Anda di halaman 1dari 18

MATERI LOMBA CCP ( SMP/MTS )

“ WAWASAN KEDAERAHAN/BUDAYA LOKAL “

3. 1 Profil Kota Batam

MATERI :

KOTA BATAM
Kota Batam adalah sebuah kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Wilayah Kota
Batam terdiri dari Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang dan pulau-pulau kecil lainnya
di kawasan Selat Singapura dan Selat Malaka. Pulau Batam, Rempang, dan Galang terkoneksi
oleh Jembatan Barelang. Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batam per 2015,
jumlah penduduk Batam mencapai 1.037.187 jiwa.
Batam merupakan salah satu kota dengan letak yang sangat strategis. Selain berada di jalur
pelayaran internasional, kota ini memiliki jarak yang sangat dekat dan berbatasan langsung
dengan Singapura dan Malaysia. Sebagai kota terencana, Batam merupakan salah satu kota
dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an oleh Otorita
Batam (saat ini bernama BP Batam), kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam
tempo 40 tahun penduduk Batam bertumbuh hingga 158 kali lipat.

Sejarah
Pulau Batam dihuni pertama kali oleh orang melayu dengan sebutan orang selat sejak tahun 231
Masehi. Pulau yang pernah menjadi medan perjuangan Laksamana Hang Nadim dalam melawan
penjajah ini digunakan oleh pemerintah pada dekade 1960-an sebagai basis logistik minyak bumi
di Pulau Sambu.
Pada dekade 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia,
maka sesuai Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai
lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak
pembangunan Batam. Kini menjadi Badan Pengusahaan (BP Batam).Seiring pesatnya
perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34
tahun 1983, wilayah Kecamatan Batam yang merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau,
ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan
administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang
dilakukan Otorita Batam (BP Batam).
Di era reformasi pada akhir dekade tahun 1990-an, dengan Undang-Undang nomor 53 tahun
1999, maka Kotamadya administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yaitu
Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan
mengikutsertakan Badan Otorita Batam (BP Batam).

Geografi
Kota yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini, memiliki luas wilayah daratan
seluas 715 km², sedangkan luas wilayah keseluruhan mencapai 1.575 km². Kota Batam beriklim
tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celsius. Kota ini memiliki dataran yang
berbukit dan berlembah. Tanahnya berupa tanah merah yang kurang subur dan cuaca yang sering
berubah sehingga untuk dijadikan lahan pertanian hanya tanaman yang dapat tumbuh tanpa
mengikuti musim.
Batas-batas Kota Batam:

Selat
Utara
Singapura dan Singapura

Selatan Kabupaten Lingga

Barat Kabupaten Karimun

Pulau Bintan dan Tanjung


Timur
Pinang

Pemerintahan
Kota Batam memiliki dua macam pemerintahan yaitu Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan.
Pemerintah Kota Batam
Peran pemerintah Kota Batam mengurus segala administrasi kependudukan dan pencatatan sipil
maupun Sumber Daya Manusia. Dalam mewujudkan demokratisasi dan kelangsungan
penyelenggaraan pemerintahan di Kota Batam, pada tanggal 5 Januari 2011 yang lalu,
diselenggarakan pemilihan wali kota dan wakil wali kota Batam. Melalui proses yang tertib dan
aman, maka terpilih dan ditetapkannya Ahmad Dahlan dan Muhammad Rudi sebagai Wali Kota
dan Wakil Wali Kota Batam periode 2011–2016. Saat ini Wali Kota Batam dijabat oleh
Muhammad Rudi untuk periode 2016–2021, didampingi oleh Amsakar Ahmad sebagai Wakil
Wali Kota Batam.
Badan Pengusahaan Batam (BP Batam)

Pembagian administratif
Kota Batam terdiri dari 12 kecamatan dan 74 kelurahan:
1. Kecamatan Batam Kota
1. Kelurahan Baloi
2. Kelurahan Baloi
3. Kelurahan Sukajadi
4. Kelurahan Taman Baloi
5. Kelurahan Sungai Panas
6. Kelurahan Teluk Tering
7. Kelurahan Belian
2. Kecamatan Nongsa
1. Kelurahan Nongsa
2. Kelurahan Sambau
3. Kelurahan Batu Besar
4. Kelurahan Kabil
5. Kelurahan Ngenang
3. Kecamatan Bengkong
1. Kelurahan Sadai
2. Kelurahan Tanjung Buntung
3. Kelurahan Bengkong Harapan
4. Kelurahan Bengkong Indah
5. Kelurahan Bengkong Laut
4. Kecamatan Batu Ampar
1. Kelurahan Bukit Senyum
2. Kelurahan Batu Merah
3. Kelurahan Sungai Jodoh
4. Kelurahan Tanjung Sengkuang
5. Kelurahan Kampung Seraya
6. Kelurahan Harapan Baru
7. Kelurahan Bukit Jodoh
5. Kecamatan Sekupang
1. Kelurahan Tiban Asri
2. Kelurahan Tanjung Riau
3. Kelurahan Tiban Lama
4. Kelurahan Tiban Baru
5. Kelurahan Tiban Indah
6. Kelurahan Patam Lestari
7. Kelurahan Sungai Harapan
8. Kelurahan Tanjung Pinggir
6. Kecamatan Belakang Padang
1. Kelurahan Pemping
2. Kelurahan Kasu
3. Kelurahan Pecong
4. Kelurahan Pulau Terong
5. Kelurahan Sekanak Raya
6. Kelurahan Tanjung Sari
7. Kecamatan Bulang
1. Kelurahan Bulang Lintang
2. Kelurahan Pulau Buluh
3. Kelurahan Pantai Gelam
4. Kelurahan Batu Legong
5. Kelurahan Temoyong
6. Kelurahan Pulau Setokok
8. Kecamatan Sagulung
1. Kelurahan Sagulung Kota
2. Kelurahan Sungai Binti
3. Kelurahan Sungai Langkai
4. Kelurahan Sungai Lekop
5. Kelurahan Sungai Pelenggut
6. Kelurahan Tembesi
9. Kecamatan Galang
1. Kelurahan Pulai Sembulang
2. Kelurahan Rempang Cate
3. Kelurahan Air Raja
4. Kelurahan Subang Mas
5. Kelurahan Galang Baru
6. Kelurahan Sijantung
7. Kelurahan Pulau Karas
8. Kelurahan Pulau Abang
10. Kecamatan Lubuk Baja
1. Kelurahan Baloi Indah
2. Kelurahan Batu Selicin
3. Kelurahan Pangkalan Petai
4. Kelurahan Kampung Pelita
5. Kelurahan Lubuk Baja Kota
6. Kelurahan Tanjung Uma
11. Kecamatan Sungai Beduk
1. Kelurahan Muka Kuning
2. Kelurahan Duriangka
3. Kelurahan Mangsa
4. Kelurahan Tanjung Piayu
12. Kecamatan Batu Aji
1. Kelurahan Kibing
2. Kelurahan Tanjung Uncang
3. Kelurahan Batu Aji
4. Kelurahan Bukit Tempayan
5. Kelurahan Bulang
3. 2 Pahlawan Daerah Kepri

MATERI :

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji adalah
ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Beliau lahir di Selangor,
ca. 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan.

Raja Ali Haji terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku
Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah
yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang
Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.

Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya.
Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-
Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga
menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul
Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku
berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi
penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang
menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat
Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji
hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum,
Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai
penasihat kerajaan.

Latar belakang.

Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor (sekarang bagian Malaysia) tahun 1808 atau 1809,
walaupun beberapa sumber menyebutkan bahwa dia dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang
bagian Indonesia). Dia adalah putra dari Raja Ahmad, yang bergelar Engku Haji Tua setelah
melakukan ziarah ke Mekah. Dia adalah cucu Raja Ali Haji Fisabilillah (saudara Raja Lumu,
Sultan pertama Selangor). Fisabilillah adalah keturunan keluarga kerajaan Riau, yang
merupakan keturunan dari prajurit Bugis yang datang ke daerah tersebut pada abad ke-18.
Bundanya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari
keturunan Suku Bugis. Raji Ali Haji segera dipindahkan oleh keluarganya ke Pulau Penyengat
saat masih bayi, di mana ia dibesarkan dan menerima pendidikan di sana.

Pendidikan

Raji Ali Haji memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga
mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di
lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh
terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau
Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang
dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-
Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.

Raji Ali Haji juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta
rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822, RAH memanfaatkan momentum ini
sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah,
yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah
pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama
kali mengunjungi Mekkah. Raji Ali Haji beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir,
setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, Raji Ali Haji masih berusia muda.

Tugas sebagai pengabdian


Dalam usia 30 tahun, Raji Ali Haji mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Ja'far, pergi ke
seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka
adalah untuk memeriksa kawasan tersebut.

Ketika usia Raji Ali Haji telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu dipercaya
memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu
masih berumur sangat muda. Ketika itu Sultan Mahmud Muzaffar Syah belum mau menunjuk
Yang Dipertuan Muda pengganti Marhum Kampung Bulan yang telah meninggal dunia. Pada
tanggal 26 Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, Raji Ali Haji membuat petisi
yang isinya mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-
Lingga. Petisi itu ditandatangani oleh para pendukung Raja Ali. Ketika Raja Ali bin
Ja'far diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH
diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan.

Ketika Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Ja’far digantikan oleh adiknya Raja Haji
Abdullah Mursyid, Raji Ali Haji dan Raja Ali bin Ja'far kemudian membangun lembaga "Ahlul
Halli wa Aqdi" yang membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.

Pada tanggal 7 Mei 1868, Raji Ali Haji mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju
Teluk Belanga untuk menghadiri penobatan Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai
Maharaja Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang hukum Islam di Kerajaan Riau-
Lingga diemban oleh RAH hingga ia meninggal pada tahun 1873.

Kematian

Sebagian besar sumber menyatakan bahwa Raja Ali Haji wafat pada tahun 1872 di Pulau
Penyengat di Kepulauan Riau, tetapi tanggal kematiannya sedang diperdebatkan setelah bukti-
bukti yang tersebar muncul untuk menentang klaim ini. Diantaranya, bukti yang terkenal adalah
surat yang ditulis pada tahun 1872 ketika Raja Ali Haji menulis surat kepada Herman Von De
Wall, seorang ahli kebudayaan Belanda, yang kemudian meninggal di Tanjung Pinang pada
tahun 1873.
Raja Haji Fisabilillah adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Kota Lama,
Ulusungai, Riau, 1725 dan meninggal di Ketapang, 18 Juni 1784. Ia dimakamkan di Pulau
Penyengat, Indera Sakti, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.

Raja Haji Fisabililah merupakan adik dari Sultan Selangor pertama, Sultan Salehuddin dan
paman sultan Selangor kedua, Sultan Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di
Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.

Riwayat perjuangan

Raja Haji memerintah kerajaan Melayu, Riau. Di tangannya, Kerajaan Melayu berkembang
cukup baik. Dia juga berjuang untuk melawan Belanda. pada tahun 1780, Kerajaan Melayu Riau
telah mengadakan perjanjian damai dengan Belanda. Namun karena Belanda melanggar
perjanjian tersebut, maka peperangan di antara keduanya pun tidak dapat dihindari. Raja Haji
kemudian bekerja sama dengan Sultan Selangor untuk memerangi Belanda di Malaka. Untuk
menghadapi pasukan gabungan tersebut, Belanda mendatangkan pasukannya dari Pulau jawa
dalam jumlah yang besar.

Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja)
Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan
Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama. Karena
keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki (dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya
(Panembahan Senopati) di Jambi.

Raja Haji Fisabililah gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di
Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784, pada serangan ini Raja Haji sendiri yang memimpin
pasukannya. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh
Raja Ja'afar (putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda).

Atas Jasa – jasanya membela Indonesia, Raja Haji diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada
11 Agustus 1997 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Keppres No. 72/TK/1997. Namanya
juga diabadikan sebagai nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja
Haji Fisabilillah.

Untuk mengenang jasa Pahlawan dibuatlah Monumen setinggi 28 m, Monumen Pahlawan


Nasional Perjuangan Raja Haji Fisabilillah.

Sultan Mahmud Syah atau Sultan Mahmud Riayat Syah adalah raja kedelapan dan terakhir
dari Kesultanan Melaka. Dia dipilih sebagai raja menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat
Syah I, melangkahi saudaranya yang lebih tua, Munawar Syah.

Pada 9 November 2017, Sultan Mahmud Riayat Syah dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang
Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Sultan Mahmud merupakan salah satu sosok pejuang kemerdekaan yang gigih mengusir Belanda
dari monopoli perdagangan timah dan hasil laut maritim yang saat itu menduduki Kepulauan
Riau.

Pada masa kejayannya, Sultan Mahmud memiliki strategi perang grilya laut yang hebat. Salah
satunya pada tahun 1787 saat Belanda menduduki Ibukota yang sekarang disebut Tanjung
Pinang, Sultan Mahmud dengan bantuan persenjataan armada laut dari Raja Sabah berhasil
mengusir Belanda.
Pemerintahan Sultan Mahmud Syah atas Malaka berakhir dengan serangan Portugis yang
menaklukkan Melaka pada 1511. Mahmud Syah kemudian memindahkan ibu kotanya ke Bintan.
Setelah ibu kota di Bintan dibumihanguskan Portugis, dia kemudian mengundurkan diri ke
Kampar, tempat dia wafat pada tahun 1528.

Putra ke-2 Sultan Mahmud Syah, Alauddin Riayat Syah II kemudian mendirikan kerajaan baru di
Johor. dan Putra Sulang Sultan Mahmud Syah, Mudzaffar Syah kemudan mendirikan kerajaan
baru di Perak. Sultan Mahmud juga tokoh yang peduli dengan keberagaman. Berbagai suku di
antaranya Bugis, Flores, Jawa dan Melayu dapat bersatu di bawah kepemimpinan Sultan.

3. 3 Pahlawan Daerah Kepulauan Riau

MATERI :

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji adalah
ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Beliau lahir di Selangor,
ca. 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan.

Raja Ali Haji terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku
Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah
yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang
Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya.
Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-
Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga
menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul
Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku
berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi
penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang
menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat
Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji
hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum,
Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai
penasihat kerajaan.

Latar belakang.

Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor (sekarang bagian Malaysia) tahun 1808 atau 1809,
walaupun beberapa sumber menyebutkan bahwa dia dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang
bagian Indonesia). Dia adalah putra dari Raja Ahmad, yang bergelar Engku Haji Tua setelah
melakukan ziarah ke Mekah. Dia adalah cucu Raja Ali Haji Fisabilillah (saudara Raja Lumu,
Sultan pertama Selangor). Fisabilillah adalah keturunan keluarga kerajaan Riau, yang
merupakan keturunan dari prajurit Bugis yang datang ke daerah tersebut pada abad ke-18.
Bundanya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari
keturunan Suku Bugis. Raji Ali Haji segera dipindahkan oleh keluarganya ke Pulau Penyengat
saat masih bayi, di mana ia dibesarkan dan menerima pendidikan di sana.

Pendidikan

Raji Ali Haji memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga
mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di
lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh
terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau
Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang
dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-
Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.
Raji Ali Haji juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta
rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822, RAH memanfaatkan momentum ini
sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah,
yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah
pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama
kali mengunjungi Mekkah. Raji Ali Haji beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir,
setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, Raji Ali Haji masih berusia muda.

Tugas sebagai pengabdian

Dalam usia 30 tahun, Raji Ali Haji mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Ja'far, pergi ke
seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka
adalah untuk memeriksa kawasan tersebut.

Ketika usia Raji Ali Haji telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu dipercaya
memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu
masih berumur sangat muda. Ketika itu Sultan Mahmud Muzaffar Syah belum mau menunjuk
Yang Dipertuan Muda pengganti Marhum Kampung Bulan yang telah meninggal dunia. Pada
tanggal 26 Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, Raji Ali Haji membuat petisi
yang isinya mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-
Lingga. Petisi itu ditandatangani oleh para pendukung Raja Ali. Ketika Raja Ali bin
Ja'far diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH
diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan.

Ketika Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Ja’far digantikan oleh adiknya Raja Haji
Abdullah Mursyid, Raji Ali Haji dan Raja Ali bin Ja'far kemudian membangun lembaga "Ahlul
Halli wa Aqdi" yang membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.

Pada tanggal 7 Mei 1868, Raji Ali Haji mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju
Teluk Belanga untuk menghadiri penobatan Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai
Maharaja Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang hukum Islam di Kerajaan Riau-
Lingga diemban oleh RAH hingga ia meninggal pada tahun 1873.
Kematian

Sebagian besar sumber menyatakan bahwa Raja Ali Haji wafat pada tahun 1872 di Pulau
Penyengat di Kepulauan Riau, tetapi tanggal kematiannya sedang diperdebatkan setelah bukti-
bukti yang tersebar muncul untuk menentang klaim ini. Diantaranya, bukti yang terkenal adalah
surat yang ditulis pada tahun 1872 ketika Raja Ali Haji menulis surat kepada Herman Von De
Wall, seorang ahli kebudayaan Belanda, yang kemudian meninggal di Tanjung Pinang pada
tahun 1873.

Raja Haji Fisabilillah adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Kota Lama,
Ulusungai, Riau, 1725 dan meninggal di Ketapang, 18 Juni 1784. Ia dimakamkan di Pulau
Penyengat, Indera Sakti, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.

Raja Haji Fisabililah merupakan adik dari Sultan Selangor pertama, Sultan Salehuddin dan
paman sultan Selangor kedua, Sultan Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di
Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.

Riwayat perjuangan

Raja Haji memerintah kerajaan Melayu, Riau. Di tangannya, Kerajaan Melayu berkembang
cukup baik. Dia juga berjuang untuk melawan Belanda. pada tahun 1780, Kerajaan Melayu Riau
telah mengadakan perjanjian damai dengan Belanda. Namun karena Belanda melanggar
perjanjian tersebut, maka peperangan di antara keduanya pun tidak dapat dihindari. Raja Haji
kemudian bekerja sama dengan Sultan Selangor untuk memerangi Belanda di Malaka. Untuk
menghadapi pasukan gabungan tersebut, Belanda mendatangkan pasukannya dari Pulau jawa
dalam jumlah yang besar.
Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja)
Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan
Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama. Karena
keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki (dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya
(Panembahan Senopati) di Jambi.

Raja Haji Fisabililah gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di
Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784, pada serangan ini Raja Haji sendiri yang memimpin
pasukannya. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh
Raja Ja'afar (putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda).

Atas Jasa – jasanya membela Indonesia, Raja Haji diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada
11 Agustus 1997 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Keppres No. 72/TK/1997. Namanya
juga diabadikan sebagai nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja
Haji Fisabilillah.

Untuk mengenang jasa Pahlawan dibuatlah Monumen setinggi 28 m, Monumen Pahlawan


Nasional Perjuangan Raja Haji Fisabilillah.

Sultan Mahmud Syah atau Sultan Mahmud Riayat Syah adalah raja kedelapan dan terakhir
dari Kesultanan Melaka. Dia dipilih sebagai raja menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat
Syah I, melangkahi saudaranya yang lebih tua, Munawar Syah.

Pada 9 November 2017, Sultan Mahmud Riayat Syah dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang
Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Sultan Mahmud merupakan salah satu sosok pejuang kemerdekaan yang gigih mengusir Belanda
dari monopoli perdagangan timah dan hasil laut maritim yang saat itu menduduki Kepulauan
Riau.

Pada masa kejayannya, Sultan Mahmud memiliki strategi perang grilya laut yang hebat. Salah
satunya pada tahun 1787 saat Belanda menduduki Ibukota yang sekarang disebut Tanjung
Pinang, Sultan Mahmud dengan bantuan persenjataan armada laut dari Raja Sabah berhasil
mengusir Belanda.

Pemerintahan Sultan Mahmud Syah atas Malaka berakhir dengan serangan Portugis yang
menaklukkan Melaka pada 1511. Mahmud Syah kemudian memindahkan ibu kotanya ke Bintan.
Setelah ibu kota di Bintan dibumihanguskan Portugis, dia kemudian mengundurkan diri ke
Kampar, tempat dia wafat pada tahun 1528.

Putra ke-2 Sultan Mahmud Syah, Alauddin Riayat Syah II kemudian mendirikan kerajaan baru di
Johor. dan Putra Sulang Sultan Mahmud Syah, Mudzaffar Syah kemudan mendirikan kerajaan
baru di Perak. Sultan Mahmud juga tokoh yang peduli dengan keberagaman. Berbagai suku di
antaranya Bugis, Flores, Jawa dan Melayu dapat bersatu di bawah kepemimpinan Sultan.

3. 3 Tempat sejarah dan ikon daerah Kota Batam

MATERI :

JEMBATAN BARELANG
Jembatan Barelang adalah sebuah nama yang tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Terutama
untuk penduduk tempatan dan turis lokal atau turis mancanegara. Mungkin sudah ada puluhan
atau ratusan informasi tentang Batam dengan Jembatan Barelangnya. Bahkan Pemerintah Kota
Batam menjadikan Jembatan Barelang sebagai simbol kota dan juga ikon untuk program Visit
Batam 2010. Lokasi Jembatan Barelang terletak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Batam,
provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

Jembatan ini dibangun pada tahun 1992 dan selesai pada tahun 1998, pemrakarsanya BJ Habibie
yang kala itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pembangunan jembatan ini
menelan biaya lebih dari Rp 400 miliar. Sebenarnya yang dimaksud dengan Jembatan Barelang
itu adalah enam buah jembatan yang menghubungkan tiga pulau besar dan beberapa pulau kecil
yang termasuk dalam provinsi Kepulauan Riau. Nama Barelang sendiri merupakan akronim dari
nama tiga pulau besar yang dihubungkan oleh jembatan ini, yakni Pulau Batam, Pulau Rempang,
dan Pulau Galang.

Selain arti nama Jembatan Barelang, akan kita susuri pengetahuan seputar enam buah Jembatan
Barelang. Jembatan dengan total panjang 2.264 meter ini terdiri dari rangkaian enam jembatan
yang masing-masing diberi nama raja yang pernah berkuasa pada zaman Kerajaan Melayu Riau
pada abad 15-18 Masehi.

1. Jembatan yang pertama sekali kita temui disebut dengan nama Jembatan Tengku Fisabilillah.
Struktur dan modelnya mirip dengan golden gate-nya San Fransisco USA. Jembatan inilah yang
paling dikenal oleh masyarakat. Jembatan ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau
Tonton dan memiliki lebar tinggi 642 x 350 x 38 meter. Jembatan ini bercirikan model Cable
Stayed yang menjuntai dan megah.

2. Jembatan kedua bernama Jembatan Narasinga yang menghubungkan Pulau Tonton dengan
Pulau Nipah, berbentuk lurus tanpa lengkungan dan memiliki panjang lebar tinggi 420 x 160 x
15 meter.

3. Jembatan ketiga adalah Jembatan Ali Haji yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau
Setokok dan memiliki panjang lebar tinggi 270 x 45 x 15 meter.

4. Jembatan keempat bernama Jembatan Sultan Zainal Abidin yang menghubungkan Pulau
Setokok dengan Pulau Rempang dan memiliki panjang lebar tinggi 365 x 145 x 16,5 meter.

5. Jembatan kelima adalah Jembatan Tuanku Tambusai yang menghubungkan Pulau Rempang
dengan Pulau Galang dan memiliki panjang lebar tinggi 385 x 245 x 31 meter.

6. Jembatan terakhir bernama Jembatan Raja Kecil, menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau
Galang Baru dan memiliki panjang lebar tinggi 180 x 45 x 9,5 meter. Selain jembatan pertama,
jembatan yang juga terkenal adalah jembatan keenam ini. Jembatan ini dikenal karena nilai
sejarah dari pulau yang dihubungkannya.

CAMP. VIETNAM
Peristiwanya terjadi pertengahan tahun 1970-an setelah berakhirnya perang Vietnam yang
ternyata menghadapkan dunia internasional pada masalah serius para pengungsi. Pemicu
utamanya adalah jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan kekuasaan Vietnam Utara atau Vietkong,
selain situasi kaostis di Kamboja.
Pulau Galang mencuat namanya sekitar 18 tahun lalu, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia
internasional, karena sekira 3,5 tanahnya yang masih menghutan, oleh UNHCR (United Nation
High Commission for Refugees,) atas persetujuan pemerintah pusat, dibangun pusat pemukiman
sementara pengungsi Vietnam yang meninggalkan negerinya karena dilanda perangan. Para
pengungsi Vietnam itu dikenal pada waktu itu sebagai “manusia perahu”. Menurut keterangan
para petugas yang masih berada di tempat permukiman itu, orang-orang Vietnam yang keluar
dari kampung halamannya itu mengarungi sekitar Laut Cina Selatan dan masuk perairan
Indonesia dengan menggunakan perahu tua berbagai ukuran yang bocor. Pada setiap perahu itu
ada yang berpenumpang sekira 40-100 orang, terdampar atau mendamparkan diri di sekitar
pantai Tanjung Uban, Kepulauan Natuna, Pulau Galang dan di sekitar pulau-pulau kecil lainnya
yang tidak berpenghuni. Pada waktu itu mereka ditemukan dan ditolong oleh patroli Angkatan
Laut Indonesia dan para nelayan setempat.

Peristiwa tersebut yang kemudian menimbulkan kekhawatiran banyak orang di wilayah selatan
Vietnam dan mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mencari
perlindungan baru. Dengan demikian, banyak alasan para pengungsi itu meninggalkan tanah air
mereka, laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak menyelamatkan diri. Mereka dengan
menggunakan perahu tua yang bocor itu, berlayar ke laut terbuka tanpa tujuan yang jelas, dan
sampailah di perairan Indonesia. Di kemudian hari mereka menjadi masalah banyak negara dan
melibatkan perhatian dunia internasional.

Indonesia pada saat itu adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memberikan respons
yang muncul terhadap masalah internasional yang urgen itu. Dan menolong para pengungsi itu
untuk masuk, dan setuju Pulau Galang yang terletak sekira 50 km sebelah selatan Pulau Batam
dan hanya sekira setengah jam dari Singapura dengan menggunakan feri, dipilih sebagai tempat
transit para pengungsi Vietnam. Sambil menunggu mereka secara administratif diproses untuk
dikirim ke negara ketiga.

Di areal peruntukan pemukiman di Pulau Galang itu, UNHCR membangun perkampungan yang
dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana lengkap dan sangat memadai, seperti jalan
yang teratur dan kualitas sangat baik yang menghubungkan dengan pelabuhan kecil yang
digunakan sebagai lalu lintas suplai kebutuhan hidup para pengungsi itu. Tempat ini dikenal
dengan nama Pelabuhan Karyapura. Di situ terdapat restoran makanan laut yang diusahakan oleh
para pengungsi, gedung pertemuan, sekolah, gereja, pintu masuk melalui darat dan bangunan
untuk fasilitas latihan para petugas daerah. Di pemukiman tersebut, dibangun pula perumahan
untuk pegawai lokal UNHCR, pagoda, rest area, camping ground, “Galang Memorial Hall”. Ada
sekira 500 orang meninggal di kampung Vietnam itu, karena memang sudah tua dan sakit.
Mereka dikuburkan dalam suatu areal pemakaman yang teratur dan terawat baik.

Perumahan pengungsi dan sarana gedung lainnya yang sekarang sebagian besar tampak tidak
terawat, kecuali bangunan suci umat Budha (pagoda) dimanfaatkan dan dirawat orang-orang
Budha Cina Riau. Bangunan yang ada itu sekarang sedang direnovasi dan dimanfaatkan sebagai
salah satu unggulan kawasan wisata pemerintah daerah Batam.

Suatu tempat yang sangat ideal untuk dijadikan areal pendidikan di alam terbuka bagi anak-anak
dan pemuda, semacam bumi perkemahan Cibubur di Jakarta. Selain itu tempat tersebut menarik
dikunjungi, baik turis lokal maupun mancanegara untuk melihat sambil mengagumi nilai-nilai
yang terkandung di balik pembangunan perkampungan tersebut. Juga sambil melakukan refleksi
diri, pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa itu untuk masa depan kehidupan umat
manusia.
“Kampung Vietnam” di Pulau Galang yang sejak tahun 1979-1996 pernah dihuni sekira 250.000
orang manusia perahu yang dikumpulkan dari berbagai tempat di sekitar Kepulauan Riau itu.
Sebelumnya mereka hidup bersama penduduk setempat dengan imbalan barang-barang yang
mereka bawa. Pada umumnya mereka memberikan imbalan berupa emas. Dan kesan penduduk
yang pernah berhubungan dengan para pengungsi itu, di antara mereka tampaknya banyak orang
yang tergolong berada. Atas prakarsa pemerintah dan UNHCR, sengaja mereka dikonsentrasikan
pada suatu tempat permukiman yang tertutup interaksinya dengan penduduk setempat untuk
memudahkan pengawasan, pengaturan dan keamanan mereka. Selain itu, pemerintah khawatir
akan berjangkitnya penyakit kelamin yang mengerikan yang kedapatan di antara mereka, yang
disebut Vietnam Rose, sebelum orang mengenal virus HIV yang lebih mengerikan lagi.

Sekarang, perkampungan para pengungsi Vietnam itu telah menjadi wilayah terbuka untuk
dikunjungi masyarakat karena telah ditinggalkan para pengungsi.

Selama 18 tahun, dengan dukungan mengesankan dari komunitas internasional, UNHCR/badan


PBB yang berurusan dengan masalah-masalah pengungsi dan pemerintah Indonesia yang
diwakili oleh Angkatan Laut pada waktu itu, para pengungsi Vietnam yang dilindungi di Pulau
Galang telah berhasil dipulangkan. Sekira 5.000 orang pengungsi kembali ke kampung
halamannya dan yang lainnya meninggalkan Pulau Galang menuju tanah airnya yang baru,
tersebar di negara-negara ketiga, di antaranya ada yang menuju Australia dan Amerika Serikat.
Perkampungan Vietnam yang sejuk dan indah serta jauh dari keramaian itu, bagi mereka hanya
tinggal kenangan yang tentu sulit untuk mereka lupakan. Di mana UNHCR dan pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa areal permukiman Vietnam itu menjadi wilayah konservasi sebagai
“museum terbuka” untuk umum yang dilindungi keberadaannya sebagai bukti kepada dunia
bahwa Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang
penting dalam sejarah peradaban modern di Asia Tenggara.
Pada tahun 1996, seluruh pengungsi dipulangkan kembali ke negara-nya, dan sekarang objek
wisata bersejarah tersebut dapat kita nikmati dan kita jadikan pembelajaran tentang bagaimana
perjuangan masyarakat Vietnam bertahan hidup di tanah rantau.

Anda mungkin juga menyukai