Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 1

Nama : Eko Prasetyo Romadhoni


NIM : 041763058
Prodi : S1 Manajemen

1. Utarakan sikap Anda tentang penggunaan bahasa Indonesia di media sosial seperti
Twitter, Facebook, dan Instagram yang keluar dari kaidah bahasa Indonesia seperti
penggunaan angka, tanda baca, bahasa alay, dan yang menyinggung SARA.

Pada era modern saat ini, tentu kita tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi
yang ada. Hampir setiap orang di dunia ini memiliki gadget yang selalu ia bawa kemanapun
pergi yang dapat membantu dan memudahkan aktivitas sehari-harinya. Begitu pula dengan
media sosial, saat ini kehidupan manusia hampir tak bisa lepas dari media sosial seperti
facebook, twitter, dan instagram. Tak pandang usia dan golongan hampir setiap orang
setidaknya memiliki satu akun media sosial yang digunakan untuk saling berinteraksi dan
berkomunikasi di dunia maya dengan pengguna media sosial lainnya.
Tujuan manusia memiliki media sosial adalah untuk saling berkomunikasi,
berinteraksi, memberi dan memperoleh informasi, mengekspresikan diri, dan
mengungkapkan pemikirannya. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial
tentu kita menggunakan bahasa yang merupakan suatu sistem lambang berupa bunyi,
bersifat arbitrer digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasi diri.
Hal ini sejalan dengan hakikat bahasa yaitu (1) bahasa adalah bunyi ujar (lisan) yang
berwujud lambang, (2) bahasa memiliki sistem, (3) bahasa itu bermakna, dan (4) bahasa
memiliki fungsi. Dalam penggunaan media sosial kita menggunakan tulisan (huruf - angka)
serta video ataupun suara untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, sesuai
dengan hakikat bahasa yang merupakan bunyi ujar yang berwujud lambang. Dengan
penggunaan bahasa di media sosial kita dapat mengekspresikan diri dan mengutarakan
pemikiran kita kepada orang lain, sesuai dengan hakikat bahasa yaitu bahasa memiliki
fungsi. Dengan bahasa juga para pengguna media sosial lain pun dapat mengerti dan
memahami sesuatu yang kita sampaikan di media sosial, sesuai dengan hakikat bahasa yaitu
bahasa memiliki makna.
Namun dalam menggunakan media sosial terdapat berbagai macam dinamika yang ada.
Keinginan orang untuk mengekspresikan diri dan mengutarakan pendapatnya sering kali
tidak dibarengi dengan semangat berkata-kata secara tertulis ini tidak dibarengi dengan
sikap positif penggunaan bahasa. Penggunaan Bahasa Indonesia di media sosial yang
keluar dari kaidah Bahasa Indonesia seperti penggunaan singkatan kata, angka, tanda baca,
dan penggunaan bahasa “alay” seringkali menyebabkan ketimpangan komunikasi atau
penginterpretasian yang berbeda terhadap apa yang disampaikan antara penulis dengan
pembaca. Bahkan tak jarang pula hal ini menyebabkan perselisihan pendapat antara penulis
dengan pembaca yang tentu mencoreng rasa persaudaraan kita sebagai Bangsa Indonesia.
Memang benar bahwa bahasa memiliki sifat yang dinamis (bahasa khususnya kata
dapat berubah makna karena keinginan penggunanya) dan variatif (perbedaan ragam dan
variasi bahasa yang sejalan dengan perbedaan karakter manusia). Mungkin para pengguna
media sosial menginginkan sesuatu yang baru maka mereka mulai menciptakan bahasa-
bahasa (kata) baru berdasarkan kreatifitas mereka. Namun bahasa juga memiliki sifat yang
konvensional yaitu bahasa ditentukan dan disepakati oleh para penggunanya yaitu manusia.
Maka dari itu alangkah lebih baiknya jika dalam menggunakan media sosial kita
menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dan bahasa negara sesuai
kaidahnya yang baik dan benar agar tidak terjadi ketimpangan komunikasi antar
penggunannya.
Tak hanya itu saja permasalahan pada penggunaan media sosial. Terkadang oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab menggunakan media sosial untuk cyber bullying dan
memberikan postingan-postingan yang mengandung unsur pornografi, SARA, berita hoax,
plagiarisme, stalking, dan lain-lain. Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena akan
merugikan pihak lain. Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas sebebas-bebasnya,
dalam hal ini terdapat batas-batas yang tentu harus kita patuhi. Dalam memberikan
pendapat kita kita harus menggunakan bahasa yang baik dan sopan selain itu juga harus
menghormati hak-hak dari orang lain, supaya suasana yang baik dan kondusif serta
persaudaan antar sesama tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dari bahasa
yaitu bahasa sebagai kontrol sosial.
Beberapa orang berpendapat bahwa penggunaan media sosial seperti facebook, twitter,
instagram hanya merupakan hiburan dan kesenangan semata sehingga tidak memerlukan
bahasa yang formal dan baku. Memang benar bahwa dalam penggunaan media sosial tidak
harus menggunakan bahasa yang formal seperti saat mengadakan rapat. Namun akan lebih
baik jika kita sebagai Bangsa Indonesia menggunakan bahasa indonesia yang baik, benar,
logis, dan sistematis sesuai dengan kaidah yang berlaku sehingga pesan yang disampaikan
dapat diterima secara baik oleh pembaca sebagaimana yang dimaksud oleh penulis. Selain
itu kita juga harus bangga dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik di media sosial
karena Bahasa Indonesia adalah kebanggaan kita sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara kita.
Kesimpulan:
 Kita harus bijak dalam menggunakan media sosial dan menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang berlaku.
 Saring informasi yang kita dapatkan sebelum kita membagikannya dalam media
sosial yang kita miliki.
 Hindari memberikan postingan-postingan yang mengandung unsur bullying,
pornografi, SARA, berita hoax, plagiarisme, stalking, dan lain-lain.
 Bagikan informasi-informasi atau kegiatan yang baik, positif, inovatif, dan kreatif
sehingga dapat mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik pula.
2. Bunyi tiruan (onomatope) suara hewan berbeda di setiap negara. Tiruan suara anjing
di Indonesia gonggongannya berbunyi "guk guk 'di Jepang" wang wang', dan juga
di Korea "mang mang." Menurut Anda apa penyebab perbedaan bunyi onomatope
tersebut?

Berdasarkan KBBI onomatope adalah kata tiruan bunyi, misalnya "kokok" merupakan
tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus. Onomatope adalah salah satu jenis
rhetorical device dimana sebuah kata yang dituliskan atau diucapkan merupakan tiruan
(imitation) dari sebuah efek suara yang berasal dari hal-hal di sekitar kita seperti suara air
menetes, suara angin bertiup, suara hewan, dll. Singkatnya, Onomatope adalah kata-kata
yang mengekspresikan bunyi.
Namun dalam praktiknya tiruan suara atau bunyi ini (onomatope) berbeda-beda di
setiap negara. Seperti contohnya suara bebek dalam Bahasa Indonesia berbunyi “kwek
kwek”, dalam Bahasa Inggris berbunyi “quack quack”, dan dalam bahasa Jepang berbunyi
“ga ga”. Suara kucing di Indonesia berbunyi “meong meong” di Jepang berbunyi “nyan
nyan”. Tiruan suara anjing di Indonesia gonggongannya berbunyi "guk guk 'di Jepang"
wang wang', dan juga di Korea "mang mang." Suara klakson mobil di Indonesia berbunyi
“Tin-Tin” atau kadang juga “Tit-Tit”. Dalam Bahasa Mandarin, bunyi ini disimbolkan
dengan “ba-ba”, dalam Bahasa Perancis “tut-tut”, dalam Bahasa Portugis “fom-fom”,
dalam Bahasa Jepang “pu-pu”, dalam Bahasa Vietnam “bim-bim”, dan dalam Bahasa
Korea “bbang-bbang”.
Penyebab perbedaan bunyi onomatope tersebut adalah karena adanya perbedaan
bahasa, bunyi dan dialeg serta aksen yang ada di setiap negara. Kita mengetahui semua
bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Sehingga bahasa yang berbeda akan
mempengaruhi sistem bunyi dari bahasa tersebut. Hal ini mengakibatkan “penafsiran” /
peniruan suara bunyi beberapa orang yang memiliki bahasa dan aksen yang berbeda akan
berbeda pula, walaupun suara yang didengar sebenarnya sama.
Contoh mudahnya seperti bunyi dari huruf alphabet di setiap negara akan berbeda.
Seperti dalam Bahasa Inggris huruf “e” dibunyikan “i” huruf “a” dibunyikan “e” huruf “d”
dibunyikan “di” sedangkan dalam Bahasa Indonesia dibunyikan “de”. Huruf “b” dalam
Bahasa Inggris dibunyikan “bi” dalam Bahasa Indonesia dibunyikan “be”. Dan dalam
bahasa asing lain tentu pembunyian dari huruf alphabet pun akan berbeda. Contoh lain
adalah aksen. Orang Inggris / orang Jepang mungkin agak susah mengucapkan “eerr” tidak
seperti orang Indonesia yang mudah mengucapkan “eerr” walaupun beberapa orang sedikit
kesulitan.
Kesimpulannya perbedaan bunyi tiruan (onomatope) disetiap negara disebabkan oleh
perbedaan bahasa, bunyi, dialeg serta aksen yang berbeda disetiap negara.
Referensi :
Mulyati, Yeti, dkk. 2018. Materi Pokok Bahasa Indonesia. Tangerang Selatan: UT.
Kbbi.web.id. Onomatope. Diakses pada 11 April 2020 Melalui
https://kbbi.web.id/onomatope.
Www.bigbanktheories.com. 3 Januari 2019. Pengertian Onomatopeia dan Contohnya
dalam Bahasa Inggris. Diakses pada 11 April 2020 melalui
https://www.bigbanktheories.com/pengertian-onomatopoeia-dan-contohnya-dalam-
bahasa-inggris/

Anda mungkin juga menyukai