Anda di halaman 1dari 7

Dasar yang kesepuluh – di dalam menerangkan itba’ (mengikuti) Sunnah

Ketahuilah, bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunnah dan meneladani Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wasallam di dalam seluruh permulaan dan perbuatan, di dalam gerak dan diam
bahkan dalam cara makan, berdiri, tidur dan berbicara kita. Tidaklah seyogyanya aku
mengatakan bahwa hal tersebut, yakni itba’ sunnah, hanya terbatas pada perkara ibadah saja,
karena sejatinya tidaklah ada alasan bagi kita untuk meninggalkan sunnah yang tersebut pada
ibadah tersebut, melainkan perihal itba’ sunnah itu mutlak juga meliputi seluruh hal-hal yang
bersifat adat (perilaku sehari-hari). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam surah Ali
Imran 3:31,
َ ُ َ َُ َ ُ َ ُُ ُ َ َ ُ َ َ ََ َ ُ ُ ُ ُ ُ
ٞ ‫ح‬
ۡ ۡ١٣ۡ‫يم‬ ِ ‫ۡر‬ٞ‫للۡغفور‬ ۡ ‫للۡ َو َيغفِرۡلكمۡذنوبك ۚۡم‬
ۡ ‫ۡوٱ‬ ۡ ِ ‫للۡ ۡفٱتب ِ ُع‬
ُۡ ‫ونۡيُحبِبك ُمۡٱ‬ ۡ ‫حبونۡٱ‬
ِ ‫قلۡۡإِنۡكنتمۡت‬
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kemudian,
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surah Al-Hasyr 59:7
َ ‫ۡفَٱ‬ َ ُ َ ُ ُ َ ُ َُ ُ ُ َٰ َ ََٓ
ۡ ۡۡۡۚ‫نت ُهوا‬ ۡ ‫ولۡفخذوهُۡ َو َماۡن َهىٰكمۡعن ُه‬ۡ ‫وماۡءاتىكمۡٱلرس‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah.”
Oleh karena itu lazimi/tetapilah atasmu untuk memakai celana dengan keadaan duduk, dan
memasang (ke atas) dengan berdiri, memakai sandalmu dimulai dengan yang kanan, makan
dengan tangan yang kanan, memotong kuku dimulai dengan jari telunjuk tangan kanan dan
diakhiri dengan jempol yang kanan. Untuk kaki, hendaklah engkau memulai dengan kelingking
yang kanan dan diakhiri dengan kelingking yang kiri. Demikian juga di dalam seluruh gerak dan
diammu. Seorang ulama yang bernama Muhammad bin Aslam At-Thusi tidak pernah memakan
semangka karena beliau tidak mendapati kaifiyah/tata cara makan Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wasallam pada semangka tersebut. Demikian sebagian sahabat saat lupa memakai
khuf/sepatu dimulai dengan yang kiri, maka mereka menebusnya dengan segenggam gandum.
Maka dari itu tidak selayaknya engkau sekalian meremehkan hal-hal (sunnah) tersebut, seraya
mengatakan bahwa ini hanyalah sesuatu/perkara adat/kebiasaan, tidaklah ada makna/kaitan
dengan itba’ sunnah. Hal yang demikian akan menutup pintu yang agung dari pintu-pintu
kebahagiaan untukmu.
Fasal
Barangkali saat ini engkau menginginkan suatu pengetahuan/alasan terhadap sebab yang
mendorong pada perlunya itba’ sunnah dalam perilaku-perilaku Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wasallam ini. Dan engkau mengesampingkan kenyataan bahwa dibawah hal tersebut (itba’
sunnah) terdapat perkara penting yang menyebabkan kesusahan yang besar ketika
menyalahi/membedainya (sunnah). Maka dari itu ketahuilah bahwasanya penjelasan
sirr/rahasia pada masing-masing sunnah tersebut cukuplah panjang dan kitab ini tidak akan
mampu untuk menampung seluruh penjelasannya. Namun, selayaknya bagi engkau
memahami hal tersebut yang telah terhimpun dalam tiga jenis asrar/rahasia.
Sirr yang pertama : sesungguhnya kami akan mengingatkan kepada engkau tentang
ikatan/koneksi antara alam mulki/dhohir dan alam malakut, diantara jawarih/anggota badan
dan hati, juga kaifiyah/tata cara bagaimana pengaruh hati sebab amal/perbuatan anggota
badan. Karena sesungguhnya hati ibarat sebuah kaca, yang mana tidak akan tampak di
dalamnya hakikat yang Haq kecuali hanya dengan menggosok, menerangi, dan meluruskan
kaca tersebut. Adapun menggosoknya ialah dengan menghilangkan keburukan syahwat dan
kotoran-kotoran akhlak yang tercela. Sedangkan meneranginya ialah dengan cahaya-cahaya
dzikir dan makrifat dibantu dengan melaksanakan ibadah yang murni tatkala engkau
menghendaki terhadap kesempurnaan hormat/khidmat menurut tuntunan sunnah. Adapun
meluruskan/menegakkannya ialah hendaknya seluruh jawarih/anggota badan berjalan atau
berpedoman pada dasar-dasar keadilan, karena tangan tidaklah akan sampai pada hati sampai
engkau bertujuan kepada perilaku adil/lurus sehingga terciptalah pada tangan tersebut gerakan
yang adil/lurus dan benar, bukan yang bengkok/melenceng. Dan sesungguhnya tindakan/apa
yang terjadi di dalam hati sebab perantara adil/lurusnya perbuatan anggota badan dan
gerakannya. Oleh karenanya dikatakan bahwa dunia adalah mazra’ah/ladang akhirat, sebab
ini juga, pada akhirnya muncul penyesalan yang besar dari orang yang sudah meninggal
sebelum mereka berbuat adil/lurus dikarenakan sudah tertutupnya jalan berbuat adil/lurus
sebab kematian. Hal ini karena terputusnya hubungan/koneksi hati dari jawarih/anggota badan.
Bagaimanapun, tidak hanya gerakan anggota badan, melainkan gerak pikiran juga harus
ditimbang dengan timbangan keadilan. Maka dengannya akan timbul di dalam hati gerakan
adil yang lurus dan akhirnya siap untuk menerima hakikat Yang Haq diatas sifat kebenaran dan
keistiqomahan, sebagaimana juga kaca yang telah ditegakkan telah siap untuk memantulkan
gambar yang benar/sesuai tanpa kebengkokan.
Adapun makna adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Contoh dalam hal ini ialah
semisal petunjuk arah berjumlah empat. Namun, terdapat kekhususan pada salah satunya
yaitu arah kiblat sebab kemuliannya. Maka bentuk adil disini ialah hendaknya engkau
menghadap kiblat pada saat keadaan berdzikir, ibadah dan berwudhu. Dan hendaknya engkau
berpaling dari arah kiblat ketika sedang menunaikan hajat (BAK/BAB), saat membuka aurat
karena untuk menunjukkan keutamaan sesuatu yang tampak keutamaan/kelebihannya. Pada
tangan kanan terdapat kelebihan daripada tangan kiri dalam hal kekuatannya. Maka bentuk
perilaku adil ialah mengutamakan tangan kanan atas tangan kiri, dan menggunakannya dalam
perbuatan-perbuatan yang mulia, seperti mengambil mushaf Al Quran dan makan, sedangkan
menggunakan tangan kiri untuk istinja dan mengambil barang/sesuatu yang kotor.
Adapun memotong kuku, misalnya, merupakan penyucian/pembersihan pada tangan. Dan hal
ini ialah suatu bentuk kemuliaan. Oleh karena itu, selayaknya dalam memotong kuku
hendaknya dimulai dengan yang paling afdhal/utama. Seringkali seseorang menganggap
remeh tartib/urutan dan tata cara permulaan terhadap perkara ini. Maka, ikutilah sunnah.
Mulailah memotong kuku dengan jari telunjuk tangan kanan. Karena sesungguhnya tangan itu
lebih afdhal dari kaki, arah kanan itu juga lebih afdhal dari arah kiri. Jari telunjuk yang
merupakan jari dimana dengannya digunakan isyarah kalimat tauhid itu lebih afdhal
dibandingkan seluruh jari-jari lainnya. Kemudian setelah itu, engkau lanjutkan dari arah kanan
jari telunjuk. Pada telapak tangan terdapat punggung (bagian luar) dan wajah (bagian dalam).
Maka adapun wajah telapak tangan ialah bagian yang engkau menghadap padanya.
Karenanya jika engkau menjadikan telapak sebagai wajahnya tangan, maka arah kanan dari
jari telunjuk adalah (dilanjutkan dengan) jari tengah. Kemudian, anggaplah kedua tangan itu
saling menghadap kepada kedua wajahnya. Dan anggaplah juga jari-jari tangan itu seakan-
akan mereka adalah perwujudan orang. Maka hendaknya engkau gunakan pemotong kuku
tersebut dimulai dari jari telunjuk tangan kanan dan engkau akhiri dengan jari jempol tangan
kanan. Demikianlah yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun hikmah dari apa yang telah kami sebutkan ialah jika engkau telah membiasakan dirimu
pada pemeliharaan sikap adil terhadap seluruh daqaiqul harakat/gerakan yang lembut, maka
sikap adil dan sehat tersebut menjadi suatu keadaan/bentuk yang menancap di dalam hatimu.
Kemudian, akan sempurna bentuk hatimu dan telah siap untuk menerima wujud/shurah
kebahagiaan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman

ۡ‫حي‬
ُ ُ ‫فَإ َذاۡ َس َوي ُت ُۡهۥۡ َو َن َفخ‬
ِ ‫تۡفِيهِۡمِنۡرو‬
ۡ ِ
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku”
Ruh Allah Azza Wa Jalla merupakan kunci pintu-pintu kebahagiaan. Dan tidaklah mungkin
ditiupkan ruh tersebut kecuali telah sempurna keadaannya. Adapun makna taswiyah (keadaan
sempurna) merujuk/kembali pada pengertian at-ta’dil (sikap adil). Dibalik makna at-ta’dil
terdapat sirr/rahasia yang penjelasannya cukuplah panjang, sedangkan kami disini hanya
bermaksud menerangkan kepada hal-hal atau gambaran dasarnya (sirr) saja.
Dan apabila engkau tidak mampu terhadap pemahaman yang hakiki, maka tajribah/mencoba
akan bermanfaat untukmu. Perhatikanlah kepada orang yang senantiasa membiasakan dirinya
untuk shidiq/jujur, yang mana kebanyakan dari mimpinya/penglihatannya ialah benar. Hal ini
karena sesungguhnya sifat shidiq/jujur menghasilkan sikap/keadaan yang jujur di dalam
hatinya sehingga berjumpalah dengan isyarat-isyarat gaib dalam tidur dalam keadaan yang
benar. Demikian juga perhatikanlah terhadap bohongnya mimpi/penglihatan orang yang
senantiasa berdusta, bahkan penglihatannya seorang penyair yang selalu membiasakan
dirinya kepada khayalan yang dusta, maka bengkok lah gambaran hatinya karena hal tersebut.
Maka apabila engkau bermaksud untuk memandang kepada arah yang suci, maka
tinggalkanlah dosa yang dhohir dan bathin. Tinggalkanlah juga perbuatan keji baik yang
tampak ataupun tersembunyi, tinggalkanlah perkataan dusta bahkan terhadap angan-
angan/bisikan diri sendiri.
Sirr yang kedua : hendaklah engkau mengetahui bahwa segala sesuatu yang
berpengaruh/meninggalkan bekas di dalam badanmu, yang mana sebagian darinya ialah
sesuatu yang dapat dikenali efeknya dengan hal-hal yang bersesuaian terhadap hawa panas,
dingin, basah dan juga kering. Seperti ungkapan bahwa sesungguhnya madu itu berbahaya
apabila dicampur dengan sesuatu yang dipanaskan dan bermanfaat apabila dicampur dengan
sesuatu yang dingin. Sebagian yang lain ialah sesuatu yang dapat dikenali hanya dengan
qiyas/analogi dan dijelaskan tentangnya (qiyas) dengan kekhususannya. Adapun kekhususan
tersebut tidaklah berhenti (pada suatu kesimpulan) hanya dengan qiyas, melainkan permulaan
dari pemberhentian/kesimpulan tersebut ialah wahyu atau ilham. Suatu benda magnetik akan
menarik besi, dan tanaman kecubung akan menarik campuran warna kuning dari bagian paling
dalam akar, tidaklah (dipahami) hanya dengan qiyas, melainkan dengan kekhususan yang
mengacu kepadanya; apakah dengan ilham atau dengan tajribah/percobaan. Sebagian besar
ciri-ciri tersebut dipahami dengan ilham. Dan adapun sebagian besar efek/pengaruh di dalam
obat-obatan dan yang lainnya dari arah kekhususan tersebut.
Maka ketahuilah bahwa efek/pengaruh suatu amal di dalam hati itu terbagi menjadi sesuatu
yang dapat dipahami dari arah/sisi keterkaitannya. Seperti halnya pengetahuanmu terhadap
bahwasanya mengikuti syahwat dunia akan memperkokoh hubungan hati dengan alam ini
(dunia). Maka kemudian hati akan keluar dari alam ini dalam keadaan terbalik/sungsang
dengan wajah menghadap pada alam ini, dikarenakan di dalamnya terdapat hal yang
dicintainya. Demikian pula seperti pengetahuanmu terhadap bahwasanya mudawamah/terus
menerus berdzikir kepada Allah akan mengokohkan kesenangan kita kepada Allah Ta’ala dan
akan membawa kepada mahabbah (kecintaan) sehingga menjadi besar rasa kenikmatan akan
dzikir tersebut disaat berpisah dari dunia dan datang menghadap kehadirat Allah Ta’ala,
disebabkan kenikmatan/ladzat sesuai dengan kadar kecintaan, dan kecintaan itu sesuai
dengan kadar pengenalan (makrifat) dan dzikir.
Dan berikut ternasuk amal-amal yang berpengaruh terhadap persiapan menuju kebahagiaan
atau kesengsaraan akhirat dengan segala kekhususannya yang bukan berdasarkan
qiyas/analogi. Tidaklah hal-hal tersebut dapat dipahami kecuali dengan nur nubuwwah (cahaya
kenabian). Maka apabila engkau melihat Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam berlaku
adil (meletakkan sesuatu pada tempatnya) pada salah satu dari dua perkara mubah dan lebih
mengutamakan salah satunya beserta kemampuan atas keduanya, maka ketahuilah bahwa
kekhususan/faidah hal tersebut muncul sebab nur nubuwwah (cahaya kenabian). Dan (rahasia
akan) hal tersebut telah disingkap dari alam malakut. Sebagaimana Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda, “Wahai para manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala telah
memerintahkan kepada diriku agar aku mengajarkanmu sesuatu yang telah Allah Ta’ala
ajarkan kepadaku, dan mendidikmu dari sesuatu yang Allah Ta’ala didikkan kepadaku, maka
janganlah salah seorang dari kalian memperbanyak bicara saat jima’ (bersetubuh), karena
sesungguhnya akan ada darinya seorang anak yang bisu/kelu lidahnya, dan juga janganlah
salah seorang dari kalian memandang kepada farji/kemaluan istrinya saat menjima’nya, karena
akan ada darinya kebutaan, dan janganlah pula salah seorang dari kalian mencium istrinya
tatkala menjima’nya, karena akan ada darinya anak yang tuli, begitu juga janganlah salah
seorang dari kalian terus menerus memandangi air karena hal tersebut akan menyebabkan
hilangnya akal.” Adapun permisalan yang telah kami sebutkan sebelumnya ialah kami
maksudkan untuk memberikan pengertian akan penglihatan hati dari kekhususan sesuatu
dengan menyandarkan/menyontohkan terhadap urusan-urusan dunia agar diqiyaskan
dengannya apa yang muncul dari Rasulullah mengenai hal-hal yang diutamakan/dipilih untuk
kekhususan yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan. Janganlah engkau
(hanya) ridha pada dirimu dengan membenarkan Muhammad bin Zakariya Ar-Razi, yang
seorang tabib, terkait dengan pendapat beliau tentang keistimewaan sesuatu, berbagai macam
batu, serta pengobatan, sedangkan (di sisi lain) engkau tidak membenarkan pemimpin umat
manusia Muhammad bin Abdillah semoga shalawat dari Allah senantiasa atas beliau, terhadap
perkara yang telah beliau sampaikan. Engkau pun mengetahui bahwa Rasulullah Shallahu
‘alaihi wasallam ialah seorang mukasyaf (yang disingkap/ditampakkan) dari alamul ‘ala (alam
yang tinggi) tentang seluruh asrar (rahasia-rahasia). Hal ini hendaknya mengingatkanmu
terhadap itba’ (mengikuti) terhadap perkara-perkara yang tidak dipahami hikmah di dalamnya,
sebagaimana yang telah kami sebutkan pada pembahasan sir yang pertama.
Sirr yang ketiga : Sesungguhnya kebahagiaan seorang insan ialah menyontoh/meniru para
malaikat di dalam hal menundukkan syahawat, menahan diri dari hal-hal yang mengajak pada
keburukan, dan menjauhkan diri dari menyerupai hewan liar yang sia-sia, yang mana hal
tersebut menyebabkan lepasnya (diri) dalam mengikuti hawa nafsu, sehingga tabiatnya (watak
hawa nafsu) menjadi terbebas tanpa ada penghalang.
Kapanpun seorang manusia berlindung terhadap perkara-perkara yang mengajak kepada
perilaku yang diluar batas, maka hendaknya dapat menundukkan dirinya dari mengikuti apa
yang dinginkan oleh hawa nafsunya. Begitu juga, mampu menguasai sifat kehewanan yang
ada dalam hatinya. Maka adapun kebaikan/maslahat dalam hal ini ialah seluruh gerak-geriknya
akan senantiasa terkendalikan dengan tali kekang yang dapat memandu dari satu jalan menuju
jalan yang lain. Demikan agar dirinya tidaklah lupa terhadap penghambaan (‘ubudiyah), dan
menetapi jalan yang lurus (shirathal mustaqim). Maka kemudian, akan tampak atsar (bekas)
dari penghambaannya di dalam seluruh gerak-geriknya, karena seseorang tersebut tidaklah
melakukan sesuatu dengan dasar tabiat (hawa nafsu), melainkan berdasarkan amr (perintah).
Maka takkan terbebas dalam sepanjang keadaannya dari pertentangan zaman sebab
mengutamakan sebagian perkara atas yang lainnya.
Dan siapapun yang melempar tali kekangnya di tangan seekor anjing misalnya, sehingga
tidaklah didapati perangai dan kebiasaan anjing tersebut dengan (mengikuti) hukum
tabiat/alamiahnya melainkan dibawah kendali hukum yang lainnya, maka adapun diri orang
tersebut lebih siap dalam menerima riyadhah yang hakiki. Juga lebih dekat dan lebih kuat dari
orang yang menjadikan tali kekangnya di tangan hawa nafsunya, yang pada akhirnya
melakukan sesuatu sebebasnya layaknya perilaku hewan. Dibalik penjelasan ini, terdapat
rahasia yang besar di dalam hal tazkiyatun nafs (penyucian diri).
Adapun faidah yang telah disebutkan tadi terjadi/muncul sebab situasi/kondisi sang pembawa
syariat, yakni Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam, bagaimanapun beliau meletakkan hal
tersebut. Sedangkan faidah yang bersifat hukum dan khusus tidaklah dapat berubah
berdasarkan situasi/kondisi. Dan adapun (faidah) ini dapat berubah sebab kondisi/situasi. Yang
mana maksudnya ialah hendaklah sesuatu tersebut tidaklah kosong/lepas dari bentuk
ikhtiyar/pertimbangan. Adapun maksud tersebut tidak akan tampak/hasil disebabkan terdapat
pencegahan dari salah satu dari dua pihak manapun. Dan di dalam permisalan ini, sekilas
tampak bahwa engkau meninggalkan aturan syariat dikarenakan sesungguhnya hal tersebut
(perbedaan dengan syariat) merupakan buah dari situasi/kondisi. Demikian, cukuplah atas
dirimu tiga pembahasan sebelumnya, yakni yang membahas tentang keutamaan menetapi
itba’ (mengikuti) sunnah di dalam seluruh gerak dan diam. Insya Allah Ta’ala.
Fasal
Adapun semua anjuran yang telah aku sebutkan sebelumnya ialah hal-hal yang berada dalam
wilayah adat/kebiasaan. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, maka tidaklah aku
ketahui (akibat) bagi yang meninggalkan sunnah tanpa ada ‘udzur kecuali kekufuran yang
samar (kufrun khofiy) atau kebodohan yang besar. Penjelasannya ialah, bahwa Nabi
Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengatakan, “Sholat Jama’ah itu mengungguli
atas sholat sendirian sebesar 27 derajat.” Lantas, bagaimana bisa hati seorang mukmin
membiarkan dirinya meninggalkan keutamaan sunnah tersebut dengan tanpa udzur? Ya,
benar. Adapun penyebabnya ialah antara kebodohan atau kelalaian, dengan tanpa memikirkan
dua perbedaan yang besar ini. Dan siapa saja yang yang membodohi orang lain tatkala memilih
yang pertama (sholat jamaah) dibanding yang kedua (sholat munfarid), bagaimana mungkin
dia akan membodohi dirinya tatkala memilih satu dibandingkan dua puluh tujuh, terlebih lagi
hal tersebut (sholat) merupakan tiang agama dan kunci kebahagiaan.
Adapun kekufuran ialah terbersit di dalam hatinya bahwa hadits tentang keutamaan sholat
jama’ah tidaklah demikian. Seseorang tersebut menganggap bahwa hadits tersebut ditujukan
hanya sebagai bentuk targhib (motivasi) di dalam sholat jama’ah, jika bukan demikian, lantas
manakah keterkaitan antara jama’ah dan jumlah khusus ini (27 derajat) dibanding seluruh
hitungan? Yang semacam ini merupakan kekufuran dan kebodohan samar yang sungguh
meliputi hati, namun sang pemilik hati tidaklah merasakan hal tersebut. Sungguh betapa besar
kebodohan seseorang yang membenarkan ahli perbintangan (munajjim) dan tabib di dalam
perkara-perkara yang lebih jauh dari hal yang disebutkan oleh hadits tersebut, sedangkan dia
tidaklah membenarkan Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam, seorang yang mukasyaf
(disingkapkan hijabnya) tentang rahasia-rahasia alam malakut. Maka sesungguhnya seorang
ahli nujum (perbintangan) apabila berkata kepada dirimu : apabila telah lewat 27 hari dari awal
berpindahnya (hitungan) perbintanganmu, maka suatu musibah akan menimpamu, maka
berhati-hatilah pada hari tersebut dan duduklah di dalam rumahmu. Pada akhirnya, engkau
tidak akan berpindah kemanapun selama waktu tersebut, menghayati dan meninggalkan
seluruh yang dapat menyibukkanmu. Seandainya engkau bertanya pada ahli nujum tersebut
tentang sebab hal tersebut, niscaya akan dikatakan pada dirimu : sesungguhnya aku
mengucapkan demikian, karena sesungguhnya jarak antara derajat bintang yang tampak dan
bintang zahl itu sebesar 27 derajat. Maka musibah tersebut akan berakhir pada setiap derajat
dalam satu hari atau satu bulan. Kemudian, jika dikatakan pada dirimu bahwa perkataan ahli
nujum tersebut adalah kebohongan dikarenakan tidak ada kecocokan dengan hatimu, maka
janganlah engkau benarkan apa yang dikatakan ahli nujum tersebut, sehingga tidaklah kosong
hatimu dari menyadari itu semua.
Dan engkau akan mengatakan bahwa di dalam af’al (perbuatan) Allah Ta’ala terdapat
keajaiban-keajaiban yang engkau tidak tahu keterkaitannya (munasabah) terhadap syari’at.
Dan barangkali di dalam keajaiban tersebut terdapat kekhususan yang engkau tidak pahami.
Lantas, hanya dengan tajribah (diuji cobakan) apa yang dikatakan oleh ahli nujum dari sesuatu
yang engkau pilih tersebut akan diketahui, sekalipun engkau tidak memahami keterkaitannya.
Kemudian, apabila suatu perkara kembali kepada khobar nubuwwah (hadits) dari sesuatu yang
tak tampak (gaib), engkau akan mengingkari kekhususan tersebut dan mencari
keterkaitan/hubungan yang jelas. Maka akibat dari hal ini tidak hanya syirik yang samar,
melainkan kekufuran yang besar (kufrun jaliy), karena tidak ada lagi kemungkinan selainnya.
Adapun sebab malas/enggannya mengikuti sunnah secara menyeluruh, karena sesungguhnya
perkara untuk akhiratmu tidaklah engkau pentingkan, sebaliknya untuk perkara keduniaanmu
engkau utamakan sehingga engkau mau berhati-hati di dalamnya sebab perkataan seorang
ahli nujum, orang-orang ahli adat, peramal dan perkara-perkara yang jauh dari hubungan
syari’at dengan sejauh-jauhnya. Sebaliknya, engkau mengikuti kepada hal-hal yang jauh dari
keterkaitan syari’at. Sesungguhnya hal yang setara/sepadan itu menyebabkan gemar untuk
bersuudzon (prasangka jelek). Dan seandainya engkau mau berpikir, niscaya engkau akan
mengetahui bahwa sudah sepantasnya berhati-hati terhadap bahaya tersebut.
Maka apabila engkau berkata : dalam jenis amaliah apakah seseorang hendaknya mengikuti
sunnah? Maka aku jawab : dalam setiap perkara yang telah diterangkan oleh sunnah. Adapun
khobar/hadits tentang ini sungguh banyak, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Shallahu
‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang berbekam pada hari Sabtu dan Rabu, maka akan
menimpa dirinya penyakit barash (belang), oleh karenya janganlah ia mencela kecuali dirinya
sendiri.” Dan (diceritakan) sebagian orang-orang yang telah mengetahui tentang hadits ini tetap
melakukan bekam pada hari Sabtu. Dia berpendapat bahwa hadits ini dhoif (lemah). Kemudian,
jadilah orang tersebut terkena penyakit barash dan menjadi parah, sampai akhirnya dia
bermimpi Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam, lantas dia mengadu kepada beliau Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wasallam. Lantas, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kenapa
engkau berbekam pada hari Sabtu?” Orang tersebut menjawab, “Karena sesungguhnya perawi
hadits tersebut lemah.” Kemudian, Rasulullah berkata, “Bukankah hadits tersebut dinuqil
(diambil) dariku?” Maka orang tersebut berucap, “Aku bertaubat Ya Rasulullah.” Setelah itu,
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk kesembuhan orang tersebut. Keesokan
harinya, sungguh telah hilang penyakit barash yang ada pada dirinya.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam juga berkata, “Barang siapa yang berbekam pada hari
selasa pada tanggal 17, maka hal itu ialah pengobatan yang disunnahkan.” Rasulullah Shallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda, “Barangsiapa yang tidur setelah waktu ashar akan terampas
akalnya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri. Dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Apabila terputus tali sandal salah dari kalian, maka janganlah ia berjalan
dengan satu sandal sampai dia memperbaiki talinya (yang putus). Rasulullah juga bersabda,
“Dan apabila terlahir seorang bayi perempuan, maka hendaklah sesuatu yang dia makan
pertama ialah kurma (ruthob), jika tidak ada maka dengan kurma tamr (kurma kering), karena
sesungguhnya seandainya ada sesuatu yang lebih afdhal dari itu, maka Allah Ta’ala akan
memberi makan sayyidah Maryam ketika melahirkan nabi Isa Alaihissalam dengan sesuatu
tersebut.” Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Apabila salah seorang dari kalian
diberi minuman yang manis, maka sebaiknya tuanglah darinya, dan apabila salah satu dari
kalian diberi wewangian, maka sebaikanya menciumnya (terlebih dahulu).” Contoh-contoh
semacam ini sungguh banyak ditemui dalam adat dan tidaklah hal-hal tersebut kosong dari
sir/rahasia.

Anda mungkin juga menyukai