Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MEMAHAMI FENOMENA DIGLOSIA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Lughah Al-Ijtima’iy

Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Thohir, S.Ag. M.Pd


Disusun oleh:
1. Reni Septia Purnamasari (06010220013)
2. Azizah Nur Kholifah (06020220029)
3. Ahmad Ghulam Z (06040220069)
4. Farah Nur Salfadilla (06040220074)
5. Inayatul Lathifah (06040220077)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kita rahmat serta nikmat
berupa kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “MEMAHAMI
FENOMENA DIGLOSIA” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman ukhuwah islamiyah.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Lughah Al-Ijtima’iy.
Selain itu, makalah ini disusun juga bertujuan menambah wawasan pembaca dan penulis
mengenai fenomena diglosia.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. H. Muhammad Thohir, S.Ag. M.Pd


selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Lughah Al-Ijtima’iy. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk
itu, saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 17 Oktober 2022

Penulis

2|Fenomena Diglosia
3|Fenomena Diglosia
Daftar isi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
Daftar isi......................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
LATAR BELAKANG....................................................................................................................................4
RUMUSAN MASALAH..............................................................................................................................4
TUJUAN....................................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
A. Pengertian Teori Diglosia.................................................................................................................5
B. Motif Teori Diglosia.........................................................................................................................7
C. Konteks Penggunaan Diglosia dalam Bahasa Arab..........................................................................8
BAB III........................................................................................................................................................10
PENUTUP...................................................................................................................................................10
KESIMPULAN.........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................12

4|Fenomena Diglosia
BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk social, tentunya manusia tidak akan lepas dari bahasa. Bahasa
menurut Kridalalaksana dan Djoko Kentjono dalam 'Chrystal dalam Chaer' 2014:32 ialah
sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk
bekerja sama, komunikasi, dan mengidentifikasi diri. Menurut Wibowo (2001), bahasa
adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap)
yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

Dalam bahasa terjadi fenomena-fenomena bahasa yang beragam, salah satunya


adalah fenomena diglosia. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat
pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada di masyarakat. Salah satu
contohnya ialah dalam penggunaan bahasa Indonesia, terdapat perbedaan antara bahasa
tulis dan bahasa lisan. Di dalam bahasa Arab pun fenomena ini sudah terjadi sejak jaman
jahili atau praislam. Setiap kabilah memiliki bahasanya masing-masing di samping lughah
musytarakah (bahasa bersama).

Melihat fenomena diglosia yang kerap terjadi, penulis tertarik untuk membahas
teori ini dalam makalah yang berjudul “Memahami Fenomena Diglosia”.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari teori diglosia?
2. Bagaimana motif teori diglosia?
3. Bagaimana konteks penggunaan teori diglosia?

TUJUAN
1. Mengetahui arti dari teori diglosia.
2. Mengetahui motif teori diglosia.
3. Mengetahui konteks penggunaan teori diglosia.

5|Fenomena Diglosia
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Diglosia
Diglosia adalah kondisi kebahasaan yang secara fungsional terbagi menjadi varian
bahasa atau bahasa yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat
perbedaan bahasa tulis dan bahasa lisan. Seperti halnya bilingualisme, diglosia adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih dalam suatu masyarakat, tetapi masing-masing memiliki
fungsi atau peran yang berbeda dalam suatu konteks sosial. Kedwibahasaan terjadi pada
tingkat tinggi dan rendah, digunakan dalam berbagai literatur.

Secara teoritis, diglosia merupakan bagian dari objek penelitian sosiolinguistik.


Menurut Nababan (198:2), penelitian bahasa dengan dimensi sosial disebut penelitian
sosiolinguistik .1Sosiolinguistik juga didefinisikan sebagai cabang linguistik yang
interdisipliner dengan sosiologi dan memiliki penelitian tentang hubungan antara bahasa
dan faktor sosial dalam komunitas tutur (Chair dan Agustin, 2014 : 4) Selain ketiga ahli
tersebut, terdapat ahli yang mendefinisikan sosiolinguistik, yaitu Suwito. Menurut Suwito
(1983:4) sosiolinguistik adalah studi interdisipliner yang membahas masalah-masalah
kebahasaan dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial.

Kata diglosia berasal dari kata Perancis diglossie, pernah digunakan oleh ahli
bahasa Perancis Marcais, tetapi istilah ini menjadi terkenal dalam studi bahasa ketika
digunakan oleh seorang ilmuwan dari Stanford University, yaitu C.A Ferguson pada tahun
1958. Simposium adalah Urbanisasi dan Bahasa Standar yang diselenggarakan oleh
American Anthropological Association di Washington. Ferguson mempopulerkan istilah ini
dengan artikelnya Diglossia yang diterbitkan dalam Word pada tahun 1959. Artikel ini juga
kemudian diterbitkan dalam Hymes (ed.) Language in Culture and Society (196: 429- 439)
dan Giglioli (ed.) Bahasa dan Kontak Sosial (1972). Sampai hari ini, artikel Ferguson
dianggap sebagai referensi klasik untuk diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold
(198) juga membahasnya. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menggambarkan

1
http://sc.syekhnurjati.ac.id

6|Fenomena Diglosia
keadaan masyarakat di mana terdapat dua varian bahasa tunggal, masing-masing dengan
peran tertentu.

Menurut Chaer dan Agustina (2010:102), diglosses didefinisikan sebagai perbedaan


dalam fitur penggunaan bahasa (khususnya, fitur T dan R). Chaer dan Agustina (2010:93),
situasi kebahasaan yang relatif stabil bahwa selain dialek utama (varian utama) satu
bahasa, juga merupakan standar daerah. Dari dialek utama, itu bisa menjadi dialek standar
atau standar regional.

Diglossia Feguson (Ibrahim, 1993:10) ingin mengetahui fakta umum bahwa penutur
sering menggunakan lebih dari satu bahasa dalam satu situasi dan variannya dalam situasi
lain. Ferguson juga memperhatikan bahwa ada kasus khusus dalam masyarakat, yaitu
adanya dua varian dari bahasa yang hidup. Masing-masing varian bahasa ini memiliki
perannya masing-masing. Kasus khusus yang disebut diglosia adalah untuk dibedakan dari
peralihan antara bahasa utama dan dialek daerah, dan juga harus dibedakan dari kasus
seperti dua bahasa berbeda yang digunakan dalam komunitas bahasa dalam dua bahasa
tersebut. . masing-masing memiliki peran yang berbeda berbeda. Selain Ferguson, ada
cendekiawan lain yang menjelaskan tentang diglosia. Pada tahun tahun 1967 Joshua
Fisman (Ibrahim, 1993:21) menerbitkan artikel yang mengkaji dan mengembangkan
konsep diglosia. Fisman percaya bahwa diglosia harus hati-hati dibedakan dari
bilingualisme.2 Fisman memodifikasi proposal asli Ferguson dalam dua hal penting.
Pertama, Fisman tidak terlalu menekankan pentingnya situasi di mana hanya terbatas
pada dua varian bahasa. Fisman memperhitungkan kemungkinan bahwa ada beberapa
kode yang berbeda, meskipun perbedaan paling sering adalah T (tinggi) pada garis akord
dan kurang umum adalah R (rendah). Dengan koneksi bahasa yang terjadi di wilayah
tengah, Fisman melonggarkan batas ini. John Gumperz berpendapat bahwa diglosia tidak
hanya ada di komunitas multibahasa yang secara resmi mengenal beberapa bahasa, dan
tidak hanya di masyarakat yang menggunakan dialek dan varian klasik, tetapi juga di
masyarakat yang menerapkannya. dialek dan varian klasik, dialek, register berbeda atau
varian berbeda secara fungsional.

2
Yuliana J. Moon & Algonsa Selviani, Diglosia Pada Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Santu Paulus
Ruteng, PROLITERA: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya vol.2 no. 2 2019, hal. 84

7|Fenomena Diglosia
Fishman menggunakan istilah diglosia dapat merujuk pada perbedaan linguistik
dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, dari perbedaan gaya yang paling ringan
dalam satu bahasa hingga penggunaan dua bahasa yang berbeda.

B. Motif Teori Diglosia


Syarat-syarat terjadinya tindakan kebahasaan yaitu: Pertama, adanya motif
subjektif sebagai unsur hakiki yang menjadi dasar tindakan sosial. Kedua, tindakan
kebahasaan merupakan tindakan yang melekat dalam interaksi sosial atau interaksi
antarpenutur secara timbal-balik. Ketiga, tindakan kebahasan merupakan tindakan untuk
mengomunikasikan motif subjektif dan mempertukarkan pesan dan informasi. Keempat,
tindakan kebahasaan dalam suatu pranata sosial adalah suatu tindakan yang berpola
(Kusnadi: 2018: 586). Max Weber menyebut tindakan yang dilakukan individu secara
timbal-balik sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan tindakan individu,
ditujukan kepada orang lain dengan harapan untuk memperoleh tanggapan balik (Kusnadi
2018: 585). Setiap peristiwa tutur yang terjadi merupakan tindakan sosial yang tidak
terjadi begitu saja melainkan disertai dengan tindakan yang disadari penuturnya. Weber
(dalam Johnson, 1994: 216) berpendapat bahwa tindakan sosial mengandung makna atau
maksud subjektif bagi pelakunya dan dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku
orang lain.
Maksud subjektif atau disebut dengan motif subjektif merupakan unsur penting karena
motif subjektif sebagai alasan subjektif pelaku dalam melakukan tindakan kebahasaan.
Menurut Verhaar (1981: 126-131), maksud memiliki pengertian yang berbeda dengan
makna dan informasi. Maksud adalah penafsiran subjektif suatu ujaran, baik dari sudut
penutur, maupun mitra tutur. Maksud adalah gejala tafsir subjektif partisipan terhadap
objek tuturan (teks). Perbedaan tafsir antara penutur dan mitra tutur bias terjadi bukan
karena struktur bahasanya (kalimat), tetapi karena persepsi partisipan itu dipengaruhi
oleh perbedaan latar sosial-budayanya, pengalamannya, dan kepentingannya dalam
peristiwa interaksi tersebut (Kusnadi, 2018: 587).

Dalam sosiolinguistik, diglosia adalah situasi dimana dua ragam bahasa yang
berbeda diucapkan dalam komunitas bahasa yang sama. Sebagai contoh diglosia dwibahasa
adalah merupakan diglosia yang mana disitu terdapat satu ragam bahasa yang digunakan

8|Fenomena Diglosia
untuk menulis dan satu ragam bahasa lagi untuk berbicara. Ketika orang bi-dialektal
berbicara, mereka dapat menggunakan dua dialek dari bahasa yang sama, berdasarkan
lingkungan mereka atau konteks yang berbeda dimana mereka menggunakan satu atau
beberapa ragam bahasa lainnya.3

Sebagai gambaran, dalam karakteristik bahasa Indonesia, faktor variasi dalam


menyampaikan ide-ide percakapan, menjadi bagian terpenting untuk diterapkan. Bahasa
memiliki variasi yang berbeda sesuai dengan struktur sosial komunitas tuturnya.
Fenomena ini menciptakan penggunaan bahasa yang berbeda untuk tujuan berbeda yang
kemudian disebut diglosia.

Dalam konteksnya, diglosia merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan


adanya penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R) yang
disesuaikan dengan situasi komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi
pada situasi resmi seperti pada lingkup pemerintahan dan pendidikan. Sedangkan ragam
rendah diunakan pada situasi tidak resmi seperti percakapan dengan teman.

C. Konteks Penggunaan Diglosia dalam Bahasa Arab


Fenomena diglosia dalam bahasa arab telah terjadi pada masa jahiliyyah atau bisa
disebut dengan zaman pra-islam. Dari penduduk Semenanjung Arab yang terdiri dari
beberapa kabilah yang menggunakan bahasa atau dialek khusus seperti dialek kabilah
Quraisy itu dijadikan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di
wilayah semenanjung arab, Hal ini merupakan fenomena diglosis dengan dijadikannya
dialek quraisy sebagai bahasa penghubung. Selain keistimewaan bahasa, kabilah Quraisy
juga secara politik ekonomi sangat diuntungkan karena dia berdomisili dari Makkah yang
merupakan pusat peradaban Arab masa itu karena Ka’bah adalah daya tarik utama
kedatangan orang Arab dari segala penjuru. 4Bahasa Arab baku adalah bahasa Quraisy yang
digunakan untuk Alquran dan Hadis Nabi Saw, selanjutnya Bahasa ini juga disebut sebagai
bahasa Arab fusha yang dimana bahasa Arab fusha ini adalah ragam bahasa yang
ditemukan dalam Alquran, Hadis Nabi dan warisan tradisi Arab5. Bahasa Bahasa Fusha
biasa digunakan dalam kesempatan- kesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi
3
I Dewa Putu Wijana. Pengantar Sosiolinguistik; 36. Yogyakarta; UGM Press. 2021
4
Nasri Akib. Bahasa Quraisy Sebagai Bahasa Persatuan 9 (Mei) 2016: hal. 97

9|Fenomena Diglosia
karya-karya seperti puisi, prosa, dan penulisan pemikiran intelektual secara umum
(Ya’qū b, 1982:144).

Dalam Bahasa Arab juga terdapat yang namanya bahasa ammiyah , Bahasa
Ammiyah adalah ragam bahasa yang digunakan untuk urusan-urusan biasa sehari-hari.
Bahasa ammiyah ini Menurut dari kalangan linguis modern memiliki sejumlah nama
semisal : al-syakl, al-dā rij, allahajā t al-sya’i`ah, al-lughah al-mahkiyah, al-lahajā t al-
dā rijah,al-lahajā t al-‘ā mmiyah, al-arabiyah al-‘ā mmiyah, al-lughah al-dā rijah, al-kalā m al-
darij, al-kalā m al-‘ā mmiy, dan lughah al-sya’b.kembali pada zaman pra Islam dulu
masyarakat Arab mengenal yang namanya stratifikasi kefasihan bahasa. Kabilah kabilah
yang dianggap paling fasih dibandingkam kabilah yang lain adalah kabilah Quraisy yang
dikenal sebagai pusarnya masyarakat Arab, Kefasihan bahasa Quraisy ini ditunjang oleh
tempat tinggal mereka yang secara geografis berjauhan dengan negara-negara bangsa non
Arab dari segala penjuru. Di bawah kefasihan Quraisy adalah bahasa kabilah Ṡā qif, Hużail,
Khuzā ‘ah, Banī Kinanah, Ghatafā n, Banī As’ad dan Bani Tamīm, menyusul kemudian kabilah
Rabī‘ah, Lakhm Judzā m, Ghassā n, Iyā ḍ .Qaḍ ā ‘ah dan Aram Yamā n yang bertetangga dekat
dengan Persia, Romawi dan Habasyah (Al-Rā fi‘ī, 1974:252-253).

Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi proses
saling pengaruh antar bahasa. Masyarakat mulai belajar berbahasa Arab, dan masyarakat
Arab akhirnya mulai mengenal bahasa mereka. Intensitas interaksi tersebut lambat laun
mulai berimbas pada penggunaan bahasa Arab yang mulai bercampur dengan beberapa
kosakata asing, baik dengan atau tanpa proses pengaraban (ta’rib) Pertukaran
pengetahuan antar mereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa Arab
khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. Masyarakat non Arab
juga kerap melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini
kemudian makin meluas melalui transaksi-transaksi sosial, misalnya dalam aktifitas
ekonomi di pasar-pasar. Ragam bahasa Arab yang digunakan, terutama di pasar-pasar,
pada gilirannya mulai menemukan ciri-ciri tersendiri dan meneguhkan identitasnya.
Bahasa pasaran itu telah menjadi medium komunikasi yang dimengerti oleh berbagai pihak
yang terlibat di dalamnya. Berbeda dengan ragam bahasa Arab fusha yang muatan
teologisnya sebagai bahasa agama, ragam bahasa “pasar” ini begitu ringan mengalir tanpa

10 | F e n o m e n a D i g l o s i a
adanya aturan yang rumit yang harus diwaspadai. Fenomena Fenomena penyimpangan
bahasa (laḥ n) adalah cikal bakal lahirnya bahasa Ammiyah bahkan ia disebut sebagai
bahasa ammiyah yang pertama. Berbeda dengan dialek-dialek bahasa Arab yang digunakan
di sejumlah tempat lokal, bahasa ammiyah dianggap sebagai suatu bentuk perluasan
bahasa yang tidak alami (Al-Rā fi‘ī, 1974:234). Bahasa arab ammiyah adalah bahasa yang
“menyalahi” kaidah-kaidah orisinal bahasa fusha. Dengan kata lain bahasa ammiyah adalah
bahasa dalam “penyimpangan” (lughah fī laḥ n) setelah sebelumnya merupakan fenomena
penyimpangan dalam (sebuah) bahasa (laḥ n fī lughah) Secara perlahan tapi pasti bahasa
ammiyah terus berkembang hingga menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidah-
kaidah dan ciri-cirinya sendiri. Bahasa ammiyah di negeri-negeri taklukan Islam awalnya
adalah laḥ n yang sederhana dan masih labil karena masyarakatnya masih memiliki watak
bahasa Arab yang genuin. Karena itu, di awal kemunculannya, bahasa ammiyah di kalangan
masyarakat masih mempunyai rentangan antara yang lebih dekat dengan bahasa baku
(fusha) sampai pada yang jauh darinya. Contoh daerah yang memiliki bahasa yang masih
sangat dekat dengan bahasa baku itu sampai abad ke-3 H. antara lain negeri Hijā z, Basrah
dan kufah (Al-Rā fi‘ī, 1974:255).5

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Kata diglosia berasal dari kata Perancis diglossie, pernah digunakan oleh ahli
bahasa Perancis Marcais, tetapi istilah ini menjadi terkenal dalam studi bahasa ketika
digunakan oleh seorang ilmuwan dari Stanford University, yaitu C.A Ferguson pada tahun
1958. Diglosia adalah kondisi kebahasaan yang secara fungsional terbagi menjadi varian
bahasa atau bahasa yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat
perbedaan bahasa tulis dan bahasa lisan.

5
Achmad Tohe, Bahasa Arab Fusha dan Amiyah serta Problematikanya, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang,,
hal. 202-204

11 | F e n o m e n a D i g l o s i a
Syarat-syarat terjadinya tindakan kebahasaan yaitu: Pertama, adanya motif
subjektif sebagai unsur hakiki yang menjadi dasar tindakan sosial. Kedua, tindakan
kebahasaan merupakan tindakan yang melekat dalam interaksi sosial atau interaksi
antarpenutur secara timbal-balik. Ketiga, tindakan kebahasan merupakan tindakan untuk
mengomunikasikan motif subjektif dan mempertukarkan pesan dan informasi. Keempat,
tindakan kebahasaan dalam suatu pranata sosial adalah suatu tindakan yang berpola
(Kusnadi: 2018: 586). Dalam sosiolinguistik, diglosia adalah situasi dimana dua ragam
bahasa yang berbeda diucapkan dalam komunitas bahasa yang sama.

Dalam konteksnya, diglosia merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya


penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R) yang disesuaikan
dengan situasi komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi
resmi seperti pada lingkup pemerintahan dan pendidikan. Sedangkan ragam rendah
diunakan pada situasi tidak resmi seperti percakapan dengan teman. Fenomena diglosia
dalam bahasa arab telah terjadi pada masa jahiliyyah atau bisa disebut dengan zaman pra-
islam. Dari penduduk Semenanjung Arab yang terdiri dari beberapa kabilah yang
menggunakan bahasa atau dialek khusus seperti dialek kabilah Quraisy itu dijadikan
sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di wilayah semenanjung arab,
Hal ini merupakan fenomena diglosis dengan dijadikannya dialek quraisy sebagai bahasa
penghubung.

12 | F e n o m e n a D i g l o s i a
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Tohe, Bahasa Arab Fusha dan Amiyah serta Problematikanya, Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang

http://sc.syekhnurjati.ac.id

I Dewa Putu Wijana. 2021. Pengantar Sosiolinguistik; 36. Yogyakarta; UGM Press.

Nasri Akib. 2016. Bahasa Quraisy Sebagai Bahasa Persatuan 9 (Mei)

Yuliana J. Moon & Algonsa Selviani. 2019. Diglosia Pada Mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia STKIP Santu Paulus Ruteng. PROLITERA: Jurnal Penelitian Pendidikan
Bahasa, Sastra, dan Budaya vol.2 no. 2

13 | F e n o m e n a D i g l o s i a

Anda mungkin juga menyukai