Dosen Pengampu :
Dra. Frieda Nuzulia Ratna Hadiyati, M.S
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.
Disusun oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………… 3
1.3 Tujuan…………………………………………………………………. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pensiun dan Fase-fasenya……….……….................................................. 5
2.2 Dampak Pensiun pada Adiyuswa………………………………………. 7
2.3 Post-power Syndrome………………………………………………….. 8
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan………………………………………………………………. 10
Datar Pustaka………………………………………………………………………… 12
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pensiun serta fase-fasenya.
2. Untuk mengetahui dampak pension pada adiyuswa.
3. Untuk mengetahui post-power syndrome.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut KBBI, pensiun adalah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai.
Dan menurut Wang & Shi (2016) dalam Life-Span Development Santrock (2019), dikatakan
bahwa pensiun adalah suatu proses, bukan suatu event. Sedangkan proses sendiri artinya adalah
runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu. Oleh karenanya, pensiun tidak
terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung saat itu saja. Pensiun berlangsung dalam jangka waktu
tertentu dan juga ada kondisi-kondisi yang bepengaruh, baik sebagai faktor penyebab pensiun itu
sendiri maupun sebagai faktor berhasilnya proses pensiun tersebut.
Ada beberapa hal yang bisa menentukan kapan orang pensiun. Hal-hal seperti kebijakan
di tempat kerja, jaminan finansial, buruknya kesehatan fisik dan mental dapat menjadi penyebab
seseorang memilih untuk pensiun dini (Topa, Depolo, & Alcover, 2018). Namun dewasa ini,
orang mulai memilih untuk “berpensiun” lebih lama. Contohnya adalah para baby boomers
yang berpikiran untuk bekerja lebih lama dari para pendahulunya (Dong & others, 2017). Hal
tersebut menurut Sewdas & others (2017) dalam Life-Span Santrock (2018) diakibatkan oleh
beberapa motif atau kondisi, yaitu: keuangan, kesehatan, pengetahuan, dan tujuan dalam hidup.
Memandang dari segi finansial sendiri, ada dua hal yang orang-orang khawatirkan menjelang
masa pensiunnya, yaitu: (1) harus memenuhi kebutuhan pensiun dari tabungan, dan (2)
menggunakan uang untuk membayar asuransi kesehatan (Yakoboski, 2011). Selain karena
faktor-faktor tersebut, studi juga menunjukkan bahwa orang tua yang melanjutkan pekerjaannya
ternyata memiliki fungsi fisik dan kognitif yang lebih baik dari mereka yang pensiun (Tan &
others, 2017).
Fase – fase pensiun tidak serta dialami oleh setiap individu, tergantung bagaimana individu itu
sendiri menyikapi dan mempersiapkan masa pensiunnya.
1. Pra Pensiun
Fase ini dibagi menjadi 2 fase, yaitu remote stage (Jangka panjang) dan near
stage (jangka pendek). Fase ini disiapkan dengan program masa persiapan pensiun yang
5
menuntut persiapan yang matang dari individu yang hendak mengambil pensiun dan
keluarga di sekitarnya. Nantinya persiapan ini diharapkan agar individu dan keluarga
sudah benar – benar siap ketika masa pensiun tersebut datang.
2. Fase honeymoon
Fase ini merupakan fase pertama saat seseorang benar – benar pensiun. Fase ini
biasanya ditandai dengan rasa euphoria karena merasakan adanya suatu kebebasan yang
belum pernah dirasakan semasa masih bekerja. Panjang pendek fase ini ditentukan oleh
bagaimana individunya memanfaatkan fasenya
4. Fase re-orientasi
Bagi individu yang memasuki masa pensiun dan tidak pernah mendapatkan
banyak batu sandungan atau hambatan sangat diperlukan untuk melakukan re-orientasi
untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru saat pensiun. Pada fase ini para
pensiunan cenderung berperan aktif dalam berbagai kegiatan.
5. Fase Stabilitas
Fase ini tercapai ketika individu mampu menetapkan pilihan apa yang akan
dikerjakan atau dilakukan pada saat pensiun datang, diikuti juga dengan pelaksanaan dari
pilihan – pilihannya tersebut, fase stabil ini dianggap tercapai ketika pensiunan mampu
menikmayi kehidupan dan performasinya, dikatakan tercapai juga ketika adanya
keajegan kriteria atas keberhasilan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi
6. Fase Terminasi
Fase terakhir ini adalah fase di mana pensiunan mulai merasakan sakit dan
ketidakberdayaan atau ketidakmampuan fisik maupun psikis yang disebabkan oleh
kondisi usia lanjut. Akan terjadi peralihan peran ke individu yang sakit dan tidak mampu
melakukan apa – apa lagi.
6
2.2 Dampak Pensiun pada Adiyuswa
Penelitian menemukan bahwa orang tua yang terlibat dalam pekerjaan dengan tugas
kompleks dan aktivitas pekerjaan sehari-hari yang menantang, fungsi kognitifnya menunjukkan
lebih sedikit penurunan yang diakibatkan oleh usia (Fisher & others, 2017; Lovden, Backman, &
Lindenberger, 2017). Mereka yang bekerja di pekerjaan yang menuntut mental yang tinggi juga
terkait dengan fungsi kognitif yang lebih tinggi sebelum pensiun dan penurunannya lebih lambat
setelah pensiun (Fisher & others, 2014). Sedangkan mereka yang bekerja di pekerjaan dengan
kompleksitas rendah, mengalami sesuatu yang baru di pekerjaanya (assessed through recurrent
work-task changes) terkait dengan kecepatan memproses dan memori bekerja yang lebih baik
(Oltmanns & others, 2017).
Orang tua yang baik dalam menyesuaikan diri saat pensiun adalah yang sehat, memiliki
pendapatan cukup, aktif, berpendidikan, memiliki jaringan sosial yang luas baik teman dan
keluarga, dan biasanya sudah puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Damman, Henkens,
& Kalmijn, 2015; Ilmakunnas & Ilmakunnas, 2018; Miller, 2018). Sedangkan mereka yang tidak
memiliki pendapatan cukup, kesehatan buruk, atau mereka yang memiliki masalah lain seperti
kehilangan orang dekat pada saat yang bersamaan, cenderung memiliki waktu yang sulit untuk
beradaptasi dengan masa pensiun (Reichstadt & others, 2007). Mereka yang pensiun karena
masalah kesehatan juga memiliki memori dan kelancaran verbal yang lebih buruk daripada
rekannya yang pensiun sendirinya atau karena alasan keluarga (Denier & others, 2017).
Fleksibilitas juga merupakan faktor kunci apakah seseorang akan menyesuaikan diri
dengan baik terhadap masa pensiunnya (Mossburg, 2018; Wang & Shi, 2016). Ketika orang
pensiun, mereka tidak lagi berada di lingkungan kerja yang terstruktur seperti sebelumnya. Oleh
karenanya, mereka harus fleksibel dan melakukan hal-hal yang menarik baginya.
Mengembangkan minat dan memiliki teman yang tidak terkait dengan pekerjaan akan
mengingkatkan proses adaptasi. Dalam penyesuaian diri terhadap pensiun juga diperlukan
perencanaan, tidak hanya merencanakannya dari aspek keuangan, tapi juga perlu
mempertimbangkan aspek-aspek lain dalam hidup (Topa, Lunceford, & Boyatzis, 2018; Wang &
Shi, 2016).
7
2.3 Post-power Syndrome
Post-Power Syndrome umumnya dialami orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari
pekerjaannya, hal itu karena tidak semua orang siap untuk menghadapinya. Hal itu karena tidak
mudah beradaptasi dalam masa ini, karena pensiun memutuskan seseorang dari aktivitas rutin
yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, memutuskan rantai sosial yang sudah terbina
dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangnya identitas diri seseorang yang
sudah melekat begitu lama (Agustina, 2008:89). Meskipun banyak orang yang berhasil melalui
fase ini dengan baik, namun jika tidak, bisa terjadi Post-Power Syndrome. Post-Power Syndrome
adalah gejala ketidakstabilan psikis seseorang yang muncul pada dirinya setelah hilangnya
jabatan atau kekuasaan. Gangguan ini terjadi pada orang yang merasa dirinya sudah tidak
dianggap dan tidak dihormati lagi. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebabnya antara lain
adalah kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, kesehatan, dan status sosial di masyarakat sebelum
pensiun.
Dinsi, Setiati dan Yuliasari (2006) menjelaskan post power syndrome disebabkan karena
mental shock, adanya ketakutan tentang apa yang harus dihadapi, ketika masa pensiun tiba.
Individu merasa ada seseuatu yang hilang dari dirinya, karena pekerjaan dan jabatan yang
selama ini dipegang harus ditinggalkan. Palmore (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa
salah individu dewasa lanjut yang memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap pensiun adalah
individu yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi
sosial yang luas termasuk diantaranya teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan
kehidupan sebelum pensiun.
Post-Power Syndrome memiliki ciri yang melekat pada diri yang mengalaminya, yaitu:
1) Senang dihargai dan dihormati orang lain, permintaannya harus selalu dituruti, suka dilayani
orang lain.
3) Menaruh arti hidupnya pada prestasi jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup
orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain.
Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
menghadapi masa transisi, individu lansia memerlukan dukungan agar dapat menyesuaikan diri
8
dengan perubahan yang terjadi, karena dukungan yang diberikan akan sangat mempengaruhi
penyesuaian diri lansia. Cohen (dalam Cotrada & Baum, 2011) mengartikan dukungan sosial
sebagai jaringan sosial yang menyediakan sumber materiil maupun psikis yang bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi situasi sulit. Jika lansia menerima
perhatian dan dukungan positif di masa pensiun, maka ia akan merasa dihargai, dihormati dan
disayangi. Pun jika lansia tidak mendapatkan dukungan positif dalam masa pensiunnya ia akan
merasa dikucilkan, tidak berharga, dan tidak disayangi.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut KBBI, pensiun adalah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai.
Dan menurut Wang & Shi (2016) dalam Life-Span Development Santrock (2019), dikatakan
bahwa pensiun adalah suatu proses, bukan suatu event. Sedangkan proses sendiri artinya adalah
runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu
Ada beberapa hal yang bisa menentukan kapan orang pensiun. Hal-hal seperti kebijakan
di tempat kerja, jaminan finansial, buruknya kesehatan fisik dan mental dapat menjadi penyebab
seseorang memilih untuk pensiun dini (Topa, Depolo, & Alcover, 2018). Namun dewasa ini,
orang mulai memilih untuk “berpensiun” lebih lama. Contohnya adalah para baby boomers
yang berpikiran untuk bekerja lebih lama dari para pendahulunya (Dong & others, 2017).
Fase – fase pensiun tidak serta dialami oleh setiap individu, tergantung bagaimana
individu itu sendiri menyikapi dan mempersiapkan masa pensiunnya. Ada beberapa fase pensiun
yaitu fase pra pensiun, honeymoon, disengagement, re-orientasi, stabilitas, terminasi. Penelitian
menemukan bahwa orang tua yang terlibat dalam pekerjaan dengan tugas kompleks dan aktivitas
pekerjaan sehari-hari yang menantang, fungsi kognitifnya menunjukkan lebih sedikit penurunan
yang diakibatkan oleh usia (Fisher & others, 2017; Lovden, Backman, & Lindenberger, 2017).
Orang tua yang baik dalam menyesuaikan diri saat pensiun adalah yang sehat, memiliki
pendapatan cukup, aktif, berpendidikan, memiliki jaringan sosial yang luas baik teman dan
keluarga, dan biasanya sudah puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Damman, Henkens,
& Kalmijn, 2015; Ilmakunnas & Ilmakunnas, 2018; Miller, 2018). Sedangkan mereka yang tidak
memiliki pendapatan cukup, kesehatan buruk, atau mereka yang memiliki masalah lain seperti
kehilangan orang dekat pada saat yang bersamaan, cenderung memiliki waktu yang sulit untuk
beradaptasi dengan masa pensiun (Reichstadt & others, 2007).
Post-Power Syndrome umumnya dialami orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari
pekerjaannya, hal itu karena tidak semua orang siap untuk menghadapinya. Hal itu karena tidak
mudah beradaptasi dalam masa ini, karena pensiun memutuskan seseorang dari aktivitas rutin
10
yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, memutuskan rantai sosial yang sudah terbina
dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangnya identitas diri seseorang yang
sudah melekat begitu lama (Agustina, 2008:89).
11
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Siti Nurina, 2007. Perencanaan Dan Persiapan Menghadapi Masa Pensiun. WARTA, Vol. 10,
No. . 96 – 109
Indriana, Yeniar, Lulu Lestin Lailan, 2015. Dukungan Sosial Dan Kecenderungan POST
POWER SYNDROME Pada Pensiun TNI dan POLRI Anggota Persatuan Purnawirawan dan
Warakawuri TNI dan POLRI DPC PEPABRI Kabupaten Banyumas. Jurnal Empati Volume
4(4), 113-117.
12