1. Rohaniwan dalam ajaran agama Hindu yang bertugas secara langsung mengantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu: 1) Pandita dan 2) Pinandita. 2. Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih. Konsep (Beberapa istilah 3. Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Bhiksuka, 1 dan definisi) di KB yang artinya masa kehidupan yang tidak lagi terikat dengan harta milik melainkan hanya memusatkan perhatian menuju kesucian diri. 4. Rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rrsi, Empu, Pedanda, Bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang, Bagawan. 5. Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita Pemangku, Wasi dan sejenisnya. Pengertian Pandita dan Pinandita 1. Pengertian Pandita Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih. Dalam istilah nasional sering juga disebut Pendeta. Kata dwijati berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata dwi yang artinya dua dan jati berasal dari akar kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam Daftar materi pada KB 2 upacara madiksa, yaitu upacara pengesahan untuk menjadi yang sulit dipahami seorang Sulinggih atau Pandita dilakukan nuwum atau juga disebut matapak. Istilah Pandita juga berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya: terpelajar, pintar, bijaksana (orang arif bijaksana). Istilah Pedanda di Bali mengandung arti yang sama dengan Dwijati. Mengenai istilah Wiku erat hubungannya dengan Bhiksu (bahasa Sanskerta) yang berasal dari kata Biksu artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta mintaminta. seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi terikat akan harta benda, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sepatutnya didukung dari bantuan/punia para sisyanya (murid-muridnya). Dengan demikian seorang wiku/Pendeta/Sulinggih akan dapat lebih memusatkan diri pada kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan keselamatan dunia. Istilah-istilah lain yang juga sering digunakan di daerah Bali khususnya untuk menyebut rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rrsi, Empu, Pedanda, Bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang, Bagawan. Istilah-istilah tersebut umumnya dipergunakan oleh keluarga-keluarga tertentu yang diterima secara tradisi. Untuk di daerah luar Bali juga ada sebutan sejenis seperti Tomina (di Tana Toraja) Dukun di Tengger, Basir di Kalimantan dan sebagainya. 2. Pengertian Pinandita Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita Pemangku, Wasi dan sejenisnya. Pinandita adalah rohaniwan yang bertugas selaku pembantu mewakili Pandita, hal ini ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II Tahun 1968 yang menetapkan sebagai berikut. Selaku pembantu mewakili Pendeta/Pandita ditetapkan adanya Pinandita terdiri dari: a) Pemangku b) Wasi c) Mangku Balian/Dukun d) Mangku Dalang e) Pengemban Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu pura tempatnya bertugas, sedangkan Wasi, atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Status Pandita dan Pinandita 1. Status Pandita Status Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dwijati, yang artinya lahir dua kali yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmaniah dari kandungan ibu. Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani. Sedangkan kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci yang disebut Nabe. Dalam arti kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron- guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui upacara diksa atau pudgala Pelaksanaan upacara diksa sebagai usaha pada kedua (dwijati) ini bersifat merubah status yang bersangkutan setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat. Ikatan disiplin yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita dikenal dengan istilah Catur Bandana Dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian meliputi; 1) Amari Aran Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi seorang Pandita melalui upacara diksa. 2) Amari Sesana Artinya meninggalkan tugas dan kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan mengganti dengan sesana kawikon. 3) Amari Wesa Artinya meninggalkan dan mengganti atribut/tanda-tanda kewalakaannya dengan wesa atau ciri-ciri/identitas Pandita. Pakaian saat memuja memakai: a) Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada dadanya b) Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah ganitri yang dikenakan pada kedua bahunya. c) Kundala yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari rangkaian buah ganitri. d) Kantha bharata yaitu hiasan pada leher. e) Karna bharata, hiasan pada telinga f) Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang dikenakan pada kedua pergelangan tangannya. g) Bhawa, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan ketu. 4) Umulahaken Kaguru Susrusan Yaitu melaksanakan dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta selalu hormat dan patuh kepada guru (Nabe) termasuk keluarganya. Kesemua ciriciri/identitas tersebut hanya boleh digunakan oleh seseorang yang telah resmi menjadi Pandita/Pendeta setelah melalui proses yang telah ditentukan. 2. Status Pinandita Status Pinandita/Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, dan sejenisnya tergolong dalam tingkat Ekajati. Walaupun bagi seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah setinggi Pandita/Sulinggih. Weda yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang berhubungan dengan pangastawa. Upacara pengesahannnyapun jauh berbeda dengan pengesahan menjadi Pandita/Sulinggh. Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya sampai pada tingkat pawintenan. Seorang Pinandita/Pemangku dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh mempergunakan alat pemujaan sebagaimana alat pemujaan Pandeta/Sulinggih demikian pula tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau patanganan (gerak tangan yang bersifat magis yang dilakukan oleh Pandita/Sulinggih pada waktu melaksanakan pemujaan). Pelanggaran dalam hal ini disebut nyumuka artinya angwikoni awaknya dawak yang artinya menjadikan dirinya sendiri selaku Pandita yang sesungguhnya belum berwenang untuk itu. Bagi seorang Pinandita/Pemangku memiliki sesana khusus yang disebut Sesananing Pemangku antara lain: 1) Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya disesuaikan dengan ketentuan dalam lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih serta Gagelaran Pemangku. 2) Bagi Pemangku Dalang, sesananya/gagelaran/agem- agemnya sesuai dengan Dharmaning Padalangan, Panyudamalan dan Nyapu Leger. Wewenang Pandita dan Pinandita 1. Wewenang Pandita Kewenangan seorang Sulinggih tidak secara otomatis diperoleh setelah menyelesaikan upacara padiksan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat memberi legalitas. Pengesahan tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan lagi. Untuk berwenang menggunakan weda dan menyelesaikan upacara-upacara tingkat sederhana seorang Sulinggih/Pandita yang telah madiksa harus melaksanakan upacara Ngalinggihang Weda yang disaksikan oleh Nabenya serta Wiku Saksi lainnya. Pada upacara ini seorang Sulinggh dites kembali apakah yang bersangkutan sudah menguasai Weda dengan baik atau belum. Dengan adanya ketentuan seorang Sulinggih/Pandita amari sesana maka seorang Pandita/Sulinggih, dibebaskan dari tugas-tugas dan kewajiban selalu warga masyarakat umum. Tugas dan kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya adalah melaksanakan pemujaan yang dikenal dengan Nyurya Sewana. Nyurya Sewana yaitu melaksanakan pemujaan untuk menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia ini (sarwa prani hitakkarah). Pemujaan ini biasanya dilaksanakan di Merajan/tempat suci yang ada di rumahnya masing-masing. Tugas dan kewajiban harus dilaksanakan setiap hari kecuali karena sakit. Sesuai dengan Keputusan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Pusat Tahun 1968, ditetapkan fungsi/tugas kewajiban Pandita sebagai berikut: Fungsi/tugas kewajiban Pendita (Ngloka Para Sraya) : a) Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin, b) Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya. Dalam hubungannya dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan pelaksanaan ajaran agama, seorang Pandita juga sangat diharapkan untuk melaksanakan tugas- tugas: 1) Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar) yang mengaturnya. 2) Pandita agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para Pinandita/Pemangku. 3) Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan meningkatkan ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman. 4) Pandita di samping memimpin menyelesaikan upacara yadnya, juga patut memberikan Upadesa untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama Hindu. Wewenang Pinandita Secara umum semua jenis Pinandita/Pemangku dengan berbagai sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pandita/Sulinggih dalam hal mengantarkan yadnya. Adapun kewenangan Pinandita atau Pemangku sebagai berikut. Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas kewenangan seorang Pinandita/Pemangku dijabarkan sebagai berikut : 1) Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang diamongnya. 2) Dapat ngeloka para sraya sampai dengan Madudus Alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya dan juga atas panugrahan Sulingggih. 3) Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya, maka kewenangan Pinandita/Pemangku adalah sebagai berikut: 1. Menyelesaikan Upacara Pujawali atau Piodalan sampai tingkat Piodalan pada Pura yang diemongnya.. 2. Apabila Pinandita menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau Upacara Yadnya tersebut bersifat rutin, seperti Pujawali 3. Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura dengan Nganteb. 4. Dalam penyelesaian Upacara Bhuta Yadnya atau Caru, Pinandita diberi wewenang muput Upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat Panca Sata dengan menggunakan tirtha Sulinggih. 5. Dalam hubungan dengan muput Upacara Manusa Yadnya, Pinandita diberi wewenang mulai dari Upacara Bayi Lahir sampai dengan Otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih. 6. Dalam hubungan dengan muput Upacara Pitra Yadnya, Pinandita diberi wewenang sampai Mendem Sawa sesuai Dreta yang berlaku. Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita 1. Syarat-Syarat Calon Pandita Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut: 1) Laki yang sudah kawin. 2) Laki-laki yang Nyukla Brahmacari 3) Wanita yang sudah kawin. 4) Wanita yang tidak kawin (Kanya) 5) Pasangan suami-istri. 6) Umur sudah dewasa 7) Paham dalam bahasa Kawi, Sanskerta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran- ajaran agama (filsafat, etika dan ritual). 8) Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak (cacat tubuh) dan berbudi luhur. 9) Mendapat tanda kesediaan dari Pandita calon Nabenya yang akan menyucikan Di samping syarat-syarat tersebut dalam hubungan antara nabe dengan sisya (calon diksita) itu sendiri justru yang lebih mendapat perhatian adalah aspek mental dan spiritualnya atau aspek kepribadiannya. Oleh karena itu dalam sistem aguron-guron dikenal adanya hubungan timbal balik yang sangat erat antara diksita dengan Nabenya. Bila seseorang sisya diksita berperilaku yang tidak terpuji setelah disahkan menjadi Sulinggih, yang terkena nodanya tidak hanya yang bersangkutan melainkan juga mencemari kesucian Nabenya.
2. Syarat-syarat Calon Pinandita
Dalam aspek mental spiritual, seorang calon Pinandita/Pemangku juga sangat diperhatikan. Tindakan dan perilaku Pinandita/Pemangku yang tidak terpuji, tidak saja mencemari dirinya sendiri tetapi juga dipandang akan menodai lingkungannya. Bilamana seorang Pinandita/Pemangku yang telah diresmikan melalui upacara pawintenan, berbuat yang menyalahi aturan, ia wajib mengulang lagi melaksanakan tata cara penyucian diri. Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan Calon Pinandita/Pemangku antara lain: 1) Melalui Nyanjan 2) Melalui Keturunan 3) Melalui Pemilihan Betapapun juga tugas seorang rohaniwan, apakah yang tergolong Ekajati (Pemangku/Pinandita) lebih-lebih yang tergolong Dwijati (Sulinggih/Pandita) adalah cukup berat. Oleh karena itu pula, timbal baliknya yaitu berupa perhatian dan penghargaan dari masyarakat umat itu sendiri juga patut diberikan sewajarnya agar rohaniawan yang dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan, itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan. Status Pinandita/Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, dan sejenisnya tergolong dalam tingkat Ekajati. Walaupun bagi seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah setinggi Pandita/Sulinggih. Weda yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang berhubungan dengan pangastawa. Upacara Daftar materi yang sering pengesahannnyapun jauh berbeda dengan pengesahan 3 mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran menjadi Pandita/Sulinggh. Dengan tingkatan upacara seperti ini tidak membawa perubahan status sebagaimana yang dilakukan bagi seorang Pandita/Sulinggih. Seorang Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian sebagai layaknya masyarakat biasa, masih memiliki tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama yang baru, sebagaimana bhiseka seorang Pandita/Sulinggih.