Anda di halaman 1dari 10

REVIEW MATERI

DINASTI ABASSIYAH ( 750-1258 M)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu
Muhammad Amiruddin, Lc., M.Pd.

Disusun oleh :
1. Prameswari Yusa Salsabila (210703110097)
2. Mohammad Faishal Fathur Riza (210703110108)
3. Alya Maulidia Zahra (210703110116)
4. Narisca Putri Silvana (210703110120)
5. Nadiya Fitriya Al Faroeq (210703110132)

JURUSAN FARMASI
KELAS C
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
Dinasti Abassiyah ( 750-1258 M)

A. Pendirian Dinasti Abasiyyah

Dinasti Abbasiyah berdiri setelah mereka berhasil menaklukkan


Dinasti Umayyah. Keturunan Al-Abbas menjadi pendiri dinasti Abbasiyah,
yaitu Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas.
Kelompok Abbasiyah merasa lebih layak memegang tonggak kekuasaan
daripada Bani Umayyah karena mereka berasal dari Bani Hasyim yang lebih
dekat garis keturunannya dengan Nabi Muhammad. Saat itu sejarah
runthnya bani umayyah.

Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari


peperangan yang berdarah dan bergejolak. Pada awalnya, cicit dari Abbas
bernama Muhammad bin Ali berkampanye untuk mengembalikan
kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi ketika Umar
bin Abdul Aziz masih memerintah. Pertentangan semakin memuncak pada
masa pemerintahan khalifah Marwan II. Menjelang berakhirnya dinasti
Umayyah, ada kelompok dari Bani Hasyim yang teraniaya sehingga
melakukan perlawanan. Kelompok Bani Hasyim keturunan Ali dipimpin
oleh Abu Salamah dan keturunan Abbas dipimpin oleh Ibrahim Al- Iman.

Selain itu juga ikut kelompok keturunan bangsa Persia, pimpinan


Abu Musli al-Khurasany bekerja sama menaklukkan dinasti Umayyah.
Pada akhirnya kaum Abbasiyah berhasil menaklukkan pemimpin terakhir
Umayyah, yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas al-Saffah berhasil
meruntuhkan Bani Umayyah dan diangkat sebagai khalifah. Sejarah
berdirinya dinasti Abbasiyah memasuki masa kejayaannya dengan
menerapkan pola pemerintahan yang berbeda – beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Pusat pemerintahan saat itu terletak di
Kuffah. Kepemimpinan kemudian digantikan oleh Abu Jafar al-Mansur
mulai 750 – 775 M, saudara dari Abu Abbas.

Ia membangun kota baru yang diberi nama Baghdad, dimana


terdapat istana bernama Madinat as-Salam. Pada periode awal sekitar 750 –
847 M, kegiatan perluasan wilayah masih diutamakan dinasti Abbasiyah
dan membuat pondasi sistem pemerintahan yang akan menjadi panduan
bagi kepemimpinan selanjutnya. Setelah Abu Jafar, Abbasiyah dipimpin
oleh Harun al-Rasyid mulai 789 – 809 M. Ia mendirikan perpustakaan
terbesar pada zamannya bernama Baitul Hikmah, sehingga orang – orang
terpelajar dari kalangan Barat dan Muslim datang ke Baghdad untuk
mendalami ilmu pengetahuan. Setelah itu Abbasiyah dipimpin oleh al-Amin
dan al-Makmun al-Rasyid, putra Harun al-Rasyid. Al Makmun memimpin
sejak 813 – 833 M dan memperluas Baitul Hikmah menjadi akademi ilmu
pengetahuan pertama di dunia.

Ia juga mendirikan Majalis al-Munazharah yang mengadakan


pengajian di rumah, masjid dan istana khalifah, dan menjadi tanda akan
bangkitnya kekuatan penuh dari Timur dengan Baghdad sebagai pusat
kebudayaan dan puncak keemasan Islam. Pada masa ini juga banyak
diterjemahkan buku – buku karya kuno dari Yunani dan Syria kuno ke
dalam bahasa Arab. Paham Muktazilah dianut al-Makmun sebagai mazhab
negara, yaitu menggunakan akal sebagai dasar untuk memahami dan
menyelesaikan persoalan teologi, yang merintis pembahasan teologi Islam
secara detil dan filosofis sehingga muncul filsafat Islam. Selanjutnya dalam
sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah al-Mutawakkil
mulai 847 – 861 M. Ia berbeda dengan khalifah sebelumnya karena lebih
cenderung ke cara berpikir ahlun sunnah.

Dalam sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah, ia hidup pada satu


zaman dengan para tokoh besar Islam seperti Abdul Malik bin Habib (imam
Mazhab Maliki), Abdul Azis bin Yahya al-Ghul(murid Imam Syafi’i), Abu
Utsman bin Manzini (pakar ilmu nahwu) dan Ibnu Kullab, seorang tokoh
dalam bidang ilmu kalam. Terjadi perselisihan mengenai penerus
kekhalifahan setelah al-Mutawakkil karena sebelum dirinya wafat, ia
hendak menurunkan mandat kepada anak – anaknya yaitu al-Muntashir, al-
Mu’taz dan al-Muayyad. Tetapi ia kemudian mengubah susunan
penerusnya menjadi al-Mu’taz lebih dulu , namun al- Muntashir tidak
menerimanya.

Akibatnya posisi al-Muntashir langsung diturunkan dengan paksa,


bersamaan dengan berlangsungnya ketidak senangan orang – orang Turki
kepada al-Mutawakkil karena beberapa sebab. Al-Muntashir dan orang –
orang Turki kemudian sepakat untuk membunuh al-Mutawakkil. Setelah
ayahnya dibunuh, al-Muntashir menjadi pemimpin khalifah namun hanya
selama enam bulan karena ia justru berbalik menjelekkan orang Turki dan
dibunuh oleh mereka. Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah kemudian
mengalami kemunduran sejak saat itu. Banyak pula faktor lain yang
mempengaruhinya karena kurangnya perhatian pada persoalan politik,
seperti pemisahan diri Afrika Utara untuk membentuk pemerintahan
merdeka bernama Kekhalifahan Fathimiyah.

Para gubernur di berbagai propinsi seperti dinasti Samaniyah mulai


bertindak lebih bebas, dan para jenderal Turki di pasukan Abbasiyah juga
semakin lama semakin sulit dikendalikan oleh para khalifah. Kesulitan
komunikasi antara pusat pemerintahan sulit dilakukan pada masa itu karena
wilayah kekuasaan yang sangat luas, bahkan tingkat kepercayaan antara
penguasa dan para pelaksana pemerintahan sangat rendah. Begitu juga
keuangan negara yang sulit karena negara perlu mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk angkatan bersenjata. Pemisahan – pemisahan wilayah
pun mulai terjadi, sebagian besar karena perbedaan cara mengelola daerah
kekuasaan yang berbeda dengan Bani Umayyah.

Pada masa Bani Umayyah, wilayah kekuasaannya tetap sejajar dengan batas
– batas wilayah kekuasaan Islam. Namun pada masa pemerintahan
Abbasiyah, kekuasaan mereka tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh
Afrika Utara kecuali sebagian kecil Mesir. Dalam kenyataannya banyak
wilayah berada dalam kekuasaan khalifah hanya dalam bentuk pengiriman
upeti pajak dari gubernurnya masing – masing. Pada saat kekhalifahan
Abbasiyah mulai menunjukkan kemunduran, propinsi – propinsi tersebut
mulai melepaskan diri dan tidak lagi membayar pajak, bahkan berusaha
menguasai kekhalifahan itu sendiri. Sejarah perang uhud juga terjadi setelah
kekhalifahan abbasiyah selesai, dan menjadikan kekuasaan bercampur
tangan serta menimpulkan berbagai perang seperti dalam sejarah perang
badar.

B. Pola Pemerintahan Dinasti Abassiyah


Pemerintahan Abbasiyah sebetulnya tidak banyak berbeda dari
Dinasti Umayyah karena sejak awal Abbasiyah senantiasa berhadapan
dengan berbagai pesaing politik, cenderung menyingkirkan para
pesaingnya, dan juga berjasa dalam menaikkan dinasti baru ke takhta
pemerintahan. Hal ini diikuti pula dengan usaha mengonsentrasikan
kekuasaan di tangan khalifah.

Konsentrasi kekuasaan di tangan khalifah ini terjadi secara efektif


pada masa Khalifah al-Mansur (754-775) dan Khalifah Harun ar-Rasyid
(786-809). Ini tampak jelas dengan dibangunnya Baghdad sebagai ibu kota
baru Abbasiyah. Pemerintahan Abbasiyah mengangkat seorang gubernur
(amir) untuk memimpin suatu wilayah. Hal ini disebabkan oleh
kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang semakin luas. Agar sistem
pemerintahan berjalan efektif, khalifah membentuk sistem birokrasi pada
era awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Salah satunya adalah mengadakan
jabatan baru seperti wazir. Wazir adalah penasihat khalifah dengan tingkat
pengaruh yang beraneka ragam, tetapi kemudian bisa bertindak sebagai
kepala pemerintahan.

Pemerintahan dibagi menjadi sejumlah departemen (diwan). Ada


diwan yang membawahi kegiatan militer, administrasi, dokumentasi, dan
pembendaharaan. Jumlah diwan cenderung bertambah karena kompleksnya
pemerintahan dan luasnya wilayah kekuasaan. Di samping mengangkat
wazir dan pejabat birokrasi lain, khalifah juga menunjuk hakim agung (qadli
al-qudlah) dari kalangan ulama terkemuka. Hakim agung ini menunjuk dan
mengirim hakim ke provinsi-provinsi. Para hakim provinsi kemudian
mengangkat perangkat personalia peradilannya masing-masing.

Di samping itu, ada lembaga lain yang disebut mazalim, yaitu


lembaga ekstrayudisial, tempat para khalifah atau gubernur mendengar
keluhan dan laporan langsung dari rakyat. Materi hukum dan prosedur yang
diterapkan lembaga ini tidak seketat yang telah dibakukan dalam fikih.

C. Sentralisasi anggaran

Untuk menjalankan pemerintahan, telah disediakan anggaran


khusus. Anggaran negara ini pertama diperoleh dari hasil pajak. Jenis pajak
yang paling penting adalah kharaj, yaitu pajak atas tanah dan hasil pertanian.
Kedua, anggaran negara bersumber dari jizyah, yaitu pajak yang dipungut
dari rakyat non-Muslim sebagai kompensasi atas dibebaskannya mereka
dari kewajiban militer. Sumber ketiga adalah zakat yang diwajibkan kepada
seluruh orang Islam.

Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam pemerintahan Dinasti


Abbasiyah adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah
administrasi keuangan dan perpajakan. Ini adalah salah satu yang
membedakannya dari kekuasaan Umayyah. Perkembangan administrasi
keuangan dan perpajakan mendapatkan bentuknya yang lebih sempurna
sejak kelompok Baramikah menjadi pelaksana pemerintahan pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya
yang sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan
sumbangan yang memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.

Oleh sejumlah khalifah, anggaran ini dibelanjakan untuk


mengembangkan dan memperluas sawafi (tanah negara) sebagai salah satu
sumber penting bagi keuangan negara. Cara pengelolaan uang negara
seperti ini memiliki dampak positif. Sepeninggal Khalifah al-Mansur dan
Harun ar-Rasyid, negara telah memiliki sumber keuangan yang lebih dari
cukup. Dengan sumber keuangan negara yang cukup besar ini, kekuasaan
Abbasiyah dibangun atas fondasi ekonomi pertanian yang subur dan
perdagangan yang luas.

D. Ekspansi Wilayah Dinasti Abassiyah

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)

Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode


ini, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas
mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah. Walaupun demikian pada periode ini banyak
tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.

2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)

Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk


mengontrol kekhalifahannya Al-Ma’mun bergantung kepada dukungan
Tahir, seorang bangsawan Khurasan yang sebagai imbalan diangkat sebagai
gubernur di Khurasan (820-822) dan jenderal bagi seluruh pasukan
Abbasiyah dengan janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh keturunannya.
Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata yaitu;
pasukan syakiriyah yang dipimpin oleh pemimpin lokal dan pasukan
Gilman yang terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting dicatat
disini adalah kalau pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat
dukungan militer dari rakyatnya sendiri, pada masa kemunduran ini mereka
bergantung kepada pasukan asing untuk dapat berkuasa atas rakyatnya
sendiri, sehingga pemerintahan pusat menjadi lemah. .Masa-masa
berikutnya sampai kedatangan kekuatan Bani Buwaih.

3. Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)

Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam


pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua. Abu Syuja’ Buwaih adalah seorang berkebangsaan Persia dari
Dailam. Ketiga anaknya : Ali (‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn al-Daulah),
dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah) merupakan pendiri dinasti Bani Buwaih.
Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani Abbas bermula dari
kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan Ahmad dalam pasukan
Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi kemudian berpindah ke kubu
Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian barat
dan barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jenderal Tuzun
(penguasa sebenarnya atas Baghdad) Ahmad memasuki Baghdad dan
memulai kekuasaan Bani Buwaih atas khalifah Abbasiyah.

Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi,


terutama diwilayah Persia, bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada
masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang
walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa
kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca
sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya
lawan-lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara
tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-
jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 1194 M)

Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam


pemerintahan khilafah Abbasiyah atau disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M)

Periode ini adalah masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abassiyah


Masa pemerintahan Daulah Abbasiyah khususnya pada masa
kekhalifahan Harun ar-rasyid dan Putranya Al Makmun adalah masa
keemasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam dunia islam Pada masa
ini pula umat Islam telah memberikan kebebasan bagi berperangnya akal
dan pikiran Untuk kemajuan manusia saat itu. Pada masa kekhalifahan ini
pula hasil pemikiran manusia dan para ahli ilmu dari berbagai bangsa di
dunia yang saat itu berkembang saling melengkapi dan menambah
kemajuan ilmu pengetahuan Dalam dunia islam.
Di samping banyak bermunculan karya-karya ilmuwan muslim
bermunculan pula karya-karya berbahasa asing terutama bahasa Yunani
yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab buku-buku dari berbagai bahasa
dan berbagai judul itu dipilih dan diserahkan kepada para ilmuwan muslim
untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah menyediakan dana
yang sangat besar untuk kegiatan penerjemahan ini.
Yang menarik dari perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
Bani Abbasiyah adalah bahwa sebagian besar orang-orang yang
berkecimpung dalam bidang ini tidak hanya berasal dari bangsa Arab
muslim atau dikenal dengan kaum mawali. Kaum mawali adalah muslim
yang berasal dari bangsa non-arab terutama orang-orang yang berasal dari
Persia.
Para ilmuwan muslim pada masa Bani Abbasiyah menjelajahi tiga
benua untuk menuntut ilmu pengetahuan. Ketiga benua yang dipilih adalah
benua Asia Eropa dan Afrika. Dari 3 benua ini dianggap mengalami
kemajuan yang sangat pesat dari semua ilmu pengetahuan.
Setelah kembali dari tempat pengembaraan para ilmuwan muslim
membaca dan menerjemahkan buku-buku tersebut. Dalam waktu yang lama
mereka berusaha menggali berbagai pengetahuan dan kemudian menulis
berbagai buku terutama buku-buku dalam bentuk Dairatul Ma’arif atau saat
ini lebih dikenal dengan sebutan ensiklopedia.
Dari buku-buku itulah masyarakat muslim saat itu belajar dan terus
mengembangkan pengetahuannya di berbagai masjid yang saat itu dijadikan
sebagai pusat kegiatan pendidikan. Dengan semakin giat nya kaum
muslimin mempelajari berbagai ilmu dari berbagai buku yang ditulis oleh
para ilmuwan muslim dan buku-buku berbahasa asing yang diterjemahkan
oleh mereka maka masyarakat Islam pada masa itu menunjuk
perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa.
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam berkembang pula di
negara-negara barat(EROPA). Disana perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban umat Islam berkembang tidak kalah pesatnya. Berbagai hasil
penemuan dan penelitian ilmiah dibukukan oleh para ilmuwan muslim.
Kegiatan penerjemahan dari berbagai buku karya ilmuwan besar
Eropa terus menerus berlangsung. Pembangunan tempat kegiatan kegiatan
belajar sangat pesat dan sangat diperhatikan oleh para penguasa muslim
yang ada di sana. Kegiatan-kegiatan belajar diikuti oleh umat Islam dari
berbagai kalangan. Kota-kota besar dan berbagai peninggalan yang saat ini
masih dapat disaksikan merupakan bukti sejarah kemajuan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan umat Islam di masa Bani Abbasiyah.

Anda mungkin juga menyukai