Anda di halaman 1dari 9

KONSEP KURIKULUM

A. Pengertian Kurikulum
Kata ”kurikulum” sudah dikenal orang sejak ratusan tahun yang lalu. Secara etimologis, kata
“kurikukum” berasal dari bahasa latin yang kata dasarnya adalah currere. Kata ini digunakan untuk memberi
nama lapangan perlombaan lari. Karena dipakai untuk sebuah perlombaan, pada lapangan tersebut terdapat
garis “start” dan batas “finish”, untuk menunjukkan tempat memulai dan mengakhiri perlombaan. Dalam
perkembangannya, kata ini kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan. Di dunia pendidikan penggunaan
kata kurikulum menjadi jauh lebih populer jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Sebelum membahas pengembangan kurikulum lebih jauh, marilah kita mulai dengan membahas
pengertian kurikulum dengan menelisik jauh ke belakang mulai jaman Tyler (1949) sampai dengan dekade
abad ke-21, yakni UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tyler (1949) memaknai
kurikulum dengan bertolak dari empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan
kurikulum. Keempat pertanyaan tersebut mencakup: (1) Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah? (2)
Pengalaman-pengalaman belajar seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan dimaksud? (3)
Bagaimana pengalaman belajar diorganisasikan secara efektif? dan (4) Bagaimana cara menentukan bahwa
tujuan pendidikan telah dapat dicapai? Kalau semua pertanyaan mendasar itu dapat dijawab dengan baik, di
situlah makna kurikulum yang dia maksudkan.
Alkarhumi dengan mengutip Caswell dan Campbell (1935) selanjutnya mempertajam batasan ini
dengan mengaitkannya dengan peran institusi. Kurikulum dimaknai sebagai ‘composed of all of the
experiences children have under the guidance of the school.’ Pada pertengahan tahun 1950-an batasan ini
dipertegas lagi dengan tambahan ‘terencana dan terkendali sehingga kurikulum sebagai program terencana
untuk mencapai tujuan pendidikan. Saylor, dkk (1981) melihat kurikulum dilihat dari empat pandangan,
yaitu: (1) kurikulum sebagai tujuan (the curriculum as objectives), (2) kurikulum sebagai kesempatan
belajar yang terencana (The curriculum as planned opportunities for learning), (3) kurikulum sebagai mata
pelajaran/mata kuliah (The curriculum as subjects and subject matter), dan (4) kurikulum sebagai
pengalaman (The curriculum as experience).
Kurikulum sebagai kesempatan belajar yang terencana dapat pula diartikan sebagai penyediaan
lingkungan belajar di mana peserta didik dapat memahami seperangkat makna dari lingkungan tersebut.
Karena itu, model kurikulum seperti ini dapat dianggap sebagai ‘kurikulum yang berpusat pada mata
pelajaran’ atau ‘kurikulum yang berpusat pada kompetensi’.
Sementara itu, pandangan kurikulum sebagai mata pelajaran diikuti sampai hari ini, baik di jenjang
pendidikan dasar dan menengah maupun di perguruan tinggi. Sebagian pakar menyebut dengan istilah
kurikulum formal (formal currculum) dengan kurikulum yang diterima peserta didik (experienced
curriculum). Kesenjangan yang terlalu besar pada kedua jenis kurikulum ini sangat mempengaruhi kualitas
lulusan. Kalau kesenjangannya besar, maka kualitasnya rendah, dan sebaliknya. Oleh karena itu, upaya
pembinaan di lembaga pendidikan dilakukan untuk memperkecil kesenjangan ini.
Muktiono Waspodo dengan merujuk pada tulisan Hilda Taba (1962) dalam bukunya "Curriculum
Development Theory and Practice" mengartikan kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang
direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum
sebagai dokumen tertulis yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 Butir 19
UUSPN menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Rumusan tentang kurikulum ini mengandung makna bahwa
kurikulum meliputi rencana, isi, dan bahan pelajaran dan cara penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan pengertian di atas, kurikulum bukan hanya dokumen yang berisi tujuan dan garis besar
program pengajaran. Namun, makna kurikulum akan berarti setelah diterjemahkan secara relevan dalam
bentuk proses belajar mengajar sebagai bentuk operasional sistem kurikulum.
Said Hamid Hasan (1992) mengemukakan bahwa suatu kurikulum bersifat fleksibel, yang
mengandung dua posisi. Posisi pertama berhubungan dengan fleksibilitas sebagai suatu pemikiran
kependidikan bagi pendidikan dan pelatihan. Pada posisi teoritik ini yang harus dikembangkan ialah
kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya
posisi pengembang ini karena adanya perubahan pada pemikiran kependidikan atau kepelatihan. Dalam
pengertian sebagai kaidah pengembang kurikulum, fleksibilitas diartikan sebagai suatu sifat atau ciri
kurikulum yang memberikan kesempatan untuk mengakomodasi adanya ide baru atau perbaikan terhadap
ide yang sudah ada sebelumnya. Maksudnya, suatu dokumen kurikulum hendaknya memiliki sifat
adaptabilitas yakni apabila terjadi perubahan terhadap suatu ide maka perubahan terhadap dokumen sejalan
dengan magnitude perubahan ide tersebut. Hal ini tidak dapat dihindari karena masyarakat terus berkembang
yang pada gilirannya tuntutan mereka pun terhadap apa yang diinginkan dari pendidikan berkembang pula.
Kurikulum harus mampu berubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi, masyarakat, dan bangsa agar
tidak menjadi usang.
Munculnya definisi kurikulum yang sangat beragam dipengaruhi oleh keadaan saat para pakar
mendefinisikannya. Namun demikian, menurut Yadi Mulyadi (2006), konsep kurikulum dapat
diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian, yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk, (2)
kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai
pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan
kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan
arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk selanjutnya diberi label
kurikulum. Oleh karena itu kurikulum dalam arti produk merupakan hasil konkret yang dapat diamati dalam
bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Akan tetapi, definisi tersebut juga memiliki
kelemahan yakni adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya
dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi dari suatu mata pelajaran.
Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa
perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah.
Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodasi semua
fenomena kehidupan yang sangat dinamis.
Kurikulum sebagai program merupakan kurikulum yang berbentuk program-program pengajaran
yang riil. Dalam bentuk yang ekstrim, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam serentetan
daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu, seperti dalam kurun
waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakup aspek-
aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran
suatu kajian ilmu tertentu. Keuntungan pandangan ini terletak pada dua hal. Pertama, dapat menunjukkan
dan menjelaskan secara lebih konkret tentang arti sebuah kurikulum. Kedua, memberikan pemahaman
bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam latar (setting) dan jenjang yang berbeda. Sementara itu
kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yangtampak dalam daftar pokok bahasan, itulah yang
harus dipelajari oleh siswa.
Sementara itu, pandangan kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa,
mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap, dan berbagai bentuk
pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang
diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat
konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar, dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti
ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan
oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata, yang secara “ritual” harus diajarkan
sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural sekolah dan masyarakat, serta
(2) penyusunan kurikulum menjadi lebih dapat dikelola manageable), baik dari segi ruang lingkup maupun
urutan. Adapun kelemahannya terletak pada adanya kesulitan para guru dan sekolah dalam menangani
secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya.
Pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar sangatlah berbeda dari tiga pemaknaan
sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan
yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah
direncanakan. Konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana
yang diharapkan karena begitu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kemampuan guru dalam
menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya, sebaik apa pun sebuah
kurikulum bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna terhadap
siswa. Demikian pula sebaliknya.
Keuntungan dari pemaknaan terakhir kurikulum tersebut setidaknya ada dua, yaitu: (1) pihak guru
maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, dan (2) guru akan
lebih melibatkan semua pengalaman siswa dalam kegiatan pembelajaran. Kelemahannya ialah (1)
kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan
(2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang
sederhana. Sebagai konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan
kurikulum implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan kurikulum
sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Berdasarkan rumusan tersebut dapat diturunkan beberapa ciri kurikulum yang antara lain sebagai
berikut.
a) Curriculum as a subject matter, yang menggambarkan kurikulum sebagai kombinasi bahan untuk
membentuk kerangka isi materi (content) yang akan diajarkan. Dengan demikian, dalam pengertian
ini isi atau materi merupakan salah satu dari komponen kurikulum.
b) Curriculum as experience, yang menggambarkan kurikulum sebagai seperangkat pengalaman yang
direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pedidikan. Pengertian kurikulum ini juga
menggambarkan pengalaman sebagai kegiatan kurikulum.
c) Curriculum as intention, yang menyatakan kurikulum sebagai suatu rencana, mulai dari tujuan,
sasaran dan juga evaluasinya. Ini berarti kurikulum merupakan program yang terencana.
d) Curiculum as cultural reproduction, yang menyiratkan kurikulum sebagai refleksi suatu budaya
masyarakat tertentu.
e) Curriculum as currere, yang menekankan kapasitas individu untuk berpartisipasi dan
mengonsepkan kembali pengalaman hidup seseorang. Dalam pengertian ini, kurikulum merupakan
perspektif pengalaman dan akibat terhadap kurikulum atau intepretasi terhadap pengalaman hidup.

B. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan


Secara umum pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya
membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam
lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, interaksi pendidikan terjadi
antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Interaksi ini berjalan tanpa rencana
tertulis. Orang tua sering tidak mempunyai rencana tertentu pada anaknya, mudah-mudahan menjadi orang
yang soleh, sehat, pandai, dan sebagainya, tetapi bagaimana rincian sifat-sifat tersebut bagi mereka tidak
jelas. Juga mereka tidak tahu apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya agar anak-anaknya
memiliki sifat-sifat tersebut.
Interaksi pendidikan antara orang tua dengan anaknya juga sering tidak didasari. Dalam kehidupan
keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul, dan
bekerja sama dengan anak-anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuaan spontan yang
diberikan kepada anak, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan-kesalahan mendidik besar sekali. Orang
tua menjadi pendidik karena statusnya sebagai ayah dan ibu, meskipun mungkin saja sebenarnya mereka
belum siap untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki
rancangan yang konkret dan ada kalanya juga tidak didasari, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga
disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum formal dan tertulis.
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah
dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan
seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Pendidikan formal
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan informal dalam lingkungan keluarga.
Pertama, pendidikan formal di sekolah memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas, bukan hanya
berkenaan dengan pembinaan segi-segi moral tetapi juga ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kedua,
pendidikan di sekolah dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan. Ketiga, pendidikan di sekolah
dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas, dan mendalam. Sejarah pendirian sekolah diawali karena
ketidakampuan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dan mendalam.
Keempat, karena memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis adalah pendidikan di
sekolah, maka dalam uraian-uraian selanjutnya yang dimaksud dengan pendidikan atau pengajaran di
sekolah.
Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan
dengan penguasaan pengetahuan, pengetahuan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja.
Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut
diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan,
juga diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan
ajar, metode-alat, dan penilaian merupakan komponen-komponen utama kurikulum. Dengan pedoman pada
kurikulum, interaksi ini tidak berlangsung dalam ruangan hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan
tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi.

C. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga
bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum
merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus di sampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Banyak
orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang
studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran.
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dengan
kurikulum yang fungsional (functioning is a written document which may contain many ingredients, but
basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school). Beauchamp lebih
memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan
rencana itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, kebaikan suatu kurikulum tidak dapat di nilai dalam
proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas.
Kurikulum bukan hanya rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang mengatur
lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen kurikulum
(curriculum document or inert curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan
kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum).
Selain sebagai bidang studi, kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem
(sistem kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana penngajaran,
kurikulum berisi tujuan yang akan dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat
pengajaran dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem, kurikulum merupakan bagian atau
subsistem dari keseluruhan kerangka organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu
sistem menyangkut penentuan segala kebijakan tentang kurkulum, susunan personalia, dan prosedur
pengembngan kurikulum, penerapan, evaluasi, dan penyempurnaanya. Fungsi utama sistem kurikulum
adalah dalam pengembangan, penerapan evaluasi, dan menjaga agar kurikulum tetap dinamis.
Apa yang di kemukakan oleh sebagian pakar kurikulum bukan hanya menunjukan fungsi tetapi juga
struktur dari suatu sistem kurikulum yang secara garis besar berkenaan dengan pengembangan,
pelakasanaan, dan evaluasi kurikulum.

D. Kurikulum dan Teori-teori Pendidikan


Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum
disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum, dan suatu teori kurikulum di
turunkanatau di jabarkan dari teori pendidikan tetentu. Kurikulum dapat dipandang sebagi rencan kongkret
penerapa dari suatu teori pendidikan. Untuk lebih memahami hubungan kurikulum dengan pendidikan,
dikemukakan beberapa teori pendidikan dan model-model konsep kurikulum dari masing-masing teori
tersebut. Minimal ada empat teori pendidikan yang banyak dibicarakan para ahli pendidikan dan dipandang
mendasari pelaksaan pendidikan yaitu pendidikan klasik, pendidikan pribadi, pendidikan interaksional, dan
teknologi pendidikan.
1. Pendidikan klasik
Pendidikan klasik atau classical education dapat dipandang sebagai konsep pendidikan tertua.
Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa seluruh warisan budaya, yaitu pengetahuan, ide-ide, atau
nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu.Pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan,
dan meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Guru atau para pendidik tidak
perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai baru, sebab semuanya
telah tersedianya, tinggal menguasai dan mengajarkannya. Isi pendidikan atau materi ilmu yang telah
ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu. Materi ilmu pengetahuan yang di ambil dari
disiplin-disiplin ilmu tersebut telah tersusun secara logis dan sistematis.

2. Pendidikan Pribadi
Pendidikan pribadi (personalized education) lebih mengutamakan peranan siswa. Konsep
pendidikan ini bertolak dari anggapan dasar bahwa, sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi
baik potensi untuk belajar dan berkembang sendiri. Pendidikan adalah ibarat persemaian berfungsi
menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya
seeorang petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan
minat peserta didik. Peserta didik menjadi subyek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam
pendidikan.
Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan
ahli dalam disiplin ilmu.Ia lebih berfungsi sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah
peserta didik. Ia juga berperan sebagai bidan yang membantu siswa melahirkan ide-idenya. Guru adalah
pembimbing, pendorong (motivator), fasilitator dan pelayan bagi siswa.
3. Teknologi pendidikan
Teknologi pendidikan mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan
dalam menyampaikan informasi. Keduanya juga mempunyai perbedaan, debab yang diutamakan dalam
teknologi pendidikan adalah pembentukan dan pegnuasaan kompetensi bukan pengawetan dan
pemeliharaan budaya lama. Mereka lebih berorientasi kemasa sekarang dan yang akan datang, tidak seperti
pendidikan klasik yang lebih melihat ke masa lalu. Perkembangan teknologi pendidikan dipengaruhi dan
sangat diwarnai oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Hal itu memang sangat masuk akal, sebab teknologi
pendidikan bertolah dari dan merupakan penerapan prinsip-prisip ilmu dan teknologi dalam pendidikan.
Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan, termasuk dalam pendidikan.
4. Pendidikan Interaksional
Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam
pendidikan klasik dan teknologi interaksi terjadi sepihak dari guru kepada siswa, sedangkan dalam
pendidikan romantik dan progresif terjadi sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendidikan interaksional
menekankan interaksi dau pihak, dari guru kepada siswa dan dari siswa kepada guru. Lebih luas, interaksi
ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan lingkungan, antara pemikiran siswa dengan
kehidupanya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih dari sekedar mempelajari fakta-fakta. Siswa
mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interprestasi yang bersifat
menyeluruh serta memahaminya rentetan pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-
persepsi yang berbeda tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul dalam
kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai