Kewajiban Advokat
Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh advokat sesuai UU RI Nomor 18 Tahun
2003 adalah menjunjung kode etik profesinya.
Kode etik advokat Indonesia adalah menjamin, melindungi, dan membebankan kewajiban
kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya.
Tanggung jawab ditujukan kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, serta kepada
dirinya sendiri.
Kewajiban lain seorang advokat adalah menegakkan hukum termasuk supremasi hukum dan
hak asasi manusia. Dalam menjalankan kewajibannya menegakkan hukum, advokat dilarang
memegang jabatan lain yang bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya. Advokat
dilarang memangku tanggung jawab lain yang dapat mengurangi kemerdekaannya dalam
menjalankan tugas.
Dijelaskan dalam Undang-undang bahwa advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan
merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, advokat dalam menjalankan tugasnya dilarang membedakan perlakuan terhadap
klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan
budayanya.
Setiap advokat berkewajiban melindungi dan membela kepentingan kliennya dengan sungguh-
sungguh. Kepentingan klien yang dimaksud adalah kepentingan klien yang sebelumnya telah
didiskusikan dan dituangkan dalam bentuk perjanjian. Di mana jasa hukum yang diberikan akan
disesuaikan dengan hal tersebut. Dalam rangka melindungi kepentingan klien, advokat wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperolehnya dari klien karena hubungan
profesional yang dibangun.
Beriringan dengan kewajiban di atas, seorang advokat juga memiliki sejumlah hak. Berikut hak
advokat menurut UU Nomor 18 Tahun 2003:
=Hak kebebasan dan kemandirian dalam mengeluarkan pendapat dalam membela suatu
perkara.
=Hak imunitas atau kekebalan seorang advokat dalam menjalankan tanggung jawabnya di mana
ia tidak dapat dituntut ketika menjalankan profesinya.
=Hak meminta dan memperoleh informasi terkait perkara yang tengah dihadapinya.
=Hak menjalankan praktek peradilan di seluruh wilayah Indonesia.
Tujuan dari dibentuknya lembaga KPK adalah untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas
korupsi.Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah
lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. [1] Komisi ini didirikan
berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[2] Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Badan Pemeriksa Keuangan
Dalam menjalankan tugasnya, KPK bepegang teguh pada enam asas yaitu kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia KPK bertangggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporan secara
terbuka serta berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. Adapun tugas KPK, sebagai berikut:
[7]. Selain memiliki tugas khusus, KPK juga memiliki wewenang tersendiri. Dalam “Modul
PPKn Kelas XII KD 3.2”, diterangkan tentang wewenang KPK yang terdiri atas:
1. Kepastian Hukum
2. Keterbukaan
KPK harus menyadari terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
Selain itu, KPK juga harus tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan dan rahasia negara.
3. Akuntabilitas
Asas ini adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.
4. Kepentingan Umum
Norma yang satu ini menjadi pedoman hidup bagi manusia yang bersumber dari Tuhan Yang
Maha Esa. Isi dari norma ini berupa perintah, ajaran, dan larangan.
Sanksi dari pelanggaran norma agama berupa dosa dengan balasan di akhirat kelak.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Norma
kesusilaan mendorong manusia untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk.
Jika seseorang melanggar norma ini, biasanya mereka akan mendapat sanksi berupa penyesalan,
dicemooh, bahkan dikucilkan dari masyarakat.
Sebagai contoh, pamit pada orang tuanya mau kuliah, tetapi ternyata berduaan bercumbu rayu di
semak belukar dengan paksaan. Orang tersebut tidak hanya berbohong, namun juga memaksa
orang lain untuk menuruti nafsunya.
3. Norma Kesopanan
Norma kesopanan didasari beberapa hal, seperti kebiasaan, kepantasan, kepatutan yang berlaku di
masyarakat. Norma kesopanan berasal dari pergaulan manusia.
Yap, norma ini bersumber dari kebiasaan, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai masyarakat. Tata
sopan santun tersebut mendorong seseorang untuk berbuat baik, meski terkadang tak berasal dari
hati nurani. Tetapi, hanya untuk sekadar menghargai orang lain dalam pergaulan sosial.
Sanksi dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya karena sumber norma ini
adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.
Contoh norma kesopanan, di Indonesia ketika memanggil orang yang lebih tua, kita
menggunakan awalan sapaan seperti 'pak', 'bu', 'om', 'kakak', dan sebagainya, bahkan di Jawa
berucap dengan bahasa krama.
Namun di negara lain, misalnya di beberapa negara Eropa Barat, kita memanggil orang yang
lebih tua bisa cukup dengan namanya.
Advertisement
4. Norma Hukum
Norma hukum bersumber dari negara atau pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang.
Norma hukum memiliki sifat memaksa untuk melindungi kepentingan dalam pergaulan hidup di
masyarakat.
Hal ini berarti, pelanggar hukum harus mendapatkan hukuman. Hal ini tentu dengan asumsi
penegak hukum adalah orang-orang yang adil.
Norma hukum juga sebagai pelengkap norma-norma lain dengan sanksi tegas dan nyata.
Sanksinya itu tegas, memaksa, dan mengikat, seperti penjara dan denda.
[12]. Sanksi yang ditimbulkan dari norma hukum bersifat tegas dan nyata. Yang
dimaksud tegas adalah, sanksi dari aturan yang dilanggar itu sudah dibuat dalam
sebuah peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, ada seseorang yang
melakukan tindak pidana. Sudah ada hukuman yang menanti dia, menurut pasal 10
KUHP, ada 2 hukuman yaitu hukuman pokok dan tambahan. Hukuman pokoknya
adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara.
Selain itu, si pelaku juga harus menerima hukuman tambahan yaitu hak-haknya
akan dicabut, dan benda-bendanya juga disita oleh negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan nyata adalah aturan yang sudah ditetapkan
untuk si pelaku ditetapkan jumlahnya. Misalnya, dalam pasal 338 KUHP, disebutkan
bahwa barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sanksi hukum
diberikan oleh lembaga-lembaga peradilan yang berwenang, sedangkan sanksi
sosial diberikan oleh masyarakat yang ada di sekitar si pelaku. Kalau sanksi-sanksi
itu masih belum membuat pelaku merasa jera, ada satu lagi sanksi yaitu sanksi
psikologis.