Anda di halaman 1dari 81

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN

ECHINODERMATA PADA EKOSISTEM LAMUN


PULAU PANJANG JEPARA

SKRIPSI

Oleh :

JULIAN WIDYO PRAMESTI


260 201 161 301 17

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN ECHINODERMATA PADA
EKOSISTEM LAMUN
PULAU PANJANG JEPARA

Oleh:
JULIAN WIDYO PRAMESTI
260 201 161 301 17

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Derajat Sarjana S1 pada Program Studi
Ilmu Kelautan
Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Komposisi Dan Kelimpahan Echinodermata


Pada Ekosistem Lamun Pulau Panjang, Jepara
Nama Mahasiswa : Julian Widyo Pramesti
Nomor Induk Mahasiswa : 26020116130117
Departemen/Program Studi : Ilmu Kelautan/Ilmu Kelautan

Mengesahkan :

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Widianingsih. MSc Ir. Hadi Endrawati, DESU


NIP. 196706251994032002 NIP. 196007071990032001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Dengan ini saya, Julian Widyo Pramesti, menyatakan bahwa karya


ilmiah/skripsi ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan strata (S1) dari Universitas Diponegoro maupun
perguruan tinggi lainya.
Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah/skripsi ini yang berasal
dari karya orang lain, baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan
penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi
dari karya ilmiah/skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Semarang, Februari 2021

Penulis

Julian Widyo Pramesti

NIM. 26020116130117

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
dengan judul “Analisis Komposisi Dan Kelimpahan Echinodermata Pada
Ekosistem Lamun Pulau Panjang, Jepara”.
Adapun maksud penyusunan ini adalah untuk memenuhi syarat guna
menyelesaikan Program Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
Widianingsih. MSc dan Ir. Hadi Endrawati, DESU selaku dosen pembimbing
utama dan dosen pembimbing anggota dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih
sangat jauh dari sempurna. Karena itu, saran dan kritik demi perbaikan penulisan
skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Semarang, 25 Februari 2021

Penulis

v
RINGKASAN

Julian Widyo Pramesti. 26020116130117. Komposisi dan Kelimpahan


Echinodermata Pada Ekosistem Lamun Pulau Panjang, Jepara. (Pembimbing :
Widianingsih dan Hadi Endrawati).

Pulau Panjang terdapat di Kabupaten Jepara yang memiliki beberapa


ekosistem, salah satunya adalah ekosistem padang lamun. Secara ekologis, padang
lamun memiliki peranan penting bagi Echinodermata yang bermanfaat sebagai
pemakan detritus (sampah organik).
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui komposisi serta kelimpahan
Echinodermata, mengetahui kerapatan lamun, serta mengetahui hubungan antara
kelimpahan Echinodermata dengan kualitas Perairan di Pulau Panjang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei dengan
teknik purposive random sampling, metode pengambilan data Echinodermata dan
lamun menggunakan metode LIPI, sebanyak 2 stasiun yang dilakukan selama 3
Bulan, yaitu Bulan Juli, Agustus, dan September.
Hasil penelitian yang dilakukan selama 3 Bulan menunjukkan komposisi
Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang terdiri dari 2 Kelas, yaitu
Holothuroidea dan Echinoidea. Pada Bulan Juli ditemukan 2 spesies yaitu
Holothuria atra dengan kelimpahan sebesar 0,192 ind/m², dan Diadema setosum
dengan kelimpahan sebesar 0,128 ind/m². Pada Bulan Agustus ditemukan 3
spesies yaitu Holothuria atra dengan nilai kelimpahan sebesar 0,128 ind/m²,
Diadema setosum sebesar 0,153 ind/m², dan Laganum laganum sebesar 0,003
ind/m². Pada Bulan September ditemukan 2 spesies yaitu Holothuria atra dengan
nilai kelimpahan sebesar 0,237 ind/m², dan Diadema setosum sebesar 0,127
ind/m². Beberapa spesies lamun yang ditemukan pada perairan Pulau Panjang
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea
rotundata, dan Cymodocea serrulata. Kerapatan Lamun yang didapatkan dari
pengambilan data selama 3 Bulan (Juli, Agustus, dan September) yaitu berkisar
antara 2852 – 7812 ind/m². Kandungan Bahan Organik dalam sedimen di
Ekosistem Lamun di Pulau Panjang selama 3 Bulan pengambilan data (Juli,
Agustus, dan September) didapatkan berkisar antara 2,73 – 3,85%.

Kata Kunci: Echinodermata; Kelimpahan; Komposisi; Pulau Panjang; Lamun.

vi
SUMMARY

Julian Widyo Pramesti. 26020116130117. Composition and abundance of


echinoderms in the Panjang Island Seagrass Ecosystem, Jepara. (Supervisors:
Widianingsih and Hadi Endrawati).

Panjang Island is located in Jepara Regency which has several ecosystems,


one of which is a sea grass ecosystem. Ecologically, seagrass beds have an
important role for Echinoderms which are useful as detritus (organic waste)
eaters.
The objectives of this study were to determine the composition and
abundance of echinoderms, to determine the density of seagrass, and to determine
the relationship between the abundance of echinoderms and the quality of waters
in Panjang Island.
The method used in this study is a survey method with purposive random
sampling technique, echinoderm and seagrass data collection methods using the
LIPI method, conducted 2 stations for 3 months during July, August, and
September.
The results of the study which was carried out for 3 months showed that
the composition of Echinoderms found in Panjang Island consisted of 2 classes,
namely Holothuroidea and Echinoidea. In July 2 species were found, namely
Holothuria atra has an abundance 0,192 ind/m², and Diadema setosum has an
abundance 0,128 ind/m². In August, 3 species were found, namely Holothuria
atra has abundance values 0,128 ind/m², Diadema setosum of 0,153 ind/m², and
Laganum laganum of 0,003 ind/m². In September, 2 species were found, namely
Holothuria atra has abundance values 0,237 ind/m², and Diadema setosum of
0,127 ind/m². Several species of seagrass found in Long Island waters are Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, and
Cymodocea serrulata. Seagrass density obtained from data collection for 3
months (July, August, and September) ranged from 2852 - 7812 ind/m². The
content of organic matter in the sediments in the Seagrass Ecosystem in Panjang
Island for 3 months of data collection (July, August, and September) was obtained
ranging from 2,73 – 3,85%.

Keywords: Echinoderms; Abundance; Composition; Panjang Island; Seagrass.

vii
DAFTAR ISI
Halaman

COVER....................................................................................................................i

HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH..............................................iv

KATA PENGANTAR............................................................................................v

RINGKASAN........................................................................................................vi

SUMMARY..........................................................................................................vii

DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x

DAFTAR TABEL.................................................................................................xi

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xii

I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3. Tujuan........................................................................................................3
1.4. Manfaat......................................................................................................3
1.5. Waktu dan Tempat....................................................................................3

II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................4


2.1. Filum Echinodermata................................................................................4
2.1.1. Kelas Asteroidea................................................................................6
2.1.2. Kelas Ophiuroidea..............................................................................8
2.1.3. Kelas Echinoidea..............................................................................10
2.1.4. Kelas Holothuroidea........................................................................13
2.1.5. Kelas Crinoidea................................................................................15
2.1.6. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Echinodermata...............17
2.2. Lamun......................................................................................................21

viii
2.2.1. Lamun..............................................................................................21
2.2.2. Ekosistem Lamun.............................................................................22
2.3. Perairan Pulau Panjang............................................................................24

III. MATERI DAN METODE........................................................................27


3.1. Waktu dan Tempat..................................................................................27
3.2. Materi Penelitian.....................................................................................27
3.3. Peralatan dan Bahan................................................................................27
3.4. Metodologi Penelitian.............................................................................29
3.4.1. Pengambilan Data............................................................................29
3.4.2. Lokasi Pengambilan Data................................................................33
3.4.3. Pengolahan Data..............................................................................33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................36


4.1. Hasil.........................................................................................................36
4.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian....................................................36
4.1.2. Kerapatan Lamun di Pulau Panjang.................................................36
4.1.3. Komposisi Echinodermata di Pulau Panjang...................................38
4.1.4. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang........................41
4.1.5. Parameter Lingkungan Perairan Pulau Panjang...............................45
4.1.6. Bahan Organik Sedimen di Ekosistem Lamun................................46
4.2. Pembahasan.............................................................................................48

V. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................56


5.1. Kesimpulan..............................................................................................56
5.2. Saran........................................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57

LAMPIRAN..........................................................................................................62

RIWAYAT HIDUP..............................................................................................69

ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Bintang Laut Linckia laevigata (Zamani, 2015)...................................6


Gambar 2. Bintang Mengular Ophiothrix sp. (Hudha & Husamah, 2019)............8
Gambar 3. Bulu Babi Diadema setosum (Hudha & Husamah, 2019)..................10
Gambar 4. Timun Laut Holothuria sp. (Hudha & Husamah, 2019).....................13
Gambar 5. Lili Laut Comaster sp. (Jalaluddin & Ardeslan, 2017).......................15
Gambar 6. Denah pengambilan data lamun (Rahmawati et al., 2014).................30
Gambar 7. Pembagian Transek Kuadrant 50 x 50cm pada perhitungan persentase
tutupan lamun (Rachmawati et al, 2019)............................................31
Gambar 8. Peta lokasi pengambilan data di Pulau Panjang.................................33
Gambar 9. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-1 pada
Bulan Juli............................................................................................37
Gambar 10. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-2 pada
Bulan Agustus.....................................................................................37
Gambar 11. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-3 pada
Bulan September.................................................................................38
Gambar 12. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang
Sampling ke-1 pada Bulan Juli...........................................................43
Gambar 13. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang
Sampling ke-2 pada Bulan Agustus....................................................44
Gambar 14. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang
Sampling ke-3 pada Bulan September................................................44
Gambar 15. Kelimpahan jenis Echinodermata di Pulau Panjang selama 3 Bulan
pengambilan data................................................................................45
Gambar 16. Bahan organik yang didapatkan pada stasiun 1 selama 3 Bulan
pengambilan data................................................................................47
Gambar 17. Bahan organik yang didapatkan pada stasiun 2 selama 3 Bulan
pengambilan data................................................................................47

x
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1. Jenis Lamun yang ditemukan di Pulau Panjang Menurut Kementerian


Kelautan dan Perikanan.........................................................................22
Tabel 2. Peralatan dan Bahan Sampling................................................................27
Tabel 3. Peniliaian Penutupan Lamun dalam Kotak Kecil Penyusunan Kuadrat 50
x 50 cm..................................................................................................32
Tabel 4. Komposisi Jenis Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang,
Jepara.....................................................................................................39
Tabel 5. Deskripsi Spesies Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang.....39
Tabel 6. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-1 pada
Bulan Juli...............................................................................................42
Tabel 7. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-2 pada
Bulan Agustus.......................................................................................42
Tabel 8. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-3 pada
Bulan September...................................................................................42
Tabel 9. Parameter Lingkungan Perairan Pulau Panjang......................................45
Tabel 10. Bahan Organik Pada Substrat Dasar Perairan Ekosistem Padang Lamun
di Pulau Panjang....................................................................................46

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kelimpahan Echinodermata di Pulau Panjang, Jepara ...................63


Lampiran 2. Bahan Organik Pada Substrat Dasar Perairan Ekosistem Padang
Lamun di Pulau Panjang.................................................................64
Lampiran 3. Kerapatan Lamun di Pulau Panjang................................................65
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Data Echinodermata dan
Lamun di Pulau Panjang, Jepara....................................................67

xii
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pulau Panjang merupakan salah satu daerah tujuan wisata di daerah

Jepara dan sekitanya. Terdapat beberapa ekosistem yang ada di perairan Pulau

Panjang, salah satunya adalah padang lamun. Padang lamun merupakan salah

satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam

kehidupan berbagai biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari

yang paling produktif (Assy et al., 2013). Perairan Pulau Panjang memiliki

beberapa biota Echinodermata diantaranya Bulu Babi, Teripang, dan Sand

Dollar. Echinodermata di Pulau Panjang tersebar di ekosistem padang lamun

dan terumbu karang. Echinodermata pada umumnya menghuni ekosistem

terumbu karang dan padang lamun serta menyukai substrat yang agak keras

terutama substrat di padang lamun yang merupakan campuran dari pasir dan

pecahan karang (Aziz, 1994).

Lamun (seagrass) atau disebut juga ilalang laut adalah satu-satunya

kelompok tumbuhan laut berbunga yang sudah sepenuhnya beradaptasi dengan

lingkungan laut, sehingga dapat tumbuh dengan membentuk padang yang luas

dan dikenal sebagai padang lamun, dan tersebar luas di perairan laut dangkal

(Kordi, 2011). Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sepenuhnya sudah

menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Menurut Alongi

(1998), beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan lamun adalah suhu,

cahaya, salinitas, kedalaman, substrat dasar perairan dan pergerakan air laut

(ombak, arus dan pasang surut). Lamun tersebar pada sebagian besar perairan

1
2

pantai dunia, hanya pada beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak

ditemukan.

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas

organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Komunitas

lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. Lamun biasanya membentuk

suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Pada

ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Crustasea, Moluska

(Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp.,

Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta)

(Odum, 1993).

I.2. Rumusan Masalah

Perairan Pulau Panjang banyak mengalami tekanan dari aktivitas yang

dilakukan oleh manusia. Polusi akibat solar kapal, limbah antropogenik, dan

wisata pantai yang berada di Pesisir Pulau Panjang.

Sampai seberapa jauh tekanan-tekanan diatas dapat mengganggu

ekosistem biota laut di Perairan Pulau Panjang yang dapat berpengaruh

terhadap populasi Echinodermata yang semakin menurun, begitu pula dengan

kondisi ekosistem Lamun yang terdapat di Perairan Pulau Panjang.

Kelimpahan Echinodermata sebagai hewan asosiasi perlu diketahui di

suatu perairan. Untuk itu penelitian perlu dilakukan sebagai pembaharuan

untuk mengetahui data kelimpahan Echinodermata terbaru Tahun 2020 pada

wilayah vegetasi lamun yang dapat dijadikan salah satu tolak ukur kualitas dan

perubahan kondisi pada Perairan Pulau Panjang, Jepara.


3

I.3. Tujuan

Mengetahui komposisi dan kelimpahan Echinodermata pada ekosistem

lamun di Perairan Pulau Panjang.

I.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hasil penelitian dapat dijadikan dasar data bagi pengelolaan ekosistem

pesisir khususnya Echinodermata dan lamun yang berada di Pulau

Panjang, Jepara.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam

pendidikan sebagai materi pembelajaran.

c. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai informasi komposisi dan

kelimpahan Echinodermata yang terdapat pada ekosistem lamun di

Pulau Panjang, Jepara.

I.5. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli, Agustus, dan September

2020, dan pengambilan data dilaksanakan di Perairan Pulau Panjang,

Kabupaten Jepara.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Filum Echinodermata

Echinodermata pertama kali dikemukakan oleh Jacob Klein pada Tahun

1734. Echinodermata merupakan hewan laut yang hidup di pantai, tetapi

banyak ditemukan di dasar laut. Echinodermata merupakan hewan laut yang

berada di antara hewan laut pada umumnya dan distribusinya yang luas,

dijumpai di semua dari zona intertidal sampai laut yan sangat dalam.

Echinodermata merupakan salah satu hewan yang sangat penting dalam

ekosistem laut dan bermanfaat sebagai salah satu komponen dalam rantai

makanan, pemakan sampah organik dan hewan kecil lainnya. Sehingga ia

mempunyai peran sebagai pembersih lingkungan laut terutama pantai. Selain

itu echinodermata juga dapat dijadikan parameter (bioindikator) kualitas di

perairan laut (ekosistem laut) (Jalaluddin dan Ardeslan, 2017).

Echinodermata merupakan salah satu hewan yang sangat penting dalam

ekosistem laut dan bermanfaat sebagai salah satu komponen dalam rantai

makanan, pemakan sampah organik dan hewan kecil lainnya. Sehingga ia

mempunyai peran sebagai pembersih lingkungan laut terutama pantai. Selain

itu echinodermata juga dapat dijadikan parameter (bioindikator) kualitas di

perairan laut (ekosistem laut). Hal ini senada apa yang dituliskan Dahuri (2003)

menyatakan bahwa Jenis-jenis Echinodermata dapat bersifat pemakan seston

atau pemakan detritus, sehingga peranannya dalam suatu ekosistem untuk

merombak sisa-sisa bahan organik yang tidak terpakai oleh spesies lain namun

dapat dimanfaatkan oleh beberapa jenis Echinodermata. Secara umum di dalam

4
5

ekosistem laut echinodermata mencapai diversitas tertinggi di terumbu karang

dan pantai dangkal. Beberapa jenis Echinodermata juga hidup dengan

menguburkan diri di daerah pantai atau di bawah rumput laut, ada juga yang

membenamkan diri dalam tanah liat di muara sungai atau di bawah karang-

karang yang lunak (Umagap, 2013).

Echinodermata merupakan salah satu komponen utama dari

keanekaragaman hayati laut yang memainkan peran penting dalam fungsi

ekosistem (Supono et al., 2014) yaitu pada jaring-jaring makanan sebagai

herbivora, karnivora, omnivora, ataupun sebagai pemakan detritus (Yusron,

2013). Secara umum Echinodermata lebih banyak dijumpai pada perairan yang

jernih dan tenang (Radjab et al., 2014), dan mencapai keanekaragaman

tertinggi di terumbu karang dan pantai dangkal (Rompis et al., 2013).

Echinodermata dibagi kedalam lima Kelas yaitu Asteroidea (Bintang Laut),

Echinoidea (Bulu Babi), Crinoidea (Lili Laut), Ophiuroidea (Bintang

Mengular), dan Holothuroidea (Teripang) (Yusron, 2013).


6

II.1.1. Kelas Asteroidea

Menurut Clark and Rowe (1971), Klasifikasi Asteroidea (bintang laut)

adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Asteroidea
Ordo : Paxillosida
Famili : Ophidlasteridae
Genus : Linckia
Spesies : Linckia laevigata

Gambar 1. Bintang Laut Linckia laevigata (Zamani, 2015).

Bintang laut biasa dijumpai di perairan terumbu karang di pantai laut

dengan mulutnya di sisi bawah tubuh. Bagian dorsal disebut aboral atau

abaktinal (abactinal). Lima lengan menjulur ke sekeliling arah dari pusatnya

atau cakramnya. Tergantung pada jenisnya, jumlah lengan ada yang empat

dan ada yang sampai 40 buah. Mulut yang berada di sisi bawah terletak

ditengah-tengah cakran dan anus di atas. Di dekat anus terdapat pintu saring

ke sistem pembuluh air yang dinamakan madreporit. Di bagian bawah (sisi


7

oral), terdapat celah dalam dan memanjang mulai dari mulut ke ujung

masing-masing lengan dalam dua atau empat baris yang dinamakan alur

ambulakral. Pada ujung lengan terdapat bintik mata. Di sisi ini terdapat kaki-

tabung (tube feet) yang dapat dikeluar-masukkan dan mempunyai penghisap

pada ujungnya untuk memegang benda yang tersentuh. Daerah atas

mempunyai embelan (sungut peraba / antena), tergantung pada jenisnya, ada

yang panjang disebut duri, ada yang hanya membuat kulitnya kasap (kesat /

tidak halus), embelan ini bagian dari lempeng tulang dari kapur yang

membentuk endoskeleton (kerangka dalam) (Romimohtarto, 2007).

Tubuh Asteroidea memiliki duri yang tersusun dari zat

kapurdikelilingi duri pada bagian dasar disebut pediselaria yaitu duri yang

mengalami perubahan berfungsi untuk melindungi insang kulit (organ

respirasi), memecah makanan, mencegah sisa-sisa organisme agar tidak

tertibun pada permukaan tubuhnya (Rusyana, 2011).

Bintang Laut merupakan anggota dari kelas Asteroidea (filum

Echinodermata) secara ekologis berperan sangat penting bagi ekosistem laut.

Kelas Asteroidea ini mempunyai species yang paling tinggi pada filum

echinodermata, yaitu hampir 1900 species yang masuk dalam 36 famili dan

370 genera di dunia (Mah dan Blake, 2012). Bintang laut dapat hidup pada

semua kedalaman dari intertidal sampai abisal dan bisa ditemukan diseluruh

perairan dunia, terutama daerah Atlantik tropis and wilayah Indo-Pasifik.


8

II.1.2. Kelas Ophiuroidea

Menurut Clark and Rowe (1971), Klasifikasi (Ophiuroidea) bintang

mengular.

Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Ophiuroidea
Ordo : Ophiurae
Famili : Ophiothridae
Genus : Ophiothrix

Spesies : Ophiothrix sp

Gambar 2. Bintang Mengular Ophiothrix sp. (Hudha & Husamah, 2019).

Kelas Ophiuroidea terdiri atas basket star dan serpent star atau brittle

star. Ophiuroidea memiliki 2000 spesies yang sudah diidentifikasi, sehingga

merupakan kelas terbesar dari Echinodermata. Mereka hidup di habitat laut,

di perairan yang tenang dan pada kedalaman laut yang dalam. Ophiuroidea

memiliki lengan yang panjang yang berpusat pada cakram, dan tidak

memiliki kaki ambulakral. Ophiuroidea adalah jenis Echinodermata yang

paling kecil ukurannya. Ophiuroidea memiliki cakram dengan diameter 1-3


9

cm serta lengan yang sangat panjang. Lengan dari basket star adalah yang

terpanjang 12 cm. Basket star memiliki lima lengan yang berbentuk seperti

dahan atau ranting. Ophiuroidea adalah merupakan hewan yang sangat aktif

bergerak, dan merupakan hewan karnivora, pemakan bangkai, deposit feeder,

dan filter feeder (Odum, 1993).

Struktur tubuh Ophiuroidea berbentuk seperti bola dengan 5 lengan

bulat panjang. Tiap-tiap lengan terdiri dari ruas-ruas yang sama. Dibagian

lateral terdapat duri, sedangkan dibagain ventral dan dorsal tidak terdapat

duri. Kaki tabung tanpa pengisap dan berfungsi sebagai alat gerak akan tetapi

bertindak sebagai alat sensoris dan memantu sistem respirasi. Jenis hewan ini

tidak mempunyai pedicellaria dan anus, mulut terletak di pusat tubuh dan

dikelilingi oleh lima kelompok lempeng kapur yang berfungsi segabai rahang

(Rusyana, 2011).

Kelompok hewan ini dianggap sebagai kelompok Echinodermata

terbesar. Hewannya rentan lingkungan dan hidup di tempat terlindung atau di

air tenang. Di perairan pantai pada kubangan pasut dan di balik batu atau

memendam pada dasar lunak. Bentuk tubuh seperti uang logam (coin),

bundar dan pipih dan lengan-lengan menjulur sekeliling tubuh dan mulut di

bawah. Lengan ramping mudah bergerak-gerak cepat memungkinkan hewan

ini berjalan cepat dan bahkan berenang dalam air. Karena kelenturan

lengannya yang tinggi dan kemampuannya untuk bergerak, kaki tabungnya

umumnya tidak digunakan untuk berjalan dan dikurangi fungsinya menjadi

alat perasa dan pernapasan (Romimohtarto, 2007).


10

Bintang mengular memiliki organ respirasi yang terdiri dari lima

pasang kantung brusae. Kantung tersebut selain berperan sebagai organ

respirasi juga berfungsi untuk menerima saluran gonad sistem ambulakral

pada Ophiuroidea sama dengan sistem ambulakral yang terdapat pada

Asteroidea, medaporit terletak di daerah dekat mulut. Echinodermata dari

golongan kelas inilah yang dapat bergerak paling cepat dan memiliki daya

regenerasi yang tinggi (Rusyana, 2011).

II.1.3. Kelas Echinoidea

Menurut Clark and Rowe (1971), Klasifikasi Echinoidea (bulu babi)

adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Echinoidea
Ordo : Cidaroidea
Famili : Diadematidae

Genus : Diadema
Spesies : Diadema setosum

Gambar 3. Bulu Babi Diadema setosum (Hudha & Husamah, 2019).


11

Hewan-hewan yang termasuk kelas ini adalah bulu babi, sand dollar,

dan bulu hati (heart urchin). Tubuh hewan ini bulat tanpa lengan, duri-duri

menutupi tubuh, panjang pada bulu babi dan pendek pada dolar pasir, tubuh

terbungkus oleh suatu struktur yang berupa cangkang, terdiri dari lempengan-

lempengan yang menyatu membentuk kotak seperti cangkang keras di tempat

ini ia hidup. Biasanya ada 10 deret lempeng lipat dua dengan lima pasang

lubang untuk kaki tabung yang ramping keluar melalui cangkang

(Romimohtarto, 2007). Bulu babi tidak memiliki lengan, akan tetapi memiliki

5 baris kaki tabung yang berfungsi dalam pergerakan lambat. Bulu babi juga

memiliki otot untuk memutar durinya yang panjang yang membantu dalam

pergerakan (Campbell et al., 2003).

Bulu babi merupakan biota laut penghuni ekosistem terumbu karang

dan padang lamun yang sangat umum dijumpai di perairan dangkal. Biota ini

tersebar luas mengikuti penyebaran terumbu karang (Sugiarto, 1995).

Persebaran Bulu babi sangat tergantung kepada perkembangan faktor subtrat

dan makanan, dapat ditemui dari daerah intertidal (pasang surut) sampai

kedalaman 10 m (Aziz, 2011). Zona sublitoral (0-200m) merupakan zona

yang sangat umum dijumpai adanya bulu babi di perairan laut Indonesia

maupun di seluruh dunia. Habitat bulu babi ditemukan di daerah padang

lamun dan terumbu karang, daerah berpasir atau pasir berlumpur dan juga

didapatkan di atas pecahan karang (Aziz, 1994).

Bentuk tubuh hewan ini kurang lebih globular, terdiri dari lima bagian

tubuh yang sama, tanpa tangan dan mempunyai banyak duri yang tajam dan

beracun. Kaki ambulakral pendek dan terletak diantara duri-duri yang


12

panjang. Mulut dikelilingi oleh lima buah gigi yang berkumpul di dalam bibir

yang corong. Di daerah ujung aboral (disebut juga daerah periprok), terdapat

anus, gonopur (lubang genital), dan medreporit. Sistem pernafasan

Echinoidea dilakukan oleh 10 buah kantung (modifikasi podia) yang terletak

didaerah sekitar mulut. Makanannya berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-

hewan yang sudah mati yang jauh ke dasar laut. Organ kelamin hewan ini

terpisah, gonad terletak di bagian dalam permukaan aboral dan mempunyai

lubang genitalia yang terletak di daerah periproct. Larvanya disebut pluteus

(Rusyana, 2011).

Bulu babi umumnya berbentuk menyerupai bola, memiliki sisi tubuh

segi lima (simetris radial), dengan cangkang keras berkapur dan dipenuhi

dengan duri serta tidak berlengan (Kuncoro, 2004). Tubuh bulu babi

(Echinoidea) terdiri dari tiga bagian, yaitu: oral, aboral, dan bagian antara oral

dan aboral. Mulut terletak di bagian oral menghadap ke dasar laut, sedangkan

duburnya menghadap ke atas (aboral) puncak bulatan cangkang. Pada bagian

tengah sisi aboral terdapat sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral

terdapat sistem peristomial. Lempeng-lempeng ambulakral (penjuluran kaki

tabung) dan interambulakral (tidak terdapat kaki tabung) berada diantara

sistem apikal dan sistem peristomial (Sugiarto, 1995).


13

II.1.4. Kelas Holothuroidea

Menurut Clark and Rowe (1971), Klasifikasi Holonthuroidea

(Mentimun Laut/Tripang) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Holonthuroidea
Ordo : Aspidochirotida
Famili : Holothuridae
Genus : Holothuria

Spesies : Holothuria Sp

Gambar 4. Timun Laut Holothuria sp. (Hudha & Husamah, 2019).


14

Teripang (Holothuroidea) atau Timun laut adalah kelompok hewan

avertebrata laut dari kelas Holothuroidea, filum Echinodermata yang sering

dijumpai di daerah terumbu karang. Bentuk tubuh teripang secara umum ialah

seperti ketimun sehingga dalam bahasa Inggris disebut “Sea Cucumbers” atau

ketimun laut (Husain et al., 2017).

Teripang memiliki tubuh memanjang seperti ketimun, maka dari itu

ada juga yang menyebut teripang sebagai ketimun laut dikarenakan

bentuknya. Teripang memiliki mulut di ujung yang satu dan anus di ujung

yang lainnya, terdapat kaki tabung dan mempunyai mangkuk penghisap

seperti bintang laut di bagian ventral yang digunakan untuk berjalan, kaki

tabung juga didapatkan di bagian dorsal yang biasanya digunakan untuk

merasakan dan untuk pernapasan. Teripang tidak memiliki pediselaria (kaki

penjepit) dan duri, tetapi teripang memiliki tentakel berbentuk kaki tabung di

sekeliling mulut. Teripang memiliki tubuh berkulit yang dapat memanjang

dan mengerut, sebagian teripang bernapas melalui pohon respirasi, sebuah

alat bercabang yang terdiri dari banyak tabung. Daerah rektum dan kloaka

menggembung dan mengerut untuk menghisap air ke dalam anus dan

mendorongnya ke tabung pada pohon respirasi (Romimohtarto, 2007).

Tentakel merupakan modifikasi kaki tabung disekitar mulut dan

berfungsi untuk memasukkan makanan ke mulut. Jumlah dan bentuk tentakel

merupakan bagain yang penting dalam identifikasi teripang. Jumlah tentakel

teripang bervariasi antara 8-30, tergantung bangsanya. Bentuk tentakel

teripang bermacam - macam, yaitu berbentuk perisai (peltate), dendritik

(dendritic), menyirip (pinnate), dan menjari (digitate). Teripang memiliki


15

respon terhadap gangguan. Pertahanan, pertama yang dilakukan

holothuroidea saat merasa terganggu adalah mengerutkan tubuhnya, jika

gangguan terus berlangsung, teripang akan mengeluarkan cairan yang bersifat

lengket bahkan beracun. Teripang juga akan melakukan eviserasi yaitu

mengeluarkan organ pencernaan, dan pohon respirasi. Teripang berperan

sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi. Teripang dapat hidup

dengan menempati berbagai macam habitat seperti zona rataan trumbu,

daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang

mati (Pratiwi, 2011).

II.1.5. Kelas Crinoidea

Menurut Clark and Rowe (1971), Klasifikasi Crinoidea (lili laut)

adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Subfilum : Crinozoa
Kelas : Crinoidea
Ordo : Comatulidae
Famili : Comasteridae
Subfamili : Comasterinae
16

Genus : Comaster sp.

Gambar 5. Lili Laut Comaster sp. (Jalaluddin & Ardeslan, 2017).

Lili laut atau Crinoidea adalah salah satu anggota filum

Echinodermata. Bentuk tubuh dan penampilannya menyerupai tanaman lili

atau pakis. Bagi orang awam lili laut mungkin dianggap sebagai flora laut,

apalagi bagian tangannya (arms) mempunyai corak warna yang beraneka

ragam, hijau, kuning, merah atau kombinasi dari dua atau lebih warna. Lili

laut pada umumnya mempunyai cara dan kebiasaan makan yang sama dengan

teripang, bulu babi, bintang laut dan bintang mengular yaitu termasuk

kedalam kelompok biota penyaring (filter feeders) Makanannya berupa

plankton dan partikel melayang (Safitri, 2010). Hewan ini memiliki bentuk

seperti bunga, memiliki kaliks pusat berbentuk cangkir yang terdiri atas

lempeng-lempeng berzat kapur dan lima lengan fleksibel yang bercabang dua

untuk membentuk 10 atau lebih embelan ramping dengan tonjolan lateral.

Kaliks sering dipotong pada tangkai bersendi yang panjang dengan dasar

seperti akar yang melekat ke dasar laut.

Crinoidea memiliki mulut yang berbeda dengan spesies

Echinodermata lainnya, yaitu menghadap keatas. Anus terletak di daerah


17

tonjolan dekat mulut. Tubuh atau kelopak ditutupi oleh kulit (tegmen) yang

mengandung lempengan zat kapur. Kutikula dan epidermis belum begitu

berkembang. Hewan dewasa biasanya memiliki 5 – 10 buah lengan yang

bercabang - cabang. Cabang tersebut sering dibagian dasar, juga mempunyai

cabang-cabang kecil yang disebut pinnula disepanjang sisinya (bentuknya

seperti bulu burung yang terurai), sehingga sepintas hewan ini terlihat seperti

tumbuhan Hewan ini tidak mempunyai medreporit, duri dan pediselaria

(Rusyana, 2011).

Kelompok hewan ini dinamakan lili laut atau bintang bulu. Sebagian

besar dari mereka hidup di laut yang sedang jeluknya, beberapa jenis berupa

hewan laut jeluk dan beberapa jenis lagi mendiami laut dangkal, antaranya di

terumbu karang. Ukurannya tidak lebih dari 40 cm panjangnya dan berwarna

mencolok. Tubuhnya terdiri dari cakram sentral dengan lima lengan bermula

dari cakram. Setiap lengan bercabang dua atau lebih. Setiap cabang memiliki

ranting - ranting melintang disebut pinul. Cabang-cabang ini membuat hewan

berbulu - bulu. Cakram sentral bentuknya seperti mangkuk dengan mulut

terletak di dasar (di bawah) menunjukkan ciri Crinoidea (Romimohtrarto,

2007). Lili laut merupakan indicator pencemaran air, sebuah indikator suatu

ekosistem terumbu karang. Hal ini telah dibuktikan dalam penilitian bahwa

lili laut memiliki kelimpahan maksimum di perairan yang masih baik,

sedangkan pada perairan yang buruk lili laut tidak dapat hidup.
18

II.1.6. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Echinodermata

Pertumbuhan biota laut di daerah pasang surut sangat tinggi,

disebabkan karena daerah ini merupakan tempat hidup, tempat berlindung,

dan tempat mencari makan. Selain itu, kondisi lingkungan pada daerah ini

sangat menguntungkan bagi pertumbuhan biota laut karena adanya dukungan

dari faktor fisika, kimia, dan biologis laut. Soemodhiharjo (1990)

mengungkapkan bahwa faktor fisik-kimia laut meliputi salinitas, pH, arus,

suhu, dan kecerahan yang selalu berubah-ubah sangat berpengaruh terhadap

kehidupan organisme di daerah pasang surut. Selanjutnya Rowe & Doty

(dalam Hasan, 2004) mengatakan bahwa faktor penting lain yang

mempengaruhi sebaran Echinodermata adalah topografi rataan suatu pulau di

samping pakan dan cara makan. Densitas hewan laut bergantung pada

temperatur, salinitas, dan tekanan. Selain itu, Aziz (1996) mengungkapkan

bahwa kondisi substrat dan habitat sangat menentukan sebaran

Echinodermata

II.1.6.1. Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas

benda, Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul.

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu

perairan. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme

benthos. Suhu yang paling baik untuk kehidupan organisme dilaut berkisar

spesifik pada suhu lingkungan yaitu sekitar pada suhu 28- 31°C (Iswanti et

al., 2012).
19

Suhu udara mempunyai batas letal, sehingga organisme intertidal

dapat mati baik karena kedinginan maupun kepanasan. Sinar matahari

kadangkadang kurang menguntungkan, sehingga membatasi organisme di

pantai. Sinar matahari yang mengandung panjang ultraviolet dapat

membahayakan jaringan hidup. Air akan dengan cepat menyerap panjang

gelombang ini sehingga dapat melindungi kebanyakan hewan laut, akan

tetapi bagi hewan intertidal mengalami keterbukaan yang langsung dengan

sinar pada waktu pasang-turun, sehingga makin tinggi letak organisme di

intertidal, maka semakin besar pula keterbukaan terhadap sinar

(Helmizuryani, 2010).

II.1.6.2. Salinitas

Salinitas dipengaruhi oleh penguapan, air hujan, pergerakan dan

perpindahan massa air laut, dan terjadinya difussi. Ikan dan invertebrata

merupakan habitat laut estuarin dan merupakan habitat wilayah pasang surut

dan pasang naik yang mengatur tekanan osmotik di bawah kondisi salinitas

yang sering berubah. Kebanyakan spesies laut beradaptasi di dalam

lingkungan salinitas yang tinggi maupun salinitas yang rendah. Salinitas

atau kadar garam dipengaruhi oleh curah hujan, tekanan air di dasar dan

evaporasi dipermukaan pantai yang dipengaruhi oleh suhu dan angin

(Michael, 1995).

Semakin tinggi kadar garam semakin sedikit organisme yang hidup

pada lingkungan tersebut, karena organisme tersebut tidak dapat

menyeimbangkan konsentrasi tubuh dengan konsentrasi lingkungannya.


20

Salinitas air laut berada antara 0 – 40 o/oo, yang berarti kandungan garam

berkisar antara 0 – 40 g/kg air laut (Hartati et al., 2012).

II.1.6.3. Derajat Keasaman (pH)

Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam

mentoleransi pH perairan. Air laut memiliki kemampuan menyangga

perubahan pH yang sangat besar, perubahan pH sedikit saja dari pH alami

dapat menganggu sistem penyangga dimana menimbulkan perubahan dan

ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat 40 membahayakan kehidupan

biota laut, karena kadar pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2

maupun CO2 (Fentaria et al., 2015).

Nilai pH pada permukaan laut Indonesia berkisar antara 6,0 – 8,5.

Nilai pH tersebut sesuai dengan kisaran pH yang normal bagi hewan

benthos Echinodermata dan sebagian besar biota akuatik menyukai kisaran

pH tersebut. Maka dari itu berdasarkan dari nilai pH, permukaan laut

indonesia akan kaya dengan biota akuatik yang didalamnya, pH di bawah

4,8 dan di atas 9,2 dikatakan sudah termasuk daerah yang tercemar serta

akan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan

organisme dilaut (Tangke, 2010).

II.1.6.4. Dissolved Oxygen (DO)

Dissolved Oxygen merupakan ukuran kandungan relatif oksigen

yang terlarut dalam air. Air dingin cenderung dapat menyimpan oksigen

lebih banyak daripada air hangat. Oksigen ditrasfer dari atmosfer ke

permukaan air secara difusi atau aerasi oleh energi angin. Oksigen terlarut
21

juga diperoleh dari produk sampingan fotosintesis tumbuhan yang terdapat

di perairan tersebut (Septiani et al., 2018).

Kadar oksigen pada permukaan laut yang normal dan belum

tercemar memiliki kisaran 5,7 – 8,5 ppm. Sedangkan kadar oksigen di

perairan laut nilainya kurang dari 5 ppm perairan tersebut sudah mulai

tercemar dalam tingkat yang masih ringan. Namun dalam keadaan lain

apabila kadar oksigen nya 5 ppm tetapi di dukung oleh suhu antara 20 –

30°C keadaan ini masih relatif baik untuk kehidupan berbagai hewan

termasuk Echinodermata. Kandungan oksigen hanya 2 mg sudah cukup

mendukung biota hewan 28 untuk hidup tetapi dengan syarat tidak ada

senyawa toksik pada perairan tersebut (Iswanti et al., 2012).

II.2. Lamun

II.2.1. Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang

dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al., 1969).

Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai

akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan

tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat (Tomlinson, 1974). Lamun

senantiasa membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari

satu species (monospesific; banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih

dari satu species (multispecific; banyak terdapat di daerah tropis) yang

selanjutnya disebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan


22

ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan

serta mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut.

Lamun (seagrass) atau disebut juga ilalang laut merupakan satu-

satunya kelompok tumbuhan laut berbunga yang sudah sepenuhnya

beradaptasi dengan lingkungan laut, sehingga dapat tumbuh dengan

membentuk padang yang luas dan dikenal sebagai padang lamun, dan tersebar

luas di perairan laut dangkal (Kordi, 2011). Lamun hidup pada berbagai

macam tipe substrat, mulai dari pecahan karang sampai sedimen dasar yang

terdiri dari endapan lumpur halus. Kebutuhan substrat yang utama bagi

pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen. Peranan kedalaman

substrat dalam stabilitas sedimen mencakup pelindung tanaman dari arus laut

dan tempat pengolahan dan pemasok nutrient (Dahuri, 2003).

Berdasarkan data dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)

pada Tahun 2010, Pulau Panjang yang letaknya bersebelahan dengan Pantai

Kartini, Jepara, memiliki ekosistem lamun di sebelah timur pulau, Pulau

Panjang memiliki 8 jenis lamun, yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea

serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis,

Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalassodendron cilliatum

(Tabel 1) yang dapat ditemukan pada jarak 9 m dari garis pantai.

Tabel 1. Jenis Lamun yang ditemukan di Pulau Panjang Menurut


Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010).

No. Spesies Luas Sebaran ( )

1 Cymodocea rotundata 18.120,30

2 Cymodocea serrulata 39.240,16


23

3 Enhalus acoroides 47.920,71

4 Halodule uninervis 19.550,21

5 Halophila ovalis 10.850,25

6 Syringodium isoetifolium 31.480,19

7 Thalassia hemprichii 43.940,10

8 Thalassodendron ciliatum 22.297,15

II.2.2. Ekosistem Lamun

Satu jenis lamun atau beberapa jenis lamun umumnya membentuk

hamparan luas yang disebut Komunitas Padang Lamun. Kemudian,

komunitas padang lamun berinteraksi dengan biota yang hidup didalamnya

dan dengan lingkungan sekitarnya membentuk Ekosistem Padang Lamun.

Beberapa jenis biota yang hidup di padang lamun adalah ikan baronang,

rajungan, berbagai jenis karang, dsb. Adapun lingkungan sekitar padang

lamun termasuk lingkungan perairan, substrat di dasar perairan seperti pasir

dan lumpur, dan udara. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem

pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta

mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Ekosistem

padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai

fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah pesisir

(Tangke, 2010).

Ekosistem lamun umumnya berada di daerah pesisir pantai dengan

kedalaman kurang dari 5 m saat pasang. Namun, beberapa jenis lamun dapat
24

tumbuh lebih dari kedalaman 5 m sampai kedalaman 90 m selama kondisi

lingkungannya menunjang pertumbuhan lamun tersebut (Duarte, 1991).

Ekosistem lamun di Indonesia biasanya terletak di antara ekosistem mangrove

dan karang, atau terletak di dekat pantai berpasir dan hutan pantai.

Ekosistem padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks

dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan

wilayah pesisir. Secara taksonomi lamun (seagrass) termasuk dalam

kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang

umumnya hidup di perairan dangkal wilayah pesisir. Distribusi lamun

sangatlah luas, dari daerah perairan dangkal Selandia baru sampai ke Afrika.

Dari 12 genera yang telah dikenal, 7 genera diantaranya berada dan tersebar

di wilayah tropis (Den Hartog, 1970).

Dalam ekosistem lamun, rantai makanan tersusun dari tingkat-tingkat

trofik yang mencakup proses dan pengangkutan detritus organik dari

ekosistem lamun ke konsumen yang agak rumit. Sumber bahan organik

berasal dari produk lamun itu sendiri, di samping tambahan dari epifit dan

alga makrobentos, fitoplankton, dan tanaman darat. Zat organik dimakan

fauna melalui perumputan (grazing) atau pemanfaatan detritus. Jumlah jenis

lamun tidak banyak, di seluruh dunia tercatat sekitar 50 jenis dan di Indonesia

tercatat sebanyak 12 jenis. Jumlah ini tidak sebanding dengan kelimpahan

yang sering terdapat di alam dan jika dipandang dari kepentingan ekonomik

dan ekologiknya (Romimohtarto, 2007).

Padang lamun memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Padang

lamun juga merupakan salah satu ekosistem perairan pantai yang mempunyai
25

peranan sangat penting dalam menunjang kelangsungan hidup berbagai

populasi biota termasuk hewan makrobenthos, hal ini disebabkan oleh peran

padang lamun yang berfungsi sebagai daerah untuk mencari makan (feeding

ground) dan berlindung (shelter) bagi hewan makrobenthos. Stabilitas

substrat yang diberikan oleh rhizoma dan akar lamun memungkinkan

kelangsungan hidup dan perlindungan bagi hewan makrobenthos di dalam

lapisan sedimen terhadap predat (Prasetya et al., 2015).

II.3. Perairan Pulau Panjang

Sebagai salah satu obyek pariwisata yang cukup dikenal oleh masyarakat

banyak, Pulau Panjang adalah pulau yang terdapat di Kabupaten Jepara, Jawa

Tengah. Pulau dengan luas 19 hektar ini berjarak 1,5 mil laut (2,5 Km) dari

Pantai Kartini, Jepara. Menurut Rencana Induk Pengembangan Pariwisata

(RIPP) Kabupaten Jepara, bahwa Pulau Panjang berpotensi sebagai daerah

wisata bahari / pantai / air. Pulau dengan hamparan pasir putih yang banyak

memberikan panorama yang sangat indah dan didukung dengan banyaknya

berbagai jenis flora dan fauna yang dapat menambah keindahan di kawasan

Pulau Panjang. Selain itu pulau ini memiliki terumbu karang sehingga cocok

untuk pecinta alam bawah laut, dan di bagian tengah pulai ini terdapat hutan

tropis yang ditumbuhi pohonpohon besar serta di bagian pesisir terdapat

pohon-pohon bakau (Ginanjar, 2017).

Pulau Panjang merupakan salah satu kawasan konservasi dan dijadikan

tujuan ekowisata yang secara administrasi terdapat di Kelurahan Ujung Batu,

Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Pulau Panjang

tepat di depan Teluk Awur. sebelah barat Pantai Kartini (1.5 mil laut). Secara
26

geografis Pulau Panjang berada pada posisi 06°34"30 LS, dan 110°37"44 BT,

dengan luas daratan pulau sekitar 7 hektare (E-KKP3K. 2015). Sebelum Pulau

Panjang dijadikan kawasan konservasi, Pemerintah Kabupaten Jepara

menetapkan Pulau Panjang sebagai Kawasan Hutan Kota dan berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun 20112031 pada pasal 30 ayat 2

Pulau Panjang ditetapkan sebagai Kawasan Perkembangan Alami Satwa

(Perda. Kab. Jepara, 2011). Ditetapkannya Pulau Panjang sebagai kawasan

perkembangan alami satwa secara tidak langsung melindungi habitat dan

ekosistem secara alami. Pada Tahun 2013 Pulau Panjang ditetapkan sebagai

kawasan konservasi dengan dasar hukum Pencadangan kawasan sebagai

kawasan Konservasi yakni SK Bupati Jepara Nomor: 522.52/728 Tahun 2013

tentang Pencadangan Kawasan Taman Pulau Kecil Pulau Panjang Kabupaten

Jepara. Kegiatan ekowisata Pulau Panjang dalam pelaksanaannya tidak bisa

dilakukan oleh satu pihak pengelola resmi saja yang ditunjuk pemerintah,

yakni di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara.

Namun perlu keterlibatan antar instansi atau stakeholder dan masyarakat

sekitar. Masyarakat lokal atau penduduk asli yang bermukin di sekitar lokasi

ekowisata merupakan pemain kunci dalam kegiatan wisata, karena merekalah

yang menyediakan sebagian besar atraksi dan menentukan kualitas produk

wisata (Malik et al., 2016).


III. MATERI DAN METODE

III.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Panjang, Jepara pada Bulan

Juli, Agustus, dan September Tahun 2020.

III.2. Materi Penelitian

Data yang digunakan dalam pengamatan ini adalah Data Primer

Echinodermata yang terdapat di ekosistem lamun di Perairan Pulau Panjang,

Jepara.

III.3. Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya ialah

GPS, Roll Meter, Transek Kuadran, dan sebagainya seperti yang tercantum

kedalam tabel berikut (Tabel 2).

Tabel 2. Peralatan dan Bahan Sampling

No. Nama Alat Keterangan

1. Alat tulis Alat pencatat hasil pengamatan


Alat bantu menghitung kelimpahan
2. Transek Kuadran
Echinodermata
Alat penghitung jarak antar titik dan
3. Rol Meter
stasiun
Alat untuk melihat Echinodermata di
4. Masker dan Snorkel
dalam air

27
28

Tabel 2. Peralatan dan Bahan Sampling (Lanjutan)

No. Nama Alat Keterangan

5. Thermometer Alat pengukur suhu perairan

6. pH pH Alat pengukur derajat keasaman perairan

7. Kertas underwater Alat pencatat hasil pengamatan

8 Kamera underwater Alat pengambil dokumentasi lapangan


Alat untuk membantu identifikasi
9. Buku Identifikasi
Echinodermata
Alat untuk menyimpan sampel sedimen
10. Cool Box untuk penentuan kadar bahan organik
dalam sedimen
Alat sebagai wadah pengovenan
11. Alumunium Foil
sedimen

Alat untuk menimbang sedimen dalam


12. Timbangan Digital
perhitungan kadar bahan organik

13. Oven Alat pengering sampel sedimen

Alat untuk menyimpan sedimen yang


14. Ziplock
diambil dari laut

15. Echinodermata Biota asosiasi yang dihitung

16. Lamun Ekosistem yang diamati

Media yang digunakan sebagai


17. Air laut
parameter

18. Sedimen Media yang diukur kualitasnya


29

III.4. Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu metode

yang menggunakan variable numeric dan pengolahan data secara statistik.

Metode ini melalui beberapa tahap yaitu observasi, pengambilan data, dan

pengolahan data (Suryana, 2010). Metode observasi dilakukan sebagai

pendahuluan untuk mengenali dan mengamati daerah wilayah yang akan

diambil data Echinodermatanya serta mengamati kondisi geologi wilayah

tersebut. Wilayah pengamatan diamati apakah memungkinkan untuk

mengambil data mengenai biota Echinodermata pada ekosistem lamun.

Metode pengambilan data dilakukan dengan mengambil data

Echinodermata sesuai dengan prosedur literatur yang ada. Data yang diperoleh

dari pengamatan ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer

meliputi data Echinodermata pada ekosistem lamun Pulau Panjang yang

diperoleh secara langsung saat pengambilan data. Data sekunder meliputi

jumlah vegetasi lamun pada perairan Pulau Panjang yang diperoleh dari

literatur atau penelitian yang sudah ada. Data yang diperoleh kemudian diolah,

dianalisis dan dibandingkan dengan pustaka yang ada, kemudian disusun

menjadi sebuah laporan penelitian (Suryana, 2010).

III.4.1.Pengambilan Data

Metode praktek pengambilan data dilakukan dengan menerapkan

literature yang ada untuk mengaplikasikannya di lapangan. Metode praktek

atau pengambilan data dilakukan sesuai dengan prosedur pada setiap langkah

kerja.
30

Pengambilan data lamun dilakukan pada tiga transek roll meter

dengan panjang masing-masing 100 m dan jarak antara satu transek dengan

yang lain adalah 50 m sehingga total luasannya 100 x 100 . Frame kuadrat

diletakkan di sisi kanan transek dengan jarak antara kuadrat satu dengan yang

lainnya adalah 10 m sehingga total kuadrat pada setiap transek adalah 11

(Gambar 6). Titik awal transek diletakkan pada kali pertama lamun dijumpai

dari arah pantai (Rahmawati et al., 2014).

Gambar 6. Denah pengambilan data lamun (Rahmawati et al., 2014)


31

25 cm 25 cm

25 cm 25 cm

25 cm 25 cm

Gambar 7. Pembagian Transek Kuadrant 50 x 50cm pada perhitungan


persentase tutupan lamun (Rachmawati et al, 2019).

Metode yang digunakan pada pengambilan data Echinodermata kali

ini adalah modifikasi dari metode LIPI, yaitu metode belt transek dengan

penarikan roll meter dilakukan menyesuaikan pendataan lamun, tegak lurus

ke arah laut lepas sepanjang 100 meter, lalu dilanjutkan dengan penarikan roll

meter kearah samping sepanjang 50 meter secara terus menerus hingga

transek pendataan lamun selesai. Dalam pendataan dilakukan pengamatan 1

meter disebelah kiri roll meter dan 1 meter disebelah kanan roll meter

sepanjang transek hingga selesai. Peletakkan roll meter menyesuaikan dengan

denah (Gambar 8), dimana data yang dihasilkan yaitu data per stasiun.

Echinodermata yang ditemukan dalam pendataan belt transek di

dokumentasikan dengan menggunakan kamera digital underwater.


32

Tabel 3. Peniliaian Penutupan Lamun dalam Kotak Kecil Penyusunan


Kuadrat 50 x 50 cm (Rahmawati et al., 2017).

No. Kategori Nilai Penutupan Lamun

1. Tutupan Penuh 100

2. 75
Tutupan kotak kecil

3. 50
Tutupan kotak kecil

4. 25
Tutupan kotak kecil

5. Kosong 0

Adapun langkah kerja yang pengambilan data lamun melalui metode

transek kuadran menurut Rahmawati et al. (2017), yaitu :

a. Melakukan survei pendahuluan untuk melihat sebaran lamun yang ada di

perairan.

b. Pengambilan data dengan transek kuadrat 50 cm x 50 cm yang dibagi

menjadi 4 kuadrat berukuran 25 cm x 25 cm.

c. Pada masing-masing stasiun, garis transek ditarik atau ditentukan

sepanjang 100 m tegak lurus garis pantai atau hingga lamun sudah tidak

ditemukan, dengan 3 ulangan setiap stasiunnya, dengan jarak 50 m dan

setiap 10 m ditetapkan masing-masing satu transek kuadran. Penempatan

transek berada di sebelah kanan transek garis dan dilakukan pengukuran

dengan menempatkan transek kuadrat. Pengamatan dilakukan langsung

dilapangan terhadap presentase tutupan sesuai Tabel 3.


33

d. Amati karakteristik substrat secara visual dan memilin dengan tangan,

karakteristik dibagi menjadi: berlumpur, berpasir, rubble.

III.4.2.Lokasi Pengambilan Data

Pengamatan ini dilakukan pada ekosistem lamun di Pulau Panjang,

Kabupaten Jepara. Data Echinodermata diperoleh di padang lamun yang

berlokasi di sebelah Utara, Timur, dan Selatan dari Pulau Panjang.

Gambar 8. Peta lokasi pengambilan data di Pulau Panjang

III.4.3.Pengolahan Data

III.4.3.1. Analisis Kelimpahan Jenis Echinodermata

Analisis data untuk menentukan kelimpahan Echinodermata,

menggunakan indeks Shannon Wienner (Sulphayrin et al., 2018) yaitu,

sebagai berikut :
34

D=𝑁/𝐴

Keterangan :

D = Kelimpahan individu (ind/m²).

N = Jumlah individu.

A = Luas area pengamatan (m²).

III.4.3.2. Analisis Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan Jenis Lamun (Di) dihitung menggunakan persamaan

(McKenzie, 2003) :

Di = 𝑁𝑖 /𝐴

Keterangan :

Di = Jumlah individu -i (tegakan) per satuan luas (ind/m²).

Ni =Jumlah individu -i (tegakan) dalam transek kuadrat.

A = Luas transek kuadrat (m²).

III.4.3.3. Analisis Kandungan Bahan Organik Sedimen

Perlakuan untuk mendapatkan kandungan bahan organik yaitu

sampel yang ada diambil dengan 2-3 kali ulangan. Prosedur kandungan

bahan organik adalah sebagai berikut:

a. Sampel dimasukkan ke dalam cawan keramik dengan berat setiap

cawan sudah diketahui sebelumnya

b. Mengeringkan sampel pada oven pengering selama 10 jam

dengan suhu 90°C, selanjutnya dilakukan penimbangan


35

(mengawali pelaksanaan penimbangan sampel terlebih dahulu

didinginkan dalam dessicator serta mencatat hasilnya (berat awal)

c. Sampel dimasukkan dalam oven pembakar selama 5 jam pada

suhu 500°C selanjutnya didinginkan dalam dessicator, kemudian

dilakukan penimbangan untuk mendapatkan berat akhir setelah

pembakaran (Manengkey, 2010).

Menurut Kolif et al. (2017), Untuk mengetahui kandungan bahan

organik sedimen dihitung menggunakan rumus:

Kandungan Bahan Organik (%) = a – c x 100%


a–b

Keterangan:

a = Berat cawan dan sampel setelah pengeringan suhu 105°C (g)

b = Berat cawan (g)

c = Berat cawan dan sampel setelah pembakaran suhu 550°C (g).


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

IV.1.1.Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Panjang memiliki beberapa ekosistem diantaranya ekosistem

mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Pulau panjang

merupakan pulau kawasan wisata yang terletak di Kabupaten Jepara.

Berbagai kegiatan diperbolehkan di Pulau Panjang yaitu kegiatan rehabilitasi

guna pemulihan ekosistem, kegiatan pendidikan, kegiatan wisata, penelitian,

dan pengembangan pendidikan.

Kondisi perairan Pulau Panjang tergolong keruh karena terdapat

endapan lumpur, dekat dengan dermaga dan aktivitas penangkapan ikan,

kapal wisata, dan berbagai aktivitas manusia yang diduga dapat

mempengaruhi kondisi dari ekosistem lamun yang termasuk kedalam habitat

biota laut termasuk Echinodermata. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada

penelitian, ekosistem lamun di Pulau Panjang ini memiliki kerapatan tinggi

dengan kondisi daun lamun banyak yang rusak dan sudah tidak sehat lagi.

Spesies umum yang banyak ditemukan di Pulau Panjang yaitu Thalassia

hemprichii dengan kondisi substrat pasir, pecahan karang, dan lumpur.

IV.1.2.Kerapatan Lamun di Pulau Panjang

Berdasarkan hasil penelitian lamun yang ditemukan di Pulau Panjang

sampling ke-1 pada Bulan Juli, didapatkan beberapa jenis lamun diantaranya

Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea

36
37

rotundata, dan Cymodocea serrulata dengan indeks kerapatan lamun yang

disajikan dalam gambar berikut (Gambar 9).

Gambar 9. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-1 pada


Bulan Juli

Berdasarkan hasil penelitian lamun yang ditemukan di Pulau Panjang

sampling sampling ke-2 pada Bulan Agustus, didapatkan beberapa jenis

lamun diantaranya Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan

Cymodocea serrulata dengan indeks kerapatan lamun yang disajikan dalam

gambar berikut (Gambar 10).

Gambar 10. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-2


pada Bulan Agustus
38

Berdasarkan hasil penelitian lamun yang ditemukan di Pulau Panjang

sampling sampling ke-3 pada Bulan September, didapatkan beberapa jenis

lamun diantaranya Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila

ovalis, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata dengan indeks

kerapatan lamun yang disajikan dalam gambar berikut (Gambar 11).

Gambar 11. Kerapatan (ind/m²) Lamun di Pulau Panjang sampling ke-3


pada Bulan September

IV.1.3.Komposisi Echinodermata di Pulau Panjang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Panjang pada

sampling ke-1, ditemukan kelas Holothuroidea dengan spesies Holothuria

atra berjumlah 115, dan kelas Echinoidea dengan spesies Diadema setosum

berjumlah 77. Hasil dari penelitian yang dilakukan pada sampling ke-2,

ditemukan kelas Holothuroidea dengan spesies Holothuria atra berjumlah 81,

dan kelas Echinoidea dengan 2 spesies yaitu Diadema Setosum dan Laganum

laganum dengan masing – masing berjumlah 152 dan 2. Hasil dari penelitian

yang dilakukan pada sampling ke-3, ditemukan kelas Holothuroidea dengan


39

spesies Holothuria atra berjumlah 172, dan kelas Echinoidea dengan spesies

Diadema setosum berjumlah 76.

Tabel 4. Komposisi Jenis Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang,


Jepara.

Juli Agustus September


No. Kelas Spesies

1 2 1 2 1 2

1. Holothuroidea Holothuria atra + + + + + +

Diadema setosum + + + + + +
2. Echinoidea
Laganum laganum - - + - - -

Jumlah 2 2 3 2 2 2

Keterangan (+) : Ada (-) : Tidak ada

Spesies Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang Jepara

tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 5. Deskripsi Spesies Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang

No. Spesies Deskripsi

1. Diadema setosum (Clark and - Memiliki duri yang panjang,


Rowe, 1971). tajam dan berwarna hitam;
Kingdom : Animalia - Tubuhnya berwarna hitam
Phylum : Echinodermata
dengan mulut berada di
Class : Echinoidea
Ordo : Cidaroidea bawah dan anus di atas;
Family : Diadematidae
Genus : Diadema
40

Tabel 5. Deskripsi Spesies Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang


(Lanjutan)
No. Spesies Deskripsi

Spesies: Diadema setosum - Bulu babi ini tersebar di


ekosistem lamun dan
terumbu karang.
- Memiliki dua sisi, yaitu
aboral dan oral. Pada bagian
aboral terdapat anal ring
berwarna jingga dan terdapat
warna biru atau hijau pada
bagian genital;
- D. Setosum merupakan bulu
babi regularia karena
memiliki tubuh yang
membulat secara horizontal
2. Holothuria atra (Elfidasari et al, - Tubuhnya berbentuk bulat
2012). panjang memiliki runcing
Kingdom : Animalia dan pangkalnya tumpul
Filum : Echinodermata - Memiliki tubuh lunak
Kelas : Holothuroidea Permukaan luar tubuh
Ordo : Aspidochirotida berwarna hitam dan
Famili : Holothuriidae berlendir
Genus : Holothuria - Sebagian tubuhnya tertutupi
Spesies : Holothuria atra pasir
- Pada permukaan tubuhnya
terdapat bintil-bintil halus
- Tentakel tipe perisai
berwarna hitam kemerahan
dalam 1 lingkaran yang
dilengkapi dengan papila
leher
- Spikula berbentuk meja dan
roset
41

Tabel 5. Deskripsi Spesies Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang


(Lanjutan)
No. Spesies Deskripsi

- Ukuran yang didapat: 13,3


cm – 27,2 cm
- Habitatnya berada di daerah
padang lamun dengan
substrat dasar berpasir.
3. Laganum laganum (Lee dan shin, - Bentuk tubuh tidak beraturan,
2014). pipih dan tidak mempunyai
Kingdom : Animalia lengan
Filum : Echinodermata - Pada sisi aboral terdapat pola
Kelas : Echinoidea berbentuk bunga dengan 5
Ordo : Clypeasteroida kelopak
Famili : Laganidae - Pada sisi oral terdapat mulut
Genus : Laganum di bagian tengah
Spesies : Laganum laganum - Memiliki 2 lubang
- Memiliki duri-duri kecil,
pendek dan halus
- Tubuhnya berwarna hijau
kocokelatan
- Ukuran yang didapat: 3,3 –
4,2 cm
- Habitatnya di daerah
intertidal sampai subtidal
dengan substrat berpasir

IV.1.4.Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang

Pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang, Jepara sampling ke-1

pada Bulan Juli memperoleh hasil kelimpahan Echinodermata yang tersaji

dalam tabel berikut ini.


42

Tabel 6. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-1


pada Bulan Juli

Jumlah Luas area Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) m² (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 115 600 0,192
2. Diadema setosum 77 600 0,128

Pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang, Jepara Sampling ke-2

pada Bulan Agustus memperoleh hasil kelimpahan Echinodermata yang

tersaji dalam tabel berikut ini.

Tabel 7. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-2


pada Bulan Agustus

Jumlah Luas area Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) m² (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 77 600 0,128
2. Diadema setosum 92 600 0,153
3. Laganum laganum 2 600 0,003

Pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang, Jepara Sampling

terakhir atau sampling ke-3 pada Bulan September memperoleh hasil

kelimpahan Echinodermata yang tersaji dalam tabel berikut ini.

Tabel 8. Kelimpahan Jenis Echinodermata di Pulau Panjang Sampling ke-3


pada Bulan September

Jumlah Luas area Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) m² (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 142 600 0,237
2. Diadema setosum 76 600 0,127
43

Hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang Jepara Sampling

ke-1 pada Bulan Juli mendapatkan hasil kelimpahan Echinodermata yaitu dari

Kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra 0,192 ind/m² dan Kelas

Echinoidea spesies Diadema setosum 0,128 ind/m² yang tersaji dalam gambar

berikut (Gambar 12).

Gambar 12. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang


Sampling ke-1 pada Bulan Juli

Hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang Jepara Sampling

ke-2 pada Bulan Agustus mendapatkan hasil kelimpahan Echinodermata yaitu

dari Kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra 0,128 ind/m² dan Kelas

Echinoidea spesies Diadema setosum 0,153 ind/m² dan spesies Laganum

laganum 0,003 ind/m² yang tersaji dalam gambar berikut (Gambar 13).
44

Gambar 13. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang


Sampling ke-2 pada Bulan Agustus

Hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Panjang Jepara Sampling

ke-3 pada Bulan September mendapatkan hasil kelimpahan Echinodermata

yaitu Kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra 0,237 ind/m² dan Kelas

Echinoidea spesies Diadema setosum 0,127 ind/m² yang tersaji dalam gambar

berikut (Gambar 14).

Gambar 14. Kelimpahan (ind/m²) jenis Echinodermata di Pulau Panjang


Sampling ke-3 pada Bulan September
45

Hasil Pengamatan echinodermata pada ekosistem lamun di Pulau

Panjang, Jepara yang dilakukan selama 3 Bulan pengambilan data dapat

dilihat dalam gambar berikut (Gambar 15).

Gambar 15. Kelimpahan jenis Echinodermata di Pulau Panjang selama 3


Bulan pengambilan data.

IV.1.5.Parameter Lingkungan Perairan Pulau Panjang

Pengukuran parameter lingkungan meliputi suhu, salinitas, oksigen

terlarut, dan pH di Pulau panjang selama 3 Bulan dapat dilihat pada tabel.

Tabel 9. Parameter Lingkungan Perairan Pulau Panjang

Sampling Sampling Sampling


Parameter Kisaran Optimum
Ke-1 Ke-2 Ke-3
pH 7,9 8,3 7,9 6-8,5 (Tangke, 2010)
28-31 (Iswanti et al.,
Suhu (oC) 32,6 30,2 30,1
2012)
33-34 (KepMenLH,
Salinitas (‰) 30,5 34 34
2004)
5,7-8,5 (Iswanti et
DO (ppm) 8,07 8,2 8,1
al., 2012)
46

IV.1.6.Bahan Organik Sedimen di Ekosistem Lamun

Berdasarkan analisa bahan organik yang telah dilakukan pada seluruh

stasiun dan Bulan terhadap sedimen didapatkan nilai bahan organik (Tabel

10), dapat diketahui bahwa kandungan bahan organik di ekosistem padang

lamun di Pulau Panjang berkisar antara 2,73 – 3,85 %.

Tabel 10. Bahan Organik Pada Substrat Dasar Perairan Ekosistem Padang
Lamun di Pulau Panjang.

Sampling Stasiun Bahan Organik (%)


Juli 1 (0 m) 3,39
  1 (50 m) 3,29
  1 (100 m) 3,85
  2 (0 m) 3,4
  2 (50 m) 3,27
  2 (100 m) 3,04
Agustus 1 (0 m) 3,24
  1 (50 m) 2,73
  1 (100 m) 3,41
  2 (0 m) 3,51
  2 (50 m) 3,66
  2 (100 m) 3,61
September 1 (0 m) 3,61
  1 (50 m) 3,3
  1 (100 m) 3,23
  2 (0 m) 3,31
  2 (50 m) 3,64
  2 (100 m) 3,86

Hasil analisa bahan organik terlarut dalam sedimen yang dilakukan

selama 3 Bulan pengambilan data (Juli, Agustus, dan September) pada Stasiun

1 dapat dilihat dalam grafik berikut (Gambar 16).


47

Gambar 16. Bahan organik yang didapatkan pada stasiun 1 selama 3 Bulan
pengambilan data.

Kandungan bahan organik yang didapatkan pada pengambilan data

selama 3 Bulan (Juli, Agustus, dan September) pada stasiun 2 tersaji dalam

grafik berikut (Gambar 17).

Gambar 17. Bahan organik yang didapatkan pada stasiun 2 selama 3 Bulan
pengambilan data.
48

IV.2. Pembahasan

Komposisi Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang Jepara

selama 3 Bulan pengambilan data yaitu Bulan Juli, Agustus, dan September

2020, terdiri dari 2 Kelas yaitu Kelas Holothuroidea dan Echinoidea. Pada

Bulan Juli, ditemukan kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra berjumlah

115, dan Kelas Echinoidea spesies Diadema setosum berjumlah 77. Pada Bulan

Agustus, ditemukan kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra berjumlah 77,

dan kelas Echinoidea ditemukan 2 spesies yaitu Diadema setosum dan

Laganum laganum berjumlah 92 dan 2. Pada Bulan September, ditemukan

kelas Holothuroidea spesies Holothuria atra berjumlah 142, dan kelas

Echinoidea spesies Diadema setosum berjumlah 76. Berdasarkan hasil

komposisi yang diperoleh menunjukkan bahwa Pulau Panjang memiliki

komposisi yang tinggi diduga karena Pulau Panjang memiliki perairan yang

relatif cukup tenang dikarenakan termasuk kedalam perairan tertutup, serta

kondisi ekosistem padang lamun yang lebat, karena tingginya ketersediaan

jumlah makanan terdapat di lamun. Berdasarkan Pratiwi (2011), menyatakan

bahwa habitat lamun dijadikan sebagai tempat hidup dan penyedia makanan

bagi spesies Echinodermata dalam bentuk detritus sehingga banyak

Echinodermata yang hidup di daerah tersebut. Tinanda (2006) juga menyatakan

bahwa tempat mencari makan dan habitat dapat mendukung pola sebaran suatu

organisme.

Spesies Holothuria atra banyak ditemukan pada stasiun 1 dikarenakan

stasiun 1 memiliki substrat dominan pasir dan ditumbuhi banyak Lamun,

berbeda dengan stasiun 2 yang memiliki substrat dominan pasir dan lumpur
49

serta sedikit Lamun yang tumbuh pada stasiun tersebut. Tingginya Holothuria

atra pada stasiun 1 juga diduga dipengaruhi faktor lingkungkan seperti habitat

yang terdiri dari substrat berpasir, pasir dengan lamun, pecahan karang serta

kualitas perairan seperti salinitas, pH, suhu, oksigen terlarut yang masih stabil

sehingga sangat mendukung kehidupan teripang. Hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Bakus (1973), bahwa teripang adalah organisme yang

menempati substrat berpasir, bersifat deposit feeder yaitu pemakan apa saja

yang terdapat di dasar perairan seperti detritus, partikel pasir, hancuran karang,

diatom, filamen alga biru, alga merah, serpihan bulu babi, copepoda, telur ikan,

dan beberapa mikroorganisme lain. Salah satu faktor dari kelimpahan

Holothuria atra pada stasiun 1 yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan

dengan stasiun 2 juga dikarenakan pada stasiun 2 terdapat Dermaga yang

memungkinkan terganggunya habitat hidup Holothuria atra yang disebabkan

oleh aktivitas manusia (pelayaran, penangkapan, dan wisata) dan juga substrat

yang cenderung berlumpur dan kerapatan lamun yang cenderung rendah.

Spesies Diadema setosum banyak ditemukan di stasiun 1 dikarenakan

pada stasiun 1 memiliki substrat yang didominasi oleh pasir dan pecahan

karang sehingga terdapat banyaknya lamun serta terumbu karang. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Aziz (1994), bulu babi jenis Diadema setosum pada

umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun serta

menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun yang

merupakan campuran dari pasir dan pecahan terumbu karang. Diadema

setosum umumnya ditemui bersembunyi di bawah atau celah – celah terumbu

karang dan daerah rocky shore atau daerah lamun. Diadema setosum juga
50

menempati padang lamun dan dapat hidup berkelompok. Pada lokasi

penelitian, Diadema setosum banyak ditemukan pada berbagai zona di terumbu

karang antara lain ditemukan pada zona pasir, zona lamun sampai daerah tubir,

sama halnya dengan penelitian Zakaria (2013) dimana pada lokasi penelitian

Diadema setosum banyak ditemukan pada berbagai zona di terumbu karang

antara lain ditemukan pada zona pasir, zona pertumbuhan alga, zona lamun

sampai daerah tubir dimana zona penyebarannya lebih banyak dibandingkan

dengan bulu babi jenis yang lain. Diadema setosum berukuran kecil banyak

ditemukan pada daerah karang mati dan lamun yang dekat dengan daerah

pasang surut dan dangkal, sedangkan yang dewasanya banyak ditemukan pada

daerah tubir karena pada daerah ini terdapat banyak lubang – lubang terumbu

karang yang lebih besar.

Spesies Laganum laganum ditemukan pada stasiun 1 dan hanya

ditemukan pada Bulan ke 2 pengambilan data, yaitu pada Bulan Agustus

dengan jumlah yang sangat sedikit. Stasiun 1 pengambilan data memiliki

substrat yang didominasi oleh substrat pasir, pecahan karang dan ditumbuhi

dengan banyaknya lamun, dan terdapat juga terumbu karang pada stasiun 1.

Laganum laganum ditemukan pada stasiun 1 pada substrat pasir dan terdapat

pada ujung transek pada saat pengambilan data, hal ini sesuai dengan

pernyataan Afian et al. (2013), bahwa sand dollar adalah organisme yang

menyenangi substrat dasar perairan lumpur dan berpasir. Hewan ini hidup

membenamkan diri dalam substrat (pasir halus atau lumpur berpasir) dan

memperoleh makanannya dengan cara menelan pasir yang ada pada medium

sekitarnya. Sand dollar merupakan salah satu organisme yang bersifat deposit
51

feeder dengan hidup memakan sisa – sisa organisme yang terkandung dalam

substrat. Dalam pengambilan data, jumlah Laganum laganum yang didapatkan

sangat sedikit, diduga penyebabnya dikarenakan penyebarannya terhambat oleh

substrat yang didominasi oleh pasir yang ditumbuhi lamun dan terdapat

banyaknya pecahan karang, sehingga pada pengambilan data didapatkan hasil

yang sangat sedikit.

Komposisi Echinodermata banyak ditemukan di Pulau Panjang, diduga

karena kondisi lingkungan seperti air jernih dan aliran air yang cukup tenang

juga mempengaruhi habitat dari Echinodermata dimana Echinodermata juga

sebagai bioindikator suatu perairan.

Kelimpahan jenis Echinodermata di Pulau Panjang pada Bulan Juli dapat

dilihat pada Tabel 6, nilai spesies Holothuria atra sebesar 0,192 ind/m², dan

Diadema setosum sebesar 0,128 ind/m². Kelimpahan jenis Echinodermata di

Pulau Panjang pada Bulan Agustus dapat dilihat pada Tabel 7 Holothuria atra

sebesar 0,128 ind/m², Diadema setosum sebesar 0,153 ind/m², dan Laganum

laganum 0,003 ind/m². Kelimpahan jenis Echinodermata di Pulau Panjang pada

Bulan September dapat dilihat pada Tabel 8, nilai spesies Holothuria atra

sebesar 0,237 ind/m², dan Diadema setosum sebesar 0,127 ind/m². Berdasarkan

hasil data yang diperoleh, ketiga waktu pengambilan data tersebut memiliki

perbedaan hasil data yang diperoleh. Perbedaan kelimpahan tersebut

disebabkan karena di Pulau adanya pengaruh dari aktivitas manusia seperti

pelayaran, perikanan tangkap, wisata bahari, pengambilan data yang dilakukan

di dekat dermaga, sehingga akan mengganggu habitat Echinodermata yaitu

ekosistem lamun, karena lamun merupakan habitat, tempat pemijahan,


52

perlindungan dan mencari makan Echinodermata. Menurut Kaliti (2011) selain

perbedaan habitat, penyebaran Echinodermata juga dipengaruhi oleh

kelimpahan makanan yang tersedia berupa plankton dan detritus.

Kelimpahan di Pulau Panjang lebih banyak ditemukan jenis teripang

Holothuria atra. Penyebaran ditemukan di ekosistem lamun substrat pasir.

Menurut Elfirdasari dan Wulandari (2012) Holothuria atra memiliki

kemampuan membenamkan diri untuk menghindari cahaya matahari, dengan

cara menempeli tubuhnya dengan butiran pasir halus, sehingga akan

memantulkan cahaya dan membuat suhu tubuhnya lebih rendah. Elfidasari dan

Wulandari (2012) juga mengatakan bahwa, hewan dari kelas Holothuriadea

jenis Holothuria atra merupakan biota yang aktif pada malam hari dan

cenderung membenamkan diri ke dalam pasir pada siang hari. Kelas

Echinoidea dan Asteroidea tidak banyak ditemukan di ekosistem lamun yang

bersubstrat pasir disebabkan karena Asteroidea dan Echinoidea berperan

sebagai penyeimbang populasi, terutama karang, yang ada di perairan tersebut

(Nybakken, 1992). Untuk Kelas Echinoidea yang ditemukan di Pulau Panjang,

yaitu jenis Sand Dollar dan Diadema Setosum. Hal ini diduga karena kebiasaan

Sand Dollar yang membenamkan dirinya dalam substrat dasar pasir. Dikatakan

oleh Barnes (1980) bahwa Echinoidea irregular beradaptasi untuk hidup

membenam dalam pasir. Kebiasaan membenamkan diri tersebut berkaitan

dengan pertahanan diri baik dari arus yang kuat maupun dari pemangsaan.

Lamun memberikan perlindungan dan habitat dari berbagai hewan hewan

benthos termasuk Echinodermata (Hutomo dan Azkab, 1987). Faktor yang

mempengaruhi penyebaran Echinodermata yaitu kerapatan lamun.


53

Echinodermata lebih banyak ditemukan jenisnya di habitat lamun dengan

kerapatan tinggi. Perbedaan nilai kerapatan lamun disebabkan karena

karakteristik substrat yang berbeda antar stasiun, sebaran pertumbuhan lamun

yang tidak tersebar secara merata. Menurut (Kasim, 2005), kondisi lamun yang

baik menyerupai padang rumput dengan fungsi ekologis yang sangat potensial

yakni berupa perlindungan bagi hewan invertebrata dan hewan-hewan kecil,

tempat pemijahan bagi biota-biota laut, dan sebagai sumber makanan bagi

organisme tersebut dalam bentuk detritus. Kondisi lingkungan di Pulau

Panjang terutama Echinodermata yang ditemukan memiliki jumlah yang relatif

banyak dan kondisi lamun di pulau tersebut masih tergolong baik. Menurut

Mahakar et al. (2019) bagian yang lebih dangkal biasanya memiliki variasi

habitat yang lebih besar dibandingkan bagian yang lebih dalam sehingga

cenderung memiliki lamun yang lebih tinggi kerapatannya.

Faktor lingkungan sangat penting bagi kehidupan Echinodermata,

meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan kedalaman. Hasil suhu di

Pulau Panjang selama 3 Bulan pengambilan data yaitu 30,1 – 32,6°C. Menurut

Iswanti et al. (2012), suhu lingkungan untuk organisme laut berkisar antara 28

- 31°C. Salinitas Pulau Panjang selama 3 Bulan pengambilan data menunjukan

nilai 30,5 - 34‰. Nilai tersebut tersebut memiliki kesesuaian untuk kehidupan

Echinodermata, sesuai dengan pernyataan dari KepMenLH (2004) bahwa

Echinodermata mampu hidup pada kisaran salinitas antara 33-34 ‰. Hasil

pengukuran untuk oksigen terlarut (DO) di Pulau Panjang selama 3 Bulan

pengambilan data didapatkan nilai sebesar 8,07 – 8,2 ppm masih dapat di

toleransi Echinodermata, Menurut Iswanti et al. (2012) bahwa kandungan


54

oksigen terlarut adalah 5,7-8,5 untuk biota laut. Oksigen terlarut dibutuhkan

oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran

zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.

Hasil pengukuran derajad keasaman (pH) air laut pada lokasi penelitian di

Pulau Panjang selama 3 Bulan pengambilan data didapatkan nilai sebesar 7,9 –

8,3. Derajat keasaman menurut (Tangke, 2010) yaitu berkisar antara 6- 8,5.

Hasil pH pada pengambilan data selama 3 bilan masuk kedalam pH yang

sesuai. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor kualitas perairan

yang mempengaruhi kehidupan biota air termasuk Echinodermata, pH sangat

berperan dalam proses metabolisme organisme laut. Menurut Odum (1993)

bahwa secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat

mendukung kehidupan biota laut.

Faktor lain yang mempengaruhi kehidupan Echinodermata yaitu

kedalaman, tipe substat dan kandungan bahan organik. Kedalaman

berpengaruh pada pola penyebaran hewan bentos seperti jumlah jenis, jumlah

individu dan biomasa (Sulardiono et al., 2016). Tipe substrat juga berpengaruh

terhadap kehidupan Echinodermata dimana jenis substrat pasir di Pulau

Panjang memberikan efek jumlah Echinodermata yang tinggi di Pulau Panjang.

Menurut Ruswahyuni dan Suryanti (2014), Jenis sedimen berkaitan erat dengan

kandungan oksigen dan ketersediaan nutrient dalam sedimen. Sedimen berpasir

kandungan oksigen relatif lebih besar daripada sedimen halus, karena pada

sedimen berpasir terdapat pori-pori udara yang memungkinkan terjadinya

percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen

berpasir tidak banyak terdapat nutrient, sedangkan pada substrat yang halus
55

walaupun oksigen terbatas tetapi cukup tersedia nutrient dalam jumlah yang

lebih besar. Sedangkan untuk bahan organik di Pulau Panjang tergolong

rendah, hal ini diduga karena Pulau Panjang banyak dilalui aktivitas pelayaran

wisatawan dan nelayan sehingga kandungan bahan organiknya rendah.

Kandungan bahan organik sangat mempengaruhi habitat biota laut termasuk

Echinodermata karena bahan organik merupakan makanan bagi biota laut, hal

ini dinyatakan oleh Nurracmi (2012), erat kaitanya dengan tersedianya bahan

organik yang terkandung dalam substrat, karena bahan organik merupakan

sumber nutrien bagi biota yang pada umunya terdapat pada substrat dasar.

Namun jika bahan organik melebihi ambang batas sewajarnya, maka

kedudukan bahan organik tersebut dianggap sebagai bahan pencemar bagi

wilayah tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Kelimpahan Echinodermata yang ditemukan di Pulau Panjang pada kelas

Holothuroidea didapatkan spesies Holothuria atra, lalu pada kelas Echinoidea

didapatkan 2 spesies yaitu Diadema setosum dan Laganum laganum.

Kelimpahan tertinggi didapat pada Bulan September yaitu Holothuria atra

memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,237 ind/m², dan Diadema setosum

memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,127 ind/m². Dengan nilai kerapatan lamun

stasiun 1 sebesar 5016 – 7812 ind/m², dan pada stasiun 2, sebesar 2852 – 3768

ind/m².

V.2. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian, maka penulis bermaksud memberikan

saran agar dapat bermanfaat bagi pembaca maupun peneliti selanjutnya sebagai

berikut :

1. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai Komposisi dan

Kelimpahan Echinodermata di Ekosistem Lamun Pulau Panjang,

Jepara.

2. Perlu diadakannya pengawasan dari Pemerintah Sekitar bagi

Echinodermata dan Lamun terhadap aktivitas masyarakat di Pulau

Panjang, dikarenakan pada saat peneliti melakukan pengambilan data,

terdapat nelayan yang melakukan pengambilan Echinodermata dalam

jumlah yang relatif banyak sehingga dikhawatirkan dapat berpengaruh

terhadap kehidupan Echinodermata di Pulau Panjang, Jepara.

56
DAFTAR PUSTAKA

Alfian A. N., Frida P., dan Supriharyano. 2013. Pengaruh Kedalaman dan
Jarak dari Pantai Terhadap Kelimpahan dan Pola Sebaran Sand Dollar di
Pantai Barakuda Pulau Kemujan Taman Nasional Karimunjawa.
Diponegoro Journal of Maquares. Semarang

Alongi, D.M, 1998. Coastal Ecosystem Proces. CRC. Press. New York.

Assy, D., Niniek W., dan Ruswahyuni. 2013. Hubungan Kelimpahan


Meiofauna Pada Kerapatan Lamun Yang Berbeda Di Pulau Panjang,
Jepara. Journal of Management Of Aquatic Resources. Semarang.
Aziz, A. 1994. Tingkah Laku Bulu Babi di Padang Lamun. Oseana 19 (4): 35
– 43.
Aziz, A. 1996. Habitat dan Zonasi Fauna Echinodermata di Ekosistem
Terumbu Karang. Oseana, l 24 (2):33-43.
Aziz, A. 2011. “Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulu Babi”. Jurnal
Oseana, Vol. 18, No. 2, Tahun 2011.
Azkab, M. H. 2014. Peran Padang Lamun Untuk Kehidupan Hewan Asosiasi.
Jurnal Oseana Vol. 39 (2): 49-54.
Bakus. 1973. The Biology and Ecology of Tropical Holothurians In: O. A.
Jones dan R. Endean (eds), Biology and Geology of Coral Reef. Vol. II.
Biology I Academic Press. New York :325-367
Brueggeman, P. 2006. “Underwater Field Guide to Ross Island and Mcmurdo
Sound, Antartica”. Journals of Echinodermata: Other Urcins Brittle
Stars, Sea Cucumbers, Crinoids, No. 1: Hal 2-73, 2006.
Clark, A.M. & F.W.F. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indowest
Pasific Echinoderms. London. 269p.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Ruang Wilayah Pesisir Dan Lautan Seiring
Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bappeda Propinsi dan LPPM
Unisba, Bandung. Volume XVII No. 2 April - Juni 2001: 139 – 171.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412
pp.
Duarte, C. M. 1991. Seagrass Depth Limits. Aquatic Botany, 40 (4); 363-377.

57
58

Elfidasari, D., N. Noriko dan N. Wulandari. 2012. Identifikasi jenis Teripang


Genus Holothuria asal Perairan Kepulauan Seribu berdasarkan perbedaan
morfologi. Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi, 1(3):
141-144.

Ginanjar, M. K. 2017. Karakteristik Obyek Wisata Pulau Panjang Jepara.


Universitas Islam Sultan Agung. Semarang.
Hartog, C. 1970. Seagrass of the world. North - Holland Publ. Co.,
Amsterdam Jannasch, H. W., K. Eimhjellen, CO. WIRSEN and A f
Armanfarmian, 1971.
Hasan, S. 2004. Kepadatan dan Pola Distribusi Echinodermata di Zona
Intertidal Pantai Pulau Ternate. Media Ilmiah MIPA, 1(1):1-9.
Huda, Muhammad Haris Ilham. 2016. (Skripsi) ‘Keanekaragaman Jenis
Echinodermata Di Zona Intertidal Pantai Jeding Taman Nasional
Baluran, Jember: Universitas Jember.
Hudha, Atok Miftachul, dan Husamah. 2019. Etika Wisatawan Domestik
Terhadap Upaya Konservasi Pantai (Studi Kasus di Pantai Balekambang
Kabupaten Malang). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Malang.
Husain, G., F. W. S. Tamanampo, dan Gaspar D. M. 2017. Struktur
Komunitas Teripang (Holothuroidea) Di Kawasan Pantai Pulau
Nyaregilaguramangofa Kec. Jailolo Selatan Kab. Halmahera Barat
Maluku Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Manado.
Hutomo, M dan M. H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di lingkungan laut
dangkal. Jurnal Oseana, 12(1): 13 – 23.
Iswanti, S., S. Ngabekti dan N. K. Martut. 2012. Distribusi dan
keanekaragaman jenis Makrozoobentos di Sungai Damar Desa Weleri
Kabupaten Kendal. Unnes J Life Sci.,1(2): 87-88.
Jalaluddin, 2011. Diktat Zoologi Avertebrata. Universitas Serambi Mekkah.
Bandah Aceh.
Jalaluddin dan Ardeslan. 2017. Identifikasi Dan Klasifikasi Phylum
Echinodermata Di Perairan Laut Desa Sembilan Kecamatan Simeulue
Barat Kabupaten Simeulue. Jurnal Biology Education Vol. 6 No. 1,
Pendidikan Biologi Universitas Serambi Mekkah. Aceh.
Katili, A S. 2011. ‘Struktur Komunitas Echinodermata Pada Zona Intertidal di
Gorontalo’ Volume 8, Nomor 1. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo
59

Kordi, M.G.H. 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass). Fungsi, Potensi,


Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta. 191 pp.
Kuncoro E.B. 2004. Akuarium Laut, Yogyakarta: Kanisius.

Lariman, 2011. Keanekaragaman Filum Echinodermata di Pulau Beras Basah


Kota Bontang Kalimantan Timur. Vol 10 No. 02. FMIPA Universitas
Mulawarman.
Mah, C.L. & Blake, D.B. 2012. Global Diversity and Phylogeny of the
Asteroidea (Echinodermata). PLoS ONE 7(4): e35644. DOI:
10.1371/journal.pone.0035644.
Mahakar, A. L., R. Hartati dan Suryono. 2019 Ekologi Lamun di Pulau
Sintok, Pulau Kemujan dan Pulau Menjangan Besar Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah. Journal of Marine Research, 8(3): 277-284.
Malik, Abdul, Fuad Muhammad, dan Hartuti P., 2016. Analisis Persepsi dan
Partisipasi Masyarakat Terhadap Kajian Ekowisata di Pulau Panjang,
Jepara, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian
Pascasarjana, SPS UNDIP. Semarang.
Mc Kenzie, L. J. 2003. Guidelines for The Rapid Assessment and Mapping of
Tropical Seagrass Habitats. The State of Queensland. Department of
Primary Industries. http://seagrasswatch.org/html. 20 November 2015.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Odum, E.P. Dasar-dasar Ekologi. Dialihbahasakan oleh Tjahjono Samingan
1993. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oktavianti, R., Suryanti, Frida P. 2014. Kelimpahan Echinodermata Pada
Ekosistem Padang Lamun Di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Jurnal Maquares Vol 3 (4).
Pardosi, Anthony Septian. 2016. Potensi Dan Prospek Indonesia Menujuporos
Maritim. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1,
2016: 017-026.
Prasetya, Derry Kurnia, Ruswahyuni, dan Niniek W., 2015. Hubungan Antara
Kelimpahan Hewan Makrobenthos Dengan Kerapatan Lamun Yang
Berbeda Di Pulau Panjang Dan Teluk Awur Jepara. Diponegoro Journal
Of Maquares. Semarang.
Pratiwi, Fuji. 2011. (Sekripsi), Inventarisasi Jenis-Jenis Holonthuroidea
(Echinodermata) Dirataan Trumbu di Beberapa Taman Nasional
Kepulauan Seribu. Jakarta. Depok : Universitas Indonesia.
60

Radjab AW, Rumahenga SA, Soamole A, Polnaya D, Barends A. 2014.


Keragaman dan kepadatan ekinodermata di perairan Teluk Weda, Maluku
Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 6(1):17–30.
Rahmawati, Susi, A. Irawan, Indarto H. Supriyadi, Muhammad H. Azkab.
2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.
Romimohtarto, R. Juwan. S., 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Djambatan. Jakarta.
Rompis BR, Langoy MLD, Katili DY, Papu A. 2013. Diversitas
Echinodermata di pantai Meras kecamatan Bunaken Sulawesi Utara.
Jurnal Bioslogos. 3(1):26–31.
Ruswahyuni dan Suryanti. 2014. Perbedaan kelimpahan Bulu Babi
(Echinoidea) pada ekosistem Karang dan Lamun di Pancuran Belakang,
Karimunjawa Jepara. Jurnal Saintek Perikanan, 10(1): 62-67.
Rusyana, A. 2011. Zoologi Invertebrata Teori Dan Praktik. Bandung:
Alfabeta.

Safitri, D. R. 2010. (Skripsi). Aktivitas Antioksidan Dan Komponen Bioaktif


Lili Laut (Comaster Sp.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soemodhiharjo. 1990. Teluk Ambon. Ambon: Balai Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut (LIPI) Ambon.
Sugiarto H. S. 1995. “Beberapa Catatan Tentang Bulu Babi Marga Diadema”.
Jurnal Oseana, Vol. XX, No. 4, Tahun 1995.
Sulardiono, B., U.R. Sofiana dan M. Nitisupardjo. 2016. Hubungan
kandungan bahan organik sedimen dengan kelimpahan Infauna pada
kerapatan Lamun yang berbeda di Pantai Bandengan Jepara. Journal Of
Maquares, 5(3): 135-141.
Sulphayrin, L.O. Ola dan H. Arami. 2018. Komposisi dan jenis
Makrozoobenthos (Infauna) berdasarkan ketebalan substrat pada
ekosistem Lamun di Perairan Nambo Sulawesi Tenggara. Jurnal
Manajemen Sumber Daya Perairan, 3(4): 343-352.
Supono, Lane D. J. W., dan Susetiono. 2014. Echinoderm fauna of the
Lembeh strait, North Sulawesi: inventory and distibution review. Mar Res
Indonesia. 39(2):51–61.
61

Tangke, Umar. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan


Rehabilitasi). Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-
Ternate). Ternate.
Thomlinson, P.B. 1974. Vegetative morphology and meristem dependence -
the Foundation of Productivity in seagrass. Aquaculture 4: 107-130.
Umagap W A, 2013. Keanekaragaman Species Landak Laut (Echinoidea) di
Perairan Dofa Kabupaten Kepulauan Sula. (jurnal Bioedukasi). Vol 01
No. 02. STAIN Ternate. Muluku.
Wood, E. J. F. , W. E. Odum and J. C. Zieman. (1969), Influence of the
seagrasses on the productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. Un
Simposio Mem. Simp. Intern. U.N.A.M. - UNESCO, Mexico,D.F., Nov.,
1967. pp 495 - 502.Yusron E. 2013. Biodiversitas fauna Ekhinodermata
(Holothuroidea, Echinoidea, Asteroidea dan Ophiuroidea) di perairan
pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Zoo Indonesia. 22(1):1–10.
Zakaria, I. J. 2013. Komunitas Bulu Babi (Echinoidea) di Pulau Cingkuak,
Pulau Sikuai dan Pulau Setan Sumatera Barat. Prosiding SEMIRATA
FMIPA Universitas Lampung. Lampung.
Zamani, Neviaty P., 2015 Kondisi Terumbu Karang dan Asosiasinya Dengan
Bintang Laut (Linckia laevigata) di Perairan Pulau Tunda, Kabupaten
Seram, Provinsi Banten. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN

62
63

Lampiran 1. Kelimpahan Echinodermata di Pulau Panjang, Jepara.

1. Kelimpahan Jenis Echinodermata Bulan Juli

Jumlah Luas area m² Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 115 600 0,192
2. Diadema setosum 77 600 0,128

2. Kelimpahan Jenis Echinodermata Bulan Agustus

Jumlah Luas area m² Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 77 600 0,128
2. Diadema setosum 92 600 0,153
3. Laganum laganum 2 600 0,003

3. Kelimpahan Jenis Echinodermata Bulan September

Jumlah Luas area m² Kelimpahan


No. Spesies
individu (N) (A) (ind/m²)
1. Holothuria atra 142 600 0,237
2. Diadema setosum 76 600 0,127
64

Lampiran 2. Bahan Organik Pada Substrat Dasar Perairan Ekosistem Padang


Lamun di Pulau Panjang.

Sampling Stasiun Bahan Organik (%)


Juli 1 (0 m) 3,39
  1 (50 m) 3,29
  1 (100 m) 3,85
  2 (0 m) 3,4
  2 (50 m) 3,27
  2 (100 m) 3,04
Agustus 1 (0 m) 3,24
  1 (50 m) 2,73
  1 (100 m) 3,41
  2 (0 m) 3,51
  2 (50 m) 3,66
  2 (100 m) 3,61
September 1 (0 m) 3,61
  1 (50 m) 3,3
  1 (100 m) 3,23
  2 (0 m) 3,31
  2 (50 m) 3,64
  2 (100 m) 3,86
65

Lampiran 3. Kerapatan Lamun di Pulau Panjang

1. Bulan Juli
Kerapatan
Jenis  
Stasiun Jenis Tegakan ni Di=ni/A
Ea 33 33 132
Th 1126 1126 4504
Cs 486 486 1944
Cr 138 138 552
Ho 2 2 8
1 Kerapatan Total 7140
Cs 132 132 528
Th 193 193 772
Cr 388 388 1552
2 Kerapatan Total 2852

2. Bulan Agustus
Kerapatan
Jenis  
Stasiun Jenis Tegakan ni Di=ni/A
Th 1885 1885 7540
Cs 66 66 264
Cr 2 2 8
1 Kerapatan Total 7812
Cs 100 100 400
Th 662 662 2648
Cr 42 42 168
2 Kerapatan Total 3216

Lampiran 3. (Lanjutan)
66

3. Bulan September
Kerapatan
Jenis  
Stasiun Jenis Tegakan ni Di=ni/A
Ea 7 7 28
Th 944 944 3776
Cs 230 230 920
Cr 73 73 292
1 Kerapatan Total 5016
Cs 52 52 208
Th 854 854 3416
Ea 8 8 32
Ho 28 28 112
  Kerapatan Total 3768
67

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Data Echinodermata dan


Lamun di Pulau Panjang, Jepara.

Teripang (Holothuria atra) Peletakan Transek Diatas Lamun

Peletakan Transek Kuadran Pengambilan Data Lamun dan

Echinodermata

Pengukuran Parameter Perairan Bulu Babi (Diadema setosum)


68

Lampiran 4. (Lanjutan)

Pengambilan Data Lamun Teripang (Holothuria atra) di

Lamun
69

RIWAYAT HIDUP

Julian Widyo Pramesti. 26020116130117. Penulis

dilahirkan di Bogor, 02 Juli 1998, yang merupakan anak

ketiga dari tiga bersaudara, yang dilahirkan dari pasangan

Bapak Susetyo dan (Alm) Ibu Sri Harjanti Setijaningsih.

Jenjang pendidikan penulis dimulai di TK MELATI dimulai

pada Tahun 2003 dan tamat pada 2004, SD Negeri Kalimulya 2 dimulai pada

Tahun 2004 dan tamat pada Tahun 2010, SMP Negeri 3 Cibinong dimulai pada

Tahun 2010 dan tamat pada Tahun 2013, SMA Negeri 3 Cibinong dimulai pada

Tahun 2013 dan tamat pada Tahun 2016, dan terdaftar sebagai mahasiswa

Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Diponegoro Semarang (2016-Sekarang) melalui jalur Seleksi Bersama Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Anda mungkin juga menyukai