Anda di halaman 1dari 14

STUDI KEPANDITAAN

A. Pengertian Pandita dan Pinandita


1. Pengertian Pandita
Rohaniwan dalam ajaran agama Hindu yang bertugas secara langsung
mengantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat
penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu: 1) Pandita dan 2)
Pinandita.
Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih. Dalam
istilah nasional sering juga disebut Pendeta. Kata dwijati berasal dari bahasa Sanskerta,
yaitu dari kata dwi yang artinya dua dan jati berasal dari akar kata jati artinya lahir. Lahir
yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang
Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam upacara madiksa, yaitu upacara
pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau Pandita dilakukan nuwum atau juga
disebut matapak.
Istilah Pandita juga berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya: terpelajar, pintar,
bijaksana (orang arif bijaksana). Istilah Pedanda di Bali mengandung arti yang sama
dengan Dwijati. Mengenai istilah Wiku erat hubungannya dengan Bhiksu (bahasa
Sanskerta) yang berasal dari kata Biksu artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta
minta-minta.
Dalam Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Bhiksuka, yang artinya masa
kehidupan yang tidak lagi terikat dengan harta milik melainkan hanya memusatkan
perhatian menuju kesucian diri. Untuk menyambung hidupnya hanya mengandalkan
dengan minta-minta.
Demikian pula halnya seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi terikat akan harta
benda, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sepatutnya didukung dari bantuan/punia
para sisyanya (murid-muridnya). Dengan demikian seorang wiku/Pendeta/Sulinggih akan
dapat lebih memusatkan diri pada kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan keselamatan
dunia.
Istilah-istilah lain yang juga sering digunakan di daerah Bali khususnya untuk
menyebut rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rsi, Mpu, Pedanda, Bujangga,
Senggu, Dukuh, Danghyang, Bhagawan. Istilah-istilah tersebut umumnya dipergunakan
oleh keluarga-keluarga tertentu yang diterima secara tradisi. Untuk di daerah luar Bali juga
ada sebutan sejenis seperti Tomina (di Tana Toraja) Dukun di Tengger, Basir di
Kalimantan dan sebagainya.

2. Pengertian Pinandita
Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita, Pemangku, Wasi
dan sejenisnya. Pinandita adalah rohaniwan yang bertugas selaku pembantu mewakili
Pandita, hal ini ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II Tahun 1968
yang menetapkan sebagai berikut.
Selaku pembantu mewakili Pendeta/Pandita ditetapkan adanya Pinandita terdiri
dari:
a) Pemangku
b) Wasi
c) Mangku Balian/Dukun
d) Mangku Dalang
e) Pengemban
Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu pura tempatnya bertugas,
sedangkan Wasi, Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban tidak
selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Oleh karena itu mereka
umumnya seperti melaksanakan tugas selaku rohaniwan yang bersifat umum, seperti
melaksanakan upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lainnya.

B. Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita


1. Syarat-Syarat Calon Pandita
Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan oleh Parisada Hindu
Dharma dalam Keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat Hindu dari segala
warga yang memenuhi syarat dapat disucikan (didiksa).
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Laki yang sudah kawin.
2) Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
3) Wanita yang sudah kawin.
4) Wanita yang tidak kawin (Kanya)
5) Pasangan suami-istri.
6) Umur sudah dewasa
7) Paham dalam bahasa Kawi, Sanskerta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan umum,
mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, etika dan ritual).
8) Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak (cacat tubuh) dan berbudi luhur.
9) Mendapat tanda kesediaan dari Pandita calon Nabenya yang akan menyucikan.
Setelah memenuhi syarat tersebut, seorang calon Pandita masih harus memenuhi
prosedur administrasi yang telah ditentukan yaitu:
1) Calon diksa mengajukan permohonan kepada Parisada Hindu Dharma setempat yang
mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari padiksaan.
2) Permohonan disertai/dilampiri dengan surat:
a) Keterangan berbadan sehat
b) Surat keterangan kecakapan
c) Keterangan tidak tersangkut perkara
d) Keterangan berkelakuan baik
e) Riwayat hidup
3) Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
4) Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu secepatnya melakukan
penyelidikan dan testing bersama calon Nabe, guna mendapat kepastian tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
5) Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian apabila
ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan/pengetesan itu
disampaikan kepada Parisada atasannya (pusat) dengan tembusan kepada Parisada
setempat.
6) Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan permohonan lagi setelah
berselang 3 bulan kemudiannya sampai sebanyak 3 kali.
7) Seorang Pendita yang baru didiksa, boleh mulai melakukan loka pala sraya setelah
mendapat ijin untuk itu dari nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberikan
ijin diksa.
8) Parisada ini wajib menyiarkan tentang hak loka pala sraya itu.
Di samping syarat-syarat tersebut dalam hubungan antara nabe dengan sisya (calon
diksita) itu sendiri justru yang lebih mendapat perhatian adalah aspek mental dan
spiritualnya atau aspek kepribadiannya. Oleh karena itu dalam sistem aguron-guron
dikenal adanya hubungan timbal balik yang sangat erat antara diksita dengan nabenya.
Bila seseorang sisya diksita berperilaku yang tidak terpuji setelah disahkan menjadi
Sulinggih, yang terkena nodanya tidak hanya yang bersangkutan melainkan juga
mencemari kesucian nabenya.
Dalam hubungan ini lontar Siwa Sasana memberi petunjuk dan kriteria dalam
pemilihan calon Sulinggih sebagai berikut:
Nihan lwir ning wwang pilihen gawayen sisya, wwang sudha jadma pawitra
kawwanannya, wwang satya wacana, wwang sujana tuhu-tuhu mahardika, wwang
prajna weruh manaji, wwang sattwika, wwang susila pageh ing tuhu, wwang sthiti
ring abhipraya, wwang dhairya dharaka ngelaken sukha duhka, wwang satya
bhakti matuang, niniweh bhakti makawitan, wwang mahya kagawenya ing dharma
kartta, wwang mapageh magawe tapa.
Nahan lwir ning wwang gaweyen siswa, yogya diniksan (Lontar Siwa Sasana,
lp.4).

Artinya:
Inilah macamnya orang yang patut dipilih sebagai sisya (siswa kerohanian): orang
yang benar-benar keturunan orang suci dan mulia, orang yang setia pada perkataan,
orang baik-baik senantiasa tenang, orang yang bijaksana, mahir bersastra orang
yang berbudhi sattwam, (sattwika), orang yang berbudi luhur, teguh pada
kebenaran, orang yang tetap pandai orang yang teguh imam, orang yang tahan
menghadapi suka duka orang yang setia pada pembimbingnya terutama bakti
kepada leluhurnya orang yang berkehendak teguh melaksanakan ajaran-ajaran
dharma dan orang yang berdisiplin melakukan tapa (pengendalian diri).
Itulah macam orang yang patut dijadikan siswa kerohanian.
Faktor kepribadian dalam sistem pendidikan (aguron-guron) mengatasi syarat
yang lainnya. Oleh karena kepribadian sukar dirubah dan besar pengaruhnya pada tingkah
lakunya kelak kemudian hari setelah resmi menjadi seorang Sulinggih.

2. Syarat-syarat Calon Pinandita


Secara formal terutama yang menyangkut prosedur administrasi Parisada Hindu
Dharma menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan
calon Pandita/Sulinggh. Kecuali yang menyangkut hubungan nabe. Oleh karena seseorang
Pinandita/Pemangku dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang nabe seperti
pada padiksan seorang Sulinggih.
Dalam aspek mental spiritual, seorang calon Pinandita/Pemangku juga sangat
diperhatikan. Tindakan dan perilaku Pinandita/Pemangku yang tidak terpuji, tidak saja
mencemari dirinya sendiri tetapi juga dipandang akan menodai lingkungannya. Bilamana
seorang Pinandita/Pemangku yang telah diresmikan melalui upacara pawintenan, berbuat
yang menyalahi aturan, ia wajib mengulang lagi melaksanakan penyucian diri.
yan hana pamangku widhi tampak tali, cuntaka dadi
pamangku, wnang malih maprayascitta kadi nguni upakarania,
wnang dadi pamangku widhi malih. Yan nora mangkana
phalania tan mahyun bhatara mahyang ring kahyangan (Lontar Kusuma Dewa).

Artinya:
Bilamana ada Pemangku yang pernah diikat (karena suatu kesalahan), dipandang
cuntaka wajib melaksanakan upacara prayascitta seperti upacaranya semula.
(Dengan demikian) ia berhak untuk kembali menjadi Pemangku. Bila tidak
demikian akibatnya tidak berkenan Bhatara turun di kahyangan.
Dalam praktiknya di masyarakat pemilihan calon Pinandita/Pemangku ditentukan
oleh umat pangemong Pura yang bersangkutan. Prosedur penetapannya maupun pemilihan
calon itu sendiri dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan tradisi setempat.
Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan Calon
Pinandita/Pemangku antara lain:
1) Melalui Nyanjan
Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang mampu menghubungkan
diri dengan dunia gaib, kemudian menerima petunjuk-petunjuknya secara
langsung, siapa yang akan dipilih untuk menjadi Pemangku di pura tersebut.
Penyampaian petunjuk oleh mediator tersebut sering dilakukan dalam keadaan
trance. Pada akhirnya apakah petunjuk yang disampaikan oleh sang mediator itu
dapat diterima atau tidak oleh umat yang mendukung pura tersebut, sepenuhnya
kembali lagi kepada umat itu sendiri.
2) Melalui Keturunan
Cara ini tidak melalui prosedur yang berbelit-belit, oleh karena cara ini telah
diterima secara tradisi, bilamana seorang Pemangku yang sudah tua tidak dapat
lagi melaksanakan tugasnya secara otomatis akan digantikan oleh keturunannya
(anaknya). Melalui cara ini proses kaderisasi umumnya berlaku secara alami, dan
dipersiapkan dengan baik. Oleh karena telah disadari pada saatnya nanti sang anak
akan menerima tongkat estapet dari orang tuanya untuk melanjutkan tugasnya
sebagai Pemangku di pura yang bersangkutan.
3) Melalui Pemilihan
Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain ternyata tidak berhasil
dilaksanakan. Ada juga yang memang melaksanakan secara tradisi sehingga akan
berlanjut untuk waktu yang berikutnya.
Dalam proses pemilihan, penentuan syarat-syaratnya di samping yang telah
ditentukan secara umum, sering masih ditambahi dengan syarat-syarat yang ditetapkan
secara khusus oleh umat yang bersangkutan.
Betapapun juga tugas seorang rohaniwan, apakah yang tergolong Ekajati
(Pemangku/Pinandita) lebih-lebih yang tergolong Dwijati (Sulinggih/Pandita) adalah
cukup berat. Oleh karena itu pula, timbal baliknya yaitu berupa perhatian dan penghargaan
dari masyarakat umat itu sendiri juga patut diberikan sewajarnya agar rohaniawan yang
dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan, itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
sesuai dengan peranannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan.

C. Status Pandita dan Pinandita


1. Status Pandita
Status Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dwijati, yang artinya
lahir dua kali yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmaniah dari kandungan
ibu. Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani. Sedangkan kelahiran yang
kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci yang disebut nabe. Dalam arti
kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerohanian yang dilalui
melalui pelaksanaan aguron-guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui
upacara diksa atau podgala
Kitab Manawa Dharma Sastra II.146-148 menjelaskan sebagai berikut:
kamanmata pita caiman
yad utpodayato mithah,
sambhutim tasya tam
vidayad yad dhonavabhijoyate.

acaryastasya yam yatim


vvidhivad veda paragah,
utpadayati savitrya
sa satya sa jara mara

utpadaka brahmadatror
gariyan brahmadah pita,
brahmajanma hi viprasya
pretya ceha ca sasvatam.
Artinya:
Ibu dan bapa (Guru Rupaka) melahirkan dia karena nafsu, maka ia lahir dari perut.
Ketahuilah ini adalah kelahiran jasmani.
Namun kelahiran yang berdasarkan penstabihan (Dwijati) dengan (mantra) Sawitri
dari Acarya (Guru Pengajian) yang telah mahir dalam Weda itulah kelahiran yang
sebenarnya yang utuh dan abadi (Ajaramara).
Di antara yang melahirkan dan yang memberi pengetahuan mengenai Brahma
(Tuhan) yang memberi pengetahuan mengenai Brahma adalah bapak yang lebih
utama, karena lahirnya Brahmapada seorang bijaksana (Wipra) sungguh abadi di
akhirat maupun di sini (di dunia ini).
Pelaksanaan upacara diksa sebagai usaha pada kedua (dwijati) ini bersifat merubah
status yang bersangkutan setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat. Ikatan disiplin
yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita dikenal dengan istilah
Catur Bandana Dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian meliputi:
1) Amari Aran
Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi seorang Pandita melalui
upacara diksa tersebut wajib mengganti namanya yang dipakai saat masih walaka
dengan nama yang baru sesuai dengan pemberian Nabe.
2) Amari Sesana
Artinya meninggalkan tugas dan kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan
mengganti dengan sesana kawikon. Yaitu tugas dan kewajiban serta disiplin
kehidupan Pandita. Misalnya tan wenang adol atuku (tidak boleh berjua beli), dan
sebagainya.
3) Amari Wesa
Artinya meninggalkan dan mengganti atribut/tanda-tanda kewalakaannya dengan
wesa atau ciri-ciri/identitas Pandita.
Misalnya dalam tata busana tidak lagi boleh bercukur, melainkan bagi Pandita
Siwa yang laki-laki biasanya mengenakan dandanan rambut yang disebut aketujata
memakai mahkota rambut yang diikat sedemikian rupa atau disebut pula dengan
malingga mudra di Bali dikenal dengan maprucut. Bagi yang wanita memakai
dandanan rambut yang disebut anyondong.
Pakaian saat memuja memakai:
a) Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada dadanya
b) Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah ganitri yang dikenakan pada kedua
bahunya.
c) Kundala yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari rangkaian buah
ganitri.
d) Kantha bharata yaitu hiasan pada leher.
e) Karna bharata, hiasan pada telinga
f) Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang dikenakan pada kedua
pergelangan tangannya.
g) Bhawa, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan ketu.
Pada saat melaksanakan pemujaan juga dilengkapi dengan peralatan pemujaan
yang disebut Siwopakarana serta gerakan yang bersifat magis yang disebut mudra
atau patanganan.
Pakaian sehari-hari setelah menjadi Pandita antara lain:
a) Bagi Pandita laki-laki, mengenakan: kain putih, kampuh kuning bertepi putih,
ikat pinggang putih, bila keluar rumah memakai tongkat. Boleh juga memakai
jubah yang disebut kawaka rajeg.
b) Pandita istri, memakai kain yang dasarnya kuning, boleh dengan motif
kembang, baju warna putih, selendang kuning, ikat pinggang putih.
4) Umulahaken Kaguru Susrusan
Yaitu melaksanakan dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta selalu
hormat dan patuh kepada guru (Nabe) termasuk keluarganya. Kesemua ciri-
ciri/identitas tersebut hanya boleh digunakan oleh seseorang yang telah resmi
menjadi Pandita/Pendeta setelah melalui proses yang telah ditentukan. Dengan
melaksanakan disiplin yang ketat serta mengikuti segala aturan yang telah
ditetapkan bagi seorang sulinggih/Pandita yang dikenal dengan sesana Kawikon
mengantarkan seseorang Pandita pada status sebagai orang Wuku/Dang
Acarya/Sulinggih/Dwijati.
Kedudukan Wiku/Pendeta/Pandita/Sulinggih selaku Dwijati adalah sesuatu
kedudukan khusus yang hanya menuruti sesana serta sesuai dengan ketentuan Parisada
Hindu Dharma Indonesia.
Dengan status itu pula beliau memiliki tugas kewajiban dan wewenang yang
berbeda dengan seorang rohaniawan yang masih tergolong Ekajati seperti Pinandita atau
Pemangku.
2. Status Pinandita
Status Pinandita/Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, dan sejenisnya tergolong
dalam tingkat Ekajati. Walaupun bagi seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan
tugasnya juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah
setinggi Pandita/Sulinggih. Weda yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang
berhubungan dengan pangastawa. Upacara pengesahannyapun jauh berbeda dengan
pengesahan menjadi Pandita/Sulinggh.
Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya sampai pada tingkat
pawintenan. Upacara pawintenan bahkan juga boleh dilaksanakan oleh umat secara
umum, yang bermaksud untuk menyucikan diri. Misalnya sebelum akan mempelajari
kitab-kitab suci, sebelum akan bertugas mengenai upacara yang agak besar dan
sebagainya. Upacara pawintenan ini boleh dilakukan berkali-kali. Berbeda dengan upacara
Padiksaan yang hanya boleh dilakukan hanya sekali saja (tan wenang anyusuni diksa).
Dengan tingkatan upacara seperti ini tidak membawa perubahan status
sebagaimana yang dilakukan bagi seorang Pandita/Sulinggih. Seorang
Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian sebagai layaknya masyarakat
biasa, masih memiliki tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai
seorang walaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama yang baru, sebagaimana
bhiseka seorang Pandita/Sulinggih.
Seorang Pinandita/Pemangku dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh
mempergunakan alat pemujaan sebagaimana alat pemujaan Pandeta/Sulinggih demikian
pula tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau patanganan (gerak tangan yang
bersifat magis yang dilakukan oleh Pandita/Sulinggih pada waktu melaksanakan
pemujaan).
Pelanggaran dalam hal ini disebut nyumuka artinya angwikoni awaknya dawak
yang artinya menjadikan dirinya sendiri selaku Pandita yang sesungguhnya belum
berwenang untuk itu. Bagi seorang Pinandita/Pemangku memiliki sesana khusus yang
disebut Sesananing Pemangku antara lain:
1) Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya disesuaikan
dengan ketentuan dalam lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih serta Gagelaran
Pemangku.
2) Bagi Pemangku Dalang, sesananya/gagelaran/agem-agemnya sesuai dengan
Dharmaning Padalangan, Panyudamalan dan Nyapu Leger.
Ciri-ciri umum yang dipergunakan bagi seorang Pinandita/Pemangku adalah:
1) Rambut panjang atau boleh juga bercukur.
2) Pakaian: memakai destar putih, baju putih, kampuh putih (dalam hal melaksanakan
tugasnya/melakukan upacara). Sedangkan di luar itu masih dibenarkan berpakaian
sebagaimana umat lainnya.
3) Dalam melakukan pemujaan memakai: genta, pasepan, bunga, gandaksata, tempat
tirtha (kumba).

D. Wewenang Pandita dan Pinandita


1. Wewenang Pandita
Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu, seorang Sulinggih, Pandita/Pendeta berwenang dalam menyelesaikan segala
upacara/upakara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Kewenangan ini
tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun persembahan, melainkan juga
termasuk menyelesaikan upacara yang bermakna mengesahkan, seperti upacara
Perkawinan, upacara pangangkatan anak, upacara penyembuhan dan sejenisnya.
Kewenangan seorang Sulinggih tidak secara otomatis diperoleh setelah
menyelesaikan upacara padiksan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat
memberi legalitas. Pengesahan tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan
lagi. Untuk berwenang menggunakan weda dan menyelesaikan upacara-upacara tingkat
sederhana seorang Sulinggih/Pandita yang telah madiksa harus melaksanakan upacara
Ngalinggihang Weda yang disaksikan oleh Nabenya serta Wiku Saksi lainnya. Pada
upacara ini seorang Sulinggh dites kembali apakah yang bersangkutan sudah menguasai
Weda dengan baik atau belum.
Setelah upacara Ngalinggihang Weda ini dapat dilaksanakan dengan baik, barulah
seorang Pandita/Sulinggih, memiliki kewenangan menyelesaikan upacara tingkat yang
tertentu sesuai dengan ijin dari Nabenya. Untuk dapat menyelesaikan upacara tingkat yang
benar (upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga). Seorang
Pandita/Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang diistilahkan
apasang lingga, yaitu tingkat tertentu dalam penguasaan Weda.
Bagi Sulinggih yang telah berhasil melewati tahapan penguasaan Weda
sebagaimana tersebut di atas, maka tugas pokok seorang Pandita/Pendeta/Sulingggih
adalah Ngloka Parasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon
bantuan/membantu umat dalam hal kehidupan keagamaan secara umum. Dalam
praktiknya lebih banyak membantu dalam pelaksanaan upacara agama.
Di samping itu dalam hal kehidupan beragama sehari-hari, seperti bagaimana tata
cara mendirikan pura, mendirikan rumah, mencari hari-hari baik untuk melaksanakan
upacara, dan sejenisnya, Panditalah sebagai tempat bersandarnya umat untuk
mendapatkan petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Oleh karena itu, Pendeta/Pandita juga
disebut sebagai Guru Loka atau Dang Acarya yang artinya guru (di dunia ini) terutama
dalam kehidupan keagamaan. Hubungan antara Pendeta/Pandita dengan umat dilukiskan
sebagai hubungan Siwa dengan sisyanya, dimana Pendeta/Pandita dipandang sebagai
Siwa, terutama pada saat beliau muput atau menyelesaikan suatu upacara, ngarga tirtha
atau membuat tirtha, serta melaksanakan tugas-tugas kepanditaannya.
Sedangkan umat dipandang sebagai sisyanya yang artinya sebagai murid dari
Pandita/Pendeta/Sulinggih yang bersangkutan. Bilamana umat mengalami kesulitan untuk
mendapatkan petunjuk dari kitab suci maka petunjuk Pandita itulah yang dijadikan
sebagai penggantinya. Hal ini sejalan dengan petunjuk kitab Manawa Dharmasatra yang
menguraikan sebagai berikut:
Idanin dharma pramnanyaha,
Vedo’kilo darmamulam
Smrtisile ca tadvidam
Acarascaiva sadhunam
Atmanastustir eva ca (Manawa Dharmasatra II.6)

Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah pertama daripada dharma kemudian adat
istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mengalami
ajaran pustaka suci weda (Pandita/Sulinggih), juga tata cara peri kehidupan orang-
orang suci dan akhirnya kepuasan diri pribadi.
Sedangkan bagi Pandita yang hanya melaksanakan penyucian diri (madiksa)
semata-mata untuk kesucian diri-sendiri, Beliau tidak melaksanakan tugas Loka Para
Sraya terutama yang berhubungan dengan tugas membantu umat dalam menyelesaikan
upacara agama. Namun tugas dan kewajiban sebagai guru loka dalam arti membimbing
dan memberi petunjuk tentang ajaran agama tetap dilaksanakan sesuai dengan permintaan
umat.
Dengan adanya ketentuan seorang Sulinggih/Pandita amari sesana maka seorang
Pandita/Sulinggih, dibebaskan dari tugas-tugas dan kewajiban selalu warga masyarakat
umum. Tugas dan kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya adalah
melaksanakan pemujaan yang dikenal dengan Nyurya Sewana. Nyurya Sewana yaitu
melaksanakan pemujaan untuk menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan
kebahagiaan semua makhluk di dunia ini (sarwa prani hitankarah). Pemujaan ini biasanya
dilaksanakan di Merajan/tempat suci yang ada di rumahnya masing-masing. Tugas dan
kewajiban harus dilaksanakan setiap hari kecuali karena sakit.
Sesuai dengan Keputusan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Pusat Tahun
1968, ditetapkan fungsi/tugas kewajiban Pandita sebagai berikut:
Fungsi/tugas kewajiban Pendita (Ngloka Parasraya) :
a) Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin,
b) Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya.
Pandata sejak mendapat ijin ngloka para sraya bagi kemantapan ngalinggihang
weda, harus melakukan tirtha yatra pemujaan pada tempat-tempat suci, terutama pura-
pura yang sangat keramat.
Dalam hubungannya dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan
pelaksanaan ajaran agama, seorang Pandita juga sangat diharapkan untuk melaksanakan
tugas-tugas:
1) Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar)
yang mengaturnya.
2) Pandita agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan
para Pinandita/Pemangku.
3) Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan
meningkatkan ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.
4) Pandita di samping memimpin menyelesaikan upacara yadnya, juga patut memberikan
Upadesa untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama Hindu.

2. Wewenang Pinandita
Secara umum semua jenis Pinandita/Pemangku dengan berbagai sebutannya
memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pandita/Sulinggih
dalam hal mengantarkan yadnya.
Adapun kewenangan Pinandita atau Pemangku sebagai berikut. Dalam Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas kewenangan
seorang Pinandita/Pemangku dijabarkan sebagai berikut :
1) Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang diamongnya.
2) Dapat ngloka parasraya sampai dengan Madudus Alit, sesuai dengan tingkat
pawintenannya dan juga atas panugrahan Sulinggih.
3) Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang
agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar.
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya, maka kewenangan
Pinandita/Pemangku adalah sebagai berikut:
1) Menyelesaikan Upacara Pujawali atau Piodalan sampai tingkat Piodalan pada Pura
yang diemongnya.
2) Apabila Pinandita menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau Upacara
Yadnya tersebut bersifat rutin, seperti Pujawali atau Piodalan, Manusa Yadnya, Bhuta
Yadnya, yang seharusnya dipuput dengan tirtha Sulinggih, maka Pinandita boleh
menyelesaikan dengan menggunakan tirtha Sulinggih selengkapnya.
3) Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura dengan
Nganteb atau Masaa serta memohon kehadapan Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari
yang malinggih atau disthanakan di Pura tersebut termasuk yadnya membayar kaul.
4) Dalam penyelesaian Upacara Bhuta Yadnya atau Caru, Pinandita diberi wewenang
muput Upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat Panca Sata
dengan menggunakan tirtha Sulinggih.
5) Dalam hubungan dengan muput Upacara Manusa Yadnya, Pinandita diberi wewenang
mulai dari Upacara Bayi Lahir sampai dengan Otonan biasa dengan menggunakan
tirtha Sulinggih.
6) Dalam hubungan dengan muput Upacara Pitra Yadnya, Pinandita diberi wewenang
sampai Mendem Sawa sesuai Dresta yang berlaku.
Dalam hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, Pinandita juga bertugas
untuk menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kekhidmatan pelaksanaan
upacara di Pura tempatnya bertugas, serta mengatur persembahyangan maupun mengatur
sajen yang akan dipersembahkan. Di luar dari kegiatan di Pura, Pinandita/Pemangku
bertugas untuk menjaga dan memelihara kelestarian dan kesucian pura.

Anda mungkin juga menyukai