Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Manajemen

2.1.1. Pengertian Manajemen

Menurut Oey Liang Lee dalam Sucahyowati (2017:5) mengemukakan bahwa,

“manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan,

pengarahan dan pengawasan daripada sumber daya manusia untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan”.

Menurut Horold Koontz dan Cyril O’donnel dalam Sucahyowati (2017:5)

mengemukakan bahwa, “manajemen adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan

tertentu melalui kegiatan orang lain”.

Menurut Mary Paker Follet dalam Sule dan Kurniawan Saefullah (2018:5)

mengemukakan bahwa, “management is the art of getting things done through

people”. Manajemen adalah seni dalam menyelesaikan sesuatu melalui orang lain.

Menurut Nickels, McHugh and McHugh dalam Sule dan Kurniawan Saefullah

(2018:6) mengemukakan bahwa, “management is the process used to accomplish

organizational goals through planing, organizing, directing and controlling people

and other organizational resources.”

Manajemen adalah sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan organisasi

melalui rangkaian kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

pengendalian orang-orang serta sumber daya organisasi lainnya.


2

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen pada

dasarnya merupakan seni atau proses dalam menyelesaikan sesuatu terkait dengan

pencapaian tujuan. Dalam penyelesaian akan sesuatu tersebut, terdapat tiga faktor yang

terlibat:

1. Adanya penggunanan sumber daya organsasi, baik sumber daya manusia maupun

faktor-faktor produksi lainnya. Atau sebagaimana menurut Griffin, sumber daya

tersebut meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya keuangan

serta informasi.

2. Adanya proses yang bertahap dari mulai perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengimplementasian hingga pengendalian dan pengawasan.

3. Adanya seni dalam menyelesaikan pekerjaan.

2.1.2. Fungsi-Fungsi Manajemen

Menurut Nickels, McHugh and McHugh dalam Sule dan Kurniawan Saefullah

(2018:8) fungsi-fungsi manajemen terdiri dari empat fungsi :

1. Perencanaan atau Planing, yaitu proses yang menyangkut upaya yang dilakukan

untuk mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan

strategi dan taktik yang tepat untuk mewujudkan target dan tujuan organisasi

2. Pengorganisasian atau Organizing, yaitu proses yang menyangkur bagaimana

strategi dan taktik yang telah dirumuskan dalam perencanaan didesain dalam

sebuah struktur organisasi yang tepat dan tangguh, sistem dan lingkungan

organisasi yang kondusif dan bisa memastikan bahwa semua pihak dalam

organisasi bisa bekerja secara efektif dan efesien guna pencapaian tujuan organisasi

2
3

3. Pengimplementasian atau Directing, yaitu proses implementasi program agar bisa

dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua

pihak tersebut dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh kesadaran dan

produktivitas yang tinggi

4. Pengendalian dan Pengawasan atau Controlling, yaitu proses yang dilakukan untuk

memastikan seluruh rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan

dan diimplementasikan bisa berjalan sesuai dengan target yang diharapkan

sekalipun berbagai perubahan terjadi dalam lingkungan.

2.1.3. Prinsip-Prinsip Manajemen

Menurut Henry Fayol dalam Firmansyah dan Mahardhika (2018:25)

mengemukakan prinsip-prinsip manajemen yaitu:

1. Division Of Work (Pembagian Kerja)

Spesialisasi menurut Henry Fayol merupakan sifat alamiah, terlihat pada setiap

masyarakat. Bila masyarakat berkembang, tambahlah organisasi-organisasi baru

menggantikan organisasi lama yang melakukan beraneka ragam fungsi pada

masyarakat primitif. Tujuan daripada pembagian kerja adalah menghasilkan perkejaan

yang lebih banyak dan lebih baik dengan usaha yang sama. Pembagian kerja

memungkinkan pengurangan sasaran, terhadap mana perhatian harus diarahkan dan

telah dikenal sebagai alat terbaik, memanfaatkan individu-individu dan kelompok-

kelompok orang.

3
4

2. Authority and Responsibility (Wewenang dan Tanggung Jawab)

Authority (wewenang) adalah hak memberi instruksi-instruksi dan kekuasaan

meminta kepatuhan. Henry Fayol membedakan authority atas personal authority dan

official authority (kekuasan pribadi) bersumber dari intelegasi, pengalaman, nilai

moral, kesanggupan memimpin, pelayanan-pelayanan masa lalu dan sebagainya.

Untuk menjadi atasan yang baik, personal authority merupakan sesuatu yang tidak

dapat dipisahkan dan lengkap daripada official authority. Official authority merupakan

wewenang formal atau wewenang resmi, yang diterima dari instansi yang lebih tinggi.

Responsibility atau tanggung jawab adalah tugas dan fungsi-fungsi yang harus

dilakukan oleh seseorang pejabat dan agar dapat dilaksanakan, authority (wewenang)

harus diberikan kepadanya. Agar kepatuhan diperoleh dari bawahan, sanksi dapat

diberikan kepada mereka yang tidak memberi kepatuhan.

3. Dicipline (Disiplin)

Hakikat daripada kepatuhan adalah disiplin (dicipline) yakni melakukan apa

yang sudah disetujui bersama antara pemimpin dengan para pekerja, baik persetujuan

tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan atau kebiasaan-kebiasaan. Disiplin

sangat penting karena suatu usaha tidak akan mengalami kemajuan tanpa adanya

displin pada pihak atasan dan bawahan.

4. Unity of Command (Kesatuan Instruksi)

Untuk setiap tindakan, seorang pegawai harus menerima instruksi-instruksi dari

seorang atasan saja. Bila hal ini dilanggar, wewenang (authority) berarti dikurangi,

disiplin terancam, keteraturan terganggu dan stabilitas mengalami cobaan. Seseorang

tidak mungkin melaksanakan instruksi yang sifatnya dualistis. Henry Fayol berkata,

4
5

“Pada semua perserikatan manusia, dalam industri, perdagangan, ketentaraan, di

rumah, di negara, instruksi yang sifatnya dualistis adalah sumber konflik yang tiada

berakhir, kadang-kadang sangat berbahaya karenanya harus mendapat perhatian dari

setiap atasan ditingkat manapun juga”.

5. Unity of Direction (Kesatuan Arah)

Prinsip ini dapat dijabarkan sebagai: “One head and one plan for a group

activities having the same objective” itu merupakan persyaratan penting untuk

kesatuan tindakan, koordinasi dan kekuatan dan memfokuskan usaha. Henry Fayol

memperingatkan agar unity of direction (one head one plan) jangan dikaburkan dengan

unity of cammand (one employees to have orders from one superior only)

6. Subordination of Individual Interest to General Interest (Kepentingan individu

tidak boleh di atas kepentingan umum)

Dalam sebuah perusahaan kepentingan seorang pegawai tidak boleh di atas

kepentingan perusahaan, bahwa kepentingan rumah tangga harus lebih dahulu

daripada kepentingan anggota-anggotanya dan bahwa kepentingan negara harus

didahulukan dari kepentingan warga negara atau kepentungan kelompok masyarakat.

7. Remuneration of Personnel (Gaji Pegawai)

Gaji daripada pegawai adalah harga dari pada layanan yang diberikannya. Harus

adil, sejauh mungkin memberi kepuasan baik kepada pegawai maupun kepada

perusahaan. Tingkat gaji dipengaruhi oleh biaya hidup, permintaan dan penawaran

tenaga kerja, keadaan umum perusahaan, posisi ekonomi dari perusahaan dan

tergantung pula dari pendidikan dan pengalaman pegawai.

5
6

8. Centralization (Pemusatan)

Masalah sentralisasi atau desentralisasi adalah masalah pembagian kukuasaan,

pada suatu organisasi kecil sentralisasi dapat diterapkan akan tetapi pada organisasi

besar harus diterapkan desentralisasi.

Bila terlihat adanya tekanan untuk memberi peranan yang lebih kepada bawahan

maka desentralisasi harus diterapkan, sebaliknya bila ada kecenderungan pengurangan

peranan bawahan, sebaiknya sentralisasi agar diterapkan.

9. Scalar Chain (Rantai Skalar)

Scalar Chain (rantai skalar) adalah rantai daripada atasan bermula dari authority

terakhir hingga pada tingkat terendah. Garis kekuasaan (the line of authority) adalah

route (jalan) yang diikuti oleh semua komunikasi yang bermula dari dan kembali

kekuasaan terakhir. Prinsip scalar chain berarti bahwa untuk mempermudah

komunikasi antara pegawai-pegawai yang setingkat ada manfaatnya kalau mereka

langsung mengadakan komunikasi dengan mengabaikan line of authority. Hal ini

disebut Jembatan Fayol (Fayol’s Bridge)

10. Order

Untuk ketertiban manusia ada formula yang harus dipegang yaitu, suatu tempat

untuk setiap orang dan setiap orang pada tempatnya masing-masing. Bila diharapkan

adanya ketertiban dalam sebuah perusahaan, haruslah ada tempat yang tegas untuk

setiap pegawai dan setiap pegawai harus pada tempatnya yang telah ditetapkan. Lebih

lanjut ketentuan yang sempurna memerlukan bahwa tempat harus sesuai dengan

pegawai.

6
7

11. Equity (Diperlukan ramah dan Keadilan)

Untuk merangsang pegawai melaksanakan tugasnya dengan kesungguhan dan

kesetian, mereka harus diperlakukan dengan ramah dan keadilan. Kombinasi

keramahtamahan dan keadilan menghasilkan equity.

12. Stability of Tonure of Personnel (Adaptasi Kerja)

Sebagai seorang pegawai membutuhkan waku agar bisa pada suatu pekerjaan

baru, dan agar berhasil dalam mengerjakkannya dengan baik. Bila ia sudah mulai biasa

atau sebelumnya dia pindah, dia harus menyesuaikan diri lagi. Jika hal semacam ini

terus menerus terjadi, pekerjaan-pekerjaan tidak akan pernah dilakukan dengan baik.

Konsekuensi daripada tidak adanya stabilitas kondisi personalia, akan menimbulkan

hal-hal yang tidak diinginkan oleh karena itu stabilitas kondisi personalia perlu

mendapat perhatian.

13. Initiative (Inisiatif)

Memikirkan sebuah rencana dan meyakinkan keberhasilannya merupakan

pengalaman yang memuaskan bagi seseorang. Kesanggupan bagi berfikir ini dan

kemampuan melaksanakan adalah apa yang disebut inisiatif. Sumber kekuatan suatu

perusahaan adalah adanya inisiatif baik dikalangan atasan maupun bawahan

khususnya pada masa sulit oleh karena itu penting menggairahkan dan

mengembangkan inisiatif semaksimal mungkin.

14. Ecsprit de Corps (Persatuan adalah Kekuatan)

Persatuan adalah kekeuatan. Para pemimpin perusahaan harus berbuat banyak

untuk merealisir pembahasan itu. Keharmonisan, persatuan di kalangan personalia

perusahaan merupakan kekuatan besar bagi suatu perusahaan.

7
8

Oleh karena itu segala usaha untuk merealisirnya. Untuk mengatasi masalah-

masalah perusahaan atau dalam memberikan instruksi yang memerlukan penjelasan

dalam penyelesaiannya, biasanya lebih mudah dan lebih cepat melakukannya secara

lisan daripada secara tertulis.

2.1.4. Pengertian Efektivitas

Menurur Sondang P. Siagian dalam Sucahyowati (2017:12) memberikan

devinisi sebagai berikut:

Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam


jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan
sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya, efektivitas
menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi
efektivitasnya.

Mengukur efektivitas dapat dilakukan menggunakan berbagai indikator

berdasarkan konsep dan teori yang ada. Ukuran efektifitas menjadi tolak ukur dalam

melakukan analisis suatu kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. Efektifitas

tersebut, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, tergantung dari pada siapa yang

menilai dan menginterpretasikannya.

Menurut Sutrisno dalam (Ramadhan, 2018) menjelaskan bahwa ukuran

efektivitas program di dalam suatu organisasi yaitu:

1. Pemahaman Program

Pemahaman program dalam hal ini, dapat berkaitan dengan sejauh mana kelompok

kepentingan atau stakeholder mengetahui dan memahami kegiatan program.

8
9

2. Tepat Sasaran

Tepat sasaran yaitu, dilihat dari adanya kesesuaian sasaran program dengan tujuan

yang telah ditentukan. Program yang telah dilaksanakan harus ditujukan kepada

sasaran yang kongkret, sehingga proses pelaksanaan program dapat berjalan dengan

efektif.

3. Tepat Waktu

Tepat waktu merupakan jangka waktu pelaksanaan program yang telah dilaksanakan

dengan ketentuan yang ditetapkan.

4. Tercapainya Tujuan

Tercapainya tujuan yaitu, diukur melalui pencapaian tujuan yang telah dilaksanakan

baik melalui pelatihan program, maupun dengan kegiatan lainnya yang mendukung

tercapainya program.

5. Perubahan Nyata

Dapat diukur, melalui sejauh mana pelaksanaan kegiatan program memberikan suatu

efek atau dampak serta perubahan yang nyata bagi masyarakat.

9
10

2.2. Pengelolaan Penyaluran Bantuan Sosial

2.2.1. Pengertian Bantuan Sosial

Pengertian bantuan sosial menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39

Tahun 2012 Pasal 1 ayat 15, bantuan sosial adalah pemberian batuan berupa

uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau

masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dan yang bertujuan

untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

81/PMK.05/2012 Tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian

Negara/Lembaga mendefinisikan belanja bantuan sosial sebagai pengeluaran berupa

transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat/Daerah kepada

masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial,

meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 16

menjelaskan resiko sosial yang dimaksud ialah suatu kejadian atau peristiwa yang

dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh

individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis

ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan

dana bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

Ketentuan baru dalam Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 yang sebelumya

tidak diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 yaitu pasal 23A yaitu bantuan

sosial berupa uang kepada individu dan/atau keluarga sebagiamana dimaksud terdiri

dari bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang direncanakan dan yang

tidak direncanakan sebelumnya.

10
11

2.2.2. Pemberian Bantuan Sosial

Menurut Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD dalam Lapananda

(2018:10) mengatakan bahwa, Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan sosial

kepada anggota/kelompok masyarakat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Pemberian bantuan tersebut dilakukakan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja

urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan

manfaat untuk masyarakat.

Anggota/kelompok masyarakat yang dapat diberikan bantuan sosial sebagaimana

sudah diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 23 :

1. Individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan-keadaan yang

tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau

fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum

2. Lembaga Non Pemerintah bidang pendidikan, keagamaan dan bidang lain yang

berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari

kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 24 menjelaskan pemberian bantuan

sosial harus memenuhi kriteria paling sedikit :

1. Selektif, bahwa bantuan sosial yang hanya diberikan kepada calon penerima yang

ditunjukan untuk melindungi dari kemungkinan resiko sosial

2. Memenuhi persyaratan penerima bantuan sosial, yaitu penerima bantuan sosial

harus memikili identitas yang jelas dan berdomisili dalam wilayah administratif

pemerintah daerah berkenaan

11
12

3. Bersifat sementara dan tidak terus menerus, kecuali dalam keadaan tertentu dapat

berkelenjutan. Dapat diartikan bahwa bantuan sosial dapat diberikan setiap tahun

anggaran sampai penerima bantuan telah lepas dari resiko sosial

4. Sesuai tujuan penggunaan, sebagaimana dimaksud tujuan pemberian sosial

meliputi:

a. Rehabilitasi sosial, ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan

kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

b. Perlindungan sosial, ditujukan untuk mencegah dan menangani resiko dari

guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat

agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar

minimal.

c. Pemberdayaan sosial, ditujukan untuk menjadikan seseorang atau kelompok

masyarakat yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu

memenuhi kebutuhan dasarnya.

d. Jaminan sosial, merupakan skema yang melembaga untuk menjamin penerima

bantuan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

e. Penanggulangan kemiskinan, merupakan kebijakan, program dan kegiatan yang

dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok masyarakat yang tidak

mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat

memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.

f. Penanggulangan bencana, merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk

rehabilitasi.

12
13

g. Rehabilitasi sosial, ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan

kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

h. Perlindungan sosial, ditujukan untuk mencegah dan menangani resiko dari

guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat

agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar

minimal.

i. Pemberdayaan sosial, ditujukan untuk menjadikan seseorang atau kelompok

masyarakat yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu

memenuhi kebutuhan dasarnya.

j. Jaminan sosial, merupakan skema yang melembaga untuk menjamin penerima

bantuan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

k. Penanggulangan kemiskinan, merupakan kebijakan, program, dan kegiatan

yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok masyarakat yang tidak

mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat

memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.

l. Penanggulangan bencana, merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk

rehabilitasi.

2.2.3. Penyaluran Bantuan Sosial

Penyaluran bantuan sosial dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32

Tahun 2011 diatur mengenai mekanisme untuk memperoleh dana bantuan sosial.

Untuk dapat memperoleh dana bantuan sosial yang harus dilakukan oleh para

pemohon :

13
14

1. Anggota/kelompok masyarakat menyampaikan usulan tertulis kepada kepala

daerah.

2. Kepala daerah menunjuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait untuk

melakukan evaluasi terhadap usulan tertulis tersebut. Jika disetujui oleh kepala

SKPD terkait maka akan diberikan rekomendasi kepada kepala daerah melalui Tim

Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)

3. TAPD akan memberikan pertimbangan atas rekomendasi tersebut sesuai dengan

prioritas dan kemampuan keuangan daerah

4. Rekomendasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD akan menjadi dasar

pencantuman alokasi anggaran bantuan sosial dalam rancangan Kebijakan Umum

APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

Pencantuman alokasi anggaran tersebut meliputi anggaran bantuan sosial berupa

uang dan/atau barang. Bantuan sosial berupa uang dicantumkan dalam Rencana

Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (RKA-PPKD),

sedangkan bantuan sosial berupa barang dicantumkan dalam Rencana Kerja dan

Anggaran SKPD (RKA-SKPD). RKA-PPKD dan RKA-SKPD tersebut akan

menjadi dasar penganggaran bantuan sosial dalam APBD sesuai peraturan

perundang-undangan.

Bantuan sosial berupa uang dianggarkan dalam kelompok belanja tidak

langsung, jenis belanja bantuan sosial, obyek belanja bantuan sosial, dan rincian obyek

belanja berkenaan pada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

14
15

2.2.4. Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Penyaluran Bantuan Sosial

Menurut (Fajar & Mulyanti, 2019) mengemukakan bahwa, “Kesejahteraan

masyarakat merupakan cerminan dari berhasilnya sistem yang diterapkan disuatu

Negara.”

Menurut Retno dalam (Fajar & Mulyanti, 2019) mengemukakan bahwa,

“Pembangunan ekonomi mutlak diperlukan oleh suatu negara untuk meningkatkan

taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Menciptakan pembangunan yang

berkelanjutan merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh setiap Negara.”

Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah

menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan penanggulangan kemiskinan.

Menurut Suryahadi dalam (Gemiharto & Rosfiantika, 2017) mengemukakan bahwa:

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia yang berlangsung


sekitar 30 tahun telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara
signifikan. Mulai tahun 1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan
berhasil diturunkan sebesar 50 persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai
pertengahan 1997, angka kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus
prestasi tersebut, dan membuat upaya pengentasan penanggulangan
kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilaksanakan
dengan serius.

Pemikiran terkini mengenai pengentasan penanggulangan kemiskinan dan tata

kelola pemerintahan menunjukkan bahwa keduanya saling berkaitan satu sama lain.

Menurut Blaxall dalam (Gemiharto & Rosfiantika, 2017) mengemukakan bahwa:

Tata kelola pemerintahan yang buruk membuat upaya pengentasan


penanggulangan kemiskinan tidak berhasil. Tata kelola pemerintahan yang
baik sangat diperlukan apabila seluruh aspek kemiskinan ingin dituntaskan,
tidak hanya melalui kenaikan pendapatan saja, tetapi juga melalui peningkatan
kemampuan kaum miskin dan peningkatan peluang ekonomi, politik, dan
sosial mereka.

15
16

Menurut Woodrow Wilson dalam (Gemiharto & Rosfiantika, 2017)

mendefinisikan bahwa, “Tata kelola pemerintahan sebagai sebuah pemerintahan yang

dengan benar dan berhasil melaksanakan suatu kebijakan dengan memperhatikan

tingkat efisiensi dan dengan mengeluarkan biaya dan tenaga yang paling sedikit.”

Menurut Nugroho dalam (Arifin, Nurdin & Yusnita, 2017) mengatakan bahwa:

Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perarutan Daerah adalah


jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijkan publik penjelas atau yang
sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa
langsung oprasional antara lain Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain

Menurut Suharto dalam (Rayadi, 2016) mengemukakan bahwa, “Pengelolaan

dana bantuan haruslah benar-benar tertuju bagi daerah miskin dan penduduk miskin.

Jangan sampai terjadi dis-alokasi dan mis-alokasi.”

Alinea Ke empat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 telah memberikan landasan konstitusional mengenai perwujudan tujuan

dalam pelaksanaan Pemerintah di Indonesia yakni untuk memajukan kesejahteraan

sosial. penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dilakukan Pemerintah salah satunya

adalah penyaluran bantuan sosial. Pemerintah Pusat mengamanatkan kepada

Pemerintah Daerah untuk mengurus daerah otonomnya masing-masing dalam

menyelenggarakan kesejahteraan sosial dibawah pengawasan Pemerintah Pusat.

Fungsi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kesejateraan sosial didaerahnya

dengan menganggarkan belanja daerah dalam bentuk hibah dan bantuan sosial yang

semua pelaksanaannya sudah diatur dalam Perundangan-undangan maupun Peraturan

Kepala Daerah.

16
17

2.2.5. Dasar Hukum

Dasar hukum penyaluran atau pemberian bantuan sosial terdapat dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah yang menyatakan bahwa Penganggaran, Pelaksanaan

dan Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi.

Pemberian hibah dan bantuan sosial mulai tahun anggaran 2012 harus berpedoman

kepada Peraturan Menteri ini.

Peraturan ini disusun dan dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten,

mengeluarkannya tentu dengan maksud untuk menjadikan objek yang diatur dalam

aturan itu menjadi lebih baik. Begitupun dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011,

kelahirannya dimaksudkan untuk memberikan pembinaan terhadap pengelolaan hibah

dan bantuan sosial agar tercipta tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi

pengelolaan. Di dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 yang sebagian diubah

dengan Permendargri Nomor 39 Tahun 2012 tersebut terdapat beberapa ketetuan

berkenaan dengan tindak lanjut dari kedua Permendagri tersebut yaitu perlunya

Pembentukan Peraturan Kepala Daerah/Perkada (Peraturan Gubernur/Peraturan

Bupati/Peraturan Wali Kota) dan Keputusan Kepala Daerah/Kekada (Keputusan

Gubernur/Keputusan Bupati/Keputusan Wali Kota). Pembentukan Perkada dan

Kekada merupakan persyaratan mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk

mengganggarkan hibah dan bantuan sosial. Ketentuan yang menjadi persyaratan

tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 :

17
18

1. Tata cara penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pertanggungjawaban dan

pelaporan serta monitoring dan evaluasi hibah dan bantuan sosial diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Kepada Daerah

2. Pemerintah Daerah dapat mengganggarkan hibah dan bantuan sosial apabila telah

menetapkan Peraturan Kepala Daerah

3. Perturan Kepala Daerah harus menyesuaikan Peraturan Menteri ini, paling lambat

sebelum ditetapkan persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD

terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

4. Dalam hal ini pengelolaan hibah dan/atau bantuan sosial tertentu diatur lain dengan

peraturan perundangan-undangan, maka peraturan pengelolaan dimaksud

dikecualikan dari Peraturan Menteri ini.

Sedangkan penetapan Keputusan Kepala Daerah/Kekada tentang daftar nama

penerima dan besaran bantuan sosial diatur dalam Pasal 32 Permendagri Nomor 39

Tahun 2012 :

1. Pemerintah Daerah menetapkan nama daftar penerima dan besaran bantuan sosial

dengan Keputusan Kepala Daerah berdasarkan Peraturan Daerah tetang APBD dan

Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD

2. Penyaluran dan/atau penyerahan bantuan sosial didasarkan pada daftar penerima

bantuan sosial yang tercantum dalam Keputusan Kepala Daerah, kecuali batuan

sosial kepada individu dan/atau keluarga yang tidak dapat direncanakan.

Dengan demikian, Perkada dan Kekada dalam pemberian hibah dan bantuan

sosial yang bersumber APBD merupakan persyaratan yang utama dalam memulai

penyaluran bantuan sosial. Daerah Kota Bekasi telah dibuat Peraturan Wali Kota

sebagimana diamanatkan oleh Permendagri.

18
19

2.2.6. Pertanggungjawaban Pemberian Bantuan Sosial

Bantuan sosial yang diberikan akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan.

Pelaporan dan pertanggungjawaban diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011

Pasal 36 dan 37:

1. Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah sebagai Penyalur Dana Bantuan Sosial

Berdasarkan laporan penggunaan bantuan sosial tersebut, pihak Pemerintah

Daerah akan mencatatnya sebagai bahan laporan pertanggungjawaban penyaluran

dana bantuan sosial. Bantuan sosial berupa uang dicatat sebagai realisasi jenis belanja

bantuan sosial pada PPKD dalam tahun anggaran berkenaan, sementara bantuan sosial

berupa barang dicatat sebagai realisasi obyek belanja bantuan sosial pada jenis belanja

barang dan jasa dalam program dan kegiatan pada SKPD terkait. Terkait dengan

penyaluran bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang tidak dapat

direncanakan sebelumnya, PPKD membuat rekapitulasi penyaluran bantuan sosial

tersebut paling lambat tanggal 5 Januari tahun anggaran berikutnya, dengan memuat

nama penerima, alamat dan besaran bantuan sosial yang diterima oleh masing-masing

individu dan/atau keluarga. Pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian

bantuan sosial meliputi :

a. Usulan/permintaan tertulis dari calon penerima bantuan sosial atau surat

keterangan dari pejabat yang berwenang kepada Kepala Daerah

b. Keputusan Kepala Daerah tentang penetapan daftar penerima bantuan sosial

c. Pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan bahwa bantuan

sosial yang diterima akan digunakan sesuai dengan usulan

d. Bukti transfer/penyerahan uang atas pemberian bantuan sosial berupa uang atau

bukti serah terima barang atas pemberian bantuan sosial berupa barang.

19
20

Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada point b dan point c dikecualikan

terhadap bantuan sosial bagi individu dan/atau keluarga yang tidak dapat direncanakan

sebelumnya.

2. Pertanggungjawaban Penerima Dana Bantuan Sosial

Para penerima dana bantuan sosial memiliki kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan kepada Pemerintah Daerah terkait penggunaan dana

bantuan sosial tersebut. Penerima bantuan sosial berupa uang menyampaikan laporan

penggunaan bantuan sosial kepada kepala daerah melalui PPKD dengan tembusan

kepada SKPD terkait, sedangkan penerima bantuan sosial berupa barang

menyampaikan laporan penggunaan bantuan sosial kepada kepala daerah melalui

kepala SKPD terkait. Penerima bantuan sosial bertanggung jawab secara formal dan

material atas penggunaan bantuan sosial yang diterimanya. Pertanggungjawaban

penerima bantuan sosial meliputi:

a. Laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial;

b. Surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang

diterima telah digunakan sesuai dengan usulan

c. Bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundang-

undangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah

terima barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang.

Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada point a dan b disampaikan

kepada kepala daerah paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran

berikutnya, kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan

pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada point c disimpan dan dipergunakan

oleh penerima bantuan sosial selaku obyek pemeriksaan.

20
21

2.2.7. Monitoring dan Evaluasi Penyaluran Bantuan Sosial

Dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 40 dan 41 mengenai

monitoring dan evaluasi penyaluran bantuan sosial, SKPD terkait melakukan

monitoring dan evaluasi atas pemberian hibah dan bantuan sosial kemudian hasil

monitoring dan evaluasi tersebut disampaikan kepada Kepala Daerah dengan

tembusan Kepala SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan. Dalam hal

hasil monitoring dan evaluasi terdapat penggunaan bantuan sosial yang tidak sesuai

dengan usulan yang telah disetujui, penerima bantuan sosial yang bersangkutan

dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Fahmi dalam (Rahmadini, Poniwatie, & Haryono, 2015) mengatakan

bahwa, “Pengawasan adalah suatu bentuk pengamatan yang umumnya dilakukan

secara menyeluruh, dengan jalan mengadakan perbandingan antara yang dikonstair

dan yang seharusnya dilaksanakan.”

Menurut Sujamto dalam Marhawati (2018:9) mengemukakan bahwa,

“Pengawasan merupakan segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai

kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanakan tugas atau kegiatan apakah

sesuai dengan yang semestinya atau tidak.”

Sedangkan pengawasan atau penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut

Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 Pasal 1 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pengawasan

atas penyelenggaran Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan

untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif

sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

21

Anda mungkin juga menyukai