Anda di halaman 1dari 15

MENGANALISIS AGAMA DENGAN METODE

TIPOLOGI
MAKALAH

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama

Disusun Oleh :

ALIFIAH MATANO DITA NIM : 221007024

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya
dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah “Menganalisis Agama
dengan Metode Tipologi” ini dapat terselesaikan.

Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah
kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-
sahabat, serta para pengikutnya. Dan Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.

Makalah ini berisi ulasan-ulasan yang membahas tentang analisis agama menggunakan
metode tipologi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis
menyadari keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Sumbawa , Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………

DAFTAR ISI .....................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN…… ……………………………………………………………………

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………..

BAB 2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………….

A. Siapakah Tuhan itu?...............................................................................................................


B. Apa itu Kitab Suci? ……………………………………………………………………………
C. Bagaimana Perilaku Nabi dalam Kemanusiaan dan Kenabian……………………………
D. Kepribadian Rosul dalam Menghadapi Manusia Ketika Pertama Kali
Memproklamasikan Misinya………………………………………………………………..

BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………

DAFTAR PUTAKA…………………………………………………………………………...
BAB I

PENDAHULUAN

Metode tipologi merupakan sebuah metode yang dipakai secara luas di Eropa untuk mengetahui
dan memahami manusia dan Metode ini memiliki dua ciri penting yaitu: Pertama, mengidentifikasi
lima aspek agama dan Kedua, membandingkan kelima aspek agama ini dengan aspek yang sama
dalam agama lain.                                                           
5 aspek tadi antara lain adalah tuhan, Nabi/Rosul, kitab suci, situasi kemunculan nabi, individu
pilihan dari masing-masing atau tiap-tiap agama. Metodologi tipologi ini untuk dapat mengatahui
lebih luas tentang islam maka ada 5 langkah yaitu antara lain:
Meneliti suasana & situasi kebangkitan nabi
Memahami allah swt
Memahami islam dari al-qur'an
Memahami islam dari nabi muhamad saw
Mempelajari kader

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu kiranya penulis untuk merumuskan masalah
mengenai Dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu pendidikan Islam diantaranya adalah :
1. Siapakah Tuhan itu?
2. Apa itu kitab suci?
3. Bagaimana kepribadian nabi dalam dimensi kemanusiann dan kenabiannya?
4. Bagaimana situasi rosul menghadapi manusia ketika pertama kali memproklamasikan
misinya?
B. Tujuan Penulisan
Sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :
1. Mengetahui tipe, konsep, keistimewaan dan ciri ciri Allah SWT dalam Islam dengan
mengacuh kepada Al-Qur’an dan hadist Allah SWT yang terpercaya dan sahih.
2. Dapat menelaah kitab suci.
3. Mengetahui kepribadian nabi dalam dimensi kemanusiaan dan kenabiannya.
4. Mengetahui kepribadian Rosul dalam menghadapi manusia ketika pertama kali
memproklamasikan misinya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk menyatakan


berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat  al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti


berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol
atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai,


diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk
pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari
padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M.
Imaduddin, 1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang
dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-
Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga.
Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1.    Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme,
yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan
pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

             Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang
tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam 
hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap
sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini,
agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan roh.

  c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin
dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui
Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme


hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan
EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang
Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan
yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti
bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2.    Pemikiran Umat Islam

      Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang
teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah
yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu
faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah
ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh
Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya
faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal
diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga
antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik
dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung
kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak
muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka.
Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi
penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak
pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk
slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk
menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai.
Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian
sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu
merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok
yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung
dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua
disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik,
yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan


menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut
Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali
dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak
Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak
menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para
pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ َ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ َفُأول‬


َ ‫ِئك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka
mereka dalah orang-orang kafir.

 Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan
berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan
kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah,
mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan
bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang
kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar
dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa
besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban,
bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-
Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil.
Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata
Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang
sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian
yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah
memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut
kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan
golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni.
Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas
(ushul al-khamsah) yaitu:

meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya

Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)

Keadilan Tuhan (al-‘adalah)

Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)

Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

 Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan
wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib
memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan
kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini
dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20,
sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat
dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan
sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari
faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak
atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut
abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu 
Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti :
patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

 
ِ ‫ُون هَّللا ِ َأ ْندَا ًدا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬
ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ د‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka
mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

 Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme).
Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik
dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi
Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-
kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim
dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah,
kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul
pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep
ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat
Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ ‫مْس َو ْال َق َم َر لَ َيقُولُنَّ هَّللا ُ َفَأ َّنى يُْؤ َف ُك‬


‫ون‬ َ ْ‫ت َواَأْلر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش‬ ِ ‫َولَِئنْ َسَأ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan
matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman
dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah
memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan
bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang
dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran
manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta
Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

A. Apa Itu Kitab Suci?

Kasus-kasus terkait dengan sikap terhadap al-Qur’an di Indonesia, Amerika, dan di berbagai belahan
dunia, menunjukkan pentingnya kita memahami apa itu kitab suci secara historis dan sosiologis,
selain secara teologis. Bagi umat Islam umumnya, al-Qur’an adalah kitab suci.
Bagi umat Kristen umumnya, Al-Kitab (Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama) adalah kitab suci. Bagi
umat Hindu umumnya, Kitab Weda, Upanishads, dan Bagawad Gita, antara lain, adalah kitab suci.
Kitab-kitab ini menjadi suci melalui proses sejarah dan sosiologis manusia. Apa itu kitab suci?
Mengapa dan bagaimana sebuah kitab menjadi kitab suci?

Di Barat, kitab suci biasanya disebut scripture, berasal dari kata Latin script, artinya tulisan yang
bersifat netral, tapi kemudian dipakai untuk kitab yang suci atau sakral.

Dalam buku What is Scripture?, (Apa itu Kitab Suci?), Wilfred Cantwell Smith berargumen, sebuah
kitab menjadi suci bukan berasal dalam dirinya sendiri, tapi bermula dari manusia atau kelompok
manusia yang meyakini dan menjaganya sebagai suci. Bahkan ada kecenderungan orang untuk
memperlakukan teks seperti kitab suci. Ada proses skripturalisasi, proses membuat sebuah buku
atau teks menjadi suci. Singkatnya, menurut Smith, kitab suci adalah kegiatan manusia, bukan Tuhan
atau alam semesta.

Cara pandang sejarah dan sosiologis memandang kitab suci berbeda dengan cara pandang teologis
atau keyakinan metafisik bahwa kitab suci menjadi suci karena ia wahyu dari Kekuatan Ilahi,
kekuatan super-alami di luar kemampuan manusia. Cara pandang sejarah, sosiologis, dan komparatif
penting dan bermanfaat sebagai penyeimbang bagi keyakinan terhadap satu kitab yang sudah dan
sedang diyakini kebenarannya, namun pada saat yang sama menganggap rendah kitab-kitab lain
yang diyakini suci oleh komunitas-komunitas agama lain.

Sebuah kitab juga menjadi suci juga karena ada otoritas figur manusia, yang dianggap memiliki
kekuatan dan pengaruh bagi siapa saja yang meyakini. Otoritas kitab suci, secara historis dan
sosiologis, tidak berasal dari kitab itu sendiri, tapi berasal dari manusia atau orang-orang, mulai dari
satu atau beberapa orang saja, sampai kemudian banyak orang yang menganggapnya sebagai
otoritatif dan memiliki kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan mereka.

Konsep “Firman Tuhan”, untuk menunjuk al-Qur’an, Bibel, Tanakh, dan sebagainya, lahir dalam
konteks iman di atas. Dalam buku al-Wahyu al-Muhammadiy, cendekiawan yang wafat di Mesir
tahun 1935, Muhammad Rasyid Rida, menggunakan cara pandang teologis dan polemis dalam
membela wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad di tengah kritik sarjana-sarjana Orientalis terhadap
al-Qur’an.

Rasyid Rida mengkritik kitab-kitab agama lain. Bagi Rida dan umat Islam pada umumnya, al-Qur’an
adalah kitab suci terakhir dan satu-satunya yang sempurna, tanpa kesalahan, tanpa kontradiksi, dan
tanpa ada tandingan. Cara pandang ini juga ada dan berkembang dalam penganut agama-agama lain
terhadap kitab-kitab mereka.

Pengalaman keagamaan seorang figur Nabi, resi, dan sebagainya, menjadi pengalaman keagamaan
otoritas dan kemudian para pengikutnya. Wahyu yang terbatas pada manusia-manusia tertentu—
yang diyakini sebagai manusia-manusia pilihan—menjadi wahyu sebagai sumber ilmu dan inspirasi
bagi manusia-manusia lainnya. Sebuah kitab pun menjadi kitab suci, scripture, atau kitab sakral.

Al-Qur’an sebagai scripture, dipahami sebagai kitab atau tulisan, dan bacaan (Karena itu salah satu
namanya al-Qur’an). Kitab suci tidak sekadar teks atau tulisan tapi juga bersifat lisan, oral, atau
ucapan. Dimensi oral kitab suci dibahas sarjana lain William A. Graham dalam bukunya Beyond the
Written Word, Bukan Sekadar Kata Tertulis. Menurut Graham, kitab suci adalah konsep hubungan:
hubungan antara manusia-manusia dan teks atau kitab tertentu.

Sejalan dengan pendapat Smith di atas, Graham berpendapat, sebuah teks menjadi kitab suci dalam
hubungannya yang subyektif terhadap orang-orang dan menjadi bagian dair kumpulan-kumpulan
tradisi komunal yang cukup lama. Kitab suci ini dianggap bersifat transendental, melampaui dan
berbeda dengan perkataan dan kitab-kitab lain yang ada.

Tradisi menulis memiliki peran sangat penting dalam pembentukan kitab menjadi kitab dan kitab
suci. Hanya saja, banyak kitab suci awalnya adalah tradisi lisan sekelompok masyarakat tertentu, lalu
kemudian dituliskan di benda-benda yang ada dan menjadi teks tertulis, sehingga menjadi lestari.

Awalnya ditulis tangan, tapi kemudian di Abad Pertengahan, kitab suci itu dicetak dan dari situlah
kitab suci menyebar ke seluruh dunia. Umat Yahudi dan Kristen awalnya menyebut kitab-kitab
mereka saja sebagai scripture. Umat Islam melalui al-Qur’an menyebut umat Yahudi dan umat
Nasrani sebagai Ahlul-Kitab, para pemiliki kitab suci.

Namun, kitab suci menjadi suci juga karena aspek oralnya, dibaca, didengar, bahkan dipertunjukkan.
Selain al-Qur’an sendiri yang menyebut dirinya “Bacaan”, ada praktik membaca (tilawah) yang kuat
di masyarakat Muslim. Menurut Martin Luther (1546), Gospel adalah suara yang hidup (living voice),
yang dibaca dan didengar. Sebagai firman yang diucapkan, kitab suci menjadi bagian dari kehidupan
orang yang beriman, berpengaruh sangat penting terhadap kelestarian kitab suci itu dalam sejarah
manusia.

Kitab suci juga memiliki berbagai dimensi: pikiran, rasa, dan bentuk fisik. Membaca kitab suci sebagai
obyek bacaan melibatkan akal dan rasa manusia. Membaca secara keras atau membaca dalam hati
atau lembut, bahkan menghapal ayat-ayat melibatkan pikiran dan rasa. Dimensi oral ini sejak awal
hingga kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kitab-kitab suci yang ada.

Belajar tentang kitab-kitab suci membawa banyak faedah. Kitab suci menjadi sumber bagi ajaran-
ajaran agama-agama, sumber ritual atau ibadah, dan bahkan pemikiran dan praktik keluarga, sosial,
ekonomi, dan bahkan politik. Kitab suci adalah dokumen tertulis yang tertua dan otoritatif dalam
masing-masing agama. Kitab-kitab suci itu juga berlaku sebagai simbol sakral bagi mereka yang
meyakininya.

Kini kitab-kitab suci telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di luar bahasa asli, sehingga
mudah diakses siapa saja, meski tentu saja terjemahan tidak persis sama dengan aslinya. Hampir
semua kitab suci bisa diakses online, kendati tentu berbeda dengan kitab suci yang dipegang tangan
manusia.

Dan setiap kitab suci terbuka untuk dipelajari, dibaca, dan dikaji siapa saja. Kitab suci tidak lagi
terbatas hanya bagi manusia-manusia yang meyakini kebenaran dan kekuatannya.

B. Bagaimana Perilaku Nabi dalam Kemanusiaan dan Kenabian

Secara alami Nabi Muhammad SAW lembut dan baik hati. Ia selalu cenderung ramah dan
mengabaikan kesalahan orang lain. Kesopanan dan adab, kasih sayang dan kelembutan,
kesederhanaan dan kerendahan hati, simpati, dan ketulusan adalah beberapa kunci dari
karakternya. 

Namun, dalam hal kebenaran dan keadilan Nabi Muhammad SAW bisa tegas dan keras dan
diimbangi dengan kemurahan hati. Nabi Muhammad SAW memiliki tata krama yang menawan yang
membuatnya mendapatkan kasih sayang dari para pengikutnya dan mengamankan pengabdian
mereka. 

Meskipun utusan Allah SWT, tapi dia tidak pernah menunjukkan superioritas. Dia pernah bersabda,
"Saya seorang Nabi Allah, tetapi saya tidak tahu apa yang akan menjadi akhir saya." (Al-Bukhari)

Dilansir di Islam Web, dalam salah satu sabdanya yang dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut
kepada Allah dan hari perhitungan di hati manusia, dia berkata, "Hai orang Quraisy bersiaplah untuk
akhirat, aku tidak bisa menyelamatkanmu dari azab Allah; Wahai Bani Abd Manaf, aku tidak bisa
menyelamatkanmu dari Allah; Wahai Abbas, putra Abdul-Mutalib, aku juga tidak dapat
melindungimu; Wahai Fatimah, putri Muhammad, bahkan kamu pun tidak dapat aku selamatkan.”
(Al-Bukhari dan Muslim).

D. Kepribadian Rosul dalam Menghadapi Manusia Ketika Pertama Kali


Memproklamasikan Misinya.

1.Shidiq, artinya benar, yaitu bukan hanya perkataannya saja yang benar, tetapi perbuatannya juga
benar. Dalam hal ini, terdapat di Al Quran dalam surat An-Najm, ayat 4-5, “Tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemaunan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
di wahyukan kepadanya.”

2.Amanah, artinya terpecaya. Jika suatu urusan diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka
beliau akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tidak heran sedari remaja Muhammad SAW
mendapatkan gelar sebagai “Al-Amin”, yaitu orang yang dipercaya. Terdapat dalam surat Al-A’raf,
ayat 68, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat
yang terpercaya bagimu.”

3.Tabligh, artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan untuk manusia disampaikan
oleh Muhammad. Tidak ada yang disembunyikan sekecil apa pun olehnya tentang kebenaran.
Terdapat di dalam surat Al-Maidah, ayat 76, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”

4.Fathonah, yaitu sifat cerdas. Mustahil jika utusan Allah tidak berpikiran cerdas. Nabi harus mampu
menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke dalam islam.
Dalam menyampaikan ayat al-qur’an kemudian menjelaskan puluhan ribu hadits membutuhkan
kecerdasan yang luar biasa.
BAB III
PENUTUP

B. Kesimpulan.

Metode tipologi merupakan sebuah metode yang dipakai secara luas di Eropa untuk mengetahui dan
memahami manusia dan Metode ini memiliki dua ciri penting yaitu: Pertama, mengidentifikasi lima
aspek agama dan Kedua, membandingkan kelima aspek agama ini dengan aspek yang sama dalam
agama lain.
DAFTAR PUSTAKA

4. S2PAI - PRESENTASI_MetodeTipologiAgama (MunawarRahmat 12Sep2013).pdf

Perilaku dan Kebiasan Nabi Muhammad Sehari-hari | Republika Online

Apa itu Kitab Suci? | GEOTIMES

Konsep Ketuhanan dalam Islam - Pendidikan Agama Islam (google.com)

Tujuan dan Metodologi Memahami Islam - Kompasiana.com

https://www.minews.id/cuitan-mi/inilah-sifat-sifat-nabi-muhammad-saw-saat-berdakwah

Anda mungkin juga menyukai