Anda di halaman 1dari 21

17

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Assessment a. Pengertian
Assessment merupakan kegiatan profesional yang dilakukan secara khusus
untuk menentukan diagnosa dari gangguan atau kelainan yang dialami seseorang.
Dalam pengertian lain asesmen merupakan kegiatan pengumpulan informasi tentang
seseorang anak yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan
yang berhubungan dengan keadaan anak (Putri Nurina, 2015; 129). Sedangkan
menurut Ratna Widiastuti (2010) assessment adalah salah satu kegiatan pengukuran.
Dalam konteks bimbingan dan konseling, assessment yaitu mengukur suatu proses
konseling yang harus dilakukan konselor sebelum, selama, dan setelah konseling
tersebut dilaksanakan/berlangsung.
Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa assessment yang digunakan pada penelitian ini merupakan
proses memperoleh data/informasi untuk memutuskan jenis bimbingan kemandirian
seperti apa yang tepat dan cocok diterapkan untuk anak tunagrahita.
b. Fungsi
Menurut Ysseldyke (1978) (dalam Bandi Deplhie, 2005; 74) menyatakan bahwa ada lima
fungsi asesmen yang dipergunakan dalam pendidikan luar biasa, yaitu:
1) Sebagai alat penyaringan dan identifikasi (screening and identification) yang
dilakukan secara dini sebagai upaya pencegahan melalui upaya intervensi.
Langkah pertama yang dilakukan dalam identifikasi adalah melakukan
“penjaringan” atau “childfind” yang dilakukan sebelum menempuh screening.
Kebanyakan anak tunagrahita-ringan sulit diidentifikasi sebelum mereka
memasuki bangku sekolah, oleh sebab itu “penemuan” mereka biasanya
dilakukan di kelas normal oleh guru kelas, yang segera melapor tentang adanya
seorang siswa yang berkecenderungan mempunyai hambatan atau lamban
belajar. Tentu saja, orang tua yang bersangkutan diberi tahu dan guru
menjelaskan perlunya intervensi terhadap masalah “kelainan fungsional”
anaknya.
18

2) Klasifikasi dan penempatan (classification and placement) merupakan bentuk


kegiatan menggunakan tes-tes yang bertujuan untuk menentukan kriteria khusus
tingkat kelainan yang ada, sebelum mereka ditempatkan di pendidikan luar biasa.
Evaluasi terhadap anak yang dianggap mengalami kesulitan perkembangan
mental, fisik, sosial, dan intelektual dalam hal ini “tunagrahita” berkaitan dengan
kemampuan fungsional dan perilaku non-adaptifnya
3) Berupa perencanaan intervensi (intervention planning) sebagai bentuk kegiatan
remediasi dengan menerapkan treatmen. Proses diagnosis khusus dalam
pembelajaran dikenal dengan berbagai cara, antara lain: prescriptive teaching,
clinical teaching, dan diagnostic prescriptive teaching.
4) Berupa evaluasi program (program evaluation) untuk memutuskan keefektifan
suatu strategi intervensi yang berbeda-beda setelah memperoleh fakta-fakta dari
kegiatan intervensi tertentu. Tes-tes dan prosedur asesmen digunakan saat
mengevaluasi keefektifan suatu program, dan biasanya diikuti dengan evaluasi
treatmen medis, penempatan siswa dengan alternatif yang dianggap sesuai,
dan/atau penerapan intervensi kurikulum yang berbeda.
5) Evaluasi terhadap hasil suatu kegiatan (evaluation of progress) dari data yang
telah diperoleh dari seluruh kegiatan program individual yang diterapkan kepada
seorang siswa yang berkaitan dengan: (a) sosial, (b) pendidikan, (c) medis, (d)
psikologis. Penekanan kegiatan evaluasi ini umunya
terhadap upaya membandingkan kegiatan nyata dengan apa yang
diharapkan. Salah satu contoh adalah pengevaluasian terhadap apa yang telah
dicapai pada sasaran program pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang
(Bandi Deplhie, 2005: 74).
c. Aspek-aspek
Hackney dan Cormier (dikutip dari Lesmana, 2005) mengatakan bahwa
aspekaspek assessment dalam konseling adalah: intake interview riwayat hidup dan
definisi masalah. Berikut ini adalah penjelasannya:

1) Intake interview
19

Intake interview adalah wawancara yang dilakukan konselor terhadap klien atau
orang terdekat klien yang dilakukan sebelum proses konseling dimulai. Yang
termasuk dalam intake interview adalah: a) Data Identifikasi
Data identifikasi adalah data formal yang dimiliki klien. Data ini meliputi
nama klien, alamat rumah, nomor telepon, umur, jenis kelamin, dan status
pernikahan. Berdasarkan data identifikasi ini, konselor dapat pula mengetahui
bagaimana latar belakang kehidupan ekonomi dan status sosialnya di
masyarakat.
b) Riwayat Pribadi
Riwayat pribadi adalah informasi tentang keseluruhan diri klien yang pernah
dijalani klien di masa lalu sampai sekarang (saat klien menjalani konseling).
Riwayat pribadi meliputi: riwayat medis, riwayat pendidikan, riwayat
pekerjaan.
c) Tatanan Kehidupan Klien Saat Ini
Hal yang diungkap setelah mengetahui riwayat pribadi klien adalah mengenai
kondisi kehidupan klien saat ini.
d) Riwayat Keluarga
Keluarga adalah orang-orang yang paling memiliki hubungan dekat dengan
klien. Untuk itu gambaran mengenai keadaan keluarga klien harus pula
diungkap dalam intake interview.
e) Penyampaian Masalah oleh Klien
Penyampaian masalah oleh klien adalah hal terakhir sekaligus hal pokok yang
diungkap dalam intake interview. Walaupun terkadang klien masih kurang
jelas menyampaikan apa yang menjadi masalahnya, tidak menutup
kemungkinan seorang konselor dapat menangkap inti masalah klien yang
sebenarnya.

Selain intake interview yang dilakukan oleh konselor terhadap klien untuk
menggali riwayat hidupnya, maka hal penting lainnya yang harus dilakukan
konselor adalah melakukan observsi. Observasi adalah pengamatan terhadap diri
klien berdasarkan fisik yang terlihat dari luar. Lesmana (2005) menyebutkan
20

bahwa hal-hal yang perlu di observasi dari klien adalah: penampilan fisik klien,
pakaian, sikap tubuh, ekspresi wajah, kualitas suara, cara klien menjawab saat di
interview, jarak duduk, dan pasivitas.

2) Definisi Masalah
Setelah intake interview dilakukan, maka konselor harus melihat dfinisi
masalah klien. Pendefisian masalah adalah tahapan eksplorasi masalah
dilakukan. Definisi masalah bukanlah apa yang disampaikan klien pada saat klien
intake interview, tetapi masalah masalah yang diungkapkan klien setelah
konselor melakukan eksplorasi. Konselor harus benar-benar jeli menangkap
pesan masalah sebenarnya dari klien, bukan apa yang klien nyatakan ketika
diwawancara. Apabila konselor gagal memaknai keluhan klien dari sudut
pandang klien sendiri, maka konselor akan menemui hambatan dalam mencari
alternatif dan strategi yang digunakan dalam proses konseling.
Menurut Hackney dan Cormier (dikutip dari Lesmana, 2005) ada beberapa
hal yang harus diperhatikan ketika seorang konselor ingin mengeksplorasi
masalah kliennya. Hal tersebut diantaranya: a) Unsur Masalah Klien
Unsur-unsur masalah klien dapat berasal dari pikiran, perasaan, tingkah laku,
keluhan fisik, dan hubungan interpersonal.
b) Pola Peristiwa
Hal-hal yang perlu dieksplorasi dari pola peristiwa ini misalnya: Apa yang
terjadi sebelum masalah muncul, apa yang terjadi setelah masalah muncul,
apa yang terjadi saat masalah muncul.
c) Lamanya Masalah
Hal-hal yang perlu dieksplorasi dalam hal ini adalah: sudah berapa lama
masalah ini terjadi, seberapa sering masalah ini terjadi, berapa lama jangka
waktu penyelesaiannya jika masalah ini terjadi.
d) Keteramplan Klien Menangani Masalahnya
Hal ini berkaitan dengan cara-cara klien untuk mengatasi masalahnya. Konselor
harus dapat menggalinya semaksimal mungkin agar dapat diketahui sejauh mana
21

kemampuan klien mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain


(Lumongga Lubis, 2013:111).

B. Bimbingan dan Konseling a. Penegrtian


Bimbingan dan Konseling merupakan terjemahan dari istilah “guidance” dan
“counseling” dalam bahasa inggris. Shetrzer dan Stone menyebutkan bahwa bimbingan
merupakan terjemahan dari “guidance” berasal dari akar kata “guide” yang berarti
mengarahkan (to direct) memandu (to pilot), menyemapaikan (to descript), mendorong
(to motivate), membantu mewujudkan (helping to create), memberi (to giving),
bersungguh-sungguh (to commite), dan bersikap demokratis (democratic performance)
(Tri Sukitman, 2015: 18).
Berikut akan dikemukakan pendapat beberapa ahli tentang bimbingan dan konseling
sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing sehingga mendapat gambaran yang
komprehensif tentang bimbingan dan konseling. Menurut Achmad Juntika (2014: 7) pada
dasarnya bimbingan merupakan upaya pembimbing untuk membantu mengoptimalkan
individu. Bimbingan juga bisa diartikan sebagai suatu proses membantu individu agar
mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Sedangakn menurut Shertzer dan Stone menyatakan bahwa bimbingan sebagai “…
process of helping an individual to understand himself and his world. Bimbingan adalah
proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan
lingkungannya. Kartadinata, S., mengartikan bimbingan sebagai “… proses membantu
individu untuk mencapai perkembangan optimal (Fuad Anwar, 2015: 2).
Selanjutnya adalah pengertian tentang konseling. Berikut akan diuraikan
pengertian konseling menurut beberapa ahli. Menurut W. S Winkel, konseling merupakan
serapan dari kata counseling yang dikaitkan dengan kata counsel, yang berarti nasihat (to
obtain councel), anjuran (to give council), atau pembicaraan (to take councel). Secara
etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan
dan bersama yang dirangkai menerima atau memahami (Tri sukitman, 2015: 18).

Sedangkan menurut Hartono dan Soedarmadji (2012: 26), konseling didefinisikan


sebagai pelayanan professional (professional service) yang diberikan oleh konselor
kepada konseli secara tatap muka (face to face), agar konseli dapat mengembangkan
22

perilakunya kea rah lebih maju (progressive). Menurut Deni Febrini (2011: 10), konseling
adalah usaha membantu klien secara tatap muka (melalui wawancara) oleh seorang
konselor dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan atau masalah khusus. Dengan kata lain, teratasinya masalah yang
dihadapi klien.

Selain itu, Shertzer dan Stone telah membahas berbagai definisi yang terdapat di
dalam literatur tentang konseling. Dari hasil bahasannya itu, mereka sampai pada
kesimpulan bahwa Counseling is an interaction process wich facilitates meaningful
understanding of self and environment and result in the estabilisment and/or clarification
of goals and values of future behavior. Konseling adalah upaya membantu individu
melalui proses interaksi yang bersifat pribadi anatar konselor dan konseli agar konseli
mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan
tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif
perilakunya (Juntika Nurihsan, 2014: 10).
Dari berbagai pendapat yang telah diungkapkan oleh para ahli, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan
(helping) yang diberikan seseorang (konselor) kepada orang lain (klien/konseli), yang
bertujuan untuk mengupayakan adanya perubahan yang dilakukan oleh orang tersebut
(klien) menjadi lebih baik dan atas kesadarannya sendiri guna mendapatkan kebahagiaan
dan ketentraman hati.
b. Tujuan
Menurut Bandi Deplhie (2015: 138) tujuan bimbingan dan konseling untuk siswa
tnagrahita, terbagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum bimbingan konseling siswa tunagrahita yaitu:


1) Mewujudkan pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab sesuai dengan kelainan dan
kemampuannya;
23

2) Mengenalkan perlunya: kerja sama, pengungkapan perasaan, ciri-ciri khusus yang ada
dalam diri-sendiri, kecakapan yang dimiliki untuk penampilan suatu tugas-tugas
tertentu, hal-hal yang disukai orang lain, dan akibat dari keputusan yang diambil;
3) Melatih kemampuan fungsional agar: mampu beranggung jawab secara pribadi dan
sosial, mampu berkomunikasi, dapat mengambil keputusan, dapat mengendalikan diri
sendiri, dan terampil untuk hidup mandiri;
4) Mengembangkan kemampuan untuk: penyesuaian diri dan pengembangan sikap
pribadi secara wajar, pengetahuan dan keterampilan dalam mengadakan hubungan
timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (PP No.72/1991).

Tujuan khusus bimbingan konseling untuk anak tunagrahita bertujuan untuk


membantu siswa agar:

1) Mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan
dirinya menggunakan persepsi: pendengaran, penglihatan, taktil, kinestetik, fine motor,
dan gross motor;
2) Kematangan diri dan sosial, misalnya: dapat berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu
luang, cukup atensi, dan bersifat tekun;
3) Mampu bertanggung secara pribadi maupun sosial, misalnya dapat berhubungan
dengan orang lain, dapat bereperan serta, dan dapat melakukan suatu peran tertentu di
lingkungannya;
4) Kematangan berkomunikasi untuk melakukan penyesuaian diri dan sosial, misalnya
mampu melakukan komunikasi dengan orang lain dengan cara-cara: peniruan
konsepkonsep bahasa, pemahaman bahasa, dan penggunaan bahasa (Bandi Deplhie,
2005:
138).
c. Prinsip-prinsip
Menrut Juntika Nurihsan (2014) pelaksanaan bimbingan perlu memerhatikan beberapa
prinsip, yaitu sebagai berikut:
1) Bimbingan adalah suatu proses membantu individu agar mereka dapat membantu
dirinya sendiri dalam menyelesaikan masaah yang dihadapinya
24

2) Hendaknya, bimbingan bertitik tolak (berfokus) pada individu yang dibimbing


3) Bimbingan diarahkan pada individu dan tiap individu memiliki karakteristik tersendiri.
Oleh karena itu, pemahaman keragaman dan kemampuan individu yang dibimbing
sangat diperlukan dalam pelaksanaan bimbingan
4) Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim pembimbing di lingkungan lembaga
pendidikan hendaknya diserahkan kepada ahli atau lembaga yang berwenang
menyelesaikannya
5) Bimbingan dimulai dengan identifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang
akan dibimbing
6) Bimbingan harus luwes dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan individu dan
masyarakat
7) Program bimbngan di lingkungan lembaga pendidikan tertentu harus sesuai dengan
program pendidikan pada lembaga yang bersangkutan
8) Hendaknya pelaksanaan program bimbingan dikelola oleh orang yang memiliki
keahlian dalam bidang bimbinga, dapat bekerjasama dan menggunakan sumbersumber
yang relevan yang berada di dalam ataupun di luar lembaga penyelenggara pendidikan
9) Hendaknya, pelaksanaan program bimbingan dievaluasi untuk mengetahui hasil dan
pelaksanaan program (Juntika Nurihsan, 2014: 9).

Selain itu menurut Bandi Deplhie (2005: 94) prinsip-prinsip bimbingan konseling untuk
anak tungarhita adalah sebagai berikut:

1) Bimbingan ditujukan kepada semua individu yang berkelainan tanpa memandang


umur, suku, agama, dan status sosial ekonomi
2) Bimbingan berurusan dengan pribadi yang berkelainan dan unik
3) Bimbingan memperhatikan sepenuhnya terhadap tahap dan berbagai aspek
perkembangan individu yang berkelainan, sehingga dapat mengembangkan seluruh
potensi dan kekuatan yang dimiliki individu siswa tunagrahita
4) Bimbingn memberikan perhatian utama kepada perbedaan individu yang berkelainan
yang menjadi pokok layanannya.
25

d. Fungsi
Pelayanan konseling mengembangkan sejumlah fungsi yang hendak dipenuhi melalui
pelaksanaan kegiatan konseling. Fungsi konseling pada anak tunagrahita dengan anak
normal pada umumnya tidak berbeda jauh, fungsi tersebut mencakup:
1) Fungsi pemahaman pengembangan
Fungsi bimbingan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu,
sesuai dengan keperluan perkembangan peserta didik. Pemahaman itu meliputi:
pemahaman tentang keberadaan-diri peserta didik (oleh siswa tunagrahita sendiri,
orang tua, guru, maupun pembimbing); pemahaman tentang lingkungan peserta didik;
pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas, termasuk informasi mengenai
penidikan, jabatan/pekerjaan, dan budaya/nilai-nilai
2) Fungsi pencegahan
Fungsi bimbingan konseling yang akan menghasilkan upaya-upaya agar peserta didik
terhindar dari berbagai permasalahan yang dapat mengganggu, menghambat ataupun
dapat menimbulakan kesultan dalam proses perkembangan diri
3) Fungsi perbaikan
Fungsi bimbingan konseling yang dapat mengatasi berbagai permasalahan yang
dialami peserta didik
4) Fungsi pemeliharaan dan perkembangan
Upaya-upaya agar dapat memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan
kondisi positif dari setiap peserta didik dalam rangka perkembangan diri secara
mantap dan berkelanjutan (Bandi Deplhie, 2005: 97)
5) Fungsi pengentasan
Fungsi konseling yang menghasilkan kemampuan konseli atau kelompok konseli
(peserta didik) untuk memecahkan masalah-masalah yang dialaminya dalam
kehidupan dan/atau perkembangannya

6) Fungsi advokasi
26

Fungsi konseling yang menghasilkan kondisi pembelaan terhadap berbagai bentuk


pengingkaran atas hak-hak dan/atau kepentingan pendidikan dan perkembangan yang dialami
konseli atau kelompok konseli (Hartono dan Soedarmadji, 2012: 37). e. Asas-asas
Pelayanan konseling adalah pekerjaan professional yang diberikan oleh konselor
kepada konseli dengan mendasarkan pada asas-asas pelayanan konseling. Asas-asas
pelayanan konseling merupakan suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam
menjalankan pelayanan konseling (Hartono dan Soedarmadji, 2012: 39). Asas-asas ini
mengacu pada asas-asas bimbingan konselng, yaitu:
1) Asas kerahasiaan
Asas kerahasiaan atau disebut confidential merupakan peilaku konselor untuk
menjaga rahasia segala data atau informasi tentang diri konseli dan lingkungan konseli
berkenaan dengan pelayanan konseling. Asas ini merupakan asas kunci dalam usaha
pelayanan konseling
2) Asas kesukarelaan
Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan. Dalam pelayanan konseling, seorang
konseli secara suka rela tanpa ragu-ragu meminta konseling pada konselor. Konseli
adalah individu yang membutuhkan pelayanan konseling, karena masalahnya atau
kerisauannya, ia dengan suka dan rela membutuhkan konseling tanpa ada paksaan dari
pihak lain. Di pihak konselor, ia adalah seorang ahli konseling yang memiliki nilai,
sikap, pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan pengalaman yang memadai
3) Asas keterbukaan
Dalam proses konseling diperlukan berbagai data atau informasi dari pihak
konseli, dan informasi ini hanya bisa digali bila konseli dengan terbuka mau
menyampaikannya kepada konselor. Keterbukaan artinya, adanya perilaku yang terus
terang, jujur tanpa ada keraguan untuk membuka diri baik dari pihak konseli maupun
konselor. Asas keterbukaan hanya bisa diwujudkan jika konselor dapat melaksanakan
asas kerahasiaan, dan konseli percaya bahwa konseling bersifat rahasia

4) Asas kekinian
27

Masalah konseli yang dibahas dalam konseling adalah masalah saat ini yang
sedang dialami oleh konseli, bukan masalah lampau atau masalah yang mungkin
dialami di masa yang akan datang. Meskipun salah satu fungsi konseling adalah
pencegahan, tidak berarti bahwa fungsi ini bertentangan dengan asas kekinian, karena
fungsi pencegahan mengandung pengertian bahwa konseli belum menghadapi
masalah, sehingga fokus konseling mencegah timbulnya masalah di masa yang akan
datang. Bila konselor menggali kondisi atau kesulitan-kesulitan konseli di masa
lampau hal ini terbatas pada kajian latar belakang masalah, bukan berarti pelayanan
konseling dimaksudkan untuk mengkaji masalah konseli di masa lampaunya
5) Asas kemandirian
Pelayanan konseling bertujuan menjadikan konseli memiliki kemampan untuk
menghadapi dan memecahkan masalahnya sendiri, sehingga ia dapat mandiri, tidak
tergantung pada orang lain atau konselor. Konseli dapat mandiri bila memiliki ciri-ciri
pokok, yaitu mampu:
a) Mengenal dirinya dan lingkungan di mana ia berada
b) Menerima dirinya dan lingkungan secara positif dan dinamis
c) Mengambil keputusan atas dirinya sendiri
d) Mengarahkan dirinya sesuai dengan keputusan yang diambil
e) Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensinya
6) Asas kegiatan
Konselor hendaknya mampu membangkitkan semangat dan motivasi konseli,
sehingga ia mau dan mampu melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam proses
konseling. Kegiatan yang dimaksud adalah seperangkat aktivitas yang harus dilakukan
konseli untuk mencapai tujuan konseling. Aktivitas itu dibangun konseli bersama
konselor dalam proses konseling, dengan demikian pada diri konseli dapat mengalami
kemajuan-kemajuan yang berarti sesuai dengan harapannya
7) Asas kedinamisan
Dinamis artinya berubah, mengalami perubahan. Usaha pelayanan konseling
menghendaki terjadinya perubahan pada diri konseli, yaitu perubahan perilaku ke arah
yang lebih baik. Perubahan perilaku itu bersifat maju (progressive) bukan perubahan
28

mandur (regressive), dengan demikian konseli mengalami kemajuan ke arah


perkemabangan pribadi yang dikehendaki
8) Asas keterpaduan
Pelayanan konseling berusaha memadukan aspek kperibadian konseli, agar ia
mampu melakukan perubahan ke arah lebih maju (progressive). Keterpaduan antara
minat, bakat, intelegensi, emosi, dan aspek kepribadian lainnya akan dapat melahirkan
suatu kekuatan (potensi) pada diri konseli. Kekuatan itu bila dikembangkan secara
berkelanjutan dengan mendayagunakan lingkungan secara optimal akan menghasilkan
prestasi (achievement) yang sangat berharga dalam kehidupan
Untuk terselenggranaya asas keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan
yang luas tentag perkembangan konseli dan aspek lingkungan konseli sebagai sumber
yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli. Kesemuanya itu dipadukan
dalam keadaan serasi, seimbang, dan selaras untuk menunjang proses konseling
9) Asas kenormatifan
Pelayanan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
di masyarakat, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hokum, norma
ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan ke dalam
proses pelayanan konseling dan hasil konseling.
Proses konseling mencakup prosedur dan berbagai teknik yang digunakan yang
terintegrasi ke dalam aktivitas-aktvitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan konseli
maupun konselor, harus serasi dengan norma-norma yang berlaku. Adapun hasil
konseling yang mencakup berbagai perubahan perilaku yang lebih maju pada diri
konseli juga tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
10) Asas keahlian
Menurut buku Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2005) (dalam Hartono
dan Soemardji, 2012: 44), kompetensi yang harus dikuasai oleh konselor adalah: a)
menguasai konsep dan praksis pendidikan; b) memiliki kesadaran dan komitmen etika
profesional; c) menguasai konsep perilaku dan perkembangan individu; d) mengusai
konsep dan praksis assessment; e) menguasai konsep dan praksis bimbingan dan
konseling; f) memiliki kemampuan mengelola program bimbingan dan konseling; dan
g) mengusai konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling. Selanjutnya
29

menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang


standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, kompetensi akademik konselor
mencakup: a) memahami secara mendalam tentang konseli yang dilayani; b)
menguasai landasan dan kerangka teoritis bimbingan
dan konseling; c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling
yang memandirikan konseli; dan d) mengembangkan pribadi dan profesionalitas
konselor secara berkelanjutan.
Jadi jelas bahwa pelayanan konseling sebagai pelayanan keahlian, yang hanya
deapat diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang konseling yang disebut
konselor.
11) Asas Alih Tangan
Tidak semua masalah yang dialami konseli menjadi wewenang konselor. Artinya
konselor memilikiketerbatasan kewenangan berdasarkan kode etik profesi konseling.
Bila konseli mengalami masalah emosi yang berat, seperti stress berat, gangguan
kepribadian yang serius serta sakit jiwa, maka kasus yang demikian ini di luar
kewenangankonselor, maka harus direferal atau dialihtangankan kepada pihak lain
yang memiliki kewenangan tersebut (Hartono dan Soedarmadji, 2012: 40).
C. Kemandirian a. Pengertian

Kemandirian berasal dari kata mandiri, menurut KBBI kemandirian adalah, hal
atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantunng pada orang lain. Mandiri dalam
bentuk yang paling kita kenal meliputi aktivitas sehari-hari dalam rangka membantu diri
sendiri, memakai dan melepaskan pakaian sendiri, membuka dan memakai sepatu sediri,
dan masih banyak lagi (Eugenia Rakhma, 2017; 29).

Menurut James dan Mary Kenny (1991: 255) bahwa dalam masa perkembangan
anak-anak usia 8-11 tahun, kemandirian diarahkan dengan rasa percaya diri. Dari modal
dasar tersebut seseorang akan memiliki keyakinan yang besar untuk dapat melakukan dan
mengerjakan sesuatu atas kemampuan dirinya sendiri.
Dari beberapa pendapat mengenai kemandirian tersebut, menurut hemat peneli
orang mandiri adalah orang yang tidak bergantung pada lingkungannya tetapi justru
tergantung pada potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pendapat tersebut
30

mengandung arti bahwa siswa mandiri adalah siswa yang memiliki sikap mental yang
bertumpu pada potensi dan kemampuannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. b.
Aspek-aspek
Seorang anak dapat dikatakan mandiri apabila aktivitas kegiatan harianya atau dalam hal
ini disebut “activity of daily living” (ADL) sudah baik dan benar. Isitilah “activity of daily
living” (ADL) yang lebih familiar dalam dnia pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dikenal dengan istilah “Bina Diri”. Bina diri mengacu pada suatu kegiatan yang
bersifat pribadi, tetapi memiliki dampak dan berkaitan dengan human relationship. Disebut
pribad karena mengandung pengertian bahwa keterampilan-keterampilan yang diajarkan
atau dilatihkan menyangkut kebuthan individu yang hars dilakukan sendiri tanpa dibantu
oleh orang lain bila kondisinya memungkinkan (Sudarsini, 2017: 2).

Pembelajaran bina diri diajarkan atau dilatihkan pada ABK mengingat dua aspek yang
melatar belakanginya. Latar belakang yang utama yaitu aspek kemandirian yang berkaitan
dengan kesehatan dan aspek lainnya yang berkaitan dengan sosial budaya. Dengan contoh
aktivitas sebagai berikt:

1) Aspek kesehatan, contoh aktivitasnya antara lain: kegiatan merawat diri seperti maka
dan minum; menghias diri seperti mandi, menggosok gigi, berpakaian dan ke kamar
mandi (toilet).
2) Aspek sosial budaya, contoh aktivitasnya antara lan: bermain dengan teman,
mengajarkan norma-norma yang berlaku di lingkngan, dan cara berkomunikasi yang
baik dan benar dengan orang lain (Sudarsini, 2017: 3).

Sebagaimana diketahui bahwa anak tunagrahita mengalami hambatan dalam


kercerdasan maka target kemandiriannya tentu harus dirumuskan sesuai dengan potensi
yang mereka miliki, sehingga dapat dikatakan bahwa mandiri bagi anak tunagrahita
adanya kesesuain antara kemampuan yang aktual dengan potensi yang mereka miliki. Jadi
pencapaian kemandirian bagi anak tunagrahita tidak dapat diartikan sama dengan
pencapaian kemandirian anak normal pada umumnya.
31

c. Prinsip-prinsip kemandirian
Menurut Sudarsini (2017:3) prinsip-prinsip kemandirian terbagi menjadi dua, yaitu prinsip
dasar dan prinsip umum.
1) Prinsip dasar kemandirian membahas tentang aktivitas yang dilakukan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan hariannya dalam hal perawatan atau pemeliharaan diri, seperti
halnya mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok/penting untuk memelihara
(maintenance) dalam memenuhi kebtuhan-kebutuhan personal dan untuk melengkapi
tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak sosial sehingga dapat diterima di
lingkungan kehidupannya.
2) Prinsip umum kemandirian meliputi beberapa hal yatu: menemukan hal-hal yang sudah
dan belum dmiliki anak dalam berbagai hal dan menemukan kebutuhan anak,
keselamatan (safety), kehati-hatian (poise), percaya diri (confident), tradisi yang berlaku
di sekitar anak berada (traditional manner).
d. Faktor-faktor
Faktor-faktor yang memepengaruhi kemandirian dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Faktor dari dalam individu (internal)
Faktor dari dalam individu itu sendiri terdiri dari kondisi individu tersebut berupa
kondisi fisiki dan psikis. Kondisi fisik yaitu kondisi jasmaniahdari individu tersebut.
Sebagai contoh: anak yang sakit ia tidak bisa berbuat apa-apa, segala kebutuhannya
memerlukan bantuan orang lain, sehingga ia dikatakan kurang mandiri. Kondisi psikis
yaitu kondisi kejiwaan individu. Kondisi kejiwaan yang memepengaruhi anak
tunagrahita adalah inteligensi, motivasi, dan sikap.
2) Faktor dari luar individu
Faktor dari luar individu meliputi faktor social dan non-sosial. Faktor sosial adalah
faktor yang berasal dari manusia yang berarti ada hubungan secara langsung dengan
manusia. Misalnya: seorang anak berada dalam asuhan pendidik atau keluarga yang
otoriter. Orang tua biasanya telah menentukan segala sesuatu terhadap anakna, sehingga
anak tidak ikut serta dalam mengambil keputusan dalam memecahkan suatu
permasalahan. Factor non-sosial yang dimaksud adalah selain adanya hubungan secara
langsung dengan manusia juga bersal dari situasi dan kondisi di lingkungan anak.
32

Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah situasi politik, ekonomi, dan kebudayaaan
(Djisman S. dan Pardede, 1997: 97).
D. Anak Tunagarhita a. Pengertian
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual dibawah rata – rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan
istilah – istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective,
dan lain – lain.
Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi
anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata – rata dan ditandai oleh keterbatasan
inteligensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Menurut William Stern (dalam
Alex Sobur, 2003;158) “Intelegensi merupakan kapasitas atau kecakapan umum pada
individu kearah sadar untuk menyesuaikan pikirannya pada situasi yang dihadapinya”.
Menurut Somantri (2012:103) anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah
terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar
untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak
terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan
dengan kemampuan anak tersebut.
Sedangkan menurut Bratanata (1979) dalam Muhamad Efendi (2008:88)
menyebutkan, seseorang dikategorikan berkelanan mental subnormal atau tunagrahita,
jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemkian rendahnya (di bawah normal),
sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara
spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.
b. Klasifikasi Tunagrahita
Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita. Berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja
sosial, psikolog, dan pedagog. Berikut uraiannya:
1) Seorang dokter atau secara klinis, dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita dapat di
golongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah seperti tipe sindroma
down/mongoloid, hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar yang berisi cairan,
microchepalus yaitu ukuran kepala terlalu kecil, dan macrocephalus ukuran kepala
terlau besar (ati dan rosnawati, 2013: 14-15).
33

2) Seorang pekerja sosial dalam mengklasi-fikasikan anak tunagrahita didasarkan pada


derajat kemampuan penyesuaian diri atau ketidakergantungan pada orang lain,
sehingga untuk menentukan berat-ringannya ketunagrahitaan dilihat dari tingkat
penyesuaiannya, seperti tida tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tergantung
pada orang lain.
3) Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita mengarah kepada aspek
indeks mental inteligensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil tes
kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan
IQ 50-75 kategri debil atau maron.
4) Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada
penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari penilaian tersebut dapat
dikelompokan menjadi anak tunagrahita ringan (mampu didik), anak tunagrahita
sedang (mampu latih), dan anak tunagrahita berat (mampu rawat). Adapun penjelasan
klasifikasi tunagrahita menurut pedagog adalah sebagi berikut: a) Tunagrahita ringan
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu
mengikuti program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara
lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung; (2) menyesuaikan diridan
tidak menggantungkan diri pada orang lain; (3) keterampilan yang sederhana
untuk kepentingan kerja di kemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita
mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididiksecara minimal dalam
bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
b) Tunagrahita sedang
Anak tunagrhita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahitayang memiliki
kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti
program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu,
beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu yang perlu diberdayakan, yaitu (1)
belajar mengurus diri, misalnya; makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri, (2)
belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya, (3) mempelajari
kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja (sheltered workshop), atau di
34

lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu latih berarti anak


tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas
kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial
kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c) Tunagrahita berat
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang
lain. Dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita
yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak
mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton, 1991)
(dalam Muhammad Efendi, 2008: 90-91).
c. Sebab-sebab Ketunagrahitaan
Menurut Mohammad Effendi (2006:91), sebab terjadinya ketunagrahitaan pada
seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan
faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor eksogen). Ketunagrahitaan
karena faktor endogen, yaitu faktor ketidak sempurnaan psikobiologis dalam
memindahkan gen (hereditary transmission of psycho – biological insufficiency).
Sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari
perkembangan normal.
Sedangkan penyebab ketunagrahitaan menurut Kemis dan Ati Rosnawati (2013:15),
disebabkan oleh beberapa faktor:
1) Generik: Kerusakan/kelainan biokimiawi, abnormalitas kromosomal
2) Sebelum lahir (prenatal): Infeksi rubella (cacar), faktor rhesus
3) Kelahiran (pre-natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran
4) Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya: meningitis (peradangan pada selaput
otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein
5) Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan
6) Gangguan metabolism/nutrisi
35

d. Masalah-masalah yang dihadapi Anak Tunagrahita


Perkembangan fungsi intelektual anak tunagrahita yang rendah dan disertai dengan
perkembangan perilaku adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung kepada
kehidupan sehari-hari mereka, sehingga ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya
(Kemis dan Rosnawati, 2013: 21). Masalah-masalah anak tungrahita yang dihadapi natara
lain:
1) Masalah belajar
Menurut Kemis dan Rosnawati (2013:21) aktivitas belajar berkaitan langsung
dengan kemampuan kecerdasan di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya
dibutuhkan kemampuan mengingat dan kemampuan untuk memahami, serta
kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Anak-anak yang tidak bermasalah
atau anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak
akan mengembangkan kaidah sendiri dalam mengingat, memahami, mencari hubungan
sebab akibat tentang apa yang mereka pelajari. Sekali kaidah belajar itu dapat
ditemukan, maka ia akan dapat belajar secara efisien dan efektif. Setiap anak biasanya
mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tungrahita. Mereka mengalami
kesulitan untuk dapat berfikir secara abstrak, belajar apapun harus terkait dengan objek
yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan
jangka pendek, kelemahan dalam bernalar, dan sukar sekali dalam mengembangkan
ide.
2) Masalah penyesuaian diri
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma
lingkungan. Oleh karena itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak
tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena mungkin
tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak
sesuai dengan perkembangan umurnya. Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan ukuran normatif lingkungan berkaitan dengan kesulitan memahami dan
mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku lainnya berkaitan dengan
36

ketidaksesuaian antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur (Kemis


dan Rosnawati, 2013: 26).
Selain itu anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda
usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul
tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan
diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa
memikirkan akibatnya (Somantri, 2012: 105).
3) Gangguan bicara dan bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui
beberapa cara, pertama; anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar
seharihari dengan cepat. Hampir semua anak normal dapat menguasai aturan dasar
bahasa kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua; bahasa apapun memiliki kalimat yang
tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar sebelumnya. Hal
ini berarti ank-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar,
anak-anak harus belajar konsep grametikal yang abstrak dalam menghubungkan
katakata menjadi kalimat (Kemis dan Rosnawati, 2013: 28).
Menurut Somantri (2012: 106) anak tunagarhita memiliki keterbatasan dalam
penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi
pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya.
Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya.
Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses
komunikasi. Pertama; gangguan atau kesulitan bicara dimana individu mengalami
kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar sebagai contoh subtitusi
bunyi, menghilangkan bunyi dan gagap. Kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak
tunagrahita yang mengalami gangguan bicara dibandingkan dengan anak-anak normal.
Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan yang positif anatara rendahnya
kemampuan kecerdasan dengan kemampuan bicara yang dialami. Kedua; hal yang
lebih serius dari gangguan bicara adalah gangguan bahasa, dimana seorang anak
mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosa kata serta kesulitan
dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan.
37

Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan


dengan yang mengalami gangguan bicara (Kemis dan Rosnawati, 2013: 29).
Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi
terhadap suatu peristiwa bahasa kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara.
Penyertaan kelainan sekunder ini, maka hal-hal yang tampak pada anak tunagrahita
mampu latih dalam berkomunikasi, di samping struktur kalimat yang disampaikannya
cenderung tidak teratur (apbasia conceptual), juga dalam pengucapannya seringkali
terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi (kekacauan dalam pengucapan)
(Efendi, 2008: 99).
4) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada
situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti
hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita
tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,
membedakan antara yang baik dan yang buruk, membedakan yang benar dan yang
salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak tunagrahita tidak dapat
membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan (Somantri, 2012:
105).

Anda mungkin juga menyukai