Anda di halaman 1dari 7

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : KONSEP DASAR ORANG SUCI


B. Kegiatan Belajar : Kegiatan Belajar 3(KB 3)

C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


1. Rohaniwan dalam ajaran agama Hindu yang bertugas
secara langsung mengantarkan suatu upacara dikenal
dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya
umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu: 1)
Pandita dan 2) Pinandita.
2. Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan
Pandita atau Sulinggih.
Konsep (Beberapa istilah 3. Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Bhiksuka,
1
dan definisi) di KB yang artinya masa kehidupan yang tidak lagi terikat
dengan harta milik melainkan hanya memusatkan
perhatian menuju kesucian diri.
4. Rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rrsi,
Empu, Pedanda, Bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang,
Bagawan.
5. Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan
Pinandita Pemangku, Wasi dan sejenisnya.
Pengertian Pandita dan Pinandita
1. Pengertian Pandita
Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita
atau Sulinggih. Dalam istilah nasional sering juga disebut
Pendeta. Kata dwijati berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu
dari kata dwi yang artinya dua dan jati berasal dari akar
kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah dari
kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang
Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam
Daftar materi pada KB
2 upacara madiksa, yaitu upacara pengesahan untuk menjadi
yang sulit dipahami
seorang Sulinggih atau Pandita dilakukan nuwum atau juga
disebut matapak. Istilah Pandita juga berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya: terpelajar, pintar, bijaksana (orang
arif bijaksana). Istilah Pedanda di Bali mengandung arti
yang sama dengan Dwijati. Mengenai istilah Wiku erat
hubungannya dengan Bhiksu (bahasa Sanskerta) yang
berasal dari kata Biksu artinya minta-minta. Bhiksu artinya
Pendeta mintaminta. seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi
terikat akan harta benda, dan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sepatutnya didukung dari bantuan/punia para
sisyanya (murid-muridnya). Dengan demikian seorang
wiku/Pendeta/Sulinggih akan dapat lebih memusatkan diri
pada kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan
keselamatan dunia. Istilah-istilah lain yang juga sering
digunakan di daerah Bali khususnya untuk menyebut
rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rrsi, Empu,
Pedanda, Bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang, Bagawan.
Istilah-istilah tersebut umumnya dipergunakan oleh
keluarga-keluarga tertentu yang diterima secara tradisi.
Untuk di daerah luar Bali juga ada sebutan sejenis seperti
Tomina (di Tana Toraja) Dukun di Tengger, Basir di
Kalimantan dan sebagainya.
2. Pengertian Pinandita
Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan
Pinandita Pemangku, Wasi dan sejenisnya. Pinandita adalah
rohaniwan yang bertugas selaku pembantu mewakili
Pandita, hal ini ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma
dalam Maha Sabha II Tahun 1968 yang menetapkan sebagai
berikut. Selaku pembantu mewakili Pendeta/Pandita
ditetapkan adanya Pinandita terdiri dari:
a) Pemangku
b) Wasi
c) Mangku Balian/Dukun
d) Mangku Dalang
e) Pengemban
Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu pura
tempatnya bertugas, sedangkan Wasi, atau Pinandita,
Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban tidak
selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu.
Status Pandita dan Pinandita
1. Status Pandita
Status Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong
Dwijati, yang artinya lahir dua kali yaitu kelahiran pertama
adalah kelahiran secara jasmaniah dari kandungan ibu.
Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani.
Sedangkan kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran
dari seorang guru suci yang disebut Nabe. Dalam arti
kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan suci
dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron-
guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui
upacara diksa atau pudgala
Pelaksanaan upacara diksa sebagai usaha pada kedua
(dwijati) ini bersifat merubah status yang bersangkutan
setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat. Ikatan
disiplin yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh
seorang diksita dikenal dengan istilah Catur Bandana
Dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan
kerohanian meliputi;
1) Amari Aran Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan
menjadi seorang Pandita melalui upacara diksa.
2) Amari Sesana Artinya meninggalkan tugas dan
kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan
mengganti dengan sesana kawikon.
3) Amari Wesa Artinya meninggalkan dan mengganti
atribut/tanda-tanda kewalakaannya dengan wesa atau
ciri-ciri/identitas Pandita. Pakaian saat memuja
memakai: a) Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada
dadanya b) Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah
ganitri yang dikenakan pada kedua bahunya. c) Kundala
yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari
rangkaian buah ganitri. d) Kantha bharata yaitu hiasan
pada leher. e) Karna bharata, hiasan pada telinga f)
Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang
dikenakan pada kedua pergelangan tangannya. g)
Bhawa, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan
ketu.
4) Umulahaken Kaguru Susrusan Yaitu melaksanakan
dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta
selalu hormat dan patuh kepada guru (Nabe) termasuk
keluarganya. Kesemua ciriciri/identitas tersebut hanya
boleh digunakan oleh seseorang yang telah resmi
menjadi Pandita/Pendeta setelah melalui proses yang
telah ditentukan.
2. Status Pinandita
Status Pinandita/Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, dan
sejenisnya tergolong dalam tingkat Ekajati. Walaupun bagi
seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya
juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan
yang dipelajari tidaklah setinggi Pandita/Sulinggih. Weda
yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang
berhubungan dengan pangastawa. Upacara
pengesahannnyapun jauh berbeda dengan pengesahan
menjadi Pandita/Sulinggh. Upacara yang dilakukan untuk
seorang Pinandita hanya sampai pada tingkat pawintenan.
Seorang Pinandita/Pemangku dalam melaksanakan
tugasnya tidak boleh mempergunakan alat pemujaan
sebagaimana alat pemujaan Pandeta/Sulinggih demikian
pula tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau
patanganan (gerak tangan yang bersifat magis yang
dilakukan oleh Pandita/Sulinggih pada waktu
melaksanakan pemujaan). Pelanggaran dalam hal ini
disebut nyumuka artinya angwikoni awaknya dawak yang
artinya menjadikan dirinya sendiri selaku Pandita yang
sesungguhnya belum berwenang untuk itu. Bagi seorang
Pinandita/Pemangku memiliki sesana khusus yang disebut
Sesananing Pemangku antara lain:
1) Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku
melaksanakan tugasnya disesuaikan dengan ketentuan
dalam lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih serta Gagelaran
Pemangku.
2) Bagi Pemangku Dalang, sesananya/gagelaran/agem-
agemnya sesuai dengan Dharmaning Padalangan,
Panyudamalan dan Nyapu Leger.
Wewenang Pandita dan Pinandita
1. Wewenang Pandita
Kewenangan seorang Sulinggih tidak secara otomatis
diperoleh setelah menyelesaikan upacara padiksan,
melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat
memberi legalitas. Pengesahan tersebut terkadang harus
dilalui dalam beberapa tahapan lagi. Untuk berwenang
menggunakan weda dan menyelesaikan upacara-upacara
tingkat sederhana seorang Sulinggih/Pandita yang telah
madiksa harus melaksanakan upacara Ngalinggihang Weda
yang disaksikan oleh Nabenya serta Wiku Saksi lainnya.
Pada upacara ini seorang Sulinggh dites kembali apakah
yang bersangkutan sudah menguasai Weda dengan baik
atau belum. Dengan adanya ketentuan seorang
Sulinggih/Pandita amari sesana maka seorang
Pandita/Sulinggih, dibebaskan dari tugas-tugas dan
kewajiban selalu warga masyarakat umum. Tugas dan
kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya adalah
melaksanakan pemujaan yang dikenal dengan Nyurya
Sewana. Nyurya Sewana yaitu melaksanakan pemujaan
untuk menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan
kebahagiaan semua makhluk di dunia ini (sarwa prani
hitakkarah). Pemujaan ini biasanya dilaksanakan di
Merajan/tempat suci yang ada di rumahnya masing-masing.
Tugas dan kewajiban harus dilaksanakan setiap hari kecuali
karena sakit. Sesuai dengan Keputusan Maha Sabha II
Parisada Hindu Dharma Pusat Tahun 1968, ditetapkan
fungsi/tugas kewajiban Pandita sebagai berikut:
Fungsi/tugas kewajiban Pendita (Ngloka Para Sraya) :
a) Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai
kebahagiaan lahir batin,
b) Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya.
Dalam hubungannya dengan pembinaan umat menuju
kepada kemantapan pelaksanaan ajaran agama, seorang
Pandita juga sangat diharapkan untuk melaksanakan tugas-
tugas:
1) Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan
ucap sastra (pustaka lontar) yang mengaturnya.
2) Pandita agar berkenan membimbing untuk
meningkatkan kesucian dan kemampuan para
Pinandita/Pemangku.
3) Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan,
memantapkan dan meningkatkan ajaran agama
dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.
4) Pandita di samping memimpin menyelesaikan upacara
yadnya, juga patut memberikan Upadesa untuk
memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama
Hindu.
Wewenang Pinandita
Secara umum semua jenis Pinandita/Pemangku dengan
berbagai sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh
lebih kecil dibandingkan dengan Pandita/Sulinggih dalam
hal mengantarkan yadnya. Adapun kewenangan Pinandita
atau Pemangku sebagai berikut. Dalam Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas
kewenangan seorang Pinandita/Pemangku dijabarkan
sebagai berikut :
1) Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang
diamongnya.
2) Dapat ngeloka para sraya sampai dengan Madudus Alit,
sesuai dengan tingkat pawintenannya dan juga atas
panugrahan Sulingggih.
3) Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih,
dandanan rambut wenang agotra, berambut panjang,
anyondong, menutup kepala dengan destar.
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya,
maka kewenangan Pinandita/Pemangku adalah sebagai
berikut:
1. Menyelesaikan Upacara Pujawali atau Piodalan sampai
tingkat Piodalan pada Pura yang diemongnya..
2. Apabila Pinandita menyelesaikan upacara diluar Pura
yang diemongnya atau Upacara Yadnya tersebut bersifat
rutin, seperti Pujawali
3. Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin
di dalam Pura dengan Nganteb.
4. Dalam penyelesaian Upacara Bhuta Yadnya atau Caru,
Pinandita diberi wewenang muput Upacara Bhuta Yadnya
tersebut maksimal sampai dengan tingkat Panca Sata
dengan menggunakan tirtha Sulinggih.
5. Dalam hubungan dengan muput Upacara Manusa Yadnya,
Pinandita diberi wewenang mulai dari Upacara Bayi Lahir
sampai dengan Otonan biasa dengan menggunakan tirtha
Sulinggih.
6. Dalam hubungan dengan muput Upacara Pitra Yadnya,
Pinandita diberi wewenang sampai Mendem Sawa sesuai
Dreta yang berlaku.
Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita
1. Syarat-Syarat Calon Pandita
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Laki yang sudah kawin.
2) Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
3) Wanita yang sudah kawin.
4) Wanita yang tidak kawin (Kanya)
5) Pasangan suami-istri.
6) Umur sudah dewasa
7) Paham dalam bahasa Kawi, Sanskerta, dan Indonesia.
Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-
ajaran agama (filsafat, etika dan ritual).
8) Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak (cacat
tubuh) dan berbudi luhur.
9) Mendapat tanda kesediaan dari Pandita calon Nabenya
yang akan menyucikan
Di samping syarat-syarat tersebut dalam hubungan antara
nabe dengan sisya (calon diksita) itu sendiri justru yang
lebih mendapat perhatian adalah aspek mental dan
spiritualnya atau aspek kepribadiannya. Oleh karena itu
dalam sistem aguron-guron dikenal adanya hubungan
timbal balik yang sangat erat antara diksita dengan
Nabenya. Bila seseorang sisya diksita berperilaku yang tidak
terpuji setelah disahkan menjadi Sulinggih, yang terkena
nodanya tidak hanya yang bersangkutan melainkan juga
mencemari kesucian Nabenya.

2. Syarat-syarat Calon Pinandita


Dalam aspek mental spiritual, seorang calon
Pinandita/Pemangku juga sangat diperhatikan. Tindakan
dan perilaku Pinandita/Pemangku yang tidak terpuji, tidak
saja mencemari dirinya sendiri tetapi juga dipandang akan
menodai lingkungannya. Bilamana seorang
Pinandita/Pemangku yang telah diresmikan melalui
upacara pawintenan, berbuat yang menyalahi aturan, ia
wajib mengulang lagi melaksanakan tata cara penyucian
diri. Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam
pemilihan Calon Pinandita/Pemangku antara lain:
1) Melalui Nyanjan
2) Melalui Keturunan
3) Melalui Pemilihan
Betapapun juga tugas seorang rohaniwan, apakah yang
tergolong Ekajati (Pemangku/Pinandita) lebih-lebih yang
tergolong Dwijati (Sulinggih/Pandita) adalah cukup berat.
Oleh karena itu pula, timbal baliknya yaitu berupa
perhatian dan penghargaan dari masyarakat umat itu
sendiri juga patut diberikan sewajarnya agar rohaniawan
yang dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan, itu dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan
peranannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan.
Status Pinandita/Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, dan
sejenisnya tergolong dalam tingkat Ekajati. Walaupun bagi
seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya
juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan
yang dipelajari tidaklah setinggi Pandita/Sulinggih. Weda
yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang
berhubungan dengan pangastawa. Upacara
Daftar materi yang sering
pengesahannnyapun jauh berbeda dengan pengesahan
3 mengalami miskonsepsi
dalam pembelajaran menjadi Pandita/Sulinggh. Dengan tingkatan upacara
seperti ini tidak membawa perubahan status sebagaimana
yang dilakukan bagi seorang Pandita/Sulinggih. Seorang
Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian
sebagai layaknya masyarakat biasa, masih memiliki tugas
dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai
seorang walaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama
yang baru, sebagaimana bhiseka seorang Pandita/Sulinggih.

Anda mungkin juga menyukai