Anda di halaman 1dari 215

KAJIAN AKADEMIS

EVALUASI PENERAPAN NILAI DE MINIMIS


BARANG KIRIMAN DI INDONESIA
(STUDI KASUS PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI
TIPE C SOEKARNO HATTA)

Disusun Oleh:

Nama Peneliti/ Peneliti I : Wisnu Nugrahini


NIP : 197105061996032001
Pangkat / Golongan : IV A/Pembina
Jabatan : Widyaiswara Ahli Muda

Nama Peneliti/ Peneliti II : Desak Ketut Juniari Cameng


NIP : 197306071992122001
Pangkat / Golongan : IV A/Pembina
Jabatan : Widyaiswara Ahli Muda

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


JAKARTA
2021

i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama Peneliti/Pengkaji: Wisnu Nugrahini / Desak Ketut Juniari Cameng
NIP : 197105061996032001/ 197306071992122001
Pangkat / Golongan : IV A/Pembina
Jabatan : Widyaiswara Ahli Muda pada Pusdiklat Bea dan Cukai
dengan ini menyatakan bahwa kajian akademis yang kami susun dengan judul :

EVALUASI PENERAPAN NILAI DE MINIMIS


BARANG KIRIMAN DI INDONESIA
(STUDI KASUS PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI
TIPE C SOEKARNO HATTA)

adalah benar-benar hasil karya kami berdua dan bukan merupakan plagiat dari kajian
akademis orang lain. Hasil Kajian Akademis ini diserahkan kepada Badan Pendidikan
dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan/diperbanyak dan disebarluaskan.
Apabila kemudian hari pernyataan kami tidak benar, maka kami bersedia menerima
sanksi yang berlaku (dikenakan sanksi disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan
bilamana diperlukan.
Jakarta, 29 November 2021
Pembuat Pernyataan,

Desak Ketut Juniari Cameng Wisnu Nugrahini


197306071992122001 197105061996032001

ii
ABSTRAK

Kajian akademis ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan kebijakan de


minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) barang kiriman di Indonesia, apa
hambatan dan tantangannya, dengan studi kasus di Kantor Pelayanan Utama (KPU)
Bea dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta melalui evaluasi kebijakan sesuai dengan
rumusan masalah yang telah ditetapkan.
Kajian akademis ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif dengan
pendekatan analisa data versi Miles dan Huberman, bahwa ada tiga alur kegiatan, yaitu
reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Teknik pengumpulan data
dilaksanakan dengan menggunakan wawancara, kuesioner, focus group discussion,
observasi lapangan, dan data sekunder diperoleh dari Direktorat Informasi Kepabeanan
dan Cukai, Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta
serta studi literatur. Metode utama adalah wawancara kepada perumus kebijakan
sebagai key informan dilanjutkan indepth interview. Uji keabsahan data dikembangkan
oleh peneliti dan dilakukan uji credibility (kredibilitas) atau uji kepercayaan terhadap
data hasil penelitian melalui perpanjangan pengamatan, meningkatkan kecermatan
dalam penelitian dan triangulasi.
Kesimpulan kajian adalah kebijakan de minimis FOB USD 3.00 (tiga United
States Dollars) dampaknya masih kurang efektif, yang artinya belum dapat mencapai
sepenuhnya tujuan yang diinginkan dari perumusan kebijakan tersebut. Hal ini
tercermin masih belum turunnya jumlah dan volume barang kiriman, meskipun
penerimaan sudah meningkat dan level of playing field sudah terpenuhi. Hambatan
yang dihadapi adalah kurangnya jumlah SDM dan belum didukung dengan sarana dan
prasarana yang memadai. Tantangan yang dihadapi adalah perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang sangat cepat dan dinamis, pandemi Covid-19, dan
kepatuhan pajak yang masih rendah.

Kata-kata kunci : de minimis, barang kiriman, kebijakan, evaluasi kebijakan,


efektifitas, hambatang, tantangan

iii
ABSTRACT

This academic study aims to evaluate the implementation of the policy of 3 USD for
consignment goods in Indonesia, what are the barriers and the challenges, with a case
study at the Soekarno Hatta Main Service Office (KPU) through policy evaluation in
accordance with the problem formulation that has been determined.
This academic study uses a descriptive qualitative analysis method with a data analysis
approach of Miles and Huberman's theory, that there are three flow of activities,
namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The techniques of
Data collection were carried out using interviews, questionnaires, focus group
discussions, field observations, secondary data from related parties, the Directorate of
IKC, Soekarno Hatta KPU and literature studies. The main method is interviews with
policy makers as the key informants followed by the other methods. A validity test of
the data was developed by the researcher and carried out by the credibility test or trust
test on the research data through extended observations, increasing accuracy in
research and triangulation.
The conclusion of the study is the de minimis policy of FOB USD 3.00 (three United
States Dollars) has impact less effective, which means that it has not been able to fully
achieve the desired objectives of the formulation of the policy. This is reflected in the
continued decline in the number and volume of consignments, although the revenue
have increased and the level of playing field has been met. The barriers faced are the
lack of human resources and the lack of adequate facilities and infrastructure. The
challenges faced are the very fast and dynamic development of information and
communication technology, the Covid-19 pandemic and low tax compliance.

Key words: Demiminus, consignment goods, Policy, Policy Evaluation, Effectiveness,


Barriers, Challenges

iv
KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT/ Tuhan yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan karunia kesehatan dan
kelapangan berfikir hingga kami dapat menyelesaikan kajian akademis ini. Kajian
akademis ini adalah sebuah sumbangsih kami untuk ikut serta memberikan masukan
bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan juga sebagai bentuk kontribusi kami
terhadap Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan yang mulai membangun budaya
penelitian sebagai pondasi untuk mewujudkan Corporate University Kementerian
Keuangan serta bagi dunia akademisi pada umumnya.
Kajian akademis ini secara khusus membahas mengenai Evaluasi Penerapan Nilai De
Minimis Barang Kiriman di Indonesia dengan mengambil studi kasus pada Kantor
Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta, dengan menggunakan
kerangka evaluasi kebijakan publik berdasarkan teori Willam N. Dunn.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
serta mendukung, membantu, dan berpartisipasi aktif sehingga kajian ini dapat
diselesaikan. Semoga sumbangsih kami dalam bentuk kajian ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak terkait. Pada akhirnya kami percaya bahwa perbaikan yang
berkesinambungan terhadap pola-pola pelayanan dan pengawasan yang dijalankan
DJBC akan mendorong kelancaran proses kepabeanan pada umumnya namun dengan
tetap dapat menjamin hak-hak negara secara efektif.
Sebagai manusia biasa, kami menyadari akan keterbatasan yang ada pada kami. Untuk
itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pihak yang berkepentingan, untuk
penyempurnaan penelitian ini ke depannya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Jakarta, 29 November 2021

Wisnu Nugrahini
Desak Ketut Juniari C

v
DAFTAR ISI

KAJIAN AKADEMIS ................................................................................................... i


SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii
ABSTRAK ................................................................................................................... iii
ABSTRACT ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ ix
DAFTAR GRAFIK ....................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 12
C. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 15
D. Ruang Lingkup................................................................................................. 16
D.1. Periode waktu pengamatan ....................................................................... 16
D.2. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 16
D.3. Unsur-unsur yang Diteliti ......................................................................... 16
E. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 17
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 17
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................... 18
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 18
A.1. E-Commerce ............................................................................................. 18
A.2. Kepabeanan E-Commerce ........................................................................ 21
A.3. Kebijakan Publik ...................................................................................... 33
A.4. Fungsi Pemerintah dalam Pembangunan .................................................. 37
B. Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 39

vi
C. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................................... 45
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................. 50
A. Jenis Penelitian................................................................................................. 50
B. Jenis dan Sumber Data ..................................................................................... 52
C. Metode Analisis Data ....................................................................................... 55
D. Keabsahan Data................................................................................................ 59
E. Definisi Operasional Variabel .......................................................................... 63
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .............................................................. 68
A. Hasil Wawancara ............................................................................................. 69
A.1. Perumus Kebijakan ................................................................................... 69
A.2. Pelaksana Kebijakan ................................................................................. 81
A.3. Pengguna Kebijakan ................................................................................. 91
B. Hasil Kuesioner ................................................................................................ 98
C. Hasil Focus Group Discussion (FGD) .......................................................... 106
D. Pembahasan .................................................................................................... 127
D.1. Efektifitas ................................................................................................ 131
D.2. Efisiensi .................................................................................................. 141
D.3. Responsivitas dan Kecukupan ................................................................ 143
D.4. Ketepatan dan Keadilan .......................................................................... 145
E. Hambatan ....................................................................................................... 147
F. Tantangan ....................................................................................................... 149
G. Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 152
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................... 153
A. Kesimpulan .................................................................................................... 153
B. Rekomendasi .................................................................................................. 155
C. Penelitian Selanjutnya .................................................................................... 156
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 157
LAMPIRAN .............................................................................................................. 162
GLOSARIUM ........................................................................................................... 203

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II-1 Model Kerangka Pemikiran ............................................................................... 47


Gambar III-1 Triangulasi Sumber Data .................................................................................. 62
Gambar IV-1 Alur Penanganan Barang Atas Barang Kiriman ............................................. 127
Gambar IV-2 Alur Penanganan Dokumen Atas Barang Kiriman......................................... 129
Gambar IV-3 Proses Pengeluaran Barang E-Commerce dengan Skema DDP ..................... 137

viii
DAFTAR TABEL

Tabel III-1 Matrik Kriteria Evaluasi ....................................................................................... 65


Tabel IV-1 Tabulasi Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner ............................................. 99
Tabel IV-2 Karateristik Responden ........................................................................................ 99
Tabel IV-3 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai De Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Efektifitas ......................................................... 101
Tabel IV-4 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Efisiensi ............................................................ 102
Tabel IV-5 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Kecakupan ........................................................ 103
Tabel IV-6 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Keadilan ........................................................... 103
Tabel IV-7 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Responsivitas .................................................... 104
Tabel IV-8 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis Barang
Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Ketepatan.......................................................... 105
Tabel IV-9 Tren Nilai Rata-rata Devisa per CN dan Rata-rata Penerimaan per CN Periode
2018-2020 ............................................................................................................................. 109
Tabel IV-10 Perbandingan Realisasi Penerimaan BM dan PDRI Periode Februari 2019 s.d.
Januari 2020 dengan Periode Februari 2020 s.d. Januari 2021 ............................................. 133
Tabel IV-11 Interpretasi Nilai Efektivitas ............................................................................ 133
Tabel IV-12 Penetapan CN Periode Januari s.d. Juni 2021 .................................................. 136
Tabel IV-13 Jumlah CN Periode Februari 2019 s.d. Januari 2020 dibandingkan dengan
Periode Februari 2020 s.d. Januari 2021 ............................................................................... 138

ix
DAFTAR GRAFIK

Grafik I-1 Volume Impor Barang Kiriman dan Jumlah Dokumen CN Tahun 2017 s.d. 2019 . 3
Grafik I-2 Perbandingan Nilai De Minimis di Berbagai Negara (USD) ................................... 9
Grafik IV-1 Jumlah CN, Nilai Devisa, dan Realisasi Penerimaan Barang Kiriman Tahun
2019 s.d. 2020 ....................................................................................................................... 109
Grafik IV-2 Penerimaan BM dan PDRI KPUBC Tipe C Soekarno Hatta Periode 2017 s.d.
Mei 2021 ............................................................................................................................... 132
Grafik IV-3 Jumlah CN yang Dikeluarkan dengan Jalur Merah Periode 2017 s.d. Mei 2021
Pada KPUBC Tipe C Soekarno Hatta................................................................................... 134
Grafik IV-4 Jumlah CN pada periode 2017 s.d. Mei 2021 ................................................... 137

x
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan pesat teknologi digital yang memberi

dampak pada berbagai sisi kehidupan manusia. Perkembangan internet telah

menyebabkan terbentuknya sebuah arena baru yang dikenal sebagai dunia maya,

dimana setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk berhubungan dengan

individu lain tanpa adanya batasan apapun yang menghalanginya. Internet mampu

menghubungkan antar seluruh masyarakat digital dalam aktivitas kehidupannya setiap

hari, baik kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.

Mengacu kepada survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa

Internet Indonesia (APJII), penggunaan internet di Indonesia pada tahun 2019 dan

semester kedua tahun 2020 ((APJII), 2021), menunjukan kondisi sebagai berikut:

- Dari populasi penduduk Indonesia yang mencapai 266,91 juta jiwa, 73,7 % atau

sekitar 196,71 juta jiwa telah terhubung jaringan internet. Kondisi ini mengalami

pertumbuhan sebesar 8,9% dibandingkan dengan pengguna internet periode

sebelumnya.

- Berdasarkan wilayah geografisnya, masyarakat Jawa paling banyak terpapar internet

yakni 56,4 %. Selanjutnya Sumatera 22,1 %, Sulawesi 7,0 %, Kalimantan 6,3 %,

Bali-Nusa Tenggara 5,2 %, dan provinsi yang paling sedikit menggunakan internet

adalah Provinsi Maluku-Papua sebanyak 3,0 %.

1
2

- Alasan utama penggunaan internet adalah untuk memperoleh layanan informasi

pekerjaan (29,3 %), untuk mengakses social media (24,7 %), mengakses berita (13,6

%), mengakses hiburan (7,6 %), layanan perbankan (9,7 %), belanja online (4,8 %),

dan lain-lain (seperti mengakses layanan publik, transportasi online, komunikasi

lewat pesan, layanan kesehatan, dan informasi pendidikan).

Di dunia, Indonesia menduduki peringkat kelima jumlah pengguna internet.

Tiongkok, India, Amerika Serikat secara berturut-turut menduduki peringkat pertama

sampai dengan peringkat ketiga teratas. Sedangkan Brasil ada di peringkat keempat,

dengan selisih 5,6 juta pengguna dibandingkan Indonesia (Setyowati, 2020).

Menurut survei tersebut pula, 96 % pengguna internet pernah menggunakan e-

commerce. Kegiatan yang dilakukan diantaranya untuk mencari produk atau layanan

untuk dibeli online, berkunjung ke situs retail, membayar produk atau layanan online,

dan lain-lain.

Kegiatan ekonomi melalui e-commerce yang memiliki karakteristik tanpa batas

atau borderless world, baik di tingkat regional maupun global, menyebabkan kegiatan

perdagangan dapat berjalan secara efisien. Subjek yang dapat melakukan transaksi pun

tidak hanya perusahaan dengan perusahaan, tetapi juga memungkinkan dari individu

maupun pemerintah.

Peningkatan kegiatan perdagangan melalui e-commerce lintas batas, khususnya

transaksi pembelian barang-barang berwujud (tangible goods) oleh penduduk

Indonesia tahun 2017 sampai dengan 2019, digambarkan dalam grafik berikut:
3

Grafik I-1 Volume Impor Barang Kiriman dan


Jumlah Dokumen CN Tahun 2017 s.d. 2019

Sumber: Slide Sosialisasi PMK No. 199/PMK.04/2019 oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai

Dari Grafik 1.1. tersebut tampak bahwa dalam periode tahun 2017 sampai dengan

2019, terjadi peningkatan yang signifikan atas impor barang-barang yang dibeli melalui

sarana digital. Ditinjau dari nilainya, dari tahun 2017 ke 2018 meningkat sebesar

86,2%, kemudian di tahun berikutnya meningkat sebesar 24,63%. Sementara itu,

jumlah dokumen pengiriman (consignment note) yang dipergunakan untuk memenuhi

kewajiban kepabeanan dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 meningkat rata-rata

kurang lebih 200%.

Peningkatan transaksi impor barang-barang e-commerce tersebut tentu

merupakan tantangan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), karena dalam

kondisi apapun DJBC senantiasa harus mengedepankan misinya memfasilitasi


4

perdagangan dan industri, melindungi masyarakat dari penyelundupan dan

perdagangan ilegal, dan mengoptimalkan penerimaan negara di sektor kepabeanan dan

cukai.

E-commerce dapat diklasifikasikan menjadi business to business (B2B), business

to consumer (B2C), business to government (B2G), consumer to business (C2G),

consumer to consumer (C2C), consumer to government (C2G), government to

government (G2G), government to business (G2B) dan government to consumer

(OECD, 2000). B2B adalah segala jenis transaksi komersial, biasanya berupa

pembelian dan penjualan bahan mentah, grosir dan eceran, yang dilakukan melalui

internet antar pelaku usaha. B2C harus dijual barang atau jasa oleh bisnis kepada

konsumen melalui internet. C2C adalah untuk menjual barang atau jasa oleh konsumen

ke konsumen lain melalui internet. Di beberapa pemerintahan, transaksi B2G telah

muncul dengan mulai menata ulang sistem pengadaan publik melalui internet.

Transaksi C2G telah meluas dengan dimulainya penggunaan teknologi untuk membuat

sistem pembayaran dan kepatuhan pajak lebih mudah dan untuk mengurangi pajak B2B

dan B2C adalah transaksi yang paling banyak digunakan dan ditingkatkan sejauh ini

(OECD, 2000).

Perdagangan elektronik memungkinkan konsumen membeli lebih cepat,

berbelanja 24/7, menjangkau lebih banyak barang dan jasa tanpa batas dan membeli

tanpa pergerakan fisik. E-commerce juga menyediakan penjualan lebih cepat,

menjangkau lebih banyak pelanggan, memiliki lebih sedikit biaya administrasi,

perdagangan tanpa kehadiran fisik, memulai dan mengelola perusahaan dengan mudah
5

dalam hal bisnis. Kekurangan dari e-commerce adalah memulai bisnis oleh siapapun

yang baik atau buruk, produk tidak berkualitas, kecurangan konsumen dan masalah

keamanan (Niranjanamurthy, Kavyashree, Jagannath, & Dharmendra, 2013).

Mayoritas negara mencoba membuat e-commerce lebih dapat diandalkan dan

menyelesaikan masalah ini dengan peraturan hukum yang diperlukan. (Yapara,

Bayrakdara, & Yapar, 2015)

Pengiriman barang dari penjual yang berada di luar daerah pabean kepada

pembeli di dalam daerah pabean dilakukan dengan menggunakan perusahaan jasa

kurir. Kondisi demikian, yaitu pengiriman barang melalui perusahaan jasa kurir atau

penyelenggara pos dalam terminologi kepabeanan dikategorikan sebagai barang

kiriman.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan

Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman mengatur bahwa barang

kiriman adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos. Penyelenggara pos

dikaterikan menjadi dua kelompok besar, yaitu PT. Pos Indonesia selaku

penyelenggara pos yang ditunjuk oleh pemerintah dan penyelenggara pos swasta atau

perusahaan jasa titipan (misalnya: DHL, UPS, dan Fedex).

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019, diatur bahwa

terhadap barang kiriman yang diimpor untuk dipakai dengan nilai pabean paling

banyak FOB USD 3 (tiga United States Dollars) per penerima barang per kiriman

diberikan pembebasan bea masuk (BM), dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan

dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (PPh. Ps. 22 Impor).
6

Batas minimal nilai atau jumlah barang yang mendapatkan pembebasan bea

masuk seperti yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan terkait barang kiriman

sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, dikenal dengan istilah de minimis.

Istilah de minimis berasal dari bahasa Latin yang secara sederhana dapat didefinisikan

sebagai sesuatu yang sangat kecil atau sepele, sehingga hukum tidak merujuknya dan

tidak akan memperhitungkannya (Janio Asia Pacific Simplified, 2019). Terminologi

ini banyak dipergunakan dalam berbagai bidang, diantaranya di bidang hukum dan

kepabeanan, khususnya dalam perdagangan e-commerce lintas batas.

Berdasarkan jenis barang, nilai pabean, serta kategori importirnya, dokumen

pengeluaran barang kiriman yang diimpor dengan tujuan untuk dipakai, dapat berupa

daftar, dokumen pengiriman barang (consignment note, CN), Pemberitahuan Impor

Barang Khusus (PIBK), atau Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

Pada dasarnya semua barang yang dikirim melalui penyelenggara pos dicatat

dalam dokumen pengiriman barang atau consignment note (CN). CN merupakan

dokumen perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dengan penyelenggara

pos, untuk mengirimkan barang kiriman kepada penerima barang. Dalam pengiriman

barang lintas batas consignment note yang digunakan menggunakan kode CN-22/ CN-

23.

Pengeluaran barang kiriman berupa kartu pos, surat, dokumen, dan barang

kiriman tertentu dilakukan oleh penyelenggara pos cukup dengan menyampaikan

daftar barang kiriman dan barang kiriman kepada pejabat Bea dan Cukai.

Pemberitahuan pengeluaran barang kiriman lainnya, dengan nilai pabean sampai


7

dengan FOB USD 1,500 dapat menggunakan CN, PIBK, atau PIB. Sedangkan dalam

hal nilai pabean impor barang kiriman lebih dari FOB USD 1.500, pemberitahuan

pabean impor yang digunakan adalah PIBK atau PIB.

Dari sisi sistem perpajakannya, yaitu bagaimana hak dan kewajiban perpajakan

suatu wajib pajak (atau dalam hal ini importir) dilaksanakan, pemberitahuan impor

barang kiriman menggunakan system official assessment dan self assesment. Official

assessment diterapkan dalam hal pengeluaran barang menggunakan daftar barang

kiriman atau CN. Selfassessment dalam hal pengeluaran barang kiriman dilakukan

dengan menggunakan PIBK atau PIB.

Jika ditinjau dari filosofi barang kiriman berdasarkan Undang-Undang Pabean,

maka makna barang kiriman saat ini sudah mengalami pergeseran. Barang kiriman

yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Pabean adalah barang yang sengaja dikirim

oleh orang yang berkedudukan di luar daerah pabean, dikirimkan kepada orang yang

berada di dalam daerah pabean sebagai hadiah, oleh-oleh atau hibah, dimana orang

penerima tersebut tidak mengetahui secara pasti harga barang kiriman dimaksud. Hal

inilah yang menjadi pertimbangan dalam Undang-Undang Pabean penetapan tarif bea

masuk secara official assessment. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi

maka barang kiriman saat ini adalah termasuk juga barang-barang yang dikirim oleh

penjual dari luar daerah pabean kepda pembeli di dalam daerah pabean. Sehingga

dalam hal ini pembeli sudah dapat mengetahui berapa harga barang yang dibeli secara

pasti, sehingga bila dimungkinkan pemberitahuan pabean dapat dilakukan dengan

secara selfassesment.
8

Dasar hukum pemberian pembebasan pungutan impor terhadap barang kiriman

di Indonesia terdapat di Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan pasal 25 ayat 1 huruf m

yang berbunyi “Pembebasan bea masuk diberikan atas impor:

a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di

Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas

di Indonesia;

c. buku ilmu pengetahuan;

d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial,

kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;

e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu

yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;

f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku

cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi

keperluan pertahanan dan keamanan negara;

j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;

k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

l. barang pindahan;
9

m. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang

kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;

n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang

diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;

o. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan

pengujian;

p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang

sama dengan kualitas pada saat diekspor;

q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan.”

Sedangkan dalam kesepakatan internasional sampai dengan saat ini tidak pernah

diatur ambang batas pembebasan bea masuk (nilai de minimis) untuk barang kiriman,

termasuk transaksi e-commerce. Berdasarkan konsep World Customs Organisation

(WCO) Framework tentang de minimis, Pemerintah tiap-tiap negara harus membuat

keputusan/kebijakan yang diinformasikan sepenuhnya, besarnya de minimis ditetapkan

berdasarkan kondisi negara masing-masing dan implementasi de minimis tersebut

tergantung pada kebijakan dan kepentingan masing-masing negara (Organization,

2018).

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, maka nilai de minimis di

Indonesia saat ini tergolong sangat rendah. Hal ini bisa dilihat di Grafik 1.2.

Perbandingan Nilai de minimis di Beberapa Negara.

Grafik I-2 Perbandingan Nilai De Minimis di Berbagai Negara (USD)


10

900

800
800
700 756

600

500

400

300
296
272
200

100
15 30 40 50 90
0
Canada Chile Vietnam Mexico Jepang Selandia Singapura Australia USA
Baru
Sumber: Global Express Association, April 2016

Terkait ketentuan perpajakan, dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku

sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 tentang

Ketentuan Impor Barang Kiriman diatur bahwa barang kiriman yang diimpor untuk

dipakai, dapat diberikan pembebasan bea masuk dengan nilai pabean paling banyak

FOB USD 100 (seratus United States Dollars) untuk setiap penerima barang per

kiriman. Nilai pembebasan tersebut, kemudian diubah lagi dalam Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018, menjadi FOB USD 75 (tujuh puluh lima United

States Dollars), dengan ketentuan pembebasan bea masuk diberikan untuk setiap

penerima barang per 1 (satu) hari atau lebih dari 1 (satu) kali pengiriman dalam waktu

1 (satu) hari, sepanjang nilai pabean atas keseluruhan Barang Kiriman tidak melebihi

FOB USD 75 (tujuh puluh lima United States Dollars).


11

Sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016, Peraturan


Menteri Keuangan yang menjadi dasar pelaksanaan pengawasan dan pelayanan atas barang
kiriman adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010. Di dalamnya diatur nilai
pembebasan atas barang kiriman sebesar FOB USD50.00 (lima puluh United States Dollars). Batas
nilai pembebasan sebesar FOB USD50.00 (lima puluh United States Dollars) sudah cukup lama
berlaku di Indonesia sampai kemudian diubah dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 182/PMK.04/2016.

Perubahan kebijakan Pemerintah terkait nilai de minimis, yaitu semula FOB

USD50.00 (lima puluh United States Dollars) menjadi FOB USD100.00 (seratus

United States Dollars) untuk setiap penerima barang per kiriman, kemudian menjadi

FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars) untuk setiap penerima barang

per 1 (satu) hari atau lebih dari 1 (satu) kali pengiriman dalam waktu 1 (satu) hari, dan

kemudian berkurang secara signifikan menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) per penerima barang per kiriman, tentu sudah melalui pertimbangan dari

berbagai aspek, seperti apa tujuan dan manfaat kebijakan tersebut dan juga tentu telah

diperhitungkan dampak yang kemungkinan akan terjadi dengan pemberlakuan

kebijakan tersebut.

Latar belakang Pemerintah melakukan perubahan kebijakan nilai pembebasan dari FOB
USD50.00 (lima puluh United States Dollars) menjadi FOB USD100.00 (seratus United States
Dollars), adalah berdasarkan pertimbangan bahwa kebijakan batasan nilai de minimis tersebut
sudah terlalu lama tidak disesuaikan, sudah tidak relevan dengan perkembangan ekonomi,
dimaksudkan untuk menanggapi aspirasi masyarakat, dan bukan semata-mata untuk penerimaan,
tetapi untuk tujuan pelayanan.

Pertimbangan penurunan nilai de minimis dari semula FOB USD100.00 (seratus

United States Dollars) menjadi FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States

Dollars), adalah jumlah barang kiriman untuk tujuan perniagaan yang meningkat

sangat tajam, keberatan publik terhadap pembebasan barang kiriman (unequal level

playing field), untuk menghindari splitting.


12

Penurunan nilai de minimis menjadi FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United

States Dollars), ternyata tidak mampu mengatasi peningkatan impor barang kiriman,

maka Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

199/PMK.010/2019 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 29 Januari 2020. Latar

belakang perubahan kebijakan nilai de minimis atas impor barang kiriman adalah

melonjaknya volume impor dalam periode tahun 2017 sampai dengan 2019, khususnya

yang dikeluarkan dengan menggunakan dokumen CN. Peningkatan jumlah dokumen

CN dalam periode tersebut bahkan mencapai lebih dari 400%.

Di tahun 2019 dari jumlah CN sebanyak 29.971.985 dokumen, jumlah dokumen

yang dikeluarkan dengan pembebasan bea masuk sebayak 29.435.179 dokumen (atau

98,2%) dan sisanya sebanyak 536.806 (atau 1,8%) dikenakan bea masuk. Hal ini

menunjukan bahwa peningkatan kegiatan impor barang kiriman yang sangat tinggi,

tidak diiringi dengan peningkatan nilai penerimaan bea masuk dan pajak-pajak dalam

rangka impor. Kondisi tersebut menimbulkan ketidaksamaan perlakuan perpajakan

antara barang impor dengan barang yang sama yang diproduksi di dalam negeri dan

barang impor yang diimpor selain dengan CN dengan pembebasan. Terlebih lagi, jenis

barang kiriman yang masuk ke daerah pabean dalam periode tersebut, adalah barang-

barang konsumsi, berupa sepatu dan produk tekstil.

B. Rumusan Masalah

Proses suatu kebijakan menurut William Dunn dimulai dari munculnya

permasalahan, yang dilanjutkan dengan sistem perumusan kebijakan. Dalam


13

penyusunan kebijakan, terdapat tahap-tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan,

yaitu:

1. Penyusunan Agenda

2. Formulasi Kebijakan

3. Adopsi Kebijakan

4. Implementasi Kebijakan

5. Evaluasi Kebijakan (Dunn, 2003)

Pemerintah dalam menyusun kebijakan harus secara hati-hati agar memenuhi

kriteria kebijakan yang baik. Kriteria kebijakan yang baik yaitu efektifitas, efisiensi,

kecukupan, keadilan, responsivitas, dan ketepatan.

Evaluasi terhadap nilai atau manfaat hasil kebijakan dapat diketahui ketika hasil

kebijakan pada kenyataan mempunyai nilai, atau dengan kata lain bahwa dampak

penerapan kebijakan tersebut telah sesuai dengan tujuan dalam mengatasi suatu

masalah.

Berdasarkan latar belakang Penelitian tersebut, Peneliti menjabarkan rumusan

permasalahan, sebagai berikut:

Dalam menetapkan nilai de minimis sebagai instrumen kebijakan barang kiriman,

Pemerintah harus dapat melakukan dengan sangat hati-hati agar kebijakan tersebut

tidak menjadi kontraproduktif. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi

permasalahan yang terjadi, yaitu serbuan impor produk e-commerce dalam tahun 2017

s.d. 2019.

Tujuan penurunan nilai de minimis diantaranya adalah:


14

1. Mengurangi jumlah dan volume barang kiriman termasuk barang-barang e-

commerce;

2. Meningkatkan penerimaan negara dari barang kiriman; dan

3. Mengakomodir aspirasi masyarakat untuk memberikan perlakuan pajak yang

sama antara barang impor dengan barang lokal (equal level playing field).

Berdasarkan hal-hal tersebut, Peneliti ingin mengetahui efektifitas dampak

kebijakan de minimis terhadap penerimaan, jumlah dokumen, dan volume barang

kiriman.

Penurunan nilai de minimis mengakibatkan meningkatnya jumlah barang impor

e-commerce yang melebihi nilai de minimis, sehingga dikenai kewajiban membayar

bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI). Sementara, pemberitahuan yang

digunakan untuk barang e-commerce yang nilainya melebihi nilai de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) sampai dengan FOB USD 1,500.00 (seribu lima

ratus United States Dollars) dapat dalam bentuk CN. Dilihat dari sistem perpajakan

pemberitahuan CN bersifat official assessment. Berdasarkan fenomena tersebut, dan

juga berdasarkan hasil survei awal kepada pengguna kebijakan di KPUBC Tipe C

Soekarno Hatta bahwa terdapat indikasi terjadinya underinvoicing dan splitting dengan

tujuan menghindari peraturan larangan dan pembatasan (lartas), maka Peneliti ingin

mengetahui bagaimana penerapan kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) tersebut di KPUBC Tipe C Soekarno Hatta, bagaimana kesiapan

sumber daya manusia DJBC sebagai pelaksana kebijakan, dan respon atas kebijakan

tersebut oleh pengguna kebijakan maupun respon dari dunia internasional.


15

Untuk kepentingan pengawasan dan pelayanan impor barang kiriman,

peningkatan jumlah barang dengan nilai pabean melebihi nilai de minimis harus

didukung oleh infrastruktur yang memadai, yaitu meliputi sistem aplikasi Customs-

Excise Information System and Automation (CEISA) dan sistem aplikasi terkait dengan

penyelesaian kepabeanan barang kiriman lainnya. Hal ini juga menjadi permasalahan

yang perlu dikritisi.

Oleh karena itu Peneliti ingin melakukan evaluasi terhadap penerapan kebijakan

nilai de minimis sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tersebut,

bagaimana dampaknya, apakah hambatannya dan apakah tantangannya dengan

menggunakan teori William Dunn.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, Peneliti menjabarkan pertanyaan penelitian,

sebagai berikut:

a. Bagaimana dampak penerapan kebijakan nilai de minimis atas impor barang

kiriman berdasarkan PMK nomor 199/PMK.010/2019 ditinjau dari teori William

Dunn?

b. Apakah hambatan dalam penerapan kebijakan nilai de minimis atas impor barang

kiriman berdasarkan PMK nomor 199/PMK.010/2019?

c. Apakah tantangan dalam penerapan kebijakan nilai de minimis atas impor barang

kiriman berdasarkan PMK nomor 199/PMK.010/2019?


16

D. Ruang Lingkup

D.1. Periode waktu pengamatan

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh

untuk periode pengamatan data barang kiriman dari tahun 2017 sampai dengan bulan

Juni tahun 2021. Sedangkan pengambilan data primer rencananya akan dilakukan

dalam periode bulan Mei sampai dengan Juli 2021.

D.2. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang

diteliti serta mendapatkan pandangan dari para pihak yang terkait secara langsung

dalam kegiatan kepabeanan barang kiriman dan para perumus kebijakan atas pelayanan

dan pengawasan barang kiriman, penelitian akan difokuskan di dua lokasi utama, yaitu

di Kantor Pelayanan Utama Tipe C Soekarno Hatta dan Kantor Pusat DJBC.

D.3. Unsur-unsur yang Diteliti

Unsur-unsur yang diteliti meliputi penekanan kepada aspek pelayanan barang

kiriman, serta pengawasan barang kiriman, baik pengawasan dari sisi administrative

maupun pengawasan fisik. Penelitian tesebut meliputi aspek internal yaitu kekuatan

dan kelemahan dan aspek eksternal berupa peluang dan tantangan dari tiga faktor, yaitu

peraturan, infrastruktur penunjang pelaksanaan tugas, dan sumber daya manusia yang

berasal dari unit-unit terkait.


17

E. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan permasalahan, maka tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah:

a. Melakukan evaluasi penerapan kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) atas impor barang kiriman berdasarkan PMK nomor

199/PMK.10/2019 dengan menggunakan teori William Dunn?

b. Mengkaji hambatan penerapan kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) atas impor barang kiriman berdasarkan PMK nomor

199/PMK.10/2019;

c. Mengkaji tantangan penerapan kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) atas impor barang kiriman berdasarkan PMK nomor

199/PMK.10/2019.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi berbagai pihak yang

terkait, yaitu:

a. Bagi Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan terkait implementasi

kebijakan nilai de minimis barang kiriman;


18

b. Bagi Pusdiklat Bea dan Cukai, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

pendukung kegiatan belajar mengajar khususnya materi di bidang impor barang

kiriman;

c. Bagi masyarakat, manfaat dari kajian ini adalah untuk memberikan informasi dan

pemahaman tentang barang kiriman.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Pada sub bab ini peneliti akan menguraikan mengenai tinjauan pustaka dalam

melakukan penelitian yang meliputi teori-teori yang terkait dengan e-commerce,

kepabeanan terkait e-commerce, dan kebijakan publik, dan fungsi pemerintah dalam

pembangunan.

A.1. E-Commerce

A.1.1. Pengertian E-Commerce

Dalam berbagai literatur, dapat ditemukan berbagai definisi e-commerce oleh

para ahli. E-commerce didefinisikan sebagai suatu proses membeli dan menjual produk

- produk secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan dengan

komputer sebagai perantara transaksi bisnis. Media yang dapat digunakan dalam

aktivitas e-commerce adalah world wide web internet (Laudon, 1998).

E-commerce adalah saluran online yang dapat dijangkau seseorang melalui

komputer, yang digunakan oleh pebisnis dalam melakukan aktifitas bisnisnya dan

digunakan konsumen untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan bantuan

komputer yang dalam prosesnya diawali dengan memberi jasa informasi pada

18
19

konsumen dalam penentuan pilihan (Kotler & Armstrong, 2012). Sementara menurut

Wong, e-commerce adalah proses jual beli dan memasarkan barang serta jasa melalui

sistem elektronik, seperti radio, televisi dan jaringan komputer atau internet (Jony,

2010). Kemudian Savrul et al. mendefinisikan e-commerce dalam dua lingkup, sebagai

definisi yang luas dan sempit. Menurut definisi yang luas, e-commerce adalah

pembelian atau penjualan barang antara bisnis, rumah tangga, individu, pemerintah dan

organisasi publik dan swasta lainnya melalui jaringan komputer. Definisi sempit di sisi

lain hampir sama dengan definisi luas kecuali instrumen perdagangan terbatas dengan

internet (Savrul & Strategy, 2011). Efek globalisasi dan perkembangan pesat dalam

pengetahuan dan teknologi meningkatkan e-commerce. E-commerce memungkinkan

pengusaha untuk menjual barang dan jasa mereka dengan metode yang berbeda ke

seluruh dunia dan memungkinkan konsumen untuk mengakses barang dan jasa dengan

mudah (Yapara, Bayrakdara, & Yapar, 2015).

Dengan demikian e-commerce dapat didefinisikan sebagai kumpulan aktivitas

transaksi jual-beli barang, servis atau transmisi dana atau data dengan menggunakan

teknologi, dan aplikasi yang menghubungkan penjual dan pembeli (atau konsumen),

dimana terjadi penjualan berbagai komoditi dalam skala luas dan melalui transaksi

elektronik yang berbasis internet.

Transaksi e-commerce pada umumnya menggunakan platform atau wadah

elektronik yaitu wadah berupa aplikasi, situs web, atau layanan konten lainnya yang

berbasis internet. Dan pada umumnya, seperti halnya pasar dalam pengertian
20

konvensional, dalam transaksi jual beli melalui media elektronik, ada pula pihak yang

berperan menyediakan tempat atau pasar untuk melakukan transaksi secara elektronik.

Pihak penyedia platform tersebut disebut sebagai penyedia platform marketplace.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-02/BC/2020,

penyedia platform marketplace didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan maupun

Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki

kegiatan usaha menyediakan platform berupa marketplace. Yang dimaksud dengan

pasar elektronik atau marketplace adalah sarana komunikasi elektronik yang digunakan

untuk transaksi yang ditujukan untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan secara

elektronik.

A.1.2. Peta Jalan E-Commerce

Perkembangan e-commerce baik di dalam negeri maupun global merupakan

peluang bisnis yang besar bagi pelaku ekonomi, namun juga sekaligus menjadi

ancaman apabila tidak dikelola dengan baik. Pada tahun 2017 Pemerintah telah

menetapkan peta jalan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik melalui

penerbitan Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2017.

Pemerintah telah menerbitkan peta jalan (road map) sistem perdagangan

nasional berbasis elektronik (SPNBE), yang menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan

daerah menetapkan kebijakan sektoral sekaligus acuan bagi pemangku kepentingan

dalam menjalankan sistem perdagangan berbasis elektronik. PP ini melingkupi

berbagai aspek, seperti pendanaan, perpajakan, infrastruktur, logistik, hingga


21

keamanan siber. Dari aspek perpajakan diatur bahwa Pemerintah wajib memberikan

perlakuan perpajakan yang sama bagi pelaku usaha e-commerce asing maupun dalam

negeri (econ.go.id, 2019).

A.2. Kepabeanan E-Commerce

A.1.3. Barang Kiriman

Dalam Penjelasan Pasal 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006

Kepabeanan barang kiriman didefinisikan sebagai barang yang dikirim oleh pengirim

tertentu di luar negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri. Sedangkan dalam

peraturan pelaksanaan Pasal tersebut, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor

199/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor

Barang Kiriman, lebih lanjut mendefinisikan barang kiriman sebagai barang yang

dikirim melalui badan usaha yang menyelenggarakan pos. Secara garis besar,

penyelenggara pos dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu penyelenggara

pos yang ditunjuk dan perusahaan jasa titipan.

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-02/BC/2020 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Impor Barang Kiriman Penyelenggara pos yang ditunjuk adalah

penyelenggara pos yang ditugaskan pemerintah untuk memberikan layanan

internasional sebagaimana diatur dalam Perhimpunan Pos Dunia (Universal Postal

Union), atau dalam hal ini PT. Pos Indonesia.


22

Selain PT Pos Indonesia, penyelenggara pos yang juga menyelenggarakan

pengiriman barang kiriman adalah perusahaan jasa titipan (PJT). Perusahaan jasa

titipan didefinisikan sebagai penyelenggara pos yang memperoleh ijin usaha dari

instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan

perundang-undangan di bidang pos.

A.1.4. Nilai De Minimis

Istilah de minimis berasal dari bahasa Latin, yang berarti bahwa hukum tidak

melihat hal-hal yang terlalu kecil atau hal-hal yang sepele. Istilah ini umum

dipergunakan dalam bidang hukum maupun kepabeanan. Dalam bidang kepabeanan

nilai de minimis berarti batas minimal nilai atau jumlah barang yang mendapatkan

pembebasan.

Konsep nilai de minimis sejalan dengan salah satu azas pemungutan pajak

menurut Adam Smith, yaitu azas efisiensi. Azas efisiensi mengandung makna bahwa

biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya

pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak (Pajak, 2018).

Ketika suatu barang diimpor ke suatu negara, dalam hal nilai barang impor

tersebut masih dalam batas nilai de minimis, maka atas impornya tidak dikenakan bea

masuk atau mendapat pembebasan bea masuk. Dari sisi aplikasi pembebasannya,

terdapat dua kategori nilai de minimis, yaitu nilai de minimis sebagai discount factor

dan nilai de minimis sebagai threshold.


23

Nilai de minimis sebagai discount factor berarti bahwa nilai de minimis sebagai

pengurang nilai barang impor, yang kemudian hasilnya dipergunakan sebagai dasar

penghitungan bea masuk. Misalnya: nilai de minimis FOB USD 3, nilai barang FOB

USD 100, maka nilai barang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk adalah FOB

USD 100 – FOB USD 3 = FOB USD 97.

Nilai de minimis sebagai threshold berarti bahwa nilai de minimis sebagai batas

tertinggi pembebasan, dalam hal nilai barang melebihi nilai de minimis, maka

penghitungan bea masuk dilakukan berdasarkan nilai barang tanpa memperhitungkan

nilai de minimis. Misalnya: nilai de minimis FOB USD 3, nilai barang FOB USD 100,

maka nilai barang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk adalah FOB USD 100.

A.1.5. Delivery Duty Paid (DDP)

Dalam kontrak perdagangan (sales contract) internasional terdapat istilah atau

terminologi International Commercial Terms atau Incoterms. Incoterms dikeluarkan

oleh Non-Governmental Organization (NGO) International Chamber of Commerce

(ICC) pada tahun 1936 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Incoterms yang

berlaku saat ini adalah Incoterms 2020. Ketentuan dalam Incoterms digunakan para

pelaku perdagangan internasional ketika mengirim barang dalam transaksi atau kontrak

(Rafinska K. , 2020).
24

Incoterms menjelaskan:

- Kewajiban yang harus dilakukan oleh penjual dan pembeli, misalnya siapa yang

berkewajiban mengatur pengangkutan barang, asuransi barang, atau yang

mengurus dokumen pengiriman dan perizinan ekspor dan impor;

- Risiko; penentuan kapan peralihan risiko dari penjual ke pembeli;

- Biaya; siapa yang bertanggung jawab atas biaya yang timbul, misalnya biaya

transportasi, pengemasan, pemuatan atau pembongkaran, dan biaya

pemeriksaan atau biaya yang terkait dengan pengamanan ((ICC), 2020).

Terdapat sebelas versi Incoterms, yaitu ex works (EXW), free carrier (FCA),

carriage paid to (CPT), carriage and insurance paid to (CIP), delivered at place

(DAP), delivered at place unloaded (DPU), delivered duty paid (DDP), free alongside

ship (FAS), free on board (FOB), cost and freight (CFR), dan cost insurance and

freight (CIF).

Dalam regulasi kepabeanan Indonesia, terdapat 2 (dua) terminologi Incoterms

yang terkait, yaitu CIF dan DDP. Dimana dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

62/PMK.04/2018 diatur bahwa nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah

nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan yaitu nilai pabean dalam Incoterms

CIF.
25

Dalam Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-

02/BC/2020 diatur bahwa impor barang kiriman yang memiliki nilai pabean sampai

dengan FOB USD1,500 (seribu lima ratus Dollar Amerika Serikat), dapat

menggunakan skema DDP. DDP berarti bahwa penjual bertanggung jawab dalam

pengaturan pengangkutan dan pengiriman barang sampai ke alamat pembeli,

penyelesaian proses kepabeanan, dan pembayaran bea masuk serta pajak-pajak impor

lainnya. Risiko berpindah dari penjual kepada pembeli pada saat barang dibongkar dari

pengangkut dan tersedia bagi pembeli. Dalam terminologi DDP hampir sebagian besar

kewajiban ada pada penjual dan merupakan satu-satunya skema Incoterms yang

mengatur bahwa tanggung jawab proses kepabeanan, bea masuk, dan pajak-pajak

impor merupakan tanggung jawab importir

(https://www.incotermsexplained.com/incoterms-2020/, 2020).

A.1.6. Sistem Perpajakan

Sistem perpajakan adalah mekanisme yang mengatur bagaimana hak dan

kewajiban perpajakan suatu wajib pajak dilaksanakan. Terkait dengan kepabeanan, hak

dan kewajiban wajib pajak atau dalam hal ini importir sebagai penanggung jawab bea

masuk dan PDRI, meliputi kewajiban menghitung dan membayar bea masuk dan

PDRI, serta kewajiban menyampaikan pemberitahuan pengeluaran barang atau

pemberitahuan pabean impor.

Terdapat dua system perpajakan yaitu system official assessment dan

selfassessment. Menurut sistem perpajakan official assesment, besarnya pajak yang


26

terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak, dalam hal ini pejabat

Bea dan cukai (Pajak, 2018). Imporir dalam hal ini bersifat pasif dan menunggu

penyampaian nilai bea masuk dan PDRI yang terutang.

Sedangkan dalam system selfassessment, besarnya pajak yang terutang

ditetapkan oleh importir. Dalam hal ini, kegiatan menghitung, memperhitungkan,

menyetorkan dan melaporkan bea masuk dan PDRI yang terutang dilakukan oleh

importir. Peran pejabat Bea dan Cukai hanyalah mengawasi melalui serangkaian

tindakan pengawasan maupun penegakan hukum.

A.1.7. Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor atas Barang Kiriman

Terhadap barang kiriman berupa surat, kartu pos, dan dokumen dibebaskan bea

masuk dan tidak dipungut PDRI. Sedangkan Barang kiriman yang diimpor untuk

dipakai dengan nilai pabean tidak melebihi FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

per penerima barang per kiriman diberikan pembebasan bea masuk dan dipungut Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah (PPnBM), tetapi dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan

(PPh). Dalam hal nilai pabeannya melebihi FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

bea masuk dan PDRI-nya dipungut atas keseluruhan nilai pabean barang dimaksud.
27

A.1.8. Kerangka Standar World Customs Organization dalam Perdagangan E-

Commerce Lintas Batas (WCO Cross-Border E-Commerce Framework Of

Standards)

Pertumbuhan perdagangan e-commerce lintas batas dalam beberapa tahun

terakhir telah menimbulkan peluang besar bagi perekonomian global, menjadi mesin

pertumbuhan baru, menciptakan model perdagangan baru, mendorong pola konsumsi

baru, dan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Perkembangan e-commerce

lintas batas telah mengubah sistem pasar bisnis dan konsumen, penjualan dan

pembelian barang, menciptakan lebih banyak pilihan sistem pembayaran dan

pengiriman barang.

Perkembangan perdagangan internasional tersebut, khususnya perubahan pola

perdagangan B2C dan C2C, menjadi tantangan bagi pemerintah dan dunia bisnis.

Pertumbuhan e-commerce lintas batas membutuhkan solusi yang menyeluruh dan

dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dari semua pihak, termasuk institusi

kepabeanan, untuk mengelola peningkatan volume perdagangan, mengatasi kurangnya

standar dan pedoman global, dan mengatasi risiko terkait.

Berdasarkan pertimbangan-perimbangan tersebut, maka pada bulan Desember

2017, dalam pertemuan Policy Commision, WCO mengesahkan 'Resolution on Cross-

Border E-Commerce' atau Luxor Resolution, yang menguraikan sejumlah prinsip

utama dan standar pengelolaan e-commerce lintas batas (Organization, 2018).


28

Prinsip utama dan standar pengelolaan e-commerce lintas batas yang disepakati

dalam Luxor Resolution, meliputi:

1. Pemanfaatan Data Elektronik dan Manajemen Risiko (Advance Electronic Data

and Risk Management); Penggunaan data elektronik yang canggih untuk efektifitas

manajemen risiko adalah untuk mempercepat dan mendukung kepentingan

fasilitasi perdagangan, keamanan dan keselamatan, pengumpulan pendapatan,

pengawasan, dan analisis.

Pada dasarnya rantai e-commerce berbasis data dan kaya data (data driven and data

rich). Pertemuan ruang informasi yang kaya data atau rantai nilai di Internet dan

kemampuan komputasi yang lebih cerdas dan lebih kuat telah membuatnya lebih

mudah untuk mengakses, menggabungkan, menganalisis, dan menggunakan data

di seluruh lingkungan e-commerce.

Pertukaran data elektronik antara pemangku kepentingan e-commerce yang terkait

secara tepat waktu untuk kepentingan manajemen risiko yang efektif, adalah hal

yang sangat penting dalam menghadapi model perdagangan baru yang berkembang

pesat ini.

Pembentukan dan peningkatan pertukaran informasi antara pemangku kepentingan

dengan institusi kepabeanan melalui national electronic interface (seperti Single

Window) berdasarkan data yang selaras dan terstandardisasi akan sangat


29

bermanfaat (misalnya pra-kedatangan untuk penilaian risiko umum dan customs

clearance dan pra-pemuatan untuk penilaian risiko keamanan).

Melalui pertukaran data elektronik yang mengarah pada manajemen risiko yang

efisien, efisiensi rantai pasokan dapat ditingkatkan sambil memastikan kepatuhan

ketentuan yang berlaku, sekaligus menjalankan fungsi pengumpulan pendapatan.

2. Fasilitasi dan Penyederhanaan Prosedur (Facilitation and Simplification of

Procedures); pada dasarnya, institusi kepabeanan di banyak negara telah

melakukan perbaikan signifikan untuk memfasilitasi perdagangan yang legal dan

menyederhanakan prosedur kepabeanan. Namun, dengan mempertimbangkan

pertumbuhan volume e-commerce lintas batas yang cepat, tuntutan waktu

pelayanan kepabeanan yang ringkas dan kurangnya penyampaian data yang tepat

waktu dan akurat, maka institusi kepabeanan harus menyusun ulang administrasi

kepabeanan dengan tetap menerapkan instrumen WCO yang ada saat ini, seperti

Revised Kyoto Convention, the SAFE Framework of Standards and the Immediate

Release Guidelines, dan mengidentifikasi solusi yang modern dan tepat, yang

lebih efektif dan efisien dalam memenuhi ekspektasi industri dan konsumen

pengiriman barang-barang e-commerce secara aman dan cepat.

3. Pengumpulan Pendapatan secara Adil dan efisien; agar dapat menjalankan tugas

pengumpulan pendapatan atau revenue collection secara efektif, terutama terkait

dengan karakteristik jumlah impor barang e-commerce yang meningkat pesat,

namun dengan nilai yang relatif rendah per pengiriman, administrasi kepabeanan
30

harus meningkatkan kerja sama dengan autoritas pajak. Bekerja sama dengan

otoritas Pajak, model pengumpulan pendapatan alternatif harus dipertimbangkan

(misalnya model vendor, perantara atau model pengumpulan konsumen/pembeli),

dibandingkan dengan pendekatan bea/pemungutan pajak berbasis transaksi seperti

saat ini, di mana bea masuk dan pajak dihitung dan dibayar pada saat impor, menuju

pendekatan berbasis akun otomatis yang memungkinkan pemungutan bea masuk

dan pajak impor sebelum pengiriman atau kedatangan barang.

Administrasi kepabeanan dan otoritas pendapatan pada umumnya juga harus

mempertimbangkan masalah terkait seperti peran dan tanggung jawab hukum,

yurisdiksi/wilayah administrasi kepabeanan, kerja sama lintas batas, dan

pelaksanaan post audit dan pengawasan terkait e-commerce.

4. Penerapan model alternatif pengumpulan pendapatan harus mempertimbangkan

peluang dan tantangan bagi pemerintah dan berbagai model bisnis, serta harus

mempertimbangkan biaya yang harus ditanggung oleh operator perdagangan dalam

mematuhi rezim pengumpulan ini sehubungan dengan pengembangan dan

implementasinya, tergantung pada situasi nasional mereka dan paparan mereka

terhadap impor pengiriman bernilai rendah dan kecil.

5. Keselamatan dan Keamanan; mengingat bahwa ada beragam perspektif di antara

Anggota mengenai keselamatan dan keamanan risiko (termasuk keamanan

produk), karakteristik risiko perlu ditetapkan dan diterapkan dengan melibatkan

lembaga pemerintah terkait lainnya untuk mengidentifikasi risiko yang


31

menimbulkan ancaman keselamatan dan keamanan di saluran e-commerce lintas

batas.

Sehubungan dengan ancaman keselamatan dan keamanan umum terhadap

masyarakat dan lingkungan, institusi kepabeanan dapat berbagi dengan informasi

administrasi Kepabeanan lainnya yang terkait dengan risiko ini untuk

meningkatkan kemampuan mereka untuk menentukan indikator risiko dan

menganalisis risiko.

Kerjasama administrasi kepabeanan dengan instansi terkait lainnya sangat penting

untuk mengidentifikasi dan mencegah pengiriman barang larangan melalui e-

commerce.

6. Kemitraan (partnership); e-commerce lintas batas yang berkembang pesat

membutuhkan penguatan kerja sama dan kemitraan yang sudah ada sekarang dan

menciptakan kerja sama dengan pihak yang baru muncul dalam rantai pasokan e-

commerce untuk mengatasi tantangan dengan lebih baik dan secara kolaboratif.

7. Kesadaran Publik, Penjangkauan dan Pengembangan Kapasitas (Public

Awareness, Outreach and Capacity Building); Di era e-commerce lintas batas yang

semakin pesat, di mana siapa pun dan semua orang berpotensi menjadi pedagang -

pembeli atau penjual - dan dapat dengan mudah menukar peran mereka, ada

kebutuhan yang berkembang untuk membangun mekanisme untuk menciptakan

kesadaran yang lebih luas, khususnya pedagang yang baru dan yang sedang
32

berkembang agar mereka lebih memahami aturan kepabeanan dan aturan terkait,

serta mematuhinya. Ini harus mencakup, antara lain, pendampingan yang kuat dan

kegiatan penjangkauan bersamaan dengan pelatihan dan peningkatan kapasitas.

Administrasi kepabeanan harus membuat konsumen, masyarakat, dan pihak terkait

lainnya memahami ketentuan kepabeanan, risiko, dan tanggung jawab terkait

dengan e-commerce lintas batas melalui peningkatan kesadaran, komunikasi, dan

Pendidikan atau pelatihan.

8. Pengukuran dan Analisis (Measurement and Analysis); pengukuran kinerja yang

akurat terhadap kegiatan e-commerce lintas batas adalah kunci dari rumusan

kebijakan yang baik. Mengidentifikasi tren, pola, dan dinamika yang muncul akan

bermanfaat dalam penerapan manajemen risiko yang baik.

Dalam mekanisme pengukuran, administrasi kepabeanan sebaiknya melibatkan

institusi pemerintah terkait, agar memperoleh gambaran yang akurat, mengukur,

menganalisa, dan mempublikasikan statistik e-commerce sesuai dengan standar

yang berlaku, untuk kepentingan pengambilan keputusan.

9. Mempercepat Pertumbuhan Teknologi Transformatif; dinamika dan karakteristik

e-commerce mengharuskan pemerintah untuk lebih pro aktif dan berfikir ke depan,

mempercepat perkembangan teknologi agar dapat memberikan solusi bagi e-

commerce yang baru tumbuh. Inovasi yang berkelanjutan dibutuhkan termasuk

kerja sama dengan sector swasta dan akademisi.


33

A.3. Kebijakan Publik

Pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya perlu menggunakan

instrumen kebijakan. Pengertian kebijakan adalah “suatu tindakan yang ditetapkan dan

dilakukan seseorang atau sejumlah pelaku dan memiliki prosedural pemecahan suatu

masalah” (Tahir, 2014), sedangkan pengertian kebijakan publik adalah, “serangkaian

tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan

seluruh masyarakat” (Islamy, 2000).

Menurut William Dunn, 1998, Kebijakan dimulai dari sistem perumusan

kebijakan, dalam hal penyusunan kebijakan, terdapat tahap-tahap yang harus

dilaksanakan secara berurutan, yaitu:

1. Penyusunan Agenda

2. Formulasi Kebijakan

3. Adopsi Kebijakan

4. Implementasi Kebijakan

5. Evaluasi Kebijakan (Dunn, 2003)

Evaluasi terhadap nilai atau manfaat hasil kebijakan dapat diketahui ketika hasil

kebijakan pada kenyataan mempunyai nilai, atau dengan kata lain bahwa dampak

penerapan kebijakan tersebut telah sesuai dengan tujuan dalam mengatasi suatu

masalah. Kriteria evaluasi adalah efektifitas, efisiensi, kecukupan, keadilan,

responsivitas dan ketepatan.


34

Pemerintah dalam penyusunan kebijakan harus dapat melakukan secara hati-hati

agar dapat memenuhi kriteria-kriteria yang baik. Menurut pendapat Edgar K and

Jacquelene M. Browning, kebijakan yang baik memenuhi kriteria-kriteria sebagai

berikut: keadilan (equity), efisiensi ekonomis (economic efficiency), kebapakan

(paternalisme), dan kebebasan perorangan (individual freedom). Menurut J. F. Doe

kriteria untuk mengevaluasi kebijakan pajak tidak langsung adalah revenue

productivity, optimal net economic effect, equity considerations, compliance and

administration, dan the need of trade off (Browning, 1979).

Dalam penyusunan kebijakan harus diperhatikan prinsip pengenaan pajak

sebagaimana disebutkan dalam teori “Smith Canons” yaitu:

1. prinsip kesamaan/keadilan (equity)

2. prinsip kepastian (certainty)

3. prinsip kecocokan/kelayakan (convenience)

4. prinsip ekonomi (economy)

Prinsip pengenaan pajak yang dirumuskan oleh E.R.A. Seligman sedikit berbeda

dengan prinsip Adham Smith, namun demikian apabila dikaji lebih mendalam

sebenarnya terdapat berbagai persamaan. Keempat prinsip tersebut adalah fiscal,

administrative, economic dan ethical. Pengerian fiskal berkaitan dengan dua hal yaitu

adequad dan elasticity yang artinya bahwa pengenaan pajak harus dapat menjamin

terpenuhinya kebutuhan pengeluaran Negara dan juga harus elastis dalam menghadapi

berbagai tantangan dan perkembangan perekonomian. Prinsip administrative meliputi

prinsip certainty, convenience dan efficiency. Prinsip ekonomi berkaitan dengan


35

innocuity dan efficiency yang artinya pajak tersebut tidak menimbulkan hal-hal yang

destruktif dan mampu memenuhi tujuan-tujuan yang diinginkan. Prinsip ethical

meliputi uniformity dan universality yang artinya adalah kesamaan atau keadilan yang

sebanding.

Menurut Joseph E. Stiglitz, kebijakan yang berhasil mempunyai ciri:

1. Economic efficiency, yaitu sistem perpajakan tidak mengganggu alokasi

sumber daya yang sudah efisien;

2. Administrative simplicity, yaitu harus mudah dan tidak mahal untuk

dilaksanakan;

3. Flexibility, yaitu harus mampu menyesuaikan dengan cepat terhadap

perubahan-perubahan dalam perekonomian

4. Political responsiveness, yaitu semua individu sebagai warga negara sadar

membayar pajak;

5. Fairness, yaitu adil terhadap individu-individu yang berbeda, tercermin

dalam keadilan horizontal dan keadilan vertikal (Stiglitz, 1986).

Berbagai konsep efektivitas kebijakan publik telah banyak dikemukakan oleh

para ahli sebagaimana disampaikan di atas, maka sebenarnya dapat ditarik kesimpulan

sebagaiman disampaikan oleh Hubert Graf dan Smulders sebagaimana dikutip (Lele,

2016), dimana efektivitas (juga efisiensi) kebijakan dianggap sebagai nilai - nilai dari

salah satu kategori good governance, yaitu performing governance. Dua kategori

good governance lainnya adalah responsive governance (partisipasi, transparansi,


36

legitimasi, dan akuntabilitas) dan proper governance (integritas, keadilan, kesetaraan

dan kepatuhan pada hukum).

Kegagalan kebijakan dapat disebabkan karena kebijakan tidak dilaksanakan

sesuai dengan rencana atau kebijakan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan

rencana, namun terjadi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan sehingga hasil

kebijakan tidak sesuai yang diharapkan atau ditargetkan. Perhatian besar dalam proses

kebijakan publik seringkali hanya pada tataran “perumusan” kebijakan dengan

menganggap bahwa sebuah kebijakan itu akan berjalan dengan sendirinya, padahal ada

faktor yang paling penting bagi sebuah kebijakan yaitu pada tataran implementasi

(penerapan) kebijakan tersebut. Tentu hal ini sangat bergantung kepada para aktor yang

teribat didalam proses penerapan sebuah kebijakan public yaitu perumus kebijakan

(pemerintah), pelaksana kebijakan, pengguna/pemangku kepentingan (stakeholders),

Pihak terdampak kebijakan yaitu organisasi (publik atau privat). Implementasi

kebijakan melibatkan berbagai pihak tersebut dan menyangkut kepada hubungan-

hubungan keorganisasian yang kompleks, dimana ini menyangkut ranah permasalahan

konflik, pelik dan isu mengenai siapa yang memperoleh apa dan mendapatkan apa

(Wahab, 2008).

Kegagalan kebijakan dapat dilihat melalui penilaian terhadap hasil implementasi.

Hasil riset (Wallner, 2008) menunjukkan faktor-faktor penyebab kegagalan kebijakan

diantaranya adalah definisi masalah yang tidak tepat, pemilihan instrumen kebijakan

yang buruk, keterbatasan pelaksana (kurang rasional), dan sumber daya yang tidak

mencukupi - terutama uang dan waktu.


37

A.4. Fungsi Pemerintah dalam Pembangunan

Tujuan dari proses pembangunan dan kehidupan perekonomian adalah mencapai

tingkat kemakmuran yang lebih tinggi sebagaimana dimuat dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 bahwa “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah dapat turut campur tangan

baik secara aktif maupun secara pasif. Peran utama pemerintah dalam proses

pembangunan dan kehidupan perekonomian tersebut adalah mendukung kelancaran

pelaksanaan pembangunan serta membangkitkan prakarsa dan peran serta masyarakat

dalam pembangunan melalui intervensi pasar yang ramah (a market friendly

government intervention), memberikan pelayanan barang dan jasa yang berkualitas

baik serta mengembangkan kebijakan dan program pembangunan yang tepat, konsisten

dan efektif.

Di sektor perekonomian, menurut J.B Kristiadi, Pemerintah dapat

mengendalikan pembangunan melalui tiga kebijakan yang menjadi kekuatannya, yaitu:

1. Kekuatan memberlakukan pajak, misalnya bagi pihak-pihak yang

menimbulkan polusi yang merusak lingkungan, dibebani pajak yang lebih besar

untuk biaya recovery lingkungan;


38

2. Kekuatan mengatur, misalnya dengan melarang suatu kegiatan tertentu yang

sudah dikelola secara efisien oleh usaha-usaha kecil, sehingga jika dikelola oleh

usaha besar dikhawatirkan akan mematikan industri kecil dan menengah;

3. Kekuatan untuk menegakkan hukum, dalam arti pemerintah memiliki kekuatan

untuk memaksa (power to coerce) bagi para pelaku ekonomi yang tidak

mematuhi norma-norma yuridis yang telah ditetapkan (Kristiadi, 1998).

Menurut Lewis, pemerintah mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu: fungsi alokasi,

distribusi dan, stabilisasi (Stephen, 1984). Fungsi alokasi, pemerintah sebagai wakil

masyarakat yang mengetahui kebutuhan barang dan jasa apa saja yang diperlukan

masyarakat harus menyediakan barang dan jasa selain yang disediakan oleh pihak

swasta. Dalam teori penawaran dan permintaan secara makro, ada pertemuan antara

penawaran (supply) barang dan jasa oleh Pemerintah dengan permintaan (demand)

barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat (Dernburg, 1985). Fungsi distribusi,

pemerintah berfungsi mendistribusikan pendapatan atau kekayaan agar supaya

masyarakat sejahtera. Distribusi pendapatan dan kekayaan melalui pasar memang

efisien akan tetapi tidak adil. Efisien terjadi apabila perubahan tidak memperburuk

keadaan golongan lain, namun hal ini sangat mustahil. Distribusi adil dan efisien

apabila nilai manfaat yang diperoleh seseorang adalah sebanding dengan pengorbanan

yang dikeluarkan atau dikenal dengan Efisiensi Pareto. Dengan adanya campur tangan

Pemerintah, maka efisiensi terhadap redistribusi dapat dijamin (Rosen, 1995), dan

dapat membantu mereka yang mendapat ketidakadilan tersebut yaitu dengan


39

memberikan subsidi yang dananya diambil dari pemungutan pajak kepada mereka yang

memperoleh pendapatan atau kekayaan tertentu (Musgrave & Musgrave, 1980).

Fungsi stabilisasi, yaitu dengan menggabungkan kebijakan fiskal dan moneter,

pemerintah dengan kebijakan fiskal perlu mempertahankan atau mencapai tujuan

seperti kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas tingkat harga, rekening luar negeri yang

baik serta tingkat pertumbuhan yang memadai. Dengan kebijakan moneter perlu

menerapkan persyaratan cadangan, tingkat diskonto dan kebijakan pasar terbuka

(Musgrave & Musgrave, 1980).

Bagi negara berkembang, peran pemerintah pada umumnya semakin meningkat

karena pemerintah bertindak sebagai pelopor dan pengendali pembangunan. Indikasi

ini dapat terlihat dari peningkatan jumlah pengeluaran pemerintah yang dari tahun ke

tahun selalu meningkat. Untuk itu pemerintah harus dapat melakukan efisiensi agar

pembangunan dapat berjalan dengan baik. Salah satu usaha efisiensi adalah dengan

memperbaiki kualitas pemerintah. Apabila pemerintah tidak atau kurang efisien, maka

akan terjadi pemborosan dalam penggunaan faktor-faktor produksi.

B. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terkait dengan barang kiriman yang pernah dilakukan,

diantaranya:

1. Wisnu Nugrahini (2019) melakukan penelitian untuk Pertemuan Ilmiah Tingkat

Internasional yang dilaksanakan oleh BPSDM Banten dengan judul The Impact of

Import Duty Exemption Policy of Delivery Goods in Indonesia. Data yang


40

digunakan adalah data barang kiriman tahun 2017 sampai awal tahun 2019.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui latar belakang perubahan kebijakan

PMK Nomor 188/PMK.04/2010 menjadi PMK Nomor 182/PMK/04/2016,

kemudian bagaimana dampak regulasi dan deregulasi pembebasan bea masuk atas

barang kiriman terhadap penerimaan dan pelayanan DJBC. Penelitian

menggunakan metode pendekatan qualitative deskriptif. Berdasarkan analisa data

diketahui bahwa terdapat fenomena di satu sisi jumlah dokumen dan nilai impor

meningkat, namun di sisi lain ternyata penerimaan mengalami penurunan. Hal ini

dapat diindikasikan terjadinya penghindaran pajak, yaitu penghindaran pajak

dengan under invoice atau dengan splitting dokumen. Berdasarkan indepth

interview kepada pelaku usaha dapat diketahui bahwa mereka benar telah

melakukan splitting dokumen dengan alasan bahwa splitting dokumen bukan

merupakan pelanggaran terhadap peraturan. Kesimpulan dari penelitian tersebut

adalah 1. Latar belakang perubahan kebijakan pembebasan bea masuk: dari USD

100 menjadi USD 75 adalah untuk mengakomodir inspirasi masyarakat pengusaha

lokal. Tujuan perubahan kebijakan bukan semata-mata untuk penerimaan, namun

juga untuk pelayanan. 2. Kebijakan tersebut telah disalahgunakan oleh para pelaku

penggelapan pajak yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan industri kecil

di dalam negeri.

2. Himawan Yusuf dalam penelitian Uji Beda Preferensi Belanja Impor Barang

Kiriman atas Perubahan Batas Pembebasan Bea Masuk melakukan penelitian


41

barang kiriman selama periode 1 Oktober 2019 sampai dengan 2 Maret 2020.

Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan memperoleh bukti empiris

mengenai apakah ada perubahan terhadap preferensi belanja konsumen melalui

impor barang kiriman setelah ketentuan tentang batas pembebasan bea masuk dan

pajak turun dari USD75 menjadi USD3. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari

statistik deskriptif diperoleh nilai rerata harian sebelum (pra) dan sesudah (pasca)

menunjukkan perbedaan yaitu awalnya adalah USD135.065, kemudian turun

menjadi USD127.430. Berdasarkan hasil pengujian statistik, diperoleh nilai p

sebesar 0.000 baik pada Paired Sampel T Test maupun pada Wilcoxon Signed Rank

Test. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis awal yang menyatakan bahwa tidak ada

perubahan preferensi belanja setelah perubahan batas maksimum pembebasan

ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan preferensi membeli barang impor

melalui mekanisme impor barang kiriman telah terjadi secara nyata sejak

berlakunya PMK 199/PMK.10/2019 (Yusuf, 2020).

3. Najla Fauziani Deyanputri dalam penelitiaannya yang berjudul Pengaruh

Kebijakan Penurunan Ambang Batas Pembebasan Bea Masuk Nilai Impor Barang

Kiriman (De Minimis) terhadap Volume Impor Barang Kiriman Indonesia (PMK

No. 199/PMK.10/2019) dalam penelitiannya menyatakan bahwa setelah

ditetapkannya kebijakan penurunan ambang batas pembebasan bea masuk impor

barang kiriman menunjukkan terjadinya penurunan volume impor barang kiriman.

Data yang dikumpulkan menunjukan bahwa volume impor barang kiriman Januari-
42

Juli 2019 dengan Januari-Juli 2020 menurun sebesar 10,24 persen. Serta total rata-

rata perbandingan data tahun 2019 dan 2020 menunjukkan terjadinya penurunan

sebesar 13 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa kebijakan penurunan nilai

ambang batas pembebasan bea masuk impor barang kiriman mampu membantu

menekan nilai volume impor barang kiriman. Selain dari sisi kebijakan, penurunan

volume impor barang kiriman pada saat ini terjadi disebabkan oleh kondisi pandemi

COVID 19 yang nyatanya turut menghambat laju perdagangan baik dari dalam

negeri maupun luar negeri (Deyanputri, 2020).

4. Stephen Holloway dan Jeffrey Rae dalam World Customs Journal menguraikan

bahwa rezim de minimis membuat proses kepabeanan menjadi efisien dan

pembebasan bea masuk dan pajak lainnya. De minimis menghasilkan manfaat

ekonomi dengan memfokuskan kembali pengumpulan pendapatan publik pada

sumber pendapatan yang lebih efisien, mengurangi biaya yang ditanggung oleh

importir, dan mempercepat pengiriman impor. Niai de minimis USD200

menghasilkan manfaat ekonomi bersih terbesar, sekitar USD5,9 miliar per tahun

untuk APEC-6, setara dengan sekitar USD30,3 miliar untuk semua 21 anggota

APEC. Penghematan sumber daya dalam administrasi pemerintahan adalah

manfaat terbesar. Di bawah semua skenario, pemotongan administrasi pemerintah

menyumbang 76% dari manfaat, sementara penghematan dalam kepatuhan bisnis

hampir semua sisanya. Yang terakhir sangat penting bagi usaha kecil dan

menengah (UKM) karena umumnya mereka menghadapi beban yang tidak

proporsional dalam menyelesaikan formalitas kepabeanan. Penghematan waktu


43

transit memiliki manfaat ekonomi yang jelas. Semakin lama produk sampai di

pasar, semakin besar kemungkinan mereka akan binasa, menjadi ketinggalan

zaman, terlantar oleh alternatif unggul, atau kehilangan minat pembeli potensial.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pemotongan 10% dalam waktu

pengiriman akan memperluas ekspor manufaktur sensitif waktu lebih dari 4%.

Penurunan nilai de minimis memberikan dampak yang relatif kecil terhadap

peningkatan pendapatan pemerintah (Holloway & Rae, De minimis thresholds in

APEC).

5. Steven Pope, Cezary Sowiński and Ives Taelman dalam penelitian yang berjudul

Import Value De Minimis Level in Selected Economies as Cause of Undervaluation

of Imported Goods menguraikan bahwa Pemberitahuan nilai barang yang lebih

rendah dibandingkan dengan harga sebenarnya merupakan fenomena yang hampir

selalu terjadi dalam perdagangan internasional. Namun, alasan bahwa barang yang

diekspor dari negara-negara tertentu disertai dengan faktur yang menunjukkan nilai

yang sengaja diturunkan yang tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari barang

belum sepenuhnya dipahami. Keinginan untuk menghindari bea masuk dan pajak

mungkin menjadi satu-satunya alasan untuk perilaku ini. Praktik undervaluation

juga dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian peraturan yang ada dari beberapa

perekonomian nasional, terutama tingkat nilai impor de minimis dan langkah-

langkah fasilitasi perdagangan lainnya. Menggunakan tiga hipotesis, makalah ini

menyelidiki apakah ada hubungan antara bea masuk Uni Eropa (UE) dan tingkat

de minimis dan pemberitahuan nilai barang yang disengaja di bawah ambang batas.
44

Meskipun penelitian ini tidak dapat membuktikan korelasi langsung antara pajak

tertentu dan undervaluation, itu menunjukkan perlunya pemahaman dan kerja sama

yang lebih besar antara pengusaha dan Bea Cukai untuk lebih memastikan

kepatuhan dengan perubahan peraturan perdagangan internasional (Pope,

Sowiński, & Taelman).

6. Hintsa J. dalam final report University of Lausanne dan University of Bamberg

(2016) berjudul The import VAT and Duty De-Minimis in the European Union –

Where Should They Be and What Will Be The Impact? Beberapa kesimpulan yang

disampaikan dalam laporan tersebut adalah nilai de-minimis harus dinaikkan

menjadi 80 EUR dari saat ini 22 EUR - ini disebabkan oleh fakta bahwa total biaya

pengumpulan yang dihadapi oleh administrasi Bea Cukai dan sektor swasta saat ini

melebihi pendapatan yang dikumpulkan. Meskipun meningkatkan nilai de-minimis

dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, perubahan tersebut tidak

signifikan - misalnya, kualitas dan reputasi penjual lebih penting bagi konsumen

dalam keputusan pembelian mereka. Menaikkan nilai de minimis akan

memungkinkan administrasi Bea Cukai di seluruh Uni Eropa untuk merealokasi

sumber daya menuju prioritas yang lebih tinggi seperti: pengumpulan pendapatan

yang lebih tinggi; kegiatan anti-penyelundupan; mengatasi pelanggaran keamanan

produk dan kekayaan intelektual; dan keamanan rantai pasokan (J., et al., 2014).
45

C. Kerangka Pemikiran Teoritis

Sejak Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berlaku

efektif, yaitu pada tahun 1996, pemerintah menetapkan nilai de minimis atas barang

kiriman sebesar USD50. Benchmark-nya saat itu adalah negara-negara ASEAN. Nilai

de minimis USD50 ini bertahan selama 20 (dua puluh) tahun, karena pada akhir

November 2016, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016

tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman nilai de minimis ditambah menjadi paling

banyak FOB USD 100 (seratus United States Dollar) untuk setiap penerima barang per

kiriman (Siregar, 2019). Peningkatan nilai de minimis tersebut, disambut positif para

pelaku e-commerce. Mereka memanfaatkan fasilitas fiskal dalam bentuk kenaikan nilai

pembebasan impor barang kiriman.

Kemudian pada tahun 2018 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor

112/PMK.04/2018, nilai pembebasan turun menjadi FOB USD 75 (tujuh puluh lima

United States Dollar), dengan ketentuan pembebasan bea masuk diberikan untuk setiap

penerima barang per 1 (satu) hari atau lebih dari 1 (satu) kali pengiriman dalam waktu

1 (satu) hari, sepanjang nilai pabean atas keseluruhan Barang Kiriman tidak melebihi

FOB USD 75 (tujuh puluh lima United States Dollar).

Tetapi kemudian, dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor

199/PMK.010/2019 yang mulai berlaku efektif pada tanggal 29 Januari 2020,

Pemerintah kembali menurunkan nilai de minimis jauh di bawah nilai semula, yaitu

menjadi FOB USD 3 (tiga United States Dollars) per penerima barang per kiriman atas

impor barang kiriman, dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan dikecualikan dari
46

pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (PPh. Ps. 22 Impor). Dengan

diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019, berarti

barang kiriman yang dalam pengimporan sebelumnya termasuk dalam kriteria barang

yang dibebaskan dari pengenaan bea masuk dan PDRI menjadi barang yang wajib

bayar pungutan negara dalam rangka impor.

Menurut Holloway dan Ray (Holloway & Rae, De minimis thresholds in APEC,

2012), nilai de minimis memberikan manfaat ekonomi karena pemerintah bisa fokus

kepada pengumpulan pendapatan publik pada sumber pendapatan yang lebih efisien,

mengurangi biaya yang ditanggung oleh importir, dan mempercepat proses kepabeanan

atas barang impor. Penghematan sumber daya dalam administrasi pemerintahan adalah

keuntungan terbesar. Di bawah semua skenario, pemotongan administrasi pemerintah

menyumbang 76% dari manfaat, sementara penghematan dalam kepatuhan bisnis

hampir semuanya sisanya. Yang terakhir ini sangat penting untuk usaha mikro, kecil,

dan menengah (UMKM) karena mereka umumnya menghadapi beban yang tidak

proporsional dalam menyelesaikan formalitas bea cukai. Atau dengan kata lain

menurut Holloway dan Ray semakin rendah nilai de minimis akan menimbulkan biaya

administrasi yang tinggi dan menjadi penghambat proses kepabeanan.

Kebijakan merupakan keputusan Pemerintah dalam menyelesaikan suatu

permasalahn yang timbul. Bahwa untuk menjadi kebijakan publik terdapat serangkaian

kebijakan. Kegiatan mulai dari timbulnya permasalahan, kemudian disusun agenda-

agenda dan beberapa alternatif solusi yang akan dirumuskan dalam suatu kebijakan,

perumusan kebijakan, isi kebijakan, implementasi kebijkan dan terakhir evaluasi.


47

Berdasarkan permasalah tersebut maka tahap-tahap dalam penyusunan kebijakan,

menurut William Dunn yang secara berurutan adalah Penyusunan Agenda¸ Formulasi

Kebijakan, Adopsi Kebijakan, Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan (Dunn,

2012).

Gambar II-1 Model Kerangka Pemikiran


Penyusunan Agenda

Perumusan masalah

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan
48

Evaluasi Kebijakan Penerapan nilai de minimis


barang kiriman Impor di Indonesia

1. Efektifitas
2. Efesiensi
3. Kecakupan
4. Perataan
5. Responsifitas
6. Ketepatan

Kesimpulan evaluasi, apakah sesuai tujuan kebijakan


dengan fakta yang ada, rekomendasi dilanjutkan
implementasi tanpa perbaikan atau perlu adanya
perbaikan atau pergantian kebijakan

Diolah berdasarkan Willlian N. Dunn (Dunn, 2003)

Dalam kajian akademis ini, Peneliti ingin mengevaluasi implementasi kebijakan

tersebut, bagaimana dampaknya apakah sesuai dengan tujuan kebijakan, apa hambatan

dan tantangannya dalam implementasi kebijakan tersebut. Teori evaluasi yang

digunakan adalah teori William Dunn karena teori ini yang sangat sering digunakan

dalam peneltian dan metode ini sangat relevan dengan tujuan penelitian. Kesimpulan

dari evaluasi ini adalah apakah sesuai tujuan kebijakan dengan fakta yang ada,

kemudian dilanjutkan dengan rekomendasi apakah dilanjutkan implementasi tanpa

perbaikan atau perlu adanya perbaikan atau pergantian kebijakan.


49
BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian menurut Sugiyono, adalah merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data yang valid dengan tujuan yang bersifat penemuan, pembuktian dan

pengembangan suatu pengetahuan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk

memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah (Sugiyono, 2013)

A. Jenis Penelitian

Kajian akademis ini merupakan evaluasi kebijakan publik yang bertujuan melihat

bagaimana implementasi kebijakan pemerintah yang menetapkan nilai de minimis

sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) untuk barang kiriman berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang tentang Ketentuan

Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman dengan studi kasus di

KPUBC Tipe C Soekarno Hatta.

Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik,

dimana dalam proses kebijakan publik itu terdiri dari proses bagaimana membahas

persoalan perencanaan, isi, implementasi, efek atau pengaruh dari kebijakan itu sendiri.

Evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi

yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan terhadap implementasi dan

efektifitas suatu program. Menurut Lester dan Stewart evaluasi kebijakan merupakan

salah satu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan

50
51

baik atau tidak dan ditujukan untuk melihat kegagalan atau keberhasilan suatu

kebijakan, juga untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan

dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan. Dalam hal ini evaluasi

kebijakan dimaksudkan sebagai usaha memberikan masukan kepada perumus

kebijakan, pembuat kebijakan dan masyarakat, untuk tetap melanjutkan penerapan

kebijakan tersebut, atau melaksanakan dengan memperbaharui kebijakan yang sudah

diimplentasikan sehingga kebijakan tersebut dapat lebih efektif, atau dihentikan

implementasi kebijakannya (Lester & Jr., 2000).

Kajian akademis ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana 1.

pengumpulan data tidak dilakukan secara random atau tidak didasarkan perhitungan

statistik tetapi dilakukan atas tujuan tertentu (purposive), penentuan sampel dalam

penelitian kualitatif, sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang

maksimum, bukan untuk digeneralisasikan. Jadi, Peneliti memilih orang tertentu yang

dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan. 2. Untuk kajian ini juga

diperlukan pembahasan yang cukup mendalam dan secara menyeluruh atau secara

komprehensif sehingga dapat menjawab semua permasalahan atas subyek yang dikaji

(Sugiyono, 2003).

Menurut Fachrudin, Suaedi (2013), metode kualitatif merupakan pendekatan yang

berkembang dalam riset ilmu sosial, termasuk kebijakan. Pendekatan kualitatif pada

umumnya lebih banyak menimbulkan perdebatan dibandingkan dengan kuantitatif

metode kuantitatif lebih terukur dan melibatkan penggunaan data seperti data numerik,

sehingga dapat mengurangi subjektivitas. Pendekatan kualitatif cenderung subjektif, di


52

mana pandangan peneliti biasanya menjadi bagian dalam kesimpulan penelitian.

Pendekatan kualitatif digunakan dalam situasi tidak terlalu jelas apa yang sesungguhnya

dicari dalam suatu penelitian. Pendekatan kualitatif fokus penelitian menjadi lebih jelas

pada saat pelaksanaan penelitian yaitu dengan melakukan in dept interview.

Pengumpulan data di pendekatan kualitatif, dilakukan tidak secara random,

tetapi dengan tujuan tertentu (purposive). Menurut Eryanto (2007), metode kualitatif

lebih cenderung meneliti fenomena dan rincian deskripsi dari suatu perihal. Sedangkan

menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2012), penelitian kualitatif adalah

metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Metode yang digunakan dalam kajian akademis ini adalah metode deskriptif-

analitik. Menurut Sugiyono metode deskriptif-analitik adalah suatu metode yang

berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti

melalui data atau sampel yang telah terkumpul, sebagaimana adanya, tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2003).

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data dalam kajian akademis adalah merupakan alat yang sangat

penting. Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam kajian akademis ini, terdiri

dari:

1) Data primer (primary data).

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa pemilihan sampel dilakukan


53

untuk tujuan tertentu (purposive) yaitu untuk mendapatkan informasi yang

maksimum, maka Peneliti memutuskan untuk memilih sampel dari KPUBC Tipe

C Soekarno Hatta karena kajian akdemis ini mengambil studi kasus di KPUBC

Tipe C Soekarno Hatta, kemudian dari Direktorat Teknis Kepabeanan sebagai

Direktorat yang menyusun kebijakan terkait obyek kajian. Di samping itu, Peneliti

juga memilih sampel secara purposive terhadap pihak eksternal yaitu para

pengguna jasa baik dari pihak Perusahaan Jasa Titipan (PJT) maupun dari

marketplace. Penggalian informasi dilakukan dengan wawancara langsung

dengan narasumber yang berkompeten yang telah dipilih secara selektif dengan

mempertimbangkan kapasitas kompetensi dan ruang lingkup tugas yang

dijalankan. Penggalian informasi juga dilakukan dengan observasi, juga dengan

diskusi dalam forum Focus Group Discussion (FGD) serta penyebaran daftar

pertanyaan (kuesioner). Focus Group Discussion (FGD) merupakan bentuk

penelitian kualitatif, di mana sekelompok orang yang bertanya secara interaktif,

tentang sikap mereka terhadap produk, layanan, konsep, iklan, ide, atau kebijakan.

Dalam FGD biasanya terdapat suatu topik yang dibahas dan didiskusikan bersama.

Prinsip-prinsip FGD di antaranya adalah FGD merupakan kelompok diskusi bukan

wawancara atau obrolan, FGD adalah grup bukan individu, dan FGD adalah diskusi

terfokus bukan diskusi bebas.

2) Data sekunder (secondary data).

Data sekunder (secondary data) adalah sumber data yang diperoleh melalui
54

penelitian kepustakaan (library research). Adapun sumber data sekunder terbagi

menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Bahan primer; bahan primer adalah sumber data yang bersumber dari

berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan

undang-undang. Kajian akademis ini menelaah dan menganalisa kebijakan

tentang de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars), maka sumber bahan

primer dari peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan undang-

undang, adalah:

- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran

Negara Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4661);

- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran

Negara Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4755);

- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang

Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman;

- Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-

02/BC/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Impor Barang Kiriman; dan

- Berbagai peraturan perundang-undangan terkait.


55

b. Bahan sekunder; Bahan sekunder terdiri dari bukti, catatan, atau laporan

historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang

dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, meliputi pendapat

hukum/doktrin/ teori-teori yang diperoleh dari buku teks, jurnal ilmiah,

laporan penelitian, karya ilmiah, makalah (prosiding), artikel dalam berbagai

website yang terkait dengan penelitian.

c. Bahan tersier; bahan tersier diperoleh dari Kamus Bahasa Indonesia, Kamus

Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Ensiklopedi, indeks kumulatif, dan lain

sebagainya yang berkaitan dengan objek penelitian, serta sumber lainnya yang

mendukung penelitian.

C. Metode Analisis Data

Metode analisis data untuk kajian akademis ini adalah dengan mengumpulkan

data kemudian mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola dapat juga mereduksi data yang tidak diperlukan atau tidak berkaitan,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan

apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan/dijelaskan kepada

orang lain (Moleong, 2012). Analisis data dalam suatu kajian akademis merupakan

bagian yang sangat penting karena dengan analisis data inilah data yang akan terlihat
56

manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah dan mencapai tujuan akhir dalam

kajian akademis.

Analisa data menurut Li dan Seale menggunakan 5 (lima) strategi, yaitu:

menghubungkan (connecting), memisahkan (separating), membandingkan

(contrasting), kuantifikasi (quantifying), dan menghapus (deleting) (Li & Seale,

2007).

Analisis terhadap data kualitatif menurut Bognan & Biklen (1982) dalam

Moleong (Moleong, 2012), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan

apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.

Langkah awal dari analisis data berdasarkan definisi tersebut adalah mengumpulkan

data yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian mempresentasikan hasil

penelitiannya berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan.

Kajian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman. Menurut keduanya, proses analisis data kualitatif dilakukan dengan tiga

tahapan, yaitu:

1. Reduksi data; reduksi data merupakan tahap pertama dalam menganalisis data

kualitatif menurut Miles dan Huberman. Tahap mereduksi dilakukan dengan

menyederhanakan data agar sesuai dengan kebutuhan dan mudah untuk didapatkan

informasi. Data hasil wawancara, survei, pengamatan langsung di lapangan

(observasi), dan sebagainya dikelompokan dari data yang sangat penting, kurang
57

penting, dan tidak penting. Data yang tidak penting kemudian dapat diabaikan

dengan dibuang atau tidak digunakan. Pengkaji bahkan bisa hanya menggunakan data

yang sifatnya penting dengan membuang atau mengabaikan data yang kurang

penting.

2. Penyajian data; tahap berikutnya dalam analisis data kualitatif setelah tahap reduksi

data menurut Miles dan Huberman adalah tahap penyajian data atau data display.

Data yang disajikan adalah data yang telah direduksi atau disederhanakan di tahap

sebelumnya. Penyajian data bisa dalam bentuk grafik, chart, pictogram, dan bentuk

lain. Penyajian bentuk kumpulan data tersebut dimaksudkan agar data dapat

ditampilkan dengan rapi, sistematis, tersusun dengan pola hubungan tertentu,

terorganisir, dan sebagainya. Sehingga data tersebut menjadi suatu informasi dan

bukan data mentah. Dengan demikian data yang sudah menjadi informasi tersebut

akan lebih mudah disampaikan dan dipahami orang lain.

3. Penarikan kesimpulan; penarikan kesimpulan merupakan tahap terakhir dalam

analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman. Tahap penarikan kesimpulan

atau conclusion drawing merupakan informasi yang ditarik dari tampilan sajian yang

sudah disederhanakan dalam bentuk grafik, tabel, atau bentuk lain, sehingga

informasi kajian bisa dipahami dengan mudah. Sebagai contoh data yang disajikan

dalam bentuk grafik, maka seseorang sudah bisa melihat kesimpulannya. Kesimpulan

ini menjadi informasi yang disajikan dalam laporan kajian dan ditempatkan di bagian

penutup. Yakni pada bagian kesimpulan, sehingga para pembaca laporan penelitian

juga bisa menemukan kesimpulan tersebut.


58

Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini berdasarkan teori Miles dan

Huberman dapat digambarkan dalam alur berikut:

Penarikan
Reduksi Data Penyajian Data
Kesimpulan

Analisis data dimulai dengan mengumpulkan seluruh data. Data utama yang

akan dianalisis bersumber dari hasil wawancara dengan informan kunci yaitu Perumus

Kebijakan. Hasil wawancara tersebut didukung data dari teknis terkait yaitu Direktorat

IKC maupun dari KPUBC Tipe C Soekarno Hatta, serta didukung hasil kuesioner.

Selanjutnya peneliti membaca secara cermat untuk kemudian dilakukan reduksi data.

Peneliti membuat reduksi data dengan cara membuat abstraksi, yaitu mengambil dan

mencatat informasi-informasi yang relevan dan bermanfaat sesuai dengan konteks

penelitian atau mengabaikan kata-kata yang tidak perlu sehingga didapatkan inti

kalimatnya saja. Data yang diolah ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan untuk

kuesioner dilengkapi dengan persentase jawaban pada tiap-tiap butir pertanyaan yang

dipilih responden.

Data hasil wawancara disilangkan dengan data olahan dari Direktorat IKC dan

juga data kuesioner, dengan tujuan memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh

dari obyek penelitian. Analisis data terhadap hasil kajian dilakukan dengan mencari

penyebab permasalahan yang ada, kemudian dibahas berdasarkan teori dan/atau

penelitian sebelumnya.
59

Analisis data diakhiri dengan memformulasikan kesimpulan dan rekomendasi

yang konstruktif guna memperbaiki keadaan di atas. Pengambilan simpulan kajian

dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara dengan Perumus kebijakan,

Pelaksana Kebijakan, dan Pengguna kebijakan yang disilangkan dengan data olahan

dan pengolahan kuesioner.

D. Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian kualitatif merupakan unsur yang tidak

terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif (Moleong, 2012). Uji

keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility, transferability,

dependability, dan confirmability (Placeholder1). Dengan uji keabsahan diharapkan

dapat mengurangi subjektivitas dan dapat meningkatkan kredibilitas, transparansi,

validitas dan keabsahan data yang diperoleh. Pada tahap ini peneliti mengambil teknik

uji keabsahan data sebagai berikut :

1. Uji kredibilitas; uji kredibilitas atau uji kepercayaan terhadap data hasil penelitian

yang disajikan oleh peneliti agar hasil penelitian yang dilakukan tidak meragukan

sebagai sebuah karya ilmiah dilakukan. Pada tahap ini uji kredibilitas mencakup

beberapa proses yaitu:

a. Perpanjangan pengamatan; data yang diperoleh setelah dicek kembali ke

lapangan benar atau tidak, ada perubahan atau masih tetap. Setelah dicek

kembali ke lapangan data yang telah diperoleh sudah dapat

dipertanggungjawabkan/benar berarti kredibel, maka perpanjangan

pengamatan perlu diakhiri.


60

b. Meningkatkan kecermatan dalam penelitian; untuk meningkatkan ketekunan

peneliti dapat dilakukan dengan cara membaca berbagai referensi, buku, hasil

penelitian terdahulu, dan dokumen-dokumen terkait dengan membandingkan

hasil penelitian yang telah diperoleh. Dengan cara demikian, maka peneliti

akan semakin cermat dalam membuat laporan yang pada akhirnya laporan

yang dibuat diharapkan semakin berkualitas.

c. Triangulasi; triangulasi menurut Susan Stainback dalam (Placeholder1)

merupakan “the aim is not to determinate the truth about same social

phenomenon, rather than the purpose of triangulation is to increase one’s

understanding of what ever is being investigated”. Dengan demikian

triangulasi bukan bertujuan mencari kebenaran, tapi meningkatkan

pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang dimilikinya. Triangulasi

dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari

berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu, sehingga

triangulasi dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yakni triangulasi sumber,

triangulasi teknik pengumpulan data dan waktu. Untuk penelitian ini peneliti

mengambil triangulasi teknik pengumpulan data dan juga triangulasi sumber

data. Langkah-langkah melakukan triangulasi metode dan triangulasi sumber

data:

a. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau

data dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif peneliti

menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh


61

kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai

informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara dan

obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu,

peneliti juga bisa menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek

kebenaran informasi tersebut. Triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau

informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan

kebenarannya.

b. triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu

melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain

melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi

terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah,

catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Masing-

masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang

selanjutnya akan memberikan pandangan yang berbeda pula mengenai

fenomena yang diteliti.


62

Kesimpulan

Wawancara FGD

Data dan
Kuisioner

Wawancara

KPUTipe
KPUBC BC C
Dit.DIT
Teknis
KIAL & TANJUNG
Soekarno Hatta DIT KBP
Pelaku Usaha
Fasilitas PRIOK
Kepabeanan
Gambar III-1 Triangulasi Sumber Data

2. Uji reliabilitas; uji reliabilitas dalam penelitian kualitatif digunakan untuk

mengetahui seberapa kuat penelitian tersebut dapat dipercaya. Pengujian reabilitas

dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.

Peneliti melakukan konsultasi kepada pembimbing penelitian untuk mengevaluasi

keseluruhan aktifitas yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.

Misalnya bisa dimulai ketika bagaimana peneliti mulai menentukan masalah,

terjun ke lapangan, memilih sumber data, melaksanakan analisis data, melakukan

uji keabsahan data, sampai pada pembuatan laporan hasil pengamatan.


63

E. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variable penelitian merupakan penjelasan dari masing-

masing variabel yang digunakan dalam penelitian terhadap indikator-indikator yang

membentuknya. Definisi operasional untuk variabel dan indikator penelitian ini dapat

dilihat berikut ini:

1. kebijakan adalah “suatu tindakan yang ditetapkan dan dilakukan seseorang atau

sejumlah pelaku dan memiliki procedural pemecahan suatu masalah (Tahir,

2014)

2. kebijakan publik adalah, “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan

atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”

(Islamy, 2000).

3. De minimis berarti batas minimal nilai atau jumlah barang yang mendapatkan

pembebasan atau pengurang nilai barang impor, yang kemudian hasilnya

dipergunakan sebagai dasar penghitungan bea masuk

4. Efektifitas (Effectiveness); efektifitas merupakan salah satu variabel evaluasi

kebijakan yang menilai apakah implementasi kebijakan memberikan hasil dan

dampak sesuai yang diharapkan, apakah tujuan yang ingin dicapai dapat

terwujud, dan apakah dampak yang diharapkan sebanding dengan usaha yang

telah dilakukan (Badjuri, Abdulkahar, & Yuwono, 2002);

5. Efisiensi (Efficiency); efisiensi merupakan salah satu variable evaluasi

kebijakan yang menilai hubungan antara efektifitas dengan jumlah usaha yang
64

digunakan atau diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektifitas tertentu.

Efisiensi biasanya diukur dengan perhitungan sumber daya yang digunakan

untuk mencapai efektifitas tertinggi. Sumber daya dapat berupa sumber daya

modal/biaya, sarana dan prasarana, sumber daya manusia (SDM), dll.

6. Kecukupan (Adequacy); kecukupan merupakan salah satu indikator evaluasi

kebijakan yang berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas

memuaskan atau memenuhi kebutuhan nilai, atau apakah dari berbagai

permasalahan yang timbul sudah tercakup semua di dalam kebijakan tersebut.

7. Keadilan (Equity). Keadilan merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan

yang berhubungan erat dengan rasionalitas legal dan social serta menunjuk pada

distribusi akibat dan usaha antara kelompok yang berada dalam masyarakat

tertentu. Dalam hal ini dapat berupa equal treatment.

8. Responsivitas (Responsiveness); responsivitas merupakan salah satu indikator

evaluasi kebijakan yang berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat

memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok dalam

masyarakat tertentu, misalnya apakah kebijakan tersebut memuaskan kebutuhan

pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan, bahkan bagi negara-negara

Internasional.

9. Ketepatan (Appropriateness); ketepatan merupakan salah satu indikator

evaluasi kebijakan yang sangat berhubungan dengan rasionalitas substantif yang

merujuk pada tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan

kebijakan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan pertanyaan apakah kebijakan
65

yang diimplementasikan tersebut sudah tepat untuk menyelesaikan

permasalahan yang timbul.

Tabel III-1 Matrik Kriteria Evaluasi


No Indikator Sumber Data Teknik Keputusan
Pengumpulan Data

1. Efektifitas: • Direktorat Teknis • Kuesioner Efektif atau tidak


Kepabeanan efektif
1) Harapan perumus • Wawancara
kebijakan • Direktorat Informasi
• FGD
Kepabeanan dan
2) data jumlah barang • Studi dokumentasi
Cukai
kiriman
• KPUBC Tipe C
3) data volume barang
Soekarno Hatta
kiriman

4) data Penerimaan barang • PDTT

kiriman • Importir/Pengguna

5) Data harga rata-rata barkir Jasa

6) peraturan

1)

2 Efisiensi: • Direktorat Teknis • Kuesioner Efisien atau tidak


Kepabeanan efisien
1) Penanganan barkir • Wawancara
• Direktorat Informasi
2) Biaya • FGD
Kepabeanan dan
3) Waktu • Studi dokumentasi
Cukai
4) Tenaga kerja
• KPUBC Tipe C
Soekarno Hatta

• PDTT
66

No Indikator Sumber Data Teknik Keputusan


Pengumpulan Data

• Importir/Pengguna
Jasa

3 Kecakupan: • Direktorat Teknis • Kuesioner Terpenuhinya


Kepabeanan kepuasan atau tidak
1) Peraturan yang ada bagi • Wawancara
terpenuhi
pengguna jasa • Direktorat Informasi
• FGD
Kepabeanan dan
2) Peraturan yang ada bagi • Studi dokumentasi
Cukai
pelaksana kebijakan
• KPUBC Tipe C
Soekarno Hatta

• PDTT

• Importir/Pengguna
Jasa

4 Keadilan: • Direktorat Teknis • Kuesioner Memenuhi rasa adil


Kepabeanan atau tidak
1) Pengenaan pajak bagi • Wawancara
barang kiriman impor • Direktorat Informasi
• FGD
Kepabeanan dan
• Studi dokumentasi
Cukai

• KPUBC Tipe C
Soekarno Hatta

• PDTT

• Importir/Pengguna
Jasa

• Pelaku UMKM

5 Responsivitas: • Direktorat Teknis • Kuesioner Memenuhi


Kepabeanan keinginan atau tidak
• Wawancara
67

No Indikator Sumber Data Teknik Keputusan


Pengumpulan Data

1) Penurunan nilai de • Direktorat Informasi • FGD


minimis dari FOB Kepabeanan dan
• Studi dokumentasi
USD75.00 (tujuh puluh Cukai
lima United States
• KPUBC Tipe C
Dollars) menjadi FOB
Soekarno Hatta
USD3.00 (tiga United
• PDTT
States Dollars)
• Importir/Pengguna
Jasa

6 Ketepatan: • Direktorat Teknis • Kuesioner Dampaknya positif


Kepabeanan atau negatif
1) Harapan pelaksana • Wawancara
kebijakan • Direktorat Informasi
• FGD
Kepabeanan dan
2) Harapan pengguna jasa • Studi dokumentasi
Cukai

• KPUBC Tipe C
Soekarno Hatta

• PDTT

• Importir/Pengguna
Jasa
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini peneliti akan menyampaikan analisis penelitian secara kualitatif

terhadap data-data yang telah dikumpulkan, baik data primer maupun sekunder.

Peneliti mengkaji penerapan kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) dimulai dengan menentukan purposive responden yaitu perumus kebijakan

sebagai key informan. Perumus kebijakan yang ditunjuk dalam kajian ini adalah Bapak

Djanurindro Wibowo, yang pada saat merumuskan kebijakan menjabat sebagai Kepala

Sub Direktorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan, Kantor Pusat DJBC. Untuk

meningkatkan kredibilitas dan validitas data, maka Peneliti melakukan perpanjangan

pengamatan dengan memperdalam pengamatan (indepth interview) kepada anggota

tim perumus kebijakan lainnya.

Sebagaimana telah disampaikan dalam metode penelitian bahwa untuk

kredibilitas dan validitas data yang diperoleh dari wawancara dengan key informan

maka dilakukan juga wawancara dengan pelaksana kebijakan yang dalam hal ini adalah

pegawai yang menangani barang kiriman di KPUBC Tipe C Soekarno Hatta (yaitu

pegawai di bidang P2, PDTT, dan pemeriksa barang) dan wawancara dengan pengguna

kebijakan.

Peneliti memperpanjang pengamatan dengan menyebar kuesioner dan

mengumpulkan data sekunder dari KPUBC Tipe C Soekarno Hatta dan Direktorat

Informasi Kepabeanan dan Cukai (IKC) Kantor Pusat DJBC. Data yang diperoleh dari

68
69

penyebaran kuesioner akan dibahas dengan menggunakan analisis penjabaran dengan

statistik deskriptif sesuai masing-masing variable yang diteliti. Selanjutnya pada

bagian ketiga akan dipaparkan hasil kajian secara terintegrasi yang diperoleh dari

perumusan hasil kegiatan Focus Discuss Group (FGD).

A. Hasil Wawancara

A.1. Perumus Kebijakan

A.1. Tim Penyusun Kebijakan Barang Kiriman I

Dari hasil wawancara dengan mantan Kepala Sub Direktorat Impor, Direktorat

Teknis Kepabeanan, Kantor Pusat DJBC dalam kedudukannya sebagai anggota Tim

Penyusun Kebijakan Barang Kiriman dapat diketahui bahwa:

a. perubahan kebijakan nilai de minimis berdasarkan PMK 188/PMK.04/2010

sebesar FOB USD50.00 (lima puluh United States Dollars) menjadi FOB

USD100.00 (seratus United States Dollars) sebagaimana diatur dalam PMK

182/PMK.04/2016 adalah dalam rangka memfasilitasi perdagangan. Dimana nilai

de minimis sebesar FOB USD50.00 (lima puluh United States Dollars) per kiriman

sudah berlaku sejak hampir 10 (sepuluh) tahun yaitu sejak 2007 atau sejak

berlakunya PMK Nomor 89/PMK.04/2007.

Tetapi ketika PMK 182/PMK.04/2016 diberlakukan, hampir bersamaan dengan

perkembangan pesat e-commerce, tidak hanya e-commerce di dalam negeri

melainkan juga e-commerce antar negara. Di dalam PMK 182/PMK.04/2016,


70

diatur bahwa nilai de minimis yang berlaku adalah FOB USD100.00 (seratus

United States Dollars) per penerima barang per kiriman. Apabila nilai barang

kiriman yang diterima oleh penerima barang untuk setiap kiriman lebih dari FOB

USD100.00 (seratus United States Dollars), maka bea masuk dan PDRI dikenakan

atas keseluruhan nilai barang.

Melihat lonjakan impor barang e commerce yang luar biasa tersebut, kemudian

diterbitkanlah PMK 112/PMK.04/2018, dimana nilai de minimisnya diturunkan

menjadi FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars). Nilai de minimis

tersebut mengacu pada WCO Consignment Goods Guidelines. Di dalam WCO

Consignment Goods Guidelines, barang kiriman direkomendasikan menjadi

beberapa kategori, yaitu:

1. barang kiriman dalam bentuk dokumen dan surat-surat dan di bawah nilai

de minimis: mendapat pembebasan bea masuk;

2. barang kiriman dengan nilai 50SDRs-1000SDRs (special drawing rights,

setara dengan USD75-1500): dikenakan tarif rata-rata dan prosedur yang

sederhana; dan

3. barang kiriman dengan nilai di atas USD1,500.00: dikenakan tarif yang

berlaku umum atau Most Favour Nation (MFN)).

b. Ternyata setelah nilai de minimis diturunkan menjadi FOB USD75.00 (tujuh puluh

lima United States Dollars) tidak mengurangi laju pertumbuhan impor barang

kiriman e-commerce. Lonjakan impor barang-barang e-commerce mulai


71

mengancam pertumbuhan industri dalam negeri, sehingga Pemerintah merasa

harus mengambil kebijakan untuk:

1. melindungi industri dalam negeri; dan

2. menciptakan equal level of playing field yaitu kesamaan perlakuan

perpajakan antara transaksi melalui e-commerce antar negara dengan

transaksi impor lainnya (atau impor melalui kargo) dan transaksi di

dalam negeri.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan mempertimbangkan data

statistik bahwa rata-rata nilai barang yang diberitahukan dalam CN ketika itu di

kisaran FOB USD3.80 (tiga koma delapan United States Dollars) maka

Pemerintah memberlakukan PMK Nomor 199/PMK.010/2019, dimana di

dalamnya diatur penurunan nilai de minimis menjadi FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) per penerima barang per kiriman. Berdasarkan PMK Nomor

199/PMK.010/2019 tersebut, atas barang kiriman dengan nilai berapa pun tetap

dikenakan PPN sebesar 10%, kecuali barang kiriman berupa surat, kartu pos, dan

dokumen. Ketentuan terkait PPN ini berbeda dengan PMK-PMK barang kiriman

sebelumnya, dimana biasanya dalam hal barang kiriman mendapat pembebasan

bea masuk maka PDRI-nya pun dibebaskan. Perlakuan PPN atas barang kiriman

dalam PMK 199/PMK.010/2019 ini didasarkan pada pertimbangan bahwa WCO

Consignment Goods Guidelines tidak mengatur pembebasan PPN barang kiriman

yang tidak melebihi nilai de minimis dan berdasarkan pertimbangan best practice

di negara lain, yaitu Australia, yang tetap mengenakan PPN atas barang kiriman
72

sekalipun barang tersebut mendapat pembebasan bea masuk. Dari sisi efisiensi

administrasi pembayaran kewajiban perpajakan pengenaan PPN atas barang yang

nilainya kurang dari FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tidak

menimbulkan inefisiensi karena dengan kemajuan teknologi memungkinkan

dilakukan pembayaran konsolidasi (consolitaded payment) atas beberapa

dokumen CN.

Kementerian Keuangan melibatkan pihak swasta terkait dalam perumusan

kebijakan barang kiriman, tetapi untuk mengurangi pro kontra dalam proses

penyusunannya, Pemerintah memang tidak menyampaikan secara detail tentang

rencana penurunan nilai de minimis menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars). Selain dengan pihak swasta, DJBC juga melibatkan pelaksana kebijakan

di lingkungan DJBC yaitu KPUBC Tipe C Soekarno Hatta dan kantor-kantor

vertikal yang akan melaksanakan kebijakan barang kiriman.

c. Dengan kondisi ceteris paribus penurunan nilai de minimis juga diharapkan dapat

meningkatkan penerimaan sekitar 100%, terlebih lagi di dalam PMK Nomor

199/PMK.010/2019 ini atas barang kiriman berupa produk tekstil, sepatu, dan tas,

sebagai jenis barang impor utama barang kiriman yang mengancam industri dalam

negeri bukan dikenaan tarif rata-rata, melainkan tarif sesuai MFN yaitu sekitar

15% s.d. 30% dan dipungut PDRI.

Menurut Narasumber, dampak lain dari penurunan nilai de minimis, adalah:

1. ketika nilai de minimis yang berlaku FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United

States Dollars) dan FOB USD100.00 (seratus United States Dollars) masih
73

terjadi upaya men-split barang kiriman untuk menghindari pembayaran BM dan

PDRI. Tetapi, dengan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) splitting pengiriman lebih diarahkan untuk menghindari ketentuan

larangan pembatasan (lartas) impor. Untuk mengatasi kondisi ini disarankan

menggunakan skema market place;

2. Untuk menyeimbangkan fungsi pelayanan dan pengawasan serta menghindari

kongesti, jumlah barang yang diperiksa disesuaikan dengan kemampuan

pegawai yang terlibat dalam penanganan barang kiriman, yaitu pemeriksa

barang dan Pejabat Pemeriksa Dokumen Tingkat Terampil (PDTT). Perlu

diketahui bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya sale season, volume

impor barang kiriman dapat melonjak sangat tajam. Sistem penjaluran dibuat

fleksibel dimana dapat diatur jumlah atau persentase barang yang diteliti lebih

lanjut dan kewenangan untuk menambah atau mengurangi volume barang yang

diteliti lebih lanjut tersebut diserahkan kepada kantor yang menangani secara

langsung barang kiriman;

3. Saat ini penggunaan skema market place masih bersifat opsional, tetapi

kebijakan barang kiriman ke depannya diarahkan untuk masuk ke market place

sehingga integritas data dapat dijamin sejak pengiriman barang dari luar;

4. Risiko terjadinya kebocoran tidak mungkin di-nol-kan karena kemungkinan

akan mengakibatkan terganggunya layanan. Maka perlu diakselerasi mandatori

penerapan skema DDP bagi market place. Penambahan pegawai tidak akan

menjadi solusi karena e-commerce ke depan akan berkembang dengan cepat


74

(eksponensial). Untuk menekan potensi kebocoran, pengawasan barang-barang

e-commerce dapat menggunakan mesin X-Ray yang digabung artificial

intelligence, seperti yang diterapkan Korea Selatan dan Australia.

d. Kebijakan Indonesia menurunkan nilai de minimis mendapat respon positif negara

lain terutama negara-negara yang menjadi target penjualan barang-barang e-

commerce, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Kemitraan dengan market

place (partnership) menjadi salah satu guidelines e-commerce WCO. Meskipun

dengan skema kemitraan masih ada upaya untuk menurunkan pajak, tetapi

pengambilan data langsung dari sumbernya dapat mengurangi manipulasi data.

e. regulasi yang berlaku saat ini merupakan kebijakan yang paling ideal. Namun

bisnis e-commerce sangat dinamis, sehingga jika kondisi berubah, harus ada

penyesuaian-penyesuaian. Pro kontra ketika perumusan kebijakan pasti ada.

A.1.1. Tim Penyusun Kebijakan Barang Kiriman II dan III

Pada saat perumusan kebijakan PMK 199/PMK.010/2019, Tim Penyusun

Kebijakan Barang Kiriman II menjabat sebagai Kepala Seksi Impor III dan Tim

Penyusun Kebijakan Barang Kiriman III adalah pelaksana pada Sub Direktorat Impor,

Direktorat Teknis Kepabeanan, Kantor Pusat DJBC. Keduanya merupakan anggota tim

perumus kebijakan PMK dimaksud, sehingga Peneliti merasa perlu melakukan

wawancara lebih mendalam untuk meningkatkan kredibilitas dan validitas data.


75

Dari hasil wawancara dengan kedua informan tersebut diperoleh hasil sebagai

berikut.

a. Latar belakang perubahan kebijakan nilai de minimis dari FOB USD75.00 (tujuh

puluh lima United States Dollars) menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) adalah adanya peningkatan importasi barang-barang kiriman yang

eksponensial, sehingga pemerintah merasa perlu untuk mengambil tindakan dalam

rangka melindungi industri dalam negeri. Selain itu, dengan perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan terjadinya pergeseran praktik

atau makna barang kiriman. Dimana semula barang kiriman adalah barang kiriman

hadiah dari teman atau kerabat di luar negeri kemudian menjadi barang kiriman e-

commerce atau barang niaga yang sebagian besar adalah barang konsumsi, yang

sebenarnya tidak layak diberikan pembebasan. Dan impor barang kiriman e-

commerce jumlahnya jauh lebih dominan (lebih dari 90%) dibandingkan barang

kiriman yang berupa kiriman hadiah.

Beberapa pihak yang diminta untuk memberikan masukan nilai de minimis pada

saat perumusan kebijakan, diantaranya dari pengusaha produsen produk tekstil

mengusulkan tidak diberikan pembebasan, Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman

Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) mengusulkan FOB USD250.00

(dua ratus lima puluh United States Dollars), demikian juga asosiasi e-commerce

mengusulkan nilai pembebasan yang besar. Awalnya nilai de minimis akan

diturunkan sampai dengan USD0.00 akan tetapi Pasal 25 UU Nomor 17 tahun


76

2006 tentang Kepabeanan mengatur bahwa terhadap barang-barang kiriman

diberikan pembebasan dengan nilai tertentu. Akhirnya ditetapkan nilai de minimis

sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars).

Dasar pertimbangan utama penurunan nilai de minimis menjadi sebesar FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) adalah untuk melindungi industri dalam

negeri. Pertimbangan lainnya antara lain berdasarkan kajian ternyata rata-rata nilai

CN adalah FOB USD3,8.00 (tiga koma delapan United States Dollars), benchmark

nilai de minimis yang diterapkan negara lain ternyata bervariasi ada yang besar dan

ada yang kecil, nilai sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tidak

melanggar aturan WCO, yang menyebutkan bahwa besarnya nilai de minimis

negara anggota didasarkan pada kemampuan negara masing-masing dan dapat di-

review setiap saat oleh negara masing-masing. Perumus menyadari bahwa

kebijakan tersebut tentu tidak akan memuaskan semua pihak.

Mengurangi volume dan jumlah importasi barang kiriman juga merupakan tujuan

kebijakan dan harapan perumus kebijakan. Harapannya dengan de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) maka barang kiriman akan dikenakan pajak

sehingga pada akhirnya harga barang kiriman impor relatif sama dengan harga

barang yang diperoleh dari transaksi lainnya di dalam negeri. Namun perumus

kebijakan sebenarnya sudah memperhitungkan pula bahwa kemungkinan hasilnya

tidak signifikan karena kecenderungan masyarakat Indonesia yang memilih barang


77

impor. Kebijakan ini memang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan tetapi

memang secara umum penerimaan dari barang kiriman tidak signifikan jika

dibandingkan dengan penerimaan impor secara umum atau penerimaan

kepabeanan dan cukai lainnya.

b. Sisi pengawasan dan pelayanan; kebijakan de minimis sebesar FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) diharapkan dapat menurunkan volume barang kiriman,

sehingga petugas di lapangan dapat meningkatkan persentase jumlah barang yang

diperiksa. Misalnya pemeriksaan yang dilakukan oleh PDTT semula 5%

diharapkan meningkat menjadi 7%. Tetapi apabila penurunan de minimis tidak

mengurangi volume barang kiriman maka peningkatan jumlah dokumen yang

diteliti PDTT tidak akan terealisasi.

Perlu diketahui bahwa ada perubahan sistem pengawasan barang kiriman sesudah

diberlakukannya PMK Nomor 182/PMK.04/2016 pada Januari 2017. Sebelum

tahun 2017, hampir semua dokumen diperiksa oleh petugas hanggar, tidak perlu

risk engine (manajemen risiko) karena jumlah dokumen relatif sedikit. Sejak 2017,

pada saat volume barang kiriman naik secara eksponensial maka untuk

mempercepat pelayanan, dengan tanpa mengesampingkan pengawasan perlu

penerapan risk management. Oleh karena itu perlu intervensi dengan sistem risk

engine (RE) yang saat itu masih sederhana. RE berfungsi kurang lebih memilah-

milah berdasarkan indikator risiko tertentu untuk menentukan mana barang


78

kiriman yang perlu dilakukan diteliti lebih lanjut sebelum pengeluaran barang, dan

mana yang dapat dikeluarkan tanpa didahului dengan pemeriksaan fisik.

Pada 2018 parameter risiko yang dipasang pada RE sudah kompleks dan

pengelolaannya diserahkan kepada KPUBC Tipe C Soekarno Hatta untuk

penyesuaian parameter risiko sesuai dengan tren jenis impor barang kiriman yang

berkembang di masyarakat, kondisi tertentu penjualan peningkatan/penurunan

barang kiriman, kemampuan SDM terkait, dan lain-lain.

Untuk mempercepat layanan barang kiriman sekaligus dalam menciptakan

efisiensi layanan, dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-

02/BC/2020 impor barang kiriman dengan nilai pabean sampai dengan FOB

USD1,500.00 (seribu lima ratus United States Dollars) dapat menggunakan skema

Delivery Duty Paid (DDP) yaitu penyertaan bea masuk dan PDRI dalam harga

yang tercantum dalam platform. Marketplace yang memilih menggunakan skema

DDP dan telah mendapat persetujuan dari kepala KPPBC yang mengawasi, wajib

menyerahkan data e-catalog dan e-invoice kepada Direktorat Informasi

Kepabeanan dan Cukai (IKC).

E-catalog berisi elemen data mengenai barang kiriman e-commerce yang akan

diimpor ke dalam daerah pabean dan penyedia platform marketplace wajib

memperbaharui e-catalog dalam hal terjadi perubahan harga. E-invoice diserahkan


79

oleh penyedia platform marketplace untuk setiap transaksi pengiriman barang e-

commerce ke dalam daerah pabean. Sistem komputer pelayanan (CEISA)

melakukan rekonsiliasi terhadap e-catalog dan e-invoice, dalam hal rekonsiliasi

elemen data menunjukan kesesuaian dan barang kiriman e-commerce

mendapatkan pembebasan bea masuk dan PDRI, maka CEISA menerbitkan

persetujuan pengeluaran. Dengan sistem ini diharapkan waktu release barang

kiriman e-commerce lebih cepat dan kebutuhan SDM tidak terlalu banyak karena

sebagian pemeriksaan dilakukan oleh sistem.

E-catalogue di-update setiap kali ada perubahan harga di plat form market place.

Bea Cukai tidak melakukan validasi terhadap data-data yang disampaikan oleh

market place.

c. Perumus Kebijakan menyadari bahwa penurunan nilai de minimis tentu tidak akan

memuaskan semua pihak, namun respon pengguna kebijakan saat penurunan nilai

de minimis dari FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars) menjadi

FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) justru tidak segaduh saat penurunan

dari FOB USD100.00 (seratus United States Dollars) menjadi FOB USD75.00

(tujuh puluh lima United States Dollars). Hal ini mungkin disebabkan karena

secara psikologis nilai de minimis sudah dinaikkan dari FOB USD50.00 (lima

puluh United States Dollars) menjadi FOB USD100.00 (seratus United States

Dollars), sehingga saat akan diturunkan lagi menjadi terasa berat dan
80

kemungkinan dampak Pandemi Covid-19 dapat mengalihkan perhatian

masyarakat lebih fokus kepada permasalahan pandemi.

Penurunan nilai de minimis yang sangat signifikan sangat mengejutkan negara-

negara lain. Tentunya negara-negara maju sebagai negara produsen atau negara

pengekspor berharap nilai de minimis tinggi agar impor barang-barang kirimannya

bisa mendapatkan pembebasan yang tinggi.

d. menurut Perumus Kebijakan, dengan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) upaya importir atau pihak terkait untuk melakukan splitting

dokumen tidak efisien lagi. Oleh sebab itu aturan anti splitting sudah ditiadakan

karena biaya splitting lebih besar daripada nilai de minimis, sehingga diperkirakan

splitting tidak mungkin terjadi.

Adapun yang terjadi di lapangan saat ini adalah splitting dilakukan untuk

menghindari peraturan barang larangan pembatasan (lartas). Anti splitting yang

dulu pernah diterapkan adalah untuk mengantisipasi splitting karena nilai pabean,

pun bisa juga dikembangkan untuk anti splitting barang lartas. Namun demikian,

DJBC masih belum memberlakukannya karena peraturan dari instansi teknis

terkait (Kementerian Perdagangan) sendiri kurang tegas. Misalnya: dalam

peraturan barang kiriman berupa impor handphone, komputer genggam, dan


81

komputer tablet (HKT) hanya disebut 2 (dua) pieces per pengiriman dan tidak

diatur jumlah maksimal per harinya.

e. Perumus Kebijakan berpendapat bahwa adil atau tidaknya suatu kebijakan

tergantung dari sudut pandang dan tentu akan berbeda-beda. Namun Perumus

Kebijakan mempunyai dasar pertimbangan keadilan menciptakan level playing

field yaitu baik barang kiriman e-commerce maupun barang yang ditransaksikan

di dalam negeri keduanya mendapat perlakuan pajak yang sama. Tetapi di sisi lain,

Perumus Kebijakan mengakui masih adanya kebocoran, tetapi dengan perbaikan

sistem barang kiriman misalnya dengan skema DDP maka kebocoran dapat

dikurangi. DJBC perlu penguatan pengawasan melalui sistem penguatan teknologi

informasi (misalnya: X-Ray yang dapat mendetect barang-barang high value)

karena jumlah dokumen sangat banyak sedangkan SDM terbatas. Selain itu

dilakukan juga rasionalisasi tarif, dimana untuk barang kiriman dengan nilai FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) sampai dengan FOB USD1,500.00 (seribu

lima ratus United States Dollars) hanya dikenakan BM dan PPN dan tidak

dipungut PPh. Pasal 22 Impor.

A.2. Pelaksana Kebijakan

A.2.1. Pejabat Fungsional Peneliti Dokumen Tingkat Terampil (PDTT)

PDTT merupakan pejabat fungsional di DJBC yang mempunyai peranan

strategis dalam penelitian dokumen CN. Tugas dan fungsinya diantaranya melakukan
82

penelitian dokumen CN serta mengoreksi dan menetapkan klasifikasi, pembebanan,

dan nilai pabean. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah Peneliti merasa perlu

melakukan wawancara untuk memperoleh temuan terkait pelaksanaan kebijakan nilai

de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars). Berdasarkan wawancara

dengan perwakilan PDTT pada KPUBC Tipe C Soekarno Hatta, diperoleh informasi

sebagai berikut.

a. Berdasarkan pengamatan PDTT, setelah pemerintah memberlakukan nilai de

minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) terdapat kecenderungan

peningkatan jumlah CN yang nilai pabeannya diberitahukan kurang dari FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars). Kondisi tersebut dilakukan untuk

mengindari pengenaan BM. Akibatnya jumlah dokumen CN menjadi lebih banyak

dibandingkan dengan kondisi sebelum PMK Nomor 199/PMK.010/2019

diberlakukan. Terlebih lagi PMK Nomor 199/PMK.010/2019 tidak mengatur

tentang maksimal pembebasan per hari sehingga dalam aplikasi CEISA pun tidak

dilengkapi dengan anti-splitting.

b. Pada 2020 dari total CN sebanyak 45.843.405 yang diteruskan ke PDTT setelah

melewati manajemen risiko yang dipasang pada RE sebanyak 836.264 dokumen

atau sebanyak 1,82%. Jumlah dokumen yang dikenakan jalur merah disesuaikan

dengan kemampuan SDM, yaitu jumlah pemeriksa barang dan jumlah PDTT.

Tetapi dalam kondisi tertentu misalnya pada saat event sale yang diadakan

marketplace yang menyebabkan peningkatan transaksi e-commerce, KPUBC Tipe


83

C Soekarno Hatta menyiasatinya dengan memperbantukan pegawai pemeriksa

barang/peneliti dokumen dari unit lain.

c. PDTT pernah melakukan penelitian dokumen CN secara intensif terhadap 2 (dua)

PJT yang diduga sering menyampaikan pemberitahuan nilai pabean tidak benar.

PJT yang diteliti ini termasuk PJT yang jumlah dokumen CN-nya tidak terlalu

banyak, yaitu sekitar 5% dari total dokumen yang diperiksa PDTT. Periode

penelitian dilakukan selama satu bulan, dengan rincian sebagai berikut.

- PJT I total dokumen CN yang disampaikan 45.500 dokumen, 3.000 dokumen

masuk ke PDTT;

- PJT II total dokumen CN yang diajukan 103.000, dokumen yang masuk ke

PDTT sebanyak 3.000;

rata-rata CN yang disampaikan oleh kedua PJT tersebut bebas BM. Dari penelitian

dokumen tersebut ditemukan penerimaan BM dan PDRI yang semula

diberitahukan Rp393.000.000.00 (tiga ratus sembilan puluh tiga juta rupiah),

setelah dilakukan penelitian nilai BM dan PDRI yang seharusnya dibayar

meningkat menjadi Rp1.451.000.000 (satu miliar empat ratus lima puluh satu juta

rupiah) atau meningkat sebesar 269,21%.

d. Pemberitahuan nilai pabean tidak sesuai juga terjadi pada barang kiriman regular,

bahkan penetapan yang dilakukan oleh PDTT menjadi jauh lebih tinggi, bisa

menjadi USD 1.000.00 atau bahkan lebih dari USD1,500.00. Ditemukan pula

invoice yang dilampirkan oleh importir yang berbeda formatnya sama, karena PJT

yang memberi formulir invoice kepada importir, sehingga importir bisa mengisi
84

nilai barang bukan berdasarkan nilai transaksi dengan penjual melainkan sesuai

dengan nilai yang diinginkan importir.

e. Mengingat sistem pajak atas CN adalah official assessment, importir maupun PJT

tidak dikenakan sanksi kepabeanan apa pun atas pemberitahuan nilai pabean yang

tidak benar, klasifikasi, dan nilai barang. Terdapat kecurigaan bahwa praktik

“kecurangan” yang tidak diikuti dengan sanksi oleh PJT tertentu membuat PJT lain

mengikuti langkah ini.

f. Untuk platorm marketplace yang telah disetujui oleh Kepala KPUBC Tipe C

Soekarno Hatta menggunakan skema DDP, dalam hal ditemukan adanya

ketidaksesuaian elemen data antara e-invoice dan e-catalog maka CN akan

diteruskan ke PDTT oleh CEISA untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Pada

umumnya jumlah CN yang ditetapkan jumlah, jenis, klasifikasi, dan nilai

pabeannya oleh PDTT tidak terlalu banyak. Tetapi dari penelitian tersebut masih

ditemukan harga barang yang berbeda antara yang tercantum di website

marketplace bersangkutan dengan harga yang diberitahukan. Untuk kondisi ini

PDTT menyarankan agar e-catalog yang diserahkan oleh marketplace kepada

DJBC dilakukan validasi kesesuaian data terlebih dahulu, sebelum di-upload ke

CEISA. Selain itu, website marketplace sebaiknya merinci harga barang dan bea

masuk serta pajak untuk masing-masing barang yang dijual.

g. Terdapat perbedaan karakteristik jenis dan jumlah barang kiriman e-commerce

dengan barang kiriman regular. Barang kiriman e-commerce pada umumnya

kurang lebih sama antara satu penerima dengan penerima lainnya, dimensi
85

ukurannya relatif kecil, merupakan barang konsumsi, dan pengirimannya

ditujukan kepada banyak penerima yang berbeda. Sedangkan barang kiriman

regular biasanya jumlahnya sedikit, jenis barangnya beragam, merupakan barang

modal atau spare parts, dan penerimanya perusahaan-perusahaan industri.

Aplikasi layanan yang digunakan sama yaitu CEISA Barang Kiriman. Kondisi

tersebut menyebabkan barang kiriman reguler masuk ke dalam aplikasi yang sama

dengan barang kiriman e-commerce. Hal tersebut menyebabkan layanan terhadap

barang kiriman reguler menjadi lebih lama dibandingkan dengan sebelum

melonjaknya e-commerce cross border. Pada akhirnya menimbulkan keluhan dari

PJT barang kiriman reguler. Untuk mengatasinya, maka sebaiknya dilakukan

pemisahan aplikasi antara barang kiriman e-commerce dengan barang kiriman

reguler.

A.2.2. Kepala Seksi Intelijen II, Bidang Penindakan dan Penyidikan KPUBC Tipe

C Soekarno Hatta

Dengan kebijakan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars),

seharusnya dapat menekan impor, tetapi terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan

kondisi tersebut tidak dapat terwujud. Menurut Kepala Seksi Intelijen II, Bidang

Penindakan dan Penyidikan KPUBC Tipe C Soekarno Hatta, yang bertanggung jawab

mengawasi barang kiriman, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
86

a. Kondisi Pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak sosial masyarakat

menyebabkan transaksi dengan menggunakan kemajuan teknologi akan sangat

memudahkan masyarakat. Mereka bisa berbelanja dengan mudah tanpa harus

pergi keluar rumah yang kemungkinan akan menimbulkan risiko bagi

kesehatannya. Barang-barang yang ditawarkan melalui dunia maya mampu

memenuhi kebutuhan atau keinginan belanja masyarakat, dapat diakses dengan

mudah, dan transaksi juga dapat diselesaikan dengan tahapan yang relatif

sederhana dan mudah dipahami. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki

kecenderungan budaya import minde, impor melalui barang kiriman memberikan

keuntungan bagi pembeli dari sisi kecepatan pengiriman sehingga barang bisa

diterima lebih awal, dan kurang antisipasi perkembangan CN. 2017 5juta CN,

2018 17,7juta CN, 54juta CN, 2020? = CN meningkat signifikan.

b. Peningkatan CN kemungkinan juga disebabkan oleh splitting dokumen CN yang

dilakukan pelaku usaha untuk menghindari ketentuan lartas. Berbeda dengan PMK

Nomor 182/PMK.04/2016 yang di dalamnya mengatur nilai de minimis berlaku

untuk “setiap penerima barang per kiriman per hari” atau yang lebih dikenal

dengan anti splitting, sedangkan PMK Nomor 199/PMK.010/2019 hanya

mengatur nilai de minimis berlaku untuk “setiap penerima barang per kiriman”.

c. Jumlah CN per hari kurang lebih 100ribu sampai dengan 120rb dokumen, 98%

dikeluarkan melalui jalur hijau, dan 2% melalui jalur merah. Penentuan jalur

dilakukan melalui parameter risiko atau rule set yang dipasang pada RE, petugas
87

analis dan X-Ray dari unit P2 dan PDTT. Sejauh ini jalur merah lebih banyak

ditentukan oleh RE.

d. Sejak berlakunya nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai di

KPUBC Tipe C Soekarno Hatta. Kontribusi penerimaan barang kiriman terhadap

total realisiasi penerimaan sebelumnya kurang dari 5%. Pada 2020 kontribusinya

mencapai angka di kisaran 15%-17%. Dengan melihat tren volume barang kiriman

maka diharapkan ke depan akan meningkat menjadi 40-50%.

e. Parameter risiko RE antara lain ditentukan berdasarkan PJT, HS code, consignee,

komoditas, negara asal, shipper dan data hit rate (penetapan oleh PDTT).

Pemberitahuan jumlah, jenis, HS code barang tidak benar kemungkinan karena

ketidaktahuan atau disengaja.

f. Untuk menguatkan pengawasan, parameter risiko dalam RE selalu dikalibrasi

dengan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, misalnya tren barang impor apa

yang beredar di pasaran saat ini, informasi penelitian dokumen dari PDTT, event

khusus seperti Harbolnas, pengeluaran produk i-Phone terbaru, dll. Menaikan

persentase jalur merah ada konsekuensi ke pengawasan/pelayanan lainnya, karena

ketika CN dikenakan jalur merah maka jumlah pemeriksa harus ditingkatkan dan

jumlah PDTT ditingkatkan.

g. Pemeriksaan fisik atas impor barang kiriman reguler mempunyai tingkat kesulitan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan barang kiriman e-commerce, sehingga

pemeriksa barang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugasnya.


88

Jenis barang kiriman e-commerce biasanya seragam, berupa stationery, kosmetik,

buku, handphone, casing handphone. Barang kiriman reguler lebih bervariasi,

misalnya peralatan fitness, pakaian selam, brankas, lukisan, dll, sehingga

membutuhkan pertimbangan profesional.

h. Terkadang dalam hal terjadi lonjakan impor karena event-event tertentu, KPUBC

Tipe C Soekarno Hatta membutuhkan penambahan/perbantuan SDM sebagai

peneliti dokumen dari unit lain atau dulu bahkan pernah meminta perbantuan dari

kantor lain. Rata-rata petugas pemeriksa barang bisa memeriksa 30-40 CN barang

kiriman e-commerce atau 25-30 CN barang kiriman reguler. Jika jumlah barang

yang diperiksa naik, dikhawatirkan ketelitian pemeriksa berkurang atau terjadi

perlambatan pengeluaran barang kiriman sehingga tujuan impor dengan

menggunakan skema jasa kurir tidak tercapai.

i. Dalam pasal 11 Per-02/BC/2020 diatur bahwa impor barang kiriman e-commerce

yang memiliki nilai pabean sampai dengan FOB USD1,500 (seribu lima ratus

United States Dollars) dapat menggunakan skema DDP, yaitu harga barang yang

tercatum dalam platform sudah termasuk bea masuk dan PDRI. Untuk mendapat

persetujuan ini, market place harus terlebih dahulu mengajukan permohonan

kepada Kepala Kantor. Dalam hal Kepala Kantor menyetujui permohonan

tersebut, maka penyedia platform market place harus menyampaikan data e-

catalogue dan e-invoice kepada Direktur Informasi Kepabeanan melalui Sistem

Komputer Pelayanan (SKP). Pada prinsipnya market place yang menggunakan


89

skema DDP mempercepat proses penyelesaian kepabeanan. Tetapi dalam

prakteknya PJT masih bisa memilih menyampaikan CN dengan kategori DDP

(disebut sebagai CN 3) atau kategori non DDP (disebut sebagai CN 1) sehingga

percepatan proses layanan terhambat.

A.2.3. Pemeriksa Barang

Peneliti melakukan wawancara dengan 2 (dua) orang perwakilan pemeriksa

barang. Pemeriksa barang bertugas melakukan pemeriksaan fisik atas barang kiriman

dalam hal pengeluaran barang ditentukan melalui jalur merah berdasarkan hasil

penjaluran oleh RE, pembacaan citra pada mesin X-Ray yang dilakukan oleh petugas

P2, atau berdasarkan hasil penelitian dokumen oleh PDTT.

Hasil wawancara dengan pemeriksa barang didapati informasi berikut.

a. Sejak berlakunya nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

jumlah barang yang diperiksa fisik cenderung meningkat. Peningkatan ini

kemungkinan disebabkan karena perubahan kebijakan de minimis tidak

mempengaruhi preferensi masyarakat untuk berbelanja on line, atau karena nilai

de minimis yang relatif rendah sehingga kemungkinan barang yang perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut menjadi lebih banyak. Penentuan jalur

pengeluaran barang ditentukan oleh RE, unit P2, dan PDTT berdasarkan

pertimbangan harga barang, jenis barang dengan tarif MFN, dan barang lartas.
90

b. Karena CN merupakan official asesement dalam Laporan Hasil Pemeriksaan

(LHP) pemeriksa tidak menyimpulkan hasil pemeriksaan sesuai atau tidak dengan

invoice/packing list dan memang tidak ada kewajiban melampirkan invoice.

Pemeriksa hanya menuangkan jumlah, jenis barang, berat, spesifikasi barang.

Yang berwenang memutuskan nilai pabean adalah PDTT. Untuk barang kiriman

e-commerce yang sudah memiliki MOU DDP dengan DJBC relatif sedikit yang

dikeluarkan dengan jalur merah karena sudah lolos di RE.

c. Dalam event-event tertentu jumlah barang kiriman meningkat demikian halnya

barang yang terkena jalur merah. Jumlah barang yang diperiksa per hari pernah

sampai dengan 5.000 CN. Untuk mengatasi hal tersebut pegawai melakukan

lembur atau meminta perbantuan pegawai dari unit lain. Sebelum berlakunya PMK

Nomor 199/PMK.010/2019 petugas pemeriksa barang 18 (delapan belas) orang,

tetapi kemudian ditambah menjadi 34 (tiga puluh empat) orang.

d. Penerapan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) cukup

efektif dalam meningkatkan penerimaan, karena potensi penerimaan dari barang

kiriman relatif besar. Ditambah lagi dengan pemberlakuan tarif MFN untuk

barang-barang tertentu yang pada akhirnya diharapkan akan mempengaruhi

jumlah impor barang kiriman sejenis.

e. PJT yang memberitahukan jumlah, jenis, nilai pabean, atau HS code tidak benar

tidak dikenakan sanksi, sebaiknya sistem pemberitahuannya diubah menjadi self

assesement.
91

f. Dalam hal barang kiriman diberitahukan HKT, maka akan dilakukan pemeriksaan

fisik. Ketika ada event diskon HP di market place kemungkinan jalur merah

melonjak. Dalam kondisi normal jumlah barang yang diperiksa sekitar 600-900

CN per pemeriksa. Menjelang event volume pemeriksaan ditingkatkan untuk

mengantisipasi lonjakan, sehingga ketika event jumlah yang harus diperiksa yang

sudah masuk sebelum event tinggal sedikit.

A.3. Pengguna Kebijakan

A.3.1. Asperindo dan DHL

Asperindo sebagai asosiasi perusahaan jasa kurir dan logistik beranggotakan

perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam jasa pengiriman ekspres baik atas

transaksi impor B to B (business to business), kombinasi B to B dan B to C (Business

to Consumers). Komposisi jasa layanan kurir yang dilakukan oleh anggota Asperindo

kurang lebih B to B sekitar 80% sampai dengan 90%, B to C 10% sampai dengan 20%

(contoh PT Birotika Semesta (DHL), PT Sena Satwika, PT Global Trade Logistics

Network). Mayoritas shipment yang dilakukan adalah e-commerce. Jenis barangnya

pada umumnya barang-barang untuk keperluan industri seperti sample, spareparts dan

bahan baku tekstil. Penerimanya perusahaan-perusahaan industri seperti Toyota Astra,

Unilever, dan Nestle. Selain itu anggota Asperindo juga melayani shipment barang

impor dari transaksi melalui marketplace seperti Amazon, Lazada, dan lain-lain, yang

penerimanya perorangan.
92

a. Dalam perumusan kebijakan PMK Nomor 199/PMK.010/2019, Asperindo turut

serta dilibatkan dalam memberikan masukan. Asperindo mengetahui filosofi dan

tujuan kebijakan tersebut yaitu salah satunya untuk melindungi industri dalam

negeri. Menurut Asperindo penurunan nilai de minimis untuk tujuan melindungi

industri dalam negeri adalah kurang tepat, lebih baik pemerintah melakukan

pembinaan untuk memperkuat industri dalam negeri dan meningkatkan kualitas

produksi sehingga dapat mempunyai daya saing yang tinggi.

b. Dalam industri jasa kurir barang-barang yang dikirim merupakan barang yang

peka waktu, penyelesaian formalitas kepabeanannya lebih cepat lebih baik

sehingga barang bisa diterima oleh pemilik barang lebih cepat dibandingkan

dengan metode pengiriman lainnya. Dengan berkurangnya nilai de minimis maka

semakin banyak shipment yang melalui proses kepabeanan yang akhirnya akan

menimbulkan beban kerja tambahan bagi PJT. Beberapa dari anggota

menyebutkan bahwa semakin banyak pengurusan dokumen – dokumen

kepabeanan yang bersifat administratif, yang akibatnya akan mengurangi

produktifitas. Hal ini menyebabkan bertambahnya waktu untuk mendapatkan

informasi yang diperlukan terkait kelengkapan dokumen dan lainnya yang tentu

akan mengakibatkan proses pengeluaran barang lebih lama dan menambah

dwelling time. Sehingga kebijakan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) ini dianggap tidak efektif dan tidak efisien oleh sebagian anggota.

c. Saat ini sebenarnya sudah dibedakan antara jalur pengeluaran barang kiriman

marketplace (yaitu dengan skema DDP) dengan jalur pengeluaran lainnya, namun
93

belum dimandatorikan sehingga banyak PJT yang menyelesaikan pengeluaran

barang-barang e-commerce tetap memilih menggunakan jalur biasa. Hal ini

menyebabkan jalur antrian di sistem CEISA barang kiriman sangat padat. Dengan

pemisahan itu, jalur PJT biasa yang non-marketplace diharapkan bisa cepat karena

tidak dipenuhi barang-barang e-commerce.

d. Asperindo berpendapat bahwa dengan diturunkannya nilai de minimis sampai

dengan FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) membuat Indonesia menjadi

tidak kompetitif lagi dalam perdangangan internasional dan menjadi tidak

produktif. Nilai de minimis Indonesia dibandingkan dengan negara-negara

ASEAN atau negara-negara tetangga nilainya paling rendah, contoh Brunei

Darussalam menerapkan de minimis setara dengan USD291.00, di Kamboja

USD50.00, Malaysia USD119.00, Myanmar USD50.00, Filipina USD191.00,

Singapura USD290.00, dan Thailand USD49.00.

e. De minimis adalah sebuah fasilitas yang secara internasional diakui bahwa

memang untuk nilai tertentu diberikan kemudahan untuk importasi barang-barang

ke suatu negara.

f. Asperindo sudah memprediksi dengan penurunan nilai de minimis maka jumlah

CN yang berbayar itu pasti akan meningkat yang artinya beban kerja dari PJT

maupun pejabat PDTT akan meningkat, sementara menambah tenaga kerja bukan

hal yang mudah. Berdasarkan data rata – rata dari beberapa anggota Asperindo

beban kerja bertambah sekitar 10%– 20%.


94

g. Terkait isu underinvoicing nilai pabean dalam pemberitahuan CN, sebenarnya

importir akan jera dengan sendirinya karena jika importir melakukan

underinvoicing, maka akan mendapatkan teguran dari bea cukai dan justru nilai

barangnya akan dikoreksi dengan database yang dimiliki oleh bea cukai. Menurut

ASPERINDO hal itu justru menambah beban waktu dan biaya proses penyelesaian

administratif di samping itu pengeluaran barang juga menjadi lebih lama.

h. Asperindo berpendapat untuk melihat sisi keadilan bisa dibandingkan dengan best

practice internasional. Negara lain pada umumnya tidak mengenakan pajak dalam

rangka impor (atau pajak dalam negeri) untuk barang kiriman yang berada di

bawah nilai de minimis, sedangkan di Indonesia sekalipun barang berada di bawah

nilai de minimis tetap dipungut PPN. Dengan kebijakan yang sedemikian, maka

sebenarnya tidak ada nilai de minimis. Sehingga kebijakan nilai de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) dengan tetap mengenakan PPN tidak adil.

i. Kebijakan nilai de minimis yang berlaku sekarang ini dianggap oleh pengguna

kebijakan merupakan solusi yang kurang tepat. Untuk melindungi industri dalam

negeri solusi yang lebih tepat yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah

dengan pembinaan industri dalam negeri.


95

A.3.2. Apindo

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) yang

menginduk kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merupakan organisasi

yang beranggotakan perusahaan pengecer (retailer) di dalam negeri. Sebagian besar

anggota Hippindo yaitu sekitar 60 hingga 70% adalah pengusaha/pedagang lokal

termasuk UMKM di seluruh Indonesia. Hippindo selalu memberikan masukan atas

kebijakan-kebijakan DJBC dalam rangka perlindungan industri dalam negeri, juga

masukan terkait nilai de minimis atas barang kiriman.

a. Kecenderungan konsumen lebih memilih barang impor dibandingkan dengan

produk dalam negeri, daya beli konsumen rendah sehingga selalu mencari barang

yang lebih murah dengan kualitas lebih bagus, industri dalam negeri belum dapat

diandalkan karena produksinya belum bisa mencukupi kebutuhan sendiri. Kondisi

tersebut mengakibatkan impor barang kiriman meningkat sangat tajam terutama

yang dari Cina, pengusaha lebih condong menjadi pedagang (trader) dan bukan

produsen. Oleh karena itu sesuai arahan Presiden RI untuk mencintai produk

Indonesia, maka industri dalam negeri harus dilindungi dan diperkuat agar bisa

bersaing dengan produk luar negeri.

Dalam hal ini DJBC hanya merupakan salah satu yang bisa membantu industri di

dalam negeri terkait dalam pengawasan impor barang kiriman dan perlindungan

industri dalam negeri. Maksud penurunan de minimis untuk “mengganggu”


96

barang-barang impor agar lebih sulit masuk secara bebas BM dan PDRI, dengan

beban-beban pajak, maka diharapkan tercipta keadilan perpajakan dengan

mengenakan pajak terhadap transaksi lokal maupun impor (level playing field).

Namun yang lebih penting dalam kebijakan nilai de minimis adalah efektifitas

pengawasan oleh Bea Cukai.

b. Apindo berpendapat bahwa masalah utama dalam penerapan kebijakan de minimis

adalah dari sisi pengawasan. Ada beberapa titik pengawasan yang dilakukan oleh

DJBC yang masih lemah. Beberapa praktik di lapangan seperti pemberitahuan

barang tidak benar, splitting, pembelian barang dengan menggunakan jasa titipan

penumpang, atau pun black market. Jika tidak terjadi kebocoran-kebocoran dalam

pengawasan maka kebijakan tersebut efektif dalam melindungi industri dalam

negeri.

c. Responsivitas; Apindo menanggapi kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) ini sudah sangat bagus, hanya penerapannya saja perlu

pengawasan yang ketat. Hal yang perlu dianalisa saat ini, dari 90% barang e-

commerce adalah barang impor, sedangkan penjualan di e-commerce telah

mencapai ribuan triliun, apakah signifikan kenaikan penerimaan dengan jumlah

penjualan di e-commerce? Berdasarkan hal-hal tersebut, Hippindo berpendapat

bahwa kebijakan ini belum memberikan hasil yang memuaskan.


97

A.3.3. IDEA

Indonesian E-Commerce Association (IDEA) merupakan asosiasi penyedia

platform e-commerce. Anggotanya meliputi platform e-commerce yang semata-mata

melakukan transaksi di dalam negeri, seperti Tokopedia dan Bukalapak, dan juga

platform e-commerce dalam negeri dan cross border, seperti Lazada dan Shopee.

a. Seperti halnya pelaku bisnis e-commerce lainnya, IDEA juga turut serta dalam

sharing dan pengumpulan data rencana kebijakan penurunan nilai de minimis,

namun tidak diberitahukan berapa besar nilai penurunan de minimis tersebut.

IDEA mengetahui latar belakang tujuan kebijakan penurunan nilai de minimis.

Pada saat perumusan kebijakan itu, IDEA memperkirakan penurunan nilai de

minimis menjadi FOB USD20.00 (dua puluh United States Dollars).

b. IDEA beranggotakan e-commerce dalam negeri dan juga cross border e-

commerce, maka ada dua respon terhadap kebijakan de minimis FOB USD3.00

(tiga United States Dollars). Sebagian anggota dari cross border e-commerce

keberatan menerima nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

sehingga menganggap kebijakan ini tidak efektif dan tidak efisien. Bagi sebagian

anggota IDEA yang e-commerce dalam negeri, mengetahui tujuan kebijakan de

minimis ini untuk melindungi industri lokal, maka mereka menerima kebijakan ini

dan menganggap kebijakan ini efektif dan efisien karena menciptakan level

playing field antara barang impor dan lokal.

c. Pengurus IDEA menyambut netral kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars).


98

d. Sebagian anggota yang lokal e-commerce merasa diuntungkan dengan

pembebanan BM dan PDRI baran-barang kiriman dari luar negeri. Ada kesamaan

perlakuan antara barang lokal dan barang impor sehingga merasakan sisi keadilan

dari kebijakan ini.

e. Sebagian anggota menganggap kebijakan de minimis merupakan solusi yang

kurang tepat dengan menurunkan menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) dan berharap nilai de minimis ini dipertimbangkan untuk dinaikkan.

B. Hasil Kuesioner

B.1. Respon Rate

Berdasarkan data populasi dan dengan mempertimbangkan jumlah cakupan

kegiatan di bidang kepabeanan barang kiriman, Peneliti telah menyusun target

responden yang akan mengisi kuesioner yang berasal dari pegawai di KPUBC Tipe C

Soekarno Hatta yang terdiri dari Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen Tingkat

Terampil (PDTT) sejumlah 60 (enam puluh) orang, pelaksana pemeriksa fisik barang

kiriman sebanyak orang 29 (dua puluh Sembilan orang), dan petugas Bea dan Cukai di

bidang pengawasan sebanyak 26 (dua puluh enam) atau total 115 (seratus lima belas)

orang.

Kuisioner dibagikan secara online, sehingga diharapkan jumlah responden

dapat memenuhi target. Setelah kuesioner terkumpul dan sebelum dilakukan pengujian

analisis penelitian, maka dilakukan tabulasi dan skoring untuk melihat hasil respon
99

rate. Hasil tabulasi penyebaran dan pengembalian kuesioner penelitian ditunjukkan

dalam Tabel IV-1 di bawah ini:

Tabel IV-1 Tabulasi Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner

No Keterangan Jumlah Kuesioner Persentase (%)


1 Kuesioner yang disebar 115 100
2 Kuesioner yang kembali 60 52
3 Kuesioner yang tidak kembali 55 48
4 Kuesioner yang dapat diolah 60 52
n = 115
Respons Rate = (60/115) x100 %= 52 %
Sumber: Hasil Penelitian 2021

Tabel diatas menunjukan kuesioner yang dikembalikan sebanyak 60

kuesioner, yang berarti tingkat respons rate sebesar 52%.

B.2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden pada penelitian ini didapat dengan mengisi form dalam

kuesioner. Berdasarkan data dari pengisian formulir responden diketahui karakteristik

responden sebagai berikut.

Tabel IV-2 Karateristik Responden


Karakteristik Responden Jumlah Prosentase (%)
No.

1. Pendidikan:

SMA/K 1 1,67

D1 16 26.67

D3 19 31,66

D4/S1 21 35,00
100

S2 3 5,00

Jumlah 60 100,00

2. Pegawai KPU Bea dan Cukai Tipe C 60 100


Soekarno Hatta

Jumlah 60 100

Sumber: Hasil Penelitian 2021

Berdasarkan Tabel IV-2 terlihat bahwa karakteristik responden berdasarkan tingkat


pendidikan yang dimiliki, yang terendah lulusan SMA/K sampai dengan yang tertinggi
Strata 2.
Hasil rata-rata jawaban responden setiap item variabel dinilai dengan skala rata-
rata interval, dengan menggunakan range interval: 5 – 1 = 4
a. 1,0 – 1,80 = sangat tidak efektif
b. 1,81 – 2,60 = tidak efektif
c. 2,61 – 3,40 = cukup efektif
d. 3,41 – 4,20 = efektif
b. 4,21 – 5,0 = sangat efektif

B.3. Hasil Data Kuesioner

Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner yang berupa pernyataan

terhadap kebijakan penerapan nilai de minimis barang kiriman impor di Indonesia.

Pernyataan responden untuk mengevaluasi penerapan nilai de minimis barang kiriman

di Indonesia tersebut, bagaimana dampaknya, apakah hambatannya dan apakah

tantangannya dengan menggunakan teori William Dunn dengan 6 (enam) kriteria


101

evaluasi, yaitu efektifitas, efisiensi, responsivitas, kecakupan, keadilan dan ketepatan.

Secara rinci hasil kuesioner disajikan berikut ini.

a. Efektifitas; pernyataan responden untuk menilai apakah implementasi kebijakan

memberikan hasil dan dampak sesuai yang diharapkan, apakah tujuan yang ingin

dicapai dapat terwujud, dan apakah dampak yang diharapkan sebanding dengan

usaha yang telah dilakukan. Hasil dari pengisian kuesioner berdasarkan Lampiran

…… disajikan pada Tabel IV-3 berikut ini.

Tabel IV-3 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan


Nilai De Minimis Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Efektifitas
No. Kriteria Efektifitas Rata-rata Keterangan

1. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea 2,40 Tidak


masuk) sebesar FOB FOB USD3.00 (tiga United Efektif
States Dollars) untuk barang kiriman saat ini berhasil
menurunkan volume impor barang kiriman.

2. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea 2,78 Cukup


masuk) sebesar FOB FOB USD3.00 (tiga United Efektif
States Dollars) untuk barang kiriman saat ini
berhasil mendorong pertumbuhan industri dalam
negeri

3. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea 3,08 Cukup


masuk) sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Efektif
Dollars) untuk barang kiriman saat ini sesuai
harapan.

4. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) 2,90 Cukup


sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) Efektif
102

untuk barang kiriman solutif terhadap permasalahan


peningkatan jumlah barang kiriman saat ini.

Rata-rata 2,79 Cukup


Efektif

b. Efisiensi; pernyataan responden untuk menilai apakah implementasi kebijakan


nilai de minimis barang kiriman efisien, yang dirumuskan dengan perhitungan
sumber daya yang digunakan untuk mencapai efektifitas tertinggi. Sumber daya
dapat berupa sumber daya modal/biaya, sarana dan prasarana, sumber daya
manusia (SDM), dll.

Tabel IV-4 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis


Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Efisiensi
No. Kriteria Efisiensi Rata-rata Keterangan

1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) 2,38 Tidak


sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) Efisien
untuk barang kiriman saat ini menyebabkan pelayanan
menjadi lebih lambat.

2. Pengeluaran barang kiriman dengan nilai de minimis 2,55 Tidak


(pembebasan bea masuk) sebesar FOB FOB USD3.00 Efisien
(tiga United States Dollars) membutuhkan biaya yang
lebih tinggi (catatan: biaya yang dimaksud dalam hal
ini keseluruhan biaya penyelesaian kewajiban
kepabeanan termasuk sewa gudang, dll. selain bea
masuk dan pajak dalam rangka impor).

Rata-rata 2,47 Tidak


Efisien
103

c. Kecakupan; pernyataan responden untuk menilai seberapa jauh tingkat efektifitas


implementasi kebijakan nilai de minimis barang kiriman memuaskan atau
memenuhi kebutuhan nilai, atau apakah dari berbagai permasalahan yang timbul
sudah tercakup semua di dalam kebijakan tersebut.

Tabel IV-5 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis


Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Kecakupan
No. Kriteria Kecakupan Rata-rata Keterangan

1. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) 3,38 Cukup


sebesar FOB FOB USD3.00 (tiga United States Efektif
Dollars) untuk barang kiriman yang ada saat ini
memenuhi kebutuhan pelayanan penyelesaian barang
kiriman

Rata-rata 3,38 Cukup


Efektif

d. Keadilan; pernyataan responden untuk menilai rasionalitas legal dan sosial serta
distribusi akibat dan usaha antara kelompok yang berada dalam masyarakat
tertentu dalam implementasi kebijakan nilai de minimis barang kiriman. Dalam hal
ini dapat berupa equal treatment.

Tabel IV-6 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis


Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Keadilan
No. Kriteria Keadilan Rata- Keterangan
rata

1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) 3,40 Cukup Adil


sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)
untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan
104

bagi pengguna jasa (PJT, marketplace, pembeli


(importir)).

2. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) 3,33 Cukup Adil


sebesar FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)
untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan
bagi UMKM

Rata-rata 3,37 Cukup Adil

e. Responsivitas; pernyataan responden untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan


dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok dalam
masyarakat tertentu, misalnya apakah kebijakan tersebut memuaskan kebutuhan
pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan.

Tabel IV-7 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis


Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Responsivitas
No. Kriteria Responsivitas Rata- Keterangan
rata

1. Sarana dan prasarana yang dimiliki DJBC sudah siap 3,12 Cukup
untuk menangani jumlah dokumen yang harus Responsif
diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB
USD3.00 (tiga United States Dollars) untuk barang
kiriman

2. Sumber daya manusia yang dimiliki DJBC sudah siap 2,98 Cukup
untuk menangani jumlah dokumen yang harus Responsif
diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar
105

FOB FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)


untuk barang kiriman

3. Proses penyelesaian barang kiriman sejak penetapan 3,40 Cukup


nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB Responsif
USD3.00 (tiga United States Dollars) sudah dirasakan
memberikan kepuasan kepada pengguna jasa

Rata-rata 3,17 Cukup

Responsif

f. Ketepatan; pernyataan responden untuk menilai pada tujuan program dan kepada

kuatnya asumsi yang melandasi tujuan kebijakan tersebut. Hal ini berkaitan erat

dengan pertanyaan apakah kebijakan yang diimplementasikan tersebut sudah tepat

untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul.

Tabel IV-8 Pernyataan Responden terhadap Evaluasi Penerapan Nilai de Minimis


Barang Kiriman di Indonesia berdasarkan Kriteria Ketepatan
No. Kriteria Ketepatan Rata- Keterangan
rata

1. Penyelesaian masalah yang berkaitan dengan peraturan 3,38 Cukup Tepat


barang kiriman saat ini melalui mekanisme penetapan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB
USD3.00 (tiga United States Dollars) sudah tepat

Rata-rata 3,38 Cukup Tepat


106

C. Hasil Focus Group Discussion (FGD)

Pengumpulan data penelitian melalui FGD dibagi menjadi dua kelompok yang

berbeda, yaitu FGD pertama melibatkan perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan.

FGD kedua melibatkan perumus kebijakan dan pengguna kebijakan.

C.1. Hasil FGD dengan Perumus Kebijakan dan Pelaksana Kebijakan

Pemaparan dari Anggota Tim Perumus Kebijakan III:

a. Dalam PMK Nomor 199/PMK.010/2019 diatur bahwa dalam hal nilai barang

kiriman tidak lebih dari FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) per kiriman

diberikan pembebasan bea masuk namun tetap dikenakan PPN. Ketentuan tersebut

berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu PMK Nomor 112/PMK.04/2018 yang

mengatur pembebasan bea masuk dan PDRI diberikan dalam hal nilai barang

kiriman tidak lebih dari FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars)

per penerima barang per hari.

b. Pengaturan batas pembebasan per penerima barang per hari dalam PMK Nomor

112/PMK.04/2018 didasari pertimbangan untuk mengatasi praktik splitting yang

kerap dilakukan pengguna jasa untuk menghindari pembayaran bea masuk dan

PDRI. Dengan pemberlakuan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) diharapkan praktik splitting menjadi tidak menarik lagi karena ada biaya

yang cukup besar yang dibutuhkan untuk men-split dokumen, yaitu ± Rp 12.000,
107

dan nilainya lebih besar dari nilai pajak yang dihindari (splitting dibawah FOB

USD3.00)

c. Nilai de minimis diputuskan diturunkan menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) berdasarkan data bahwa saat berlakunya nilai de minimis FOB USD3.00

(tiga United States Dollars) nilai pabean yang diberitahukan dalam CN adalah rata-

rata FOB USD3.8 (tiga koma delapan United States Dollars)

d. Saat proses penyusunan PMK Nomor 199/PMK.010/2019 Tim melakukan

benchmark nilai de minimis yang diterapkan negara lain. Negara yang menerapkan

nilai de minimis kurang dari USD 25.00 (dua puluh lima United States Dollars), a.l.

UK (USD21.00), Canada (USD13.00), dan Denmark (USD12.00). Sementara ada

beberapa negara yang tidak menerapkan nilai de minimis atas barang kiriman, yaitu

Costarica, Bangladesh, Elsavador, dan Paraguay. Posisi pada akhir 2019, negara

ASEAN menerapkan nilai de minimis, a.l.: Thailand (USD28.00), Malaysia

(USD120.00), Cambodia (USD50.00), Myanmar (USD50.00), dan Vietnam

(USD40.00).

e. Tim juga meminta saran dan masukan nilai de minimis dari asosiasi dan dapat

dipastikan mereka akan mengusulkan nilai de minimis tinggi atau rendah tergantung

kepada kepentingan anggotanya. Asosiasi yang memberikan masukan, a.l.: KADIN

(USD30.00), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) (USD20.00), Masyarakat

Industri (USD0), Asosiasi UKM (USD0), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia

(USD30.00).
108

f. Barang kiriman dengan nilai FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tetap

dikenakan PPN berdasarkan pertimbangan Undang Undang tidak mengatur

mengenai pemberian threshold di bidang perpajakan dan untuk menciptakan level

playing field dengan produk lokal.

g. Pada periode tahun 2018-2019 terjadi peningkatan jumlah CN secara eksponensial,

kemudian pada 2020 terjadi anomali dimana jumlah dokumen CN menurun sebesar

15,5%. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh pandemi atau penurunan de minimis.

Demikian halnya dengan devisa yang mengalami peningkatan dari 2018 ke 2019,

kemudian menurun sebesar 24,23% di periode 2019-2020. Realisasi penerimaan di

2019 ke 2020 mengalami penurunan sebesar 20,69%.


109

Grafik IV-1 Jumlah CN, Nilai Devisa, dan Realisasi Penerimaan Barang Kiriman Tahun
2019 s.d. 2020

71,9 Juta
61 Juta 1.069
2,9 T
Juta -24,23%
2019-2020 2019-2020 2019-202020,69%
-15,5%

810 Juta 2,3 T

540 Juta Seharusnya Seharusnya


19,5 Juta 1,3 T
907 juta, 2,46 T, jika
jika penurun
penurun -15,15%

20 20 20 20 20 20 20 20 20
20
18 19 20 18 19 20 18 19 20
Jumlah Dokumen FOB (dalam USD)
Devisa Impor Penerimaan (Rp)
Consigment Notes
Barang Kiriman

Sumber: Tim Perumus Kebijakan PMK Nomor 199/PMK.010/2019/PMK.010/2019

Nilai devisa per dokumen dan penerimaan per dokumen juga mengalami
penurunan dari 2018 sampai dengan 2020, seperti digambarkan dalam tabel
berikut.
Tabel IV-9 Tren Nilai Rata-rata Devisa per CN dan
Rata-rata Penerimaan per CN Periode 2018-2020

No. Tahun Devisa per CN Penerimaan per CN


(USD) (Rp)
1. 2018 27,7 66.801
2. 2019 14,87 40.378
3. 2020 13,3 37.368

Sumber: Tim Perumus Kebijakan PMK Nomor 199/PMK.010/2019


110

Tabel IV-9 menunjukan bahwa dari tahun 2018 sampai dengan 2020 terdapat

kecenderungan penurunan nilai devisa per dokumen, yaitu dari 2018 s.d. 2019

devisa per dokumen menurun sebesar 46,2%, 2019 s.d. 2020 menurun 10,7% per

dokumen. Demikian halnya dengan rata-rata penerimaan per dokumen 2018 s.d.

2019 menurun sebesar 39,6% dan 2019 s.d. 2020 menurun 7,4%. Sebab penurunan

rata-rata nilai devisa per dokumen maupun rata-rata penerimaan per dokumen

perlu dianalisa lebih lanjut apakah disebabkan oleh pemberitahuan nilai pabean

yang lebih rendah atau hal lainnya.

Tanggapan dari PDTT I, KPUBC Tipe C Soekarno Hatta:

- masalah utama penanganan barang kiriman adalah jumlah pegawai yang

menangani barang kiriman tidak sebanding dengan jumlah dokumen. Berdasarkan

data diketahui bahwa 75% dokumen CN yang nilainya kurang dari FOB USD3.00

(tiga United States Dollars). PDTT pernah melakukan penelitian terhadap dua PJT

pada bulan Juni 2021. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:

1. PJT A; total dokumen pada Juni 2021 sebanyak 45.528, yang ditetapkan oleh

PDTT sebanyak 3.438 dokumen (7,55%). Total BM dan PDRI semula

diberitahukan Rp210.200.000,00. Hasil penetapan PDTT total BM dan PDRI

menjadi Rp643.161.000, atau terdapat kenaikan BM dan PDRI sebesar

Rp432.961.000,00 (206%);
111

2. PJT B: total dokumen pada Juni 2021 sebanyak 103.140, yang ditetapkan oleh

PDTT sebanyak 3.496 (3,39%). Total BM dan PDRI semula diberitahukan

Rp183.722.000,00. Hasil penetapan PDTT total BM dan PDRI menjadi

Rp808.332.000,00, terdapat kenaikan pembayaran BM dan PDRI sebesar

Rp624.610.000,00 (3339,98%).

3. Atau total pemberitahuan BM dan PDRI PJT A dan PJT B adalah

Rp393.922.000, ditetapkan oleh PDTT menjadi Rp1.451.493.000, sehingga

terjadi kenaikan sebesar Rp1.057.571.000 (268%).

4. Dalam penelitian tersebut ditemukan juga PJT yang rata-rata bayar per

dokumennya Rp3.000,00 s.d. Rp4.000,00.

Dapat disimpulkan PJT memanfaatkan kelemahan sistem. Karena jumlah

PDTT yang terbatas (62 orang) dengan jumlah dokumen per bulan sekitar

45juta dan dokumen yang masuk ke PDTT hanya 1%-2% saja. Jadi, ada

kesempatan untuk lolos dari penelitian PDTT sebesar 98%.

- Setelah berlakunya skema DDP kedua PJT ini juga menyelesaikan pemberitahuan

pengeluaran barang market place yang menggunakan skema DDP. Jumlah

dokumen kedua PDTT ini kurang lebih sama dengan jumlah dokumen sebelum

skema DDP, tetapi jumlah dokumen yang diteruskan ke PDTT semakin berkurang.

Sementara e-catalog yang diberitahukan sebelum skema DDP nilainya sama

dengan e-catalog dengan skema DDP yaitu di bawah FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars). Jadi, yang lebih penting selain skema DDP adalah validasi atas e-
112

catalog yang disampaikan ke DJBC, apakah nilai dalam e-catalog sudah sesuai

dengan nilai yang tercantum dalam website market place. Dengan menggunakan

skema DDP maka sepanjang data-data pada e-catalog sama dengan data-data pada

e-invoice, maka langsung mendapat respon SPPBMCP dari RE dan mengurangi

potensi dokumen tadi untuk diteliti lebih lanjut oleh PDTT.

- Beberapa waktu lalu terdapat jenis barang diberitahukan dokumen, ternyata

kedapatan berlian yang kemudian ditetapkan seharga Rp1,5Milyar. Atas kondisi

demikian, PJT cukup memperbaiki pemberitahuan jenis barang dan membayar

BM dan PDRI sesuai penetapan dan tidak dikenakan sanksi apapun.

- Sebaiknya jumlah PDTT ditambah disesuaikan dengan jumlah dokumen CN,

dengan penambahan jumlah PDTT diharapkan akan menekan potensi kebocoran

penerimaan negara.

- Barang yang diteruskan ke PDTT pada 2018 banyak CN yang diimpor melalui PJT

reguler dan dari CN yang disampaikan PJT reguler banyak dilakukan penetapan

dengan selisih nilai penetapan tinggi oleh PDTT dan bahkan ada barang yang

akhirnya nilainya ditetapkan menjadi lebih dari FOB USD1,500.00 (seribu lima

ratus United States Dollars) sehingga harus diselesaikan dengan PIB/PIBK. Tetapi

pada 2019-2020 indikator risiko RE diubah sehingga CN yang diteruskan ke PDTT

lebih banyak CN e-commerce. E-commerce jumlah dokumennya banyak tetapi

nilai pabean barangnya relatif kecil dibanding barang yang diimpor melalui PJT

reguler. Kemudian pada 2021 RE diubah lagi, sehingga impor melalui PJT reguler
113

mulai diteruskan lagi ke PDTT. Kondisi tersebutlah yang kemungkinan dapat

menjelaskan mengapa nilai penerimaan per dokumen pada 2019 dan 2020 lebih

kecil dibandingkan pada 2018

Tanggapan dari PDTT II, KPUBC Tipe C Soekarno Hatta:

a. Efektifitas pelaksanaan nilai de minimis barang kiriman FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) terletak pada monitoring dan evaluasi (monev) terhadap

PJT. Melalui monev dapat dievaluasi berapa kali PJT melakukan pelanggaran.

Sementara dalam regulasi yang berlaku saat ini diatur bahwa sanksi akan diberikan

dalam hal PJT melanggar pembebasan de minimis berupa pencabutan PJT.

Sebaiknya tidak langsung dicabut tetapi dibuat sanksi yang bertingkat sesuai

dngan akumulasi pelanggaran. Selama ini hanya dilakukan himbauan atau

sosialisasi kepada PJT.

b. Market place yang menggunakan skema DDP harus dibina dulu terkait

pemahaman ketentuan nilai pabean.

Tanggapan dari Pejabat pada Direktorat IKC, Kantor Pusat DJBC):

a. Peningkatan tax base maupun tarif pajak akan meningkatkan keinginan wajib

pajak untuk melakukan tax avoidance maupun tax evasion. Website market place

“L” sudah memisahkan BM dan PDRI dengan harga barang dan ongkos kirim

(tampilan detil seperti ini tidak muncul di website market place “Z” dan “S”).

Dalam praktiknya market place Z dan S yang menanggung BM, PDRI, dan biaya
114

pengangkutan. Sehingga market place berusaha menurunkan biaya-biaya tersebut

dengan menurunkan harga barang.

b. Terkait dengan harga yang disampaikan oleh market place di dalam e-catalog dan

e-invoice sangat rendah karena Bea dan Cukai (IKC) sangat tergantung kepada

kejujuran market place. Kondisi demikian disebabkan karena saat skema DDP

ditawarkan terhadap market place adalah untuk mempercepat layanan. Saat awal

penerapan skema DDP ini yang bergabung hanya satu market place yaitu “L” dan

kepada market place lain diharapkan untuk bergabung dalam skema ini.

c. IKC tidak dapat melakukan validasi harga barang dalam e-catalog karena di dalam

PMK maupun Perdirjen yang berlaku saat ini tidak diatur demikian dan IKC juga

tidak dapat melakukan scrapping data. Market place juga tidak mencantumkan

alamat website penjualannya atau Uniform Resource Locator (URL) karena bukan

merupakan elemen data yang wajib disampaikan kepada DJBC.

d. Dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan nilai de minimis tidak efektif mengingat

kepatuhan pajak pengguna jasa masih sangat rendah. Regulasi ini menimbulkan

kesulitan dari hampir semua pelaksana kebijakan (PDTT, P2 sebagai perumus

parameter risk engine). Terlebih lagi dari sisi sistem perpajakan pemberitahuannya

bersifat official assesment sehingga PJT cenderung menyampaikannya data

seadanya karena tidak ada sanksi dalam hal terdapat kesalahan pemberitahuan

dalam CN.
115

Pemeriksa Barang pada KPUBC Tipe C Soekarno Hatta:

a. Dari penelitian dokumen yang dilakukan oleh PDTT atau RE yang diindikasikan

harga yang diberitahukan dalam CN tidak wajar mengakibatkan barang yang

dikenakan jalur merah oleh PDTT meningkat. Pada 2019 rata-rata barang yang

dikenakan jalur merah di bawah 1.000 dokumen per hari (sekitar 700-800

dokumen). Jumlah barang yang dikenakan jalur merah melonjak tinggi menjelang

libur atau hari raya Lebaran atau Natal sesuai dengan peningkatan jumlah impor.

Selama 2020 jumlah barang kiriman e-commerce menurun drastis akibat pandemi

Covid-19, kemudian mulai meningkat lagi setelah hari raya Lebaran karena

banyaknya promo di event-event tertentu, misalnya Hari Belanja Online Nasional

(Harbolnas).

b. Namun selama 2021 jumlah barang yang terkena jalur merah rata-rata mencapai

2.000 dokumen. Hal tersebut kemungkinan karena splitting untuk menghindari

lartas atau karena alasan menghindari pembayaran BM.

Petugas P2 KPUBC Tipe C Soekarno Hatta)

a. Apabila dilihat dari sisi penerimaan maka nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) efektif meningkatkan penerimaan.

b. Kalau dilihat dari permasalahan lain, pada dasarnya tingkat kepatuhan pengguna

jasa memang masih kurang. Kalau dilihat dari atensi oleh P2 karena under invoice,

splitting, atau pemberitahuan jenis barang tidak sesuai memang cukup tinggi,

apalagi berapa pun nilai barang pasti kena pajak. Beberapa kali ditemukan barang
116

dengan nilai tinggi diberitahukan dengan nilai yang sangat rendah. Bahkan pernah

ditemukan diberitahukan sebagai dokumen sehingga pengeluarannya cukup

dengan daftar dan tidak perlu diberitahukan secara detail kedapatan isinya berlian,

obat, dan lain-lain.

c. Harga yang diberitahukan oleh PJT adalah berdasarkan harga yang diberitahukan

oleh shipper (market place), sehingga apabila harga yang diterima PJT rendah

maka akan disampaikan dalam CN sesuai dengan data yang diterimanya. Kondisi

ini menjadi beban bagi unit P2 karena P2 tidak memiliki kompetensi untuk

menentukan harga barang, sehingga untuk memvalidasi kebenarannya CN tersebut

dikenakan jalur merah, yang akhirnya menyebabkan antrian pemeriksaan fisik

cukup tinggi. Demikian pula antrian dokumen di PDTT juga meningkat karena

untuk menentukan kebenaran harga PDTT dapat meminta invoice atau bukti bayar

kepada PJT untuk disampaikan kepada penerima barang. Pada umumnya respon

permintaan invoice atau bukti bayar ditanggapi cukup lama oleh PDTT sehingga

menambah dwelling time. Untuk menghindari dwelling time, ada kebijakan kepala

KPUBC adalah dalam hal lebih dari 3 (tiga) hari tidak diserahkan invoice atau

bukti bayar, maka PDTT akan menetapkan nilai barang sesuai dengan data yang

ada.

Tim Perumus Kebijakan III

a. Terkait kemungkinan dimunculkan lagi anti splitting dalam regulasi barang

kiriman, pada PMK Nomor 112/PMK.04/2018 dimunculkan anti splitting untuk


117

menghindari pecah CN oleh pengguna jasa agar pemberitahuan barang masih

dalam batas de minimis. Tetapi apabila sekarang dipasang lagi anti-splitting maka

perlu dipelajari aturan lartas oleh kementerian teknis terkait, dalam hal ini

Kementerian Perdagangan (untuk HKT, sepatu, garment, elektronik). Di dalamnya

diatur batasan jumlah atau nilai maksimal tertentu untuk mendapat pengecualian

lartas untuk “setiap pengiriman”. Perlu dipelajari lagi apa yang dimaksud dengan

‘setiap pengiriman’ apakah per HAWB atau per MAWB. Kemudian kalo dicermati

definisi CN adalah dokumen pengiriman, maka per pengiriman adalah per CN.

Sehingga splitting yang dilakukan selama ini tidak menyalahi aturan.

b. Terkait praktik under invoicing oleh PJT, saat ini sedang dirancang PMK agar

pengenaan sanksi kepada PJT dilakukan secara bertahap sesuai dengan jumlah

pelanggarannya. Konsep usulan sanksi sementara ini, dalam proses penyidikan

pidana kepabeanan PJT dibekukan, kemudian jika terbukti melakukan pelanggaran

pidana kepabeanan maka PJT dicabut. Tetapi jika diusulkan agar ada tahapan

sanksi sebelum pembekuan/pencabutan misalnya surat peringatan, surat teguran,

dan lain-lain maka akan dipertimbangkan.

c. Terkait skema DDP yang ternyata dalam praktiknya terdapat indikasi marketplace

menyampaikan e-catalog dan e-invoice lebih rendah, maka sedang dilakukan

formulasi sanksi/ tindak lanjut terhadap market place.

Pejabat pada Direktorat IKC, Kantor Pusat DJBC

Tidak ada regulasi yang mengatur berapa persen jumlah barang yang dikenakan jalur

merah, tetapi diserahkan kepada P2 di KPPBC/KPUBC dan P2 Kantor Pusat DJBC. Di


118

RE tidak dapat diprediksi dengan tepat, kira-kira berapa persen yang akan dikenakan

jalur merah/PDTT. Patokan penentuan parameter didasarkan pada data histori satu atau

beberapa bulan yang lalu dan belum dapat dipastikan juga ke depannya jenis barang

yang diimpor adalah barang yang sama dan pemberitahuan nilainya sama.

Petugas P2 KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

a. P2 KPUBC Tipe C Soekarno Hatta diberi mandat untuk menyusun parameter RE

dengan berkoordinasi dengan P2 Kantor Pusat DJBC dan IKC terkait data

historinya. Misalnya: berdasarkan data histori selama tiga bulan terakhir, jika RE

diberi parameter A, B, C, dan D, kira-kira berapa banyak dokumen yang akan

terjaring masuk ke PDTT atau terkena jalur merah, bagaimana kemampuan SDM

yang ditugasi di PDTT atau pemeriksa fisik.

b. Pertimbangan lain adalah tren yang terjadi mengingat barkir sangat sensitif dengan

tren, misalnya: awal pandemi banyak barkir berupa masker, face shield, dan saat

lonjakan pandemi jenis barang impor yang menjadi tren barang kiriman adalah

oxygen concentrator.

c. Parameter RE dievaluasi setiap bulan untuk memastikan mana parameter yang

sudah tidak relevan lagi dan mana parameter yang perlu ditambahkan. Selain itu,

informasi dari P2 di lapangan (petugas X-Ray) juga menjadi pertimbangan

penyesuaian parameter RE, misalnya terdapat peningkatan impor jenis barang

tertentu, atau ditemukan pemberitahuan jenis barang yang tidak sesuai dengan

yang kedapatan di lapangan.


119

d. P2 melakukan evaluasi atas Parameter yang dipasang di RE untuk mengetahui

seberapa banyak pemberitahuan yang terjaring dari rule set tersebut dan berapa

besar kontribusinya terhadap penerimaan.

PDTT I KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

Dengan jumlah PDTT saat ini yaitu sebanyak 60 orang, dengan kemampuan

melakukan penelitian dokumen kurang dari 2% dari dokumen yang diberitahukan

maka pengawasan dokumen CN tidak akan efektif dan karenanya potensi kebocoran

penerimaan negara realtif besar. Sehingga penambahan pegawai perlu

dipertimbangkan agar jumlah dokumen yang diperiksa PDTT meningkat dan kualitas

penelitian dokumen juga meningkat.

Pejabat pada Direktorat IKC, Kantor Pusat DJBC

Verifikasi atas e-catalog secara otomatis tidak dapat dilakukan karena market place

membatasi akses pihak lain untuk melakukan pengecekan secara langsung ke website-

nya. Verifikasi secara manual tidak bisa dilakukan karena jumlah barang yang

disampaikan dalam e-catalog ribuan. Dan pihak market place juga melakukan up date

e-catalog dalam hal promo karena mengadakan flash sale atau event-event tertentu.

Event promosi tersebut juga dilakukan dalam waktu singkat, misalnya satu jam,

kemudian harga kembali ke harga normal, demikian seterusnya. Perubahan harganya

mencapai 200ribu-300ribu barang. Verifikasi dapat dilakukan secara sampling

terhadap e-catalog dalam periode tertentu.


120

Tim Perumus Kebijakan III

a. verifikasi e-catalog secara sampling mungkin bisa diterapkan.

b. yang berlaku saat ini dalam hal e-catalog dan e-invoice datanya sesuai maka

akan mendapat respon SPPBMCP. Untuk masa yang akan datang ketika semua

market place sudah diharuskan menggunakan skema DDP dan menyerahkan e-

catalog-nya kepada DJBC, sebaiknya dilakukan sampling dimana e-catalog

dan e-invoice yang datanya sudah sesuai pun dapat diteruskan kepada PDTT

untuk diteliti lebih lanjut. Penentuan jalurnya dilakukan dengan parameter

tertentu. Karena 90% barang kiriman yang diimpor saat ini adalah barang

kiriman e-commerce, yang berarti 90% akan diwajibkan menggunakan skema

DDP.

Pejabat pada Direktorat IKC, Kantor Pusat DJBC:

Penggunaan teknologi X-ray yang digabung dengan artificial inteligence sudah sebagai

salah satu aternatif solusi untuk membantu deteksi jenis barang dan harga barang sudah

diterapkan oleh beberapa negara. Tetapi penyediaan infrastrukturnya membutuhkan

investasi yang sangat besar. Kalaupun akan memanfaatkan peralatan tersebut mungkin

bisa di kantor-kantor pelayanan yang volume barang kirimannya besar dan dapat

menjadi alternatif solusi untuk jangka waktu ke depan yang relatif panjang.
121

Pejabat Kepala Seksi Intelijen II (Baru), Bidang Penindakan dan Penyidikan

KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

Pengawasan atas barang kiriman dapat dilakukan dengan mekanisme pengawasan post

clearance. BC melakukan observasi terhadap karakteristik penerima, apakah barang

yang dibelinya ditujukan untuk pemakaian sendiri atau dijual lagi. BC bisa bekerja

sama dengan DJP. BC juga dapat melakukan profiling penerima barang.

Tim Perumus Kebijakan III

a. Mekanisme pengawasan post clearance telah diatur dalam PMK Nomor

199/PMK.010/2019, yaitu dengan melakukan audit. Tetapi sampai saat ini, tidak

dapat dilaksanakan audit, karena yang dapat dilakukan audit adalah dokumen

pemberitahuan pabean, sementara CN bukan merupakan dokumen dokumen

pemberitahuan pabean. Dalam RPMK tentang barang kiriman, CN telah diusulkan

untuk diperlakukan menjadi dokumen pemberitahuan pabean. Penentuan siapa

yang menjadi auditee sedang dalam proses pembahasan oleh tim.

b. Sinergi dengan DJP akan dilakukan. Contoh market place Z menyampaikan bahwa

di dalam harga barangnya sudah termasuk harga barang 30%, komisi 20%, local

cost, 30%, BM dan PDRI 19%. DJP bisa melakukan audit apakah benar komisi

yang diterimanya 20% dan apakah kewajiban perpajakannya sudah dipenuhi.


122

C.2. Hasil FGD dengan Perumus Kebijakan dan Pengguna Kebijakan

Tim Perumus Kebijakan I

a. Latar belakang kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

adalah karena jumlah barang kiriman meningkat secara eksponensial yang

disebabkan karena perubahan yang sangat signifikan dalam cara bertransaksi.

Terjadi perubahan fenomena dari transaksi secara manual ke digital dalam

perdagangan internasional. Menghadapi perubahan fenomena ini, pemerintah harus

hadir dan membuat kebijakan untuk mengendalikan perdagangan e-commerce cross

border dan di sisi lain pelaku UMKM juga harus didorong untuk lebih kuat dan

lebih baik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan utama kebijakan de

minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) adalah dalam rangka

perlindungan industri dalam negeri UMKM.

b. DJBC tidak bisa menghadapi tantangan perkembangan e-commerce cross border

dengan pendekatan-pendekatan manual seperti penambahan SDM tetapi sebaiknya

didukung dengan pemanfaatan teknologi. Indonesia sudah menerapkan manajemen

risiko, dengan menggunakan kriteria tertentu atas CN yang perlu diteliti lebih lanjut

sedangkan yang tidak memenuhi kriteria dapat dikeluarkan dari kawasan pabean.

c. Jika dibandingkan dengan Cina, jumlah barang kiriman di Indonesia masih relatif

lebih rendah. Transaksi barang kiriman di Cina bisa mencampai milyaran dokumen

per hari. Dalam hal pelayanan dan pengawasan sudah diterapkan manajemen risiko
123

sehingga dalam pengawasan perlu memanfaatkan Artificial Intelegance (AI) yang

terintegrasi atau di-bundling dengan X-ray.

d. Pemerintah dapat mendorong pemanfaatan teknologi ini dengan melakukan skema

kemitraan (partnership) baik dengan PJT maupun dengan market place. Partnership

tersebut tidak saja dalam bentuk aliran data yang lebih advance dikirim ke sistem

DJBC (CEISA Barang Kiriman), tetapi juga dalam penyediaan teknologi X-ray.

Sebagai contoh di Korea, beberapa pengguna jasa bergabung untuk menyediakan X-

ray yang canggih. Keuntungan diharapkan bisa diperoleh oleh kedua belah pihak

karena pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih cepat sehingga waktu yang

dibutuhkan untuk pengeluaran barang pun lebih efisien. Demikian halnya Australia

menggunakan X-ray tiga dimensi yang diintegrasikan dengan AI. Jika pengadaan

murni dilakukan oleh pemerintah memang membutuhkan investasi yang sangat

mahal. Sementara di Indonesia partnership sudah dimulai dengan sharing data oleh

marketplace, harapannya dapat didorong partnership pengadaan X-ray dengan

pengamanan data.

Tim Perumus Kebijakan II

a. Dalam penyusunan kebijakan nilai de minimis barang kiriman, Tim Perumus

Kebijakan telah melakukan melakukan kajian peraturan, menganalisa data, dan

public hearing untuk mendapatkan masukan dari pengguna jasa dan mendengarkan

aspirasi dari masyarakat, dan melakukan benchmark dengan negara lain. Beberapa

pertimbangan kebijakan adalah peningkatan jumlah CN sampai dengan lebih dari


124

200%, perlidungan industri dalam negeri, dan menciptakan level playing field.

Beberapa terobosan kebijakan yang lain adalah dilakukan rasionalisasi tarif dari

27,5% menjadi 17,5%, diberlakukan skema DDP yaitu dengan integritas data,

validasi dan rekonsiliasi harga dari penjual (market place) dengan CN yang

disampaikan PJT.

b. Skema DDP merupakan terobosan yang dilakukan oleh DJBC dan sudah diadopsi

oleh negara lain dan menjadi salah satu skema dalam WCO Immediate Release

Guidelines 2018, skema otomasi dan konsolidasi. Validasi dan rekonsilisasi dalam

skema DDP dengan menggunakan blockchain.

Pengguna Kebijakan

Asperindo (I)

a. Terkait X-Ray, Asperindo sangat mendukung partnership antara pemerintah dengan

pengguna jasa.

b. X-Ray adalah salah satu syarat agar barang kiriman dapat dikeluarkan dari kawasan

pabean. Dalam pelaksanaannya di lapangan, mulai 2021 pada hari libur nasional

atau keagamaan petugas X-Ray juga libur sehingga pengeluaran barang tertunda satu

atau dua hari. Sepanjang X-Ray diwajibkan sebagai salah satu syarat pengeluaran

barang bentuk partnership tidak akan berjalan dengan baik jika hanya satu pihak

yang siap menjalankan kerja sama.

c. Asperindo mengusulkan partnership dalam bentuk lain seperti komunikasi yang

lebih intensif atau FGD terkait kinerja petugas karena akan lebih berdampak
125

langsung kepada pengguna jasa terutama dalam hal terdapat hambatan dalam

pelaksanaan di lapangan. Saat ini FGD dilakukan hanya dalam kondisi tertentu

misalnya saat terjadi hambatan karena backlog akibat akumulasi barang kiriman

yang terlambat diproses karena promosi-promosi penjualan.

d. De minimis yang lebih besar akan lebih efisien bagi BC karena bisa lebih fokus

kepada barang-barang yang lebih berisiko dan berharap nilai de minimis kembali ke

FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars).

e. Mandatori bagi market place untuk menggunakan skema DDP diharapkan makin

mempercepat proses pengeluaran barang.

Asperindo (II)

a. skema DDP sebaiknya segera dimandatorikan bagi semua market place karena

dengan skema tersebut tidak ada peluang dari importir atau pihak manapun untuk

memberitahukan jumlah, jenis, atau harga barang tidak benar.

b. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan izin PJT adalah menyediakan X-Ray

untuk pemeriksaan barang dan semua barang kiriman hanya dapat diproses lebih

lanjut setelah di-X-Ray. Harapannya pada hari-hari libur nasional pegawai yang

bertugas di mesin X-Ray tetap bekerja sehingga tidak terjadi hambatan pengeluaran

barang karena penumpukan barang pada hari libur sebelumnya.

c. Sejak pemberlakuan PMK Nomor 199/PMK.010/2019, e-commerce mengalami

kontraksi kurang lebih 50% dari gross merchandise value, sehingga tujuan

kebijakan mengurangi jumlah dan volume impor barang kiriman tercapai. Tetapi
126

seharusnya atas kegiatan impor selain impor e-commerce tidak terjadi praktik-

praktik importasi yang melanggar ketentuan kepabeanan, misalnya impor borongan.

Apindo

a. Apindo yang mendorong perubahan nilai de minimis yang saat itu dirasa masih

tinggi yaitu FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars).

b. Menurut Apindo permasalahan sebenarnya bukan nilai besaran de minimis akan

tetapi tujuan dari kebijakan.

c. Fenomena yang terjadi antara lain volume impor barang kiriman yang tidak

terbendung, produk lokal tidak memiliki daya saing, pelaku usaha lebih memilih

menjadi trader dari pada produsen,

d. Kunci untuk mengatasi fenomena tersebut adalah industri DN kuat atau tidak.

e. Permasalahan industri DN memang sangat kompleks diantaranya ketidakefisienan,

tenaga kerja, bahan bakar, distribusi, izin edar, aturan lartasnya, dll.

f. Pemegang merek internasional yang mempunyai keagenan atau lisensi di Indonesia

bisa masuk ke Indonesia tanpa harus mematuhi aturan yang berlaku karena

diindikasikan diimpor ke Indonesia secara ilegal, misalnya diselundupkan atau

underinvoicing.

g. Kondisi ini akan menyebabkan kerugian bagi pengusaha yang melakukan bisnis

secara legal atau barang produksi lokal karena tidak mampu bersaing.
127

h. Kemudian berakibat pada kegiatan usaha sebagai produsen tidak menarik lagi dan

pengusaha lebih memilih impor menjadi importir yang akhirnya berdampak pada

tenaga kerja, dan lain-lain.

i. Harapan Apindo agar yang ilegal dapat dikurangi atau diberantas dan memperkuat

industri DN. Hal ini bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab DJBC, namun

juga tanggung jawab Kementerian/Lembaga lain yang terkait.

D. Pembahasan

Sebagaimana telah disampaikan dalam Bab II tentang Landasan Teori bahwa

untuk mengevaluasi kebijakan Peneliti menggunakan metode sesuai dengan teori

William Dunn. Indikator evaluasi menurut William Dunn adalah efektifitas, efisiensi,

kecukupan, responsivitas, ketepatan, dan keadilan.

Tetapi sebelum membahas evaluasi kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars), untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai alur

proses penyelesaian barang kiriman baik alur dokumen maupun alur barang berikut

disampaikan alur dimaksud.

Gambar IV-1 Alur Penanganan Barang Atas Barang Kiriman


128

Sumber: KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

Keterangan:

1. Atas barang yang datang ke gudang, pihak gudang meminta petugas P2 untuk

melakukan X-Ray;

2. Dari hasil X-Ray, pihak P2 dapat melakukan pendalaman pemeriksaan

(mengeluarkan Surat Bukti Penindakan);

3. Scan barcode X-ray dilakukan oleh pihak gudang, atas izin dari petugas P2;

4. Scan barcode hijau dilakukan petugas gudang, apabila petugas P2 tidak

memiliki kecurigaan atas pencitraan barang tersebut;

5. Scan barcode merah dilakukan petugas gudang, apabila petugas P2 memiliki

kecurigaan atas pencitraan barang tersebut dan/atau atas pemeriksaan


129

mendalam atas harga barang dan apabila barang tersebut merupakan barang

lartas;

6. Atas barang yang discan hijau selanjutnya akan diproses melalui sistem barang

kiriman, apabila barang pada CEISA tidak direkomendasikan periksa

ditetapkan SPPBMCP dan bila direkomendasikan periksa, akan diperiksa fisik

oleh pemeriksa dan diteliti oleh PDTT;

7. Atas barang yang di-scan merah selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan fisik

oleh pemeriksa dan diteliti oleh PDTT;

8. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian oleh PDTT atas barang

tersebut selanjutnya akan ditetapkan SPPBMCP setelah semua kewajiban

pabeannya terpenuhi.

Sedangkan alur penanganan dokumen atas barang kiriman, adalah sebagai

berikut.

Gambar IV-2 Alur Penanganan Dokumen Atas Barang Kiriman


130

Sumber: KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

Keterangan:

1. Pihak PJT mengajukan dokumen pecah POS dan dokumen CN;

2. Risk Engine (RE) melakukan filter terhadap dokumen yang telah diajukan PJT;

3. CN yang tidak terkena filter RE akan langsung mendapat respon penetapan

SPPBMCP menunggu X-Ray dan Manifest;

4. CN yang terkena filter RE akan masuk ke antrian dokumen PDTT untuk

selanjutnya dilakukan penetapan dan pemeriksaan atas dokumen;

5. PDTT akan menetapkan pemeriksaan fisik atas barang yang dianggap perlu

pendalaman lebih lanjut;


131

6. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pemeriksa fisik, bila didapati

kecurigaan dan/atau barang tersebut adalah barang LARTAS, PDTT dapat

menerbitkan Nota Permintaan Dokumen (NPD) kepada pihak PJT;

7. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dokumen, PDTT juga dapat

membuat penetapan berdasarkan penetapan oleh PJT;

8. Setelah mendapatkan penetapan dari PDTT, atas CN tersebut akan diterbitkan

Penetapan SPPBMCP oleh sistem.

D.1. Efektifitas

Perumus kebijakan mereka berpendapat bahwa penurunan nilai de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) sudah mencapai tujuan kebijakan atau efektif

mencapai tujuan kebijakan. Sementara dari kuesioner dengan para pelaksana kebijakan

diperoleh hasil bahwa kebijakan ini cukup efektif mencapai tujuan yang ditetapkan dan

pengguna kebijakan menganggap kebijakan ini tidak efektif. Asperindo sebagai

pengguna kebijakan berpendapat bahwa penurunan nilai de minimis untuk tujuan

melindungi industri dalam negeri adalah kurang tepat, lebih baik pemerintah

melakukan pembinaan untuk memperkuat industri dalam negeri dan meningkatkan

kualitas produksi sehingga dapat mempunyai daya saing yang tinggi.

Tujuan penerapan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)

adalah untuk mengurangi jumlah impor barang e-commerce, meningkatkan

penerimaan negara dari barang kiriman, dan mengakomodir aspirasi masyarakat untuk

menciptakan equal level playing field.


132

Berdasarkan wawancara dengan perumus kebijakan penerimaan bea masuk dan

PDRI diperkirakan akan meningkat sebesar 100% dari penerimaan sebelumnya.

Sementara data realisasi penerimaan bea masuk dan PDRI barang kiriman melalui

KPUBC Tipe C Soekarno Hatta periode 2017 s.d. Mei 2021 digambarkan dalam grafik

berikut.

Grafik IV-2 Penerimaan BM dan PDRI


KPUBC Tipe C Soekarno Hatta Periode 2017 s.d. Mei 2021

1.633

1.246

977

771
608

2017 2018 2019 2020 Mei 2021

Sumber: Direktorat IKC

Perbandingan realisasi penerimaan BM dan PDRI periode Februari 2019 s.d Januari

2020 yaitu pada saat nilai de minimis yang berlaku FOB USD75.00 (tujuh puluh lima

United States Dollars) dengan realisasi penerimaan BM dan PDRI periode Februari

2020 s.d Januari 2021 yaitu pada saat nilai de minimis yang berlaku FOB USD3.00

(tiga United States Dollars), digambarkan dalam Tabel IV-10 berikut:


133

Tabel IV-10 Perbandingan Realisasi Penerimaan BM dan PDRI


Periode Februari 2019 s.d. Januari 2020 dengan
Periode Februari 2020 s.d. Januari 2021
Periode Penerimaan (BM+PPN+PPh)
(juta Rp) (% sebelumnya)
Periode Sebelumnya 995.809,21
Feb 2019 s.d. Jan 2020 1.253.865,32 125,91
(de minimis USD75)
Feb 2020 s.d. Jan 2021 1.696.735,96 135,32
(de minimis USD3)
Sumber: Direktorat IKC

Dari Tabel IV-10 tersebut diketahui bahwa setelah penerapan de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) terjadi kenaikan penerimaan BM dan PDRI dari

barang kiriman. Pada periode Februari 2019 sampai dengan Januari 2020 realisasi

penerimaan Rp1.253.865.319.121,12 kemudian meningkat sebesar 35,32% pada

periode Februari 2020 sampai dengan Januari 2021 menjadi Rp1.696.735.956.806.00.

Berdasarkan teori efektifitas yang disampaikan oleh Arikunto (Arikunto, 2013),

nilai efektifitas dikategorikan sebagai berikut:

Tabel IV-11 Interpretasi Nilai Efektivitas


Besar Nilai Nilai Interpretasi
Efektivitas Efektivitas
80% - 100% Tinggi
60% - 79,9% Cukup
40% - 59,9% Agak rendah
20% - 39,9% Rendah
0% - 19,9% Sangat rendah
Sumber: Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Arikunto, 2013)
134

Berdasarkan hal tersebut maka kenaikan penerimaan sebesar 35,32%

dikategorikan sebagai efektifitas yang rendah.

Tidak tercapainya peningkatan penerimaan yang semula ditargetkan sebesar

100% dari realisasi penerimaan sebelumnya oleh para perumus kebijakan,

kemungkinan disebabkan karena minimnya jumlah dokumen CN yang diteliti lebih

lanjut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara dengan PDTT jumlah

CN yang diteliti lebih lanjut pada 2020 rata-rata 2%, sementara yang diperiksa fisik

kurang dari 0,5%. Padahal ketika merumuskan kebijakan penurunan de minimis

menjadi FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) perumus kebijakan berharap

jumlah CN yang dapat diteliti lebih lanjut akan meningkat dibandingkan dengan ketika

nilai de minimis FOB USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars). Tetapi

berdasarkan data statistik yang diperoleh dari IKC, persentase CN yang dikenai jalur

merah kurang lebih tetap sama di kisaran kurang dari 1%, sebagaimana digambarkan

dalam Grafik IV-3

Grafik IV-3 Jumlah CN yang Dikeluarkan dengan Jalur Merah


Periode 2017 s.d. Mei 2021 Pada KPUBC Tipe C Soekarno Hatta
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
-
01/02/2018

01/02/2019
01/02/2017
01/04/2017
01/06/2017
01/08/2017
01/10/2017
01/12/2017

01/04/2018
01/06/2018
01/08/2018
01/10/2018
01/12/2018

01/04/2019
01/06/2019
01/08/2019
01/10/2019
01/12/2019
01/02/2020
01/04/2020
01/06/2020
01/08/2020
01/10/2020
01/12/2020
01/02/2021
01/04/2021

Sumber: Direktorat IKC


135

Secara teknis indikator manajemen risiko yang dipasang pada RE, tidak semata-

mata mempertimbangkan risiko yang terkandung dalam barang impor tetapi juga

dilakukan dengan memperhitungkan ketersediaan SDM yang terkait dalam pemrosesan

barang kiriman. Sehingga terdapat kemungkinan CN yang seharusnya diteliti lebih

lanjut ditekan jumlahnya dari yang seharusnya karena mempertimbangkan kinerja

layanan.

Seperti yang disampaikan oleh PDTT dalam wawancara maupun FGD, bahwa

penelitian intensif yang dilakukan oleh PDTT selama 1 (satu) bulan terhadap 2 (dua)

PJT yang volume kegiatannya tidak terlalu banyak telah menghasilkan peningkatan

penerimaan yang cukup signifikan. Dari nilai BM dan PDRI yang semula

diberitahukan Rp393.000.000.00 (tiga ratus sembilan puluh tiga juta rupiah), setelah

dilakukan penelitian nilai BM dan PDRI yang seharusnya dibayar meningkat menjadi

Rp1.451.000.000 (satu miliar empat ratus lima puluh satu juta rupiah) atau meningkat

sebesar 269,21%.

Berdasarkan data penetapan CN periode Januari sampai dengan Juni 2021 yang

Peneliti kumpulkan dari Direktorat IKC, diketahui bahwa selama periode tersebut

terdapat 950.513 CN yang ditetapkan oleh PDTT, dengan nilai penetapan BM dan

PDRI sebesar Rp349.952.552.000,00 dari nilai yang semula disampaikan

Rp230.305.494.000,00 atau terjadi peningkatan penerimaan BM dan PDRI sebesar

51,95%. Terdapat peningkatan nilai CIF dari semula diajukan Rp1.442.965.312.729,00


136

menjadi Rp31.454.716.711.671,00 atau meningkat 95,41%. Rincian penetapan

digambarkan dalam tabel berikut.

Tabel IV-12 Penetapan CN Periode Januari s.d. Juni 2021


Jumlah CN CIF (juta Rp) BM & PDRI (juta Rp)

Aju Penetapan % Dibayar Penetapan %

950.513 1.442.965 31.454.716 95,41 230.305 349.952 51,95

Sumber: Direktorat IKC

Mengingat sistem perpajakan barang kiriman menggunakan sistem official

assesment, maka PJT yang bertindak mewakili importir hanya bersifat pasif dalam

pemberitahuan jumlah, jenis, dan tarif barang impor. Dan karenanya tidak ada sanksi

administrasi dalam hal ditemukan pemberitahuan yang tidak benar.

Untuk e-commerce yang telah menerapkan skema DDP, terdapat kendala teknis

dimana Bea dan Cukai hanya menerima e-catalogue dan e-invoice yang disampaikan

oleh market place dan tidak melakukan validasi kebenaran pemberitahuan nilai barang

yang disampaikan di dalamnya dengan harga yang dicantumkan di platform

marketplace. Sehingga terdapat kemungkinan harga barang yang tercantum di platform

market place berbeda dengan e-catalogue dan e-invoice yang disampaikan ke Bea dan

Cukai. Sementara dalam sistem penyelesaian dokumen barang e-commerce dengan

skema DDP, respon pengeluaran barang (SPPBMCP) akan segera diberikan dalam hal

data barang pada e-catalogue, e-invoice, dan CN terekonsiliasi. Berikut proses

pengeluaran barang e-commerce dengan skema DDP. Proses pengeluaran barang

dengan skema DDP digambarkan sebagai berikut.


137

Gambar IV-3 Proses Pengeluaran Barang E-Commerce dengan Skema DDP

Sumber: Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC

Selain peningkatan penerimaan, tujuan penerapan de minimis FOB USD3.00

(tiga United States Dollars) adalah untuk menekan jumlah barang kiriman. Jumlah CN

pada periode 2017 s.d. Mei 2021 digambarkan dalam grafik berikut.

Grafik IV-4 Jumlah CN pada periode 2017 s.d. Mei 2021


138

Jumlah Dokumen Per Tahun


80.000.000,00

70.000.000,00

60.000.000,00

50.000.000,00

40.000.000,00

30.000.000,00

20.000.000,00

10.000.000,00

-
2017 2018 2019 2020 2021
Jml Dokumen (Soetta) Jml Dokumen (Indonesia)

Sumber: Direktorat IKC

Tabel IV-13 Jumlah CN Periode Februari 2019 s.d. Januari 2020 dibandingkan dengan
Periode Februari 2020 s.d. Januari 2021
Periode Jumlah dokumen (% sebelumnya)

Periode Sebelumnya 15.240.511


Feb 2019 s.d. Jan 2020 46.469.991 304,91
(de minimis USD75)
Feb 2020 s.d. Jan 2021 48.812.555 105,04
(de minimis USD3)
Sumber: Direktorat IKC

Dari Tabel IV-13 dapat diketahui bahwa setelah penerapan de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) terjadi peningkatan jumlah CN. Pada periode

Februari 2019 sampai dengan Januari 2020 jumlah CN sebanyak 46.469.991 dokumen,

kemudian bertambah menjadi 48.812.555 dokumen atau 5,04% pada periode Februari

2020 sampai dengan Januari 2021.


139

Dari sisi tujuan terciptanya level playing field, dapat diambil beberapa contoh

barang dalam CN dengan nilai tidak lebih dari FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars) misalnya:

1. Fabric sample (contoh kain), HS Code 6201.11.00, nilai FOB USD0.05,

mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan dipungut PPN senilai

Rp2.000,00;

2. Prototype/developmental sample, HS Code 3404.90.90, nilai FOB USD3.00,

mendapat pembebasan bea masuk dan dipungut PPN senilai Rp184.000,00;

3. Burger bun tray, HS Code 8438.90.29, nilai FOB USD2.98, mendapat

pembebasan bea masuk dan dipungut PPN Rp85.000,00.

4. AMC 10 12 Math Club Comes with USB Flash drive, HS Code 8523.29.79,

nilai FOB USD0.45,00, dipungut PPN Rp5.000;

5. Metal Sheet Sample, HS Code 8442.50.00, nilai FOB0.28, dipungut

Rp4.000,00.

Dengan berlakunya PMK Nomor 199/PMK.010/2019 maka barang impor

dengan nilai FOB berapa pun dikenakan perlakuan PPN yang sama, yaitu dikenakan

tarif sesuai dengan besaran tarif PPN dikalikan dengan nilai impor. Pengenaan PPN ini

sesuai dengan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan

PPnBM sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun

2009 yang mengatur bahwa PPN dikenakan atas impor barang kena pajak dan di

dalamnya tidak diatur mengenai nilai de minimis.


140

Pendapat dari Asperindo yang menyatakan bahwa solusi untuk melindungi

industri dalam negeri adalah dengan melakukan pembinaan untuk memperkuat industri

dalam negeri dan meningkatkan kualitas produksi sehingga dapat mempunyai daya

saing yang tinggi bukan merupakan kewenangan DJBC. Terkait dengan penguatan

industri dalam negeri DJBC lebih pada perumusan kebijakan fiskal misalnya dengan

memberikan fasilitasi tarif dan insentif fiskal maupun prosedural bagi produsen dalam

negeri.

Senada dengan penelitian oleh Steven Pope, Cezary Sowiński and Ives Taelman

dalam penelitiannya yang berjudul Import Value De Minimis Level in Selected

Economies as Cause of Undervaluation of Imported Goods yang menemukan bahwa

underinvoicing merupakan fenomena yang hampir selalu terjadi dalam perdagangan

internasional. Keinginan untuk menghindari bea masuk dan pajak mungkin menjadi

satu-satunya alasan untuk perilaku ini. Praktik undervaluation juga dapat disebabkan

oleh ketidaksesuaian peraturan yang ada dari beberapa perekonomian nasional,

terutama tingkat nilai impor de minimis dan langkah-langkah fasilitasi perdagangan

lainnya (Pope, Sowiński, & Taelman).

Sementara Stephen Holloway dan Jeffrey Rae dalam World Customs Journal

menguraikan bahwa rezim de minimis membuat proses kepabeanan menjadi efisien dan

pembebasan bea masuk dan pajak lainnya. De minimis menghasilkan manfaat ekonomi

dengan memfokuskan kembali pengumpulan pendapatan publik pada sumber

pendapatan yang lebih efisien, mengurangi biaya yang ditanggung oleh importir, dan
141

mempercepat pengiriman impor. Nilai de minimis USD200 menghasilkan manfaat

ekonomi bersih terbesar, sekitar USD5,9 miliar per tahun untuk APEC-6, setara dengan

sekitar USD30,3 miliar untuk semua 21 anggota APEC (Holloway & Rae, De minimis

thresholds in APEC).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa agar penurunan nilai de

minimis dapat secara efektif mencapai tujuan perumusan kebijakan, khususnya tujuan

meningkatkan penerimaan negara, harus disertai dengan peningkatan SDM yang

menangani barang kiriman, perbaikan regulasi untuk mengurangi pemanfaatan loop

holes, dan peningkatan sarana pendukung pelaksanaan kebijakan.

D.2. Efisiensi

Perumus kebijakan berpendapat bahwa kebijakan de minimis FOB USD3.00

(tiga United States Dollars) efisien karena pelayanan impor barang kiriman e-

commerce secara bertahap akan menggunakan skema DDP. Dalam skema DDP market

place menyampaikan data barang-barang yang dijual di platform-nya (e-catalogue)

secara berkala, pemeriksaan pemberitahuan nilai barang dan data-data barang akan

dilakukan secara otomasi oleh sistem. Pembayaran bea masuk dan PPN juga dapat

dilakukan secara konsolidasi untuk lebih dari satu HAWB.

Pengguna kebijakan berpendapat bahwa kebijakan nilai de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) menambah beban administrasi penyelesaian

dokumen. Tidak ada pemisahan aplikasi barang kiriman reguler dengan barang kiriman

e-commerce. Kemudian bagi market place yang sudah menggunakan skema DDP
142

dalam penyerahan CN-nya tidak diwajibkan menggunakan skema tersebut dan masih

dapat memilih menggunakan skema reguler (non DDP). Kondisi ini menimbulkan

antrian pengeluaran barang kiriman.

Dari hasil kuesioner yang disebar kepada pelaksana kebijakan diperoleh nilai

2,47 yang artinya adalah kebijakan tersebut tidak efisien. Demikian juga dari hasil

wawancara dan FGD diperoleh hasil yang sejalan.

Ketidakefisienan penanganan barang kiriman ini disebabkan karena jumlah

dokumen yang diteliti oleh PDTT menjadi lebih banyak dan jumlah barang yang

diperiksa fisik juga meningkat. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah CN yang

nilai pabeannya diberitahukan kurang dari FOB USD3.00 (tiga United States Dollars).

Kondisi tersebut dilakukan untuk mengindari pengenaan BM. Terlebih lagi PMK

Nomor 199/PMK.010/2019 tidak mengatur tentang maksimal pembebasan per hari.

Mengenai peningkatan jumlah CN dengan nilai kurang dari FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh pejabat pengelola data

pada Direktorat IKC bahwa 75% barang kiriman diberitahukan dengan nilai kurang

dari FOB USD3.00 (tiga United States Dollars).

Sebagai gambaran, pada 2020 dari total CN yang disampaikan di KPUBC Tipe

C Soekarno Hatta sebanyak 45.843.405 dokumen. Yang diteruskan ke PDTT sebanyak

836.264 atau 1,82% dari total CN. Dengan asumsi jumlah hari kerja per bulan adalah

20 (dua puluh) hari kerja, maka setiap PDTT meneliti kurang lebih 3.000 CN per hari

kerja atau 375 CN per jam. Kondisi ini menunjukkan beban kerja setiap PDTT sangat

besar dan dapat mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian


143

pengeluaran barang lama atau dapat menjadi potensi berkurangnya ketelitian PDTT

dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap optimalisasi penerimaan BM dan PDRI.

Berdasarkan penelitian Stephen Holloway dan Jeffrey Rae dalam World

Customs Journal (Holloway & Rae, De minimis thresholds in APEC, 2012)

menguraikan bahwa rezim de minimis membuat proses kepabeanan menjadi efisien dan

pembebasan bea masuk dan pajak lainnya. De minimis menghasilkan manfaat ekonomi

dengan memfokuskan kembali pengumpulan pendapatan publik pada sumber

pendapatan yang lebih efisien, mengurangi biaya yang ditanggung oleh importir, dan

mempercepat pengiriman impor.

Dari pengguna jasa menilai tidak efisien dari sisi waktu pengeluaran barang dan

beban pajak yang harus ditanggung. Dalam PMK yang berlaku sebelumnya (PMK

Nomor 112/PMK.04/2018) nilai barang kiriman s.d. FOB USD75.00 (tujuh puluh lima

United States Dollars) dibebaskan PPN-nya sedangkan pada PMK Nomor

199/PMK.010/2019 semua barang dikenakan PPN tanpa ada batasan nilai minimum.

Dengan tidak adanya pengecualian terhadap pungutan PPN mengakibatkan tambahan

beban administrasi yang harus dilakukan oleh PJT.

D.3. Responsivitas dan Kecukupan

Dari hasil wawancara dengan perumus kebijakan, para perumus kebijakan

meyakini bahwa kebijakan yang diambil tidak akan dapat memuaskan keinginan semua

pihak. Pengusaha yang melakukan kegiatan e-commerce yang semula mendapat

“insentif” karena de minimis yang tinggi akan kontra terhadap penurunan nilai de
144

minimis, sebaliknya para pelaku industri dan perdagangan dalam negeri akan

menyambut baik kebijakan ini karena kebijakan ini diharapkan akan melidungi usaha

mereka.

Berdasarkan definisi pajak menurut Adriani pajak adalah iuran masyarakat

kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan umum (UU) dengan tidak mendapat prestasi kembali

yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan (Zain, 2007).

Menurut J.B Kristiadi pemerintah dapat mengendalikan pembangunan melalui

tiga kebijakan yang menjadi kekuatannya. Salah satu kekuatan pemerintah adalah

kekuatan untuk menegakkan hukum, dalam arti pemerintah memiliki kekuatan untuk

memaksa (power to coerce) bagi para pelaku ekonomi yang tidak mematuhi norma-

norma yuridis yang telah ditetapkan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pemerintah mempunyai hak

memaksakan kebijakan agar proses pembangunan dan kehidupan perekonomian

mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam hal ini pemerintah mempunyai

kepentigan untuk melindungi kelangsungan industri dalam negeri dengan memberikan

perlakuan perpajakan yang setara antara barang impor dan barang produksi dalam

negeri.

Penulis berpendapat bahwa dengan kebijakan de minimis yang berlaku saat ini

yang tidak diiringi dengan penambahan SDM yang signifikan dan peningkatan sarana
145

prasana untuk menyelesaikan pekerjaan menyebabkan peningkatan beban kerja bagi

pelaksana kebijakan. Kondisi ini dapat menimbulkan berkurangnya kualitas

penyelesaian pekerjaan, misalnya: penelitian nilai barang atau pemeriksaan fisik.

D.4. Ketepatan dan Keadilan

Menurut perumus kebijakan, kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United

States Dollars) adalah kebijakan yang tepat dan memenuhi rasa keadilan. Tetapi e-

commerce bersifat dinamis dan selalu berubah atau berkembang secara dinamis setiap

saat. Sehingga dalam penerapannya harus selalu dilakukan monitoring dan evaluasi.

Unsur keadilan ditujukan dengan perlakuan pajak yang sama antara transaksi e-

commerce cross border maupun transaksi yang dilakukan di dalam negeri (equal level

playing field).

Asperindo berpendapat nilai de minimis yang berlaku di negara lain relatif

tinggi dan atas barang impor yang berada dalam batas de minimis mendapat fasilitas

tidak dipungut PPN. Asperindo berpendapat bahwa kebijakan yang berlaku saat ini

tidak adil.

Asperindo sebagai pengguna kebijakan berpendapat bahwa penurunan nilai de

minimis untuk tujuan melindungi industri dalam negeri adalah kurang tepat, lebih baik

pemerintah melakukan pembinaan untuk memperkuat industri dalam negeri dan

meningkatkan kualitas produksi sehingga dapat mempunyai daya saing yang tinggi.

Sementara Apindo berpendapat bahwa penurunan nilai de minimis tepat karena


146

dimaksudkan untuk menghambat barang-barang impor agar lebih sulit masuk dengan

bebas BM dan PDRI,

Seperti yang telah diuraikan dalam indikator efektifitas, dalam PMK Nomor

182/PMK.04/2016 barang yang masih berada dalam batas nilai de minimis FOB

USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollars) dibebaskan dari bea masuk dan

PDRI. Sementara dengan PMK Nomor 199/PMK.010/2019 barang impor e-commerce

dengan nilai FOB berapa pun tetap dipungut PPN.

Pengenaan PPN atas barang yang diimpor dengan menggunakan skema apa

pun, apakah melalui impor umum, impor barang kiriman, dan impor lainnya tetap

merupakan objek PPN. Hal ini sejalan dengan regulasi dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mengatur bahwa PPN dikenakan atas

impor barang kena pajak. UU tersebut tidak diatur mengenai nilai de minimis. Terlebih

lagi PPN dikenakan atas semua transaksi di dalam negeri. Sehingga untuk menciptakan

keadilan perlakuan perpajakan maka pengenaan PPN atas impor barang e-commerce

adalah tepat dan adil.

Penulis sependapat dengan Apindo bahwa nilai de minimis yang rendah dapat

dipergunakan sebagai sarana untuk menekan impor barang-barang e-commerce yang

pada umumnya merupakan barang-barang konsumtif atau barang jadi. Tetapi dalam

pelaksanaannya karena keterbatasan sarana pendukung dan keterbatasan jumlah SDM

banyak ditemukan hambatan dalam mewujudkan ketepatan dan keadilan kebijakan ini.
147

E. Hambatan

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan analisis permasalahan,

maka dapat disimpulkan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) antara lain sebagai berikut.

1. Regulasi:

a. De minimis atas barang kiriman apa pun bentuknya apakah barang

kiriman reguler (B2B), barang kiriman e-commerce (B2C, C2C), atau

barang kiriman hadiah, tunduk kepada amanat dalam pasal 25 ayat (1)

huruf m Undang-undang Kepabeanan. Sementara di pihak lain,

pemerintah berkepentingan dalam melindungi industri dalam negeri dan

menciptakan equal level playing field atau menciptakan kesetaraan

pajak bagi para pelaku ekonomi. Untuk memenuhi kedua kondisi ini,

maka terhadap barang kiriman harus diberikan nilai de minimis

walaupun dengan nilai sekecil apapun. Penerapan de minimis yang

sangat rendah menimbulkan beban administrasi maupun pengawasan

baik bagi petugas Bea dan Cukai maupun bagi pengguna jasa;

b. Sistem official assesment atas barang kiriman yang merupakan amanah

dari pasal 16 ayat (2) Undang-undang Kepabeanan menjadi “insentif”

bagi pihak yang terkait dalam penyelesaian barang kiriman untuk

memberitahukan jumlah, jenis, nilai barang tidak sesuai;

c. Market place merupakan entitas yang baru muncul dalam perdagangan

e-commerce cross border dan karenanya regulasi kepabeanan belum


148

mengatur kewajiban market place dalam proses bisnis kepabeanan.

Kondisi ini berpotensi menjadi moral hazard bagi penyedia plat form

market place untuk mengabaikan regulasi kepabeanan;

2. SDM; pertumbuhan eksponensial e-commerce, khususnya pola perdagangan

transaksi secara langsung antara business-to-consumer (B2C) dan consumer-to-

consumer (C2C), dan peningkatan peran konsumen dalam transaksi individu, telah

menyebabkan pertumbuhan yang luar biasa dalam pengiriman barang-barang yang

berukuran relatif kecil namun dalam jumlah banyak telah meningkatkan beban

kerja. Sementara jumlah SDM yang melakukan penelitian atas barang e-commerce

belum memadai. Sebagai contoh CN yang masuk ke PDTT untuk diteliti lebih

lanjut sebanyak kurang lebih 3.000 dokumen per hari. Tingginya beban kerja ini

bukan merupakan beban kerja yang ideal dan dapat menjadi potensi melemahnya

kemampuan PDTT dalam melaksanakan tugasnya secara optimal;

3. Sarana pendukung pelaksanaan tugas terutama dari sisi teknologi masih sangat

terbatas. Dunia usaha bergerak dengan cepat beradaptasi dengan penggunaan

teknologi digital baru. Bea dan Cukai harus mengakomodasi pertumbuhan e-

commerce, selain dengan menyusun regulasi yang sesuai dengan tuntutan

perdagangan juga harus menerapkan teknik baru, seperti manajemen risiko dan

pemrosesan informasi dengan didukung sarana elektronik yang canggih, dalam

rangka memenuhi peran mereka dalam memfasilitasi perdagangan sekaligus

melindungi pendapatan dan masyarakat.


149

F. Tantangan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah Peneliti lakukan,

serta kemudian disandingkan dengan teori yang ada, maka dapat diketahui

beberapa tantangan implementasi kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan teknologi informasi; Indonesia menduduki peringkat kelima

jumlah pengguna internet. Tiongkok, India, Amerika Serikat secara berturut-

turut menduduki peringkat pertama sampai dengan peringkat ketiga teratas.

Sedangkan Brasil ada di peringkat keempat, dengan selisih 5,6 juta pengguna

dibandingkan Indonesia (Setyowati, 2020). Menurut survei tersebut, 96 %

pengguna internet pernah menggunakan e-commerce. Sedangkan menurut

intelegen GSMA dalam laporan Survey SIRCLO pada tahun 2025 diharapkan

adopsi smartphone mencapai 90% yang konsekuensinya jumlah penetrasi

pengguna internet diprediksikan akan meningkat juga sebesar 77% di tahun

2025. Saat ini telah diperkenalkan teknologi digital 5.0, bahkan di beberapa

negara maju telah diimplementasikan. Indonesia saat ini sedang

diimplementasikan teknologi digital 4.0. Indonesia akan semakin tertinggal

jauh apabila tidak mengikuti perkembangan teknologi informasi tersebut

dengan cepat.

2. Pandemi Covid-19; pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan ruang gerak

sosial manusia. Orang-orang harus tetap berada di rumah dan mengurangi

aktivitas sosial maupun ekonomi di luar rumah. Kondisi ini menjadi akselerasi
150

perkembangan perdagangan e-commerce, karena untuk melindungi kesehatan

dan keselamatan jiwa dan di sisi lain memenuhi keinginan atau kebutuhan

belanja mereka, orang-orang dapat memanfaatkan platform belanja online.

Terlebih lagi transaksi belanja online mulai dari pemilihan barang sampai

dengan pembayarannya dapat diselesaikan melalui gawai masing-masing,

3. Perkembangan e-commerce tidak dapat dihindari: peningkatan kegiatan

perdagangan melalui e-commerce lintas batas, khususnya transaksi pembelian

barang-barang berwujud (tangible goods) oleh penduduk Indonesia tahun

2017 sampai dengan 2019 meningkat sangat tajam. Prediksi peningkatan

penjualan e-commerce sebesar 44% pada tahun 2022. Bahkan diprediksikan

pada tahun 2025 terjadi penetrasi pasar e-commerce mencapai sebesar

USD133 miliar. Apabila industri dalam negeri tidak bisa bersaing maka

dipastikan Indonesia hanya menjadi pasar dan konsumen produk-produk luar

negeri. Peningkatan transaksi impor barang-barang e-commerce ini

merupakan tantangan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), karena

dalam kondisi apapun DJBC senantiasa harus mengedepankan misinya

memfasilitasi perdagangan dan industri, melindungi masyarakat dari

penyelundupan dan perdagangan ilegal, dan mengoptimalkan penerimaan

negara di sektor kepabeanan dan cukai.

4. Kepatuhan pajak rendah: masih banyak wajib pajak yang tidak jujur atau tidak

tahu adanya peraturan kebijakan ini. Wajib pajak masih kurang memahami

terkait fungsi pajak yang menyebabkan Wajib Pajak enggan untuk membayar
151

pajak atau melakukan kewajibannya. Padahal jika mereka tahu mengenai

fungsi pajak itu bahkan untuk masyarakat itu sendiri. Hal ini juga sering terjadi

karena banyak faktor negatif yang muncul di masyarakat seperti beredarnya

berita tentang korupsi pajak lambannya petugas pajak dalam pekerjaannya dan

faktor lainnya yang akan mempengaruhi wajib pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakan.

5. Industri dalam negeri yang belum kuat: industri dalam negeri yang belum kuat

menyebabkan barang-barang produksi dalam negeri tidak dapat bersaing

dengan produk luar negeri karena produk luar negeri harganya relatif lebih

murah dan memiliki kualitas yang setara dengan barang produksi dalam negeri.

6. Budaya masyarakat Indonesia: masyarakat Indonesia lebih memilih membeli

produk-produk impor dari pada produk dalam negeri. Terdapat dua alasan yang

berbeda terhadap perilaku ini yaitu dia belanja karena meninginkan merek-

merek terkenal atau perilaku belanja produk luar negeri karena produk luar

negeri jauh lebih murah. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa barang-barang

produk impor mempunya kualitas yang bagus dan harga yang lebih murah,

sehingga wajar jika konsumen memilih produk-produk impor. Berdasarkan

survei yang dilakukan oleh Sirclo dan Ravenry pada 2020 (Ravenry, 2020)

7. Pihak-pihak yang kurang mendukung:

a. Respon negara maju: pemberlakuan kebijakan de minimis FOB USD3.00

(tiga United States Dollars) tentu tidak didukung oleh negara-negara maju
152

yang selama ini menjadi pemasok barang-barang e-commerce ke Indonesia

seperti negara Amerika, China dan negara-negara maju lainnya.

b. Pengguna kebijakan yang merasa dirugikan: pengguna kebijakan yang

bergerak di impor barang kiriman mengeluhkan kebijakan de minimis FOB

USD3.00 (tiga United States Dollars) dan berpendapat bahwa cara yang

tepat untuk melindungi industri dalam negeri adalah memperkuat industri

tersebut dan meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan ilegal di bidang

impor.

G. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 dimana pada awal

berlakunya PMK 199/PMK.010/2019 beberapa penerbangan dari negara

yang selama ini menjadi pemasok barang-barang e-commerce ditutup.

Kemudian beberapa bulan setelah penerbangan dari negara pemasok

dibuka kembali, pengiriman barang-barang e-commerce diselesaikan

hanya di KPUBC Tipe C Soekarno Hatta dan tidak dilakukan di KPPBC

lainnya. Sedangkan penelitian ini mengabaikan kondisi-kondisi tersebut.

2. Wawancara dengan pengguna kebijakan (pelaku usaha) tidak didukung

dengan data statistik sehingga terdapat potensi jawaban-jawaban yang

disampaikan bersifat sangat subjektif. Disamping itu hanya tiga responden

pengguna kebijakan yang bersedia memberikan tanggapan atas kuesioner

yang disebarkan.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dan

sesuai dengan rumusan masalah, pertanyaan serta tujuan penelitian, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa:

1. Kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tampaknya

masih kurang efektif, yang artinya belum dapat mencapai sepenuhnya tujuan yang

diinginkan dari perumusan kebijakan tersebut. Hal ini tercermin dari:

a. Masih belum turunnya jumlah dan volume barang kiriman, meskipun

penerimaan sudah meningkat dan level of playing field sudah terpenuhi.

Kekurangefektifan tersebut didukung dengan membandingkan data

penerimaan dan jumlah dokumen CN yang diperoleh dari IKC

menunjukkan bahwa dalam periode Februari 2019 sampai dengan Januari

2020 dengan periode Februari 2020 sampai dengan Januari 2021. Dalam

periode tersebut terjadi peningkatan penerimaan sebesar 35,32% dari

peningkatan sebesar 100% yang diharapkan oleh Perumus Kebijakan.

Demikian halnya dalam periode yang sama jumlah dokumen CN

meningkat sebesar 5,04%;

b. Disamping itu berdasarkan teori William Dunn, hasil analisis dan

153
154

pembahasan menunjukkan bahwa dari ke 6 (enam) indikator / parameter

yang dikaji tersebut, hanya indikator efektivitas yang dapat digunakan

karena cukup objektif dengan didukung dan diperkuat dengan data primer

(kuesioner, wawancara, dan FGD) dan data sekunder.

c. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kebijakan dimaksud, kurang efektif.

2. Faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan de minimis

FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) diantaranya adalah jumlah SDM yang

terbatas yang tidak mampu mengimbangi pesatnya pertumbuhan e-commerce dan

kurangnya sarana dan prasarana pendukung pelayanan terutama penggunaan

teknologi digital/otomasi.

3. Tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan FOB USD3.00 (tiga

United States Dollars) diantaranya adalah:

a. perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat dan

dinamis sehingga memudahkan pembeli melakukan dan menyelesaikan

transaksi secara online;

b. pandemi Covid-19 yang membatasi gerak sosial masyarakat sehingga

cenderung untuk memilih belanja online; dan

c. kepatuhan pajak yang masih rendah.


155

B. Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang dapat menjadi pertimbangan bagi perumus

kebijakan di DJBC. Agar implementasi suatu kebijakan bisa lebih efektif, perlu

penyederhanaan prosedur proses bisnis dan penggunaan teknologi terkini berupa

otomasi, misalnya dengan mempercepat mandatori skema DDP yang sekarang

sedang dikembangkan oleh Direktorat Teknis Kepabeanan. Di samping itu juga

diperlukan:

a. Sinergi dan koordinasi dengan stakeholder dan pihak – pihak terkait

lainnya guna memperlancar pelayanan;

b. Meningkatkan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga lain dalam

perumusan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur atau membatasi

impor e-commerce;

c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kapabilitas pegawai;

d. Pemisahan aplikasi CEISA barang kiriman e-commerce dengan barang

kiriman reguler sehingga peningkatan jumlah barang kiriman e-commerce

tidak mengganggu kelancaran pelayanan atas barang kiriman reguler.

e. Pemberian edukasi, termasuk peningkatan kepatuhan terhadap pajak,

kepada pengguna jasa dan masyarakat;

f. Sarana dan prasarana yang mendukung.

Bila diperlukan, melakukan perubahan atau penggantian peraturan

sehingga dapat menjadi lebih tegas, jelas, sederhana dan efektif, misalnya

wacana untuk mengurangi/menurunkan nilai batas atas penggunaan dokumen


156

CN untuk barang kiriman sehingga diharapkan dapat mengurangi jumlah dan

volume impor e-commerce barang kiriman.

C. Penelitian Selanjutnya

Penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan, antara lain:


a. Penelitian lanjutan tentang e-commerce barang kiriman, secara kuantitatif

dan komprehensif, dengan periode penelitian yang lebih panjang;

b. Penyempurnaan validasi dan penelitian pemberitahuan nilai pabean oleh

marketplace yang menggunakan skema DDP;

c. Penelitian ketentuan kepabeanan dan sistem perpajakan yang tepat atas e-

commerce barang kiriman apakah sebaiknya menggunakan sistem official

assesment atau self assesment.

d. Penelitian tentang preferensi belanja e-commerce impor dengan adanya

perubahan nilai de minimis menjadi FOB USD3.00 (tiga United States

Dollars).
157

DAFTAR PUSTAKA

(APJII), A. P. (2021). https://apjii.or.id/survei. Retrieved from https://apjii.or.id/:


https://apjii.or.id/survei
(ICC), I. C. (2020). Incoterms 2020 by the International Chamber of Commerce
(ICC). ICC Publication.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. .Jakarta : Rineka
Cipta.
Badjuri, T., Abdulkahar, & Yuwono. (2002). Kebijakan Publik Konsep & Strategi.
Semarang: Undip Press.
Browning, E. K. (1979). Public Finance and the Price System. USA: Mac Millan
Publishing Co., Inc.
Dernburg, T. (1985). Macro Economics, Concepts, Theories, and Policies, 7th
edition. Singapore: McGraw-Hill Book Co.
Deyanputri, N. F. (2020). Pengaruh Kebijakan Penurunan Ambang Batas
Pembebasan Bea Masuk Nilai Impor Barang Kiriman (De Minimis) terhadap
Volume Impor Barang Kiriman Indonesia (PMK No. 199/PMK.10/2019).
Transparansi : Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 149-159.
Dunn, W. N. (2003). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
econ.go.id. (2019, December 30). https://ekon.go.id/. Retrieved from
https://ekon.go.id/publikasi/detail/127/implementasi-perpres-742017-tentang-
roadmap-e-commerce-2017-2019-dan-pembelajarannya.
Holloway, S., & Rae, J. (2012). De minimis thresholds in APEC. World Customs
Journal, Vol. 6 No. 1.
Holloway, S., & Rae, J. (n.d.). De minimis thresholds in APEC. World Customs
Journal , 31-62.
https://www.incotermsexplained.com/incoterms-2020/. (2020). Retrieved from
https://www.incotermsexplained.com.
158

Islamy, M. I. (2000). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Sinar


Grafika.
J., H., S., M., V., T., B., I., A., L., P., K., . . . O, C. (2014). The import VAT and duty
de-minimis in the European Union – Where should they be and what will be
the impact? Lausanne, Swizerland: HEC University of Lausanne.
Jony, W. (2010). Internet Marketing for Beginners. PT Elex Media Komputindo.
Kemenkeu. (n.d.).
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/de%20minimus%20value.pdf.
Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2012). Prinsip-prinsip Pemasaran (13 ed., Vol. I).
Jakarta: Erlangga.
Kristiadi, J. (1998). Pembangunan Administrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES .
Laudon, J. d. (1998). Essential of Management Information System. New Jersey:
Prentice Hall.
Lele, G. (2016). Pengelolaan Konflik dalam Kebijakan Publik. Jogjakarta: Penerbit
Gava Media.
Lester, J. P., & Jr., J. S. (2000). Public Policy: An Evolutionary Approach. .
California: Belmont: Wadsworth.
Li, & Seale. (2007). Learning to do Qualitative Data Analysis: An Observational
Study of Doctoral Work. Journal National Center for Biotechnology
Information, Volume 17 No. 10 , 1442–1452.
Mantissa. (n.d.). https://www.incotermsexplained.com/the-incoterms-rules/the-eleven-
rules-in-brief/delivered-duty-paid/. Retrieved from
https://www.incotermsexplained.com/:
https://www.incotermsexplained.com/the-incoterms-rules/the-eleven-rules-in-
brief/delivered-duty-paid/
Moleong. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1980). Public Finance in Theory and Practice.
New York: Mc Graw-Hill International Book Company.
Niranjanamurthy, M., Kavyashree, N., Jagannath, S., & Dharmendra, C. (2013).
Analysis of E-Commerce and M-Commerce: Advantages, Limitations and
Security Issues.
159

OECD. (2000). Economic Outlook. OECD.


Organization, W. C. (2018, June). WCO Cross-Border E-Commerce Framework of
Standards. Brussels, Belgia.
Pajak, O. (2018, Juli 25). https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-
pribadi/fungsi-pajak-bagi-pembangunan-bangsa-dan-
negara#:~:text=Fungsi%20Pajak%20Bagi%20Pembangunan%20Bangsa%2
0dan%20Negara&text=Secara%20garis%20besar%2C%20fungsi%20pajak,f
ungsi%20mengatur%20dan%20fungsi%20stabi. Retrieved from
https://www.online-pajak.com/.
Pope, S., Sowiński, C., & Taelman, I. (n.d.). Import value de minimis level in
selected economies as cause of undervaluation of imported goods. World
Customs Journal, 75-89.
Rafinska, K. (2020, Juli 23). https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-
efaktur/incoterms. Retrieved from https://www.online-pajak.com/.
Rafinska, K. (2020, Juli 23). https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-
efaktur/incoterms. Retrieved from https://www.online-pajak.com/:
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/incoterms
Ravenry, S. &. (2020). Navigating Indonesia's E-Commerce: Covid-19 Impact & The
Rise of Social Commerce. Jakarta.
Rosen, S. H. (1995). Public Finance, 4th ed. United States: Richard D. Irwin, Inc.
Savrul, M., & Strategy, C. K.-C. (2011). E-Commerce As An Alternative Strategy In
Recovery From The Recession. 7th International Strategic Management
Conference, Procedia Social and Behavioral Sciences 24 (pp. 247–259).
Elsevier.
Setyowati, D. (2020, November 9).
https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/5fa911794f3e6/pengguna-
internet-indonesia-naik-jadi-196-7-juta-peluang-bagi-startup. Retrieved from
https://katadata.co.id/.
Siregar, B. (2019, Desember 31). https://news.ddtc.co.id/menyikapi-penurunan-de-
minimis-18246. Retrieved from https://news.ddtc.co.id/:
https://news.ddtc.co.id/menyikapi-penurunan-de-minimis-18246
Stephen, L. R. (1984). Taxation For Development: Principles and Application. New
York: Oxford University Press.
160

Stiglitz, J. E. (1986). Economics of the Public Sector, first edition. New York-
London: W.W. Norton & Company.
Sugiyono. (2003). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Tahir, A. (2014). Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan. Bandung:
Alfabeta.
Wahab, S. (2008). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Wallner, J. (2008). Policy Studies Journal. Legitimacy and Public Policy: Seeing
Beyond Effectiveness, Efficiency and Performance , pp. 421-443.
Yapara, B. K., Bayrakdara, S., & Yapar, M. (2015). Science Direct, 642-648.
Yapara, B. K., Bayrakdara, S., & Yapar, M. (2015). ScienceDirect, 642-648.
Yusuf, H. (2020). Beda Preferensi Belanja Impor Barang Kiriman atas Perubahan
Batas Pembebasan Bea Masuk. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 20-35.
Zain, M. (2007). Manajemen Perpajakan, Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Empat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 2006
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4661)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor
105, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4755)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang yang


Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas dan Barang
Kiriman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 530)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 182/PMK . 04/2016 tentang Ketentuan


Barang Kiriman
161

Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 112/PMK.04/2018 tentang Perubahan atas


Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 182/PMK . 04/2016 tentang
Ketentuan Baang Kiriman
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan
Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman

Per-02/BC/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Impor Barang Kiriman


162

LAMPIRAN

Lampiran I

PEDOMAN OBSERVASI
Dalam pengamatan (observasi) yang dilakukan adalah mengamati kegiatan
penanganan dokumen impor barang kiriman yang menggunakan dokumen CN di
KPUBC Tipe C Soekarno Hatta meliputi:
A. Tujuan:
Untuk memperoleh informasi dan data mengenai penanganan dokumen impor
menggunakan barang kiriman yang menggunakan dokumen CN.
B. Aspek yang diamati
1. Alur penanganan barang kiriman CN (apakah semua melalui Xray? Dst)
2. Kondisi sarpras dan suasana penanganan dokumen impor menggunakan barang
kiriman yang menggunakan dokumen CN (jumlah computer, kondisi jaringan,
kapasitas dibandingkan jumlah dokumen dll)
3. Kondisi SDM yang menangani dokumen impor menggunakan barang kiriman
yang menggunakan dokumen CN (jumlah SDM dibandingkan dengan jumlah
dokumen)
4. Proses penelitian dokumen impor yang menggunakan barang kiriman yang
menggunakan dokumen CN secara umum oleh PDTT.
5. Proses penetapan tarif BM secara official assessment oleh PDTT.
6. Proses penagihan atas penetapan official assessment (pembayarannya dan
penagihannya bagi yang tdk bayar)
7. Apakah ada keberatan? (jumlah/prosentase)
8. Proses penanganan keberatan atas penetapan pungutan oleh PDTT.
163

Lampiran II

PANDUAN WAWANCARA

Narasumber : Bpk/Ibu/Sdr
Jabatan : ………………………………
Unit :

1. Apa definisi de minimis terkait dengan importasi barang kiriman dan apakah
semua negara di dunia memberikan de minimis?
2. Apa filosofi penetapan nilai de minimis sebesar FOB USD3.00 (tiga United States
Dollars)?
3. Pasal 26 ayat 1 huruf m Undang-undang Kepabeanan bicara yang berbunyi
“Pembebasan bea masuk diberikan atas impor: a. ...b... dst, m. barang pribadi
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai
batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; n....dst.”. apakah hal tersebut yang
menjadi dasar Bea Cukai Indonesia tetap memberikan pembebasan bea masuk
(BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap barang kiriman? Bisa
dijelaskan konsekuensi apabila DJBC tidak memberikan pembebasan?
4. Indonesia termasuk anggota WCO, bagaimana framework untuk nilai de minimis
berdasarkan WCO? Bagaimana konsekuensinya jika DJBC Indonesia tidak
memberikan pembebasan BM dan PDRI?
5. Dalam menyusun kebijakan publik terkait nilai de minimis ini apakah sudah
dilakukan sharing dengan pelaku usaha?
6. Dalam menyusun kebijakan publik terkait nilai de minimis ini apakah sudah
dilakukan sharing dengan pengguna kebijakan (kantor dan pegawai yang
menangani barkir)?
7. Dalam menyusun kebijakan publik terkait nilai de minimis ini apakah sudah
dilakukan analisa kesiapan sarana dan prasarananya?
8. Dalam menyusun kebijakan publik terkait nilai de minimis ini apakah sudah
dilakukan analisa kesiapan SDM-nya?
164

9. Apakah dalam menyusun kebijakan nilai de minimis ini diprediksikan dampak


yang akan terjadi? Bisa dijelaskan kemugkinan dampak yang akan terjadi?
10. Selama ini kita tahu bahwa perkembangan importasi barang kiriman akibat e-
commerce makin meningkat baik jumlah importasinya maupun volume
importasinya. Apakah menurut Bapak penurunan nilai de minimis sebesar FOB
USD3.00 (tiga United States Dollars) dapat menekan laju peningkatan jumlah dan
volumi impor barang kiriman?
11. Apakah menurut analisa Bapak kebijakan nilai de minimis sebesar FOB USD3.00
(tiga United States Dollars) dapat secara efektif mecapai tujuan kebijakan
tersebut?
12. Apakah menurut analisa bapak kebijakan nilai de minimis sebesar FOB USD3.00
(tiga United States Dollars) dapat secara efisien mecapai tujuan kebijakan
tersebut?
13. Salah satu tujuan kebijakan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States
Dollars) adalah untuk mengindari splitting.... Apakah benar demikian/ mohon
dijelaskan setentangnya.
14. Berdasarkan informasi awal diketahui bahwa saat ini tidak ada kebijakan anti
spliting, apakah hal tersebut disebabkan perumus kebijakan yakin bahwa dengan
kebijakan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) maka tidak
mungkin akan terdapat splitting?
15. Berdasarkan informasi awal diketahui bahwa saat ini terdapat fenomena adanya
spliting untuk menghindari peraturan larangan pembatasan, sementara dalam
kebijakan nilai de minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) tidak ada
kebijakan anti-splitting, bagaimana menurut Bapak?
16. Berdasarkan informasi awal diketahui bahwa saat ini ada indikasi pemberitahuan
underinvoicing, bagaimana menurut Bapak?
17. Apakah tujuan penetapan kebijakan nilai de minimis sebesar FOB USD3.00 (tiga
United States Dollars) dimaksudkan untuk keadilan atau untuk equal level playing
field? Jika benar, menurut Bapak adil bagi siapa saja?
18. Apakah sudah diprediksi bagaimana respon masyarakat terhadap kebijkan nilai de
minimis FOB USD3.00 (tiga United States Dollars)?
19. Bagaimana respon baik internal (pegawai, pelaku usaha lokal dan e-commerce)
maupun eksternal (dunia internasional)?
20. Menurut pandangan Bapak, bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul sebagai dampak dari kebijakan nilai de minimis sebesar
FOB USD3.00 (tiga United States Dollars) agar tercipta penyelesaian yang efektif,
efisien, adil, responsif, dan tepat?
165

Data informan: Bpk. Djanurindro


Alasan memilih Bpk. Djanurindro sebagai key informan karena pada saat perumusan
kebijakan PMK Nomor 199/PMK.010/2019 Bpk. Djanurindro menduduki jabatan
sebagai Kepala Sub Direktorat Impor pada Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC dan
mempunyai kompetensi tentang kebijakan de minimis FOB USD3.00 (tiga United
States Dollars).
166

Lampiran III

EVALUASI PENERAPAN NILAI DE MINIMIS BARANG KIRIMAN DI INDONESIA


(STUDI KASUS PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TIPE C
SOEKARNO HATTA)

Dengan Hormat,
Kami mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam kajian akademis yang
diselenggarakan oleh Pusdiklat Bea dan Cukai dengan topik Evaluasi Penerapan
Kebijakan Nilai De Minimis Barang Kiriman di Indonesia (Studi Kasus pada Kantor
Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta).

Kami sangat menghargai jika Anda mengisi kuesioner ini sesuai dengan kondisi yang
Anda pahami, amati, dan alami saat ini dengan sejujurnya.

KEJUJURAN ANDA PENTING UNTUK PERBAIKAN SISTEM PELAYANAN


DJBC
Kami menjamin kerahasiaan Anda yang terkait dengan pengisian kuesioner.
Diharapkan untuk segera mengirimkan kembali kuesioner ini kepada kami, baik
melalui alamat kantor atau hubungi Desak Ketut Juniari Cameng (081239996784)
email saktutj@gmail.com atau hubungi Wisnu Nugrahini (081358098733) emai
wisnunugrahini@kemenkeu.go.id selambat-lambatnya 1 minggu setelah Anda
menerima kuesioner ini.
Atas perhatian, bantuan dan kerjasama Anda, kami ucapkan terima kasih.
* Wajib
1. Nama *

2. NIP
167

3. Jenis Kelamin *
Tandai satu kotak saja.
☐ Laki-laki

☐ Perempuan
4. Pendidikan Terakhir *
Tandai satu kotak saja.
☐ SMA/K

☐ D1

☐ D3

☐ D4/S1

☐ S2

☐ S3
5. Pangkat/Golongan *
Tandai satu kotak saja.
☐ Pengatur Muda Tingkat I/II/b

☐ Pengatur/II/c

☐ Pengatur Tingkat I/II/d

☐ Pengatur Muda/III/a

☐ Pengatur Muda Tingkat I/III/b

☐ Penata/III/c

☐ Penata Tingkat I/III/d

☐ Pembina/IV/a

☐ Pembina Tingkat I/IV/b

☐ Pembina Utama Muda/IV/c ke atas


168

6. Unit Eselon II

7. Unit Eselon III

8. Unit Eselon IV

9. Fungsional BC

10. Lain-lain (Sebutkan Asal Instansi/Nama Perusahaan)

11. Alamat e-Mail

*Harap mengisi Identitas Responden secara LENGKAP agar kuesioner ini dapat kami
olah
169

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

EFEKTIVITAS
Efektivitas merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang bertujuan
menilai apakah implementasi kebijakan memberikan hasil dan dampak sesuai yang
diharapkan, apakah tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan apakah dampak
yang diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.
Pertanyaan:
1. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3
USD untuk barang kiriman saat ini berhasil menurunkan volume impor
barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☒ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3


USD untuk barang kiriman saat ini berhasil mendorong pertumbuhan industri
dalam negeri *

Tandai satu kotak saja.


170

1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3


USD untuk barang kiriman saat ini sesuai harapan *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman solutif terhadap permasalahan peningkatan jumlah
barang kiriman saat ini *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

5. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman saat ini perlu dilakukan penyempurnaan *
171

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

6. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

EFISIENSI
Efisiensi merupakan salah satu variable evaluasi kebijakan yang menilai hubungan
antara efektifitas dengan jumlah usaha yang digunakan atau diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi biasanya diukur dengan
perhitungan sumber daya yang digunakan untuk mencapai efektifitas tertinggi.
172

Sumber daya dapat berupa sumber daya modal/biaya, sarana dan prasarana, SDM,
dll.
Pertanyaan:
1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD
untuk barang kiriman saat ini menyebabkan pelayanan menjadi lebih lambat.
*

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☒ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Pengeluaran barang kiriman dengan nilai de minimis (pembebasan bea masuk)


sebesar FOB 3 USD membutuhkan biaya yang lebih tinggi (catatan: biaya yang
dimaksud dalam hal ini keseluruhan biaya penyelesaian kewajiban kepabeanan
termasuk sewa gudang, dll. selain bea masuk dan pajak dalam rangka impor).
*

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?
173

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KECAKUPAN
Kecakupan merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berkenaan
dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan atau memenuhi kebutuhan
nilai, atau apakah dari berbagai permasalahan yang timbul sudah tercakup semua di
dalam kebijakan tersebut.
Pertanyaan:
1. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk
barang kiriman yang ada saat ini memenuhi kebutuhan pelayanan penyelesaian
barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐
174

2. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman yang ada saat ini memenuhi kebutuhan pengawasan
(anti splitting, underinvoicing) penyelesaian barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk
barang kiriman yang ada saat ini memenuhi harapan pengguna jasa *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecakupan


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?
175

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KEADILAN
Keadilan merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berhubungan erat
dengan rasionalitas legal dan sosial serta menunjuk pada distribusi akibat dan usaha
antara kelompok yang berada dalam masyarakat tertentu. Dalam hal ini dapat berupa
equal treatment.
Pertanyaan:
1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD
untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan bagi pengguna jasa
(PJT, marketplace, pembeli (importir)). *

Tandai satu kotak saja.


176

1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan bagi UMKM *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☒ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keadilan


kebijakan barang kiriman?

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju
177

RESPONSIVITAS
Responsivitas merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berkenaan
dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok-kelompok dalam masyarakat tertentu, misalnya apakah kebijakan
tersebut memuaskan kebutuhan pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan,
bahkan bagi negara-negara internasional.
Pertanyaan:
1. Sarana dan prasarana yang dimiliki DJBC sudah siap untuk menangani jumlah
dokumen yang harus diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk barang
kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Sumber daya manusia yang dimiliki DJBC sudah siap untuk menangani jumlah
dokumen yang harus diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk barang
kiriman. *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐
178

3. Proses penyelesaian barang kiriman sejak penetapan nilai de minimis


(pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD sudah dirasakan memberikan
kepuasan kepada pengguna jasa *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan responsivitas


kebijakan barang kiriman?
179

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KETEPATAN
Ketepatan merupakan salah satu variable evaluasi kebijakan yang sangat
berhubungan dengan rasionalitas substantif yang merujuk pada tujuan program dan
kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan kebijakan tersebut. Hal ini berkaitan
erat dengan pertanyaan apakah kebijakan yang diimplementasikan tersebut sudah
tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Pertanyaan:
1. Penyelesaian masalah yang berkaitan dengan peraturan barang kiriman saat
ini melalui mekanisme penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk)
sebesar FOB 3 USD sudah tepat *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐
180

Pertanyaan Terbuka
1. Menurut pendapat Saudara, apakah hambatan dalam penerapan kebijakan
penetapan nilai de minimis sebesar FOB 3 USD sebagaimana diatur pada
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan
Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman? *

2. Menurut pendapat Saudara, apakah tantangan dalam penerapan kebijakan


penetapan nilai deminimis sebesar 3 USD sebagaimana diatur pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.10./2019 tentang Ketentuan Kepabeanan,
Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman? (mohon diberikan point dan
penjelasannya) *
181

3. Menurut pendapat Saudara, bagaimana solusi yang tepat untuk menciptakan


level playing field antara barang kiriman e-Commerce dengan barang eks
impor lainnya dan barang produksi dalam negeri? (mohon diberikan point dan
penjelasannya) *

4. Menurut pendapat Saudara, bagaimana solusi yang tepat untuk menciptakan


pelayanan penyelesaian barang perniagaan sesuai dengan harapan pengguna
jasa yaitu efektif, efisien, adil, responsive dan tepat ? (mohon diberikan point
dan penjelasannya) *

EVALUASI PENERAPAN NILAI DE MINIMIS BARANG KIRIMAN DI INDONESIA


(STUDI KASUS PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TIPE C
SOEKARNO HATTA)
182

Dengan Hormat,
Kami mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam kajian akademis yang
diselenggarakan oleh Pusdiklat Bea dan Cukai dengan topik Evaluasi Penerapan
Kebijakan Nilai De Minimis Barang Kiriman di Indonesia (Studi Kasus pada Kantor
Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta).

Kami sangat menghargai jika Anda mengisi kuesioner ini sesuai dengan kondisi yang
Anda pahami, amati, dan alami saat ini dengan sejujurnya.

KEJUJURAN ANDA PENTING UNTUK PERBAIKAN SISTEM PELAYANAN


DJBC
Kami menjamin kerahasiaan Anda yang terkait dengan pengisian kuesioner.
Diharapkan untuk segera mengirimkan kembali kuesioner ini kepada kami, baik
melalui alamat kantor atau hubungi Desak Ketut Juniari Cameng (081239996784)
email saktutj@gmail.com atau hubungi Wisnu Nugrahini (081358098733) email
wisnunugrahini@kemenkeu.go.id selambat-lambatnya 1 minggu setelah Anda
menerima kuesioner ini.
Atas perhatian, bantuan dan kerjasama Anda, kami ucapkan terima kasih.
* Wajib
1. Nama *

2. Jenis Kelamin *
Tandai satu kotak saja.
☐ Laki-laki

☐ Perempuan

3. Pendidikan Terakhir *
Tandai satu kotak saja.
183

☐ SMA/K

☐ D1

☐ D3

☐ D4/S1

☐ S2

☐ S3
4. Jenis Usaha *
Tandai satu kotak saja.
☐ PJT

☐ UMKM

*Harap mengisi Identitas Responden secara LENGKAP agar kuesioner ini dapat kami
olah

Petunjuk Pengisian
184

Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

EFEKTIVITAS
Efektivitas merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang bertujuan
menilai apakah implementasi kebijakan memberikan hasil dan dampak sesuai yang
diharapkan, apakah tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan apakah dampak
yang diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.
Pertanyaan:
1. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3
USD untuk barang kiriman saat ini berhasil menurunkan volume impor
barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD
untuk barang kiriman saat ini berhasil mendorong pertumbuhan industri dalam
negeri *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐
185

3. Peraturan untuk nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD
untuk barang kiriman saat ini sesuai harapan *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman solutif terhadap permasalahan peningkatan jumlah
barang kiriman saat ini *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

5. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman saat ini perlu dilakukan penyempurnaan *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐
186

6. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

EFISIENSI
Efisiensi merupakan salah satu variable evaluasi kebijakan yang menilai hubungan
antara efektifitas dengan jumlah usaha yang digunakan atau diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi biasanya diukur dengan
perhitungan sumber daya yang digunakan untuk mencapai efektifitas tertinggi.
Sumber daya dapat berupa sumber daya modal/biaya, sarana dan prasarana, SDM,
dll.
Pertanyaan:
187

1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman saat ini menyebabkan pelayanan menjadi lebih lambat.
*

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Pengeluaran barang kiriman dengan nilai de minimis (pembebasan bea masuk)


sebesar FOB 3 USD membutuhkan biaya yang lebih tinggi (catatan: biaya yang
dimaksud dalam hal ini keseluruhan biaya penyelesaian kewajiban kepabeanan
termasuk sewa gudang, dll. selain bea masuk dan pajak dalam rangka impor).
*

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?
188

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KECAKUPAN
Kecakupan merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berkenaan
dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan atau memenuhi kebutuhan
nilai, atau apakah dari berbagai permasalahan yang timbul sudah tercakup semua di
dalam kebijakan tersebut.
Pertanyaan:
1. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk
barang kiriman yang ada saat ini memenuhi kebutuhan pelayanan penyelesaian
barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman yang ada saat ini memenuhi kebutuhan pengawasan
(anti splitting, underinvoicing) penyelesaian barang kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5
189

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Peraturan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk
barang kiriman yang ada saat ini memenuhi harapan pengguna jasa *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecakupan


pelayanan dan pengawasan barang kiriman?

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KEADILAN
190

Keadilan merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berhubungan erat
dengan rasionalitas legal dan sosial serta menunjuk pada distribusi akibat dan usaha
antara kelompok yang berada dalam masyarakat tertentu. Dalam hal ini dapat berupa
equal treatment.
Pertanyaan:
1. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD
untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan bagi pengguna jasa
(PJT, marketplace, pembeli (importir)). *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD


untuk barang kiriman saat ini memenuhi rasa keadilan bagi UMKM *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keadilan


kebijakan barang kiriman?
191

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

RESPONSIVITAS
Responsivitas merupakan salah satu indikator evaluasi kebijakan yang berkenaan
dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok-kelompok dalam masyarakat tertentu, misalnya apakah kebijakan
192

tersebut memuaskan kebutuhan pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan,


bahkan bagi negara-negara internasional.
Pertanyaan:
1. Sarana dan prasarana yang dimiliki DJBC sudah siap untuk menangani jumlah
dokumen yang harus diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk barang
kiriman *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

2. Sumber daya manusia yang dimiliki DJBC sudah siap untuk menangani jumlah
dokumen yang harus diperiksa sehubungan dengan implementasi Peraturan
nilai de minimis (pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD untuk barang
kiriman. *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Proses penyelesaian barang kiriman sejak penetapan nilai de minimis


(pembebasan bea masuk) sebesar FOB 3 USD sudah dirasakan memberikan
kepuasan kepada pengguna jasa *

Tandai satu kotak saja.


193

1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Menurut Anda apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan responsivitas


kebijakan barang kiriman?
194

Petunjuk Pengisian
Untuk jawaban yang menggunakan rating scale, berikanlah salah satu alternatif
jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pilihan yang tersedia.

Pemberian skoring menggunakan itemized rating scale, dengan pemaknaan:


1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju

KETEPATAN
Ketepatan merupakan salah satu variable evaluasi kebijakan yang sangat
berhubungan dengan rasionalitas substantif yang merujuk pada tujuan program dan
kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan kebijakan tersebut. Hal ini berkaitan
erat dengan pertanyaan apakah kebijakan yang diimplementasikan tersebut sudah
tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Pertanyaan:
1. Penyelesaian masalah yang berkaitan dengan peraturan barang kiriman saat
ini melalui mekanisme penetapan nilai de minimis (pembebasan bea masuk)
sebesar FOB 3 USD sudah tepat *

Tandai satu kotak saja.


1 2 3 4 5

☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Pertanyaan Terbuka

1. Menurut pendapat Saudara, apakah hambatan dalam penerapan kebijakan


penetapan nilai de minimis sebesar FOB 3 USD sebagaimana diatur pada
195

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan


Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman? *

2. Menurut pendapat Saudara, apakah tantangan dalam penerapan kebijakan


penetapan nilai deminimis sebesar 3 USD sebagaimana diatur pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.10./2019 tentang Ketentuan Kepabeanan,
Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman? (mohon diberikan point dan
penjelasannya) *

3. Menurut pendapat Saudara, bagaimana solusi yang tepat untuk menciptakan


level playing field antara barang kiriman e-Commerce dengan barang eks
impor lainnya dan barang produksi dalam negeri? (mohon diberikan point dan
penjelasannya) *
196

4. Menurut pendapat Saudara, bagaimana solusi yang tepat untuk menciptakan


pelayanan penyelesaian barang perniagaan sesuai dengan harapan pengguna
jasa yaitu efektif, efisien, adil, responsive dan tepat ? (mohon diberikan point
dan penjelasannya) *

Lampiran IV

PEDOMAN FOCUS DISCUSS GROUP


197

1) Tim;

a. Moderator

b. Asisten Moderator/Co-fasilitator

c. Notulensi

d. Penghubung Peserta

e. Penyedia Logistik

f. Dokumentasi

2) Tempat dan Lay out:

a. Pusdiklat Bea dan Cukai Jakarta

b. Lay out U Table

3) Menyiapkan Logistik;

4 Jumlah Peserta :

a. Widyaiswara 1

b. Direktorat Teknis Kepabeanan

c. Direktorat KBP 2

d. KPUBC Tipe C Soekarno Hatta

5) Pelaksanaan FGD :

Moderator :

(a) membuka FGD,

(b) meminta klarifikasi,

(c) melakukan refleksi,

(d) memotivasi,
198

(e) probing (penggalian lebih dalam),

(f) melakukan blocking dan distribusi (mencegah ada peserta yang dominan dan

memberi kesempatan yang lain untuk bersuara),

(g) reframing,

(h) refokus,

(i) melerai perdebatan,

(j) memanfaatkan jeda (pause),

(k) menegosiasi waktu, dan

(l) menutup FGD

RIWAYAT HIDUP PENELITI


199

PENELITI I

Nama : Wisnu Nugrahini S.Pt., M.Si.

NIP : 197105061996032001

Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 06 Mei 1971

Unit Organisasi : Pusdiklat Bea dan Cukai


Jalan Bojana Tirta III, Rawamangun, Jakarta Timur

No. HP : 081358098733

e-mail : khusnusholehah@gmail.com

Riwayat Pekerjaan/Jabatan:

1. Kepala Seksi Pengadaan dan Penukaran, Direktorat Cukai 2002 s.d. 2003
2. Pemeriksa Bea dan Cukai Pratama,
KPBC Tipe A Khusus Tj. Priok I 2003 s.d. 2005
3. Kepala Seksi Kepabeanan IV, KPBC Tipe A Malang 2005 s.d. 2007
4. Kepala Subbagian Keuangan, Kanwil DJBC Jawa Timur I 2007 s.d. 2008
5. Kepala Subbagian Tata Usaha dan Keuangan,
Kanwil DJBC Jawa Timur I 2008 s.d. 2011
6. Kepala Seksi Perbendaharaan, KPPBC TMP Juanda 2011 s.d. 2014
7. Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V,
KPPBC TMP B Gresik 2014 s.d.
Oktober 2017
8. Kepala Seksi Administrasi Pengawasan di
Bidang Kepatuhan Internal, Kanwil Bali dan Nusa Tenggara Nov 2017
s.d Des 2017
200

Riwayat Pendidikan:

1. SDN II Bendoosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah 1983


2. SMPN I Sawit, Boyolali, Jawa Tengah 1986
3. SMA Batik Surakarta, Biologi 1989
4. S1, Universitas Gadjah Mada, Fakultas Peternakan 1994
5. S2, Universitas Indonesia,
FISIP Program Administrasi Perpajakan 2003

Keanggotaan Profesi Ilmiah: 1. Anggota APWI


2. Anggota INCU

Karya yang Pernah Dibuat:


1. The Impact of Import Duty Exemption Policy of Delivery Goods in Indonesia
2. Implementasi Metode Pembelajaran Blended Learning di Pusdiklat Bea dan Cukai
3. The Analisys of Cross Border E-Commerce in The Directorate General of
Indonesian Customs And Excise (DGCE)
4. The Implementation of Cross Border E-Commerce in The Directorate General of
Indonesian Customs and Excise (DGCE) and Asean
5. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau terhadap Produksi dan
Penerimaan Rokok Jenis SKM
201

PENELITI II

Nama : Desak Ketut Juniari Cameng

NIP : 197306071992122001

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar, 7 Juni 1973

Unit Organisasi : Pusdiklat Bea dan Cukai


Jalan Bojana Tirta III, Rawamangun, Jakarta Timur

No. HP : 081239996784

e-mail : saktutj@gmail.com

Riwayat Pekerjaan/Jabatan:

1. Widyaiswara Ahli Muda 2017 s.d.


sekarang
2. Kepala Seksi Keberatan dan Banding,
Kanwil DJBC Bali, NTB dan NTT 2014 s.d. 2017

Riwayat Pendidikan:

1. SDN I Gianyar 1985


2. SMPN I Gianyar 1988
3. SMAN I Gianyar 1991
4. Program Diploma III,
Spesialis Kepabeanan dan Cukai 1994
5. S1, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia 1998
6. S2, FISIP, Universitas Indonesia 2005
202

Karya yang Pernah Dibuat:


1. Kajian Akademis “Evaluasi Perbedaan Hasil Uji Kadar Konsentrat Tembaga
Antara Penelusuran Teknis yang Dilakukan oleh Surveyor dengan Hasil Uji
Laboratoris yang Dilakukan oleh Balai Laboratorium Bea dan Cukai Direktorat
Jenderal Bea: Sebuah Studi Kasus pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea
dan Cukai Tipe Madya Pabean C Sumbawa”;
2. Buku “Paradigma Baru Komunikasi Pemerintah di Era Revolusi Industri 4.0”,
Eri Haryanto dan Desak Ketut Juniari C, Tahun 2019, Penerbit Lembaga
Manajemen Trustco;
3. Buku “Rokok dapat Membuimu”, Edy Purwanto dan Desak Ketut Juniari, Tahun
2021, Penerbit Elexmedia Komputindo.
203

GLOSARIUM

Barang Larangan dan Pembatasan : barang yang dilarang dan/atau dibatasi impor atau
(Lartas) ekspornya berdasarkan ketentuan yang diatur oleh
Kementerian/Lembaga yang berwenang.

Consignment Notes (CN) : dokumen pengiriman barang yang selanjutnya


disebut Consignment Note adalah dokumen dengan
kode CN-22/CN-23 atau dokumen sejenis yang
merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang
antara pengirim barang dengan penyelenggara pos
untuk mengirimkan barang kiriman kepada
penerima barang.

Customs-Excise Information : sistem informasi kepabeanan dan cukai yang di


System and Automation (CEISA) dalamnya terdapat berbagai aplikasi, yang
digunakan untuk proses administrasi, pelayanan,
pengawasan, dan hal yang terkait dengan tugas dan
fungsi DJBC.

Delivery Duty Paid (DDP) : Perjanjian antara penjual dan pembeli dimana
penjual bertanggung jawab dalam pengaturan
pengangkutan dan pengiriman barang sampai ke
alamat pembeli, penyelesaian proses kepabeanan,
dan pembayaran bea masuk serta pajak-pajak impor
lainnya.

Harmonized System Code (HS : suatu daftar penggolongan barang yang dibuat
Code) secara sistematis dengan tujuan mempermudah
penarifan, transaksi, perdagangan, pengangkutan,
dan statistik.

House Airway Bill (HAWB) : Surat muatan udara yang dikeluarkan oleh
perusahaan jasa ekspor impor freight forwarder.

Master Airway Bill (MAWB) : Surat muatan udara yang dikeluarkan oleh
perusahaan penerbangan kargo udara.

Pejabat Fungsional Pemeriksa : PDTT merupakan pejabat fungsional di DJBC yang


Dokumen Tingkat Terampil mempunyai tugas dan fungsi melakukan penelitian
(PDTT) dokumen CN serta mengoreksi dan menetapkan
klasifikasi, pembebanan, dan nilai pabean.
204

Pemberitahuan Impor Barang : pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang


(PIB) impor yang diimpor untuk dipakai.

Pemberitahuan Impor Barang : Pemberitahuan Impor Barang Khusus yang


Khusus (PIBK) selanjutnya disingkat PIBK adalah pemberitahuan
pabean untuk pengeluaran barang impor tertentu
yang dikirim melalui penyelenggara pos.

Perusahaan Jasa Titipan (PJT) : penyelenggara pos yang memperoleh ijin usaha dari
instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat,
dokumen, dan paket sesuai peraturan perundang-
undangan di bidang pos.

Surat Penetapan Pembayaran Bea : dokumen terkait penetapan bea masuk dan pajak
Masuk, Cukai dan/ atau Pajak dalam rangka impor yang ditetapkan oleh petugas
(SPPBMCP) Bea dan Cukai, yang harus dibayarkan penerima
barang.

Tarif Bea Masuk Most Favoured : tarif bea masuk yang dikenakan atas barang impor
Nation (MFN) yang masuk ke suatu negara dari negara lainnya,
kecuali negara yang memiliki perjanjian khusus
mengenai tarif bea masuk dengan negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai