKRASI GLOBAL

Tim Penyusun Nur Rachmat Yuliantoro


Selma Theofany
Ayu Diasti Rahmawati
Treviliana Eka Putri
Raras Cahyafitri
Muhammad Rum
Luqman-nul Hakim
Muhammad Irfan Ardhani
Suci Lestari Yuana
Poppy Sulistyaning Winanti
Diah Kusumaningrum
Randy Wirasta Nandyatama
Mohtar Mas'oed

Penyampai Pidato Nur Rachmat Yuliantoro

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Gadjah Mada
19 September 2022
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selamat pagi. Salam sehat bagi kita semua.


Yang saya hormati: Dekan, Ketua Senat, para Wakil Dekan, para dosen, staf tendik,
mahasiswa, alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,
serta hadirin sekalian.

Pada kesempatan yang baik ini, perkenankan saya mewakili Panitia Dies Natalis ke-
67 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Tahun 2022
menyampaikan pidato yang berjudul “Transformasi Digital, Pandemi, dan Krisis
Iklim: Tantangan Baru Demokrasi Global.”

Hadirin sekalian,
Demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Apapun istilahnya – democratic decline,
democratic regression, democratic erosion, democratic backsliding, democratic
deconsolidation, autocratization, atau lainnya – semakin banyak ilmuwan politik dan
sosial yang bersepakat bahwa demokrasi sedang mengalami penurunan (Mujani
dan Liddle 2021; Mietzner 2021; IDEA 2021). Aneka indeks demokrasi – mulai dari
Freedom House, the Economist Intelligence Unit (EIU), International IDEA (Institute
for Democracy and Electoral Assistance), Varieties of Democracy (V-Dem), hingga
Polity – bahkan menggambarkan bahwa penurunan tersebut telah menjadi tren
global, setidaknya selama satu dekade terakhir.

Mari kita cermati data dari beberapa indeks di atas. Freedom House, sebuah
organisasi internasional nirlaba yang secara aktif dan konsisten mengadvokasikan
demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia, mencatat bahwa penurunan
demokrasi terjadi di 60 negara pada tahun 2021. Penurunan ini antara lain
ditunjukkan dengan maraknya aksi-aksi antidemokratik seperti serangan
terhadap gedung Capitol di Amerika Serikat atau kembalinya pemerintahan yang
menentang demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan hak seperti yang terjadi di
Afghanistan.

Freedom in the World 2022, laporan tahunan terbaru Freedom House, membagi 196
negara dan 15 teritori di dunia ke dalam tiga kategori – free, partly free, dan not free –
berdasarkan pada bagaimana proses elektoral dan fungsi pemerintahan berjalan,
tingkat pluralisme dan partisipasi politik, penegakan hukum, jaminan atas
kebebasan berekspresi dan menjalankan keyakinan, hak berasosiasi dan
berorganisasi, serta kebebasan terkait hak individu dan otonomi personal.
Berdasarkan indikator-indikator di atas, hanya 20% penduduk dunia yang benar-
benar merasakan kebebasan.

1
Sebanyak 42% penduduk dunia saat ini tinggal di negara-negara yang setengah
bebas karena berbagai masalah terkait korupsi, lemahnya penegakan hukum,
maraknya perselisihan yang dipicu isu etnisitas dan agama, serta terdapatnya
dominasi kelompok tertentu dalam politik. Sementara itu, 38% sisanya hidup di
negara-negara yang tidak bebas, di mana hak politik dan sipil warga diabaikan
secara sistematik.

Tren senada dilaporkan oleh EIU. Indeks demokrasi milik EIU membagi 167 negara
ke dalam empat rezim – rezim demokrasi “sempurna” (full democracy), demokrasi
yang “tidak sempurna” (flawed democracy), rezim hibrida, dan rezim otoriter –
berdasarkan proses elektoral, kinerja pemerintah, tingkat pluralisme dan
partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil. Dalam laporan Democracy
Index 2021, EIU mencatat bahwa hanya 6,4% dari penduduk dunia tinggal di
negara-negara dengan full democracy. Sekitar 39,3% penduduk tinggal di negara-
negara dengan sistem demokrasi yang “tidak sempurna,” 17,2% di negara-negara
dengan rezim hibrida, sementara 37,1% atau lebih dari sepertiga hidup di bawah
rezim otoriter, terutama di Cina.

Laporan V-Dem pada tahun 2022 bahkan menyebutkan bahwa kualitas demokrasi
dunia saat ini setara dengan kualitas demokrasi pada tahun 1989. Artinya, capaian-
capaian demokrasi yang sudah dibangun selama setidaknya tiga dekade terakhir
hilang karena cepatnya laju penurunan kualitas demokrasi atau otokratisasi
global. Mari kita cek betapa serius problem ini dengan melihat sepuluh negara
dengan populasi terbesar di dunia: Cina, India, Amerika Serikat, Indonesia,
Pakistan, Nigeria, Brasil, Bangladesh, Rusia, dan Meksiko. V-Dem mengategorikan
enam dari sepuluh negara ini sebagai otokrasi. Cina adalah otokrasi penuh (closed
autocracy), di mana rakyat sama sekali tidak memiliki hak untuk memilih
pemegang jabatan eksekutif dan legislatif melalui pemilu multipartai. Sementara
itu, India, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Rusia dikategorikan sebagai negara
otokrasi elektoral (electoral autocracy), di mana pemegang jabatan eksekutif dan
legislatif masih dipilih melalui pemilu multipartai, tetapi partisipasi rakyat dibatasi
secara signifikan, sejalan dengan minimnya jaminan atas kebebasan berekspresi
dan berasosiasi. Hanya empat dari sepuluh negara tersebut yang saat ini masih
dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yaitu Amerika Serikat, Indonesia, Brasil,
dan Meksiko. Ini pun bukan berarti negara-negara ini bebas dari ancaman
otokratisasi. V-Dem juga mencatat bagaimana kualitas demokrasi di Amerika
Serikat, Brasil, dan Indonesia pada tahun 2021 menurun drastis jika dibandingkan
dengan tahun 2011.

2
Berita buruknya, penurunan kualitas demokrasi global terjadi di tengah tiga
tantangan besar karena transformasi digital, pandemi COVID-19, dan krisis iklim.
Pertanyaannya, bagaimana penurunan kualitas demokrasi berjalin kelindan
dengan dan memperkuat dampak negatif dari transformasi digital, pandemi, dan
krisis iklim? Demokrasi tentu tidak dibangun dalam semalam, lantas mengapa
penurunan kualitas demokrasi terjadi? Apa yang harus dilakukan guna
mempertahankan, bahkan memperbaiki kualitas demokrasi? Saya mengajak
hadirin sekalian untuk merefleksikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan membandingkan pengalaman empat negara dengan populasi
besar yang saat ini tengah berjibaku dengan penurunan kualitas demokrasi, yaitu
India, Amerika Serikat, Brasil, dan negara kita Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,

Dengan jumlah populasi terbanyak setelah Cina, India selama ini dikenal sebagai
negara dengan sistem demokrasi terbesar di dunia. Selepas merdeka dari
penjajahan Inggris pada tahun 1947, demokrasi dianggap sebagai satu-satunya
sistem politik yang mampu mengakomodasi kemajemukan India, baik dalam hal
identitas etnis dan agama maupun ideologi politik. Demokrasi India tentu tidak
sepenuhnya bersih dari masalah. Ketimpangan, kemiskinan, dan kekerasan
komunal menjadi tantangan-tantangan besar bagi India. Seorang ahli India, Paul
Brass (1991), bahkan berargumen bahwa benih-benih kekerasan antara penganut
agama Hindu dan Islam sengaja “dipelihara” sebagai instrumen bagi para politisi
untuk memenangkan pemilu di negeri tersebut. Meskipun demikian, kekerasan
komunal berbasis agama di India hanya terjadi di sedikit tempat. Artinya,
kekerasan komunal dalam kehidupan demokrasi di India merupakan sebuah
anomali, bukan kewajaran. Ashutosh Varshney (2002) bahkan membuktikan
bahwa kekerasan komunal di India memang dapat dihindari di kota-kota di mana
relasi dan jejaring lintas agama kental mewarnai kehidupan publik.

Wajah demokrasi India mulai berubah sejak terpilihnya Narendra Modi sebagai
perdana menteri pada tahun 2014. Sejak itulah, Modi dan partainya, Bharatiya
Janata Party (BJP), berupaya meraup suara mayoritas dan mempertahankan
kekuasaan dengan mengambil kebijakan serta mengampanyekan pesan pro-
nasionalis Hindu sembari menyerang kelompok minoritas, termasuk kelompok
Islam yang hanya berjumlah sekitar 15% dari total populasi India yang saat ini
hampir mencapai 1,5 miliar orang. Tingkat represi negara terhadap kelompok-
kelompok pembela Hak Asasi Manusia (HAM), aktivis, dan jurnalis juga meningkat
di masa pemerintahan Modi.

3
Serangan terhadap kelompok minoritas Muslim India serta represi terhadap
aktivis dan jurnalis justru memburuk selama pandemi. Diskriminasi dan persekusi
terhadap kelompok Muslim India semakin parah karena mereka dituding sebagai
penyebab merebaknya penularan COVID-19. Pemerintah cenderung membiarkan
kekerasan anti-Muslim terjadi, dan bahkan secara implisit turut memperkuat
sentimen anti-Muslim melalui kebijakan restriksi wilayah yang didominasi oleh
Muslim India (Apoorvanand 2020). Akhir-akhir ini, pesan kebencian yang diujarkan
oleh politisi maupun seniman pro-nasionalis Hindu menjelang pemilu tahun 2024
turut memperparah insiden kekerasan antara kelompok Hindu dan Muslim di sana
(Kumar, Mashal, dan Raj 2022).

Kualitas demokrasi India juga semakin tergerus oleh sikap antikritik yang
ditunjukkan oleh pemerintah selama pandemi. Pemerintah India, misalnya,
menangkap beberapa jurnalis yang mengkritik rendahnya akuntabilitas
penanganan pandemi. Pemerintah India juga berwenang meminta sejumlah
platform media sosial untuk menghapus unggahan yang dianggap mengkritik
mereka, bahkan sampai memblokir platform digital yang tidak mematuhi aturan
soal kritik ini (Singh 2021).

Kombinasi memburuknya kekerasan terhadap minoritas serta meningkatnya


represi negara terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil – terutama selama
pandemi – menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas demokrasi India.
Sejak tahun 2021, Freedom House melabeli India sebagai partially free, EIU
menempatkan India sebagai negara dengan flawed democracy, sementara V-Dem
memasukkan India ke dalam kelompok negara-negara otokrasi elektoral (Biswas
2021).

Hadirin sekalian,

Bertentangan dengan keyakinan banyak orang, Amerika Serikat dikategorikan


sebagai demokrasi yang “tidak sempurna” (Jakarta Globe 2020). Dalam banyak hal,
tampaknya tidak keliru untuk mengatakan bahwa “tidak sempurna”-nya
demokrasi Amerika dalam tahun-tahun terakhir ini disumbang antara lain oleh
kepresidenan Trump. Sebagaimana terbukti kemudian, dalam empat tahun masa
pemerintahannya (2017-2021) Trump menjadi seorang presiden yang secara
sistematis terlibat dalam upaya menolak hasil pemilihan, yang menyerang media
dan bahkan pegawai pemerintah yang bekerja di bawah administrasinya, yang
mengagumi diktator, yang secara terang-terangan mendapatkan keuntungan, dan
yang berulang kali berbohong kepada publik demi kepentingannya sendiri
(Kamarck 2021).

4
Sebelum akunnya dihapus secara permanen oleh Twitter, Trump kerap
menggunakan media sosial ini tidak saja untuk menyuarakan kebijakan, tetapi
juga untuk menyerang siapa pun yang tidak ia sukai. Dalam sebuah laporan di The
New York Times, Kevin Quealy (2021) menulis bahwa Trump menggunakan Twitter
“to praise, to cajole, to entertain, to lobby, to establish his version of events — and,
perhaps most notably, to amplify his scorn.” Dalam situasi masyarakat Amerika yang
telah terpolarisasi sejak lama (Republik versus Demokrat, liberal melawan
konservatif - untuk menyebut dua dari beberapa isu utama), penggunaan Twitter
untuk menyerang seseorang secara personal atau sebuah lembaga sebagaimana
dilakukan Trump semakin memperburuk citra demokrasi Amerika Serikat.

Penggunaan Twitter yang serampangan ini juga tampak dalam hal bagaimana
Trump selaku pemimpin dunia harus merespons pandemi COVID-19. Dalam twit-
nya pada 3 Januari 2021, Trump menyebut cara kerja Centers for Disease Control and
Prevention sebagai “ridiculous” (Quealy 2021). Berlawanan dengan pendapat para
ahli dan WHO (World Health Organization), Trump justru merekomendasikan
penggunaan obat antimalaria hydroxychloroquine untuk melawan COVID-19.
Ketika vaksinasi menjadi mekanisme pencegahan yang diwajibkan untuk
mencegah meluasnya wabah, banyak warga Amerika Serikat yang dengan keras
menolak dengan alasan bahwa divaksinasi atau tidak adalah hak pribadi mereka
yang tidak bisa diintervensi oleh negara. Ironisnya, sikap mereka ini didukung oleh
sejumlah gubernur negara bagian, Republikan maupun Demokrat, yang
mengusulkan pengecualian terhadap vaksinasi untuk beberapa kelompok
masyarakat tertentu. Usulan dari para gubernur ini bahkan terus berlangsung di
masa Joe Biden, sehingga usaha untuk benar-benar mengatasi pandemi di
Amerika Serikat - nomor satu dalam jumlah korban jiwa akibat COVID-19, yaitu
1.041.323 kematian per 16 September 2022 (WHO 2022) - menjadi kian sulit.

Trump menyebut Kesepakatan Iklim Paris, sebuah mekanisme global untuk


mengatasi krisis iklim yang ikut diteken oleh Amerika pada masa Barack Obama,
sebagai “ridiculous and extremely expensive” (8 Desember 2018) dan “badly flawed” (4
September 2019). Ia juga menggunakan kata “ridiculous” pada twit-nya tanggal 27
Juni 2020, untuk mengejek New Green Deal, sebuah rencana infrastruktur untuk
mengatasi perubahan iklim (Quealy 2021). Sebagaimana halnya Trump tidak
percaya pada sains untuk mengatasi pandemi, ia pun tidak percaya pada
pemanasan global dan krisis iklim, yang antara lain diilustrasikan oleh perintahnya
agar Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Paris. Sebagai seorang presiden dari
Partai Republik, yang dekat dengan kelompok bisnis (ia sendiri adalah juga
seorang pengusaha), Trump menilai bahwa keharusan bagi Amerika Serikat untuk
mengurangi emisi karbonnya hingga tingkat tertentu akan sangat merugikan
perekonomian negara tersebut.

5
Puncak dari semua “serangan” Trump terhadap demokrasi Amerika adalah insiden
tanggal 6 Januari 2021. Pada tanggal itu, lebih dari dua ribu pendukung Trump yang
marah mengepung gedung Capitol tempat Kongres Amerika Serikat berkantor,
mendobrak masuk dengan paksa dan mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka
dalam prosesnya, serta merusak bangunan dan barang-barang di dalam gedung.
Para perusuh ini adalah mereka yang percaya bahwa pemilihan presiden yang
berlangsung pada November tahun sebelumnya adalah pemilihan yang tidak adil;
presiden terpilih Joe Biden dan pendukungnya diyakini melakukan kecurangan
sistematis yang berujung pada kalahnya Trump. Belum pernah ada dalam sejarah
Amerika Serikat bahwa sebuah gerakan yang masif dan sistematis merusak
institusi demokrasi dengan cara-cara yang dilakukan oleh para pendukung Trump
tersebut.

Dunia terperangah. Pendobrakan dan perusakan gedung Capitol terjadi hanya


dua minggu sebelum pelantikan Biden. Dapat dipahami bahwa peristiwa itu
ditujukan untuk menghalangi proses pelantikan dan kemudian mendorong
investigasi tentang hasil pemilihan presiden. Untungnya aparat keamanan Capitol
maupun polisi DC dapat segera menguasai keadaan sehingga situasi yang kritis itu
tidak berlangsung lama. Para perusuh ditahan, apa yang mereka inginkan tidak
terlaksana. Investigasi justru dilakukan terhadap dugaan, dan kemudian tuduhan,
keterlibatan Trump dalam aksi kekerasan tersebut. Mudah ditebak, Trump berkelit
dari segala sesuatu yang bisa mengaitkan ia dengan kerusuhan dan ia balik
menyerang mereka yang menuduhnya. Kelak, melalui serangkaian penyelidikan
dan persidangan, Trump semakin dekat dengan penilaian bahwa ia menjadi salah
satu pihak yang mendorong terjadinya, dan oleh karena itu bertanggung jawab
terhadap, insiden tersebut.

Insiden 6 Januari 2021 benar-benar telah mencoreng muka Amerika Serikat.


Demokrasi Amerika dalam keadaan bahaya, demikian pendapat banyak orang,
ketika melihat bahwa kekerasan digunakan tidak saja untuk memaksakan
kepentingan politik, tetapi juga merusak institusi negara yang memainkan peran
penting dalam perjalanan demokrasi negeri itu. Sejatinya, seperti dilaporkan oleh
Freedom House di tahun 2019, demokrasi di Amerika Serikat telah mengalami
penurunan. Tantangan-tantangan terhadap demokrasi Amerika telah
berlangsung bahkan sebelum Trump memimpin negeri tersebut, dalam bentuk
“[i]ntensifying polarization, declining economic mobility, the outsized influence of
special interests, and the diminished influence of fact-based reporting in favor of
bellicose partisan media.” (Arvanitopoulos 2022). Pada tahun 2021, EIU
menempatkan Amerika Serikat pada kategori demokrasi yang “tidak sempurna”,
namun Freedom House dan V-Dem menilai negeri adidaya ini sebagai free dan
demokrasi liberal.

6
Hadirin yang saya hormati,

Dari Amerika Serikat, kita beralih ke Brasil. Negara dengan wilayah terluas dan
populasi terbanyak di kawasan Amerika Latin ini berada di ranah abu-abu
demokrasi. Freedom House menempatkan Brasil dalam kategori free, meski
dengan banyak catatan. Brasil, menurut EIU, saat ini termasuk flawed democracy
dan menjadi salah satu sorotan dalam kesimpulan bahwa Amerika Latin mencatat
kemunduran terbesar dibanding kawasan lain sejak lembaga ini mengeluarkan
indeks demokrasi pada 2006. V-Dem bahkan menyebut Brasil sebagai negara
demokrasi elektoral yang sedang mengalami laju otokratisasi. Gaya
kepemimpinan serta seruan-seruan yang menyerang institusi demokrasi dan
kebebasan sipil telah mendasari keraguan atas komitmen Brasil mempertahankan
demokrasinya.

Pada 7 September 2022, Brasil merayakan hari kemerdekaan ke-200. Benar, 200
tahun sudah Brasil bebas dari penjajahan Portugal. Namun demikian, alih-alih
memerintahkan perayaan sakral yang mempersatukan rakyat, Presiden Jair
Bolsonaro memanfaatkan momen ini untuk berkampanye dan mendongkrak
popularitasnya jelang pemilihan presiden bulan Oktober mendatang. Sejumlah
polling di Brasil menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Bolsonaro
tidak mencapai 50% (Datafolha 2022; Exame 2022). Bahkan, ia kalah favorit
dibanding rival terdekat dalam pemilihan nanti, yakni mantan presiden Luiz Inacio
Lula da Silva (Reuters 2022).

Bolsonaro dijuluki “Trump-nya Amerika Latin.” Ia kontroversial dan bebal sains.


Bolsonaro menyebar informasi palsu terkait COVID-19, melarang lockdown,
meremehkan penggunaan masker dan social distancing, serta memecat menteri
kesehatan yang mendukung rekomendasi WHO (Human Rights Watch 2021).
Ketidakbecusan Bolsonaro semasa pandemi telah membuat Brasil menjadi salah
satu episentrum korban jiwa terbesar akibat virus Corona. Mengingat penderitaan
rakyat Brasil akibat pandemi, pada Oktober 2021 panel para senator
merekomendasikan tuntutan atas kejahatan kemanusiaan kepada Bolsonaro,
yang kemudian direspons dengan investigasi oleh Mahkamah Agung.

Ketegangan antara Bolsonaro dengan Mahkamah Agung tidak hanya sekali. Saat
parade perayaan kemerdekaan, Bolsonaro berorasi menyerukan pemakzulan
hakim Mahkamah Agung (Freedom House 2022). Dia juga berulang kali mengkritik
otoritas pengawas pemilihan umum bahwa mekanisme pengambilan suara
secara elektronik rentan kecurangan (Savarese & Alvares 2022). Upaya intervensi
atas lembaga-lembaga ini menyiratkan rendahnya komitmen Bolsonaro terhadap
proses demokrasi dan memantik kekhawatiran akan adanya mobilisasi massa
yang menolak hasil pemilihan umum kelak.

7
Di isu lingkungan, catatan untuk Bolsonaro lebih kontroversial lagi. Selama hampir
empat tahun memerintah, Bolsonaro telah memotong anggaran perlindungan
lingkungan (Reuters 2021), memberi insentif penggunaan lahan milik suku
pedalaman dan wilayah yang dilindungi untuk area pertambangan dan
peternakan (Mansoor 2022), serta membantah dan menyebut data-data
deforestasi hutan Amazon di wilayah Brasil adalah bohong (Sá Pessoa & Patel
2022).

Serangan terhadap kebebasan berpendapat serta independensi dan kebebasan


pers juga menjadi rapor merah Brasil. Pada 2021, Bolsonaro sempat
mengeluarkan aturan terkait larangan bagi perusahaan media sosial menghapus
posting-an atau konten yang dianggap menghasut dan menyebarkan informasi
palsu terkait pemilihan umum (Nicas, 2021). Aturan ini hanya berlaku sekejap
karena Senat dan Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan manuver
Bolsonaro tersebut. Sejumlah media massa di Brasil juga dikenai denda atas
laporan-laporan investigasi mereka dan sering mendapati respons Bolsonaro
yang dipenuhi kata-kata hinaan, misoginis, dan rasis, terhadap pertanyaan yang
utamanya terkait penanganan pandemi dan tuduhan korupsi kepada ia maupun
anggota keluarganya (Reporters Without Borders 2020). Tuduhan-tuduhan
korupsi ini tentunya menyulitkan sang petahana mengulang kesuksesan platform
antikorupsi di pemilihan presiden 2019. Pada debat calon presiden baru-baru ini,
Bolsonaro menyebut rival terdekatnya, Lula da Silva, tidak kompeten dan tidak
berintegritas karena pernah terlibat dalam kasus megakorupsi perusahaan
minyak Brasil, yaitu Petrobras, dan kemudian dipenjara.

“A vibrant public debate,” meminjam frasa istilah dari Freedom House, masih
berfungsinya institusi demokrasi dalam memveto pemimpin yang cenderung
otoriter, partisipasi berbagai elemen masyarakat dalam isu-isu penting, dan arena
politik yang kompetitif menguatkan fitur demokratis di Brasil saat ini. Namun,
pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh semua itu dapat mempertahankan
posisi Brasil yang sudah di ambang batas sebagai free country, flawed democracy,
atau electoral democracy.

Hadirin sekalian,

Bagaimana dengan Indonesia? Alm. Dr. Samsu Rizal Panggabean pernah


mengatakan bahwa sebaik-baiknya peta di dunia ini adalah yang diterbitkan oleh
Freedom House pada tahun 2006. Di peta itu, terlihat dengan jelas bahwa
Indonesia adalah satu-satunya negara free di tengah negara-negara Asia Tenggara
lainnya yang partly free atau not free. Fast forward ke 2022, Indonesia saat ini turun
kelas menjadi negara partly free, di tengah tetangga-tetangga yang juga partly free
atau bahkan not free – kecuali Timor Leste.

8
Sempat meraup skor demokrasi sebesar 67 pada tahun 2008 serta digadang-
gadang sebagai the biggest Muslim democracy, Indonesia tertahan di angka 59 pada
tahun 2021 dan 2022.

Pada pertengahan tahun 2000-an, berbagai indeks dan pengamatan demokrasi


menunjukkan Indonesia telah belajar mempraktikkan demokrasi dengan baik.
Namun, beberapa tahun terakhir keraguan tentang klaim Indonesia sebagai
negara demokratis semakin meningkat seiring dengan negara dan rakyat yang
kelimpungan menghadapi tantangan demokrasi kontemporer. Akibatnya, praktik
yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi mulai bermunculan. Dalam tahun-
tahun terakhir ini kita menyaksikan penggunaan ranah digital untuk menggerus
demokrasi, penanganan terhadap pandemi yang dianggap sebagai kesempatan
untuk melemahkan rakyat, dan pengabaian kepentingan rakyat atas
keberlanjutan lingkungan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial
yang sangat besar. Pada Februari 2022, laporan dari Hootsuite mencatat bahwa
terdapat 191,4 juta populasi Indonesia (68,9%) yang merupakan pengguna aktif
media sosial. Di antara pengguna aktif tersebut, 44,9% atau hampir separuh di
antaranya menyatakan menggunakan media sosial sebagai platform untuk
mencari informasi atau berita terbaru. Sayangnya, tingginya tingkat penggunaan
media sosial untuk berbagi dan mengkonsumsi informasi tidak selaras dengan
tingkat literasi digital penggunanya. Laporan terakhir mengenai Indeks Literasi
Digital Indonesia menunjukkan Indonesia masih berada pada skor 3,49 (KataData
2022). Hal ini turut menjadikan rentannya masyarakat terhadap ancaman
disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Media sosial kerap digunakan
sebagai alat untuk menyebarkan disinformasi secara masif dan terkoordinasi.

Di samping itu, kekhawatiran terhadap keamanan data pribadi semakin


meningkat dengan berbagai kasus penyelewengan yang dilakukan negara
maupun sektor swasta. Penerobosan privasi dan kebocoran data pribadi di negeri
ini sedang mengancam situasi demokrasi. Privasi pengguna platform digital
direnggut dengan terdapatnya regulasi tentang pemberian izin kepada
pemerintah untuk mengakses data pribadi sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang
Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Dengan peraturan ini, negara
dapat memanfaatkan transformasi digital sebagai jalan mengawasi pergerakan
rakyat. Di saat yang sama, data yang dihimpun pun mengalami kebocoran, seperti
kebocoran data pelanggan kartu SIM yang rentan disalahgunakan (CNBC
Indonesia 2022).

9
Demikian pula, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang
diarahkan guna mengatur interaksi di tengah transformasi digital, kerap
digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap rakyat alih-alih memberikan
keamanan dalam penggunaan internet. Menurut catatan Southeast Asia Freedom of
Expression Network (SAFEnet), jumlah kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE dari
tahun 2017 hingga 2021 fluktuatif, dengan kasus tertinggi pada tahun 2020
sebanyak 84 kasus. Pada tahun 2021 SAFEnet mencatat bahwa aktivis pembela
hak asasi manusia menjadi korban terbanyak kriminalisasi menggunakan UU ITE
(Dihni 2022). Kriminalisasi mencerminkan pembungkaman dan pembatasan
kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu unsur penting demokrasi.

Kondisi di Indonesia semakin memprihatinkan ketika pandemi COVID-19


dimanfaatkan untuk menegaskan kekuasaan oligarki. Menggunakan dalih
kesehatan, pergerakan rakyat dibatasi, termasuk pembatasan melakukan aksi
protes secara langsung yang berdampak pada berkurangnya ruang partisipasi
publik. Pada awal pandemi di tahun 2020, Kepolisian Republik Indonesia tidak
mengeluarkan izin demonstrasi untuk mencegah penyebaran virus. Namun, sikap
ini disambut dengan langkah eksesif berupa penangkapan dan tindak kekerasan
terhadap demonstran dengan alasan melanggar protokol kesehatan (CNN
Indonesia 2021). Tentu saja, penggunaan kekerasan tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, oligarki memanfaatkan kondisi ini dengan menyelinapkan sejumlah


perumusan hingga pengesahan regulasi yang problematis, seperti Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wardah 2022), Rancangan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (Purnama 2022), Undang-Undang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2021), dan Undang-
Undang Cipta Kerja (Amindoni 2020). Hal ini sungguh ironis mengingat rakyat telah
dihadapkan dengan kesulitan hidup akibat pandemi, baik dari segi ekonomi
maupun sosial. Kemudian, secara struktural negara menambah beban rakyat
melalui keputusan-keputusan yang problematis di atas.

Keputusan pembangunan secara elitis tanpa partisipasi substansial masyarakat


dapat meningkatkan ancaman krisis iklim sebagaimana tercermin dalam rencana
pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Pembangunan infrastruktur yang ditujukan
untuk IKN tetap dilakukan, meskipun hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) IKN menunjukkan hasil yang kurang baik. Pembangunan IKN beresiko
mendorong krisis iklim, merusak tata air, dan keberlangsungan hidup flora serta
fauna (CNN Indonesia 2022). Risiko kerusakan lingkungan yang berdampak ke
masyarakat sekitar lokasi IKN tidak menjadi pertimbangan mengingat Rancangan
Undang-Undang (RUU) IKN telah disahkan menjadi Undang-Undang.

10
Dalam pembangunan ekonomi Indonesia belakangan ini, perekonomian negara
telah ditopang oleh praktik eksploitasi sumber daya alam. Derasnya laju
deforestasi dan ketergantungan terhadap energi fosil membuat Indonesia
menjadi salah satu negara penyumbang emisi terbesar di dunia. Aktivitas industri
ekstraktif yang sangat masif bertanggung jawab terhadap laju deforestasi
tersebut. Indonesia kehilangan sekitar 680 ribu hektar hutan akibat kegiatan
deforestasi tiap tahunnya (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2021). Di
samping itu, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil menyumbang 38%
dari total emisi di tahun 2010 dan diperkirakan angka tersebut naik menjadi 60%
pada tahun 2030 (Mongabay 2020).

Dalam praktik pelaksanaan demokrasi di Indonesia, pencalonan dan rekrutmen


politik memerlukan biaya yang besar. Situasi ini menjadikan elit-elit politik
cenderung bersekutu dengan kelompok bisnis dalam memenuhi pembiayaan
politik. Potensi eksploitasi dan kerusakan lingkungan lebih besar ketika praktik-
praktik oligarkis bertahan, yaitu apabila kebijakan pro-pembangunan yang tidak
berkelanjutan bersesuaian dengan kepentingan bisnis-bisnis besar yang merusak
lingkungan. Keberpihakan semestinya diberikan kepada masyarakat sipil yang
berkepentingan untuk memperingatkan bahaya degradasi lingkungan akibat
berbagai eksploitasi, bukan justru membatasi kanal-kanal aspirasi dan merepresi
suara masyarakat yang kritis. Berlipat gandanya risiko perubahan iklim akibat
kebijakan pro-pembangunan tidak berkelanjutan ini akan dirasakan akibatnya
secara langsung oleh sebagian besar masyarakat.

Konsumsi energi berbasis fosil masih menjadi penggerak utama perekonomian


Indonesia. Selain tidak dapat diperbaharui, sumber energi ini adalah penyumbang
utama emisi dunia. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan dari situasi
ketergantungan ini telah menyebabkan ketidakselarasan komitmen negara untuk
menekan emisi dengan realita. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur dan
penambahan jalan raya tanpa dibarengi dengan pembangunan sistem
transportasi umum yang sistematis akan berdampak pada meningkatnya
konsumsi bahan bakar minyak (BBM), yang kemudian mendorong pemerintah
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi – sebuah kebijakan yang ditentang luas
oleh masyarakat Indonesia pada hari-hari ini.

11
Hadirin yang saya hormati,

Dengan merujuk pada uraian di atas, kita bisa membayangkan bahwa relasi antara
penurunan kualitas demokrasi dan transformasi digital, pandemi COVID-19, dan
krisis iklim sejatinya bersifat dua arah. Di satu sisi, pengalaman India, Amerika
Serikat, Brasil, dan Indonesia menunjukkan bagaimana negara memanfaatkan
momen disrupsi akibat pandemi COVID-19, transformasi digital, dan krisis iklim
untuk mengambil kebijakan yang bersifat antidemokratik. Di sisi lain, demokrasi
yang tidak berjalan dengan baik itu lantas membuat kita gagal merespons dampak
negatif dari transformasi digital, pandemi, dan krisis iklim dengan efektif. Jika tidak
segera ditangani, kelindan masalah inilah yang akan mewarnai dan menentukan
masa depan demokrasi dan kehidupan kita, baik secara global maupun nasional.

Sebagai platform yang mengedepankan kebebasan pengguna dan mendorong


demokratisasi informasi, media sosial diharapkan menjadi wadah bagi
masyarakat untuk dapat berbagi serta mengekspresikan pemikiran dan pendapat
akan berbagai hal. Peningkatan pengguna media sosial, dengan kata lain, telah
menghadirkan ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas. Partisipasi politik tidak
hanya terbatas pada pelembagaan politik seperti pemilu maupun melalui kanal-
kanal tradisional seperti partai politik, namun telah berkembang dalam arena
baru, seperti media sosial yang lebih cair dan cepat. Perkembangan teknologi
digital melalui penggunaan media sosial di arena politik telah menyebabkan
pergeseran dari citizenship menjadi netizenship (Capri 2021). Kehadiran netizenship
dalam memengaruhi kebijakan publik menjadi tantangan tersendiri dalam
demokrasi. Misalnya, pertanyaan apakah netizenship dapat mengatasi persoalan
representasi politik atau justru kian memperluas jurang ketimpangan dalam
kebijakan publik sebagai akibat dari kesenjangan infrastruktur dan akses terhadap
teknologi digital.

Akan tetapi, kita juga melihat sisi buruk dari media sosial yang membatasi exposure
individual (selective exposure) melalui kurasi konten yang disukai dan perilaku
selektif dalam membatasi sumber informasi yang diperoleh (Hart et.al. 2009).
Algoritma dan desain antarmuka yang membangun pervasive awareness pengguna
(Hampton, Lee & Her 2011) terhadap informasi yang berasal dari jejaringnya
semakin memperkuat tendensi individu untuk mengkurasi informasi dan jejaring-
jejaring yang sejalan dengan ideologi dan kepercayaan yang telah ia miliki
sebelumnya atau yang kerap disebut sebagai echo chamber effect (Cinelli et.al 2021;
Cota et.al. 2019). Dengan kondisi yang demikian, masyarakat rentan untuk
mempercayai dan mengamini informasi-informasi yang muncul dari media sosial,
meskipun informasi tersebut tidak benar adanya (Sunstein 2007).

12
Persebaran disinformasi seringkali digunakan oleh aktor negara maupun non-
negara untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Di
Myanmar, misalnya, kita melihat aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya yang
dimulai dari disinformasi dan ujaran-ujaran kebencian yang diunggah di media
sosial. Interferensi pemilu yang bersifat manipulatif juga timbul dari persebaran
disinformasi yang terstruktur terhadap para calon pemilih. Kita tentu sudah tidak
asing lagi dengan dugaan interferensi pemilihan presiden AS di tahun 2016 oleh
Rusia melalui Internet Research Agency (IRA). Puluhan bahkan ratusan juta calon
pemilih mendapatkan targeted ads melalui media sosial Facebook dan interaksi
yang dilakukan dengan akun-akun robot. Persebaran informasi yang telah
dimanipulasi ini merusak integritas dari debat publik yang terjadi karena ia
didasarkan pada informasi yang tidak akurat. Hal ini kemudian memunculkan
pertanyaan kembali, apakah institusi demokrasi yang telah dibangun ini telah
benar-benar merepresentasikan aspirasi dan pilihan masyarakat?

Terdapat beragam respons oleh negara terhadap ancaman yang muncul dari
transformasi digital tersebut. Demokrasi yang tidak berjalan dengan baik
menghasilkan kegagapan pemerintah dalam merespons implikasi negatif dari
penggunaan teknologi digital. Di Korea Utara, pemerintah mengontrol akses
internet warga secara penuh. Di Cina, pemerintah mengawasi konten yang dimuat
oleh warga di platform publik. Di Amerika Serikat, pemerintah mendorong
pertanggungjawaban dan akuntabilitas platform media sosial dan perusahaan
teknologi. Di Indonesia, pembatasan akses dan censorship dilakukan pada situasi-
situasi tertentu. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk menyelaraskan
perlindungan terhadap hak-hak demokrasi warga serta mengedepankan
perlindungan atas ancaman disinformasi dan polarisasi yang muncul akibat
tersebarnya informasi yang tidak bertanggung jawab.

Hadirin sekalian,

Pandemi yang hadir di tengah kita sejak tahun 2020 mengubah iklim demokrasi
secara global. Laporan khusus Freedom House (2020) tentang demokrasi dan
pandemi mencatat bahwa pada awal pandemi demokrasi secara global melemah.
Ini ditandai dengan pelemahan di 80 negara, termasuk keempat negara di atas.
Dinamika di keempat negara ini mencerminkan bahwa kepentingan rakyat tidak
diutamakan dalam keputusan-keputusan yang diambil untuk merespons
pandemi; pandemi disikapi secara oportunistik oleh elite agar kekuasaan semakin
meluas. Rakyat dihadapkan pada kesejahteraan yang terancam akibat pandemi
dan dukungan pemerintah yang pro-rakyat sulit diharapkan.

13
Di sisi lain, pemerintah sibuk mengontrol dan membatasi kebebasan rakyat
dengan dalih kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah beserta kroninya
memanfaatkan pembatasan ruang gerak rakyat untuk meloloskan regulasi yang
menopang agenda mereka.

Pemerintahan demokratis yang idealnya mengutamakan kepentingan rakyat tidak


mendukung rakyat secara langsung agar dapat bertahan di tengah pandemi yang
mengancam kesehatan dan akses pendapatan. Para pemimpin negara di atas
menunjukkan ketidakbecusan memenuhi kepentingan rakyat pada masa
pandemi, seperti akses kesehatan dan ekonomi. Para pemimpin ini memilih
mengalokasikan anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat yang
mendesak selama pandemi. Mereka memilih memusatkan tenaga, pikiran, dan
anggaran untuk kepentingan industri. Alokasi salah sasaran selama pandemi tidak
dapat dilepaskan dari pemerintah yang abai ilmu pengetahuan sehingga
menyepelekan pandemi dan dampaknya.

Eksistensi pandemi baru diperhatikan ketika krisis ini dijadikan dalih untuk
melanggar kebebasan rakyat. Negara kerap menggunakan alasan kesehatan
untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat. Pembatasan kebebasan
berekspresi juga dilakukan sebagai respons terhadap media dan publik yang
mengkritik penanganan pandemi. Kritik dianggap sebagai distraksi bagi upaya
memastikan kesehatan masyarakat selama pandemi. Oleh karena itu,
pembungkaman menjadi jalan pintas yang dipilih oleh beberapa pemimpin
negara untuk mengurangi kekalutan pandemi.

Ketika rakyat berfokus dengan upaya bertahan hidup di tengah himpitan pandemi,
oligarki memanfaatkan kesempatan ini untuk menguatkan kekuasaan dan
pengaruah melalui produk hukum yang menguntungkan mereka. Produk-produk
hukum ini dapat menjadi justifikasi langkah untuk memenuhi agenda mereka,
sebagaimana UU Cipta Kerja dibuat. Tanpa mengindahkan proses legislasi yang
tidak demokratis, undang-undang ini disahkan secara tergesa-gesa. Dalih demi
kepentingan rakyat, terutama pekerja, dinyatakan ketika banyak pihak
mempertanyakan substansi undang-undang ini. Dalih tersebut sesungguhnya
tidak sesuai karena substansi undang-undang ini minim keberpihakan pada
rakyat. Sebaliknya, aturan ini semakin mencekik rakyat di tengah pandemi.

14
Hadirin yang saya hormati,

Tantangan besar lain dalam kaitannya dengan demokrasi adalah bagaimana


pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil merespons perubahan iklim.
Ironisnya, meski sebagian besar negara-negara yang menganut sistem demokrasi
menandatangani Kesepakatan Paris di tahun 2015, namun tidak ada satu negara
pun berhasil merumuskan kebijakan nasional yang kompatibel dengan tujuan dari
rezim global tersebut (Climate Action Tracker 2020). Sebuah kajian mengenai
kontribusi ilmu sosial dalam krisis iklim di Inggris menyimpulkan bahwa kajian ilmu
sosial telah banyak berkontribusi pada perumusan kebijakan dan pengelolaan
teknis dalam penanggulangan krisis iklim, namun dari semua kajian ini tidak
banyak yang berhasil menjawab pertanyaan bagaimana solusi-solusi itu
diimplementasikan dan oleh siapa (Fankhauser et.al. 2019).

Kita harus memahami bahwa krisis iklim terjadi di tengah regresi demokrasi. Saat
ini kita hidup di dunia yang dilanda perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi
telah mengancam keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Pada tahun ini,
melalui Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), berbagai kalangan dari
akademisi hingga perwakilan negara-negara di dunia telah memutuskan bahwa
perubahan iklim adalah nyata dan tidak bisa diperdebatkan baik secara politik
maupun saintifik. Laporan IPCC 2022 menunjukkan kekhawatiran bahwa upaya-
upaya yang telah dilakukan belum cukup untuk menekan suhu global agar tidak
naik 2 derajat Celcius (Petz 2022).

Kekhawatiran di atas sangat beralasan mengingat belum optimalnya upaya


kolektif masyarakat internasional. Situasi geopolitik global turut melemahkan
lebih jauh komitmen pengurangan emisi yang masih dipertanyakan ini. Perang
yang terjadi antara Rusia dan Ukraina disebut-sebut menjadi penyebab
melonjaknya harga komoditas global. Harga acuan minyak bumi sempat
menyentuh $120 setiap barelnya pada bulan Mei dan Juni lalu. Tingginya harga
acuan menempatkan banyak pemerintah dalam pilihan kebijakan yang sulit, yaitu
antara menaikkan harga bahan bakar di level konsumen atau menambah alokasi
subsidi. Krisis pasokan gas karena embargo Rusia telah mendorong sejumlah
negara-negara Eropa kembali menggunakan pembangkit listrik tenaga batubara
(Frost 2022). Ketidakpastian pasokan dan fluktuasi harga ini juga bisa berbuntut
panjang karena berpotensi mendorong peningkatan kembali investasi di energi
kotor (IEA 2022).

15
Dalam rezim demokratis, idealnya pemerintah mendasarkan kebijakannya
kepada kearifan dan sains yang dipromosikan oleh para ahli dan lembaga yang
otoritatif. Akan tetapi, kita melihat pemimpin-pemimpin populis yang telah
membajak sistem demokrasi dalam menggapai kekuasaan mereka telah beramai-
ramai abai pada kaidah di atas. Trump, misalnya, pernah mengatakan bahwa
perubahan iklim adalah isu belaka buatan Cina (Worland 2019). Trump telah
membawa Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Paris dan membatalkan
berbagai kebijakan pro-lingkungan yang telah dilancarkan oleh pemerintahan
terdahulu. Di Brazil, gelombang deforestasi yang disokong oleh Bolsonaro adalah
malapetaka bagi planet dan masyarakat terpinggirkan, terutama orang-orang asli
(indigenous people). Dalam tiga tahun terakhir, penggundulan hutan di Brasil telah
meningkat sebesar 52,9%, membahayakan kehidupan flora, fauna, dan manusia
(Gongaza 2022). Pada suatu kesempatan diskusi dengan para pelajar, Modi
mengatakan bahwa iklim dunia tidak pernah berubah dan mempertanyakan
apakah terminologi perubahan iklim itu akurat. Mengikuti skeptisismenya
terhadap perubahan iklim, Modi telah menyisihkan berbagai instrumen
perlindungan lingkungan di India demi memuluskan industri dan kepentingan
tambang batubara (Goldenberg 2014). Hadirnya pemimpin-pemimpin yang tidak
berpikir dan berperilaku demokratis ini telah menjadikan dunia semakin rentan
terhadap ancaman perubahan iklim.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Hadirin sekalian,

Penurunan performa demokrasi di berbagai negara sebagaimana diilustrasikan di


atas berlangsung justru pada saat mereka dipimpin oleh penguasa yang terpilih
melalui proses yang demokratis (Mujani dan Liddle 2021). Hal ini dapat dikatakan
sebagai konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. Prosedur demokrasi
memungkinkan siapa pun, termasuk yang tidak percaya pada substansi
demokrasi, untuk berkuasa.

Para sarjana berdebat bagaimana menjelaskan fenomena krisis demokrasi dan


menguatnya politik populis baik di negara maju maupun berkembang. Kelompok
pertama, yang menjadi pandangan arus utama, melihat fenomena politik populis
para pemimpin seperti Donald Trump, Narendra Modi, dan Jair Bolsonaro, sebagai
bentuk ancaman bagi demokrasi. Demokrasi telah dibajak oleh mereka yang tak
segan-segan menggunakan politik polarisasi masyarakat sebagai strategi politik.
Kelompok kedua melihat bahwa problem utamanya bukan terletak pada individu-
individu tersebut, melainkan pada kondisi demokrasinya.

16
Wendy Brown (2015) melihat bahwa transformasi neoliberal dalam tiga atau
empat dekade terakhir telah mengubah logika dan praktik demokrasi.
Tantangannya bukan hanya soal bahwa demokrasi dikuasai oleh para oligarkh,
tetapi bahwa demokrasi mengalami ekonomisasi. Terma-terma politik demokrasi
seperti 'representasi' telah digantikan oleh 'elektabilitas,' 'konsolidasi politik' oleh
'branding,' yang menjadikan praktik demokrasi seperti halnya pasar: tempat
transaksi penjual dan pembeli.

Apa dampaknya? Pertama, model demokrasi ini tidak menawarkan alternatif


politik. Pemilihan umum memang terselenggara, tapi tidak banyak menghasilkan
pilihan-pilihan kebijakan. Gerakan Podemos di Spanyol memiliki slogan yang
menggambarkan ini: “We have voices, but we don't have choices” (Mouffe, 2018).
Praktik-praktik demokrasi neoliberal telah meminggirkan demos, the people.
Mereka tidak punya kedaulatan saat berhadapan dengan para elite yang
menguasai politik. Ketika terjadi krisis ekonomi, seperti fenomena krisis 2008,
ruang untuk politik populis terbuka lebar. Politik populis dianggap memberikan
saluran bagi mereka, the unheard, agar suara mereka terdengar. Dalam konteks AS,
misalnya, slogan “Make America Great Again” Trump dapat menarik dukungan dan
menjadi respons subversif bagi kaum globalis yang menguasai politik AS selama
ini.

Kedua, ekonomisasi demokrasi membuat biaya demokrasi di dunia menjadi


sangat mahal. Implikasinya, praktik demokrasi mahal ini telah dan akan terus
melanggengkan aliansi bisnis-politik dan praktik korupsi politik. Secara umum,
korupsi politik dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kewenangan publik
untuk kepentingan diri sendiri, dengan pelaku utama adalah para pengambil
keputusan dan bertujuan untuk akumulasi kekayaan dan/atau mempertahankan
kekuasaan (Amundsen 2006). Di banyak negara, korupsi politik telah
menimbulkan konsekuensi yang serius, antara lain terhambatnya pembangunan
sektor-sektor utama ekonomi, membesar dan meluasnya pelbagai masalah sosial,
dan rusaknya ketegasan hukum. Konsekuensi terburuk dari korupsi adalah
membusuknya sistem politik: “Corruption contributes to the delegitimation of the
political and institutional systems in which it takes root” (Heywood 1997, 421).
Delegitimasi sistem politik dan kelembagaan menjadi salah satu ciri negara
otoriter, tetapi ia ternyata juga dapat ditemukan di negara demokrasi.

17
Demokrasi yang baik biasanya ditandai dengan berjalannya tiga mekanisme
akuntabilitas (Luhrmann, Marquardt & Mechkova 2020). Pertama, akuntabilitas
horizontal atau institusional, yang ditandai dengan berjalan tidaknya fungsi check
and balances antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua,
akuntabilitas vertikal atau elektoral, yang dapat dilihat dari seberapa akuntabel
negara di mata pemilih serta seberapa jauh rakyat akan menggunakan hak pilih
mereka untuk menghukum pejabat lembaga eksekutif maupun legislatif yang
dianggap tidak akuntabel. Ketiga, akuntabilitas diagonal atau sosial, yang dapat
dirujuk dari seberapa jauh media dan masyarakat sipil mampu menjaga
akuntabilitas negara melalui jalur non-elektoral. Korupsi politik mencederai ketiga
mekanisme akuntabilitas tersebut. Korupsi politik berpotensi merusak legitimasi
institusi-institusi pemerintah, mencegah terselenggaranya pemilu yang
bermakna, dan mengurangi insentif masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
menjaga akuntabilitas negara dan sistem demokrasi itu sendiri. Selama terdapat
dishonest interests dan special connections antara para pengambil keputusan
dengan kelompok bisnis, selama itu pula korupsi politik dengan dampak
merusaknya akan terus berlangsung dan semakin melemahkan demokrasi.

Dalam 2021 Corruption Perception Index, Transparency International (2022)


mencatat bahwa bukan merupakan sebuah kebetulan korupsi, pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, dan menurunnya demokrasi berjalan pada saat yang
sama. Situasi ini semakin serius khususnya sejak pandemi COVID-19 melanda
pada tahun 2020: “If anything the COVID-19 crisis has heightened the need to root out
corruption” (Cruz-Osorio 2020), “the coronavirus presents a “perfect storm” for
corruption” (World Justice Project 2020). Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah memberi peringatan bahwa korupsi adalah
tindakan kriminal, tidak bermoral, dan bahkan lebih merusak pada masa pandemi.
Penyalahgunaan dana kesehatan senilai lebih dari $200 juta oleh para pejabat di
Brasil dan penyelewengan milyaran rupiah bantuan sosial oleh, ironisnya, bekas
Menteri Sosial di Indonesia adalah dua contohnya. Dalam konteks inilah,
penguatan komitmen dan percepatan implementasi strategi antikorupsi sangat
diperlukan untuk memastikan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan
memperbaiki kondisi demokrasi di berbagai negara.

18
Bagaimana jalan keluarnya?

Di tengah aneka kekecewaan kita terhadap demokrasi, bisa jadi ada godaan besar
untuk bertanya: lantas buat apa demokrasi, buat apa memperjuangkannya?
Penting diingat bahwa justru ketika kepercayaan kita pada demokrasi mencapai
titik terendah, pada titik itu jugalah more democracy is needed – not less. Di tengah
perdebatan mengenai apa jenis demokrasi yang dibutuhkan – dari yang
menekankan pada aspek elektoral, aspek kebebasan, aspek deliberasi, aspek
kesetaraan, dan sebagainya – bisa jadi, yang paling dibutuhkan adalah menjadi
demokrasi yang belajar, a democracy that learns (Panggabean, 2009).

Bagaimana menjadi demokrasi yang belajar? Mungkin, langkah pertama adalah


dengan menyikapi demokrasi secara sober – tidak mabuk cinta maupun mabuk
amarah. Justru karena kita menerima bahwa demokrasi itu bukan sistem yang
sempurna, alias sistem yang mudah dibajak oleh pihak-pihak yang tidak percaya
pada keutamaan demokrasi dan sistem yang rentan terpengaruh oleh aneka krisis
yang datang silih berganti, kita perlu terus belajar cara-cara baru untuk
memperkuatnya. Transformasi digital, pandemi, dan krisis iklim sebagai
tantangan kontemporer yang dihadapi negara maupun rakyat secara tidak
langsung mendesak pengimplementasian demokrasi yang belajar. Ketiga
tantangan ini membuat kita memahami bahwa keluwesan dalam menavigasikan
demokrasi dibutuhkan untuk menyikapi hal-hal yang di luar tampak apolitis, tetapi
dalam praktiknya erat dengan dinamika kuasa.

Langkah kedua adalah dengan memperdalam apa yang dimaksud dengan proses
pembelajaran demokrasi yang mengedepankan pendekatan berbasis evidence.
Artinya, belajar demokrasi tidak hanya sekadar inventarisasi problematika dan
tantangan yang dihadapi, tetapi juga menginisasi upaya-upaya untuk mencari
solusi serta tetap terbuka terhadap kritik dan proses deliberasi.

Langkah yang ketiga adalah mereaktivasi makna 'demos' pada demokrasi. Siapa
yang belajar di dalam demokrasi? Aktor-aktor yang berperan penting dalam
demokrasi tidak hanya pemerintah, tetapi kita juga perlu secara eksplisit
memperkuat peran masyarakat sipil sebagai sisi lain dari pilar demokrasi.

Upaya penguatan 'demos' maupun 'kratos' setidaknya sudah mulai kita


kembangkan di FISIPOL UGM melalui kanal-kanal riset untuk pengembangan
kebijakan maupun kolaborasi dengan masyarakat sipil. Riset tentang Global South,
misalnya, berusaha menunjukkan emansipasi negara maupun masyarakat sipil di
negara-negara Selatan, termasuk Indonesia, agar tidak terjebak pada hegemoni
Utara.

19
Langkah untuk berkontribusi secara positif terhadap produksi dan implementasi
kebijakan yang inklusif dilakukan melalui riset inklusi. Selain itu, produk
pengetahuan yang bertujuan menguatkan masyarakat sipil dalam berdemokrasi
dihasilkan melalui berbagai riset yang berfokus pada gerakan masyarakat sipil,
seperti Damai Pangkal Damai. Merespons perkembangan geliat masyarakat sipil
di ranah digital, riset mengenai literasi digital dilancarkan untuk mempersiapkan
proses demokrasi yang sehat di platform ini. Berbagai produk pengetahuan ini
diharapkan tidak hanya menjadi tumpukan dokumen, melainkan pengantar untuk
mempraktikkan demokrasi yang belajar.

Penutup

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Demikianlah pidato untuk membuka peringatan Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun ini. Terima kasih telah
mendengarkan dengan sabar.

Meminjam kalimat Prof. Dr. Mohtar Mas'oed dalam Pidato Dies Natalis ke-62
Universitas Gadjah Mada (2011), “Mungkin tidak ada yang baru dalam
pembicaraan ini. Tetapi kalau sesudah ini semakin banyak yang tergugah
perhatiannya dan ikut memikirkan jalan keluar dari kesulitan ini, tercapailah sudah
tujuannya.” Semoga dari pidato ini banyak hal yang bisa kita pelajari dan
kembangkan lebih lanjut, khususnya untuk perbaikan demokrasi dan kemajuan
negeri kita tercinta Indonesia. Adalah harapan kita bahwa semua uraian di atas
bisa dijadikan sebagai refleksi, sekaligus dorongan untuk kembali menata
kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan kita, di
tengah-tengah ketidakpastian di masa depan. Semoga Tuhan yang Mahakuasa
memberi kesabaran, kekuatan, dan kemudahan untuk kita semua. Aamiin.

Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

20
REFERENSI

Amindoni, Ayomi. 2020. UU Cipta Kerja: Kesalahan ‘fatal’ pasal-pasal Omnibus Law akibat ‘proses
legislasi ugal-ugalan’, apakah UU layak dibatalkan? BBC News Indonesia. 3 November.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54768000
Amundsen, Inge. 2006. Political Corruption. U4 Issue No. 6, Chr. Michelsen Institute, Bergen.
Apoorvanand. 2020. How the coronavirus outbreak in India was blamed on Muslims. Aljazeera.
18 April. https://www.aljazeera.com/opinions/2020/4/18/how-the-coronavirus-outbreak-in-
india-was-blamed-on-muslims
Arvanitopoulos, Constantine. 2022. The state of American democracy after Trump. European
View, 21(1).
BBC. 2021. Brazil Cuts Environment Budget Despite Climate Summit Pledge. 24 April.
https://www.bbc.com/news/world-latin-america-56847958
Brass, Paul R. 1991. Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison. Sage Publications.
Brown, Wendy. 2015. Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution. New York: Zone
Books.
Capri, Wigke. 2021. Disrupsi Teknologi: Klaim Representasi Netizen Twitter. Brief Article Series
09-01. Oktober. https://megashift.fisipol.ugm.ac.id
Cinelli, Matteo, et.al. 2021. The Echo Chamber Effect on Social Media. PNAS, 118(9).
https://www.pnas.org/doi/epdf/10.1073/pnas.2023301118
Climate Action Tracker. 2020. Paris Agreement Turning Point. December.
https://climateactiontracker.org/documents/829/CAT_2020-12-
01_Briefing_GlobalUpdate_Paris5Years_Dec2020.
CNBC Indonesia. 2022. Sebulan Tiga Kali Data Bocor, DPR: Kominfo Memalukan. 7 September.
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220907141656-37-370096/sebulan-tiga-kali-data-
bocor-dpr-kominfo-memalukan
CNN Indonesia. 2021. KontraS: 938 Pedemo Ditangkap dengan Dalih Langgar Prokes. 10 Juni.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210610152323-12-652735/kontras-938-
pedemo-ditangkap-dengan-dalih-langgar-prokes
CNN Indonesia. 2022. Walhi Beberkan 3 Masalah Krusial Lingkungan di Ibu Kota Negara Baru. 13
Januari. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220113114142-20-746071/walhi-
beberkan-3-masalah-krusial-lingkungan-di-ibu-kota-negara-baru
Colomina, Carme, Héctor Sanchez Margalef & Richard Youngs. 2021. The impact of
disinformation on democratic processes and human rights in the world. European
Parliament.
https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2021/653635/EXPO_STU(2021)653
635_EN.pdf
Cota, et. al. 2019. Quantifying Echo Chamber Effects in Information Spreading over Political
Communication Networks. EPJ Data Science, 8(35). DOI:
https://doi.org/10.1140/epjds/s13688-019-0213-9
Cruz-Osorio, Jose. 2020. Corruption: the other global pandemic to eradicate. UNDP. 9 December.
https://www.undp.org/blog/corruption-other-global-pandemic-eradicate
Datafolha. 2022. Datafolha: Reprovação ao Governo Bolsonaro cai a 46%; aprovação é de 25%.
https://www1.folha.uol.com.br/poder/2022/03/datafolha-reprovacao-de-bolsonaro-cai-a-
46-aprovacao-e-de-25.shtml
Dihni, Vika Azkiya. 2022. Korban Kriminalisasi UU ITE Menurun pada 2021. Katadata. 29 Maret.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/29/korban-kriminalisasi-uu-ite-
menurun-pada-2021

21
Exame. 2022. Pesquisa para presidente: Lula Tem 45%, e Bolsonaro, 36%, No Primeiro Turno. 22
June. https://exame.com/brasil/pesquisa-para-presidente-lula-bolsonaro-junho/
Fankhauser, Sam, Ana de Menezes & Nina Opacic. 2019. UK research on the social science of
climate change–a synthesis of ESRC and related investments. Place-Based Climate Action
Network. September.
https://pcancities.org.uk/sites/default/files/Review%20of%20Social%20Science%20Researc
h%20on%20Climate%20Change.pdf
Freedom House. 2020. Democracy under Lockdown. https://freedomhouse.org/report/special-
report/2020/democracy-under-lockdown
Freedom House. 2022. Freedom in the World 2021: Democracy Under Siege.
https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2021/democracy-under-siege
Frost, Rosie. 2022. All the European Countries Returning to ‘Dirty’ Coal as Russia Threatens to
Turn Off the Gas Tap. Euronews. 24 July. https://www.euronews.com/green/2022/06/24/all-
the-european-countries-returning-to-dirty-coal-as-russia-threatens-to-turn-off-the-gas
Goldenberg, Suzanne. 2014. Is Narendra Modi a Climate Sceptic? The Guardian. 9 September.
https://www.theguardian.com/environment/2014/sep/09/narendra-modi-india-prime-
minister-climate-change-sceptic
Gonzaga, Diego. 2022. Bolsonaro is a Catastrophe for the Environment. Greenpeace. 26 January.
https://www.greenpeace.org/international/story/52098/bolsonaro-president-brazil-
amazon-environment/
Hampton, Keith N., Chul-joo Lee & Eun Ja Her. 2011. How new media affords network diversity:
Direct and mediated access to social capital through participation in local social settings.
New Media & Society, 7: 1031–1049.
Hart, William, Dolores Albarracín, Alice H. Eagly, Inge Brechan, Matthew J. Lindberg & Lisa Merrill.
2009. Feeling Validated Versus Being Correct: A Meta-Analysis of Selective Exposure to
Information. Psychology Bulletin, 135(4): 555–588.
Heywood, Paul. 1997. Political Corruption: Problems and Perspectives. Political Studies, 45(3):
417–435.
Human Rights Watch. 2021. Brazil: Events of 2020. https://www.hrw.org/world-
report/2021/country-chapters/brazil
International Energy Agency (IEA). 2022. World Energy Investment 2022.
https://iea.blob.core.windows.net/assets/db74ebb7-272f-4613-bdbd-
a2e0922449e7/WorldEnergyInvestment2022.pdf
International IDEA. 2021. The Global State of Democracy 2021: Building Resilience in a Pandemic
Era. https://www.idea.int/gsod/sites/default/files/2021-11/the-global-state-of-democracy-
2021_1.pdf
Jakarta Globe. 2020. Indonesia’s Flawed Democracy Improves as Civil Liberty, Political Culture
Stagnate. 22 January. https://jakartaglobe.id/news/indonesias-flawed-democracy-
improves-as-civil-liberty-political-culture-stagnate/
Kamarck, Elaine. 2021. Did Trump damage American democracy? Brookings. 9 July.
https://www.brookings.edu/blog/fixgov/2021/07/09/did-trump-damage-american-
democracy/
Lührmann, Anna, Kyle L. Marquadt & Valeriya Mechkova. 2020. Constraining Governments: New
Indices of Vertical, Horizontal, and Diagonal Accountability. American Political Science
Review, 114(3): 811–820.
Mansoor, Sanya. 2022. Brazil’s October Elections Will be the Biggest Test of Its Democracy Yet.
Time. 15 September. https://ca.news.yahoo.com/brazil-october-elections-biggest-test-
171336385.html
Mas’oed, Mohtar et.al. 2011. Untuk Apa Negara? Renungan Akhir Tahun tentang Tanggung Jawab
Penyelenggaraan Layanan Publik. Pidato Peringatan Dies Natalis ke-62 Universitas Gadjah
Mada. 19 Desember.

22
Mashal, Mujib, Suhasini Raj & Hari Kumar. 2022. As Officials Look Away, Hate Speech in India
Nears Dangerous Levels. The New York Times. 9 February.
https://www.nytimes.com/2022/02/08/world/asia/india-hate-speech-muslims.html
Mietzner, Marcus. 2021. Sources of Resistance to Democratic Decline: Indonesian Civil Society
and Its Trials. Democratization, 28(1): 161–178.
Mouffe, Chantal. 2018. For a Left Populism. London: Verso.
Mujani, Saiful & William Liddle. 2021. Indonesia: Jokowi Sidelines Democracy. Journal of
Democracy, 32(4): 72–86.
Nicas, Jack. 2021. Bolsonaro’s Ban on Removing Social Media Posts Is Overturned in Brazil. The
New York Times. 15 September.
https://www.nytimes.com/2021/09/15/world/americas/brazil-bolsonaro-social-media-
ban.html
Panggabean, Samsu Rizal. 2009. Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta. PUSAD Paramadina.
Petz, Daniel. 2022. G20 - Malakelola Kebijakan Iklim untuk Planet yang Malang? dalam Poppy S.
Winanti & Wawan Mas’udi (eds.), G20 di Tengah Perubahan Besar: Momentum
Kepemimpinan Global Indonesia? Yogyakarta: UGM Press, 157–169.
Quealy, Kevin. 2021. The Complete List of Trump’s Twitter Insults (2015-2021). The New York
Times. 19 January. https://www.nytimes.com/interactive/2021/01/19/upshot/trump-
complete-insult-list.html
Reporters Without Borders. 2020. Brazil Quarterly Analysis: Media Face Censorship on Multiple
Fronts. https://rsf.org/en/brazil-quarterly-analysis-media-face-censorship-multiple-fronts
Reuters. 2022. Poll Shows Bolsonaro Narrowing Gap to Lula Ahead of Brazil Election. 10
September. https://www.reuters.com/world/americas/bolsonaro-narrows-deficit-lula-
ahead-brazil-election-datafolha-poll-2022-09-09/
Sá Pessoa, Gabriela & Kasha Patel. 2022. Amazon Deforestation Hits New Record in Brazil. The
Washington Post. 8 July. https://www.washingtonpost.com/climate-
environment/2022/07/08/amazon-rainforest-deforestation-record-climate/
Savarese, Mauricio & Debora Alvares. 2022. Explainer: Brazil’s Bolsonaro, Top Court on Collision
Course. Associated Press. 28 April. https://apnews.com/article/jair-bolsonaro-steve-
bannon-brazil-75b73b17e47867e0670db8711f149ce2
Singh, Prerna. 2021. India has become an ‘electoral autocracy.’ Its covid-19 catastrophe is no
surprise. The Washington Post. 5 July.
https://www.washingtonpost.com/politics/2021/07/05/india-has-become-an-electoral-
autocracy-its-covid-19-catastrophe-is-no-surprise/
Spring, Jake. 2021. Brazil Cuts Environment Spending One Day After U.S. Climate Summit Pledge.
Reuters. 24 April. https://www.reuters.com/business/environment/brazil-cuts-
environment-spending-one-day-after-us-climate-summit-pledge-2021-04-23/
Sunstein, Cass R. 2007. Group Polarization and 12 Angry Men. Negotiation Journal, 23(4):
443–447.
The Economist Intelligence Unit. 2022. Democracy Index 2021: less than half the world lives in a
democracy. 10 February. https://www.eiu.com/n/democracy-index-2021-less-than-half-the-
world-lives-in-a-democracy/
Transparency International. 2022. CPI 2021: Highlights and Insights. 25 January.
https://www.transparency.org/en/news/cpi-2021-highlights-insights
Varieties of Democracy Institute. 2022. Democracy Report 2022: Autocratization Changing
Nature? https://v-dem.net/media/publications/dr_2022.pdf
Varshney, Ashutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India. Delhi:
Oxford University Press.

23
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2021. Menyoal 4 Masalah UU Minerba yang Merugikan
Masyarakat Luas. 23 Agustus. https://www.walhi.or.id/menyoal-4-masalah-uu-minerba-
yang-merugikan-masyarakat-luas
Wardah, Fathiyah. 2022. Pakar: Polemik RKUHP Harus Diperbaiki dengan Melibatkan
Masyarakat. VoA Indonesia. 17 Juli. https://www.voaindonesia.com/a/pakar-polemik-
rkuhp-harus-diperbaiki-dengan-melibatkan-masyarakat/6662055.html
Worland, Justin. 2019. Donald Trump Called Climate Change a Hoax. Now He's Awkwardly
Boasting About Fighting It. Time. 8 July. https://time.com/5622374/donald-trump-climate-
change-hoax-event
World Health Organization. 2022. WHO Coronavirus (COVID-19) Dashboard: The United States.
https://covid19.who.int/region/amro/country/us
World Justice Project. 2020. Corruption and the COVID-19 Pandemic. July.
https://worldjusticeproject.org/sites/default/files/documents/2020-07-
01%20Corruption%20and%20the%20COVID-19%20Pandemic_1.pdf

24
Pidato DIES Natalis ke-67 FISIPOL UGM
TRANSFORMASI DIGITAL, PANDEMI,
DAN KRISIS IKLIM:
TANTANGAN BARU DEMOKRASI GLOBAL
Pidato DIES Natalis ke-67 FISIPOL UGM
TRANSFORMASI DIGITAL, PANDEMI,
DAN KRISIS IKLIM:
TANTANGAN BARU DEMOKRASI GLOBAL

Anda mungkin juga menyukai